STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 5 6 Mengembangkan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai
dengan standar internasional.
B. Program Prioritas:
1 Optimalisasi koordinasi penataan ruang daerah dengan pemerintah pusat,
pemerintah kabupatenkota dan antar Provinsi. 2 Peningkatan pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian
sumberdaya alam dan lingkungan. 3
Pengendalian dan rehabilitasi kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. 4
Konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan: 5 Kerjasama pemda, masyarakat setempat, LSM, dan lembaga donor
internasional untuk pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.. 6
Perencanaan dan pembinaan pengelolaan sumberdaya alam yang mengikuti kaidah-kaidah pelestarian lingkungan sesuai standar internasional.
7 Peningkatan pelayanan dan pemerataan penyediaan energi listrik
8 Penataan sumber potensi dan pemanfaatan energi
9 Peningkatan usaha pertambangan berorientasi pelestarian dan pemulihan lingkungan hidup
Dalam upaya mensikapi isu-isu lingkungan yang ada di Provinsi Lampung, maka kebijakan pengelolaan lingkungan yang ditetapkan dalam Renstra Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Bapedalda Provinsi Lampung tahun 2004-2009 adalah sebagai berikut:
A. Visi:
Terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, menjadikan Provinsi Lampung yang unggul dan berdaya saing.
B. Misi:
1 Mengoptimalkan upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
2 Meningkatkan pengawasan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup berbasis kerakyatan dan kelestarian lingkungan. 3
Meningkatkan fungsi kelembagaan dan sumberdaya manusia yang berkualitas di bidang lingkungan hidup, dengan peningkatan peranserta masyarakat dalam
pemahaman dan penaatan perundang-undangan tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4 Meningkatkan kerjasama dan koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
jaringan kerja yang efektif, efisien dan sinergis dengan kabupatenkota, dalam rangka menjadikan Provinsi Lampung yang unggul dan berdaya saing.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 6 Isu lingkungan hidup utama yang dipilih dalam Buku SLHD Provinsi Lampung 2009 ini
adalah penambangan pasir di Gunung Anak Krakatau GAK. Isu lingkungan hidup lainnya adalah banjir yang melanda Kota Bandar Lampung pada Desember 2008 dan reklamasi
pantai oleh PT. SAII pada Agustus 2009. Isu penambangan Pasir di GAK dipilih sebagai isu utama karena masalah tersebut telah
berkembang menjadi isu nasional dan sering muncul dalam pemberitaan di media massa, baik lokal maupun nasional. Gunung Anak Krakatau sebagai salah satu cagar alam laut
merupakan kawasan konservasi yang telah dikenal luas di dunia internasional dan keberadaannya terancam oleh rencana penambangan pasir yang dilakukan oleh salah satu
perusahaan swasta. Hal ini menimbulkan banyak kecaman, terutama dari kalangan pemerintah, LSM pemerhati lingkungan, dan organisasi masyarakat lainnya. Bahkan
Menteri Kehutanan perlu mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa penambangan pasir di kawasan GAK adalah illegal.
Isu kedua, yaitu masalah banjir yang melanda Kota Bandar Lampung pada 18 Desember 2008, dipilih sebagai isu dalam SLHD Provinsi Lampung 2009 karena isu ini cukup menyita
perhatian media massa, masyarakat, dan pemerintahan daerah. Banjir tersebut merupakan banjir terbesar dalam 23 tahun terakhir ini dan merendam beberapa tempat dengan
ketinggian air yang cukup tinggi, berbeda dengan kejadian banjir pada musim hujan sebelumnya. Sebagai salah satu kota besar, Bandar Lampung sudah seharusnya menata
sistem drainasenya yang dinilai oleh beberapa pakar masih belum mampu mengatasi limpasan air jika curah hujan cukup tinggi.
Isu ketiga, yaitu reklamasi pantai yang dilakukan oleh PT. Sarana Agro Industri Indonesia PT. SAII di Kabupaten Pesawaran sekitar Agustus 2009, dipilih sebagai isu dalam SLHD
Provinsi Lampung 2009 karena kegiatan ini menimbulkan keresahan masyarakat dan keprihatinan aktivitas lingkungan terhadap kerusakan ekosistem pesisir. Berbagai
pemberitaan dalam media massa telah mendorong DPRD Pesawaran untuk mendesak Pemkab Pesawaran menghentikan aktivitas ini.
1 Penambangan Pasir Ilegal di Gunung Anak Krakatau
Pasir Gunung Anak Krakatau terancam ditambang dengan dalih melakukan mitigasi bencana gunung berapi. Kegiatan tersebut dilakukan setelah PT Ascho Unggul Pratama
PT. AUP mengantungi Surat Keputusan Bupati Lampung Selatan No.5031728III.092008 tanggal 15 Mei 2008. Di dalam surat tersebut, Zulkifli Anwar selaku bupati saat itu
memberikan kuasa pengelolaan mitigasi Gunung Anak Krakatau, izin pengangkutan, dan
ISU LINGKUNGAN HIDUP
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 7 penjualan. Perusahaan diberi izin selama 25 tahun. Kegiatan tersebut kembali diperkuat
dengan SK Bupati Lampung Selatan saat ini Wendy Melfa tanggal 1 Oktober 2009. Surat tersebut berisi tentang persetujuan survey dan pengujian alat dalam rangka mitigasi Gunung
Anak Krakatau.
Gambar 1.1 Gunung Anak Krakatau Kepala Badan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi BPVMBG Bandung
Surono mengatakan, kegiatan perusahaan tersebut hanya untuk mendapatkan pasir Krakatau dengan dalih mitigasi. BPVMBG tidak pernah merekomendasikan cara mitigasi
dengan merekayasa sumber hingga mengubah bentang alam, seperti memitigasi gunung berapi yang berada di kawasan cagar alam. Mitigasi dengan mengubah bentang alam di
kawasan cagar alam tidak pernah direkomendasikan. Sesuai Undang Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah jelas diatur, dalam penanggulangan
bencana yang diperhatikan adalah manusia. Dalam hal mitigasi gunung berapi, BPVMBG adalah pihak yang berkepentingan melakukan mitigasi supaya bisa diberikan peringatan dini
atau potensi ancaman lain kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah adalah pihak yang kemudian menindaklanjuti peringatan dalam bentuk pengungsian atau evakuasi.
Dalam pencegahan, pemerintah daerah pula yang berhak membuat jalur evakuasi serta sosialisasi.
PT Ascho Unggul Pratama bersikukuh tidak melakukan penambangan, tetapi hanya melakukan uji coba pemasangan peralatan mitigasi dengan izin Pemkab Lampung Selatan
tertanggal 1 Oktober 2009 dan BKSDA Lampung 29 September 2009. Peralatan mitigasi yang dipasang adalah pompa sedot pasir atau sand pump. Menurut PT AUP peralatan
pompa sedot pasir dipasang karena merupakan cara mitigasi atau cara mengurangi risiko bencana. Perusahaan hendak membuat dua saluran pembuangan pasir di sebelah utara
dan tenggara Gunung Anak Krakatau. Sebanyak dua saluran tersebut direncanakan masing-
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 8 masing memiliki lebar 200 dan 300 meter dengan panjang mengikuti panjang punggungan
gunung. Sebanyak dua saluran dibuat sebagai jalan keluar lava, seperti sudetan di Gunung Merapi, DI Yogyakarta. Pembuatan saluran berarti akan mengakibatkan pasir Krakatau
terkeruk. Perusahaan mengakui belum tahu akan membawa ke mana pasir kerukan yang dikatakan sebagai pasir limbah tersebut. Perusahaan juga belum memutuskan ke mana
akan mengangkut pasir-pasir tersebut
.
Menurut informasi berbagai sumber Lampung Post 8 November 2009 pasir yang ada di pantai dan lereng bawah Gunung Anak Krakatau termasuk golongan sangat baik. Pasir
Krakatau ini memenuhi syarat untuk bahan campuran semen. Kandungan unsur besi Fe mencapai 50 persen. Asumsi ini ditarik dari keterangan produsen semen PT. Semen
Baturaja yang membeli pasir luapan Krakatau yang dipungut dari pantai oleh warga sekitar Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Soal harga, seorang pelaku industri pasir besi
mengatakan harga terendah pasir besi saat ini sekitar Rp. 300kg. Ia memperkirakan pasir besi yang diangkut dengan ponton pada Oktober lalu lebih dari 10 ribu ton. Jadi, bila dihitung
secara matematis, nilai pasir besi GAK yang diangkut PT. AUP ini mencapai sekitar Rp. 3 miliar. Potensi besar itu tentu menarik pebisnis untuk mengeruk keuntungan besar.
Adalah PT. AUP yang kemudian diduga memperjualbelikan pasir di kawasan Gunung Anak Krakatau tersebut. Menurut Walhi Lampung, ada upaya penyedotan pasir Gunung Anak
Krakatau dengan menggunakan kapal besar dan pipa panjang pada minggu ketiga Oktober 2009 oleh kapal milik PT. Ascho Unggul Pratama.
Gambar 1.2 Sebuah tongkang parkir di pesisir kawasan Gunung Anak Kratakau untuk menampung pasir dari sebuah mesin penyedot pada 18 Oktober
2009 Sumber: LSM Samudera, dikutip dari Lampost, 29 Oktober 2009
Indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan PT. AUP adalah apabila terbukti adanya aktivitas pengangkutan pasir atau material apapun dari kawasan Gunung Anak Krakatau,
yang merupakan kawasan cagar alam. Kawasan cagar alam tersebut seluas 2.405,10 hektare yang meliputi Pulau Krakatau Besar Rakata, Pulau Krakatau Kecil Panjang, dan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 9 Pulau Sertung. Pengelolaan Kawasan Cagar Alam mengacu kepada Peraturan Pemerintah
Nomor 68 tahun 1998, yang merupakan turunan dari Undang-Undang nomor 5 Tahun 1990, yang menyebutkan tidak dibolehkan adanya kegiatan mengubah bentang alam dan kegiatan
eksploitasi seperti penambangan pasir. Kegiatan penambangan ini juga bertentangan dengan UU No. 51990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
UU No. 231997 tentang Lingkungan Hidup yang diperbaharui menjadi UU No. 322009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 411999 tentang
Kehutanan, dan UU No. 272007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menindaklanjuti temuan dugaan penambangan pasir besi di Gunung Anak Krakatau, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 31 Oktober 2009 menegaskan bahwa tim dari Departemen
Kehutanan segera memastikan dan menyelidiki aktivitas penambangan pasir di Gunung Anak Krakatau. Zulkifli menegaskan bahwa kegiatan penambangan di kawasan cagar alam
dilarang dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tindakan yang sama juga diambil Kepolisian Daerah Lampung. Direktur Reserse Kriminal Direskrim Polda Lampung memastikan, begitu berita
penambangan tersebut terungkap dan ramai diberitakan di media massa, Polda Lampung melakukan penyelidikan atas kasus tersebut.
Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan segera mencabut surat izin mitigasi kawasan Gunung Anak Krakatau GAK yang diberikan kepada PT Ashco Unggul Pratama
AUP. Sekretaris Kabupaten Lampung Selatan mengatakan surat pencabutan izin itu secepatnya diberikan kepada PT AUP yang dinilai telah menyalahgunakan surat izin
mitigasi. Tindakan ini pun didukung oleh sejumlah elemen masyarakat, tokoh adat Rajabasa, tokoh adat Keratuan Darah Putih, tokoh adat Marga Dantaran, LSM Samudera,
dan ormas Pemuda Pancasila PP, yang meminta Bupati Lamsel Wendy Melfa segera mencabut surat izin mitigasi PT AUP Lampost, 3 November 2009.
2 Banjir di Kota Bandar Lampung
Banjir yang melanda Kota Bandar Lampung pada 18 Desember 2008 merupakan banjir terbesar dalam 23 tahun terakhir ini. Banjir ini merendam permukiman dan rumah sakit,
serta melumpuhkan transportasi dalam kota. Luapan air merendam pemukiman di Tanjungkarang Pusat, Tanjungkarang Timur, Telukbetung Selatan, Kotakarang, Panjang,
Telukbetung Barat, dan Kedaton. Banjir terparah melanda Kampung Sawah, Palapa belakang Mal Kartini, Jalan Kartini
depan Bank Panin, Kaliawi, Pasir Gintung, Pesawahan, Jagabaya, Jalan Diponegoro, jalan di depan rumah dinas Danrem 043Gatam, simpang tiga Gang PU, Pasar Kangkung,
Sukaraja, Way Lunik, Ketapang, Talang, Kedamaian, Way Halim, dan Jalan Teuku Umar simpang tiga Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Di Tanjungkarang Pusat, Way Sungai
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 10 Awi meluap karena tidak mampu menampung curah hujan. Akibatnya, ratusan rumah di
permukiman padat penduduk itu terendam air bercampur lumpur setinggi dua meter. Selain merusak rumah, banjir menyeret perabotan rumah tangga. Puluhan rumah yang terbuat dari
kayu di bibir sungai juga terbawa arus. Air bercampur lumpur menggenangi badan jalan protokol setinggi 1,5 meter. Puluhan mobil
dan sepeda motor mogok. Jalan Kartini hingga Teuku Umar macet sekitar enam kilometer. Luapan Way Awi juga menjebol tembok pembatas kali dan Rumah Sakit Umum Abdul
Moeloek. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Lampung banjir tersebut menyebabkan 1 orang meninggal dunia, 82 rumah rusak berat, 127 rumah rusak sedang,
dan 1.025 rumah rusak ringan.
Gambar 1.3 Banjir melanda Kota Bandar Lampung 12 Desember 2008 1Permukiman warga di Jalan Teuku Umar, depan RSUAM, terendam banjir
hingga setinggi atap, 2Jalan Kartini berubah menjadi sungai, 3Tim SAR mengevakuasi warga korban banjir di Pasir Gintung Sumber: Lampung Post, 19
Desember 2008
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 11 Gambar 1.4 Suasana pusat Kota Bandar Lampung saat banjir Sumber: Radar Lampung
Fenomena banjir di Kota Bandar Lampung sebenarnya sudah diprediksi oleh para ahli akan terjadi setiap tahun jika akar permasalahannya tidak segera diselesaikan. Setidaknya
terdapat tiga hal mendasar yang perlu segera dilakukan, yaitu: normalisasi fungsi sungai, perbaikan drainase, dan mengembalikan fungsi daerah tangkapan air. Normalisasi harus
segera dilakukan untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai satu-satunya saluran pembuangan air hujan ke laut. Seperti diketahui, saat ini sungai-sungai yang bermuara ke
Teluk Lampung di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung kondisinya sangat memprihatinkan. Selain mengalami pendangkalan, sungai-sungai tersebut juga mengalami penyempitan.
Apabila curah hujan tinggi dan pada saat yang sama air laut sedang mengalami pasang, maka akan terjadi genangan air di beberapa tempat.
Banjir yang melanda Kota Bandar Lampung kali ini merupakan akibat dari penyempitan Way sungai Awi dan Way Simpur. Kedua badan sungai tersebut mengalami penyempitan
hingga kurang dari 2 m, padahal lebar normal sungai di wilayah perkotaan adalah 3-4 m. Selain itu, banyaknya sampah warga yang dibuang ke sungai juga menghambat laju air
sungai, sehingga terjadi banjir. Untuk mengantisipasi masalah banjir di Kota Bandar Lampung di masa mendatang,
pemerintah kota melalui Dinas PU telah mengusulkan kepada Dinas PU Lampung untuk
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 12 memperbaiki dan menormalisasi sistem drainase yang ada. Beberapa badan sungai di
bagian muara telah diperlebar untuk memudahkan air mengalir ke laut. Dinas PU juga melakukan pembongkaran terhadap drainase yang ditutup pelat beton tanpa izin karena
menyusahkan pengerukan sedimen. Pemerintah Kota Bandar Lampung juga telah mencanangkan beberapa kegiatan besar, yaitu pembuatan embung yang berfungsi sebagai
tampungan limpasan air di Kompleks IAIN Radin Intan dan Perum Ragom Gawi, penataan jaringan drainase kota, revitalisasi sungai, dan normalisasi Way Awi, Way Kunyit, dan Way
Simpur. Selain itu, pemkot juga tak henti-hentinya menghimbau kepada warga masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai.
3 Reklamasi Pantai
Isu reklamasi pantai kembali mencuat di Provinsi Lampung pada tahun 2009. Permasalahan ini muncul kembali seiiring dengan kebijakan pemerintah untuk menata
kembali wilayah pesisir Kota Bandar Lampung sebagai salah satu Water Front City. Kasus reklamasi pantai pada tahun 2009 yang menimbulkan keresahan masyarakat terjadi di
wilayah pesisir Kabupaten Pesawaran yang berbatasan langsung dengan wilayah pesisir Kota Bandar Lampung.
Menurut Wiryawan dkk. 2002, reklamasi pantai yang dilakukan di Teluk Lampung sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1983. Pada awalnya reklamasi pantai bertujuan
untuk merancang kembali kawasan pantai Teluk Lampung Bandar Lampung dan Lampung Selatan dengan penimbunan laut sampai dengan kedalaman 3 m, sehingga terbentuk suatu
kawasan pantai yang mendukung sistem pengembangan kota pantai yang disebut dengan Water Front City
. Sejak tahun 1983 hingga 1990 telah diberikan ijin penimbunan pantai tidak kurang dari 18 perusahaan dan 7 perorangan, dengan luas 650 ha, yang sebagian
besar berada di wilayah Bandar Lampung 450 ha. Pada kenyataannya saat ini proses penimbunan pantai tidak dilaksanakan seperti rencana awal, tidak ada lahan bebas
sepanjang pantai yang telah ditimbun, yang menurut rencana semula bahwa sepanjang pantai dengan lebar 60 m harus bebas, berupa jalan 20 m, sempadan pantai 30 m, batas
jalan dan bangunan 10 m, dan semua bangunan harus menghadap ke pantai, serta setiap masyarakat dapat menikmati keindahan pantai dan laut tanpa harus membayar ke penimbun
pantai. Para penimbun pantai dapat memanfaatkan areal timbunannya pada jarak 60 m dari bibir pantai. Kondisi reklamasi pantai saat ini sangat menyedihkan karena bagian-bagian
yang telah direklamasi tidak menyatu atau terpotong-potong, muara-muara sungai banyak yang menyempit, tidak ada sempadan sungai, saluran drainase terganggu sehingga dapat
menyebabkan banjir atau genangan pada saat hujan turun bersamaan dengan pasang naik air laut
Kegiatan reklamasi pantai yang menimbulkan dampak berupa gejolak sosial keresahan masyarakat yang terjadi tahun 2009 adalah yang dilakukan oleh PT Sarana Agro Industri
Indonesia PT SAII. PT SAII melakukan aktivitas penimbunan pantai di Dusun Way Kunjir,
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 13 Desa Sukajaya Lempasing, Padang Cermin sekitar Agustus 2009. Izin reklamasi diperoleh
PT SAII dari Pemkab Lampung Selatan saat itu Kabupaten Pesawaran belum dimekarkan seluas 1,1 hektare. Selanjutnya PT SAII mengajukan perluasan area yang direklamasi
kepada Pemkab Pesawaran menjadi 5,5 ha. Namun, belakangan PT SAII justru mereklamasi melebihi izin. Bahkan, temuan LSM Mitra Bentala berdasarkan hasil
pengukuran di lapangan menunjukkan jika luas lahan reklamasi yang dilakukan PT SAII sudah mencapai 10 hektare.
Penggelembungan luas wilayah reklamasi ini berdasarkan hasil pengukuran LSM Mitra Bentala dengan menggunakan pengukuran titik koordinat lahan yang telah direklamasi.
Pengukuran menggunakan GPS Global Positioning System menunjukkan penimbunan dari pantai ke arah laut sudah mencapai 203 meter. Panjang pantai yang direklamasi mencapai
500 meter dengan ketinggian timbunan mencapai 2 meter, sehingga total luas reklamasi mencapai 10 ha.
Proses reklamasi pantai yang dilakukan PT Sarana Agro Industri Indonesia PT SAII diduga menimbulkan banyak kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Pantai Mutun, Kabupaten
Pesawaran. Berbagai macam indikasi kerusakan ditemukan setelah LSM Mitra Bentala melakukan investigasi terhadap proses reklamasi yang dilakukan perusahaan docking kapal
tersebut. Sedikitnya terjadi pelanggaran serius dalam proses reklamasi itu seperti kerusakan ekologis, ancaman terhadap potensi wisata bahari, serta penyimpangan
perizinan. Menurut LSM Mitra Bentala, fakta di lapangan menunjukkan PT SAII tidak
mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis sehingga terjadi kerusakan terumbu karang yang digunakan sebagai talut dan bahan timbunan. Selain itu, sebagian padang
lamun yang berada di sekitarnya ikut tertimbun dan terjadi kekeruhan di sekitar perairan pantai.
Reklamasi juga mengancam potensi wisata bahari di Pantai Mutun yang selama ini dikenal sebagai objek wisata dengan angka kunjungan cukup tinggi. Wilayah yang direklamasi
merupakan wilayah yang berdekatan dengan tempat wisata Pantai Mutun. Dampaknya, terjadi erosi pada daerah-daerah sekitarnya sehingga air pantai menjadi keruh dan berwarna
cokelat. Akibatnya jumlah wisatawan yang mengunjungi Pantai Mutun akan menurun. Sementara aktivitas wisata pantai merupakan bagian terpenting dalam meningkatkan
kunjungan wisatawan di Kabupaten Pesawaran. Selain menimbulkan kerusakan lingkungan perairan, kegiatan reklamasi pantai oleh PT SAII
juga dikeluhkan warga masyarakat di sekitar areal reklamasi. Warga Desa Sukajaya, Lempasing, Padang Cermin, mengeluhkan adanya debu dan kebisingan dari alat berat yang
beroperasi. Proses reklamasi yang menggunakan material dari perbukitan di sisi pantai itu membuat kawasan permukiman yang ada di sekitar lokasi material dipenuhi debu.
Dampaknya, sejumlah anak-anak mengalami gangguan pernapasan. Tidak terkecuali, para
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
I - 14 nelayan juga harus kehilangan tempat untuk menyandarkan kapal mereka setelah aktivitas
reklamasi PT SAII dilakukan. Menyikapi keresahan masyarakat dan aktivis lingkungan akibat reklamasi pantai oleh PT
SAII, DPRD Kabupaten Pesawaran memberikan dukungan dan meminta agar Pemkab Pesawaran bersikap tegas terhadap PT SAII. Bahkan DPRD Pesawaran merekomendasikan
agar Pemkab mencabut izin reklamasi untuk PT Sarana Agro Industri Indonesia PT SAII. Menanggapi tuntutan masyarakat, aktivitas lingkungan dan desakan DPRD Kabupaten
Pesawaran, akhirnya Pemkab Pesawaran menghentikan aktivitas reklamasi pantai oleh PT SAII. Penghentian reklamasi pantai ini dilakukan setelah Bupati Pesawaran mengeluarkan
Surat Bupati Pesawaran No.6152729IV.08X2009 tanggal 19 Oktober 2009.
A C
B
Gambar 1.5 Aktivitas reklamasi pantai oleh PT SAII di Pantai Mutun Dokumentasi Mitra Bentala, 17 Agustus 2009
Keterangan Gambar:
A. Kegiatan reklamasi
B. Lahan yang telah direklamasi C. Perairan Pantai Wisata Mutun yang keruh akibat adanya reklamasi
BAB II
KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 1
LAHAN DAN HUTAN
1 Kualitas Lahan
Secara umum, tanah di Provinsi Lampung termasuk tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut. Sebagian besar tanahnya terbentuk dari bahan induk tufa masam dan
intermedier, yang tersebar dari daerah dataran sampai daerah pegunungan. Proses pembentukannya banyak dipengaruhi oleh curah hujan yang cukup tinggi dan hutan tropis.
Berdasarkan klasifikasi USDA 1975, jenis-jenis tanah yang mendominasi daerah Lampung berturut-turut adalah Ultisols, Inceptisols, Entisols, dan Alfisols PPT, 1989.
Di daerah pegunungan, jenis tanah didominasi oleh Dystropept, Dystrandept, Humitropept, dan Kanhapludult. Tanah-tanah yang masih tergolong muda di dalam perkembangannya
mendominasi daerah ini, yaitu ordo Inceptisols seperti Dystropept, Humitropept, dan Dystrandept. Umumnya tanah ini mempunyai kelas kesuburan yang cukup baik, tetapi peka
terhadap ancaman bahaya erosi. Selain itu, juga terdapat tanah-tanah yang sudah mempunyai perkembangan lanjut tanah tua, yaitu ordo Ultisols, seperti Kanhapludult.
Jenis tanah ini secara umum mempunyai kesuburan tanah yang rendah, sifat kemasaman tanah yang tinggi, dan peka terhadap erosi.
Pada daerah volkan, jenis tanah yang dominan adalah dari ordo Inceptisols, yaitu Dystropept dan Humitropept, diikuti oleh ordo Alfisols dan Ultisols, seperti Hapludalf dan
Kanhapludult. Ordo Inceptisols dan Alfisols tergolong pada tanah-tanah yang relatif muda sehingga secara umum tanah di daerah ini cukup subur, tetapi peka terhadap erosi.
Daerah perbukitan didominasi oleh jenis tanah ordo Inceptisols, yaitu Dystropept dan diikuti oleh ordo Ultisols, yaitu Kanhapludult. Umumnya tanah-tanah yang tergolong dalam ordo
Inceptisols memiliki kesu-buran tanah yang relatif baik, tetapi peka terhadap erosi. Tanah- tanah Hapludulf tergolong tanah yang sudah mempunyai perkembangan lanjut dan
mempunyai tingkat kesuburan rendah sampai sedang, serta peka terhadap erosi. Selain itu, juga terdapat tanah-tanah yang masih tergolong muda yaitu dari ordo Inceptisols dengan
jenis tanah Dystropept dan Tropaquept. Tanah-tanah ini secara umum mempunyai tingkat kesubur-an cukup baik, tetapi peka terhadap erosi.
Pada daerah Aluvial di dominasi oleh tanah-tanah muda yang baru berkembang dari ordo Inceptisols, seperti Tropaquept, Eutropept, dan Dystropept. Tanah-tanah ini secara umum
mempunyai tingkat kesuburan yang relatif baik. Selain itu, juga terdapat tanah-tanah yang belum berkembang dari ordo Entisols, seperti Sulfaquent dengan kesuburan yang tergolong
rendah. Jenis tanah ini ditemukan di daerah-daerah lembah atau daerah depresi yang banyak dipengaruhi oleh air sungai.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 2 Daerah Marin didominasi oleh tanah-tanah yang belum berkembang, yaitu dari ordo
Entisols, seperti Tropopsamment, Hydraquent, dan sedikit Sulfaquent yang masih berhubungan dengan air laut. Selanjutnya, diikuti oleh tanah-tanah yang baru berkembang
dari ordo Inceptisols, seperti Dystropept, Eutopept, dan Tropaquept. Tanah-tanah ini banyak terdapat pada daerah Teras Marin. Tanah ini mempunyai kesuburan yang relatif lebih baik
dibandingkan dengan tanah-tanah dari ordo Entisols. Pada daerah-daerah yang masih terjangkau pengaruh air laut, salinitas air tanah yang tinggi merupakan kendala yang serius
bagi pertumbuhan tanaman.
2 Tutupan Lahan
Keadaan penutupan lahan Provinsi Lampung tahun 2008 berdasarkan hasil penafsiran citra yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan diketahui bahwa luas daratan yang masih
berupa hutan berhutan adalah sebesar 7,1 atau seluas 236,4 ribu ha dan daratan yang bukan berupa hutan nonhutan sebesar 91,4 atau seluas 3.058,8 ribu ha. Penutupan
lahan yang berupa hutan didominasi oleh hutan lahan kering, sedangkan hutan rawa-rawa dan hutan mangrove luasnya relatif lebih kecil. Penutupan lahan nonhutan adalah
penutupan lahan selain vegetasi hutan, yaitu berupa semakbelukar, belukar rawa, savana, perkebunan, sawah, lahan pertanian, pemukiman, pemukiman, tambak, tanah terbuka, dan
lain-lain. Penutupan lahan di Provinsi Lampung yang termasuk hutan primer hanya 2,5 ribu ha
0,1, hutan sekunder seluas 223,6 ribu ha 6,7 yang terdiri dari hutan lahan kering dan hutan rawa, serta hutan tanaman seluas 10,3 ribu ha 0,3. Hutan mangrove diprediksi
hanya seluas 5,1 ribu ha dan itu pun merupakan hutan mangrove sekunder. Penutupan lahan nonhutan lebih didominasi oleh pertanian lahan kering dan semak belukar
yang luas keseluruhannya mencapai 2.246,5 ribu ha atau sekitar 73,5; sedangkan penutupan lahan yang berupa perkebunan diprediksi seluas 132,9 ribu ha. Luas areal yang
digunakan untuk pemukiman di Provinsi Lampung diprediksi mencapai 232,8 ribu ha
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 3 Tabel 2.1 Luas penutupan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan di Provinsi Lampung tahun 2008 ribu ha
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 4
3 Hutan
Luas kawasan hutan di Provinsi Lampung pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 2.2. Sejak tahun 2002 fungsi hutan sebagai hutan yang dapat dikonversi ditiadakan, sehingga
luasnya hingga tahun 2008 adalah 1.004.735 ha. Bagi Provinsi Lampung setiap fungsi hutan mempunyai peranan yang strategis. Berfungsinya masing-masing kawasan hutan secara
optimal sesuai dengan peruntukannya akan menciptakan prakondisi bagi kelangsungan pembangunan di berbagai bidang.
Tabel 2.2 Distribusi luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Lampung 2008
Fungsi Kawasan Luas Ha
Persen luas
Kawasan Hutan Produksi ± 225.090 ha
22,40 - Hutan Produksi Terbatas HPT
± 33.358 ha 3,32
- Hutan Produksi Tetap HP ± 191.732 ha
19,08 Kawasan Hutan Lindung HL
± 317.615 ha 31,61
Kawasan Hutan Konservasi HSAW ± 462.030 ha
45,99
Luas Keseluruhan ± 1.004.735 ha
100.00
Sumber : BPS Provinsi Lampung 2009
Kawasan Lindung di Provinsi Lampung terdiri dari Hutan Lindung dan Hutan Konservasi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 256Kpts-II2000
tanggal 23 Agustus 2000. Sampai dengan tahun 2008 luas kawasan lindung tersebut adalah 317.615 ha untuk kawasan hutan lindung dan 462.030 ha kawasan hutan konservasi.
Hutan Lindung
Hutan Lindung di Provinsi Lampung terbagi ke dalam 25 Register Kawasan Hutan yang merupakan hulu sungai-sungai utama yaitu : Way Sekampung, Way Seputih dan Way
Tulang Bawang. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256Kpts-II2000 tanggal 23 Agustus 2000. Kawasan Hutan Lindung di wilayah
Provinsi Lampung seluas 317.615,00 ha Karena fungsinya sebagai pengatur tata air dan memelihara kesuburan tanah, maka
keberhasilan dan optimalisasi pembangunan pengairan yang menguasai hajat hidup orang banyak, baik yang telah maupun akan dibangun sangatlah tergantung kepada kelestarian
Hutan Lindung. Dalam rangka menyiapkan prakondisi pengelolaan berdasarkan pengelompokan kawasan hutan, bobot permasalahan dan aksesibilitas, kawasan hutan
lindung di Provinsi Lampung dibagi menjadi 4 empat wilayah pengelompokan Kesatuan Pemangkuan Hutan Lindung KPHL seperti disajikan pada Tabel 2.3.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 5 Terjadinya kerusakan hutan akibat perambahan hutan, penebangan liar, pencurian kayu dan
kebakaran hutan. Kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan Hutan Lindung sekitar 83,7.
Tabel 2.3 Pengelompokan kawasan hutan lindung di Provinsi Lampung berdasarkan KPHL
No. Register
Nama Kawasan Hutan Kabupaten
Luas ha
Reg : 38 Gunung Balak
Lampung Timur 19.680
Reg : 28 Bukit Neba
Lampung Timur 13.220
Reg : 21 Perentian Batu
Lampung Timur 6.381
Reg : 27 Pematang Sulah
Lampung Timur 8.740
Reg : 26 Serkung Peji
Lampung Timur 690
Reg : 25 Pematang Tanggang
Lampung Timur 3.380
Reg : 20 Pegunungan Kuboato
Lampung Timur 4.400
Reg : 17 Batu Serampok
Lampung Selatan 7.200
Reg : 06 Way Buatan
Lampung Selatan 1.050
KPHL I
Reg : 03 Gunung Rajabasa
Lampung Selatan 4.900
Jumlah 69.641
Reg : 31 Pematang Arahan
Tanggamus 1.505
Reg : 39 Kota Agung Utara
Tanggamus 52.117
Reg : 30 Gunung Tanggamus
Tanggamus 16.060
KPHL II Reg : 33
Bukit Rendingan Tanggamus
6.960
Jumlah 76.642
Reg : 39 Kota Agung Utara
Tanggamus 49.993
Reg : 22 Way Waya
Tanggamus 8.515
KPHL III Reg : 34
Tangkit Tebak Tanggamus
27.600
Jumlah 86.108
Reg : 45b Bukit Rigis
Lampung Barat 8.295
Reg : 44b Way Tenong Kenali
Lampung Barat 13.000
Reg : 43b Krui Utara
Lampung Barat 14.030
Reg : 24 Bukit Punggur
Lampung Barat 20.851
Reg : 17b Bukit Sararukuh
Lampung Barat 1.596
Reg : 48b Palakiah
Lampung Barat 1.800
Reg : 41 Saka
Lampung Barat 1.200
KPHL IV
Reg : 9b Gunung Seminung
Lampung Barat 470
Jumlah 61.242
Jumlah I+II+III+IV 293.633
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006
Hutan Konservasi
Kawasan Konservasi terdiri dari Cagar Alam CA, Suaka Margasatwa SM, Taman Nasional TN, Taman Wisata Alam TWA, Taman Hutan Raya THR dan Taman Buru
TB. Hutan Konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Di Provinsi
Lampung, Hutan Konservasi yang telah ditunjuk dan ditetapkan adalah 1 unit Cagar Alam Laut, 1 Unit Taman Hutan Raya dan 2 unit Taman Nasional seperti rincian pada Tabel 2.4.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 6 Gambar 2.1 Peta kawasan hutan di Provinsi Lampung
Tabel 2.4 Penyebaran dan luas hutan konservasi di Provinsi Lampung
No Nama Kawasan
Kabupaten Fungsi
Luas Ha SK Penetapan
1 Pulau Anak
Krakatau Lampung Selatan
CA 13.735,10 85Kpts-II90 tanggal
26 Februari1990 2
Wan Abdul Rachman
Lampung Selatan THR
22.249,13 408Kpts-II93 tanggal 10 Agustus
1993 3
Way Kambas Lampung Tengah
TN 125.621,30 670Kpts-II99
tanggal 25 Agustus 1999
4 Bukit Barisan
Selatan Tanggamus,
Lampung Barat dan Bengkulu
Selatan TN
356.800,01 736MentanX82 tanggal 14 Oktober
1982 5
Taman Nasional BBS
- TWD
100,00 415Kpts-II1992
tanggal 30 April 1992
6 Zona
Pemanfaatan TN- BBS
- WA
100,00 1779Kpts-II1990
tanggal 6 Oktober 1990
Total 518.605,54
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2008
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 7
Hutan Produksi
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256Kpts-II2000 tanggal 23 Agustus 2000 kawasan Hutan Produksi di wilayah Provinsi Lampung ditetapkan
seluas 225.090 ha dengan rincian: Hutan Produksi Terbatas dengan luas 33.358 ha 14,82 dan Hutan Produksi Tetap seluas 191.732 ha 85,18. Tetapi dengan adanya
beberapa perubahan atau pengurangan luas kawasan hutan untuk penggunaan areal lahan lainnya di luar atau non kehutanan, maka luas kawasan hutan produksi di wilayah Provinsi
Lampung menjadi seluas 208.631,09 ha dengan rincian sebagai berikut: Hutan Produksi Terbatas dengan luas 33.358 ha 16 dan Hutan Produksi Tetap dengan luas 175.273,09
ha 84. Pengelolaan hutan dengan pihak ketiga, yaitu Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
HP HTI yang masih berjalan saat ini di Provinsi Lampung adalah seluas 146.587 ha dengan perincian sebagai berikut: PT. Inhutani V 57.779 ha, PT. Silva Inhutani Lampung
42.762 ha, PT. Dharma Hutan Lestari 36.446 ha, tidak aktifdiusulkan dicabut hak pengusahaannya, dan PT. Budi Lampung Sejahtera 9.600 ha
Untuk lebih jelasnya pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Tetap KHP dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas KHPT di wilayah Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2.5
berikut ini. Tabel 2.5 Hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas di Provinsi Lampung
Kawasan Hutan ha Pengelolaan oleh ha
Kabupaten Nama
Luas PT SIL
PT BLS PT Inhutani
PT DHL Swakelola
Lampung Barat
Kelompok HPT Pesisir
33.358,00 -
- -
- 33.358,00
Lampung Timur
KHP Gedung Wani Ds
Reg.5,35,37,40 4.483,00
- -
- 4.483,00
- Lampung
Utara KHP Way
Hanakau 177,71
- -
177,71 -
- KHP Way Pisang
Reg.1 8.795,00
- -
- 8.795,00
- Lampung
Selatan KHP Pematang
Taman Reg.2 906,00
- -
- 906,00
KHP Tangkit Titi Bungur 1 Reg.18
1.389,00 -
- 1.389,00
- -
KHP Gedong Wani Ds. Reg.5, 35, 37,
dan 40 25.948,00
- -
- 22.262,00
3.686,00
Jumlah 37.038,00
- -
- -
- Lampung
Tengah KHP Way Terusan
Reg. 47 12.500,00
- -
- -
12.500,00 KHP Giham Tahmi
12.500,00 -
- -
- 12.500,00
KHP Rebang Reg.42
13.151,50 -
- 13.151,50
- -
KHP Sungai Muara Dua Reg.44
21.172,58 -
- 21.172,58
- -
KHP Way Hanakau Reg.46
20.017,29 -
9.600,00 10.417,29
- -
Way Kanan
Jumlah 66.841,37
KHP Sungai Muara Dua Reg.44
11.470,92 -
- 11.470,92
- -
Tulang Bawang
KHP Sungai Buaya Reg.45
42.762,09 42.762,09
- -
- -
Jumlah 54.233,01
- -
- -
-
Total 196.131,09
42.762,09 9.600,00
57.779,00 36.446,00
62.044,00
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 8
4 Luas Lahan Kritis
Kerusakan lahan dapat diindikasikan dengan penurunan luas kawasan bervegetasi, meningkatnya tingkat erosi dan sedimentasi, dapat terjadi di kawasan hutan dan di luar
kawasan hutan. Kerusakan lahan tersebut selanjutnya menyebabkan makin meluasnya lahan kritis. Penetapan lahan kritis mengacu pada lahan yang telah sangat rusak karena
kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon.
Berdasarkan kondisi vegetasinya, kondisi lahan dapat diklasifikasikan sebagai : sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan kondisi normal.
Luas lahan kritis di Provinsi Lampung pada tahun 2008 mencapai 3.332.028,30 ha yang tersebar di 10 kabupatenkota, TN Way Kambas, dan TN Bukit Barisan Selatan. Luas lahan
kritis ini meningkat 300,20 ha dibandingkan pada tahun 2007 yang luasnya 3.331.728,10 ha. Kabupaten Tulang Bawang memiliki lahan kritis yang cukup luas dibandingkan
kabupatenkota lainnya, yaitu 656.391,50 ha. Lampung Tengah menduduki urutan kedua dengan luas lahan kritis mencapai 461.777,80 ha. Berdasarkan tingkat kekritisannya, 5,26
lahan di Provinsi Lampung tergolong sangat kritis, 10,04 kritis, 35,29 agak kritis, 29,96 kritis, dan hanya 19,45 tergolong tidak kritis.
Tabel 2.6 Luas lahan kritis di Provinsi Lampung tahun 2008
Sangat Kritis Kritis
Agak Kritis Potensi Kritis
Tidak Kritis
1 Bandar Lampung
3.950,80 5.177,40
13.231,50 5.353,70
241,60 27.955,00
0,84 2
Metro -
0,20 2.448,30
349,50 3.977,90
6.775,90 0,20
3 Tulang Bawang
37.795,70 4.542,30
267.738,60 184.798,10
161.516,80 656.391,50
19,70 4
Way Kanan 13.706,90
45.457,40 157.413,20
58.362,80 73.908,00
348.848,30 10,47
5 Tanggamus
53.249,60 90.106,80
148.052,50 28.703,00
30.757,10 350.869,00
10,53 6
Lampung Selatan 25.470,90
45.625,30 88.409,10
134.212,00 30.690,70
324.408,00 9,74
7 Lampung Timur
965,80 1.462,70
50.100,10 113.991,00
102.230,10 268.749,70
8,07 8
Lampung Tengah 7.434,10
13.610,70 106.129,80
188.252,70 146.350,50
461.777,80 13,86
9 Lampung Utara
8.663,20 17.191,80
108.336,70 85.694,00
28.641,60 248.527,30
7,46 10
Lampung Barat 23.409,80
87.037,40 109.647,10
34.775,80 15.695,70
270.565,80 8,12
11 BTNWK
3,90 2.730,10
73.453,80 48.058,60
4.123,20 128.369,60
3,85 12
BBTNBBS 546,60
21.705,20 50.972,30
115.610,90 49.955,40
238.790,40 7,17
175.197,30 334.647,30
1.175.933,00 998.162,10
648.088,60 3.332.028,30
100,00 5,26
10,04 35,29
29,96 19,45
100,00
Jumlah Ha Persentase
No Lokasi
Luas Tingkat Kekritisan Lahan Ha Jumlah Ha
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2008
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 9
KEANEKARAGAMAN HAYATI
1 Gambaran Keanekaragaman Hayati
Propinsi Lampung dengan luas daratan 3,5 juta ha memiliki 1,237 juta ha kawasan hutan dan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi seluas 422.500 ha 12,8. Selain kawasan
konservasi hutan, Lampung memiliki kawasan konservasi laut, kepulauan, dan beberapa lokasi yang diusulkan sebagai taman buru, suaka marga satwa, dan cagar alam rawa air tawar
sebagai habitat berbagai jenis burung air. Berdasarkan letaknya, kawasan-kawasan konservasi tersebut, sebagian arealnya meliputi wilayah pesisir dan berbatasan langsung dengan laut
seperti, Taman Nasional dan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan di Pantai Barat dan TN Way Kambas di Pantai Tirnur. Di Selat Sunda terdapat Cagar Alam Laut Gugus Kepulauan
Krakatau. Berdasarkan data BKSDA Provinsi Lampung 2009 diketahui jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi berdasarkan PP No.71999 pada tahun 2008 masing-masing berjumlah 43 untuk tumbuhan dan 74 untuk satwa liar. Jenis tumbuhan yang dilindungi sebagian besar merupakan
kelas Orchidaceae, jenis lainnya adalah dari kelas Nephentaceae dan Dipterocarpaceae. Satwa liar yang dilindungi terdiri dari berbagai jenis satwa yang termasuk dalam kelas mamalia, aves,
reptilia, pisces, insekta, crustacea, dan anthozoa. Tabel 2.7 Jumlah jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Provinsi Lampung 2008
No. Kelompok
Kelas Jumlah Jenis
Orchidaceae 29
Nephentaceae 1
1. Tumbuhan
Dipterocarpaceae 13
Jumlah 43
Mamalia 18
Aves 6
Reptilia 20
Pisces 2
Amphibia Insecta
13 Crustacea
14 2.
Satwa liar
Anthozoa 1
Jumlah 74
Sumber: BKSDA Provinsi Lampung 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 10
2 Fauna
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006, jumlah satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang pada tahun 2005 yang meliputi Unit Kerja BKSDA II, BTN BBS, BTN
Way Kambas dan UPTD Tahura seluruhnya berjumlah 176 ekor seperti yang tertera pada Tabel 2.7. Adapun penyebaran satwa liar di sekitar Tahura Wan Abdul Rachman digambarkan pada
Gambar 2.2. Faunasatwa liar yang terdapat di kawasan hutan di Provinsi Lampung tersebar di berbagai
habitat yang merupakan wilayah TN Way Kambas, TNBBS, hutan lindung di Lampung Utara, Lampung Barat, Lampung Selatan, dan Tanggamus, hutan pantai, hutan rawa serta di perairan
laut. Menurut Wiryawan dkk 2002 jenis-jenis fauna yang terdapat di kawasan konservasi di Provinsi Lampung meliputi berbagai mamalia, aves, reptilia, amfibi dan reptilia seperti yang
tertera pada Tabel 2.9. Tabel 2.8
Jumlah satwa yang dilindungi undang-undang menurut unit kerja Satuan ekor
Jenis Satwa yang Dilindungi No.
Unit Kerja
Mamalia Aves
Reptilia Amfibia
Pisces Incasia
Moluska Crustacea
1 BKSDA II
34 34
5 -
2 1
7 2
2 BTN BBS
21 20
5 -
- -
- -
3 BTN Way
Kambas 20
25 2
- -
1 -
- 4
UPTD Tahura
- -
- -
- -
- -
Jumlah 75
79 12
- 2
2 7
2
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006
Menurut Noor dkk 1994 di sekitar perairan umum di Kabupaten Tulang Bawang terdapat berbagai jenis ikan air tawar. Jenis-jenis tersebut diantaranya ada terancam punah
endangered, seperti ikan arwana, pari himantura, dan ketutung. Ada pula yang termasuk dalam IUCN Red List, seperti ikan gejubang atau lebih dikenal dengan nama botia. Ikan-ikan
tersebut sebagian besar hidup di perairan umum, baik di sungai ataupun rawa-rawa air tawar yang banyak terdapat di Kabupaten Tulang Bawang. Saat ini keberadaan ikan-ikan air tawar
tersebut semakin menurun jumlahnya akibat masih adanya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti menangkap ikan dengan menggunakan arus listrik dan jaring togok
stownet dengan mesh size berukuran kecil.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 11 Tabel 2.9 Jenis-jenis faunasatwa liar yang dilindungi UU dalam kawasan hutan di Provinsi Lampung
Sumber : Wiryawan dkk 2002
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 12 Gambar 2.2 Sebaran satwa liar di kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Register 19
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 13 Tabel 2.10. Jenis-jenis ikan air tawar lokal di Provinsi Lampung
Sumber : Noor dkk 1994 Keterangan : --- tidak termasuk IUCN Red List
Berbagai jenis satwa liar yang dilindungi mengalami tekanan akibat diburu manusia maupun karena perubahan lingkunganhabitat hidupnya. Perburuan yang dilakukan oleh pemburu
terhadap gajah, misalnya, disebabkan permintaan gading gajah di pasar gelap cukup tinggi. Pada 7 Agustus 2009 terjadi pembunuhan gajah jinak di Pusat Latihan Gajah PLG TN Way
Kambas dengan tujuan untuk diambil gadingnya. Upaya penyelundupan daging trenggiling yang berhasil digagalkan BKSDA Lampung pada 18
November 2008 juga membuktikan bahwa perburuan satwa liar yang dilindungi masih marak dilakukan oleh pemburu gelap. Daging treggiling yang telah dikuliti ini rencananya akan
diselundupkan ke Pulau Jawa.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 14 Gambar 2.4 Penyelundupan daging trenggiling yang digagalkan Polhut dan BKSDA Provinsi
Lampung pada 18 November 2008 Dokumentasi BKSDA Provinsi Lampung Gambar 2.3
Pembunuhan gajah di PLG TNWK untuk diambil gadingnya
Sumber: Radar Lampung 8 Agustus 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 15
3 Tumbuhan
Vegerasi yang terdapat di kawasan hutan di Provinsi Lampung cukup banyak jenisnya, baik di kawasan taman nasional, wisata, hutan lindung maupun hutan produksi. Berdasarkan data
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006 diketahui bahwa setidaknya terdapat ratusan jenis tumbuhan, mulai dari pohon, liana, vegetasi bawah, dan lain-lain. Beberapa contoh vegetasi
yang ada disajikan pada Tabel 2.11. Menurut Wiryawan dkk 2002, di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terdapat berbagai jenis
vegetasi hutan hujan tropika basah yang membentang di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Di dataran tinggi dan dataran rendah TNBBS ini umumnya vegetasi didominasi oleh tumbuhan
marga Lauraceae, Dillentaceae, Dipterocapaceae, Myrtaceae dan Fagaceae. Di hutan pantai terdapat bunga bangkai Amorphophalus sp sebagai bunga bangkai tertinggi di dunia dan bunga
raflesia Rafflesia arnoldi yang dikenal sebagai bunga terbesar di dunia. Di wilayah TNBBS bagian barat yang berbatasan dengan pemukiman penduduk terdapat zona penyangga berupa
hutan damar Shorea javanica yang menghasilkan resin. Resin damar ini memberikan nilai ekonomi bagi mayarakat sekitarnya dan merupakan produk khas Kabupaten Lampung Barat.
Berbeda dengan TN BBS, Taman Nasional Way Kambas memiliki berbagai tipe vegetasi rendah seperti hutan pantai, mangrove, hutan gambut dan rawa pasang surut, rawa air asin, serta hutan
dataran rendah. Pada hutan pantai berpasir banyak ditumbuhi oleh cemara laut Casuarina equisetifolia
, waru Hibiscus tiliaceus, ketapang Terminalia catappa dan pandan duri Pandanus spinosus. Vegetasi hutan mangrove yang terdapat di muara sungai didominasi oleh
api-api Avicennia sp, buta-buta Bruguira sp, dan semakin ke hulu dijumpai formasi nipah Nypa sp, nibung Oncosperma tigilaria, palem merah Cyrtostachys lakka, gelam Malaleuca
spp, dan rengas Gluta renghas. Pada areal yang lebih tinggi dan relatif tidak berupa rawa terdapat jenis pohon perwakilan dari tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah, seperti minyak
Dipterocarpus retutus, merawan Hopea sp, meranti Shorea sp, jabon Anthocephalus chinensis
, puspa Schima wallichii dan sempur Dillenia excelsa yang membentuk hutan sekunder Wiryawan dkk, 2002.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 16 Tabel 2.11 Beberapa contoh flora di kawasan hutan di Provinsi Lampung
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2006
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 17
AIR
1 Sungai
Air permukaan di Provinsi Lampung tersebar pada berbagai tipe, seperti sungai, danau, rawa, waduk, embung, dan lan-lain. Sumberdaya air ini tersebar di lima daerah river basin.
Bagian terbesar dari hulu river basin ini berada di Kabupaten Lampung Barat, sebagian Lampung Utara, dan sebagian Tanggamus. Pada beberapa wilayah tertentu kondisinya
sudah cukup kritis, hutan sudah semakin terbuka, dan adanya kegiatan budidaya pertanian tanpa konservasi, sehingga akan sangat besar pengaruhnya pada penyimpanan
sumberdaya air untuk irigasi di hilirnya. Daerah river basin ini merupakan daerah yang terbesar di sepanjang sungai besar yaitu:
1. Daerah River Basin Tulang Bawang terletak di utara hingga ke arah barat, melewati wilayah Kabupaten Lampung Utara, Way Kanan, hingga Tulang Bawang, seluas
10.150 km
2
dengan panjang 753,5 km dengan 9 cabang anak sungai membentuk pola aliran dendritic, yang merupakan ciri umum sungai-sungai di Lampung.
Kepadatan pola aliran sebesar 0,07 dan frekuensi pola aliran 0,0009. 2. Daerah River Basin Seputih terletak di bagian tengah wilayah bagian barat Lampung
Tengah ke arah Metro dan Lampung Timur. Luas river basin ini mencapai 7.550 km
2
. Jumlah cabang sungai sebanyak 14 buah dengan kepadatan pola aliran 0,13 dan frekuensi pola aliran 0,0019.
3. Daerah River Basin Sekampung terletak di sebagian besar wilayah Kabupaten Tanggamus, Lampung Tengah, Lampung Selatan bagian Utara, hingga ke arah
Timur. Luas river basin ini mencapai 5.675 km
2
dengan panjang 6.223 km dari 12 cabang sungai. Pola aliran mencapai kepadatan 0,11 dan frekuensinya mencapai
0,021. 4. Daerah River Basin Semaka terletak di wilayah Kabupaten Tanggamus bagian
Selatan Barat ke arah Pantai Selat Sunda bagian barat. Luas River Basin ini 1.525 km
2
dengan panjang 189 km, density pola aliran 0,12 dan frekuensi pola aliran 0,0052.
5. Daerah River Basin Way Jepara terletak di Kabupaten Lampung Timur, dengan luas 800 km
2
panjang seluruh sungai 108.5 km, jumlah cabang sungai 3 buah dan pola aliran dengan kepadatan 0,14 serta frekuensinya 0,0038.
Daerah River Basin ini sebagian besar dimanfaatkan sebagai daerah pengembangan sawah irigasi teknis seluas hampir 295.544 ha areal potensial 285.376 ha, areal baku 264.768 ha,
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 18 dan areal fungsional 190.959 ha. Wilayah yang sedang dikembangkan adalah di River
Basin Mesuji Tulang Bawang, yang sebagian areal irigasinya berada di Sumatera Selatan Irigasi Komering yang mampu mengairi areal sawah seluas 120.000 ha. Untuk Sumatera
Selatan 75.000 ha, sedangkan Provinsi Lampung memperoleh manfaat untuk luas 45.000 ha yang tersebar di Kabupaten Way Kanan dan Tulang Bawang.
Dilihat dan ratio debit musim hujan dan musim kemarau, hampir seluruh daerah aliran sungai mencatat angka fluktuasi debit air yang tinggi dari 61,08 hingga 429,77, kecuali
Way Semangka 6,7 dan Way Rarem 23,24. Kondisi ini menyebabkan kekurangan air pada musim kemarau, tetapi kelebihan air pada musim hujan. Penyebab utamanya adalah
rusaknya fungsi hidrologis kawasan hutan lindung dan kondisi tanah setempat yang relatif porous
. Perbedaan debit air sungai pada musim hujan dan musim kemarau yang cukup besar memberikan dampak terhadap ketersediaan air untuk irigasi, khususnya pada musim
kemarau. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan pengendalian tata air yang memungkinkan pemanfaatan curah hujan secara optimal bagi kebutuhan air pada musim kemarau, yang
antara lain dapat diupayakan melalui pembangunan waduk atau embung. Di Provinsi Lampung terdapat 5 sungai besar dan sekitar 33 sungai kecil, yang membentuk
5 Daerah Aliran Sungai DAS utama, yaitu: DAS Sekampung, DAS Mesuji, DAS Semangka, DAS Seputih dan DAS Tulangbawang. Lima sungai besar tersebut ditetapkan menjadi 3
tiga Satuan Wilayah Sungai SWS oleh Departemen Pekerjaan Umum, yaitu: SWS Mesuji-Tulang Bawang, SWS Seputih-Sekampung, dan SWS Semangka. Luas ketiga SWS
tersebut sama dengan luas daratan Provinsi Lampung yang menyimpan potensi sumberdaya air dari hulu sampai ke hilir. Ketiga satuan wilayah sungai tersebut merupakan
rangkaian beberapa daerah aliran sungai DAS yang dibatasi oleh garis ketinggian yang memisahkan aliran jatuhnya curah hujan pada setiap wilayahnya. Jumlah luasan dan
potensi ketersediaan air permukaan di Provinsi Lampung tertera pada Tabel 2.12. Sekitar 80 sungai-sungai di wilayah Lampung mengalir ke arah timur dan bermuara di Laut
Jawa, seperti Way Mesuji, Way Tulang Bawang, Way Seputih, dan Way Sekampung; sedangkan Way Semangka bermuara di Teluk Semangka. Sebagian besar sungai-sungai di
Lampung memiliki debit air yang kecil, kecuali Way Sekampung, Way Tulangbawang, dan Way Mesuji yang memiliki debit lebih besar dari 100 m
3
detik. Tabel 2.12 Potensi sumberdaya air permukaan di Provinsi Lampung
No. Satuan Wilayah Sungai SWS
Luas km
2
Potensi Air
juta m
3
thn 1
Mesuji-Tulang Bawang 16.610
14.168 2
Seputih-Sekampung 14.650
11.851 3
Semangka 6.083
7.323
Jumlah 37.343
33.342
Sumber: Bappeda 2000
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 19 Gambar 2.5 Peta DAS-DAS Utama di Provinsi Lampung Sumber: Wiryawan dkk., 2002
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 20 Sungai-sungai di Pantai Timur berkaitan erat dengan 207.800 hektare rawa dan paya-paya
yang pernah ada. Sebagian besar rawa dan paya-paya ini telah diubah menjadi lahan pertanian utau perkebunan dalam program transmigrasi besar-besaran. Sungai-sungai di
wilayah Teluk Lampung dan Pantai Barat umumnya memiliki daerah tangkapan air yang sempit, karena daerahnya yang terjal atau berlereng pengaruh pegunungan Bukit Barisan.
Semua sungai, kecuali beberapa di Pantai Barat Lampung, mempunyai variasi debit air yang nyata. Ini menunjukan besarnya pengaruh musim terhadap sungai-sungai tersebut.
Tabel 2.13. Luas daerah tangkapan dan debit air beberapa sungai utama di Provinsi
Lampung
No. Nama Sungai
Luas daerah tangkapan ha Kisaran debit
m
3
dtk 1
Mesuji Sebagian besar di Sumsel
155 2
Tulang Bawang 1.015.000
80-360 av.200 3
Seputih 755.000
3-48 av. 26 4
Way Jepara 88.000
36 5
Way Kambas 44.000
10 6
Sekampung 567.000
216 7
Semangka 152.500
0,18-247 av.67,5 8
Krui 66.000
40 9
Pemerihan 33.000
13 Sumber: Wiryawan dkk 2002
Daerah tangkapan sungai-sungai besar yang mengalir ke timur dalam kondisi kritis. Tingkat kekeruhan air bertambah tinggi karena erosi tanah lebih dan 60 hutan lindung telah
dikonversi menjadi perkebunan oleh para perambah. Kegiatan reboisasi tidak dapat mengimbangi laju penggundulan hutan. Lahan kritis dijumpai di seluruh Lampung. Total
lahan kritis kurang lebih 647.747,05 hektar. Hanya sedikit yang sudah diketahui dampak degradasi pada sungai-sungai dan morfologi pesisir debit, endapan, erosi pantai, dan
pelumpuran. Way Tulang Bawang, Way Seputih, Way Jepara, dan Way Sekampung membawa komponen tanah yang besar. Dari Way Seputih saja terangkut sekitar 10,5 juta
ton endapan ke laut setiap tahunnya. Sungai sangat penting dalam pengelolaan kewilayahan karena fungsi-fungsinya untuk
transportasi, sumber air bagi masyarakat, perikanan, pemeliharaan hidrologi rawa, dan lahan basah. Sebagai alat angkut, sungai membawa sedimen lumpur, pasir, sampah, dan
limbah serta zat hara, melalui wilayah pemukiman ke terminal akhirnya, yaitu laut. Dampaknya adalah terciptanya dataran berlumpur, pantai berpasir, dan bentuk pantai
lainnya. Seandainya debit sungai berkurang dan beban penggunaannya makin banyak, maka kualitas air semakin menurun sampai titik resiko yang membahayakan kesehatan
masyarakat dan lingkungan. Daerah tangkapan catchment area yang telah mengalami kerusakan menyebabkan
kuantitas air sungai makin menurun. Hal ini ditunjukkan oleh fluktuasi debit air sungai yang besar antara musim hujan dan musim kemarau. Apabila perbandingan antara debit
minimal dan debit maksimal lebih besar dari 1 : 20, maka daerah tangkapan air tersebut
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 21 sudah mengalami kerusakan. Selain disebabakan erosi dan sedimentasi, penurunan
kualitas air juga disebabkan pencemaran air oleh limbah industri dan rumah tangga. Sebagai gambaran rusaknya daerah tangkapan, ditunjukkan oleh debit sungai, seperti yang
tertera pada Tabel 2.14. Tabel 2.14 Debit air sungai pada beberapa stasiun pengukuran.
Debit sungai Q m
3
det
No Sungai utama
Anak sungai
Q-Min Q-Maks
Lokasi stasiun pengukuran
1 Way Sekampung
Way Sekampung 6.01
516.00 Pujo Rahayu
2 Way Sekampung
Way Sekampung 7.03
110.00 Jurak
3 Way Sekampung
Way Sekampung 5.16
266.00 Kunyir
4 Way Sekampung
Way Sekampung 0.51
383.00 Kresno Widodo
5 Way Sekampung
Way Bulok 0.46
178.00 Dam Gatel
6 Way Sekampung
Way Bulok 0.38
198.00 Bulukerto
7 Way Seputih
Way Tatayan 0.03
18.70 Sindang Asri
8 Way Seputih
Way Pengubuan 2.60
130.00 Terb. Besar
9 Way Seputih
Way Terusan 0.87
104.00 Gunung Batin
10 Way Seputih
Way Seputih 0.84
302.00 Buyut Udik
11 Way Seputih
Pengubuan 0.20
94.60 Blamb. Pagar
12 Way Seputih
Batanghari 0.34
62.30 Raman Fajar
13 Way Tl.Bawang
Way Pedada 2.27
23.20 Banjar Agung
14 Way Tl.Bawang
Way Kanan 9.16
808.00 Pakuan Ratu
15 Way Tl.Bawang
Way Abung 1.20
167.00 Ogan Enam
16 Way Tl.Bawang
Way Rarem 6.90
549.00 Kota Bumi
17 Way Tl.Bawang
Way Giham 4.12
145.00 Rantau Jangkung
18 Way Tl.Bawang
Way Besay 4.50
65.10 Suka Jaya
19 Way Mesuji
Way Mesuji 3.42
77.60 Labuhan Batin
20 Way Semangka
Way Semangka 5.12
84.50 Liwa
Sumber : Dinas PU Pengairan Provinsi Lampung, 1999
Di samping itu terdapat pula potensi sumberdaya air untuk pembangkit tenaga listrik. Berdasarkan data PLN 2001 tercatat ada 4 lokasi sungai pontensial dan 1 waduk, yaitu Way
Semangka Atas upper dengan potensi 75 MW, Way Semangka Bawah lower dengan potensi 76 MW, Way Semung dengan potensi 216 MW, Batu Tegi 2x25 MW, dan Way
Besay dengan potensi 2x45MW.
2 Rawa
Lahan basah utama yang terdapat di Lampung adaah Rawa Jitu, Rawa Pitu, dan Rawa Sragi yang sebagian besar ada di wilayah timur dan timur laut Propinsi Lampung
Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Timur. Fungsi-fungsi lahan basah ini antara lain: sebagai perikanan air tawar, menahan pasang air laut, sebagai kolam raksasa pencegah
banjir, dan tempat suaka aneka burung air. Hingga saat ini sebagian besar rawa-rawa ini telah direklamasi, baik untuk pemukiman, lahan pertanian ataupun yang lainnya, sehingga
fungsinya sebagai penyeimbang ekosistem lahan basah telah hilang Tabel 2.15.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 22 Berdasarkan Tabel 2.15 diketahui bahwa luas rawa-rawa yang belum direklamasi sekitar
48.269 ha 43; sedangkan yang telah berubah fungsi lebih banyak lagi, yaitu sekitar 57. Di wilayah Kabupaten Tulang Bawang terdapat areal lahan basah wetland yang cukup
luas, yaitu hamparan rawa-rawa air tawar di sepanjang DAS Tulang Bawang bagian hilir. Rawa-rawa di DAS Tulang Bawang terhampar di areal seluas lebih kurang 85.723 ha yang
terletak di antara mulut Sungai Tulang Bawang dan Kota Menggala. Pada mulanya hampir 90 persen wilayah ini terdiri dari hutan rawa gelam dan hampir 10 persen berupa hutan
mangrove. Karena kondisi alam yang telah menjadi sekunder, rawa telah mengalami penurunan, baik dalam hal flora maupun faunanya.
Gambar 2.6 Rawa banjiran di Kabupaten Tulang Bawang yang banyak dimanfaatkan untuk aktivitas penangkapan ikan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 23 Tabel 2.15 Nama dan luas rawa-rawa di Provinsi Lampung
KabupatenKota Nama Rawa
Luas ha Keterangan
Rawa Sragi 2.300
Sudah direklamasi Rawa Sulan
1.000 Belum direklamasi
Lampung Selatan Rawa Galih
1.000 Belum direklamasi
Jumlah 4.300
Rawa Sragi 2.300
Sudah direklamasi Lampung Timur
Rawa Sidorahayu 1.000
Belum direklamasi
Jumlah 3.300
Tanggamus Rawa Kijing
1.000 Sudah direklamasi
Jumlah 1.000
Rawa Jitu 20.000
Sudah direklamasi Rawa Pitu
11.993 Sudah direklamasi
Rawa Mesuji Atas 20.730
Sudah direklamasi Rawa Wiralaga
5.000 Belum direklamasi
Rawa Adi Mulya 10.000
Belum direklamasi Rawa Pacing
14.000 Belum direklamasi
Tulang Bawang Rawa Terusan
4.000 Belum direklamasi
Jumlah 85.723
Rawa Seputih Surabaya 3.200
Sudah direklamasi Rawa Betik
3.000 Belum direklamasi
Rawa Pegaduhan 4.000
Belum direklamasi Rawa Tanjung Kramat
2.770 Belum direklamasi
Rawa Bumi Nabung 1.100
Belum direklamasi Rawa Lebong
1.160 Belum direklamasi
Rawa Kelapa Sawit 65
Sudah ditanami Rawa Karet
15 Penahan air
Rawa Kelapa Sawit 200
Lahan Padi Rawa Eman
185 Sawah
Rawa Supri 149
Sawah Rawa Katijan
127 Sawah
Rawa Sarkim 135
Sawah Rawa Iring
89 Sawah
Tirta Gangga 350
Gadu Gentong
50 Sumber air ternak
Rawa Aliran Sungai 750
tanaman padi Rawa Bening
450 tanaman padi
Beker 2
Belum dimanfaatkan Menjangan
1 Belum dimanfaatkan
Kalirejo Wates Agung 120
Belum dimanfaatkan Lampung Tengah
Tippo 51
Belum dimanfaatkan
Jumlah 17.969
Jumlah Total 112.292
Sumber: Balai Besar Mesuji-Sekampung 2007
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 24
3. Air Tanah
Perhitungan potensi air tanah dapat diprediksi melalui pendekatan jumlah dan kapasitas produksi sumur bor dan curah hujan. Dengan asumsi bahwa rata-rata kapasitas sumur bor
10 literdetik yang merupakan 25 dari inflow air tanah yang ada serta inflow air hujan menjadi air tanah sebesar 10, Dinas Pertambangan Provinsi Lampung 2005
memprediksi potensi air tanah di Provinsi Lampung sebesar 8.474 juta m
3
tahun. Berdasarkan Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Lampung diketahui bahwa cadangan air
tanah CAT Kota Bandar Lampung adalah 240 m
3
det Q1 dan 12 m
3
det Q2. Cadangan air tanah Metro-Kotabumi memiliki nilai Q1 1.807 m
3
det dan Q2 35 m
3
det; CAT Kota Agung memiliki nilai Q1 807 m
3
det dan Q2 14 m
3
det. Nilai Q1 dan Q2 cadangan air tanah Talang Padang masing-masing sebesar 315 m
3
det dan 5 m
3
det; sedangkan CAT Gedung Meneng diperkirakan berkisar antara 10 m
3
det Q2 dan 1.090 m
3
det Q1. Untuk wilayah Kota Bandar Lampung diketahui penyebaran potensi air tanah di masing-
masing kecamatan, seperti yang tertera pada Gambar 2.8. Potensi air tanah sedang hingga baik terdapat di sekitar Kelurahan Sukarame, Kecamatan Sukarame; potensi air tanah
sedang meliputi beberapa kelurahan di wilayah Kecamatan Kedaton, Tanjung Karang Pusat, dan sebagian wilayah Kecamatan Tanjung Karang Barat. Kecamatan Sukarame, Tanjung
Karang Timur, Panjang, dan Tanjung Karang Barat memiliki potensi air tanah yang tergoong langka. Beberapa kelurahan di Kecamatan Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, dan
Panjang, yang merupakan wilayah pesisir memiliki potensi air tanah yang dipengaruhi air laut. Dari hasil pengukuran kualitas air sumur penduduk di wilayah tersebut memang sudah
terjadi intrusi air laut berdasarkan kajian Universitas Lampung pada tahun 2007.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 25 Gambar 2.7. Cekungan air tanah di Provinsi Lampung Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Lampung
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 26 Gambar 2.8. Distribusi potensi air tanah di Kota Bandar Lampung
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Lampung
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 27
4 Kualitas Air
Selama tahun 2009 April, Mei, Juni BPLH Provinsi Lampung telah melakukan pengukuran kualitas air pada beberapa sungai, yaitu Way Sekampung, Way Kandis, Way Galih, dan Way
Galih Lunik. Pengukuran kualitas air yang dilakukan pada badan sungai Way Sekampung meliputi beberapa titik pengukuran yang mencakup aliran sungai Way Sekampung di Desa
Tegineneng Kecamatan Tegineneng, Lampung Selatan, Desa Gunung Pasir Raya dan Desa Gunung Raya Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur, Desa Margo Toto
Kecamatan Metro Kibang, Lampung Selatan. Dari hasil analisis STORET untuk masing- masing peruntukan peruntukan golongan mutu air untuk kelas II dan III diketahui bahwa
tingkat pencemaran antara tercemar ringan hingga sedang. Bila dibandingkan dengan hasil pengukuran tahun 2008, ternyata kualitas air beberapa sungai tersebut mengalami
perbaikan. Misalnya, untuk stasiun pengukuran SK-01 Way Sekampung di tahun 2008 tercemar sedang dengan skor -14 mengalami perbaikan di tahun 2009 dengan -6 tercemar
ringan. Way Kandis SK-02 dan Way Galih SK-03 di Kabupaten Lampung Selatan yang pada tahun 2008 tercemar berat, saat ini 2009 kondisinya mengalami perubahan menjadi
tercemar sedang. Tabel 2.16 Perbandingan status mutu air sungai kelas II di daerah pengaliran sungai DPS
Way Sekampung tahun 2008 dan 2009
Tahun 2008 Tahun 2009
Kabupaten Nama Sungai
Skore STORET
Status Pencemaran
Skore STORET
Status Pencemaran
Lampung Selatan
W. Sekampung SK-01 -14
Cemar sedang
-6
Cemar ringan
Lampung Sekampung
Way Kandis SK-02 Way Galih SK-03
Way Galih Lunik SK-04 -36
-36 -20
Cemar berat Cemar berat
Cemar berat
-20 -18
-20
Cemar sedang Cemar sedang
Cemar sedang
Lampung Timur
W. Sekampung SK-05 W. Sekampung SK-06
W. Sekampung SK-07 -20
-26 -26
Cemar sedang Cemar sedang
Cemar sedang
-18 -20
-20
Cemar sedang Cemar sedang
Cemar sedang
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Hasil pengukuran kualitas air secara lengkap pada tahun 2009 untuk masing-masing sungai
disajikan pada Tabel 2.17 hingga Tabel 2.23
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 28 Tabel 2.17 Kualitas air Sungai Way Sekampung SK-01 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 7,22
6,78 6,08
7,22 6,08
6,6933333 6-9
6-9 5-9
2 Suhu
o
C 29
30,2 29,8
30,2 29
29,666667 Dev 3 Dev 3
Dev 5 3
Salinitas 0,01
0,01 0,01
0,0066667 -
- -
4 Daya Hantar Listrik
uscm 75,7
110 127,2
127,2 75,7
104,3 -
- -
5 Oksigen Terlarut
mgL 5,74
5,03 5,47
5,74 5,03
5,4133333 4,0
3,0 6
Padatan TerlarutTDS mgL
36 52
60 60
36 49,333333 1000
1000 2000
7 Kekeruhan
NTU 42,2
298 300
300 42,2
213,4 -
- -
8 BOD
mgL 3,24
2,7 2,44
3,24 2,44
2,7933333 3
-2 6
12 9
COD mgL
5,0002 15,882
13,752 15,88
5 11,544733
25 50
100 10 Sianida CN
mgL 0,005
0,01 0,017
0,017 0,005 0,0106667 0,02
0,02 -
11 Nitrat Nitrogen NO3 - N mgL
0,4931 0,8388
0,7101 0,839
0,493 0,6806667 10
20 20
12 Nitrit Nitrogen NO2 - N mgL
0,072 0,081
0,0147 0,081
0,015 0,0559
0,06 -2
0,06 -2
- 13 Sulfat SO4
mgL 10,329
3,5044 58,866
58,87 3,504 24,233133 400
- -
14 Padatan tersuspensiTSS mgL
26 40,2
14 40,2
14 26,733333
50 400
400 15 Amoniak NH3 - N
mgL 1,1614
0,4819 0,34
1,161 0,34
0,6611 -
- -
16 Minyak Lemak mgL
- -
- 17 MBAS
mgL -
- -
18 Posfat mgL
0,0691 0,167
0,308 0,308
0,069 0,1813667 0,2
-2 1
5 19 Phenol
mgL -
- -
-6 -2
Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas Peruntukan Gol
CEMAR RINGAN Peruntukan Gol
CEMAR RINGAN BMA
Mei-09 BMA
Nilai Skor Peruntukan Gol
Nilai Skor Nilai Storet
Nilai Storet Nilai Storet
Nilai Skor Maks
Rata2 BMA
BMA Kadar
Status Mutu Air utk Kelas II Status Mutu Air utk Kelas III
Status Mutu Air utk Kelas IV Unit
Jun-09 Parameter
No. Apr-09
SK-01 Periode
Min.
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Tegineneng, Kecamatan Tegineneng, Lampung Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 29 Tabel 2.18 Kualitas air Sungai Way Kandis SK-02 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 6,73
6,65 5,49
6,73 5,49
6,29 6-9
-2 6-9
-2 5-9
2 Suhu
o
C 28,3
27,4 27,2
28,3 27,2
27,633333 Dev 3 Dev 3
Dev 5 3
Salinitas 0,01
0,01 0,01
0,01 0,01
0,01 -
- -
4 Daya Hantar Listrik
uscm 149,9
137,2 148,3
149,9 137,2 145,13333
- -
- 5
Oksigen Terlarut mgL
4,33 4,96
4,79 4,96
4,33 4,6933333
4,0 3,0
6 Padatan TerlarutTDS
mgL 71
64 70
71 64
68,333333 1000 1000
2000 7
Kekeruhan NTU
84,5 182
88,1 182
84,5 118,2
- -
- 8
BOD mgL
7,06 6,65
7,41 7,41
6,65 7,04
3 -2
-2 -6
6 -2
-2 -6
12 9
COD mgL
11,161 14,407
10,245 14,41
10,25 11,937667 25
50 100
10 Sianida CN mgL
0,015 0,017
0,005 0,017
0,005 0,0123333 0,02 0,02
- 11 Nitrat Nitrogen NO3 - N
mgL 1,8022
1,2571 0,8928
1,802 0,893 1,3173667
10 20
20 12 Nitrit Nitrogen NO2 - N
mgL 0,1609
0,1687 0,0505
0,169 0,051
0,1267 0,06
-2 -6
0,06 -2
-6 -
13 Sulfat SO4 mgL
18,324 13,63
22,889 22,89
13,63 18,281
400 -
- 14 Padatan tersuspensiTSS
mgL 38
40,4 26
40,4 26
34,8 50
400 400
15 Amoniak NH3 - N mgL
0,4049 0,4355
0,203 0,436
0,203 0,3478
- -
- 16 Minyak Lemak
mgL -
- -
17 MBAS mgL
- -
- 18 Posfat
mgL 0,2224
0,1677 0,2104
0,222 0,168 0,2001667
0,2 1
5 19 Phenol
mgL -
- -
-20 -20
Kadar Periode
Parameter No.
SK-02 Unit
Status Mutu Air utk Kelas III Status Mutu Air utk Kelas IV
Status Mutu Air utk Kelas II Apr-09
Mei-09 Jun-09
Rata2 BMA
Maks Min.
Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas Peruntukan Gol
Peruntukan Gol Peruntukan Gol
Nilai Storet
Nilai Skor Nilai Skor
Nilai Skor BMA
Nilai Storet BMA
Nilai Storet
CEMAR SEDANG CEMAR SEDANG
BMA
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Trikora, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 30 Tabel 2.19 Kualitas air Sungai Way Galih SK-03 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 6,6
6,63 6,09
6,63 6,09
6,44 6-9
6-9 5-9
2 Suhu
o
C 30,6
29,2 29,5
30,6 29,2
29,766667 Dev 3 Dev 3
Dev 5 3
Salinitas 0,01
0,01 0,01
0,0066667 -
- -
4 Daya Hantar Listrik
uscm 122,8
80,6 112,5
122,8 80,6
105,3 -
- -
5 Oksigen Terlarut
mgL 4,32
4,69 4,86
4,86 4,32
4,6233333 4,0
3,0 6
Padatan TerlarutTDS mgL
58 38
53 58
38 49,666667 1000
1000 2000
7 Kekeruhan
NTU 38,1
148 154
154 38,1
113,36667 -
- -
8 BOD
mgL 7,07
7,62 5,46
7,62 5,46
6,7166667 3
-2 -2
-6 6
-2 -6
12 9
COD mgL
14,16 13,047
12,671 14,16
12,67 13,292667 25
50 100
10 Sianida CN mgL
0,005 0,016
0,019 0,019
0,005 0,0133333 0,02 0,02
- 11 Nitrat Nitrogen NO3 - N
mgL 1,9818
1,0861 0,6349
1,982 0,635 1,2342667
10 20
20 12 Nitrit Nitrogen NO2 - N
mgL 0,2163
0,2163 0,0202
0,216 0,02
0,1509333 0,06 -2
-6 0,06
-2 -6
- 13 Sulfat SO4
mgL 19,161
34,301 18,05
34,3 18,05 23,837333 400
- -
14 Padatan tersuspensiTSS mgL
32 36
34 36
32 34
50 400
400 15 Amoniak NH3 - N
mgL 0,588
0,362 0,3382
0,588 0,338
0,4294 -
- -
16 Minyak Lemak mgL
- -
- 17 MBAS
mgL -
- -
18 Posfat mgL
0,2248 0,1141
0,2197 0,225
0,114 0,1862
0,2 1
5 19 Phenol
mgL -
- -
-18 -16
Apr-09 Mei-09
Jun-09 No. Parameter Unit
SK-03 Periode
Kadar Status Mutu Air utk Kelas II
Status Mutu Air utk Kelas III Status Mutu Air utk Kelas IV
Maks Min.
Rata2 BMA
Nilai Storet
Nilai Skor Nilai Skor
Nilai Skor BMA
Nilai Storet BMA
Nilai Storet
CEMAR SEDANG CEMAR SEDANG
BMA Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas
Peruntukan Gol Peruntukan Gol
Peruntukan Gol
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Tegal Sari, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 31 Tabel 2.20 Kualitas air Sungai Way Galih Lunik SK-04 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 7,15
6,94 6,47
7,15 6,47
6,8533333 6-9
6-9 5-9
2 Suhu
o
C 29,7
29,7 28,9
29,7 28,9
29,433333 Dev 3 Dev 3
Dev 5 3
Salinitas 0,01
0,01 0,01
0,01 0,01
0,01 -
- -
4 Daya Hantar Listrik
uscm 184,4
128 167,8
184,4 128
160,06667 -
- -
5 Oksigen Terlarut
mgL 4,37
4,21 5,4
5,4 4,21
4,66 4,0
3,0 6
Padatan TerlarutTDS mgL
87 61
79 87
61 75,666667 1000
1000 2000
7 Kekeruhan
NTU 32,6
89 73
89 32,6
64,866667 -
- -
8 BOD
mgL 9,08
6,66 6,42
9,08 6,42
7,3866667 3
-2 -2
-6 6
-2 -2
-6 12
9 COD
mgL 13,182
10,934 8,6069
13,18 8,607 10,907633
25 50
100 10 Sianida CN
mgL 0,008
0,017 0,011
0,017 0,008
0,012 0,02
0,02 -
11 Nitrat Nitrogen NO3 - N mgL
1,3451 1,076
0,8075 1,345
0,808 1,0762
10 20
20 12 Nitrit Nitrogen NO2 - N
mgL 1,7653
1,502 0,067
1,765 0,067 1,1114333 0,06
-2 -2
-6 0,06
-2 -2
-6 -
13 Sulfat SO4 mgL
9,195 19,351
19,777 19,78
9,195 16,107667 400 -
- 14 Padatan tersuspensiTSS
mgL 30
46 24
46 24
33,333333 50
400 400
15 Amoniak NH3 - N mgL
0,6034 0,9371
0,5759 0,937
0,576 0,7054667 -
- -
16 Minyak Lemak mgL
- -
- 17 MBAS
mgL -
- -
18 Posfat mgL
1,5266 0,3498
0,2033 1,527
0,203 0,6932333 0,2
1 5
19 Phenol mgL
- -
- -20
-20 No. Parameter Unit
SK-04 Periode
Kadar Status Mutu Air utk Kelas II
Status Mutu Air utk Kelas III Status Mutu Air utk Kelas IV
Apr-09 Mei-09
Jun-09 Maks
Min. Rata2
Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas Peruntukan Gol
Peruntukan Gol Peruntukan Gol
BMA Nilai Storet
Nilai Skor Nilai Skor
Nilai Skor BMA
Nilai Storet BMA
Nilai Storet
CEMAR SEDANG CEMAR SEDANG
BMA
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Kemang, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 32 Tabel 2.21 Kualitas air Sungai Way Sekampung SK-05 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 6,72
6,68 6,24
6,72 6,24
6,5466667 6-9
6-9 5-9
2 Suhu
o
C 30,1
30,2 29,8
30,2 29,8
30,033333 Dev 3 Dev 3
Dev 5 3
Salinitas -
- -
4 Daya Hantar Listrik
uscm 85,2
73,9 92,5
92,5 73,9
83,866667 -
- -
5 Oksigen Terlarut
mgL 5,12
5,12 5,29
5,29 5,12
5,1766667 4,0
3,0 6
Padatan TerlarutTDS mgL
41 36
44 44
36 40,333333 1000
1000 2000
7 Kekeruhan
NTU 92,6
266 148
266 92,6
168,86667 -
- -
8 BOD
mgL 4,44
3,69 4,43
4,44 3,69
4,1866667 3
-2 -2
-6 6
12 9
COD mgL
7,1516 11,851
6,9683 11,85
6,968 8,6569667 25
50 100
10 Sianida CN mgL
0,005 0,016
0,009 0,016
0,005 0,01
0,02 0,02
- 11 Nitrat Nitrogen NO3 - N
mgL 1,2305
0,8674 0,61
1,231 0,61
0,9026333 10
20 20
12 Nitrit Nitrogen NO2 - N mgL
0,1711 0,1812
0,0178 0,181
0,018 0,1233667 0,06 -2
-6 0,06
-2 -6
- 13 Sulfat SO4
mgL 14,209
50,475 31,311
50,48 14,21 31,998333 400
- -
14 Padatan tersuspensiTSS mgL
36 40
28 40
28 34,666667
50 400
400 15 Amoniak NH3 - N
mgL 0,5009
0,327 0,3018
0,501 0,302 0,3765667
- -
- 16 Minyak Lemak
mgL -
- -
17 MBAS mgL
- -
- 18 Posfat
mgL 0,095
0,099 0,1822
0,182 0,095
0,1254 0,2
1 5
19 Phenol mgL
- -
- -18
-8 Apr-09
Mei-09 Jun-09
No. Parameter Unit SK-05
Periode Kadar
Status Mutu Air utk Kelas II Status Mutu Air utk Kelas III
Status Mutu Air utk Kelas IV Maks
Min. Rata2
BMA Nilai Storet
Nilai Skor Nilai Skor
Nilai Skor BMA
Nilai Storet BMA
Nilai Storet
CEMAR SEDANG CEMAR RINGAN
BMA Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas
Peruntukan Gol Peruntukan Gol
Peruntukan Gol
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Raya, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 33 Tabel 2.22 Kualitas air Sungai Way Sekampung SK-06 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 6,69
6,7 6,12
6,7 6,12
6,5033333 6-9
6-9 5-9
2 Suhu
o
C 30,2
30,7 30,1
30,7 30,1
30,333333 Dev 3 Dev 3
Dev 5 3
Salinitas 0,01
0,01 0,0033333
- -
- 4
Daya Hantar Listrik uscm
101,8 78,6
100,8 101,8
78,6 93,733333
- -
- 5
Oksigen Terlarut mgL
4,68 4,49
5,24 5,24
4,49 4,8033333
4,0 3,0
6 Padatan TerlarutTDS
mgL 49
37 48
49 37
44,666667 1000 1000
2000 7
Kekeruhan NTU
71,5 319
155 319
71,5 181,83333
- -
- 8
BOD mgL
5,25 4,68
6,42 6,42
4,68 5,45
3 -2
-2 -6
6 -2
12 9
COD mgL
10,705 16,407
9,885 16,41
9,885 12,332333 25
50 100
10 Sianida CN mgL
0,03 0,028
0,005 0,03
0,005 0,021
0,02 -2
0,02 -2
- 11 Nitrat Nitrogen NO3 - N
mgL 1,5678
0,9716 0,6629
1,568 0,663 1,0674333
10 20
20 12 Nitrit Nitrogen NO2 - N
mgL 0,1662
0,1682 0,0131
0,168 0,013 0,1158333 0,06
-2 -6
0,06 -2
-6 -
13 Sulfat SO4 mgL
12,124 51,844
30,314 51,84
12,12 31,427333 400 -
- 14 Padatan tersuspensiTSS
mgL 30
40,8 41
41 30
37,266667 50
400 400
15 Amoniak NH3 - N mgL
0,8113 0,5818
0,5239 0,811
0,524 0,639
- -
- 16 Minyak Lemak
mgL -
- -
17 MBAS mgL
- -
- 18 Posfat
mgL 0,1161
0,1467 0,2188
0,219 0,116 0,1605333
0,2 1
5 19 Phenol
mgL -
- -
-20 -12
No. Parameter Unit SK-06
Periode Kadar
Status Mutu Air utk Kelas II Status Mutu Air utk Kelas III
Status Mutu Air utk Kelas IV Apr-09
Mei-09 Jun-09
Maks Min.
Rata2
Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas Peruntukan Gol
Peruntukan Gol Peruntukan Gol
BMA Nilai Storet
Nilai Skor Nilai Skor
Nilai Skor BMA
Nilai Storet BMA
Nilai Storet
CEMAR SEDANG CEMAR SEDANG
BMA
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Gunung Raya, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 34 Tabel 2.23 Kualitas air Sungai Way Sekampung SK-07 tahun 2009
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
Maks Min. Rata2
1 pH
--- 6,66
6,49 5,66
6,66 5,66
6,27 6-9
6-9 5-9
2 Suhu
o
C 29,2
27,9 29,3
29,3 27,9
28,8 Dev 3
Dev 3 Dev 5
3 Salinitas
- -
- 4
Daya Hantar Listrik uscm
95,2 102,2
92,8 102,2
92,8 96,733333
- -
- 5
Oksigen Terlarut mgL
5,34 5,85
4,7 5,85
4,7 5,2966667
4,0 3,0
6 Padatan TerlarutTDS
mgL 46
48 44
48 44
46 1000
1000 2000
7 Kekeruhan
NTU 63,9
309 119
309 63,9
163,96667 -
- -
8 BOD
mgL 3,63
9,67 5,42
9,67 3,63
6,24 3
-2 -2
-6 6
-2 -6
12 9
COD mgL
6,0107 11,292
12,572 12,57
6,011 9,9582333 25
-2 50
100 10 Sianida CN
mgL 0,019
0,007 0,014
0,019 0,007 0,0133333 0,02
0,02 -
11 Nitrat Nitrogen NO3 - N mgL
1,115 1,2169
0,4887 1,217
0,489 0,9402
10 20
20 12 Nitrit Nitrogen NO2 - N
mgL 0,1319
0,1319 0,0124
0,132 0,012 0,0920667 0,06
-2 -6
0,06 -2
-6 -
13 Sulfat SO4 mgL
23,292 48,009
27,667 48,01
23,29 32,989333 400 -
- 14 Padatan tersuspensiTSS
mgL 24
44,2 22
44,2 22
30,066667 50
400 400
15 Amoniak NH3 - N mgL
0,6432 0,2756
0,3206 0,643
0,276 0,4131333 -
- -
16 Minyak Lemak mgL
- -
- 17 MBAS
mgL -
- -
18 Posfat mgL
0,0974 0,1244
0,1999 0,2
0,097 0,1405667 0,2
1 5
19 Phenol mgL
- -
- -20
-16 Apr-09
Mei-09 Jun-09
No. Parameter Unit SK-07
Periode Kadar
Status Mutu Air utk Kelas II Status Mutu Air utk Kelas III
Status Mutu Air utk Kelas IV Maks
Min. Rata2
BMA Nilai Storet
Nilai Skor Nilai Skor
Nilai Skor BMA
Nilai Storet BMA
Nilai Storet
CEMAR SEDANG CEMAR SEDANG
BMA Hasil Perhitungan STORET dan Kesimpulan Peruntukan Golongan Mutu Air Masing-masing Kelas
Peruntukan Gol Peruntukan Gol
Peruntukan Gol
Sumber: BPLH Provinsi Lampung 2009 Keterangan : Lokasi pengukuran di Desa Margo Toto, Kecamatan Metro Kibang, Lampung Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 35
UDARA
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di kota-kota besar di Provinsi Lampung, terutama di Kota Bandar Lampung, telah meningkatkan kegiatan industri dan transportasi yang berkontribusi
pada penurunan kualitas udara ambien dan atmosfer. Penurunan kualitas udara ambien ini terjadi karena emisi yang berasal dari industri, transportasi, domestik, ataupun aktivitas
lainnya. Emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas tersebut ada yang bersifat gas rumah kaca, seperti CO
2
, CH
4
, dan N
2
O, yang dapat mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam skala mikro, pencemaran udara dalam ruangan juga merupakan
ancaman yang perlu mendapat perhatian. Sebagai pusat permukiman dan berbagai aktivitas penduduk, Kota Bandar Lampung juga
menjadi pusat berbagai permasalahan. Salah satunya adalah kualitas udara. Dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara, maka pemerintah daerah berkewajiban melakukan pengendalian pencemaran udara. Sumber pencemaran udara dapat dibedakan atas sumber bergerak sarana transportasi
dan sumber tidak bergerak yang pada umumnya berasal dari kegiatan industri.
1 Kajian Kualitas Udara oleh PPLH Universitas Lampung
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unila yang diketuai oleh Prof. KES Manik telah melakukan kajian kualitas udara di Kota Bandar Lampung pada Oktober 2008. Berdasarkan
hasil penelitian Manik dkk 2008 diketahui beberapa parameter kualitas udara di Kota Bandar Lampung yang meliputi paramater fisik dan kimia. Parameter fisik diantaranya
adalah: suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, arah angin, cuaca, debu, dan kebisingan, sedangkan parameter kimia yaitu : NO
x,
CO, SO
x
, plumbum, NH
3,
dan H
2
S. Hasil pengukuran kualitas udara tersebut tertera pada Tabel 2.24.
Hasil penelitian kualitas udara di beberapa titik di Kota Bandar Lampung, sebagaimana disajikan pada Tabel 2.24 menunjukkan bahwa secara umum keadaan parameter kualitas
udara di Kota Bandar Lampung, masih berada di bawah baku mutu lingkungan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-13MENLH31995, tentang: Baku Mutu Emisi
Sumber Bergerak, kecuali kebisingan. Di hampir semua titik pengamatan, kebisingan sudah melebihi nilai ambang batas Baku Mutu Lingkugan BML berlaku. Kebisingan
tertinggi terjadidi terminal Rajabasa. Kebisingan ini terutama disebabkan oleh kendaraan bermotor. Hasil analisis menunjukkan bahwa angka kebisingan berkorelasi positif dengan
banyaknya unit kendaraan SMP dengan mengikuti persamaan dan grafik sebagaimana disajikan pada Gambar 2.10.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 36 Tabel 2.24 Kandungan beberapa variabel kualitas udara di beberapa tempat di Kota Bandar Lampung pada Oktober 2008
Lokasi NO
PARAMETER Satuan
B M L
1 2
3 4
5 6
7 A
PARAMETER FISIK
1. S u h u q C
-- 32
33 34
29 32
31 31
2. Kelembaban RH
-- 57
60 59
63 58
60 68
3. Kecepatan Angin mdet
-- 0,17
0,20 0,08
0,15 0,20
0,18 0,27
4. Tekanan Udara mm Hg
-- 760
760 760
760 760
760 760
5. Arah Angin --
B – T B – T
B – T B – T
B – T T-B
B-T 6. Cuaca
-- Cerah
Cerah Cerah
Cerah Cerah
Cerah Cerah
7. Debu µgNm
3
230 187
195 138
115 164
158 71
8. Kebisingan dBA
70 70–71
72–73 73–74
66–67 74–75
68– 69 46–47
B PARAMETER KIMIA
9. NO
x
µgNm
3
150 40,35
52,46 51,42
22,46 55,90
42,60 8,65
10. CO µgNm
3
10.000 1750
1900 3100
1200 2300
1500 1100
11. SO
x
µgNm
3
365 58,42
71,28 60,90
60,35 69,80
60,35 10,20
11. Plumbum µg Nm
3
2 0,015
0,025 0,017
0,006 0,017
0,010 0,005
13. NH
3
mgL 2
0,005 0,006
0,005 0,005
0,006 0,005
0,005 14. H
2
S mgL
0,02 0,005
0,005 0,005
0,005 0,005
0,005 0,005
Sumber: Manik dkk 2008 Keterangan:
1 Jalan Laksamana Malahayati Depan Hotel Sahid 10.05 - 11.05 2 Areal Pelabuhan Panjang Pintu Masuk Pelabuhan 11.15 – 12.15
3 Pasar Bawah Depan Masjid At Taqwa 12.25 – 13-25 4 Pintu Gerbang Unila Jl. Pagar Alam 09.05 – 10.05
5 Terminal Rajabasa Depan Penantian Utama 10.15- 11.15 6 Perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Karang Anyar 12.00 – 13.00
7 Batu Putu 14.00 – 15.00
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 37 Gambar 2.9 Lokasi pengukuran kualitas udara di Bandar Lampung pada Oktober 2008
Gambar 2.10 Korelasi antara jumlah unit kendaraan SMP dengan kebisingan dBA
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 38 Di antara kendaraan bermotor, jenis yang memberikan kontribusi terbesar pada kebisingan
adalah kelompok angkutan perkotaan angkot dan pickup. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kelompok kendaraan tersebut tersebut menimbulkan kebisingan
dengan mengikuti persamaan dan koefisien determinasi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.11. Dibandingkan dengan kelompok kendaraan lain, kelompok kendaraan tersebut
menghasilkan koefisien determinasi tertinggi.
y = 35,858x
0,1089
R
2
= 0,6604
10 20
30 40
50 60
70 80
90
200 400
600 800
1000 1200
1400
Jumlah Kendaraan unit Kebis
ingan dBA
Gambar 2.11 Korelasi antara jumlah unit kendaraan angkot dengan kebisingan dBA Tingginya tingkat kebisingan yang disebabkan oleh angkot diduga selain karena umur
angkot umumnya sudah tua juga mesin dan knalpotnya kurang terawat sehingga menghasilkan suara yang keras. Dengan demikian, untuk mengurangi kebisingan yang
disebabkan oleh angkot maka diperlukan pengaturan atau pembatasan umur kendaraan dan penggunaan knalpot.
Selain kebisingan, kondisi fisik udara kota Bandar Lampung yang menunjukkan kecenderungan menurun adalah kelembaban dan temperatur. Kelembaban di semua titik
pengamatan kurang dari 70. Padahal, rata-rata kelembaban udara di Provinsi Lampung dari tahun 2001 sampai 2004 tidak kurang dari 75. Artinya, secara umum di Kota Bandar
Lampung mulai terjadi penurunan kelembaban udara Lampung Dalam Angka 2006. Sebaliknya, temperatur tertinggi yang mencapai 34
o
C lebih tinggi dari angka rata-rata temperatur di Provinsi Lampung pada bulan Desember yang tidak lebih dari 31
o
C – 32,5
o
C. Debu merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan, terutama di daerah
terbuka. Peningkatan kadar debu di atmosfer akan mengganggu kesehatan manusia dan juga dapat masuk ke rumah-rumah sehingga rumah dan perabotan rumah tangga menjadi
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 39 kotor. Tumbuhan yang daunnya tertutup oleh debu akan terganggu pertumbuhannya karena
fotosintesis tidak berlangsung dengan baik. Kadar debu akan meningkat di udara, terutama pada musim kemarau. Pencemaran akan semakin berat, jika terjadi angin kencang dan lalu
lintas kendaraan cukup padat. Kandungan debu udara yang relatif tinggi terjadi di Jalan Laksamana Malahayati dan di areal Pelabuhan Panjang. Kedua lokasi tersebut terletak di
sekitar pantai dan lebih banyak dilalui kendaraan truk besar dibandingkan dengan lokasi lain.
Dilihat dari aspek kimia udara, seluruh titik pengamatan menunjukkan angka yang masih berada di bawah BML. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa udara Kota Bandar
Lampung relatif masih baik, belum tercemar. Apabila dibandingkan antara satu tempat dengan tempat yang lain, tempat yang kandungan bahan pencemar udaranya relatif tinggi
adalah Jalan Laksamana Malahayati depan Hotel Sahid. Kecuali H
2
S, hampir semua gas pencemar NO
x
, CO, SO
x
, Plumbum, dan NH
3
di lokasi ini memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat lain.
Di atmosfer, NO
x
ditemukan dalam bentuk nitrous oksida N
2
O, nitrit oksida NO, dan nitrogen dioksida NO
2
. NO
x
masuk ke atmosfer melalui proses biologis, terjadinya petir halilintar, dan pembakaran bahan bakar fosil. Di lokasi ini, NO
x
diduga berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, karena di lokasi ini banyak terdapat kendaraan truk besar
yang bongkar muat digudang-gudang. Peningkatan kadar CO di udara terutama bersumber dari bahan bakar yang mengandung
karbon dan terjadinya pembakaran yang tidak sempurna pada mesin. Konsentrasi CO
2
tertinggi terjadi di Pasar Bawah. Gas ini diduga bersumber dari pembakaran bahan bakar kendaraan. Lokasi ini merupakan tempat dengan jumlah kendaraan yang melintas paling
banyak, mencapai 3.430,9 SMP. Senyawa sulfur belerang yang banyak sebagai bahan pencemar adalah SO
2
, H
2
S, dan sulfat. Sumber utama SO
2
di udara adalah bahan bakar batubara dan industri. Selain itu, SO
2
juga berasal dari H
2
S yang dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Seperti tersirat dalam uraian di atas, di lokasi ini banyak
terdapat pergudangan dan pabrik pengolahan yang menggunakan bahan bakar fosil. Selain itu, SO
2
juga bersumber dari proses pembusukan sampah, baik di pantai dan muara sungai. Timah hitam masuk ke atmosfer terutama dari asap indutri dan kendaraan bermotor. Sama
halnya dengan gas-gas lainnya, Pb dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna. Pb di udara berdampak negatif terhadap kesehatan manusia melalui
pernapasan sehingga terjadi akumulasi Pb di dalam darah. Gangguan kesehatan manusia oleh Pb tergantung pada konsentrasinya di dalam darah. Akumulasi Pb dapat
menyebabkan kerusakan sistem saraf, tekanan darah tinggi, cepat lesu, keguguran janin, dan menurunkan kecerdasan anak-anak. Di areal ini, Pb diduga berasal dari pembakaran
bahan bakar kendaraan, terutama kendaraan truk besar yang keluar-masuk gudang dan pabrik.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 40
2 Uji Emisi Kendaraan Bermotor oleh PPLH Regional Sumatera
Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup PPLH Regional Sumatera menilai tingkat emisi di Bandar Lampung masih cukup bagus. Hal tersebut diketahui setelah PPLH Regional
Sumatera melakukan uji emisi kendaraan roda empat di Terminal Rajabasa pada tanggal 17 Juni 2009. Uji emisi yang dilakukan PPLH Regional Sumatera merupakan bentuk apresiasi
kepada Kota Bandar Lampung yang telah mendapat Piala Adipura. Terminal Rajabasa dipilih sebagi lokasi uji emisi karena tempatnya yang leluasa. Terminal Rajabasa juga
merupakan salah satu titik penilaian Adipura. Paramater uji emisi yang diukur mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 05 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraaan Bermotor. Kadar hidrokarbon HC kendaraan berbahan bakar bensin kurang dari 1.200 ppm untuk
kendaraan yang dibuat di bawah tahun 2007. Untuk kendaraan yang dibuat di atas tahun 2007, maka kadar HC tidak lebih dari 200 ppm. Kadar opasitas kendaraan berbahan bakar
solar tidak lebih dari 70 persen. PPLH menguji 330 mobil yang melewati Terminal Rajabasa, terdiri dari 160 mobil berbahan
bakar bensin dan 170 mobil berbahan bakar solar. Hasil uji menunjukkan bahwa emisi di Bandar Lampung masih cukup bagus. Hal itu dilihat dari banyaknya jumlah kendaraan yang
lulus uji. Mobil berbahan bakar bensin yang lulus uji emisi mencapai 105 kendaraan, dan 43 mobil dinyatakan tidak lulus. Sedangkan dua mobil tidak terdeteksi oleh alat uji emisi
kendaraan. Untuk kendaraan berbahan bakar solar, sebanyak 110 mobil berbahan bakar solar dinyatakan lulus uji emisi, sedangkan 48 mobil tidak lulus uji emisi. Sementara itu ada
12 mobil yang tidak terdeteksi. Berdasarkan perhitungan PPLH Regional Sumatera, 71 persen mobil lulus uji emisi, 27 persen tidak lulus uji, dan sisanya tidak terdete
ksi.
Emisi kendaraan yang berupa hidrokarbon dan karbon monoksida CO dapat menimbulkan efek rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global. Efek rumah kaca menimbulkan
kerusakan pada lapisan ozon. Kerusakan lapisan ozon akan disusul dengan makin panasnya suhu bumi. Sehubungan dengan hal tersebut, kadar emisi kendaraan sebagai
salah satu penyumbang gas rumah kaca bisa dikurangi dengan perawatan kendaraan secara rutin, mengurangi perilaku mengemudi dengan putaran mesin tinggi, menggunakan
kendaraan seperlunya, dan penggunaan alat yang dapat mereduksi polutan emisi.
3 Data Pasif Sampler 2008
Data pasif sampler kualitas udara di Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh KLH selama tahun 2008 hanya mencakup parameter SO
2
dan NO
2
. Pengukuran dilakukan di tiga tempat, yaitu: Perumahan Villa Citra yang mewakili daerah pemukiman, PT. Semen
Batubara yang mewakili kawasan industri, dan sekitar Jl. Teuku Umar di depan Kantor PTPN VII yang mewakili transportasi. Hasil pengukuran SO
2
dan NO
2
dan NO
2
tersebut disajikan pada Tabel 2.25.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 41 Tabel 2.25 Data pasif sampler SO
2
dan NO
2
di Bandar Lampung tahun 2008
Lokasi Pengukuran Pemukiman
Industri Transportasi
No. Waktu
Pengukuran SO
2
NO
2
SO
2
NO
2
SO
2
NO
2
1 Juli
--- 38,2
14,2 32,9
9,40 16,7
2 Agustus
6,20 26,9
--- 37,1
7,20 12,8
3 September
4,90 57,5
3,90 54,4
4,70 43,0
4 Oktober
4,40 41,0
9,10 31,2
6,60 470,1
Baku mutu ambien: NO
2
µ gm
3
: 150 SO
2
µ gm
3
: 365 Sumber: KLH 2009
Dari data pasif sampler kualitas udara diketahui bahwa konsentrasi NO
2
dan SO
2
di sekitar pemukiman, industri, dan transportasi di Kota Bandar Lampung tersebut masih berada
dalam kondisi aman, kecuali pada bulan Oktober 2008 kandungan NO
2
menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada Oktober 2008 diketahui bahwa konsentrasi gas NO
2
adalah 470,1 µgm
3
dan nilai ini telah melebihi baku mutu ambien yang ditetapkan sekitar 3 kali lipat. Namun demikian, tidak diketahui secara jelas penyebab gas NO
2
tersebut meningkat secara drastis.
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Manik dkk. 2008 yang juga dilakukan pada bulan Oktober, maka nilai NOx masih berada di bawah baku mutu dan nilainya berkisar antara
8,65-55,90 µ gm
3
. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 2.25. Perbedaan ini bisa saja disebabkan waktu
pengukuran yang berbeda walaupun dalam bulan yang sama, ataupun lokasi pengukuran yang berlainan tempat.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 42
LAUT, PESISIR DAN PANTAI
Provinsi Lampung memiliki wilayah pesisir yang luas dengan garis pantai lebih kurang 1.105 km dan 69 pulau-pulau kecil dengan beragam jenis habitat yang berbeda, termasuk lingkungan
yang dibuat manusia, seperti tambak udang dan perkotaan. Luas wilayah pesisir sekitar 440.010 ha dan luas perairan laut dalam batas 12 mil adalah 24.820,0 km
2
yang merupakan bagian wilayah Samudera Hindia Pantai Barat Lampung, Selat Sunda Teluk Lampung dan
Teluk Semangka, dan Laut Jawa Pantai Timur Lampung.
1 Kualitas Air Laut
Kualitas air di wilayah pesisir dan laut di Provinsi Lampung sangat bervariasi dan umumnya dipengaruhi oleh aktivitas manusia disekitarnya. Berdasarkan data-data penelitian maupun
kajian sebelumnya diperoleh gambaran tentang kondisi kualitas air laut di masing-masing wilayah laut di Provinsi Lampung. Pada umumnya kualitas perairan Pantai Barat Lampung dan
Teluk Semangka masih tergolong baik karena minimnya aktivitas manusia yang berpotensi mencemari lingkungan laut. Sementara di wilayah Teluk Lampung kualitas air laut telah
tercemar limbah industri, terutama di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung; sedangkan di wilayah Pantai Timur Lampung terjadi pencemaran yang umumnya disebabkan oleh limbah
organik yang berasal dari tambak udang.
Pantai Barat
Perairan Pantai Barat yang terletak di sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat umumnya memiliki kualitas air yang masih baik. Di samping karena merupakan perairan laut
bebas yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang bergelombang besar dan dalam, di wilayah pesisir tersebut juga sangat jarang aktivitas manusia yang berpotensi
menimbulkan pencemaran perairan. Menurut Bappeda Lampung Barat 2006, kualitas air di wilayah pesisir Kabupaten Lampung
Barat masih dalam kondisi yang baik dan tidak ada parameter kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu. Dengan demikian, perairan pesisir Kabupaten Lampung Barat belum
mengalami pencemaran.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 43 Tabel 2.26 Kualitas air di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat
Contoh Air Laut No
Parameter Satuan
Baku Mutu
1 2
3 4
5 6
7
1. Suhu
O
C Alami
27,0 26,3
27,7 25,9
28,4 25,4
27,7 2.
Kecerahan Meter
3 3,4
3,1 3,3
3,1 3,2
3,3 3,0
3. Padatan
Tersuspensi mgL
80 25
30 28
27 34
32 36
4. pH
- 6-9
8,9 8,52
8,62 8,66
8,95 8,57
8,55 5.
Salinitas + 10
Alami 4,57
4,56 4,45
4,59 4,58
4,57 4,58
6. Oksigen
Terlarut mgL
4 8,0
7,8 7,4
7,6 8,1
7,3 7,1
7. BOD
mgL 45
31 41
37 40
42 38
43 8.
H
2
S mgL
0,03 0,017
0,02 0,019
0,022 0,024
0,021 0,026
9. Fenol
mgL 0,002
0,0009 0,0011
0,0008 0,0013
0,0012 0,001
0,00014 10.
Tembaga mgL
0.06 0,032
0,034 0,031
0,037 0,03
0,031 0,035
11. Timbal
mgL 0,01
0,0028 0,0031
0,0029 0,0033
0,003 0,0032
0,0034 Sumber: Bappeda Lampung Barat 2006
Keterangan : Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut Budidaya Perikanan Kep MENLH Nomor : KEP-02MENLHI1998
1 – Lemong Koordinat : S.04.58.879’ ; E.10340.441’ 2 – Pesisir Utara Koordinat : S.04.91.171’ ; E.103.44.493’
3 – Karya Penggawa Koordinat : S.05.02.013’ ; E.103.47.097’ 4 – Krui Koordinat : S.05.10.977’ ; E.103.55.962’
5 – Biha Koordinat : S.05.17.774’ ; E.104.00.349’ 6 – Bengkunat BKT Koordinat : S.05.26.169’ ; E.104.06.597’
7 – KP.Jawa BKT Koordinat : S.05.38.013’ ; E.104.18.168’
Teluk Lampung di Wilayah Kota Bandar Lampung
Perairan laut Teluk Lampung pada umumnya memiliki kualitas air yang baik, terutama di wilayah perairan dan di sekitar pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan mainland. Namun demikian di
beberapa tempat yang dekat dengan daratan dimana terdapat aktivitas manusia yang berpotensi menimbulkan pencemaran, seperti di wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung, telah
terjadi pencemaran. Hasil pengukuran kualitas air di perairan Teluk Lampung yang merupakan bagian dari wilayah
pesisir Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 2.27. Dari Tabel 2.27 diketahui bahwa perairan laut di wilayah Kota Bandar Lampung telah mengalami pencemaran. Pencemaran
yang terjadi tidak terlepas dari aktivitas masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah pesisir, seperti kegiatan rumah tangga, pengolahan ikan, dan industri lainnya yang banyak terdapat di
sekitarnya. Selain itu, polutan juga dapat berasal dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Lampung serta dari wilayah lainnya Kabupaten Lampung Selatan. Di wilayah pesisir
Kabupaten Lampung Selatan memang banyak dijumpai tambak udang yang cukup luas dan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 44 berpotensi membuang limbahnya ke laut yang pada akhirnya dapat terbawa arus menuju ke
wilayah laut Kota Bandar Lampung. Dari hasil pengukuran COD dan BOD dapat dipastikan bahwa perairan laut Kota Bandar
Lampung telah mengalami pencemaran bahan organik yang cukup tinggi. Nilai COD di setiap titik pengukuran lebih dari 250 mgl dan beberapa di antaranya melebihi 300 mgl. Demikian
pula halnya dengan nilai BOD, walaupun nilainya masih di bawah baku mutu untuk kehidupan biota laut, namun tidak demikian halnya bagi kegiatan wisata bahari. Beberapa lokasi wisata
bahari yang saat ini berkembang di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung, yaitu Pantai Puri Gading dan Pulau Kubur, ternyata memiliki nilai BOD di atas baku mutu yang ditetapkan. Dari
hasil pengukuran diketahui bahwa di perairan sekitar Gudang Lelang dan PPP Lempasing nilai oksigen terlarut DO di bawah 5 ppm. Kondisi ini diduga disebabkan adanya limbah bahan
organik yang berasal dari pencucian ikan maupun limbah domestik yang masuk ke perairan. Kondisi yang sama juga dapat diamati pada kandungan sulfida yang telah melebihi baku
mutunya, baik yang disyaratkan untuk perairan pelabuhan, wisata bahari, maupun untuk kehidupan biota air. Tingginya kandungan sulfida diduga berasal dari sedimen anaerob yang
banyak mengandung bahan organik di sekitar lokasi pengukuran. Kandungan logam berat Pb, Hg, Cu dan Cd yang diukur di beberapa tempat menunjukkan
keadaan yang bervariasi. Logam Pb terdapat dalam jumlah yang melebihi baku mutu yang ditetapkan untuk biota laut pada lokasi di sekitar perairan laut di depan lahan reklamasi PT.
BBS, perairan di sekitar Pelabuhan Peti Kemas Panjang, di sekitar Pulau Kubur, dan pantai Puri Gading. Keberadaan logam berat Hg umumnya masih berada dalam baku mutu yang
ditetapkan, bahkan di beberapa tempat tidak terdeteksi, namun di sekitar perairan laut di depan lahan reklamasi PT. BBS terdeteksi dalam jumlah yang telah melebihi baku mutu.
Kandungan logam Cu diketahui telah melebihi baku mutu pada beberapa lokasi pengukuran, yaitu di L4, L5, L6, L7, L8, dan L9. Keberadaan logam Cd telah melebihi baku mutu pada
lokasi pengukuran L1, L2, L3, dan L8. Di lokasi L1, yaitu di perairan sekitar lahan reklamasi PT. BBS, kandungan Cd telah mencapai 0,026 ppm atau sekitar 26 kali lipat dari baku mutu yang
ditetapkan. Sumber pencemaran logam-logam berat ini diperkirakan dapat berasal dari aktivitas pelabuhan, docking kapal, ataupun limbah industri yang berasal dari perkotaan yang terbawa
oleh sungai-sungai yang bermuara di sekitar perairan tersebut, seperti sungai Way Belau, Way Sukamaju, Way Keteguhan, dan Way Kunyit. Di wilayah Kecamatan Panjang terdapat aktivitas
bongkar muat batubara, yaitu di DUKS milik PT. Bukit Asam. Pada saat bongkar muat cukup banyak debu-debu batubara yang masuk ke perairan laut. Hal ini juga diduga turut
menyumbangkan sejumlah besar kandungan logam berat di perairan laut di sekitarnya.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 45 Tabel 2.27 Kualitas air laut di wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung
B.M NO.
PARAME- TER
Sat.
Pela- buhan
Wisata Bahari
Biota air
L1 L2
L3 L4
L5 L6
L7 L8
L9 A.
FISIKA : TDS
mgl ---
--- 14.300
14.100 14.200
14.500 14.600
14.800 14.300
14.700 14.500
Suhu °C
Alami Alami
Alami 29,6
29,4 29,9
29,3 29,3
30,4 30,3
31,6 30,5
TSS mgl
80 20
20 3
6 2
1 1
2 7
3
B. KIMIA :
DO mgl
--- 5
5 7,62
3,75 6,61
6,45 8,79
8,66 4,35
6,01 7,02
COD mgl
--- ---
--- 327,2
290,8 308,9
327,2 308,9
327,2 327,2
299,9 290,8
BOD mgl
--- 10
20 18,61
18,03 18,87
16,38 17,49
15,88 16,73
17,77 18,27
Kesadahan mgl
--- ---
--- 986,01
933,21 979,96
999,75 987,11
896,37 1.010,75
1.007,45 995,36
Salinitas ‰
Alami Alami
Alami 33
32 33
35 35
35 34
34 34
Alkalinitas mgl
--- ---
--- 11,10
11,38 11,24
11,10 10,96
10,68 10,82
10,53 11,24
pH ---
6,5-8,5 7-8,5
7-8,5 8,21
8,12 8,32
8,14 8,26
8,24 7,96
8,00 8,13
PO
4
mgl ---
0,015 0,015
0,25 0,25
0,50 0,25
0,25 SO
4
mgl ---
--- ---
54,11 50,71
51,43 55,28
47,00 54,11
54,11 55,28
53,11 Nitrit
mgl ---
--- ---
0,05 0,05
0,05 0,05
Nitrat mgl
--- 0,008
0,008 0,001
0,0075 0,0055
0,2578 0,0005
0,0082 0,0020
0,1249 0,0556
Besi Fe mgl
--- ---
--- 0,08
0,1 0,11
0,10 0,08
0,10 0,09
0,12 0,05
Sulfida mgl
0,03 Nihil
0,01 0,046
0,048 0,049
0,048 0,050
0,039 0,029
0,027 0,039
Pb mgl
0,05 0,005
0,008 0,012
0,008 0,009
0,008 0,008
0,009 0,008
0,012 0,006
Hg mgl
0,003 0,002
0,001 0,002
Ttd 0,001
Ttd 0,001
0,001 Ttd
0,001 Ttd
Cu mgl
0,05 0,050
0,008 0,002
0,003 0,002
0,013 0,014
0,015 0,013
0,025 0,010
Cd mgl
0,01 0,002
0,001 0,026
0,013 0,014
Ttd 0,001
0,001 Ttd
0,002 Ttd
C. BIOLOGI :
MPN Coliform Jml100ml
1.000 1.000
1.000 240
240 240
38 38
240 240
240 MPN Coli
Tinja Jml100ml
--- 200
--- 240
240 240
38 38
10 240
240 Sumber Data: Universitas Lampung, Agustus 2007
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 46 Keterangan: Berdasarkan Kep. Men. LH No.51 tahun 2004
L1= Perairan di dekat lahan reklamasi PT BBS S 05° 27’ 25,3” ; E 105° 16’ 12,2” L2= Perairan laut di sekitar Gudang Lelang S 05° 27’ 10,0” ; E 105° 16’ 12,6”
L3= Perairan laut di sekitar pelabuhan peti kemas Panjang S 05° 27’ 51,8” ; E 105° 18’ 33,5” L4= Perairan laut di sekitar eks Pelabuhan Feri Srengsem S 05° 29’ 22,8” ; E 105° 19’ 26,9”
L5= Perairan tengah laut S 05° 29’ 32,3” ; E 105° 17’ 44,7” L6= Perairan laut di sekitar Pulau Kubur S 05° 29’ 15,3” ; E 105° 15’ 42,9”
L7= Perairan laut di sekitar PPP Lempasing S 05° 29’ 14,5” ; E 105° 15’ 12,4” L8= Perairan pantai Puri Gading S 05° 28’ 14,0” ; E 105° 15’ 08,4”
L9= Perairan laut di sekitar Pulau Pasaran S 05° 27’ 53,4” ; E 105° 15’ 48,2”
Pada tahun 2008 dilakukan pengukuran kualitas air di sekitar perairan laut di Kelurahan Karang Maritim, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, dalam rangka Studi Amdal Penataan
Kawasan Pantai Wilayah Timur Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh PT. Kurnia Agro Industri selaku pemrakarsa dan CV. Spektrum Konsultan selaku penyusun Amdal. Dari hasil
analisis kualitas air diketahui bahwa pada umumnya kualitas air laut di lokasi tersebut masih dalam kondisi yang baik, sesuai dengan baku mutu untuk perairan pelabuhan.
Tabel 2.28 Kualitas air laut di sekitar Kelurahan Karang Maritim
HASIL UJI NO
PARAMETER SATUAN
BAKU MUTU
Lokasi 1 Lokasi 2
METODE A.
FISIKA
1 Bau
-- Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Organoleptik
2 T S S
mg L 80
0,005 0,005
SNI – 06 - 2004 3
Suhu C
Alami 27,30
27,24 SNI – 06 - 2005
4 Lapisam
Minyak --
-- Negatif
Negatif Visual
B KIMIA
1 pH
-- 6,5 – 8,5
7,65 7,68
SNI – 06 - 2004 2
Salinitas ‰
Alami 3,54
3,70 SNI 19-1421-1991
3 Amoniak Total
NH
3
-N mg L
0,3 0,03
0,01 SNI 19-1421-1989
4 Sulfida H
2
S mg L
0,03 0,002
0,002 Jis tahun 2002
5 Fenol
mg L 0,002
0,002 0,002
Std Method 5530 6
M B A S mg L
1,0 0,01
0,01 SNI – 06 - 2004
7 MinyakLemak
mg L 5,0
0,10 0,10
SNI 19-1660 -1989 8
Air Raksa Hg mg L
0,003 0,002
0,002 SNI 19-1420-1989
9 Kadmium Cd
mg L 0,01
0,002 0,002
SNI 19-1130-1989 10
Tembaga Cu mg L
0,05 0,002
0,002 SNI 19-1421-1989
11 Timbal Pb
mg L 0,05
0,002 0,002
SNI 19-13-1989 12
Seng Zn mg L
0,10 0,009
0,003 SNI 19-1137-1989
C Mikrobiologi
1 Total Colyfrom
MPN100mL 1000
21 3
SNI 06-4168-1996 Sumber:
Manik, dkk 2008 Keterangan : lebih Kecil
Baku Mutu menggunakan Kep. 51MENKLH2004 Lampiran I Untuk Perairan Pelabuhan Lokasi 1: Perairan jarak 100 m dari garis pantai
Lokasi 2: Perairan jarak 1000 m dari garis pantai
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 47
Teluk Semangka
Kualitas perairan di sekitar Teluk Semangka, terutama yang jauh dari aktivitas manusia, masih tergolong cukup baik. Dari hasil pengukuran di sekitar perairan Way Nipah Kec. Pematang
Sawa, Teluk Tengor Kec. Cukuh Balak, Teluk Kiluan dan Teluk Kelumbayan Kec. Kelumbayan, diketahui bahwa kualitas air laut masih berada dalam batas baku mutu air laut
untuk biota laut sesuai dengan Kep. Men. LH No. 51 Tahun 2004, kecuali untuk lokasi sekitar muara sungai Way Semaka. Pada saat pengukuran di sekitar muara sungai tersebut kondisinya
sangat keruh malam sebelumnya turun hujan sehingga kecerahan perairan sekitar 1 m. Demikian juga dengan salinitas yang hanya 16 ppt, karena di sekitar muara sungai memang
bersifat payau. Hasil pengukuran kualitas air disajikan pada Tabel 2.29 berikut.
Tabel 2.29 Kualitas air laut di wilayah pesisir Tanggamus Teluk Semangka
Lokasi pengambilan sample No
Parameter Baku mutu
Way NIpah
Muara W. Semaka
Teluk. Kiluan
Teluk Kelumbayan
Teluk Tengor
1 Kedalaman m
- 21
5,3 12
14 5.3
2 Kecerahan m
4 3,8
1,0 6,5
6,0 4,0
3 Suhu °C
28-30 30
30 29,5
29,4 29,7
4 pH
7-8,5 8,15
7,94 7,62
7,61 7,81
5 Salinitas ppt
30-34 33
16 32
32 32
6 DO ppm
Min.4 6,42
6,48 6,25
5,97 6,78
7 Nitrit ppm
Max 0,5 0,001
0,0021 0,002
0,012 0,005
8 Nitrat ppm
Min. 0,008 0,020
0,025 0,020
0,010 0,025
9 Amoniak ppm
Max. 0,3 0,080
0,110 0,160
0,180 0,090
10 Phospat ppm
Min. 0,015 0,018
0,016 0,020
0,017 0,015
11 Alkalinitas ppm
- 121
137 83
78 110
12 H
2
S ppm Max. 0,01
0,002 13
Chlorofil-a µgl 1
0,0168 0,0214
0,0040 0,0061
0,0027 Sumber: Anonimus 2005
Pantai Timur Lampung
Data kualitas air laut yang diukur di sekitar perairan Pantai Timur Lampung diperoleh dari Dokumen Amdal Revisi PT. Central Pertiwi Bahari CPB tahun 2006. Walaupun tidak
sepenuhnya menggambarkan kondisi kualitas air laut sepanjang Pantai Timur Lampung, namun setidaknya data ini dapat menggambarkan kondisi kualitas air di sekitar areal pertambakan PT.
CPB yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Tulang Bawang. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, diketahui bahwa kualitas air laut di sekitar PT. CPB
pada tahun 2006 masih dalam kondisi di bawah kadar maksimum yang ditetapkan berdasarkan Kep-MENLH No. 51 Tahun 2004.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 48 Tabel 2.30 Kualitas air laut di sekitar areal PT. CPB
No. Parameter
Satuan Kadar
Maksimum Hasil Analisis
A. F I S I K A
1. Kecerahan
m t 3
3,20 2.
Suhu C
28 – 32 28,90
3. T S S
mgL 80
9,20 4.
Kekeruhan Skala NTU
5 2,40
5 Lapisan Minyak
- Nihil
Nihil 6
Kebauan -
Alami Tidak Berbau
B. K I M I A
5. pH
- 7 – 8.5
7,59 6.
Salinitas
00
34 37
7. D O
mg 5
6,01 8.
B O D mgL
20 14
9. Amoniak NH
3
– N mgL
0,3 0,02
10. Posfsat
mgL 0,015
0,005 11.
Nitrit NO
2
– N mgL
0,008 0,005
12. Sianida CN
mgL 0,05
0,002 13.
Sulfida H
2
S mgL
0,01 0,002
14. Fenol Total
mgL 0,002
0,001 15.
Deterjen mgL
1 0,005
16. Minyak Lemak
mgL 1
0,005 17.
Air Raksa mgL
0,001 0,0001
18. Kromium
mgL 0,005
0,001 19.
Arsen mgL
0,012 0,002
20. Kadmium
mgL 0,001
0,0004 21.
Tembaga mgL
0,008 0,0001
22. Timbal
mgL 0,008
0,0004 23.
Seng mgL
0,05 0,0009
Sumber: Anonimus 2006 Keterangan :
- Lokasi Sampling: Air laut - lebih kecil
- Kadar Maksimum untuk Biota Laut, menggunakan Kep-MENLH No 51 Tahun 2004
2 Terumbu Karang
Kebanyakan terumbu karang di Lampung adalah dan jenis “fringing reef”, dengan luasan relatif 20-60 meter. Pertumbuhan karang berhenti pada kedalaman 10 - 17 meter. Di bawah
kedalaman itu terdapat lumpur atau hamparan pasir. Sejumlah terumbu karang tipe “patch reefs” tumbuh dengan baik, dan dapat dijumpai di sepanjang sisi barat Teluk Lampung. Pendataan
awal menunjukkan terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berbeda di Selat Sunda Kepulauan Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda, pulau-pulau di pesisir barat Pulau Jawa. Hal
ini cukup sesuai bila dibandingkan dengan sekitar 139 jenis yang ditemukan di Kepulauan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 49 Seribu. Terumbu Karang di Kepulauan Krakatau menunjukkan total 113 jenis karang besar,
sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata per lokasi agak rendah yakni 48,6 ± 9.2. Menurut Wiryawan dkk. 2002, hampir di semua lokasi, kecuali di Teluk Lampung, terumbu
karang memiliki penutupan karang batu yang rendah 0-10. Khusus untuk kawasan Teluk Lampung, penutupannya cukup besar dan mencapai 75. Di bagian selatan Pantai Timur
Lampung, yaitu di Pulau Rimau Balak, Pulau Mundu, Pulau Seram Besar, Pulau Seram Kecil, Pulau Kuali, dan Pulau Panjurit memperlihatkan kisaran penutupan karang yang sangat rendah
0-10. Di Pulau Sebesi dan Sebuku Lampung Selatan tutupan karang batu hidup berkisar antara 15-25.
Berbeda dengan kawasan Pantai Timur Lampung dan Teluk Semangka, kawasan Teluk Lampung memiliki kisaran persen penutupan karang batu yang luas 0-75. Dari hasil kajian
dengan metode LIT pada 8 pulau memperlihatkan kisaran penutupan karang batu antara 42,12 hingga 91,65 termasuk kategori baik dan sangat baik. Tidak ada perbedaan yang
nyata antara kedalaman 3 meter dengan 10 meter. Keanekaragaman berdasarkan bentuk hidup karang batu bervariasi antara 1,67-3,43; karang tipe foliose mempunyai persen
penutupan karang yang cukup besar , yaitu 48,8 di Pulau Sulah, 28,53 di Pulau Tangkil, 21,26 di Pulau Balak, 20,65 di Pulau Pahawang, dan 19,1 di Pulau Condong Laut
Wiryawan dkk, 2002. Pada tahun 2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melakukan kajian terhadap
kondisi terumbu karang di Teluk Lampung. Persentase penutupan karang dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung memiliki variasi yang baik hingga buruk Tabel 2.31. Kriteria
persentase karang hidup menurut Yap dan Gomes 1988 dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang bahwa
kategori kondisi penutupan karang hidup : 75 - 100 sangat baik; 50 – 74.9 baik; 25 – 49.9 sedang; dan 0-24.9 rusakburuk. Berdasarkan kriteria tersebut, persentasi tutupan
karang hidup sebagai indikator kerusakan terumbu karang di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk rusak sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, kondisi
terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk rusak ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di perairan
Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 50 Gambar 2.12 Kondisi terumbu karang di Teluk Lampung Sumber: Wiryawan dkk., 2002
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 51 Tabel 2.31 Persen penutupan dan kondisi karang dari beberapa lokasi penyelaman di Teluk Lampung
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2007
Sand Rubble
Silt 1
Pulau Tangkil Upper Fore Reef
05 30 35 105 16 10.7
30 3
30 2
24 11
33 30
Sedang 2
Teluk Pulau Tegal Upper Fore Reef
05 33 53.40 105 16 43.60
8 38
24 6
8 3
13 46
24 Sedang
3 Pulau Maitem
Upper Fore Reef 05 35 33.50
105 16 44.60 20
22,5 12
8 22,5
5 10
42,5 12
Sedang 4
Pulau Kelagian Lower Fore Reef
05 37 08.97 105 13 08.28
16,28 45,63
14,97 5,03
17,09 1,01
61,91 14,97
Baik 5
Pulau Puhawang Lower Fore Reef
05 39 44.10 105 12 27.8
9,18 29,18
11,12 10
5,1 19,39
16,02 38,36
11,12 Sedang
6 Pulau Siuncal
Upper Fore Reef 05 48 06
105 18 50.90 5,74
42,01 5,36
1,44 31,87
3,82 9,76
47,75 5,36
Sedang 7
Pulau Legundi Lower Fore Reef
05 47 69.84 105 17 56
10,97 10
3,42 28,77
46,84 10,97
10 Buruk
8 Teluk Selesung Legundi
Upper Fore Reef 05 47 23.74
105 17 36.4 1,89
27,82 13
5,25 11,13
40,91 29,71
13 Sedang
9 Pulau Unang-unang
Upper Fore Reef 05 47 25.95
105 16 44.03 10,53
25,47 10,53
7,37 4,2
1,58 40,32
36 10,53
Sedang 10
Pulau Seserot Upper Fore Reef
05 47 35.77 105 14 52.12
8,89 26,67
4,44 3,33
7,78 48,89
35,56 4,44
Sedang 11
Teluk Kucangreang Reef Flat
05 46 24.06 105 13 2.65
0,52 2,06
44,33 2,37
25,46 25,26
2,58 44,33
Buruk 12
Pulau Balak Reef Flat
05 45 10.10 105 10 39.70
35 16
9 7
23 10
51 9
Baik 13
Pulau Lok Fore Reef
05 44 42.90 105 10 35.20
11 30
5,5 4,5
14,8 14
20,2 41
5,5 Sedang
14 Gosong Pulau Lok
Reef Flat 05 44 31.96
105 10 46.32 6,82
12,16 10
3,41 3,41
45,45 18,75
18,98 10
Buruk 15
Pulau Lunik Reef Flat
05 44 22.25 105 10 26.57
100 Buruk
16 Gosong Lunikan
Reef Flat 05 44 26.70
105 10 16.30 9,95
39,3 10,95
1,11 11,46
17,69 9,55
49,25 10,95
Sedang 17
Tajung Putus 1 Reef Flat
05 43 46.94 105 12 40.23
7,14 32,14
35,71 3,57
7,14 14,29
39,28 35,71
Sedang 18
Tanjung Putus 2 Reef Flat
05 43 46.65 105 12 32.83
12 50
8 8
12 10
62 8
Baik 19
Pulau Lelangga Balak Reef Flat
05 43 45.75 105 13 46.31
24,6 10
27 14,4
14 10
34,6 27
Sedang 20
Pulau Lelangga Lunik Upper Fore Reef
05 43 10.40 105 14 32.10
10 14
20 16
24 16
24 20
Buruk 21
Pulau Puhawang Lunik Reef Flat
05 40 35.30 105 14 24.60
2 22
30 5
18 23
24 30
Buruk 22
Pantai Ketapang Reef Flat
05 35 33.50 105 13 59.40
9 50
13 18
5 5
59 13
Baik 23
Pantai Canti Reef Flat
05 48 01.30 105 34 58.2
15,8 16
11 19
22 16,2
15,8 16
Buruk 24
Pulau Tiga Lana Fore Reef
05 48 52.38 105 32 37.15
16 4
12 15
18 35
16 4
Buruk 25
Pulau Tiga Lok Fore Reef
05 48 59.65 105 32 46.30
26 2
4 16
21 31
26 2
Sedang 26
Pulau Tiga Damar Fore Reef
05 49 9.05 105 33 0.96
19 12
12 29
28 19
Buruk 27
Pulau Sebuku Upper Fore Reef
05 50 48.40 105 31 45
13,8 10,13
16,46 1,27
2,66 54,43
1,27 23,93
16,46 Buruk
28 Pulau Elang Sebuku Kecil
Reef Flat 05 52 40.11
105 32 29.67 12
72 16
12 72
Buruk 29
Pulau Sebesi Lower Fore Reef
05 55 11.26 105 30 3.18
5,6 15,4
4 7
19 23
26 21
4 Buruk
30 Pulau Umang-umang
Reef Flat 05 55 33.99
105 31 57.11 21,6
25,4 12
10 15
8 8
47 12
Sedang 31
Pelabuhan Kaliandak Reef Flat
05 44 39.61 105 35 10.60
2 10
42 46
12 Buruk
32 Pantai Pasir Putih
Reef Flat 05 33 32.24
105 22 0.94 23
2 17
27 31
25 Buruk
33 Lokasi Batu Bara
Reef Flat 05 31 48.90
105 21 14.37 20
8 20
2 1
8 41
28 20
Sedang 34
Pulau Sulah 1 Upper Fore Reef
05 32 45.22 105 20 44.12
13,5 10,5
7 39
30 24
7 Buruk
35 Pulau Sulah 2
Lower Fore Reef 05 32 48.36
105 20 35.98 29,63
14,81 38,89
7,41 9,26
44,44 38,89
Sedang 36
Pulau Condong Laut Lower Fore Reef
05 33 25.65 105 20 28.87
28,8 12
15,8 12
18 13,4
40,8 15,8
Sedang 37
Pulau Condong Darat Reef Flat
05 33 25 105 20 54.63
27,27 17,27
12,73 4,55
18,18 20
44,54 12,73
Sedang 38
Tanjung Selaki Reef Flat
05 37 23.44 105 24 18.21
36,14 49,57
14,29 36,14
Sedang 39
Merak Belantung 1 Reef Flat
05 40 29.86 105 32 32.95
11 55
26 8
11 Buruk
40 Merak Belantung 2
Reef Flat 05 41 31.45
105 31 59.03 8
15 51
25 1
8 15
Buruk 41
Pantai Puri Gading Back Reef
05 28 9.21 105 15 27.69
87 13
Buruk 42
Gudang Lelang Back Reef
05 27 18.45 105 16 14.20
24 68
8 Buruk
43 Pulau Kubur
Back Reef 05 29 14.30
105 15 29.80 33,33
66,67 Buruk
44 Pulau Tegal
Lower Fore Reef 05 34 5.53
105 16 7.98 8
39 26
2 9
16 47
26 Sedang
Karang Mati
Kategori Algae
Other Fauna
ABIOTIK Karang
Hidup Bujur Timur
Hard Coral Acropora
Hard Coral Non Acropora
Dead Scleractinia
Kode Lokasi
Lokasi Penyelaman Site Description
Lintang Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 52 Di wilayah pesisir Pantai Barat Lampung gugusan terumbu karang tersebar hampir di sepanjang
perairan pesisir Kabupaten Lampung Barat, mulai dari ujung barat laut Kecamatan Lemong hingga ke tenggara Kecamatan Bengkunat. Terumbu karang yang tersebar di kawasan pesisir
pantai Kabupaten Lampung Barat termasuk tipe terumbu karang tepi fringing reef. Tipe terumbu karang tersebut cenderung tampak saling bersusunan dan tidak mudah dipisahkan satu
dengan yang lain. Tipe terumbu karang tepi biasanya tak jauh dari daratan dan dibatasi oleh wilayah perairan yang lebih dalam. Sebaran terumbu karang di wilayah pesisir Kabupaten
Lampung Barat dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Sebaran terumbu karang di sepanjang pesisir pantai Kabupaten Lampung Barat
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 53 Secara umum kondisi terumbu karang di pesisir Lampung Barat dalam kondisi sedang hingga
baik sekali. Kondisi masing-masing kecamatan ditunjukkan pada Tabel 2.32.
Tabel 2.32 Kondisi Tutupan Terumbu Karang di perairan Lampung Barat
No. Kecamatan
Daerah Penyelaman Penutupan
Kondisi
1. Lemong
1. Teluk Penengahan 2. Pantai Bahari
3. Ujung Walur 26-50
51-75 51-75
Sedang Baik
Baik 2.
Pulau Pisang 1. Ujung Pulau
2. Labuhan 3. Pasar P.Pisang
51-75 51-75
51-75 Baik
Baik Baik
3. Pesisir Tengah
1. Selalaw 2. Labuhan Jukung
3. Walur 26 – 50
26 -50 51 - 75
Sedang Sedang
Baik Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Barat 2006
Dari hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Barat 2006, diketahui bahwa terumbu karang di Kecamatan Pesisir Selatan merupakan patch reef yang baru
pulih. Hal ini ditunjukkan masih banyaknya bentuk encrusting di atas karang mati. Metode survey dengan Manta Tow dilakukan pada tiga titik di Tanjung Setia menghasilkan data sebagai
berikut : x Titik pertama, penutupan karang antara 51-75, kondisi karang baik
x Titik kedua, penutupan karang antara 51-75, kondisi karang baik x Titik ketiga, penutupan karang antara 76-100, kondisi karang baik sekali
Sedangkan pengambilan data terumbu karang di Pulau Pisang Pesisir Utara dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transects LIT. Hasil survey tersebut menunjukkan
bahwa penutupan karang hidup yang terukur di Pulau Pisang adalah 65,75, kondisi karang yang baik dengan bentuk yang dominan adalah karang api atau coral milepora CME.
Sedangkan genus coral lainnya yang ditemukan pada lokasi survai adalah Acropora sp, Millepora sp
, Fungia sp, Ctenatis sp, Montipora sp, Pocillopora sp, Porites sp, Favites sp, Galaxea sp
, Pavona sp, Seriatopora sp dan Diploria sp.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 54
3 Mangrove
Keanekaragaman mangrove di Lampung rendah. Sebagian besar didominasi oleh Api-api Avicennia alba dan Avicennia marina pada lahan yang baru terbentuk, ditunjang oleh buta-buta
Bruguiera parviflora dan Excoecaria agallocha yang lazim dijumpai di daerah muara. Agak ke
hulu dijumpai nipah Nypa fruticans , pedada Sonneratia caseolaris, dan Xylocarpus granatum yang menunjukkan adanya pengaruh air tawar. Bakau Rhizophora stylosa terbukti
mendominasi mangrove yang berasosiasi dengan terumbu karang. Hal ini terdapat di sepanjang pantai dan pulau-pulau di Teluk Lampung.
Ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung terdapat di sekitar Pantai Puri Gading, Pantai Duta Wisata, serta di lahan reklamasi PT. BBS di Kecamatan Teluk Betung
Barat. Jika dilihat dari ukuran vegetasinya, sebagian besar ekosistem mangrove tersebut bukan merupakan habitat primer, bahkan di lahan reklamasi PT. BBS didominasi oleh vegetasi
tingkat semai yang sedang mengalami proses suksesi. Jenis vegetasi yang dominan di Pantai Puri Gading adalah Sonneratia alba untuk tingkat pohon dan pancang; sedangkan untuk tingkat
semaian selain didominasi oleh Sonneratia alba juga jenis Avicennia officinalis. Beberapa jenis mangrove lainnya yang ditemukan adalah sebagai berikut: Rhizophora apiculata, Avicennia
marina, Bruguiera silindrica, Excoearia agallocha, Hibiscus tiliaceus, jeruju Achanthus
ilicifolius , basang siap Finlaysonia maritima, dan nipah Nypa fruticans. Dari analisis
vegetasi diketahui bahwa Indeks Nilai Penting INP vegetasi mangrove tingkat pohon adalah 299,94; INP tingkat pancang adalah 299,96; serta INP tingkat semai adalah 199,96. Saat ini
keberadaan ekosistem mangrove tersebut terancam akibat keterbatasan lahan di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan habitat mangrove jika
lahan tersebut dibangun. Komunitas mangrove di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran
berupa asosiasi multi-species, dengan jenis dominan Rhizophora mucronata. INP berkisar antara 236 hingga 249 dan dengan kerapatan berkisar antara 188 indha hingga 530 indha.
Tingkat pertumbuhan pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang, dan pohon. Ketebalan mangrove antara 1 dan 1,5 km. Berbeda halnya dengan komunitas mangrove di Desa Durian,
tipe vegetasi di Desa Sidodadi Padang Cermin bertipe konsosiasi, dengan jenis Rhizophora mucronata
sebagai jenis yang dominan dan memiliki INP sebesar 300.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 55 Gambar 2.14 Peta sebaran mangrove di Pesisir Lampung Sumber: Wiryawan dkk., 2002
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 56 Gambar 2.15 Keberadaan mangrove di salah satu areal pertambakan di Kabupaten Pesawaran
Di wilayah pesisir Kabupaten Tulang Bawang terdapat 2 jenis mangrove yang dominan, yaitu jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Selain kedua jenis dominan tersebut, di
kawasan ini terutama di sepanjang sungai dijumpai vegetasi jenis Nypa fruticans. Ketebalan mangrove di sepanjang pantai pesisir Tulang Bawang relatif tipis dan sebagian besar telah
dikonversi menjadi tambak udang. Wilayah pesisir di sekitar PT. CPB yang dialokasikan sebagai green belt saat ini pun kondisinya semakin rusak karena dikonversi menjadi tambak
tradisional milik masyarakat. Kondisi green belt milik PT. AWS masih lebih baik bila dibandingkan dengan PT. CPB.
Di wilayah pesisir Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur ketebalan mangrove relatif tipis, yaitu bervariasi antara 50 hingga 150 meter, kecuali di sekitar Kuala Penet, Desa
Margasari. Hamparan mangrove di kawasan ini memiliki luas lebih dari 700 ha yang didominasi jenis api-api Avicennia spp yang tumbuh secara alami dan sebagian kecil Rhizopora spp yang
ditanam oleh masyarakat dan pemerintah. Kondisi mangrove di Desa Margasari ini dalam kondisi baik dengan ketebalan sekitar 1.000 m dari pinggir tambak terluar. Hal ini menunjukkan
fungsi ekosistem mangrove sebagai ‘sabuk hijau’ masih tetap terjaga. Kawasan mangrove ini dapat terjaga dengan baik karena ada komitmen yang kuat dari masyarakat setempat untuk
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 57 tetap melestarikannya. Hal ini diperkuat dengan adanya peraturan desa yang melarang
penduduk setempat maupun dari luar desa mengkorversi dan merusak kawasan mangrove tersebut. Pada mulanya kawasan mangrove tersebut merupakan tambak-tambak udang milik
masyarakat. Namun akibat abrasi pantai yang semakin hebat hingga menggerus daratan sejauh 1 km ke arah pemukiman warga dan melenyapkan beberapa tambak, maka masyarakat
menjadi sadar dan memulai upaya rehabilitasi. Pada saat daratan mulai terbentuk kembali dalam bentuk tanah timbul dan mulai ditumbuhi mangrove jenis api-api, mereka tidak
mengubahnya menjadi tambak kembali, tetapi lahan baru tersebut tetap dibiarkan ditumbuhi mangrove dan dijaga hingga saat ini.
Vegetasi yang dominan di Pantai Barat Lampung adalah vegetasi pantai yang berupa formasi pes carpae
dan baringtonia. Formasi pes carpae terdapat pada pantai berpasir yang didominasi oleh sejenis tumbuhan menjalar berbunga ungu, yaitu Ipomoea pescarpae. Tumbuhan lainnya
yang menyusun formasi pes carpae adalah sejenis legum Canavalia, Cyperus pedunculatus, dan C. stoloniferus, serta rerumputan Thuarea involuta. Formasi baringtonia terdiri dari
beberapa jenis tumbuhan, seperti Barringtonia asiatica, nyamplung Calophylum sp, pandan laut Pandanus tectorius, waru laut Hibiscus tiliaceus, dan ketapang Terminalia cattapa.
Beberapa lokasi yang dekat dengan muara sungai terdapat komunitas mangrove dalam jumlah yang sedikit. Jenis mangrove yang sering ditemui antara lain adalah : Bakau Rhizopora sp.,
Api-api Avicennia sp., Pedada Sonneratia sp., dan Tanjang Bruguiera sp.. Secara umum, vegetasi mangrove yang ada di Kabupaten Lampung Barat relative sedikit dan tersebar di 3
tiga wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Lemong, Pesisir Selatan, dan Bengkunat. Vegetasi mangrove di Kecamatan Lemong hanya terkonsentrasi pada daerah sempit di
sepanjang pesisir pantai sekitar kawasan Tanjung Jati, Tanjung Sakti, dan Way Batang. Vegetasi mangrove di Kecamatan Pesisir Selatan tersebar secara parsial di pesisir pantai
sekitar kawasan Pagar Dalam, Tanjung Setia, Ujung Tapolan, dan Gunung Sari. Vegetasi mangrove di Kecamatan Bengkunat terpusat pada daerah yang lebih luas di pesisir pantai
sekitar kawasan Kota Jawa dan Bengkunat. Berdasarkan kajian Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung pada tahun 2007,
diketahui bahwa total kerusakan hutan mangrove di Provinsi Lampung mencapai 45.136,75 ha dari luas keseluruhan; sedangkan yang masih dalam kondisi baik sekitar 48.782,97 ha.
Mangrove mengalami kerusakan terutama akibat alih fungsi lahan mangrove menjadi pertambakan, pemukiman, pertanian, dan peruntukkan lainnya. Bahkan di wilayah pesisir
Kabupaten Lampung Selatan Kecamatan Penengahan, Ketapang, dan Sragi tidak ada areal mangrove dalam kategori masih baik, karena sebagian besar areal mangrove telah diubah
menjadi tambak udang.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 58 Tabel 2.33 Luas dan kondisi mangrove di Provinsi Lampung menurut kabupatenkota tahun
2007
Luas Mangrove ha No
Kabupaten Kota
Kecamatan Zona Pantai
Rusak Baik
Jumlah
Rawajitu Selatan Pantai Timur
4.207,46 4.436,92
8.644,38 Rawajitu Utara
Pantai Timur 7.864,93
3.361,20 11.226,13
Gedungmeneng Pantai Timur
9.188,29 960,20
10.148,49 1
Tulang Bawang Penawartama
Pantai Timur 1.589,50
590,16 2.179,66
Labuhan Maringai Pantai Timur
5.894,34 5.587,10
11.481,44 Pasir Sakti
Pantai Timur 5.218,06
2.123,47 7.341,53
2 Lampung Timur
Sukadana Pantai Timur
3.204,77 28.705,17
31.909,94 Ketapang
Pantai Timur 1.628,40
0,00 1.628,40
Penengahan Pantai Timur
176,02 0,00
176,02 3
Lampung Selatan Sragi
Pantai Timur 2.788,73
0,00 2.788,73
4 Pesawaran
Padang Cermin Teluk Lampung
1.620,00 0,00
1.620,00 5
Bandar Lampung Teluk Betung
Teluk Lampung 720,00
480,00 1.200,00
6 Tanggamus
Kota Agung Teluk
Semangka 800,00
1.200,00 2.000,00
7 Lampung Barat
Pesisir Tengah Pantai Barat
236,25 1.338,75
1.575,00
Jumlah 45.136,75
48.782,97 93.919,72
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, dikutip dalam Koran Tribun 21 Agustus 2009
4 Padang Lamun
Komunitas padang lamun memiliki peranan yang sama pentingnya dengan ekosistem terumbu karang baik secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis ekosistem padang lamun
memiliki fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut seperti: a sebagai produsen detritus dan zat hara yang sangat penting sebagai sumber produktivitas perairan daerah tersebut. Detritus dan zat
hara ini dapat juga dimanfaatkan secara langsung oleh berbagai hewan seperti siput gastropoda dan kerang-kerangan bivalva yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia.;
b Mengikat sedimen dan menstabilkan subtrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; c Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah
bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; dan d Sebagai tempat berlindung bagi penghuni komunitas padang lamun dari sengatan cahaya
matahari. Kajian tentang lamun masih jarang dilakukan, sehingga tidak diketahui secara jelas statusnya
saat ini. Kajian tentang lamun pernah dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bandar Lampung pada tahun 2006 dan 2007. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa di
perairan Kota Bandar Lampung masih banyak dijumpai habitat padang lamun sea grass yang secara ekologis memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan ekosistem terumbu karang
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 59 dan hutan mangrove sebagai penjaga stabilitas pantai, sumber produktivitas primer perairan
sekitarnya, sebagai daerah pemijahan, tempat asuhan dan mencari makan berbagai jenis larva dan juvenil ikan, sehingga keberadaannya sangat penting sebagai daerah buffer dan penunjang
tingkat produktivitas perikanan di perairan sekitarnya. Dari hasil kajian tahun 2007 diketahui bahwa di perairan pesisirr Kota Bandar Lampung masih
banyak dijumpai habitat padang lamun sea grass yang secara ekologis memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove sebagai penjaga
stabilitas pantai, sumber produktivitas primer perairan sekitarnya, sebagai daerah pemijahan, tempat asuhan dan mencari makan berbagai jenis larva dan juvenil ikan, sehingga
keberadaannya sangat penting sebagai daerah buffer dan penunjang tingkat produktivitas perikanan di perairan sekitarnya. Jenis-jenis lamun yang terdapat di perairan laut Kota Bandar
Lampung tidak berbeda dengan jenis-jenis yang ada di wilayah pesisir Indonesia pada umumnya, yaitu Enhalus sp, Thalassia sp, dan Halodule sp.
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa sebaran koloni padang lamun tidak merata di seluruh pesisir Bandar Lampung. Di daerah-daerah yang direklamasi keberadaan lamun tidak
dijumpai. Demikian pula halnya dengan perairan di sekitar pantai yang memiliki tingkat kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi, seperti di perairan Gudang Lelang, perairan Pantai
Sukaraja, dan di perairan sekitar PPP Lempasing hingga Pantai Puri Gading. Padang lamun banyak dijumpai di tiga lokasi, yaitu di sekitar perairan Pantai Karang Maritim, Pelabuhan
Srengsem, perairan sebelah timur Pulau Pasaran dan perairan Pulau Kubur. Di perairan Gosong Pamunggutan hanya sedikit ditemui komunitas lamun. Di daerah ini lamun merupakan
tumbuhan minoritas yang berasosiasi dengan terumbu karang, alga tuff dan komunitas lainnya. Kondisi ini dimungkinkan karena perairan tersebut relatif cukup dalam jika dibandingkan dengan
perairan Karang Maritim, perairan sekitar Pulau Pasaran dan perairan sekitar Pulau Kubur. Kondisi yang sama juga terjadi di sekitar perairan dekat pelabuhan peti kemas Panjang hingga
Pelabuhan Pertamina. Dari hasil survey diketahui bahwa komunitas lamun di perairan sekitar Pulau Kubur adalah yang
paling padat. Pada lokasi pengukuran di koordinat 05°28’02,0” LS 105°15’56,5” BT pada kedalaman 73 cm stasiun 1 ditemukan tiga jenis tumbuhan lamun, yaitu dari jenis Enhalus sp,
Thallasia sp, dan Halodule sp., dengan indeks Varian Mean Ratio VMR sebesar 0,9889 yang
menunjukkan bahwa komunitas lamun di daerah ini tersebar secara random dan mendekati uniformtersebar merata. Di antara ketiga jenis lamun yang ditemukan di perairan ini lamun
jenis Enhalus sp, adalah yang paling dominan. Kondisi sebaran lamun di perairan Pulau Kubur dapat dilihat pada tabel berikut.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 60 Tabel 2.34 Data hasil pengukuran komunitas lamun di perairan sekitar Pulau Kubur St.1
Transek Jenis Lamun
Koloni X
X
2
Tinggi cm
Kepadatan
1 Enhalus
sp, 1
1 78
134 2
Enhalus sp.;Thallassia sp.
3 9
82;9 122
3 Enhalus
sp. 2
4 89
95 4
Enhalus sp.; Thallassia sp.
2 4
64;8 107
5 Enhalus
sp.. 1
1 69
118 6
Enhalus sp,; Thallassia sp.; Halodule sp
4 16
76;11;13 98
7 Enhalus
sp, Thallassia sp. 2
4 82;9
123 8
Enhalus sp.; Halodule sp
2 4
72;12 119
9 Enhalus
sp. ; Thallassia sp.; Halodule sp 3
9 79;10;14
108 10
Enhalus sp.
1 1
83 107
JUMLAH 21
53 VMR
0,9889 terdistribusi secara random
Di lokasi yang sama pada kedalaman 108 cm Stasiun 2 diperoleh gambaran yang tidak berbeda. Koloni lamun masih didominasi oleh jenis Enhalus sp dengan penyebaran secara
random nilai VMR=0,7667. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.35. Tabel 2.35 Data hasil pengukuran komunitas lamun di perairan sekitar Pulau Kubur St. 2
Transek Jenis Lamun
Koloni X
X
2
Tinggi cm
Kepadatan
1 Enhalus
sp. ;Thallassia sp. 2
4 75 ; 9
59 2
Enhalus sp.
1 1
78 29
3 Enhalus
sp. 2
4 68
89 4
Enhalus sp.; Thallassia sp.
2 4
64;11 54
5 Enhalus
sp.; Thallassia sp.; Halodule sp 3
9 65 ; 8;10
143 6
Enhalus sp,; Thallassia sp.; Halodule sp
4 16
76 ; 10;11 135
7 Enhalus
sp, Thallassia sp. 2
4 82 ; 9
33 8
Enhalus sp.; Halodule sp
2 4
72;13 48
9 Enhalus
sp. 2
4 79
106 10
Enhalus sp.
1 1
87 17
JUMLAH 21
51 VMR
0,7667 terdistribusi secara random
Perairan pantai Karang Maritim, tepatnya di sekitar eks Pelabuhan Srengsem pada koordinat 05°29’22,8” LS 105°18’33,5” BT, juga masih dapat dijumpai komunitas padang lamun. Di
kedalaman 80 cm Stasiun 3 terdapat komunitas lamun yang didominasi oleh Thallasia sp. dan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 61 diselingi oleh Enhalus sp. Tinggi kanopi berkisar antara 67-93 cm untuk jenis Enhalus sp dan
antara 8-14 cm untuk jenis Thallasia sp. Tabel 2.36 menggambarkan hasil pengukuran komunitas lamun di perairan Karang Maritim. Dari data tersebut diketahui bahwa penyebaran
lamun adalah teragregasi dengan nilai VMR 1,556. Penyebaran teraggregasi yang dimaksud adalah kondisi lamun di daerah ini tersebar tidak merata dan hanya berkelompok di beberapa
tempat saja di dalam transek, sementara di beberapa tempat lainnya berupa substrat pasir yang tidak ditumbuhi lamun.
Tabel 2.36 Data hasil pengukuran komunitas lamun di perairan Karang Maritim St. 3
Transek Jenis Lamun
Koloni X
X
2
Tinggi cm
Kepadatan
1 Thallassia
sp.; Enhalus sp. 3
9 10;67
115 2
Thallassia sp.
1 1
11 89
3 Thallassia
sp. 2
4 9
87 4
Thallassia sp.
1 1
10 123
5 Thallassia
sp. 1
1 8
121 6
Thallassia sp.; Enhalus sp.
3 9
12;93 187
7 8
Enhalus sp.
3 9
72 211
9 Thallassia
sp.; Enhalus sp. 4
16 14;83
126 10
Thallassia sp.; Enhalus sp.
2 4
12;79 101
JUMLAH 20
54 VMR
1,556 terdistribusi secara aggregasi; VMR 1
Pengukuran juga dilakukan di sebelah selatan eks Pelabuhan Srengsem pada koordinat 05°29’34,6” LS 105°19’25,0” BT pada kedalaman 45 cm Stasiun 4 diperoleh gambaran yang
tidak berbeda dengan Stasiun 3. Koloni lamun masih didominasi oleh jenis Thalassia sp dengan penyebaran secara aggregasi nilai VMR=1,1556. Lamun di lokasi ini tersebar tidak merata
dan hanya berkelompok di beberapa tempat di dalam transek, sementara di beberapa tempat lainnya berupa substrat pasir yang tidak ditumbuhi lamun. Kondisi ini terjadi akibat berbagai
tekanan aktivitas manusia di perairan tersebut, mengingat daerah ini sangat dekat dengan lokasi industri dan permukiman penduduk yang dapat menimbulkan dampak pencemaran. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.37 berikut.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 62 Tabel 2.37 Data hasil pengukuran komunitas lamun di perairan Karang Maritim St. 4
Transek Jenis Lamun
Koloni X
X
2
Tinggi cm
Kepadatan
1 Thallassia
sp.; Enhalus sp. 3
9 10;77
103 2
Thallassia sp.; Enhalus sp.
3 9
9;83 137
3 Thallassia
sp.; Enhalus sp. 3
9 11;81
112 4
Enhalus sp.
1 1
85 89
5 Thallassia
sp. 1
1 8
63 6
Thallassia sp.; Enhalus sp.
4 16
11;93 87
7 Thallassia
sp. 2
4 9
97 8
Thallassia sp.
3 9
9 110
9 Thallassia
sp. 3
9 14
131 10
Thallassia sp.
1 1
11 104
JUMLAH 24
68 VMR
1,1556 terdistribusi secara aggregasi; VMR 1
Pengukuran yang dilakukan di sekitar Pulau Pasaran pada koordinat 05°28’02,0” LS 105°15’56,5” BT pada kedalaman 89 cm Stasiun 5 diperoleh gambaran bahwa lamun
menyebar secara aggregasi dengan nilai VMR 1,5667. Seperti halnya dengan kondisi padang lamun di perairan Pantai Karang Maritim, kondisi lamun di perairan sekitar Pulau Pasaran juga
mengalami tekanan akibat aktivitas manusia, seperti limbah buangan rumah tangga dari Pulau Pasaran, limbah minyak dan solar dari aktivitas lalu lintas kapal ikan, serta limbah dan air tawar
yang berasal dari Sungai Kuripan. Kondisi ini memberikan tekanan ekologis bagi ekosistem lamun di lokasi tersebut. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.38 berikut.
Tabel 2.38 Data hasil pengukuran komunitas lamun di perairan Pulau Pasaran St. 5
Transek Jenis Lamun
Koloni X X
2
Tinggi cm Kepadatan
1 Enhalus
sp. 2
4 68
102 2
Enhalus sp.
1 1
89 91
3 4
Enhalus sp.; Thallassia sp.
4 16
57;14 102
5 Thallassia
sp. 2
4 11
113 6
Thallassia sp.
2 4
9 86
7 8
9 Thallassia
sp. 1
1 65
93 10
Thallassia sp.
1 1
71 214
JUMLAH 13
31 VMR
1,15667 terdistribusi secara aggregasi; VMR 1
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 63 Gambar 2.16. Sebaran padang lamun di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 64
IKLIM
Menurut Winarso 2003 berdasarkan kajian dan pantauan dibidang iklim siklus cuaca dan iklim terpanjang adalah 30 tahun dan terpendek adalah 10 tahun dimana kondisi ini dapat
menunjukkan kondisi baku yang umumnya akan berguna untuk menentukan kondisi iklim per dekade. Penyimpangan iklim mungkin akan, sedang atau telah terjadi bila dilihat lebih
jauh dari kondisi cuaca dan iklim yang terjadi saat ini.
1 Curah Hujan
Secara klimatologis pola hujan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yaitu pola monson, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola monson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat
unimodal satu puncak musim hujan yaitu sekitar bulan Desember. Secara umum musim
kemarau berlangsung dari bulan April sampai September dan musim hujan dari bulan Oktober sampai bulan Maret Boer, 2003. De Boer 1947 dalam Daryono 2002
mengatakan bahwa apabila curah hujan di suatu daerah 150 mmbulan maka daerah tersebut telah memasuki musim hujan, begitupun sebaliknya bila curah hujan 150
mmbulan maka daerah tersebut telah memasuki musim kemarau. Berdasarkan analisis data curah hujan selama 16 tahun 1992-2007 diketahui bahwa pola
hujan di Provinsi Lampung mengikuti pola monson. Musim hujan berlangsung antara bulan November hingga bulan April dan puncak musim hujan pada bulan Januari. Curah hujan
pada saat bulan Januari rata-rata 317,5 mm. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei hingga Oktober. Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Agustus dengan
curah hujan rata-rata 52,9 mm Gambar 2.17 Data curah hujan di Provinsi Lampung tahun 2007 disajikan pada Tabel 2.39. Selama tahun
2007 curah hujan mencapai 1.941,4 mmtahun dengan rata-rata 161,8 mm per bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu 450,7 mm; sedangkan terendah terjadi
pada bulan September yang hanya 18,2 mm.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 65 Gambar 2.17 Grafik rata-rata curah hujan di Provinsi Lampung 1992-2007
Tabel 2.39 Curah hujan di Provinsi Lampung tahun 2007
Bulan Curah Hujan mm
Bulan Curah Hujan mm
Januari 344,0
Juli 82,9
Februari 103,1
Agustus 19,0
Maret 202,4
September 18,2
April 303,9
Oktober 50,3
Mei 115,9
November 128,0
Juni 123,0
Desember 450,7
Jumlah dlm setahun : 1.941,4 mm Rata-rata : 161,8 mm
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009 Keterangan: tidak tersedia data 2008
Kondisi iklim di Provinsi Lampung secara umum juga dipengaruhi oleh iklim global, seperti fenomena El-Nino dan La-Nina. Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan salah satu
akibat dari penyimpangan iklim. Fenomena ini akan menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah curah hujan untuk beberapa daerah di Indonesia. Menurut peneliti Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi seperti yang diungkapkan oleh Irianto 2003 bahwa dampak dari fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan,
musim kemarau, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat. Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina berlangsung menurut Effendy 2001
akan meningkatkan jumlah curah hujan tahunan sekitar 50 mm dari curah hujan rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari dan Februari curah hujan meningkat sangat
nyata.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 66 Curah hujan yang tinggi pada saat musim hujan bulan Desember tahun 2007 diperkirakan
dipengaruhi oleh fenomena La-Nina. Berdasarkan grafik pola hujan di Provinsi Lampung Gambar 2.17 rata-rata curah hujan di bulan Desember 257,4 mm; dan yang terjadi pada
Desember 2007 curah hujan mencapai 450,7 mm atau meningkat hampir 75
2. Suhu Udara
Suhu udara rata-rata di Provinsi Lampung dalam 15 tahun terakhir berdasarkan data 1992- 2007 mengalami peningkatan dan penurunan, baik suhu udara maksimum maupun suhu
udara minimum. Fenomena tersebut menurut Diposaptono dkk 2009 adalah variabilitas iklim, yaitu naik turunnya suhu udara dari waktu ke waktu akibat posisi jarak matahari-bumi
yang selalu berubah-ubah. Ketika posisi matahari-bumi berada pada jarak terdekat mengakibatkan suhu permukaan bumi di berbagai wilayah tropis mengalami kenaikan tajam.
Demikian juga sebaliknya jika bumi menjauhi matahari maka suhu permukaan bumi akan menurun lagi.
Namun demikian jika mencermati trend kecenderungan naik turunnya suhu udara tersebut ternyata terjadi kecenderungan suhu udara yang semakin meningkat. Hal ini terlihat jelas
pada grafik suhu udara minimum. Terkait dengan permasalahan pemanasan global yang melanda seluruh dunia, Diposaptono dkk 2009 menjelaskan bahwa fenomena pemanasan
global telah menyebabkan perubahan temperatur rata-rata muka bumi menjadi semakin panas. Dalam waktu 70 tahun sejak 1940 suhu udara rata-rata di muka bumi mengalami
kenaikan sekitar 0,5 °C.
Gambar 2.18 Suhu udara rata-rata°C di Provinsi Lampung tahun 1992-2007
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 67 Pada tahun 2007 sebaran suhu udara di Provinsi Lampung rata-rata berkisar antara 22,9
min dan 32,4 maks. Pada bulan Agustus suhu udara minimum mencapai 21,3 °C dan ini merupakan suhu udara minimum yang terendah pada tahun 2007. Suhu udara maksimum
tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan hasil pengukuran 34°C. Tabel 2.40 Suhu udara di Provinsi Lampung tahun 2007
Suhu Udara °C BULAN
minimum maksimum
Januari 23,4
32,0 Februari
23,3 31,5
Maret 23,3
31,9 April
23,7 32,2
Mei 23,6
32,4 Juni
22,9 31,5
Juli 22,2
31,9 Agustus
21,3 31,9
September 21,8
33,6 Oktober
22,8 34,0
November 23,1
33,3 Desember
23,3 32,2
RATA-RATA 22,9
32,4
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009 Keterangan: tidak tersedia data 2008
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 68
BENCANA ALAM
1 Banjir
Bencana banjir merupakan salah satu bencana yang timbul akibat fenomena alam. Bencana banjir merupakan bencana yang memiliki pola tersendiri dan menghantam daerah yang
sama secara periodik. Bencana banjir di Provinsi Lampung seringkali diikuti oleh tanah longsor, terutama di daerah rawan longsor, dan keduanya terjadi setelah turun hujan yang
cukup deras dan lama. Secara umum, penyebab banjir di Provinsi Lampung terbagi atas : Makin meluasnya kerusakan hutan akibat perambahan hutan, penebangan liar illegal
logging , dan kebakaran hutan di bagian hulu dan tengah DAS menyebabkan koefisien
run off meningkat, sehingga aliran permukaan dan erosi meningkat. Hal ini
menyebabkan sedimentasi meningkat dan selanjutnya mengakibatkan kapasitas sungai menurun, sehingga terjadi banjir.
Pertanian lahan kering tanpa tindakan konservasi tanah dan air bersamaan dengan kerusakan hutan telah menimbulkan lahan kritis yang semakin luas. Akibat usaha tani
pada lahan miring tanpa tindakan konservasi tanah dan air yang memadai telah menyebabkan aliran permukaan dan erosi meningkat, sehingga sedimentasi meningkat
dan mengakibatkan kapasitas sungai menurun. Meluapnya sungai akibat terjadinya hujan di hulu bersamaan dengan pasang air laut,
sehingga air yang berasal dari sungai tidak bisa leluasa mengalir ke laut dan menggenangi daerah sekitarnya di bagian hilir. Hal ini sering dialami oleh kecamatan-
kecamatan di wilayah pesisir di Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Pesawaran, dan Kabupaten Lampung Timur.
Kesalahan perencanaan drainase wilayah, sehingga sistem drainase tidak mampu menampung limpasan air saat hujan deras.
Hilangnya fungsi resapan dari kolam-kolam resapan dan rawa di bagian hilir akibat pembangunan perumahan dan industri.
Hilangnya fungsi penyaring filter sempadan sungai, terutama pada bagian tengah dan hilir DAS, sebagai akibat usaha tani, industri dan pemukiman.
Relatif padatnya permukiman di bagian hilir, dengan kondisi topografi wilayah yang berada pada daerah cekungan.
Selama tahun 2008-2009 tercatat kejadian banjir di Provinsi Lampung seperti yang tertera pada Tabel 2.41.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 69 Tabel 2.41 Kejadian bencana banjir di Provinsi Lampung periode Januari 2008-Maret 2009
NO. KABUPATEN KOTA
WAKTU KERUSAKANKERUGIAN
Lampung Timur : Desa Pasir Sakti, Kec. Pasir
Sakti 10 November 2008
3 rumah rusak berat x Kec. Jabung
x Kec. Waway Karya 19 Desember 2008
x 350 rumah tergenang air x 750 ha sawah tergenang air
x 114 ha kebun jagung tergenang air x 10 ha kebun ubi tergenang air
1
Kec. Sukadana 18 Februari 2009
x 70 rumah terendam x 6 ha sawah terndam
x 4 ha ladang terendam x ¼ ha kolam ikan meluap
Lampung Tengah : 2
Kec. Seputih Surabaya Februari 2008
x 30 rumah rusak berat; x 70 rumah rusak sedang; 15 rumah rusak
ringan
Lampung Selatan : 3
x Kec. Sragi x Kec.Candi Puro
19 Desember 2008 x 140 rumah dan 3 masjid tergenang air
x 1.475 ha lahan pertanian tergenang air x 140 petak tambak meluap
Bandar Lampung : 4
x Tanjungkarang Pusat x Tanjungkarang Timur
x Telukbetung Selatan x Kotakarang
x Panjang x Telukbetung Barat
x Kedaton 18 Desember 2008
x 1 orang meninggal dunia, x 82 rumah rusak berat
x 127 rumah rusak sedang x 1.025 rumah rusak ringan
Lampung Barat : 5
Pekon Tugu Ratu dan Sumber Agung, Pemangku
Ketapang Jaya, Kec. Suoh 3 November 2008
Kerugian diperkirakan Rp8.054.450.000 6
Tanggamus : Desa Siring Betik, Kec.
Wonosobo 28 September 2008
x 1 orang meninggal dunia x 2 orang luka ringan
Kec. Semaka, Bandar Negeri Semuong, dan
Wonosobo 6 November 2008
x 10.190 ha sawah terendam x 65 ha sawah rusak ringan
x 24 ha sawah rusak berat x 14 SD dan 1 SMA rusak ringan
x 1 jembatan putus x 2 rumah tertimbun longsor
x Jalan desa tertutup luapan Sungai Semuong
Pesawaran : 7
x Kec. Gedong Tataan x Kec. Way Lima
23 Desember 2008 x 3 rumah rusak berat
x 1 ekor sapi hanyut Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Lampung 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 70 Banjir yang melanda ibukota Provinsi Lampung Bandar Lampung pada 18 Desember 2008
merupakan banjir terbesar dalam 23 tahun terakhir ini. Banjir ini merendam permukiman dan rumah sakit, serta melumpuhkan transportasi dalam kota. Luapan air merendam
pemukiman di Tanjungkarang Pusat, Tanjungkarang Timur, Telukbetung Selatan, Kotakarang, Panjang, Telukbetung Barat, dan Kedaton. Walaupun banjir ini tidak terlalu
lama, namun memakan korban jiwa 1 orang meninggal dunia. Banjir bandang yang terjadi di Way Kerap dan Sedayu, Kecamatan Semaka, Kabupaten
Tanggamus pada 3 Oktober 2009 telah menyebabkan empat orang tewas dan tiga orang hilang. Selain menelan korban jiwa dan merusak permukiman warga, banjir bandang juga
telah mengakibatkan satu ekor gajah di Bukit Barisan Selatan mati akibat terseret arus longsor dan tertimpa pepohonan. Gajah yang mati tersebut diperkirakan berumur 10 tahun
dan merupakan bagian dari kawanan gajah yang terdapat di kawasan Bukit Barisan Selatan yang tepat berada tidak jauh dari lokasi. Banjir bandang yang disertai tanah longsor ini juga
telah menyebabkan terputusnya transportasi dari Kota Agung ke Krui Lampung Barat dan menyebabkan sekitar 10 kendaraan truk terjebak.
Berdasarkan Peta Rawan Banjir Provinsi Lampung yang dibuat oleh Bakosurtanal diketahui bahwa daerah rawan banjir sebagian besar terdapat di Kabupaten Tulang Bawang,
Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan Gambar 2.19. Untuk menanggulangi banjir Pemerintah Provinsi Lampung sebenarnya sudah sejak lama
melakukan tindakan pencegahan, antara lain melalui programkegiatan konservasi tanah dan air, baik melalui carametode vegetatif maupun mekanik. Metode vegetatif yang umum
dilakukan adalah reboisasi pada kawasan hutan negara, penghijauan pada hutan rakyat dan areal pertanian, dan penerapan agroforestri. Metode mekanik yang dilakukan adalah
pembuatan cek dam pada berbagai wilayah hulu DAS, program terrasering pada lahan petani, pembuatan sumur resapan, pembuatan embung, normalisasi sungai perbaikan
saluran, pengerukan sedimen, pembersihan sungai dari sampah, penanaman vegetasi pada sempadan sungai, dan lain-lain.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 71 Gambar 2.19 Peta rawan banjir Provinsi Lampung
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 72
2 Longsor
Gerakan tanah tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya masa tanah dan batuan ke tempatdaerah yang
lebih rendah. Gerakan masa ini dapat terjadi pada lereng-lereng yang hambat geser tanahbatuannya lebih kecil dari berat masa tanahbatuan itu sendiri. Pemicu dari terjadinya
gerakan tanah ini adalah curah hujan yang tinggi serta kelerengan tebing. Zona kerentanan tanah longsor di Provinsi Lampung, terutama terdapat Kabupaten
Lampung Barat, Tanggamus, Lampung Selatan, dan Pesawaran. Sebagian besar daerah rawan longsor berada di sekitar kawasan perbukitan. Hampir di setiap musim hujan tahunan
terjadi gerakan tanah tanah longsor bahkan telah menimbulkan korban harta-benda dan jiwa manusia penduduk yang bermukim di kawasan tersebut. Adakalanya kejadian tanah
longsor disertai dengan banjir bandang, seperti yang melanda Kabupaten Tanggamus pada 4 Oktober 2009. Secara umum, penyebab terjadinya tanah longsor adalah sebagai berikut:
Vegetasi penutup di areal perbukitan yang semula hutan, telah berubah menjadi ladang dan semak belukar akibat adanya permukiman penduduk.
Terbentuknya lahan kritis akibat gangguan manusia terutama di sekitar struktur patahan. Tidak tersedianya bangun-bangunan penahan longsor di kawasan permukiman yang
berlokasi di perbukitan Tidak terlindunginya lapisan tanah penutup dari aliran drainase dan air hujan sehingga
tembus sampai ke dasar batuan. Meningkatnya jumlah permukiman di kaki kawasan perbukitan.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Lampung, sepanjang tahun 2008 terjadi bencana longsor di berbagai wilayah di Lampung, seperti di Bandar Lampung
Kecamatan Panjang dan Lampung Barat Kecamatan Suoh dan Kecamatan Balik Bukit. Sedangkan longsor yang terjadi pasca banjir bandang di Kabupaten Tanggamus pada 3
Oktober 2009 telah menyebabkan terputusnya jalur lalu lintas dari Kota Agung menuju Krui. Tabel 2.42 Bencana tanah longsor di Provinsi Lampung selama 2008
NO. KABUPATEN KOTA
WAKTU KERUSAKANKERUGIAN
Bandar Lampung: 1
Kec. Panjang, Kel. Pidada 6 Agustus 2008
x 7 orang meninggal x 27 orang luka berat
x 13 luka ringan
Lampung Barat : Pekon Tugu Ratu dan
Sumber Agung, Pemangku Ketapang Jaya, Kec. Suoh
3 November 2008 Kerugian diperkirakan Rp8.054.450.000
2
Pekon Sebarus dan Kubu Perahu, Kec. Balik Bukit
12 Desember 2008 x 1 rumah terbawa arus
x 1 jembatan rusak x Pemakaman umum rusak
x 1 mesjid di Kubu Perahu terbawa arus Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Lampung 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 73 Gambar 2.20 Kejadian tanah longsor di sekitar jalur lintas Krui-Liwa 15 Oktober 2008
Gambar 2.21 Ruas jalan di tanjakan Sedayu Kabupaten Tanggamus yang penuh
material tanah dan bebatuan akibat longsor setelah banjir bandang 3 Oktober 2009 Sumber: Tribun Lampung 7 Oktober 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 74
3 Kekeringan
Bencana kekeringan yang melanda Indonesia, termasuk juga di Provinsi Lampung, pada dasarnya merupakan akibat dari pemanasan global. Salah satu pengaruh utama iklim di
Indonesia adalah El-Nino Southern Oscillation ENSO yang setiap beberapa tahun memicu berbagai cuaca ekstrim. Pada saat terjadi El-Nino, biasanya terjadi musim kemarau yang
panjang. Perubahan pola curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai
dengan peningkatan temperatur juga telah menimbulkan dampak yang signifikan pada cadangan air berupa kelangkaan air, yang menimbulkan berbagai dampak lanjutan yang
merugikan. Dampak lanjutan akibat kelangkaan air antara lain terjadinya kekeringan dan menyebabkan aktivitas pertanian terganggu, sehingga produksi pertanian menurun tajam.
Bencana kekeringan di Provinsi Lampung sepanjang tahun 2008 tercatat 53.227 ha. lahan pertanian, baik untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai mengalami kekeringan dan puso.
Tanaman padi yang mengalami puso seluas 2.152 ha, sedangkan lahan pertanian jagung yang mengalami puso seluas 598 ha. Walaupun relatif kecil jika dibanding dengan total luas
persawahan di Lampung yang mencapai 469.884 ha, puso dan ancaman kekeringan tersebut berdampak pada berkurangnya produksi padi.
Bencana kekeringan mulai dirasakan sejak bulan April 2008, terutama di Kabupaten Lampung Selatan, dan selanjutnya meluas ke Kabupaten lainnya dan mencapai puncaknya
pada bulan Juli-Agustus 2008. Pada bulan Juli luas lahan padi yang mengalami kekeringan dan puso mencapai 15.507 ha dan menurun pada bulan Agustus menjadi 7.342 ha.
Kekeringan tidak terjadi pada bulan September hingga Desember 2008 seiring dengan turunnya hujan.
Luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan dan puso sepanjang tahun 2008 paling banyak terdapat di Kabupaten Lampung Timur, yaitu seluas 17.818 ha atau 33,44 dari
total luas lahan yang mengalami kekeringan dan puso di Provinsi Lampung. Selanjutnya di Lampung Selatan dengan luas 13.477 ha atau sekitar 25,30. Kedua kabupaten tersebut
memang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, namun sebagian besar lahan pertaniannya merupakan lahan yang rawan kekeringan.
Dilihat dari luas lahan sawah yang ada, bencana kekeringan yang terjadi di Lampung telah mengurangi produksi padi dan menurunkan ketahanan pangan di Provinsi Lampung. Dalam
kondisi normal, setiap ha sawah di Provinsi Lampung mampu menghasilkan padi 4,5 ton hingga 6 ton. Bila setiap ha sawah non irigasi rata-rata menghasilkan 4,5 ton padi dengan
satu kali musim tanam, dapat diprediksi bahwa dengan luas lahan yang mengalami kekeringan 22.166 ha dan puso 2.152 ha akan mengurangi produksi padi. Jika diasumsikan
sawah yang mengalami kekeringan dengan kategori ringan akan kehilangan produksi padi sekitar 20, kategori sedang 50, kategori berat kehilangan produksi padi 75, dan puso
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 75 sebesar 100, maka selama tahun 2008 Provinsi Lampung mengalami defisit padi sekitar
47.207 ton akibat bencana kekeringan. Tabel 2.43 Luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan dan puso di Provinsi
Lampung selama 2008 Satuan: ha
No. KABUPATEN
KOTA R
S B
P J
R S
B P
J R
S B
P J
1 Bandar Lampung
40 5
35 80
2 Lampung Selatan
3.566 388
171 85
4.210 5.125
3.225 831
86 9.267
3 Tanggamus
2.136 810
665 805
4.416 413
289 172
123 997
4 Lampung Tengah
1.693 1.403
1.347 397
4.840 1.167
328 309
69 1.873
26 5
31
5 Lampung Utara
408 157
28 115
708 150
150
6 Tulang Bawang
803 448
876 203
2.330 207
160 367
7 Lampung Barat
200 47
24 271
8 Lampung Timur
3.080 440
28 6
3.554 13.460
399 316
89 14.264
9 Way Kanan
132 110
130 372
10 Metro
8 3
11 68
2 8
78
11 Pesawaran
962 672
1.386 506
3.526 1.387
126 138
231 1.882
50 50
13.028 4.483
4.655 2.152
24.318 21.977
4.529 1.774
598 28.878
50 26
5 81
PADI JAGUNG
KEDELAI
PROVINSI LAMPUNG
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung 2009 Keterangan: R = kekeringan ringan, S=kekeringan sedang, B=kekeringan berat, P=puso, J=jumlah
Gambar 2.22 Lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Natar Lampung Selatan
4 Angin Puting Beliung
Angin puting beliung, yaitu angin kencang yang datang secara tiba - tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar seperti spiral hingga menyentuh permukaan bumi dan punah dalam
waktu singkat 3 - 5 menit. Kecepatan angin rata - ratanya berkisar antara 30 - 40 knots. Angin ini berasal dari awan Cumulonimbus Cb yaitu awan yang bergumpal berwarna abu -
abu gelap dan menjulang tinggi. Namun, tidak semua awan Cumulonimbus menimbulkan puting beliung.
Selama tahun 2008 dan Maret 2009 tercatat beberapa bencana angin puting beliung yang terjadi di berbagai daerah di Provinsi Lampung, seperti yang tertera pada Tabel 2.44
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 76 Bencana angin puting beliung tersebut telah menimbulkan kerugian berupa rusaknya rumah
penduduk, gedung sekolah, masjid, dan korban luka-luka. Tabel 2.44 Bencana angin puting beliung di Provinsi Lampung periode Januari 2008-Maret
2009
NO. KABUPATEN KOTA
WAKTU KERUSAKANKERUGIAN
Tulang Bawang: 1
Kec. Gedong Aji 30 Maret 2008
x 7 rumah rusak berat x 35 rumah rusak ringan
x 1 SD rusak ringan
Lampung Tengah : Kampung Beringin Jaya,
Kec. Bandar Surabaya 29 Maret 2008
x 15 rumah rusak sedang x 1 SD rusak sedang
2 Surabaya Ilir, Kec. Bandar
Surabaya 29 Maret 2008
x 1 rumah rusak berat x 54 rumah rusak sedang
x 1 SD rusak sedang
Lampung Selatan :
Dusun Berlendung, Kec. Ketapang
27 Maret 2008 x 1 rumah rusak berat
x 7 rumah rusak ringan x Kerugian diperkirakan Rp23.079.000,-
Desa Sinar Rejeki, Kec. Tanjung Sari
10 April 2008 x 4 rumah rusak berat
x 48 rumah rusak ringan x Kerugian diperkirakan Rp36.000.000,-
3
Desa Jati Baru, Kec. Tanjung Bintang
12 Januari 2009 x 8 rumah rusak sedang
x 1 rumah rusak sedang x 1 unit kandang ayam potong rusak sedang
x 1 warung rusak berat x 1 gudang KUD rusak sedang
x Pagar SMK rusak berat x 3 motor rusak berat
Bandar Lampung : 4
Kec. Kedaton 4 Februari 2008
x 30 rumah rusak atapnya x 1 MTS rusak atapnya
Lampung Utara: 5
Desa Sido Rahayu 15 Februari 2008
x 65 rumah rusak parah x 1 SD rusak
x 1 masjid rusak x 3 orang luka-luka
6 Tanggamus :
Kec. Gading Rejo Pekon Tulung Agung, Pekon
Mataram, Pekon Kediri 10 Maret 2009
x 3 rumah rusak berat x 1 rumah rusak sedang
x 68 rumah rusak ringan
Way Kanan :
x Kec. Kasui x Kec. Banjit
4 April 2008 x 497 rumah rusak ringan
7 x Kec. Negeri Besar
Kampung: Kaliawi, Kaliawi Indah, Tiuh
Balak, Negeri Besar, dan Kiling-Kiling
13 Februari 2009 x 2 Rumah rusak berat
x 26 Rumah rusak sedang x 141 Rumah rusak ringan
x 4 sekolah rusak ringan x 81 ha lahan pertanian rusak
Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Lampung 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 77 Puting beliung dapat terjadi dimana saja, di darat maupun di laut dan jika terjadi di laut
durasinya lebih lama daripada di darat. Pergerakan angin akan lebih cepat sampai ke daratan jika di wilayah daratan memantulkan panas dan bertanah lapang tanpa perbukitan.
Gedung-gedung di perkotaan dan tanah tandus lapang menyumbang terjadinya angin itu. Angin ini umumnya terjadi pada siang atau sore hari, terkadang pada malam hari dan lebih
sering terjadi pada peralihan musim pancaroba. Luas daerah yang terkena dampaknya sekitar 5 - 10 km, karena itu bersifat sangat lokal. Walaupun bencana alam angin puting
beliung bersifat lokal, tapi sanggup mengangkat atap rumah dan memporak-porandakan pemukiman. Hal ini disebabkan karena kecepatannya hingga 120 kmjam, dan berlangsung
antara 1-5 menit. Dampak kerusakan yang ditimbulkan angin puting beliung dapat menyebabkan atap rumah nonpermanen atau rumah yang beratap sengasbes akan
berterbangan.
5 Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan di Pulau Sumatera, termasuk di wilayah Provinsi Lampung, dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk yang makin pesat dan perubahan pemanfaatan lahan
dari semula untuk tujuan subsisten berubah menjadi pemanfaatan untuk hutan tanaman, perkebunan dan industri pertanian lain. Dengan demikian, pengaruh manusia telah diklaim
sangat signifikan bagi terjadinya kebakaran hutan. Sebuah tim peneliti, salah satunya Guido van der Werf dari VU University Amsterdam, telah menganalisis densitas dari asap
selama kebakaran hutan dengan lokasi Pulau Sumatera dan Kalimantan. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa intensitas dari kebakaran hutan berhubungan langsung dengan
kepadatan penduduk dan pemanfaatan lahan. Hasil penelitian ini telah diterbitkan dalam Majalah Nature Geoscience, 22 February 2009.
Di samping pengaruh manusia yang sangat berarti bagi terjadinya kebakaran hutan di Indonesia, para peneliti telah meneliti pengaruh dari fenomena alam lain, seperti halnya
pengaruh El Nino. Pengaruh El Nino terhadap besaranjumlah curah hujan telah diketahui, tetapi pengaruh yang besar dari fenomena Indian Ocean Dipole IOD belum sepenuhnya
diketahui. IOD adalah suatu perubahan osilasi suhu permukaan air laut Samudera Hindia secara periodik yang bergerak antara kondisi positif dan negatif, sehingga berpengaruh
terhadap curah hujan dan kekeringan di daratan Indonesia dan Australia. IOD merupakan bagian dari siklus iklim dunia, sama seperti El Nino di Samudera Pasifik, sehingga penting
untuk diteliti dan dipahami perilakunya. Meskipun kekeringan parah terjadi secara periodik akibat adanya dua fenomena iklim dunia
tersebut dan menjadikan kondisi kondusif bagi terjadinya kebakaran hutan, tetapi pemicu dan penyebab utama kebakaran hutan adalah manusia., seperti untuk land clearing bagi
lahan-lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2009, pada tahun 2007 terjadi kebakaran
hutan yang melanda Taman Nasional Way Kambas TNWK dan PT Silva Inhutani Lampung
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 78 PT. SIL dengan luas masing-masing 1.846 ha dan 6,25 ha yang terjadi antara bulan
September-Oktober. Selama tahun 2008 di Provinsi Lampung tidak terjadi kebakaran hutan, sedangkan pada Agustus-September 2009 kembali terjadi kebakaran hutan di TNWK
dan PT. SIL dengan luas masing-masing 30 ha dan 500 ha. Di TNWK umumnya kebakaran hutan terjadi pada semak belukar dan alang-alang, sedangkan di PT .SIL sejumlah tanaman
budidaya, seperti akasia dan karet, yang terbakar. Kebakaran lahan hanya di Provinsi Lampung umumnya terjadi pada daerah-daerah tertentu
dengan intensitas yang tidak terlalu luas, misalnya pada areal perkebunan tebu menjelang dipanen. Hal ini memang sudah umum dilakukan oleh perusahaan pemilik perkebunan tebu
di Lampung. Selain itu, adakalanya masyarakat juga melakukan pembakaran lahan pertanian mereka dengan tujuan untuk membersihkan lahan tersebut dari semak belukar
dengan skala yang tidak terlalu luas. Tidak diperoleh data tentang kondisi kebakaran lahan di Provinsi Lampung selama tahun 2007-2009.
Tabel 2.45 Kebakaran hutan di Provinsi Lampung 2007-2009
No. Waktu
Lokasi Luas ha
Keterangan
TNWK 1.846
Semak belukar dan alang-alang terbakar
1. Sep-Okt 2007
PT. SIL 6,25
Pohon karet dan akasia terbakar 2.
2008 Tidak ada kebakaran hutan
TNWK 30
Semak belukar dan alang-alang terbakar
3. Ags-Sep 2009
PT. SIL 500
Pohon karet dan akasia terbakar Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 2009
6 Gempa Bumi
Provinsi Lampung secara geografis dilalui oleh sistem sesar Sumatera. Kondisi ini mengakibatkan zona yang dilalui sistem sesar ini merupakan daerah yang rawan terjadi
kerusakan bila terjadi gempa yang signifikan, seperti di daerah Kabupaten Lampung Barat. Letak Kabupaten Lampung Barat yang berada di jalur Bukit Barisan dan berhadapan dengan
Samudera Hindia merupakan sentra wilayah bencana. Di wilayah pegunungan terdapat zona patahan Semangka Sumatra transform fault zone yang bergerak dengan kecepatan
antara 7-14 cmtahun sesuai dengan gerak sundulan penunjang kerak Sumatera Indonesia- Australia di selatan.
Sistem kegempaan di Provinsi Lampung tidak terlepas dari kegempaan yang terjadi di Selat Sunda. Berdasarkan kondisi geologis, wilayah Selat Sunda berpotensi dilanda gempa bumi,
baik gempa bumi tektonik, vulkanik maupun longsoran. Akan tetapi bencana gempa bumi yang mungkin bersifat merusak dan dominan adalah gempa bumi tektonik. Gempa ini dapat
terjadi pada bagian lempeng kontinen maupun pada lempeng samudra yang menyusup.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 79 Diketahui bahwa pada bagian Lempeng Benua Eurasia overriding plate, khususnya Pulau
Sumatera berkembang Sesar Aktif Semangko yang membujur dari ujung pulau bagian utara ke ujung selatan bahkan menerus ke selatan ujung barat Jawa. Sesar aktif inilah yang
berpotensi menjadi sumber gempa dan bila sumber gempanya terjadi pada bagian sesar aktif yang terdapat di daerah perairan atau laut maka dapat menjadi pemicu terjadinya
tsunami. Selain itu, pada lempeng samudera Hindia-Australia subducting plate di sepanjang jalur subduksi yang terdapat dibagian baratnya, mulai dari sekitar palung terus
mengikuti kedalaman Zona Benioff, juga menjadi tempat sumber gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami.
Di daratan Sumatera, Sesar Sumatera terbentang sepanjang pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Teluk Semangko di Selat Sunda sampai dengan wilayah Aceh di utara. Sudah
sekitar 20 gempa besar dan merusak terjadi di sepanjang Patahan Sumatra dalam 100 tahun terakhir. Dengan kata lain, gempa besar di Sesar Sumatera terjadi rata-rata dalam
lima tahun sekali. Jadi, berbeda dengan di zona subduksi Sumatera yang berpotensi untuk mengeluarkan gempa besar dengan magnitudo 8 tapi hanya sekitar 2 - 3 kali dalam 100
tahun, gempa di Sesar Sumatera magnitudo-nya 7.7 tapi sering dan sumbernya lebih dekat dengan populasi penduduk.
Menurut pemantauan BMG, antara tahun 1985 sampai tahun 1990, gempa di kawasan Selat Sunda bervariasi antara 6 - 29 kali gempa per tahun dengan magnitudo di atas 4.0 SR.
Dengan bertambahnya alat monitoring yang Iebih baik, maka sejak tahun 1991 terpantau gempa bumi di kawasan tersebut sebanyak 1.865 gempa, 1992 sebanyak 2.342 gempa,
tahun 1993 sebanyak 1.692 gempa dan tahun 1994 sebanyak 2.456 gem
pa.
Data gempa merusak BMG menunjukkan bahwa sejak tahun 1833 sampai dengan saat ini tidak kurang dari 31 gempa kuat yang dirasakan, dan sebagian bahkan mengakibatkan
korban jiwa dan kerugian harta benda, salah satunya adalah gempa Liwa tahun 1994 yang diakibatkan oleh sesar aktif Semangko dan memakan korban 200-an jiwa dan ratusan
bangunan rusak berat dan roboh. Gempa yang berkekuatan 6,2 skala Richter dengan kedalaman sumber gempa 23 km. Data kejadian gempa di sekitar Selat Sunda antara tahun
1900-2008 yang diperoleh dari USGS 2008 dipetakan pada Gambar 2.23. Selama periode Januari-Juni 2008 Stasiun Geofisika Kotabumi mencatat sedikitnya 225
gempa terjadi di Lampung. Menurut Kepala Stasiun Geofisika Kotabumi, Krismanto dalam Lampung Post,
25 Juni 2008, ratusan gempa yang terjadi selama periode Januari-Juni tersebut berkekuatan 4,0--5,4 pada skala Richter. Konsentrasi pusat gempa berada di
selatan Pulau Enggano, Krui, dan Selat Sunda. Dari 225 kali gempa yang terjadi selama semester I tahun 2008 tersebut, 21 kali gempa dengan tingkat getaran II--III MMI modified
mercalli intensity terjadi di Selat Sunda. Kawasan perairan Selat Sunda memang termasuk
daerah paling rawan gempa karena banyak terdapat pusat gempa di sepanjang perairan tersebut.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 80 Untuk memantau kejadian gempa yang kerap terjadi di Lampung, Stasiun Geofisika
Kotabumi telah memasang lima alat TEWS telemetri early warning system. Peralatan baru yang merupakan bantuan dari China itu, dipasang di Lampung Selatan, Tanggamus, Unila,
Liwa, dan Kotabumi. Selain itu, Stasiun Geofisika Kotabumi juga sudah dilengkapi dengan alat pencatat gempa digital. Dengan dukungan peralatan tersebut, Stasiun Geofisika
Kotabumi tidak hanya memantau gempa di Lampung, tetapi juga mampu memantau gempa di sebagian wilayah Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Muara Dua dan Lahat.
Gambar 2.23 Kejadian gempa di sekitar Selat Sunda 1990-2008 Sumber: USGS, 2008
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
II - 81 Tabel 2.46 Beberapa kejadian gempa yang dirasakan di wilayah Lampung 2008-2009
No. Waktu
Kekuatan Gempa
SR Lokasi Sumber
Gempa Dirasakan di
wilayah Lampung
Kerugian
1 6 Januari 2008
5,2 barat daya Bintuhan,
Bengkulu Selatan. Liwa dan Krui
Tidak ada 2
7 Januari 2008 3,3
47 km tenggara Liwa Liwa dan Krui
Tidak ada 3
26 Agustus 2008 6,6
125 km barat laut Ujung Kulon
Bandar Lampung, Krui, Liwa
Tanggamus, Lampung Selatan,
Pesawaran Tidak ada
4 12 Oktober 2009
5,1 283 km barat daya
Krui di laut Tidak ada info
Tidak ada 5
16 Oktober 2009 6,4
42 km barat laut Ujung Kulon
Bakauheni, Kalianda,
Bandarlampung, Tanggamus,
Lampung Barat Tidak ada
6 1 November 2009
5,1 5,052° LS - 102,891°
BT 160 km dari Bengkulu
Liwa Tidak ada
Sumber: Lampung Post 2008-2009
BAB III
TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 1
KEPENDUDUKAN
1 Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk
Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah
penduduk yang besar dapat menjadi potensi, tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah.
Berdasarkan hasil estimasi dari data penduduk tahun 2005, penduduk Provinsi Lampung tahun 2007 mencapai 7.289.767 jiwa yang tersebar di beberapa kabupatenkota.
Kabupaten Lampung Selatan memiliki jumlah penduduk terbesar dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya, yaitu 1.341.258 jiwa. Selain Lampung Selatan, kabupatenkota
lainnya yang memiliki jumlah penduduk yang besar adalah Lampung Timur dan Lampung Tengah dengan jumlah penduduk masing-masing 936.734 dan 1.160.221 jiwa. Kabupaten
Lampung Barat, Way Kanan dan Kota Metro memiliki jumlah penduduk yang relatif rendah dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya di Provinsi Lampung Tabel 3.1.
Pertumbuhan penduduk di Provinsi Lampung terus mengalami perubahan yang fluktuatif. Pertumbuhan penduduk pada periode 1971 - 1980 adalah sebesar 5,77 persen per tahun
dan mengalami penurunan pada periode 1980 - 1990 menjadi sebesar 2,67 persen per tahun, sedangkan periode 1990 - 2000 sebesar 1,01
persen. Apabila dilihat laju pertumbuhan penduduk Provinsi Lampung merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan
provinsi lainnya baik pada periode 1971-1980 maupun periode 1980-1990. Seperti diketahui secara keseluruhan pertumbuhan penduduk di Indonesia pada periode 1990-2000 adalah
sebesar 1,49 persen per tahun. Berdasarkan data jumlah penduduk antara tahun 1998-2008 maka tingkat pertumbuhan penduduk di Provinsi Lampung mencapai 87.867 jiwa per tahun
atau sebesar 1,24 per tahun. Tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Lampung tampak masih timpang atau tidak merata
antar wilayah. Seperti halnya di kabupatenkota lainnya di Indonesia, umumnya tingkat kepadatan penduduk lebih tinggi di kota bila dibandingkan dengan kabupaten. Tingkat
kepadatan penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2008 mencapai 4.264,51 jiwakm
2
dan Kota Metro mencapai 2.171,26 jiwakm
2
. Walaupun Kota Metro memiliki jumlah penduduk paling sedikit, namun dengan luas wilayah hanya 61,79 km
2
kota ini merupakan kota terpadat kedua di Provinsi Lampung setelah Bandar Lampung. Sementara itu, tingkat
kepadatan penduduk di semua kabupaten masih berada di bawah 500 jiwakm
2
, bahkan Kabupaten Lampung Barat baru mencapai 79,55 jiwakm
2
. Secara keseluruhan, tingkat kepadatan penduduk di seluruh Provinsi Lampung tahun 2008 mencapai 196,93 jiwakm
2
Tabel 3.2.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 2 Tabel 3.1 Jumlah penduduk Provinsi Lampung berdasarkan kabupaten tahun 1998-2008
Tahun Lampung
Barat Tangga-
mus Lampung
Selatan Lampung
Timur Lampung
Tengah Lampung
Utara Way
Kanan Tulang
Bawang Pesawaran
Bandar Lampung
Metro PROVINSI
LAMPUNG 1 9 9 8
353.413 795.597
1.114.421 860.559
1.028.046 524.104
356.515 643.376
719.659 116.770
6.512.460 1 9 9 9
359.650 797.835
1.123.762 864.984
1.037.074 526.443
357.059 667.160
731.290 117.460
6.582.717 2 0 0 0
366.484 800.211
1.133.124 869.428
1.046.167 530.941
357.604 691.822
742.749 118.448
6.656.978 2 0 0 1
371.891 800.561
1.147.914 874.645
1.055.249 536.980
358.164 702.247
754.892 119.771
6.722.314 2 0 0 2
377.298 800.910
1.162.708 879.863
1.064.330 543.020
358.724 712.671
767.036 121.094
6.787.654 2 0 0 3
382.706 801.260
1.177.505 885.080
1.073.412 549.060
359.284 723.096
779.179 122.417
6.852.999 2 0 0 4
388.113 801.609
1.192.296 890.298
1.082.494 555.099
359.844 733.520
788.937 123.740
6.915.950 2 0 0 5
378.005 821.119
1.281.104 919.274
1.129.352 554.617
359.945 750.672
793.746 128.343
7.116.177 2 0 0 6
380.208 824.922
1.312.527 929.159
1.146.158 559.172
361.810 763.360
803.922 130.348
7.211.586 2 0 0 7
381.439 826.610
1.341.258 936.734
1.160.221 562.314
362.749 774.265
812.133 132.044
7.289.767 2 0 0 8
393.818 845.777
929.702 947.193
1.177.967 567.164
364.778 787.673
420.014 822.880
134.162 7.391.128
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009 Keterangan: Kabupaten Pesawaran merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 3 Tabel 3.2 Kepadatan penduduk kabupatenkota di Provinsi Lampung tahun 2008
No. KabupatenKota
Luas km
2
Jumlah Penduduk Kepadatan
jiwakm
2
1 Lampung Barat
4.950,40 393.818
79,55 2
Tanggamus 3.356,61
845.777 251,97
3 Lampung Selatan
3.180,78 929.702
292,29 4
Lampung Timur 4.337,89
947.193 218,35
5 Lampung Tengah
4.789,82 1.177.967
245,93 6
Lampung Utara 2.725,63
567.164 208,09
7 Way Kanan
3.921,63 364.778
93,02 8
Tulang Bawang 7.770,84
787.673 101,36
9 Bandar Lampung
192,96 822.880
4.264,51 10 Metro
61,79 134.162
2.171,26 11 Pesawaran
2.243,51 420.014
187,21
Provinsi Lampung 37.531,86
7.391.128 196,93
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009
2. Pola Migrasi
Migrasi penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan
menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri. Hal itu disebabkan karena hubungan antara migrasi dan proses pembangunan yang terjadi dalam suatu negaradaerah saling terkait.
Migrasi merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Umumnya migrasi penduduk mengarah pada wilayah yang “subur” pembangunan ekonominya, karena
faktor ekonomi sangat kental mempengaruhi orang untuk pindah. Faktor ekonomi merupakan motif yang paling sering dijadikan sebagai alasan utama dalam keputusan
seseorang untuk melakukan migrasi. Pola migrasi di negara-negara yang telah berkembang biasanya sangat rumit kompleks
menggambarkan kesempatan ekonomi yang lebih seimbang dan saling ketergantungan interdependensi antar wilayah di dalamnya. Sebaliknya di negara-negara berkembang
biasanya pola migrasi menunjukkan suatu pengutuban polarisasi, yaitu pemusatan arus migrasi ke daerah-daerah tertentu saja, khususnya kota-kota besar. Migrasi ini juga
merefleksikan keseimbangan aliran sumber daya manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya.
Pola migrasi netto menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Provinsi Lampung tahun 2008 yang diprediksi oleh Bappenas, BPS, dan UNFA Indonesia 2005 tertera pada Tabel
3.3. Pola migrasi netto bertanda positif menunjukkan adanya sejumlah penduduk yang masuk ke Provinsi Lampung, sedangkan tanda negatif menunjukkan adanya penduduk yang
keluar dari wilayah Provinsi Lampung.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 4 Tabel 3.3 Pola migrasi netto menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Provinsi
Lampung tahun 2008
Jenis Kelamin Kelompok Umur
Laki-laki Perempuan
0-4 -0,85
-0,88 5-9
0,44 0,25
10-14 0,71
0,28 15-19
-0,60 -4,99
20-24 -4,87
-6,10 24-29
0,05 -0,29
30-34 1,79
1,39 35-39
2,11 1,52
40-44 2,01
1,66 45-49
2,25 1,67
50-54 1,91
1,79 55-59
2,17 1,77
60-64 2,16
2,26 65-69
2,17 2,09
70-74 2,26
3,39 74 +
2,28 2,19
Nilai minimum 0,05
0,25 Nilai maksimum
2,26 3,39
Frekuensi ---
--- Sumber: Bappenas, BPS, dan UNFA Indonesia 2005
Berdasarkan Tabel 3.3 terlihat bahwa penduduk laki-laki angkatan kerja yang berusia di atas 24 tahun cenderung keluar dari Provinsi Lampung. Demikian juga halnya dengan penduduk
perempuan yang berusia di atas 30 tahun ke atas. Penyebab penduduk melakukan migrasi keluar dari Provinsi Lampung antara lain karena daya tarik ekonomi. Penelitian yang telah
dilakukan Darmawan 2007 menjelaskan hal tersebut. Pola migrasi yang terjadi di Provinsi Lampung telah dipaparkan oleh Darmawan 2007 yang
mengestimasi perkiraan pola migrasi yang terjadi antar provinsi di Indonesia. Darmawan 2007 menggunakan pendekatan ”indeks ketertarikan ekonomi” dari Model Hybrida, yaitu
suatu pengembangan model dari model gravitasi dalam analisis migrasi yang melibatkan variabel-variabel ekonomi sebagai faktor utama dalam mempengaruhi pola migrasi.
Variabel-variabel ekonomi yang digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto PDRB, Upah Minimum Provinsi UMP dan Angka Pengangguran.
Selanjutnya menurut Darmawan 2007 daerah tujuan migrasi penduduk dari Provinsi Lampung adalah Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Adapun proporsi
ketiga provinsi tujuan migrasi tersebut berbeda-beda menurut indikator ekonominya sebagai daya tarik migrasi, namun kecenderungan pola migrasi dari Provinsi Lampung sebagian
besar menuju ke Provinsi Sumatera Selatan dengan rata-rata nilai proporsi 5,64.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 5 Tabel 3.4 Proporsi migrasi akibat adanya pengaruh ekonomi untuk tiga provinsi terbesar
tujuan migrasi dari Provinsi Lampung
Proporsi Provinsi Tujuan jiwa per 1000 penduduk
daerah asal No.
Indikator Daya Tarik Ekonomi
Nilai Indikator Sumsel
Jabar DKI
Lampung : 5.597.681,00 Sumsel: 12.021.263,00
Jabar: 9.940.941,00 1
PDRB per kapita atas dasar harga
konstan Rp DKI : 49.236.112,00
5,89 2,63
2,89 Lampung: 405.000,00
Sumsel: 503.700,00 Jabar: 430.000,00
2 Upah Minimum
Provinsi Rp DKI : 711.843,00
4,75 1,55
2,20 Lampung: 4,51
Sumsel: 6,31 Jabar : 4,44
3 Angka
Pengangguran DKI : 7,17
6,29 3,83
3,42
Rata-rata 5,64
2,67 2,84
Sumber: Darmawan 2007, data dimodifikasi Keterangan: Data tahun 2005
Data tahun 2000
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pola migrasi dari Provinsi Lampung yang merupakan proporsi migrasi akibat adanya pengaruh daya tarik ekonomi PDRB per Kapita
Atas Dasar Harga Konstan untuk 3 provinsi tujuan terbesar, yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Tampak bahwa provinsi-provinsi tetangga tersebut mempunyai nilai
ekonomi PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan yang lebih tinggi dibandingkan PDRB Provinsi Lampung. Demikian pula halnya dengan faktor upah minimum provinsi UMP
dimana UMP Provinsi Lampung saat itu merupakan yang terendah dibandingkan dengan provinsi tetangganya. Hal ini juga mendorong migrasi penduduk menuju ke provinsi
tetangga yang memiliki UMP lebih tinggi. Jika ditinjau dari angka pengangguran yang lebih tinggi di daerah tujuan migrasi
dibandingkan dengan di Provinsi Lampung, ternyata tingkat pengangguran di provinsi tujuan migrasi tidak mempengaruhi minat orang melakukan migrasi ke provinsi tujuan tersebut.
Sayangnya, Darmawan 2007 tidak menyajikan data angka pengangguran tahun 2005, sehingga perbandingan angka pengangguran mungkin saja sudah tidak sesuai dengan
kondisi UMP dan PDRB masing-masing provinsi tahun 2005. Kecenderungan penduduk Lampung memilih migrasi ke Sumatera Selatan dibandingkan ke
DKI Jakarta dan Jawa Barat kemungkinan dipengaruhi oleh angka Kebutuhan Hidup Minimum KHM. Perbandingan antara nilai UMP yang tidak sebanding dengan KHM
menyebabkan penduduk migran lebih memiliki provinsi dengan KHM yang lebih baik. Walaupun di DKI Jakarta UMP-nya lebih tinggi, namun masih bisa hidup lebih baik di
Provinsi Sumatera Selatan dengan UMP lebih rendah tetapi sebanding dengan nilai KHM- nya. Faktor lainnya yang mempengaruhi proporsi pemilihan tujuan migrasi adalah kemiripan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 6 budaya dan kondisi geografis setempat. Selain itu, jarak tempuh yang relatif dekat juga
diduga menjadi alasan lainnya mereka memilih migrasi ke Sumatera Selatan. Seperti halnya daerah lainnya di Indonesia, pada umumnya penduduk di Provinsi Lampung
melakukan migrasi dari daerah pedesaan menuju ke daerah perkotaan urbanisasi. Selain karena faktor ekonomi, alasan penduduk melakukan migrasi adalah karena melanjutkan
pendidikan, menikah, ataupun karena keluarga. Keterbatasan sarana pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi di daerah asal ”memaksa” penduduk untuk melakukan migrasi ke
Kota Bandar Lampung ataupun Kota Metro yang memang sudah cukup lengkap sarana pendidikannya. Namun demikian tidak diperoleh data yang pasti mengenai perpindahan
penduduk antar kabupatenkota di Provinsi Lampung. Pengaruh urbanisasi dapat diprediksi berdasarkan berdasarkan perhitungan proyeksi
penduduk perkotaan menggunakan Urban Rural Growth Difference URGD, yaitu proyeksi penduduk perkotaan berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan
dan pedesaan. Di Provinsi Lampung, antara tahun 2000-2025, diproyeksikan nilai URGD lebih dari 30 seperti yang tertera pada Tabel 3.5. Berdasarkan kriteria nilai URGD lebih
dari 30 maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan laju pertumbuhan antara penduduk daerah perkotaan dan daerah pedesaan di Provinsi Lampung termasuk tinggi. Hal inilah
yang mendorong tingginya laju urbanisasi dari daerah pedesaan menuju daerah perkotaan di Provinsi Lampung.
Tabel 3.5 Proyeksi nilai URGD di Provinsi Lampung 2000-2025
No. Periode tahun
Nilai URGD
1 2000-2005
0,3862 2
2005-2010 0,3476
3 2010-2015
0,3128 4
2015-2020 0,2815
5 2020-2025
0,2534 Sumber: Bappenas, BPS, dan UNFA Indonesia 2005
3 Rasio Jenis Kelamin Sex Ratio
Pada tahun 2007 jumlah penduduk laki-laki di Provinsi Lampung adalah 3.749.739 jiwa dan penduduk perempuan adalah 3.540.028 jiwa. Dengan demikian rasio jenis kelamin sebesar
105,9 atau dengan kata lain setiap 100 penduduk perempuan terdapat sedikitnya 106 penduduk laki-laki. Kabupaten Lampung Tengah, Kota Bandar Lampung, dan Metro
memiliki rasio jenis kelamin yang mendekati 100, di mana jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama; sedangkan di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan dengan sex ratio
masing-masing sebesar 113,8 dan 110,5. Sebaran penduduk laki-laki dan perempuan
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 7 untuk masing-masing kabupatenkota di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 3.6 dan
Gambar 3.1.
Tabel 3.6 Sex ratio penduduk di Provinsi Lampung menurut kabupatenkota tahun 2007
No. KabupatenKota
Laki-laki Perempuan
Sex Ratio
1 Lampung Barat
203.057 178.382
113,8 2
Tanggamus 434.011
392.599 110,5
3 Lampung Selatan
696.249 645.009
107,9 4
Lampung Timur 482.205
454.529 106,1
5 Lampung Tengah
582.156 578.065
100,7 6
Lampung Utara 285.488
276.826 103,1
7 Way Kanan
185.449 177.300
104,6 8
Tulang Bawang 405.068
369.197 109,7
9 Bandar Lampung
409.433 402.700
101,7 10
Metro 66.623
65.421 101,8
Provinsi Lampung 3.749.739
3.540.028 105,9
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009
Gambar 3.1. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin menurut kabupaten
kota di Provinsi Lampung tahun 2007
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 8
4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur
Dari komposisi penduduk di Provinsi Lampung berdasarkan kelompok umur tahun 2007 dapat diketahui bahwa gambaran pertumbuhan penduduk mengikuti pola piramida usia
muda, yaitu jumlah penduduk usia muda lebih banyak dibandingkan usia dewasa dan tua Gambar 3.2 . Hal ini merupakan gambaran dinamika penduduk yang biasanya memang
terjadi di negara sedang berkembang. Berdasarkan pendekatan yang digunakan BPS, yaitu batasan umur 15 tahun ke atas dari
semua penduduk yang dikenal dengan istilah penduduk usia kerja, maka penduduk usia kerja di Provinsi Lampung pada tahun 2008 berjumlah 4.967.910 jiwa. Sedangkan penduduk
yang termasuk bukan angkatan kerja berjumlah 2.423.221 jiwa. Kelompok umur 10-14 merupakan jumlah terbanyak Tabel 3.7.
Gambar 3.2 Piramida Penduduk Provinsi Lampung tahun 2008
Sumber: www.datastatistik-indonesia.com
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 9 Tabel 3.7 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Provinsi Lampung 2008
Jenis Kelamin Kelompok Umur
Laki-laki Perempuan
Jumlah
0-4 394.290
376.225 770.515
5-9 412.671
387.587 800.258
10-14 438.697
413.751 852.448
15-19 424.692
393.383 818.075
20-24 347.906
369.449 717.355
24-29 342.002
348.983 690.985
30-34 295.142
285.574 580.716
35-39 269.308
264.353 533.661
40-44 229.228
199.924 429.152
45-49 177.241
148.905 326.146
50-54 133.362
113.703 247.065
55-59 94.900
83.129 178.029
60-64 92.105
81.265 173.370
65-69 56.739
52.731 109.470
70-74 50.604
41.068 91.672
74 + 39.984
32.230 72.214
Nilai minimum 39.984
32.230 72.214
Nilai maksimum 438.697
413.751 852.448
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009
5. Status Pendidikan
Status pendidikan masyarakat di suatu wilayah menunjukkan tingkat kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat berkorelasi
erat dengan status pembangunan manusia di wilayah tersebut. Pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi Lampung telah menganggarkan Rp. 64.119.683.932,00 untuk
pembangunan di bidang pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk di Provinsi Lampung pada tahun 2007 mengalami peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar penduduk di Provinsi Lampung memiliki tingkat pendidikan tamat SD dan tidakbelum tamat SD. Hanya sebagian kecil 3,8
penduduk di Provinsi Lampung yang memiliki jenjang pendidikan di atas SLTA.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 10 Tabel 3.8 Persentase pendidikan yang ditamatkan penduduk berumur 10 tahun ke atas
menurut jenis kelamin di Provinsi Lampung tahun 2006-2007
2006 2007
Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan
L P
L + P L
P L + P
Tidakbelum tamat SD 33,0
36,5 34,7
27,9 33,8
30,7 SD
30,2 30,5
30,3 30,4
30,8 30,6
SLTP 18,8
17,7 18,3
20,4 18,5
19,5 SLTA
15,2 12,8
14,1 17,5
13,2 15,4
Di atas SLTA 2,8
2,4 2,6
3,8 3,7
3,8 Sumber: Susenas 2006-2007
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 11
PEMUKIMAN
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat. Karena itu pengadaan perumahan merupakan tujuan fundamental
yang kompleks dan tersedianya standar perumahan merupakan isu penting dari kesehatan masyarakat. Perumahan yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan
sehingga penghuninya tetap sehat. Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan sarana yang terkait, seperti penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan
sampah, transportasi, dan tersedianya pelayanan sosial. Pada tahun 2008 Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Lampung melakukan identifikasi spasial
kawasan kumuh di Provinsi Lampung. Identifikasi pemukiman tersebut mencakup rumah- rumah penduduk yang berada di bantaran sungai, di bawah jaringan sutet, dan kondisi
rumah yang dikategorikan kumuh. Kota Bandar Lampung memiliki pemukimkan kumuh yang cukup besar hingga mencapai 6.362 rumah dengan 6.779 KK yang tersebar di semua
kecamatan. Sebagian besar pemukiman kumuh tersebut terdapat di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung dalam bentuk rumah tancap yang dibangun di atas permukan laut. Selain
Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Utara dan Tanggamus juga memiliki pemukiman kumuh yang relatif besar, yaitu masing-masing 2.133 dan 1.292 rumah.
Kabupaten Tulang Bawang memiliki rumah yang terletak di bantaran sungai yang paling banyak dibandingkan dengan kabupaten lainnya, yaitu 3.070 rumah. Data selengkapnya
tertera pada Tabel 3.9. Tabel 3.9 Jumlah rumah dan KK di bantaran sungai, di bawah sutet, dan pemukiman
kumuh di Provinsi Lampung tahun 2008.
Bantaran Sungai Di bawah Sutet
Pemukiman Kumuh No
Kabupaten Kota Rumah
KK Rumah
KK Rumah
KK
1
Lampung Barat
413 405
-- --
-- --
2
Tangamus
1.852 1.763
142 124
1.292 1.404
3
Lampung Selatan
350 257
109 89
180 203
4
Lampung Timur
287 252
-- --
775 866
5
Lampung Tengah
-- --
-- --
-- --
6
Lampung Utara
240 240
1 1
2.133 2.217
7
Way Kanan
539 539
15 15
214 233
8
Tulang Bawang
3.070 2.001
4 4
250 505
9
Bandar Lampung
1.619 1.518
96 106
6.362 6.779
10
Metro
-- --
-- --
-- --
11 Pesawaran
137 133
4 4
197 197
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Lampung 2008 Keterangan:
ņ tidak ada data; data diolah kembali.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 12 Di Kota Bandar Lampung, rumah-rumah tak layak huni dengan mudah didapati di sudut-
sudut kota yang terletak di pinggiran atau di bantaran sungai, di lokasi-lokasi yang padat penduduk dan di sepanjang rel kereta api ke arah Pelabuhan Panjang. Demikian juga
dengan rumah-rumah tancap yang banyak terdapat di tepi pantai di kawasan Gudang Lelang, Kelurahan Sukaraja, Kunyit, Karang Maritim, dan Srengsem. Rumah-rumah tak
layak huni membentuk lingkungan binaan sebagai lingkungan pemukiman kumuh yang mengurangi nilai keindahan dan kebersihan kota. Banyaknya keluarga yang tinggal di
rumah-rumah tak layak huni di Kota Bandar Lampung diduga merupakan para pendatang dari desa yang berurbaninssi ke Kota Bandar Lampung.
Salah satu masalah yang berat adalah sanitasi. Rumah-rumah tak layak huni tentunya tidak manusiawi. Rumah tersebut tidak mempunyai sarana MCK, sumber air bersih dan tempat
pembuangan sampah. Kebiasaan di desa untuk membuang air besar di mana-mana dilakukan pula di sini. Demikian pula dalam kebiasaan membuang sampah, sementara
pelayanan sanitasi di kota terbatas, sehingga terjadi kerusakan lingkungan biofisik dapat menyebabkan banjir dan masalah-masalah lainnya.
Gambar 3.3 Pemukiman kumuh sekitar pesisir Kota Bandar Lampung Kajian mengenai gambaran kondisi perumahan di Provinsi Lampung pernah dilakukan oleh
BPS Provinsi Lampung pada tahun 2005. Indikator yang diukur untuk menilai kondisi pemukiman tersebut antara lain luas lantai, penggunaan air bersih, jarak sumber air minum
ke tempat penampungan tinja, serta penggunaan fasilitas tempat buang air besar. Menurut BPS Provinsi Lampung 2006 penduduk rata-rata luas Iantai yang dihuni rumah
tangga di Provinsi Lampung pada tahun 2005 sebesar 66,60 m
2
. Pada kajian ini luas lantai
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 13 per rumah tangga dibagi menjadi tiga kelompok yaitu luas Iantai per rumah tangga yang
kurang dari 20 m
2
, antara 20 dan 99 m
2
dan Iebih dan atau sama dengan 100 m
2
. Secara lengkap, sebaran persentase kondisi rumah tangga berdasarkan luas lantai di masing-
masing kabupatenkota disajikan pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10 Persentase luas lantai rumah tangga per kabupatenkota tahun 2005
Persentase Luas lantai No.
Kabupaten kota 20 m
2
20-99 m
2
100m
2
Rata-rata luas lantai rumah tanga m
2
1 Lampung Barat
3,05 90,21
6,74 54,33
2 Tangamus
1,33 88,29
10,38 67,86
3 Lampung Selatan
1,79 90,71
7,51 61,95
4 Lampung Timur
0,00 92,91
7,09 66,24
5 Lampung Tengah
2,50 87,60
9,89 66,25
6 Lampung Utara
0,31 89,91
9,78 70,55
7 Way Kanan
0,87 96,52
2,61 52,45
8 Tulang Bawang
5,19 8,85
5,95 56,51
9 Bandar Lampung
4,91 66,82
28,27 89,51
10 Metro
2,99 77,47
19,54 89,05
Provinsi Lampung 2,25
87,32 10,43
6,60
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2006 Fasilitas air bersih merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk kelayakan tempat
tinggal. Sedangkan ketersediaan air ledeng relatif terbatas. Hal ini disebabkan terbatasnya dana dan jangkauan jaringan perusahaan air ledeng yang dikelola oleh PAM maupun
PDAM. Sebagai dampaknya banyak rumah tangga yang sumber air minumnya berasal dan sumur dan mata air. Berdasarkan Susenas 2007 di daerah perkotaan dan pedesaan di
Provinsi Lampung sebagian besar penduduknya menggunakan sumber air bersih yang berasal dari sumur. Sekitar 57,1 rumah tangga di perkotaan menggunakan air sumur, baik
terlindung maupun tidak terlindung, sedangkan untuk daerah pedesaan sebesar 83,1. Rumah tangga yang mengunakan air ledeng dan pompa masing-masing sebesar 15,9 dan
12,2 di daerah perkotaan, sedangkan di pedesaan masing-masing sebesar 1,0 yang menggunakan ledeng dan 2,7 yang menggunakan pompa.
Berdasarkan fasilitas tempat buang air besar, sebagian besar rumah tangga di perkotaan di Provinsi Lampung sudah memiliki fasilitas tempat buang air besar yang berupa tangkiSPAL
70,5, sedangkan di pedesaan fasilitas tersebut baru mencapai 27,6. Rumah tangga di pedesaan yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar berupa SPAL umumnya
menggunakan lubang tanah 54,4, memanfaatkan perairan, ataupun membuang air besar di pinggir pantai, lapangan, dan kebun.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 14 Tabel 3.11 Persentase rumah tangga menurut penggunaan sumber air bersih di Provinsi
Lampung 2007
Daerah tempat tinggal No.
Fasilitas air bersih Perkotaan
Pedesaan Kota + Desa
1 Air dalam kemasan
12,5 2,1
4,3 2
Ledeng 15,9
1,0 4,1
3 Pompa
12,2 2,7
4,6 4
Sumur terlindung 39,5
43,9 43,0
5 Sumur tak terlindung
17,6 39,2
34,7 6
Mata air terlindung 1,4
2,4 2,2
7 Mata air tak terlindung
0,8 3,7
3,1 8
Air sungai 2,9
2,3 9
Air hujan 1,9
1,5 10
Lainnya 0,2
0,3 0,3
Sumber: Susenas 2007
Tabel 3.12 Persentase rumah tangga menurut fasilitas tempat buang air besar tahun 2007
Fasilitas tempat buang air besar
Perkotaan Pedesaan
Kota + Desa
TangkiSPAL 70,5
27,6 36,5
Kolamsawah 1,8
3,7 3,4
Sungaidanaulaut 10,0
11,9 11,5
Lubang tanah 16,0
54,4 46,4
Pantailapangankebun 1,7
2,4 2,2
Sumber: Susenas 2007
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 15
KESEHATAN
1 Usia Harapan Hidup
Angka Harapan Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat
kesehatan pada khususnya. Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduk
dari suatu daerah. Meningkatnya perawatan kesehatan melalui puskesmas, meningkatnya daya beli masyarakat akan meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, mampu
memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, mampu mempunyai pendidikan yang lebih baik sehingga memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, yang pada gilirannya
akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidupnya.
Angka harapan hidup di Provinsi Lampung pada tahun 2008 secara jelas disajikan pada Tabel 3.13. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa angka harapan hidup penduduk Provinsi
Lampung tahun 2008 adalah 69,00. Artinya bayi-bayi yang dilahirkan menjelang tahun 2008 akan dapat hidup sampai usia 69 tahun. Bila dibandingkan dengan data tahun sebelumnya
2007 maka terjadi kenaikan 0,2 tahun. Angka harapan hidup terendah 6,52 terdapat di Kabupaten Lampung Barat, sedangkan yang tertinggi 72,1 dimiliki oleh Kota Metro.
Kota Metro memiliki Angka Harapan Hidup yang cukup tinggi dibandingkan kabupatenkota lainnya, bahkan melebihi Angka Harapan Hidup Provinsi Lampung. Gambaran mengenai
angka harapan hidup eo di sepuluh kabupatenkota memperlihatkan bahwa secara umum ada 7 kabupaten yang nilai eo-nya berada di bawah angka harapan hidup provinsi, yakni
Kabupaten Lampung Barat, Tangamus, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Pesawaran, dan Tulang Bawang. Angka Harapan Hidup yang rendah di suatu daerah
harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk program
pemberantasan kemiskinan. Angka harapan hidup bersama-sama dengan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
dan pengeluaran per kapita merupakan indikator-indikator yang menentukan Indeks Pembangunan Manusia IPM, Nilai IPM kabupatenkota di Provinsi Lampung pada tahun
2008 tertera pada Tabel 3.14.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 16 Tabel 3.13 Angka Harapan Hidup menurut KabupatenKota di Propinsi Lampung 2002-2008
Angka Harapan Hidup tahun KabupatenKota
2002 2005
2007 2008
Lampung Barat 63,8
65,2 66,3
66,52 Tangamus
66,0 67,7
68,2 68,51
Lampung Selatan 65,2
67,4 67,8
67,97 Lampung Timur
68,1 69,4
69,7 69,81
Lampung Tengah 67,2
68,5 68,8
68,92 Lampung Utara
65,4 66,9
67,4 67,52
Way Kanan 66,3
68,5 68,9
69,07 Tulang Bawang
64,7 67,3
68,1 68,33
Pesawaran ---
--- ---
68,20 Bandar Lampung
67,8 69,9
69,8 70,13
Metro ---
71,9 72,1
72,22
Provinsi Lampung 66,1
68.0 68,8
69,00
Nilai Min 63,8
65,2 66,3
66,52 Nilai Maks
68,1 71,9
72,1 72,22
Rata-rata 66,06
68,27 68,71
68,90 Sumber: BPS Provinsi Lampung, data diolah kembali.
Tabel 3.14 Nilai IPM kabupatenkota di Provinsi Lampung dan peringkatnya tahun 2008
Peringkat KabupatenKota
IPM Provinsi
Nasional
Lampung Barat 68,21
11 349
Tangamus 70,19
3 247
Lampung Selatan 68,79
9 327
Lampung Timur 69,68
5 277
Lampung Tengah 69,93
4 260
Lampung Utara 69,40
6 296
Way Kanan 68,98
8 315
Tulang Bawang 69,14
7 307
Pesawaran 68,73
10 330
Bandar Lampung 74,86
2 65
Metro 75,71
1 46
Provinsi Lampung 70,30
--- 20
Nilai Min 68,21
Nilai Maks 75,71
Rata-rata 70,33
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2007
Pada tahun 2008 status pembangunan manusia di Provinsi Lampung menduduki peringkat ke-20 dari seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan nilai IPM. Nilai IPM Provinsi Lampung
sebesar 70,30 menunjukkan bahwa status pembangunan manusia di Provinsi Lampung termasuk kategori menengah atas. Kota Metro, yang merupakan peringkat pertama IPM di
Provinsi Lampung, secara nasional menduduki peringkat 46 dengan nilai IPM 75,71 menengah atas; sedangkan Kota Bandar Lampung berada pada posisi 65 dari seluruh
kabupatenkota di Indonesia dengan nilai IPM 74,86.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 17
2 Angka Kelahiran
Fertilitas merupakan salah satu komponen demografi di samping migrasi dan mortalitas yang dapat mempengaruhi perubahan demografi. Fertilitas diartikan sebagai hasil
reproduksi nyata seorang wanita atau sekelompok wanita, yaitu menyangkut banyaknya anak yang dilahirkan dalam jangka waktu tertentu. Fertilitas atau kelahiran merupakan salah
satu faktor penambah jumlah penduduk disamping migrasi masuk. Kelahiran bayi membawa konsekuensi pemenuhan kebutuhan tumbuh kembang bayi tersebut, termasuk pemenuhan
gizi dan kecukupan kalori, perawatan kesehatan. Pada gilirannya, bayi ini akan tumbuh menjadi anak usia sekolah yang menuntut pendidikan, lalu masuk angkatan kerja dan
menuntut pekerjaan. Bayi perempuan akan tumbuh menjadi remaja perempuan dan perempuan usia subur yang akan menikah dan melahirkan bayi.
Tingkat kelahiran di masa lalu mempengaruhi tingginya tingkat fertilitas masa kini. Jumlah kelahiran yang besar di masa lalu disertai dengan penurunan kematian bayi akan
menyebabkan bayi-bayi tersebut tetap hidup dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya di saat kematian bayi masih tinggi. Lima belas tahun
kemudian bayi-bayi ini akan membentuk kelompok perempuan usia subur. Ukuran yang biasa dipakai untuk mengetahui tingkat fertilitas antara lain adalah total
fertilization rate TFR. Untuk mengetahui angka kelahiran yang diekspresikan melalui TFR
perlu diketahui Age Specific Fertility Rate ASFR, yaitu angka kelahiran menurut umur wanita. Berdasarkan data BPS Indonesia diketahui bahwa nilai TFR tahun 2000 di Provinsi
Lampung adalah 2.42. Nilai TFR Provinsi Lampung ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai TFR Indonesia yang nilainya 2.27. Berdasarkan nilai ASFR diketahui bahwa penduduk
wanita yang berumur 20-24 tahun merupakan golongan yang banyak melahirkan. Dari Tabel 3.15 diketahui bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki nilai TFR yang tertinggi dibandingkan
dengan kabupatenkota lainnya di Provinsi Lampung, yaitu 2,66; sedangkan Kota Metro memiliki angka kelahiran yang paling rendah dengan nilai TFR 1,93.
Pengetahuan tentang fertilitas atau kelahiran dan KB serta indikator-indikatornya sangat berguna bagi para penentu kebijakan dan perencana program untuk merencanakan
pembangunan sosial terutama kesejahteraan ibu dan anak. Di kabupaten atau kota yang masih mempunyai tingkat fertilitas tinggi atau yang KB-nya kurang berhasil, jumlah bayi
yang lahir tiap tahunnya akan lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten atau kota yang program KB-nya berhasil menurunkan tingkat fertilitas. Kabupaten atau kota yang masih
mempunyai jumlah kelahiran yang besar akan menghadapi konsekuensi pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar atas kelahiran bayi-bayi ini, saat ini dan seterusnya sampai
bayi-bayi ini mendapatkan perkerjaan dan menjadi ibu yang melahirkan generasi penerus.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 18 Tabel 3.15 Nilai ASRF dan TFR di kabupatenkota di Provinsi Lampung tahun 2000
ASFR No.
KabupatenKota 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
TFR
1 Lampung Barat
78 154
128 82
49 15
12 2.59
2 Tanggamus
57 142
131 100
59 33
9 2.66
3 Lampung Selatan
59 127
132 93
60 23
3 2.48
4 Lampung Timur
57 129
109 71
44 20
3 2.17
5 Lampung Tengah
59 129
118 84
56 23
4 2.36
6 Lampung Utara
48 147
129 92
55 24
5 2.50
7 Way Kanan
62 140
134 79
51 30
13 2.54
8 Tulang Bawang
65 141
125 93
53 23
7 2.54
9 Kota Bandar Lampung
24 112
133 107
57 19
3 2.28
10 Kota Metro 21
95 106
84 57
18 5
1.93
Provinsi Lampung 54
131 125
90 55
24 6
2.42
Sumber: BPS Indonesia www.datastatistik-indonesia.com berdasarkan data Susenas 2003, 2004, 2005
3 Angka Kematian
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen demografi selain fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur penduduk.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO mendefinisikan kematian sebagai suatu peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap
saat setelah kelahiran hidup. Mortalitas atau kematian dapat menimpa siapa saja, tua, muda, kapan dan dimana saja. Kasus kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan
dengan masalah sosial, ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan. Indikator kematian berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun lokal dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kematian dewasa umumnya disebabkan karena penyakit menular, penyakit degeneratif,
kecelakaan atau gaya hidup yang beresiko terhadap kematian. Kematian bayi dan balita umumnya disebabkan oleh penyakit sistim pernapasan bagian atas ISPA dan diare, yang
merupakan penyakit karena infeksi kuman. Faktor gizi buruk juga menyebabkan anak-anak rentan terhadap penyakit menular, sehingga mudah terinfeksi dan menyebabkan tingginya
kematian bayi dan balita di sesuatu daerah. Faktor sosial ekonomi, seperti pengetahuan tentang kesehatan, gizi dan kesehatan
lingkungan, kepercayaan, nilai-nilai, dan kemiskinan merupakan faktor individu dan keluarga, mempengaruhi mortalitas dalam masyarakat. Tingginya kematian ibu merupakan
cerminan dari ketidaktahuan masyarakat mengenai pentingnya perawatan ibu hamil dan pencegahan terjadinya komplikasi kehamilan.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 19 Indikator mortalitas atau angka kematian yang umum dipakai adalah Angka Kematian Kasar
AKK atau Crude Death Rate CDR. Definisi Angka Kelahiran Kasar Crude Birth RateCBR adalah angka yang menunjukkan banyaknya kelahiran pada tahun tertentu per
1.000 penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Angka ini disebut kasar sebab belum memperhitungkan umur penduduk. Penduduk tua mempunyai resiko kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penduduk yang masih muda. Angka kematian kasar adalah indikator sederhana yang tidak memperhitungkan pengaruh umur penduduk. Akan tetapi
kalau tidak ada indikator kematian yang lain angka ini berguna untuk memberikan gambaran mengenai keadaan kesejahteraan penduduk pada suatu tahun yang bersangkutan. Apabila
dikurangkan dari angka kelahiran kasar akan menjadi dasar perhitungan pertumbuhan penduduk alamiah. Indikator angka kematian lainnya adalah: Angka Kematian Bayi IMR
dan Angka Harapan Hidup E atau Life Expectancy.
Proyeksi beberapa indikator angka kematian di Provinsi Lampung yang dilakukan oleh BPS Indonesia untuk periode 2000, 2005, dan 2010 tertera pada Tabel 3.16 Berdasarkan tabel
tersebut diketahui bahwa CDR atau angka kematian kasar di Provinsi Lampung pada tahun 2005 adalah 4,8 yang artinya adalah dari 1.000 penduduk terjadi kematian sebanyak 4-5
orang. Jumlah kematian pada tahun 2005 diprediksi sekitar 34.800 jiwa, sedangkan pada tahun 2010 nanti diperkirakan jumlah kematian sekitar 37.500 jiwa.
Tabel 3.16 Indikator-indikator angka kematian di Provinsi Lampung tahun 2000, 2005, dan 2010
No. Indikator Angka Kematian
2000 2005
2010
1 Angka Harapan Hidup E
Laki-laki 66.0
68.2 69.9
2 Angka Harapan Hidup E
Perempuan 70.0
72.1 73.9
3 E
Laki-laki dan Perempuan 67.9
70.1 71.8
4 IMR Laki-laki
41.7 32.6
25.9 5
IMR Perempuan 31.5
24.1 18.7
6 IMR Laki-laki dan Perempuan
36.7 28.5
22.4 7
CDR 5.2
4.8 4.8
8 Jumlah kematian 000
35.1 34.8
37.5 Sumber: BPS Indonesia www.datastatistik-indonesia.com, berdasarkan proyeksi.
4 Pola Penyakit yang Banyak Diderita
Gambaran kesehatan masyarakat di suatu wilayah erat kaitannya dengan lingkungan tempat mereka tinggal yang dipengaruhi berbagai faktor, seperti tingkat kesejahteraan, sanitasi
lingkungan, pencemaran, penyebaran penyakit, dan lain-lain. Pola penyakit yang banyak diderita oleh penduduk di Provinsi Lampung pada tahun 2007 tertera pada Tabel 3.17.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 20 Tabel 3.17 Banyaknya penderita baru rawat jalan di puskesmas dan rumah sakit menurut
jenis penyakit di Propinsi Lampung tahun 2007
JENIS PENYAKIT PUSKESMAS
RUMAH SAKIT
JUMLAH 1. Difteria Defteria
7 10
17 0,00
2. Batuk Rejan Whooping cough 523
75 598
0,05
3. Tetanus Tetanus 20
29 49
0,00
4. Poliomylitis Akut Acute Poliomylitis -
10 10
0,00
5. Campak Measies 734
164 898
0,08
6. Kolera Cholera -
124 124
0,01
7. Disentri Diare Berdarah Dysentri 25.695
- 25.695
2,36
8. Diare Diarhea 69.087
8.126 77.213
7,10
9 TBC Paru BTA BTA Pleurisy Tuberculosis 4.522
4.086 8.608
0,79
10. TBC Miningitis Miningitis Tuboercolusis -
2 2
0,00
11. TBC Extra Pulmaner Extra Pulmaner TBC 801
7.493 8.294
0,76
12. TBC Paru Klinis Clinical Pleurisy
2.961 -
2.961 0,27
13. Kusta PB PB Leprosy 215
25 240
0,02
14. Kuata MB MB Leprosy 32
- 32
0,00
15. Sipilisis Shipilis 302
5 307
0,03
16. Infeksi Gonokok Infection Gonokok 439
16 455
0,04
17. Frambosia Frambosia 5
- 5
0,00
18. Pneumonia Pneumonia 555.182
484 555.666 51,09
19. Demam Tifoid Typus Perut Klinis Tifoid fever 45.101
3.120 48.221
4,43
20. Hepapitis Klinis Clinical Hepapitis 2.358
686 3.044
0,28
21. Rabies Rabies 3
8 11
0,00
22. Demam Berdarah Dengue DBD 4.470
935 5.405
0,50
23. Malaria Klinis Clinical Malaria 52.640
1.305 53.945
4,96
24. Malaria Falsifarum Falcifarum Malaria 3.207
- 3.207
0,29
25. Malaria Vivax Vivax Malaria
4.161 -
4.161 0,38
26. Malaria Mix Mix Malaria 592
- 592
0,05
27. Tetanus Neonatorium Neonatorium Tetanus
15 9
24 0,00
28. Filariasis Filariasis 12
5 17
0,00
29. Typhoid Typus Perut Widal -
- 0,00
30. Lain-lain Others - 287.839
287.839 26,46 TOTAL
773.084 314.556 1.087.640 100
Sumber: BPS Provinsi Lampung 2009 Keterangan: tidak tersedia data 2008
Penyakit yang banyak menyerang adalah pneumonia 51,1. Lainnya adalah diare 7,1 dan malaria klinis 4,96. Pneumonia atau radang paru adalah bagian dari penyakit infeksi
pneumokokus invasif IPD yang merupakan sekelompok penyakit karena bakteri streptococcus pneumoniae
. Kuman pneumokokus dapat menyerang paru-paru, selaput otak, atau masuk ke pembuluh darah hingga mampu menginfiltrasi organ lainnya. Radang paru-
paru adalah penyakit umum, yang terjadi di seluruh kelompok umur, dan merupakan penyebab kematian peringkat atas di antara orang tua dan orang yang sakit menahun.
Kelompok usia paling rentan menderita IPD adalah bayi dan anak-anak usia kurang dari dua tahun yang ditandai dengan gejala demam tinggi, menggigil, batuk, dan sesak napas.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 21 Penyakit diare sangat erat kaitannya dengan sanitasi perumahan warga masyarakat yang
memang saat ini masih banyak yang belum memenuhi standar kesehatan. Rumah-rumah tak layak huni yang banyak terdapat di berbagai tempat di Provinsi Lampung tidak
mempunyai sarana MCK, sumber air bersih dan tempat pembuangan sampah. Kebiasaan di desa untuk membuang air besar di mana-mana dilakukan pula di sini. Demikian pula dalam
kebiasaan membuang sampah, sementara pelayanan sanitasi di kota terbatas, sehingga menyebabkan penyebaran penyakit lebih cepat dan meluas.
Penyakit malaria klinis yang banyak menyerang masyarakat disebabkan sebagian besar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Lampung, terutama di wilayah Lampung
Selatan dan Kabupaten Pesawaran, merupakan daerah endemi malaria. Penyakit malaria banyak menyerang masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
tersebut.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 22
PERTANIAN
1 Kebutuhan Air
Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air menjadi
faktor kunci untuk keberlanjutan pertanian khususnya pertanian beririgasi. Pertanian berkelanjutan sustainable agriculture secara sederhana diartikan disini sebagai upaya
memelihara, memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Guna mewujudkan
pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti air dan tanah yang tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan sumberdaya air dan
tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor
pertanian dengan sektor non pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri.
Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum common property dianggap tidak
terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang
relatif tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah. Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang masih rendah
kiranya dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA indeks penggunaan air. Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di berbagai negara Asia kurang lebih 20 air
irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam sampai ke jaringan primer; 15 hilang dalam perjalanannya dari jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20 yang
digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40 Yakup dan Nusyirwan, 1997.
Terkait dengan kebutuhan air untuk di pertanian sawah di Provinsi Lampung, data dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009 secara jelas
disajikan pada Tabel 3.18 dan Tabel 3.19. Kedua tabel tersebut menyajikan data prediksi kebutuhan air untuk sawah untuk periode musim tanam 2009-2010. Berdasarkan Tabel
3.18, DI Way Rarem yang termasuk dalam UPT BPSDA Wilayah III dapat mengairi sawah hingga musim tanam dapat berlangsung tiga kali. Kebutuhan air tertinggi berlangsung pada
bulan Januari dengan rata-rata debit air 24,03 m
3
detik; sedangkan terendah pada bulan September-Oktober. DI Way Rarem direncanakan pada musim tanam rendeng 20092010
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 23 November-Mei akan mengairi sawah seluas 13.559,50 ha; sedangkan saat musim tanam
gadu 2010 April-September akan mengairi sawah seluas 7.506,75 ha. Tabel 3.18 Prediksi kebutuhan air untuk sawah di DI Way Rarem UPTD BPSDA Wil. III
dengan tiga musim tanam tahun 2009-2010 Satuan: m
3
det
MUSIM TANAM No.
BULAN 1
2 3
1 Oktober
2 November
7,16 7,15
3 Desember
14,83 17,75
20,67 4
Januari 24,55
24,03 23,5
5 Februari
22,74 20,97
19,2 6
Maret 15,42
12,44 9,46
7 April
10,59 12,76
14,92 8
Mei 12,77
12,58 12,39
9 Juni
12,39 12,39
12,39 10
Juli 10,51
9,51 8,51
11 Agustus
4,4 4,4
12 September
Sumber: Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009 Berdasarkan Tabel 3.19 dan Gambar 3. 4 diketahui bahwa kebutuhan air tertinggi terdapat
pada lahan sawah di daerah irigasi DI Sekampung dan Punggur Utara yang mencapai puncaknya pada Januari-Februari. Kebutuhan air diprediksi cukup tinggi karena pada saat
itu merupakan puncak musim hujan. Daerah Irigasi DI Sekampung mengairi sawah seluas 15.271 ha; sedangkan DI Punggur Utara 30.946,5 ha. Dengan luas total lahan sawah
sekitar 46.217,5 ha diprediksi Daerah Irigasi Sekampung dan Punggur Utara membutuhkan air yang cukup tinggi. Kebutuhan air tertinggi diprediksi terjadi pada MT II di bulan Januari
dengan debit air mencapai 82.920 literdetik. Memasuki musim kemarau musim tanam gadu yang berlangsung bulan April-September, ketersediaan air semakin menurun dan
diprediksi banyak sawah yang tidak mendapatkan pasokan air sehingga tidak ditanami. Di UPT BPSDA Wilayah I terdapat daerah irigasi DI Way Semangka. Diprediksi saat
musim tanam I rendeng Bendungan Way Semangka akan mengairi sawah seluas 1.154 ha; sedangkan saat musim tanam II gadu luas sawah yang akan diairi adalah 923 ha.
Kebutuhan air tertinggi diprediksi terjadi pada Februari dengan debit air 7.242 literdetik.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 24 Tabel 3.19 Prediksi kebutuhan air untuk sawah berdasarkan daerah irigasi DI dengan dua musim tanam di Provinsi Lampung 2009-2010 literdet
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
UPTD BPSDA Wil. II : Sekampung dan Punggur Utara
50 50
4.111 15.799 28.199
48.172 58.136
82.920 79.883 71.211 65.009
54.470 49.459 38.948 33.903
22.498 26.059
23.813 20.609
13.689 11.016 6.047
50 50
Raman Utara 2.801
2.801 7.657
7.657 6.999
6.999 5.746
5.746 3.548
3.548 823
823 823
823 823
823 823
Batanghari Utara 5.103
5.103 8.268
8.268 7.778
7.778 5.495
5.495 4.037
4.037 2.122
2.722 2.722
2.722 1.741
1.741 600
600 Kali Pasir
Tipo Balak 1.234
1.234 809
809 809
809 247
247 503
503 393
393 393
393 112
112 UPTD Bangun Rejo
2.357 3.429
2.618 2.332
2.332 2.332
1.257 710
1.479 1.817
1.546 1.419
1.419 1.419
726 405
129
UPTD BPSDA Wil. I : Way Tebu IV
Way Semangka 5.033
5.035 6.120
6.122 7.242
7.242 5.509
2.456 4.021
3.512 3.720
3.405 3.050
3.142 2.890
1.151 Way Ngarip I
Way Tebu I, II 1.030
1.140 1.282
1.641 108
108 99
1.245 1.188
1.245 Way Tebu III
Way Ngison 1.884
6.278 6.278
7.776 7.776
6.285 6.285
5.338 2.198
3.804 3.804
3.844 3.844
3.828 3.828
3.261 1.901
Way Napal Way Padang Ratu I
Pujorahayu Way Negara Ratu
Way Ketibung Way Sulan
Way Biha
BULAN DAN MUSIM TANAM DAERAH IRIGASI
Juni Juli
Agustus September
Februari Maret
April Mei
Oktober November
Desember Januari
Sumber: Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009; Keterangan: tidak ada data
10000 20000
30000 40000
50000 60000
70000 80000
90000
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
I II
Okt Nov
Des Jan
Feb Mar
Apr Mei
Jun Jul
Ags Sep
BULAN DAN MUSIM TANAM K
e bu
tu ha
n a ir
l ite
r d
t
Sekampung dan Punggur Utara Raman Utara
Batanghari Utara Tipo Balak
UPTD Bangun Rejo
Gambar 3.4 Grafik prediksi kebutuhan air untuk sawah di wilayah kerja UPTD BPSDA Wilayah II
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 25
2 Kebutuhan Pupuk
Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu berproduksi dengan
baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun non-organik mineral. Jenis-jenis pupuk yang umum digunakan dalam pertanian dan perkebunan adalah urea, SP36, ZA,
NPK, dan pupuk organik. Umumnya pemerintah memberikan subsidi pupuk tersebut kepada para petani untuk meningkatkan produksi pertanian, perkebunan, perikanan, dan
peternakan. Kebutuhan pupuk di Provinsi Lampung selama tahun 2008 cukup tinggi mengingat luasnya
lahan pertanian dan perkebunan yang ada. Namun demikian, tidak semuanya dapat terpenuhi. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Lampung 2009 diketahui bahwa realisasi penyaluran pupuk bersubsidi di Provinsi Lampung pada tahun 2008 mencapai 380.243 ton, yang terdiri dari urea 288.127 ton, SP36
37.308 ton, ZA 9.331 ton, NPK Phonska 44.622 ton dan pupuk organik 855 ton. Kebutuhan pupuk tertinggi biasanya terjadi pada musim tanam, yaitu antara bulan November-Maret.
Tabel 3.20 Realisasi penyaluran pupuk bersubsidi di Provinsi Lampung per bulan tahun 2008
Bulan Urea
SP36 ZA
NPK Phonska Organik
Jan 37.620,0
3.059,0 494,0
4.436,9 ---
Feb 25.556,0
2.690,0 698,0
4.840,1 ---
Mar 25.515,0
8.635,2 568,5
3.734,9 ---
Apr 27.385,0
3.296,0 491,7
4.122,5 ---
Mei 19.053,0
3.600,0 1.226,0
4.246,6 ---
Jun 22.138,0
1.504,0 1.093,3
2.957,4 ---
Jul 21.647,0
2.626,0 939,0
3.989,0 57,0
Agt 12.141,0
2.116,0 728,0
3.647,0 78,0
Sep 17.185,0
2.969,5 1.402,3
3.969,3 160,0
Okt 19.077,0
3.107,0 677,0
3.425,0 141,0
Nov 28.306,0
3.071,3 789,0
2.458,0 129,0
Des 32.504,0
634,0 231,0
2.695,0 290,0
Jumlah 288.127,0
37.308,0 9.331
44.622 855,0
Sumber: Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009 Keterangan: meliputi penggunaan untuk bidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Berdasarkan data pada Tabel 3.21, penyaluran pupuk bersubsidi di Provinsi Lampung tertinggi terdapat di Kabupaten Lampung Tengah 19,69, disusul Lampung Timur
17,10 , Tulang Bawang 15,82, dan Lampung Selatan 12,56. Kabupaten- kabupaten tersebut memang memiliki lahan pertanian yang cukup luas dibandingkan
dengan kabupaten lainnya.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 26 Tabel 3.21 Realisasi penyaluran pupuk bersubsidi di Provinsi Lampung menurut kabupatenkota tahun 2008
Urea SP 36
ZA NPK Phonska
Pupuk Organik Realisasi
Realisasi Realisasi
Realisasi Realisasi
No. KabupatenKota
Alokasi jumlah
Alokasi jumlah
Alokasi jumlah
Alokasi jumlah
Alokasi jumlah
1 Lampung Selatan
42,701 36,683
86 7,208
4,894 68
776 982 127
6,810 5,080
75 2,500
147 6
2 Pesawaran
12,507 12,316
98 8,117
1,176 14
137 374 273
1,845 1,244
67 500
25 5
3 Lampung Tengah
55,179 57,511 104
8,117 7,094
87 855
1,280 150 7,698
8,923 116 2,300
104 5
4 Lampung Timur
47,223 53,051 112
7,022 4,695
67 687
1,237 180 7,580
5,984 79
2,200 93
4 5
Bandar Lampung 1,924
1,096 57
228 186
82 30
36 120 209
190 91
100 3
3 6
Tanggamus 26,403
25,207 95
4,510 4,016
89 576
1,079 187 3,518
4,312 123 1,800
100 6
7 Lampung Barat
16,630 16,875 101
2,669 1,599
60 1,420
644 45
3,105 1,915
62 200
48 24
8 Metro
3,007 2,365
79 512
296 58
38 36
95 477
373 78
200 9
Tulang Bawang 41,267
47,812 116 7,167
5,157 72
1,838 1,527
83 5,604
5,559 99
1,000 127
13 10 Lampung Utara
20,762 18,746
90 4,475
4,580 102 451
1,356 301 5,815
6,041 104 1,000
144 14
11 Way Kanan 16,397
17,465 107 3,658
3,614 99
307 631 206
2,939 4,443 151
200 64
32
Jumlah 284,000
289,127 102 53,683
37,308 69
7,115 9,331 129
45,600 44,622
99 12,000
855 7
Sumber: Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009 Keterangan: meliputi penggunaan untuk bidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 27
3 Alih Fungsi Lahan Pertanian
Perubahan spesifik dari penggunaan lahan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi konversi lahan, kian waktu kian
meningkat. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius di kemudian hari jika tidak diantisipasi secara serius. Implikasinya, alih fungsi lahan pertanian
yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan
tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama
lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan 2005, hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan
atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat
merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo 1996 menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga
mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : 1 kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai
agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; 2
daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; 3 akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya
lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan 4 pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah
bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Provinsi Lampung selama tahun 2008 tercatat seluas 3.371,25 ha yang mencakup beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten
Lampung Utara, Tulang Bawang, dan Tanggamus. Alih fungsi lahan di Kabupaten Tulang Bawang merupakan yang terbesar di antara kebupaten lainnya, yaitu mencapai 69,22 atau
seluas 2.333,75 ha. Menurut informasi Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009, sebagian besar lahan-lahan pertanian tersebut telah berubah
menjadi perkebunan sawit yang memang saat ini harga komoditas perkebunan tersebut relatif menguntungkan.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 28 Tabel 3.22 Alih fungsi lahan pertanian di Provinsi Lampung tahun 2008
No. Kabupaten
Kecamatan Luas ha
Abung Semuli 21,00
Abung Timur 314,00
Abung Surakarta 423,75
1 Lampung Utara
Muara Sungkai 135,75
Tumi Jajar 448,00
Tulang Bawang Udik 945,75
2 Tulang Bawang
Tulang Bawang Tengah 940,00
3 Tanggamus
Pagelaran 143,00
Jumlah 3.371,25
Sumber: Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung 2009 Keterangan: data sampai dengan September 2008
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 29
INDUSTRI
1 Industri yang Berpotensi Mencemari Air
Di Provinsi Lampung terdapat berbagai jenis industri yang dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok, yaitu: industri makanan dan minuman, pulp, kopi, udang beku, nanas
kaleng, lada hitam, gula, batubara, minyak kelapa, MSG, minyak sawit dan CPO, karet, kakao, ethanol, tepung tapioka, dan lain-lain. Sebagian besar industri yang ada di Lampung
tersebut merupakan industri pengolah hasil pertanian agroindustri. Komoditas agroindustri ini beberapa di antaranya merupakan komoditas ekspor unggulan Provinsi Lampung.
Dalam proses produksinya, sebuah industri juga menghasilkan limbah, baik limbah padat, cair, maupun gas. Volume limbah yang dihasilkan bergantung pada kapasitas produksi,
jumlah bahan baku dan bahan penolong, serta banyaknya air yang digunakan dalam proses produksi. Agroindustri merupakan industri yang juga berpotensi mengakibatkan pencemaran
lingkungan, khususnya pencemaran perairan, karena industri ini memerlukan banyak air dalam proses produksi. Sebagai contoh, industri tapioka menghasilkan limbah cair sebanyak
55 meter kubik per ton tepung tapioka, industri gula sebanyak 35 meter kubik per ton produk gula, industri kertas sebanyak 80 meter kubik per ton produk kertas kering udara, industri
karet sebanyak 35 meter kubik per ton produk karet, serta industri pengolahan minyak kelapa sawit sebanyak 5,5 meter kubik perton produk sawit mentah CPO.
Industri-industri yang ada di Provinsi Lampung berpotensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya, mengingat kandungan
kandungan bahan organik yang ada pada buangan industri tersebut. Jika penanganan limbah industri tersebut tidak sempurna maka akan membahayakan lingkungan perairan.
Sebuah industri tapioka yang menghasilkan 60 ton tepung tapioka dalam satu hari sekaligus menghasilkan limbah cair sebanyak 3.300 meter kubik dengan BOD sebesar 30 ribu ppm.
Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke perairan umum, perairan itu akan mengalami pencemaran berat. Dengan demikian, perairan itu tidak sesuai lagi dengan peruntukannya
dan kehidupan biota perairan terganggu atau mati. Untuk mencegah dampak ini, industri tapioka tersebut wajib mengolah limbah cair sampai BOD menjadi 150 ppm sehingga aman
dibuang ke perairan umum. Produksi bersih adalah industri yang dalam proses produksinya tidak merusak dan
mencemari lingkungan. Artinya, dalam menghasilkan suatu produk, industri itu tetap menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan. Salah satu agroindustri yang dapat
dikategorikan sebagai industri dengan produksi bersih adalah perusahaan perkebunan dan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit yang menerapkan land application. Limbah padat
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 30 disebar ke areal kebun sebagai mulsa dan limbah cair setelah diolah juga dialirkan ke areal
kebun. Selain limbah tidak masuk ke perairan umum, ternyata TBS dapat meningkat 15-25 persen.
Dari hasil kajian Wiryawan dkk 2002 diketahui bahwa nilai BOD, COD, dan pH berbagai limbah industri yang ada di Lampung memiliki potensi untuk mencemari lingkungan Tabel
3.23. Tabel 3.23 Kisaran nilai BOD, COD, dan pH beberapa limbah industri di Lampung
No. Jenis Industri
BOD mgl COD mgl
pH
1 Makanan dan minuman
63-149 130-327
7,0-8,0 2
Kelapa sawit 109-348
248-625 7,0-8,5
3 Karet
89-140 198-324
6,0-8,0 4
Marmer 33-217
70-419 6,0-7,0
5 Bahan kimia
91-147 185-290
8,5-10 6
Pengolahan kelapa 44-125
109-247 7,0
7 Penyedap rasa MSG
92-295 190-505
5,0-7,5 8
Kertas 650-1.113
1.240-2.174 6,0-9,5
9 Pengolahan kayu
54-59 118-125
7,5-8,0 10
Sabun 76-90
115-182 7,0-7,5
11 Gula
51-398 108-1.910
4,5-9,0 12
Tapioka 47-1.427
96-2.972 4,0-9,0
13 Asam sitrat dan sarbitol
105-230 215-480
7,0-7,5 14
Asam sitrat dan tapioka 100-120
208-256 6,0-7,0
15 Tapioka dan nanas
79-120 180-242
6,0-7,0 Sumber: Wiryawan dkk 2002
Keterangan: sample diukur dari outlet Berdasarkan data BPLHD Provinsi Lampung 2009 diketahui setidaknya terdapat 82
perusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan perairan yang tersebar di berbagai kabupatenkota di Provinsi Lampung. Perusahaan-perusahaan tersebut menjadi obyek
pengawasan BPLHD Provinsi Lampung terkait kegiatan Proper tahun 2009.
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 31 Tabel 3.24. Daftar perusahaan yang menjadi obyek pengawasan BPLHD Provinsi Lampung tahun 2009
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi LA atau
Non LA Lokasi Anak Sungai Terdekat
Wilayah DAS OFFON KABUPATEN TULANG BAWANG
1 PT. TBL PKS MESUJI
CPO Non LA
W.BrasbrasanW.Buaya W.Mesuji
ON
2 PT. BUDI ACID JAYA BAJ BUJUK
Tapioka Non LA
W.Bujuk W.T.Bawang
ON
3 PT. SILVA INHUTANI LAMPUNG
Karet Non LA
W.Buaya W.Mesuji
ON
4 PT. BAJ Unit VI
Tapioka Non LA
W.Pidada W.T.Bawang
ON
5 PT. SIP MILL SUNGAI MERAH
CPO LA
W.Pidada W.T.Bawang
ON
6 PT. SIP MILL SUNGAI BUAYA
CPO LA
W.Buaya W.Mesuji
ON
7 PT. INDO LAMPUNG PERKASA
Gula Non LA
W.Terusan W.Seputih
ON
8 PT. SWEET INDO LAMPUNG
Gula Non LA
W.Terusan W.Seputih
ON
9 PT. TWBP BANJAR AGUNG
Tapioka Non LA
W.Pidada W.T.Bawang
ON
10 PT. WKAP MENGGALA
Tapioka Non LA
W.TeloPidada W.T.Bawang
ON
11 PT. HUMA INDAH MEKAR
Karet Non LA
ON
12 PT. BAJ PENUMANGAN
Tapioka Non LA
OFF
13 PT. BUMI TAPIOKA JAYA
Tapioka Non LA
Way Kiri W.T.Bawang
OFF KABUPAT EN WAY KANAN
14 PT. BUDI LAMPUNG SEJAHTERA
Karet Non LA
W.Hujau-Hanakau-Sungkai W.T.Bawang
OFF
15 PT.AGRO BM
CPO Non LA
Way Hanakau-W.Kiri W.T.Bawang
ON
16 PT. KENCANA AP.
Nenas Non LA
Kali-W.Besai-W.Kanan W.T.Bawang
ON
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 32 Tabel 3.24 Lanjutan
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi LA atau
Non LA Lokasi Anak Sungai Terdekat
Wilayah DAS OFFON
17 PT. BAJ GIHAM
Tapioka Non LA
W.Giham-W.Kanan W.T.Bawang
ON
18 PTPN. UU TULUNG BUYUT
Karet Non LA
ON
19 PT. PALM LAMPUNG PERSADA
CPO LA
ON KABUPATEN LAMPUNG UTARA
20 PT.BAJ KETAPANG
Tapioka Non LA
W.MelungunW.Sungkai W.T.Bawang
ON
21 PT.BAJ PAKUAN
Tapioka Non LA
W.AbungW.Kiri W.T.Bawang
ON
22 PT.TWBP LUHUR PMD
Tapioka Non LA
W.Pengubuan W.Seputih
ON
23 PT.TWBP KALICINTA
Tapioka Non LA
W.AbungW.Kiri W.T.Bawang
ON
24 PTPN VII UU BUNGA MAYANG
Gula Recycle
W.SungkaiW.Kiri W.T.Bawang
ON
25 PT.POLA PULPINDO MANTAP
Kertas Non LA
ON
26 PT.FM.TULUNG BUYUT
Tapioka Non LA
W.BuluhW.Sungkai W.T.Bawang
ON KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
27 PT.ACID-III
Asam.Sitrat Non LA
W.Miring W.T.Bawang
ON
28 PT.BUDI BRITISH BP
Sorbitol Non LA
W.Miring W.T.Bawang
ON
29 PT.BAJ TAP. WAY ABUNG
Tapioka Non LA
W.Miring W.T.Bawang
ON
30 PT.TWBP GN. BATIN
Tapioka Non LA
W.Terusan W.Seputih
ON
31 PT.GGP II EX MAC
Tapioka Non LA
W.Terusan W.Seputih
OFF
32 PT. GUNUNG MADU PLANTATION
Gula Non LA
W.PutakW.Pengubuan W.Seputih
ON
33 PT.GULA PUTIH MATARAM
Gula Non LA
W.MerawanW.Terusan W.Seputih
ON
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 33 Tabel 3.24 Lanjutan
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi LA atau
Non LA Lokasi Anak Sungai Terdekat
Wilayah DAS OFFON
34 PT.INDO LAMPUNG DISTILLERY
Etanol Non LA
W.MerawanW.Terusan W.Seputih
ON
35 PT.BAJ GN.AGUNG
Tapioka Non LA
ON
36 PT.GGP I ex.UJF
Tapioka Non LA
W.kecubungW.Pengubuan W.Seputih
ON
37 PT.GGP ex.GGPC
Nenas Non LA
W.kecubungW.Pengubuan W.Seputih
ON
38 PT.BAMBU PRIMA ex SFH
Kertas Budaya Non LA
W.kecubungW.Pengubuan W.Seputih
OFF
39 PT.BAJ ACID 2
As.Sitrat Non LA
W.J.ItungW.Pengubuan W.Seputih
ON
40 PT. BAJ ACID 1
As.Sitrat Non LA
W.J.ItungW.Pengubuan W.Seputih
ON
41 PT.BAJ TAP TERBANGGI
Tapioka Non LA
W.J.ItungW.Pengubuan W.Seputih
ON
42 PT.TBL-KEKAH
CPO LA
W.J.ItungW.Pengubuan W.Seputih
ON
43 PT.VEWONG BI
MSG Non LA
W.Seputih W.Seputih
OFF
44 PT.SINAR BAMBU KENCANA
Kertas Budaya Non LA
W.Seputih W.Seputih
ON
45 PT.BUDI SANWA S.
Tapioka Non LA
W.TL.KuyaiW.Seputih W.Seputih
ON
46 PT.BAJ BUYUT
Tapioka Non LA
W.TL.KuyaiW.Seputih W.Seputih
ON
47 PTPN VII UU BEKRI
CPO LA
W.TipoW.Seputih W.Seputih
ON
48 PT.WIRA TM
Tapioka Non LA
OFF
49 PT.FM-BUMINABUNG
Tapioka Non LA
OFF KABUPATEN PESAWARAN
50 PT.PARINDO PERMAI
Papan Partikel Non LA
Irigasi Bekri-Rumbia W.Seputih
ON
51 PTPN VII UU.W.BERULU
Karet Non LA
Kali Kebagusan-W.Sekampung W.Sekampung
ON
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 34 Tabel 3.24 Lanjutan
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi LA atau
Non LA Lokasi Anak Sungai Terdekat
Wilayah DAS OFFON
KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
52 PT.FM SKRJ-NB
Tapioka Non LA
W.Batanghari W.Pegadungan
ON
53 PT.BAJ LABUAN RATU
Tapioka Non LA
W.Penet Muara Penet
ON
54 PT.UMAS JAYA AGROTAMA
Tapioka Non LA
Way Buhong W.Sekampung
ON
55 PT.ALFA.I.A
Tapioka Non LA
W.Batanghari W.Pegadungan
OFF
56 PT.WIRA KAP. KDT
Tapioka Non LA
Way Raman-W.Btg.Hari W.Pegadungan
ON
57 PT.KIRIN MIWON FOODS
Nucletic Seasoning Non LA
Way Buhong W.Sekampung
ON
58 PT.SORINI .A.C
Tapioka Non LA
W.Batanghari W.Pegadungan
ON KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
59 PT.KONVERTA MITRA ABADI
Kertas Kemasan Non LA
Parit-kali-Way Sekampung W.Sekampung
ON
60 PT. COCA-COLA
Soft Drink Non LA
W.Sukanegara-Galih W.Sekampung
ON
61 PT.FM-KATIBUNG
Tapioka Non LA
W.Sulan W.Sekampung
ON
62 PT.SARI SEGAR HUSADA
Tepung Kelapa Non LA
Parit-Laut Teluk Lampung
ON
63 PTPN VII UU.KEDATON
Karet Non LA
W.Galih W.Sekampung
ON
64 PTPN VII UU. PEWA
Karet Non LA
Parit-W.Kandis W.Sekampung
ON
65 PT.INDOFOOD SM
Mie Instant Non LA
Parit-W.Galij W.Sekampung
ON
66 PT.DARMA
Tapioka Non LA
W.Kandis W.Sekampung
ON
67 PT.INDOWAN BP
Kertas Budaya Non LA
W.Semah W.Sekampung
OFF
68 PT.KEONG NA
Natadecoco Non LA
W.Tubalunik W.Sekampung
ON
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 35 Tabel 3.24 Lanjutan
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi LA atau
Non LA Lokasi Anak Sungai Terdekat
Wilayah DAS OFFON
69 PT.PANJI SABURAI PUTRA
Rajungan Non LA
W.Galih Lunik W.Sekampung
ON
70 PTPN.VII UU REJOSARI
CPO LA
W.Sekampung W.Sekampung
ON
71 PLTU TARAHAN
Listrik Non LA
Parit-laut Teluk Lampung
ON KOTA BANDAR LAMPUNG
72 PT.TBL-W-LUNIK
M.Goreng Non LA
Way Lunik Teluk Lampung
ON
73 CV. WAY LUNIK
Sabun Non LA
Way Lunik Teluk Lampung
ON
74 PT.WAY KANDIS
Karet Non LA
Way Kandis W.Sekampung
ON
75 PT.GOLDEN SARI
Sari Manis Non LA
Way Balok OFF
76 PT.PHILLIPS SEAFOOD INDONESIA
Rajungan Non LA
ON
77 PT.ANDATU LESTARI PLYWOOD
Kayu Lapis Non LA
Teluk Lampung ON
78 PT. NESTLE IND
Kopi instant Non LA
Teluk Lampung ON
79 PT. BUKIT ASAM
Stockfle Batubara Non LA
Teluk Lampung ON
80 PT. SEMEN BATURAJA
Semen Portland Non LA
Teluk Lampung ON
81 PT. MUARA KELINGI
Karet Non LA
Way Garuntang OFF
82 CV. SINAR LAUT
M.Goreng Sabun Non LA
Way Garuntang ON
Sumber: BPLHD Provinsi Lampung 2009
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 36 Industri-industri yang terdapat di Kota Bandar Lampung, terutama yang berada di pinggiran
sungai, disinyalir telah menyebabkan pencemaran perairan sungai. Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan oleh Wiryawan dkk 2002, diketahui bahwa setidaknya terdapat 22
industri di DAS Way Kuala, 13 industri di DAS Way Lunik, 5 industri di DAS Way Pancoran, dan 2 industri di DAS Way Kunyit. Dari hasil pengukuran kualitas air sungai yang dilakukan
pada tahun 2007 diketahui bahwa sebagian besar sungai-sungai yang ada di Kota Bandar Lampung telah tercemar. Selain karena limbah rumah tangga, pencemaran tersebut diduga
juga berasal dari limbah industri.
Gambar 3.5 Kondisi Sungai Way Garuntang yang mengalami pencemaran Pengukuran kualitas air sungai yang dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
beberapa sungai di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung yang bermuara ke Teluk Lampung, yaitu Way Keteguhan, Way Kuripan, Way Kunyit, Way KualaGaruntang, Way
Lunik dan Way Galih, secara visual telah mengalami penyempitan, pendangkalan, berair kotor dan berwarna hitam, serta terdapat banyak sampah rumah tangga.
Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa sebagian besar sungai-sungai yang bermuara di pesisir Kota Bandar Lampung telah mengalami pencemaran bahan organik
yang cukup tinggi. Nilai oksigen terlarut DO sebagian besar sungai, kecuali Way Sukamaju, berada di bawah baku mutu yang ditetapkan, yaitu 3 mgl, bahkan nilainya
mendekati nol. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar sungai tidak mendukung untuk kehidupan ikan maupun biota air lainnya. Demikian juga dengan nilai COD dan BOD yang
jauh melebihi ambang baku mutu. Nilai COD berkisar antara 145,4-236,3 mgl; nilai ini jauh
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 37 di atas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan PP No.82 thn 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk Mutu Air Kelas III, yaitu 50 mgl. Nilai BOD berkisar antara 43,18-85,06 mgl yang berarti telah melebihi baku mutu berdasarkan
PP No.82 thn 2001, yaitu 6 mgl.
2 Industri yang Berpotensi Mencemari Udara
Industri-industri yang ada di Provinsi Lampung selain memiliki potensi untuk mencemari air juga berpotensi mencemari udara. Sebagai contoh, industri tapioka dan industri karet telah
menyebabkan pencemaran udara dalam bentuk bau yang sering dikeluhkan oleh warga masyarakat di sekitar pabrik tersebut. Limbah tapioka berpotensi menghasilkan gas
amoniak, H
2
S, dan methan; sedangkan industri karet akan menghasilkan polutan gas yang berupa campuran berbagai komponen, antara lain amoniak dan terpen.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Walhi Lampung pada tahun 2008 pernah melaporkan satu kasus pencemaran udara yang bersumber dari sebuah perusahaan tapioka
setempat kepada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Provinsi Lampung. Pengaduan Walhi itu diajukan berdasarkan aspirasi masyarakat yang merasa
terganggu dengan bau busuk yang berasal dari pabrik tapioka di Desa Kalicinta, Kecamatan Kotabumi Utara, Kabupaten Lampung Utara. Diduga penyebab bau busuk yang
dipersoalkan warga di sekitar ibukota Kabupaten Lampung Utara itu adalah kegiatan produksi perusahaan tapioka PT. Tunas Wibawa Bhakti Persada TWBP, yang berada di
Desa Kalicinta, Kecamatan Kotabumi Utara, Kabupaten Lampung Utara. Kasus pencemaran udara oleh PT. Way Kandis di Kelurahan Rajabasa, Kedaton, Bandar
Lampung juga sering dikeluhkan warga, seperti yang terjadi pada bulan Juli 2009. PT. Way Kandis merupakan pabrik karet yang berdiri sejak tahun 1961, yang pada awalnya daerah
tersebut merupakan wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan jauh dari pemukiman penduduk. Kini lokasi perusahaan tersebut masuk wilayah Kota Bandar Lampung dan
berada dekat dengan pemukiman masyarakat yang padat. Permasalahannya timbul karena adanya pencemaran yang berasal dari produsen karet tersebut, terutama bau busuk yang
dapat terbawa angin hingga menjangkau lokasi dengan radius yang relatif luas dan jauh sumber pencemaran. Pencemaran udara tersebut sangat menggangu kenyamanan dan
aktivitas masyarakat, terutama warga yang tinggal di sekitar perusahaan tersebut. Warga yang tinggal di Perumahan Bataranila, Universitas Lampung, Polinela, Asrama Haji Islamic
Center, dan sekolah-sekolah cukup terganggu dengan adanya polusi udara yang berasal dari PT. Way Kandis.
Selain industri tapioka dan karet, industri lainnya yang juga berpotensi menimbulkan pencemaran udara adalah industri CPO, industri gula, kayu lapis, PLTU, stockfile batubara,
dan semen portland. Proses pemurnian refinery CPO dan industri gula dengan menggunakan uap panas steam akan menyebabkan pencemaran udara akibat
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 38 pembakaran biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap.
Komponen pencemaran udara yang dihasilkan adalah gas-gas CO
2
, NO
X
, dan SO
X
. Pencemar udara yang dihasilkan oleh industri kayu lapis, seperti PT.
Andatu Lestari Plywood,
secara umum adalah debu, kebisingan, gas buang CO
2
, CO, SOx, NOx, formaldehide, amoniak, uap aseton, toluen, uap stirene, gas Cl
2
, dan freon CFC. Limbah berupa debu kayu berasal dari proses pengeringan, pemotongan dan pengamplasan.
Limbah berupa formaldehide dan amoniak berasal dari pelaburan perekat dan pengempaan panas; sedangkan gas Cl
2
berasal dari proses pengempaan panas. Gas buang seperti CO
2
, CO, SOx, NOx berasal dari cerobong boiler ataupun generator listrik. Limbah berupa uap
aseton dan toluen berasal dari dempul; sedangkan uap stirene berasal dari proses pengeringan veneer dan uap hot melt glue. Freon CFC dihasilkan dari kebocoran mesin
pendingin air pada core builder. Limbah berupa kebisingan dihasilkan dari mesin-mesin produksi.
Aktivitas industri di PT. Bukit Asam stockfile batubara dan PT. Semen Baturaja yang terdapat di Kota Bandar Lampung menyebabkan pencemaran udara yang berupa debu pada
saat bongkar muat, sehingga seringkali dikeluhkan warga sekitarnya. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka pada saat angin bertiup kencang pencemaran debu batubara
dan semen ini dapat mengganggu kesehatan masyarakat di sekitarnya. PLTU Tarahan yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan menggunakan batubara
sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap yang akan menggerakan pembangkit listrik. Pembakaran batubara ini menghasilkan partikel debu, gas-gas CO
x
, NO
X
, SO
X
, serta berbagai logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se dan lain-lain.
Gambar 3.6 PLTU Tarahan yang berpotensi mencemari udara
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 39 Tabel 3.25 Daftar perusahaan industri yang berpotensi mencemari udara di Provinsi
Lampung tahun 2009
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi A. Kabupaten Tulang Bawang:
1 PT. TBL PKS MESUJI
CPO
2 PT. BUDI ACID JAYA BAJ BUJUK
Tapioka
3 PT. SILVA INHUTANI LAMPUNG
Karet
4 PT. BAJ Unit VI
Tapioka
5 PT. SIP MILL SUNGAI MERAH
CPO
6 PT. SIP MILL SUNGAI BUAYA
CPO
7 PT. INDO LAMPUNG PERKASA
Gula
8 PT. SWEET INDO LAMPUNG
Gula
9 PT. TWBP BANJAR AGUNG
Tapioka
10 PT. WKAP MENGGALA
Tapioka
11 PT. HUMA INDAH MEKAR
Karet
B. Kabupaten Way Kanan:
12 PT.AGRO BM
CPO
13 PT. BAJ GIHAM
Tapioka
14 PTPN. UU TULUNG BUYUT
Karet
15 PT. PALM LAMPUNG PERSADA
CPO
C. Kabupaten Lampung Utara :
16 PT.BAJ KETAPANG
Tapioka
17 PT.BAJ PAKUAN
Tapioka
18 PT.TWBP LUHUR PMD
Tapioka
19 PT.TWBP KALICINTA
Tapioka
20 PTPN VII UU BUNGA MAYANG
Gula
21 PT.FM.TULUNG BUYUT
Tapioka
D. Kabupaten Lampung Tengah :
22 PT.BAJ TAP. WAY ABUNG
Tapioka
23 PT.TWBP GN. BATIN
Tapioka
24 PT. GUNUNG MADU PLANTATION
Gula
25 PT.GULA PUTIH MATARAM
Gula
26 PT.INDO LAMPUNG DISTILLERY
Etanol
27 PT.BAJ GN.AGUNG
Tapioka
28 PT.GGP I ex.UJF
Tapioka
29 PT.BAJ TAP TERBANGGI
Tapioka
30 PT.TBL-KEKAH
CPO
31 PT.BUDI SANWA S.
Tapioka
32 PT.BAJ BUYUT
Tapioka
STA TUS LIN G KUN G A N HIDUP DA ERA H PRO V IN SI LA M PUN G 2 0 0 9
III - 40 Tabel 3.25 Lanjutan
No Nama Perusahaan
Jenis Produksi
33 PTPN VII UU BEKRI
CPO
E. Kabupaten Pesawaran :