KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

(1)

i

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA SKRIPSI

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh:

Nama : Imtiyaz Hanafiyah

Nomor Induk Mahasiswa : 20130610452

Program Studi : Ilmu Hukum

Rumpun : Hukum Bisnis

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA SKRIPSI

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh:

Nama : Imtiyaz Hanafiyah

Nomor Induk Mahasiswa : 20130610452

Program Studi : Ilmu Hukum

Rumpun : Hukum Bisnis

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Nama : Imtiyaz Hanafiyah

NIM : 20130610452


(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji pada tanggal 16 Maret 2017

yang terdiri dari: Ketua

Hj. Fadia Fitriyanti, S.H., M.Hum., M.Kn. NIK. 19711127199603 153 026 Dosen Pembimbing I

Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. NIK. 19680929199407 153 019

Dosen Pembimbing II

Dr. Danang Wahyu Muhammad, S.H., M.Hum. NIK. 19690528199409 153 022

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. NIK. 19710409199702 153 028


(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI

Bismillahirrahmannirrahim

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Imtiyaz Hanafiyah

NIM : 20130610452

Judul Skripsi : KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN

MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN

TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran, dan pemaparan asli saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila dikemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar Strata 1 yang diperoleh karena karya tulis ini dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 1 Februari 2017

Mengetahui, Dosen Pembimbing I

Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. NIP. 19680929199407 153 019

Yang Menyatakan

Imtiyaz Hanafiyah NIM. 20130610452


(6)

v

HALAMAN MOTTO

“Indeed, Allah will not change the condition of a people until they change what is in

themselves” (Q.S. Ar-Ra’d :11)

Do the best, be good, then you will be the best (Bapak Agus Suhono)

Don’t lose the faith, keep praying, keep trying

Hidup adalah pelajaran mengenai kerendahan hati (Eyang Sudiro Suryodiningrat)

Sura Dira Jayadiningrat, Lebur Dening Pangastuti (Pepatah Jawa)


(7)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Penelitian ini saya dedikasikan kepada:

Allah SWT, Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana Bapak Drs. Agus Suhono, M.Pd.

Ibu Sri Karsini, S.Pd.

Kakak saya Nika Salafia Anggarini, S.Pd. Kakak Andika Zain Nur Huda, S.T.

Kakak Rahmat Sholeh Hanifa, S.T. Adik saya Nur Afifah Hilmy


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbila’alamiin. Teriring doa dan syukur penulis tujukan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat, pertolongan serta bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kewajiban Maskapai Penerbangan Mengenai Klausula Baku Pelayanan Terhadap Penumpang Penyandang Disabilitas Di Indonesia

yang diajukan sebagai syarat untuk menempuh jenjang Strata Satu Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulisan skripsi ini adalah suatu langkah kecil untuk menjadi batu loncatan ke langkah yang berikutnya. Semangat dalam setiap langkah penulisan skripsi ini tentu tidak lepas dari dorongan moril dan materiil dari banyak pihak. Pertama tentu saya sangat berterima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Drs. Agus Suhono, M.Pd. dan Ibu Sri Karsini, S.Pd. yang tiada henti memberikan dukungan, doa-doa dan airmata agar terus semangat belajar dan segera menyelesaikan studi. Semoga Bapak dan Ibu selalu dalam perlindungan Allah SWT dan diberi nikmat sehat dan kelancaran rezeki.

Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bapak Dekan Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, Bapak Mukhtar Zuhdi, S.H., M.H., Ibu Prihati Yuniarlin, S.H, M.Hum., Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum, Ibu Septi Nur


(9)

viii

Wijayanti, S.H., M.H., dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bimbingan studi dan semangat untuk segera menyelesaikan studi.

Terima kasih saya tujukan pula kepada Pembimbing I Bapak Dr. Mukti Fajar N.D., S.H., M. Hum dan Pembimbing II Bapak Dr. Danang Wahyu Muhammad, S.H., M. Hum., yang memberikan koreksi dan masukan terhadap naskah ini terkait logika hukum, tata penulisan, dan hukum materiil perlindungan konsumen dan pengangkutan udara untuk menyempurnakan naskah ini. Terima kasih atas kesediaan Pembimbing I dan Pembimbing II membimbing, memotivasi dan selalu mengingatkan saya agar segera menyelesaikan studi.

Terima kasih kepada segenap jajaran manajerial PT. Garuda Indonesia, PT. AirAsia Indonesia, PT. Lion Mentari Airlines yang bersedia meluangkan waktu khusus untuk mendapatkan data primer. Tak lupa kepada segenap pengurus Yayasan Penyandang Disabilitas Mandiri, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Bapak Maulana, Bapak Stefan, Saudara Askan, Bapak Kamaludin, Ibu Sabirin, yang bersedia untuk wawancara terkait penulisan skripsi.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan doa-doa saudara-saudara terkasih, Mbak Nika Salafia Anggarini, S.Pd. dan Mas Slamet Widodo, S.Sos. yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesah dari awal yang tidak tahu apa-apa hingga masa akhir studi, Mas Andika Zain Nur


(10)

ix

Huda, S.T. dan Mbak Sri Khadijah,, S.P. yang seringkali memberi dukungan materiil untuk kegunaan studi, Mas Rahmat Sholeh Hanifa, S.T. yang tetap semangat mengejar ketertinggalan dan selalu memberikan dukungan positif pada setiap langkah, Adik Nur Afifah Hilmy yang tak lupa memberikan hiburan tersendiri di rumah. Tak lupa keponakan-keponakan yang lucu Jundi Wafa Al-Majdi, Jiddan Akhtar Al-Majdi, dan Saddam Zakha Al-Fatih yang dengan tingkah polah mereka memberikan efek bahagia pada sekitarnya.

Teman-teman seperjuangan saya yang selalu mengingatkan agar tidak pernah berhenti Muhamad Faris, Nisrina Alifah, Mbak Ainun Nisa Nadhifah Uni Nila Dara Mustika, Uni Yati Afriyeni, Ferisa Dian, Atikah Fitria, Ayub Fanani, Endah Sri Lestari, Lina Ayik, Erika Vivin, Cantik Istya Karmana, Rizki Yuda Pratama dan yang lainnya, yang seringkali siap menjadi partner in crime dan sama-sama berpacu untuk terus berusaha menyelesaikan studi. Tak lupa kepada teman-teman yang sama-sama mengambil penulisan hukum bisnis, semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita jalan kemudahan.

Saudara sekaligus teman terdekat Mbak Laras Astuti, S.H., M.H., Mas Afriansyah Tanjung, S.H., serta Satria Sukananda yang selalu memberikan tawa dan kejutan-kejutan indah pada masa-masa studi. Terima kasih atas seluruh momen istimewa yang sudah dijalani bersama. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan pertolongan


(11)

x

Mentor sekaligus motivator unggulan Mas Abidin A. Kurnia Ecla Julianto, S.H., yang memberikan arahan dan bantuan dalam segala hal temasuk mendengarkan cerita-cerita tidak penting yang menyebalkan dari saya. Terima kasih telah memberi inspirasi tentang hukum penerbangan. Semoga Allah SWT meringankan beban dan melancarkan semua target.

Saudara yang tidak pernah mengeluh untuk mendengarkan dan selalu siap membantu tanpa mengenal waktu Mbak Siti Khotijah. Terima kasih untuk terus mendengarkan sekaligus memberikan masukan dan motivasi unggulan terhadap perkembangan diri yang bukannya bertambah tetapi sering menyusut. Terima kasih untuk terus memberikan pelukan hangat dan mempertimbangkan agar tak pernah putus studi. Semoga Allah SWT melancarkan rezeki dan membantumu menyelesaikan studi.

Terima kasih kepada teman-teman yang seringkali bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan Larasati Ayuningtyas yang semangat di PK2P, Mas Andrae Sutrisno, S.H., Mas Isa Diandra, Biantara Albab, Yuli Sitompul, Julian Dwi, Teh Eca, Eggy Yuniar, Dania Amareza, Kak Riska Wijayanti, Soewardiman serta kawan-kawan lainnya yang memberikan pengalaman khusus dalam menjalankan kegiatan bersama.

Terima kasih kepada Nisa Putri Bagaswati yang merupakan partner setia dan terhebat, serta teman-teman KKN 127 dan seluruh warga Dusun Kebosungu 1 Dlingo yang telah mengajari arti kekeluargaan dan memberikan banyak pelajaran kehidupan.


(12)

xi

Terima kasih kepada Mbak Siti Nur Khasanah, S.IP., dan seluruh jajaran staf Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang memberikan pengalaman dan mengajari banyak hal dalam mengatasi masalah dan pengelolaan jurnal.

Terima kasih kepada teman-teman yang tergabung dalam tim Task Force Fakultas Hukum Ferisa Dian Fitria, Hamdan Faishal Ismail, Mas Reza Rinaldy, Yulia Budiarti yang tidak pernah membiarkan lab hukum sepi.

Terima kasih kepada adik-adik Putri Puput, Nia Amiroh, Rizaski Maridan, Farza Fithlaka, yang seringkali menggangu dengan opini dan mengingatkan agar segera menyelesaikan studi serta tahu bagaimana untuk melepas penat barang sejenak.

Terima kasih kepada kakak-kakak yang selalu ada Kak Dream, Kak Jaya, Bli Dewa, Abang Cesna, Kak Ruma, Om Reska Waluyo, Pakde Haad, Eyang Suryodiningrat dan seluruh keluarga besar yang terus menyemangati untuk menanamkan target dan memelihara impian-impian agar menjadi kenyataan.

Terima kasih kepada Bapak Anang Sya’roni dan Ibu Sujanatun serta rekan-rekan kerja di Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga merupakan keluarga kedua, Mbak Laras Astuti, S.H, M.H., Mas Afriansyah Tanjung, S.H, Mas Abidin A.K.E. Julianto, S.H., Mbak Ayudia Vicky, S.H., Mas Murdian,


(13)

xii

S.H., Satria Sukananda, Vinda Noviasari, Mbak Diana Setiawati, dan Rizqi Musrifah, Nisa Fitria, Farah Asmajasmine, Diana Hijri Nursyahbani, Rahma Boru Sagala yang selalu mengingatkan bahwa pendidikan harus dicapai setinggi mungkin.

Terima kasih kepada orang-orang yang terus menjatuhkan, meninggikan, membuat tangisan dan derai tawa, yang mengajari bahwa sepahit-pahitnya berharap adalah mengharapkan sesuatu dari manusia dan mengingatkan bahwa roda kehidupan itu selalu berputar. Terima kasih untuk selalu mengingatkan agar mendekat kepada Allah SWT.

Semoga kebaikan yang telah mereka berikan dapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan keterbatasan dalam pembuatan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh stakeholder terkait.

Yogyakarta, 30 Januari 2016 Penulis,

Imtiyaz Hanafiyah 20130610452


(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERNYATAAN iv

HALAMAN MOTTO v

HALAMAN PERSEMBAHAN vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI xiii

ABSTRAK xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 4

D. Manfaat Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Pengangkutan Udara 6

1. Aspek-Aspek Pengangkutan 7

a. Pengangkutan Sebagai Usaha 7

b. Pengangkutan Sebagai Perjanjian 8

c. Pengangkutan Sebagai Proses Penerapan 9

2. Asas-asas Hukum Pengangkutan 10

3. Perjanjian Pengangkutan Udara 12

4. Tinjauan Umum Maskapai Penerbangan 13

B. Tinjauan Umum Hukum Penyelenggaraan Perjanjian


(15)

xiv

1. Para Pihak dalam Pengangkutan Udara 17

a. Penumpang 17

b. Pengangkut Udara 17

c. Pengirim Udara 18

2. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Pengangkutan Udara 18

a. Hak dan Kewajiban Pengangkut 19

b. Hak dan Kewajiban Pengirim 20

c. Hak dan Kewajiban Penumpang 21

C. Tinjauan Perlindungan Konsumen Dan Prinsip Tanggung Jawab

Perlindungan Konsumen 22

1. Konsep Perlindungan Konsumen 22

2. Konsep Tanggung Jawab dalam Perlindungan Konsumen 24 a. Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian 24 b. Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi 29

c. Tanggung Jawab Mutlak 30

D. Hak Dan Kewajiban Konsumen Dan Pelaku Usaha 33

1. Hak dan Kewajiban Konsumen 33

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 38

E. Tinjauan Klausula Baku 41

F. Penyandang Disabilitas 43

1. Klasifikasi Penyandang Disabilitas 45

G. Pelayanan Angkutan Udara Bagi Penyandang Disabilitas

Di Indonesia 47

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian 50

B. Pendekatan Penelitian 50


(16)

xv

D. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian 53

E. Teknik Analisis Data 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kesesuaian Klausula Baku Peraturan Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Penyandang Disabilitas Dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 55 B. Kedudukan Hukum Penumpang Penyandang Disabilitas Dan

Penumpang Sakit Dalam Pengangkutan Udara Di Indonesia 65 1. Standar Operasional Prosedur Pelayanan Penumpang Penyandang

Disabilitas 67

a.Penumpang Kursi Roda 67

b.Penumpang Tunanetra 75

c.Penumpang Tunarungu 77

d.Penumpang Keterbelakangan Mental 78

e.Penumpang dengan Alat Penopang Postur Tubuh 79 2. Standar Operasional Prosedur Pelayanan Penumpang Sakit 81

a. Sakit Ketika di Lapangan 81

b. Penumpang Sakit di Dalam Pesawat 82

c. Penumpang Meninggal di Dalam Pesawat 82 C. Kewajiban Maskapai Penerbangan Mengenai Klausula Baku

Pelayanan Terhadap Penumpang Penyandang Disabilitas 85 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 93

B. Saran 95

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(17)

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA LEMBAR PERSETUJUAN

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Nama : Imtiyaz Hanafiyah

NIM : 20130610452


(18)

LEMBAR PENGESAHAN

KEWAJIBAN MASKAPAI PENERBANGAN MENGENAI KLAUSULA BAKU PELAYANAN TERHADAP PENUMPANG PENYANDANG

DISABILITAS DI INDONESIA

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji pada tanggal 16 Maret 2017

yang terdiri dari: Ketua

Hj. Fadia Fitriyanti, S.H., M.Hum., M.Kn. NIK. 19711127199603 153 026 Dosen Pembimbing I

Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. NIK. 19680929199407 153 019

Dosen Pembimbing II

Dr. Danang Wahyu Muhammad, S.H., M.Hum. NIK. 19690528199409 153 022

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. NIK. 19710409199702 153 028


(19)

(20)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai kewajiban maskapai penerbangan mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas di Indonesia. Tujuan penelitian adalah 1) mengetahui bagaimana kesesuaian klausula baku peraturan maskapai penerbangan terhadap penumpang penyandang disabilitas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 2) mengetahui apakah kedudukan hukum penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit sama dalam pengangkutan udara di Indonesia; dan 3) bagaimana prosedur pelayanan maskapai penerbangan mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan empiris. Penelitian ini mengkaji tentang asas-asas, konsep-konsep hukum, serta peraturan perundang-undangan terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa klausula baku peraturan maskapai penerbangan terhadap penumpang difabel bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun apabila diterapkan kepada orang sakit, maka klausula baku tersebut tidak bertentangan. Kedudukan hukum antara penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit tidak sama dalam pengangkutan udara di Indonesia. Prosedur pelayanan maskapai penerbangan di Indonesia mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas masih kurang memenuhi standar keamanan bagi penumpang penyandang disabilitas.

Kata Kunci: Kewajiban, Maskapai Penerbangan, Klausula Baku, Penyandang Disabilitas


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum pengangkutan udara menjelaskan bahwa penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 tahun, dan/atau orang sakit, berhak mendapat memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dari badan usaha pengangkutan udara niaga. Salah satu contohnya adalah memberikan prioritas tempat duduk.1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 239 ayat (2) menyebutkan pelayanan khusus diantaranya, pemberian prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal; sarana bantu bagi orang sakit; menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery); tersedianya personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

1


(22)

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan Pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara. Sarana angkutan udara niaga harus dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan khusus yang diperlukan dan memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan bagi penyandang cacat dan orang sakit.2

Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang menjamin adanya kemudahan bagi penyandang disabilitas apabila menggunakan transportasi publik serta dijamin hak-haknya sesuai dengan prinsip-prinsip umum Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.3 Regulasi penerbangan sudah mengatur berbagai hal mengenai pelayanan dan perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas, namun masih ada maskapai penerbangan yang tetap memberikan perlakuan diskriminatif kepada penumpang penyandang disabilitas.

Salah satu dari kasus tidak adanya pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas adalah yang dialami oleh Cucu Saidah, seorang difabel pengguna kursi roda. Pada perjalanan dari Jogja menuju Jakarta dengan pesawat Garuda GA205, Cucu diharuskan untuk menandatangani

2

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan Pasal 9 ayat 1

3


(23)

surat pernyataan sakit oleh pihak maskapai, selain itu kursi roda yang digunakannya mengalami kerusakan dan adanya kelambanan pelayanan awak pesawat dalam mengakomodir kebutuhannya.4

Kasus serupa juga dialami oleh difabel lain yakni Ridwan Sumantri, seorang difabel pengguna kursi roda pada saat melakukan perjalanan ke Bali dengan maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan JT12. Maskapai penerbangan menyamakan kondisi disabilitas dengan orang yang menderita sakit dan mengharuskan Ridwan untuk menandatangani surat pernyataan sakit. Ridwan sempat menolak dengan alasan bahwa dirinya bukanlah orang sakit, sehingga tidak perlu untuk menandatangani surat tersebut. Namun, maskapai kemudian mengancam akan menurunkan Ridwan apabila tidak mau menandatangani surat tersebut. Selain adanya paksaan menandatangani surat pernyataan sakit, Ridwan juga tidak diprioritaskan mendapat tempat duduk bagian depan pesawat.5

Maskapai penerbangan memiliki standar operasional prosedur pelayanan terhadap penumpang berkebutuhan khusus. Pelayanan oleh maskapai penerbangan tersebut haruslah memenuhi standar-standar yang telah ditentukan oleh peraturan nasional maupun internasional tentang penerbangan. Maka maskapai penerbangan sebagai penyedia angkutan udara seharusnya memiliki standar pelayanan terlebih pelayanan kepada

4

www.hukumonline.com/berita/baca/lt51408b344675d/penyandang-disabilitas-somasi-garuda. Diakses pada 17 Februari 2016 pukul 07.10

5

www.detik.com/news/berita/3134533/jalan-berliku-penumpang-difabel-melawan-lion-air-dkk-dan-menang. Diakses pada 17 Februari 2016 pukul 07.05


(24)

penumpang disabilitas. Pemerintah Indonesia perlu merencanakan secara maksimal penyelenggaraan penerbangan yang memadai dan menjamin pelayanan bagi seluruh penumpang.

B. RUMUSAN MASALAH

Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kesesuaian klausula baku peraturan maskapai penerbangan terhadap penumpang penyandang disabilitas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Apakah kedudukan hukum penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit sama dalam pengangkutan udara di Indonesia?

3. Bagaimanakah prosedur pelayanan maskapai penerbangan mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas di Indonesia?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kesesuaian klausula baku peraturan maskapai penerbangan terhadap penumpang penyandang disabilitas


(25)

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Untuk mengetahui apakah kedudukan hukum penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit sama dalam pengangkutan udara di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pelayanan maskapai penerbangan mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas di Indonesia.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum bisnis, khususnya hukum pengangkutan udara, tentang kewajiban maskapai penerbangan mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas di Indonesia.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan pengangkutan udara diantaranya:

a. Maskapai penerbangan selaku penyedia jasa pengangkutan udara

b. Pemerintah selaku regulator


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM HUKUM PENGANGKUTAN UDARA

Menurut Abdulkadir Muhammad yang dimaksud pengangkutan adalah kegiatan pemuatan ke dalam alat pengangkut, pemindahan ke tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan/pembongkaran dari alat pengangkut baik mengenai penumpang ataupun barang.1 Menurut Purwosutjipto adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.2

Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa pengangkutan adalah proses pemindahan barang dan/atau jasa dari tempat asal ke tempat tujuan. Unsurnya antara lain: 1.) adanya sesuatu untuk diangkut, 2.) adanya alat pengangkutan, 3.) adanya sarana dan prasarana yang mendukung pengangkutan, dan 4.) adanya kewajiban membayar biaya pengangkutan

1

Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 13

2

Purwosutjipto, H.M.N, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, Jakarta: Djambatan, hlm. 3


(27)

Pengangkutan dilakukan karena nilai barang/jasa tersebut lebih tinggi di tempat tujuan. Nilai itu lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, yakni nilai tempat (place value) dan nilai waktu (time value). Menurut Muchtaruddin Siregar Kedua nilai tersebut diperoleh jika barang/jasa tersebut dapat dimanfaatkan tepat pada waktunya. Artinya pengangkutan memberikan jasa kepada masyarakat yang disebut jasa angkut.3

1. Aspek-aspek Pengangkutan

Konsep pengangkutan niaga memiliki tiga aspek yaitu pengangkutan sebagai usaha, pengangkutan sebagai perjanjian, dan pengangkutan sebagai proses penerapan. Berikut penjelasan dari konsep tersebut:4

a. Pengangkutan sebagai usaha (business)

Pengangkutan sebagai usaha adalah kegiatan usaha di bidang pengangkutan yang menggunakan alat pengangkut mekanik misalnya gerbong untuk mengangkut barang oleh kereta, atau kapal untuk mengangkut barang melalui laut. Karena menjalankan perusahaan, usaha jasa pengangkutan bertujuan memperoleh keuntungan.

Setiap perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan yang dijalankannya. Perusahaan bidang jasa

3

Muchtaruddin Siregar, 1981, Beberapa Masalah Ekonomi dan Manajemen Pengangkutan. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, hlm. 6

4


(28)

pengangkutan lazim disebut perusahaan pengangkutan. Perusahaan meliputi kegiatan usaha bidang jasa:5

1) Pengangkutan dengan kereta api (railways)

2) Pengangkutan dengan kendaraan bermotor (highways) 3) Pengangkutan dengan pesawat udara (airways)

b. Pengangkutan sebagai Perjanjian (agreement)

Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan diantara para pihak. Kesepakatan itu pada dasarnya berisi hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang. Imbalan dari jasa tersebut adalah pengangkut mendapat sejumlah uang jasa yang disebut biaya pengangkutan. Kewajiban dari penumpang adalah melakukan pembayaran atas jasa pengangkutan. Atas pembayaran tersebut penumpang berhak mendapatkan jasa pengangkutan.6

Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi selalu dibuktikan oleh dokumen pengangkutan. Namun, apabila pihak-pihak menghendaki boleh juga perjanjian tersebut dibuat secara tertulis.

5

Ibid, hlm. 13

6


(29)

Beberapa alasan pihak-pihak menginginkan agar perjanjian pengangkutan dibuat secara tertulis karena beberapa alasan, yaitu:7

1) Kedua pihak ingin memperoleh kepastian mengenai kewajiban dan hak.

2) Kejelasan rincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko pihak-pihak.

3) Kepastian dan kejelasan cara penyerahan dan pembayaran barang.

4) Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian.

c. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process) Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process) adalah terdiri atas serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan kedalam alat pengangkut, kemudian dibawa oleh pengangkut menuju ketempat tujuan yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem yang mempunyai unsur-unsur sistem yaitu:8

7

Abdulkadir Muhammad, 2013, Op.Cit., hlm. 3

8


(30)

1) Subjek (pelaku) pengangkutan, Status pelaku pengangkutan, khususnya pengangkut selalu berstatus badan hukum.

2) Objek pengangkutan, yaitu alat pengangkut, muatan dan biaya pengangkutan serta dokumen pengangkutan

3) Peristiwa pengangkutan yaitu proses terjadinya pengangkutan dan penyelenggaraan pengangkutan serta berakhir di tempat tujuan.

4) Pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas barang yang diangkut 5) Penumpang adalah pengguna jasa yang membayar biaya

angkutan dan memegang dokumen angkutan 2. Asas-asas

Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksananya. Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.9 Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut:

“…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri

yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.”10

9

Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha,Konsumen,dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 25

10


(31)

Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum, yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata. Asas yang bersifat publik antara lain:11

a. Asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat memberikan peningkatan kesejahteraan rakyat

b. Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada masyarakat

c. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan

Asas yang bersifat perdata antara lain:12

a. Asas konsensual yaitu, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak.

b. Asas Koordinatif yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain.

c. Asas pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen

11

Vinna Vanindia, 2012, Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Angkutan Udara ( Studi Kasus pada PT. Garuda Indonesia ), Skripsi, Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, hlm. 21

12


(32)

pengangkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum.

3. Perjanjian Pengangkutan Udara

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, sahnya suatu perjanjian ada 4 syarat yaitu antara lain: 1.) Sepakat untuk mengikatkan diri, 2.) Kecakapan subyek hukum untuk membuat perikatan, 3.) Ada suatu hal tertentu, dan 4.) Ada suatu sebab yang halal

Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara pengangkut udara dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang atau barang dengan pesawat, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain.13 Apabila pengangkut menyelenggarakan pengangkutan penumpang atau barang, pengangkut telah terkait pada konsekuensi-konsekuensi yang harus dipikul oleh pengangkut berupa tanggung jawab terhadap penumpang dan muatan yang diangkutnya.14

Menurut Lestari Ningrum, perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara pengangkut udara dan pihak penumpang atau

13

Sri Ambarwati, 2008, Realisasi Tanggung Jawab Perdata Pengangkut Udara Terhadap Penumpang Penerbangan Domestik Pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Skripsi, Universitas Sebelas Maret, hlm. 22

14


(33)

pihak pengirim udara, dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dalam arti luas suatu perjanjian angkutan udara dapat merupakan sebagian dari suatu perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara. 15

Dokumen angkutan seperti tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara bukan merupakan suatu perjanjian angkutan udara, tetapi hanya merupakan suatu bukti adanya perjanjian angkutan udara, karena menurut ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (2) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, Stb No.100, tanpa diberikannya dokumen angkutan pun tetap ada suatu perjanjian pengangkutan.

Ketentuan bahwa dokumen angkutan hanya merupakan bukti adanya suatu perjanjian pengangkutan, lebih dipertegas dalam Pasal III Protokol Hague tahun 1955 yang merubah Pasal 3 ayat (2) di dalam Konvensi Warsawa tentang tiket penumpang, juga ada dalam Pasal IV dan VI Protokol Hague tentang tiket bagasi dan surat muatan udara.16

4. Tinjauan Umum Maskapai Penerbangan

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara,

15

Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis,Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 168

16

Joko Sulistyo Mungiwidodo, Aspek Yuridis Terhadap Tanggungjawab Pengangkutan Udara, (Surakarta : FH Slamet Riyadi, 1993), hlm. 31.


(34)

navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara, yang dibedakan menjadi Angkutan Udara Niaga dan Angkutan Udara Bukan Niaga. 17

Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.18

Angkutan Udara Niaga sendiri dibedakan menjadi Angkutan Niaga Dalam Negeri, Angkutan Niaga Luar Negeri, dan Angkutan Niaga Perintis.

Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara

17

Abidin A Kurnia Ecla Julianto, 2016, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan terhadap Penumpang dan Bagasi Kabin dalam Kecelakaan Pengangkutan Udara di Indonesia, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hlm. 26.

18


(35)

lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya. 19

Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.

Menurut definisi tersebut, maskapai penerbangan merupakan perusahaan. Perusahaan menurut Molengraaf adalah adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak ke luar untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.20 Pengertian lain dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bahwa perusahaan adalah bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba yang diselenggarakan oleh orang perseorangan maupun badan usaha

19

Ibid, Pasal 1 (16-17)

20

Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 15


(36)

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.21

Maka dapat disimpulkan bahwa maskapai penerbangan adalah bentuk usaha yang melakukan kegiatan angkutan udara secara tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba yang diselenggarakan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum.

B. TINJAUAN UMUM PENYELENGGARAAN PERJANJIAN

PENGANGKUTAN UDARA

Pengangkutan udara diselenggarakan oleh maskapai penerbangan yang mengangkut penumpang dan barang. Tujuan adanya pengangkutan udara adalah memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional.22

Alat angkut dalam pengangkutan udara adalah pesawat udara, istilah pesawat udara ada dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Penerbangan yang disebut setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.

21

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Pasal 1 Butir 2

22


(37)

Selain itu istilah pesawat udara disebut pula dalam Annex 6 dan 7.3 Konvensi Chicago yang dirubah pada tanggal 18 November 1967:

“... any machine that can derive support from the atmosphere from the reaction of the air other that reaction of the air against earth’s surface...”

Penambahan kata other than the air against earth’s surface dimaksudkan untuk mengecualikan hovercraft dalam definisi pesawat udara.23 Jadi, penambahan kata tersebut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi penerbangan khususnya penemuan air cushion craft (hovercraft).

1. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Pengangkutan Udara

a. Penumpang

Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut atau semua orang pengguna jasa angkutan, baik angkutan darat, udara, laut,dan kereta api. Ada beberapa ciri penumpang:24

1) orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan 2) membayar biaya angkutan; dan

3) pemegang dokumen angkutan.

b. Pengangkut Udara

23

I. H. Ph. Diedrics Verschoor, 1993, Introduction to Air Law, Deventer: Kluwer, hlm. 5

24

Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga,( Bandung:Citra Adityabhakti), hlm. 51


(38)

Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.25

E. Suherman mendefinisikan pengangkut udara yaitu setiap pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pihak penumpang atau pengirim, yang biasa disebut maskapai penerbangan, dengan bukti dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang atau pengirim barang.26

c. Pengirim

Dalam KUHD tidak diatur secara umum definisi mengenai pengirim. Tetapi dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas barang yang diangkut. Dalam bahasa Inggris, pengirim disebut consigner.27

2. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Pengangkutan Udara

Dalam perjanjian pengangkutan terdapat hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan dengan baik. Hak dan kewajiban timbul

25

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 1 (26)

26

E. Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, (Bandung: Penerbit Alumni) hlm.79

27


(39)

karena adanya hubungan hukum diantara para pihak. Berikut dipaparkan hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang pada transportasi udara.

a. Hak dan Kewajiban Pengangkut

Secara umum kewajiban pengangkut adalah mengutamakan pengangkutan penumpang dan/atau barang yang telah dilunasi kewajiban membayar biaya pengangkutannya sesuai dengan perjanjian yang disepakati28 dan menjaganya dengan sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan.29 Akan tetapi di dalam OPU 1939 ditegaskan kewajiban pengangkut pada transportasi udara, yaitu sebagai berikut:30

1) Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah barang-barang diterimanya.

2) Bila barang sudah tiba di pelabuhan udara tujuan, pengangkut berkewajiban untuk memberitahu kepada penerima barang, kecuali bila ada Perjanjian sebaliknya. 3) Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk

menerima barang atau untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak.

28

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 140

29

Vinna Vanindia, Op. Cit., hlm. 11

30

Toto Tohir Suriaatmadja, 2006, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, Bandung: Mandar Maju, hlm. 24


(40)

Adapun hak pengangkut antara lain:

1) Menerima pembayaran biaya pengangkutannya sesuai dengan perjanjian yang disepakati31

2) Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan diangkut32

3) Apabila penerima tidak mengambil kargo melebihi batas waktu, pengangkut berhak menjual kargo dan menggunakan hasilnya untuk pembayaran biaya yang timbul akibat kargo yang tidak diambil oleh penerima dan melebihi batas waktu33

b. Hak dan Kewajiban Pengirim Kewajiban Pengirim antara lain:

1) Membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang34

2) Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara.

3) Pengirim kargo bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen lainnya yang dipersyaratkan oleh instansi terkait dan menyerahkan kepada pengangkut.

31

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 140

32

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pasal 478

33

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 164

34


(41)

4) Bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengangkut atau pihak lain sebagai akibat dari ketidakbenaran surat muatan udara yang dibuat oleh pengirim35

Hak pengirim antara lain:36

1) Menerima biaya yang timbul akibat penerima kargo terlambat atau lalai mengambil kargo

2) Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-syarat khusus untuk angkutan kargo yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan besar ganti kerugian

c. Hak dan Kewajiban Penumpang

Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan selamat dengan pesawat udara yang telah ditunjuk serta memperoleh pelayanan yang layak sesuai perjanjian angkutan udara yang bersangkutan.37 Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:38

1) Membayar biaya jasa pengangkutan

35

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 161

36

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 162

37

Ahmad Zalili, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang dalam Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro, hlm. 56

38


(42)

2) Tidak melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan

3) Menunjukkan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta

4) Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya

5) Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.39

Apabila penumpang tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka sebagai konsekuensinya pengangkut udara berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan udara itu.40

C. TINJAUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PRINSIP

TANGGUNG JAWAB DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Konsep Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan

39

Vinna Vanindia. Op. Cit. hlm. 14

40


(43)

kepada konsumen.41 Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai macam variasi barang atau jasa. Kondisi seperti ini menguntungkan konsumen sebab banyak tawaran atas barang dan/atau jasa yang diinginkan.42 Disisi lain, kedudukan konsumen menjadi lemah karena konsumen hanya menjadi objek untuk meraup keuntungan dari barang dan/atau jasa yang dihasilkan dengan teknologi tinggi.43

Setiap perusahaan memiliki corporate social responsibility, yaitu tanggung jawab kepedulian terhadap kepentingan masyarakat, terlepas dari kalkulasi untung rugi perusahaan. Salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan ini adalah perlindungan terhadap konsumennya.44 Cakupan perlindungan konsumen meliputi: a.)

perlindungan dari kemungkinan penyerahan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak dan b.) perlindungan terhadap diberlakukannya syarat yang tidak adil pada konsumen. 45

Konsumen menurut Pasal 1 (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

41

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

42

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hlm. 1

43

Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak., Jakarta: Universitas Indonesia, hlm. 2-4

44

Bismar Nasution, 2002, Hukum Pasar Modal, Good Corporate Governance, Perlindungan Lingkungan Hidup, dan Insider Trading, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, hlm. 19

45


(44)

untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lainnya, dan tidak untuk diperdagangkan.

2. Konsep Tanggung Jawab dalam Perlindungan Konsumen

Kewajiban utama pengangkut sebagai produsen jasa adalah menyelenggarakan pengangkutan dari tempat asal ke tempat tujuan dengan selamat kepada konsumen. Sebaliknya pengangkut berhak atas ongkos angkutan yang ia selenggarakan.46

Apabila pengangkut menyelenggarakan pengangkutan penumpang atau barang, maka pengangkut telah terikat pada risiko yang harus dipikul oleh pengangkut atas barang atau penumpang yang diangkutnya. Dari kewajiban itulah timbul tanggung jawab pengangkut.47 Tanggung jawab adalah perbuatan hukum yang dilakukan akibat tidak dipenuhinya kewajiban.

Ada tiga macam konsep dasar tanggung jawab hukum dalam perlindungan konsumen, yakni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence), prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty), dan prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability).

a. Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian/Kesalahan (Negligence) Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat dalam pasal 1365 KUH Perdata yakni,

46

Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm. 376

47


(45)

“Setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena perbuatannya itu menimbulkan kerugian, untuk mengganti kerugian.”

Tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen.48 Sifat subjektif ini dapat ditemukan dalam rumusan teori negligence, yaitu the failure to exercise the standard of care that reasonably prudent person would have exercised in a similar situation.49 Sifat subjektif muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati (prudent person) mencegah timbulnya kerugian pada konsumen.

Berdasarkan teori ini, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan atau kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan pula dengan bukti-bukti lain, yaitu:

1. Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen

48

Inosentius Samsul, Op.Cit., hlm. 46

49

Bryan A. Garner, 2004 Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minnesota: West Publishing, hlm. 1061 dalam Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, hlm. 46


(46)

2. Produsen tidak melaksanakan kewajibannya untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standard yang aman dikonsumsi atau digunakan

3. Konsumen menderita kerugian

4. Kelalalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen.

Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan hukum tanggung jawab produk, terdapat empat karakteristik gugatan konsumen dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu: Pertama, gugatan atas dasar kelalaian produsen dengan persyaratan hubungan kontrak. Kedua, gugatan atas dasar kelalaian produsen dengan beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Ketiga, gugatan konsumen tanpa persyaratan hubungan kontrak. Empat, gugatan dengan pengecualian atau modifikasi terhadap persyaratan kelalaian.50

1) Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian/Kesalahan dengan Persyaratan Hubungan Kontrak

Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract), merupakan teori yang merugikan konsumen, karena

50


(47)

gugatan konsumen hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi dua syarat, yakni adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.

2) Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian/Kesalahan dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak

Menurut Inosentius Samsul, perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak.51

Ada tiga hal yang menjadi alasan dari model-model pengecualian terhadap prinsip hubungan kontrak.

Pertama, pengecualian berdasarkan alasan karakter produk yang memang membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen (imminently and inherently dangerous product). Kedua, pengecualian berdasarkan konsep implied invitation, yaitu tawaran produk kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum.

Ketiga, dalam hal suatu produk dapat membahayakan

51


(48)

konsumen, kelalaian produsen atau penjual untuk memberitahukan kondisi produk tersebut pada saat penyerahan barang dapat melahirkan tanggung jawab kepada pihak ketiga, walaupun tidak ada hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang menderita kerugian.52

3) Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian/Kesalahan Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak

Setelah prinsip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah system tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian, namun sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.

4) Prinsip Praduga Lalai dan Prinsip Praduga Bertanggung Jawab dengan Beban Pembuktian Terbalik

Tahap keempat dalam perkembangan substansi hukum prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini berarti, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab

52


(49)

masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini merupakan proses menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.

b. Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi (Breach of Warranty) Di samping mengajukan gugatan berdasarkan kelalaian produsen, ajaran hukum memperkenalkan pula konsumen mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi (breach of warranty). Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak (contractual liability). Dengan demikian, ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya pertama-tama melihat isi dari kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan.53

Keuntungan bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak (strict obligation), yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berarti apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya, tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian.54

Prinsip penting dalam hukum kontrak adalah para pihak berada pada posisi tawar yang seimbang. Dengan demikian, apabila

53

Ibid., hlm. 71

54


(50)

salah satu pihak tidak puas dengan isi perjanjian, maka pihak tersebut memiliki kekuatan untuk merundingkan kembali isi perjanjian. Namun, cukup banyak ahli yang melihat bahwa prinsip posisi tawar yang seimbang antara produsen dan konsumen tidak ditemukan dalam praktek. Bahkan, produsen dengan posisinya cenderung menerapkan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability) sebagai klausula eksenorasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.55

c. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Product Liability)

Pembentukan prinsip tanggung jawab mutlak merupakan hasil akhir dari perkembangan hukum yang terjadi secara bertahap. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Selanjutnya asas tersebut dikenal dengan product liability, menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.56

Penerapan strict liability didasarkan pada alasan bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari risiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat. Maka

55

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, hlm. 64-65

56


(51)

penerapan strict liability terhadap produsen tentu saja memberikan perlindungan kepada konsumen, karena tidak dibebani untuk membuktikan kesalahan produsen akibat penggunaan suatu produk.57

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengakomodasi dua prinsip penting, yakni tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab professional (professional liability). Tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab produsen untuk produk yang dipasarkan kepada konsumenm yang menimbulkan dan menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Sedangkan tanggung jawab professional berhubungan dengan jasa, yakni tanggung jawab produsen terkait dengan jasa professional yang diberikan kepada klien.58

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat tiga pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23, dan Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

57

Ibid., hlm. 80

58


(52)

Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.


(53)

Ketentuan Pasal 19 meliputi tanggung jawab pelaku usaha terhadap ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen. Maka produk cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggung jawaban bagi pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.

D. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 59 Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user atau pengguna akhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.60

Presiden Jhon F. Kennedy dalam pidatonya di depan Kongres Amerika Serikat tahun 1962 mengemukakan empat hak konsumen yang harus dilindungi, yaitu:61

a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)

59

Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

60

Abdul Halim Barkatullah, 2010, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, hlm. 30

61

Vernon A. Musselman dan Jhon H. Jackson, 1992, Introduction to Modern Business, Jakarta:Erlangga, hlm. 294-195 dalam Zulham, Op.Cit., hlm. 45-46


(54)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen.

b. Hak memilih (the right to choose)

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa.

c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)

Setiap keterangan mengenai suatu barang dan/atau jasa yang akan dibeli konsumen, haruslah diberi informasi selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya tidak menyesatkan konsumen.

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijkasanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam


(55)

pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan produsen.

PBB melalui Resolusi Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) merumuskan enam kepentingan konsumen62, meliputi:

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi social konsumen

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.

d. Pendidikan konsumen

e. Tersedianya ganti rugi yang efektif

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

62


(56)

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer Union- IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen, yaitu:

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup b. Hak untuk memperoleh ganti rugi

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat Sembilan hak konsumen yakni:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;


(57)

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu


(58)

produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah semestinya demikian. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaiana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni;

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.


(59)

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjuk bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.63

Selain memiliki hak-hak yang harus di penuhi, pelaku usaha juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dalam memproduksi barang dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa. Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta

63


(60)

memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap suatu konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.64

64

Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 141


(61)

E. TINJAUAN KLAUSULA BAKU

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan.65 Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.66

Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir. Adapun klausula eksenorasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.67

Perjanjian baku dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak atau perjanjian yang bertanggung jawab, didalam perjanjian baku kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Perjanjian baku memuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul oleh debitur, oleh karena

65

Zulham,Op.cit. hlm. 66

66

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

67


(62)

itu, perjanjian baku (perjanjian standard) harus ditertibkan dan jangan dibiarkan.68

Karakteristik klausula baku sebagai berikut:69

a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen.

b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal.

d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya yang sulit untuk dimengerti. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum (null and void). Artinya sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.70

68

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2012, Hukum Dagang di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 228

69

Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 93

70


(63)

F. PENYANDANG DISABILITAS

Dalam Konvensi International Hak-Hak Penyandang Cacat dan Protokol Opsional Terhadap Konvensi (Resolusi PBB 61/106 13 Desember 2006) penyandang cacat berarti setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mental-nya. Secara yuridis pengertian penyandang cacat diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sebagai berikut: “Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental”. Pengertian ini sama dengan pengertian penyandang cacat/disabilitas yang dimuat dalam PP Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.

Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelemahan/kekurangan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan kehidupan dan penghidupan secara wajar.


(64)

Menurut Convention on the Rights of Persons with Disabilities

(Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dengan UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Konvensi ini tidak memberikan batasan tentang penyandang cacat.

Dalam konvensi ini penyandang cacat disebut sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, penyandang cacat/disabilitas diakui sebagai bagian integral bangsa Indonesia, yang tidak terpisahkan dari anggota masyarakat lainnya. Penyandang cacat/disabilitas mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama sebagai warga negara Indonesia. Penyandang cacat/disabilitas merupakan aset negara bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagaimana manusia lainnya. Potensi yang dimiliki penyandang cacat/disabilitas dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa sejak lahir. Namun karena kecacatan yang disandangnya penyandang cacat/ disabilitas mengalami hambatan fisik, mental dan sosial, untuk mengembangkan dirinya secara maksimal.


(65)

1. Klasifikasi Penyandang Cacat/Disabilitas

Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengatur bahwa penyandang cacat adalah orang yang berkelainan fisik dan/ atau mental. Secara khusus pasal ini menegaskan bahwa kelainan tersebut dapat diklasifikasi menjadi 3 golongan yaitu: cacat fisik, cacat mental serta cacat fisik dan mental. Menurut Pasal 1 angka 2 UU Nomor 4 Tahun 1997 dan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang dimaksud dengan derajat kecacatan adalah berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang. Pada Pasal 2 PP Nomor 43 Tahun 1998 diatur bahwa penentuan jenis dan tingkat kecacatan yang disandang oleh seseorang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Lebih lanjut Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 104/MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik, dinyatakan bahwa penyandang cacat dapat dibedakan dalam jenis dan derajat kecacatan yang meliputi cacat fisik, cacat mental dan cacat fisik dan mental. Cacat fisik meliputi cacat bahasa, penglihatan, pendengaran, skeletal, rupa, visceral dan generalisata. Cacat mental meliputi cacat intelektual dan psikologi lainnya. Cacat fisik dan mental mencakup kecacatan baik yang dimaksud dalam kriteria cacat fisik dan cacat mental.


(1)

menderita sakit karena sakit yang dideritanya, maskapai berhak menolak untuk bertanggung jawab. Apabila penumpang sudah membeli tiket, maka maskapai wajib untuk memenuhi segala keperluan dan menyediakan fasilitas bagi penumpang seperti: pemberian prioritas pelayanan di terminal; menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal; sarana bantu bagi orang sakit; menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery); tersedianya personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

2. Kedudukan hukum antara penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit berbeda. Maskapai penerbangan bisa membedakan antara pelayanan kepada penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit. Diantaranya bagi penumpang disabilitas kursi roda, penumpang tunanetra, penumpang tuanrungu, penumpang keterbelakangan mental, penumpang yang bepergian dengan alat penopang postur tubuh, penumpang yang sakit didalam pesawat, dan penumpang yang meninggal saat berada di pesawat.

3. Maskapai penerbangan berkewajiban melayani penumpang penyandang disabilitas dengan pelayanan khusus. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri


(2)

Perhubungan KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan mengatur mengenai apa saja yang wajib disediakan bagi penyandang disabilitas. Bandar udara Adisucipto Yogyakarta sudah menyediakan fasilitas khusus penyandang disabilitas seperti toilet, ramp, dan belalai gajah, namun fasilitas tersebut masih kurang bisa diakses secara maksimal. Bandar Udara Soekarno-Hatta sudah menyediakan berbagai fasilitas khusus seperti lift, toilet, dan drop zone yang sudah bisa diakses secara maksimal.

B. SARAN

1. Maskapai penerbangan dalam pelaksanaannya sebaiknya memiliki kriteria khusus dalam pembagian penumpang sakit dan penyandang disabilitas. Menyamakan antara penumpang sakit dan penumpang penyandang disabilitas dapat menimbulkan diskriminatif yang dirasa oleh penyandang disabilitas. Petugas lapangan hendaknya diberi arahan atau pelatihan khusus terkait pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit.

2. Maskapai penerbangan hendaknya memberi pelayanan sesuai standard kepada penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit, dikarenakan kedudukan antara penumpang penyandang disabilitas dan penumpang sakit berbeda. Standar operasional prosedur pelayanan penumpang yang memerlukan pelayanan khusus sebaiknya diterapkan


(3)

di seluruh wilayah maskapai penerbangan beroperasi karena selama ini hanya di bandara-bandara tertentu yang beroperasi sesuai standard operasional prosedur.

3. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Perhubungan harus mengawasi pembangunan bandar udara khususnya pada sarana dan prasarana bagi penumpang penyandang disabilitas sehingga penumpang penyandang disabilitas mempunyai aksesibilitas pada setiap sarana dan prasarana di seluruh bandar udara di Indonesia.


(4)

1 DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Publikasi

Abdul Halim Barkatullah, 2010, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung:Citra

Adityabhakti

Abidin A Kurnia Ecla Julianto, 2016, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan terhadap Penumpang dan Bagasi Kabin dalam Kecelakaan Pengangkutan Udara di Indonesia, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Ahmad Zalili, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang dalam Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro.

Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Airlangga, Surabaya AZ., Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Diadit Media Bismar Nasution, 2002, Hukum Pasar Modal, Good Corporate Governance,

Perlindungan Lingkungan Hidup, dan Insider Trading, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minnesota: West Publishing.

E. Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Bandung: Penerbit Alumni

H. K. Martono dan Amad Sudiro, 2013, Hukum Udara Perdata Nasional dan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

I. H. Ph. Diedrics Verschoor, 1993, Introduction to Air Law, Deventer: Kluwer. Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan

Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta: Universitas Indonesia.

Joko Sulistyo Mungiwidodo, 1993, Aspek Yuridis Terhadap Tanggungjawab Pengangkutan Udara, Surakarta : FH Slamet Riyadi.

Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis,Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mariam Darus Badrulzaman, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen DIlihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standard) dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masyarakat Perlindungan Konsumen, Jakarta:Binacipta


(5)

2 Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni. Muchtaruddin Siregar, 1981, Beberapa Masalah Ekonomi dan Manajemen

Pengangkutan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2012, Hukum Dagang di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia

Purwosutjipto, H.M.N, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, Jakarta: Djambatan.

Regional Director Guest Service, 2015, Guest Service Manual, Kuala Lumpur: Air Asia

Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo Soemitro, dkk, 2007, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

Indonesia

Sri Ambarwati, 2008, Realisasi Tanggung Jawab Perdata Pengangkut Udara Terhadap Penumpang Penerbangan Domestik Pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Skripsi, Universitas Sebelas Maret.

Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum:Suatu Pengantar, Jakarta: Liberty.

Sunanti Z. Soejoeti, 2005, Konsep Sehat, Sakit, dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya, Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

Toto Tohir Suriaatmadja, 2006, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, Bandung: Mandar Maju.

Vinna Vanindia, 2012, Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Angkutan Udara ( Studi Kasus pada PT. Garuda Indonesia ), Skripsi, Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.

Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.


(6)

3 Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan

Website

www.hukumonline.com/berita/baca/lt51408b344675d/penyandang-disabilitas-somasi-garuda. Diakses pada 17 Februari 2016 pukul 07.10

www.detik.com/news/berita/3134533/jalan-berliku-penumpang-difabel-melawan-lion-air-dkk-dan-menang. Diakses pada 17 Februari 2016 pukul 07.05

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html diakses pada 26 April 2016 pukul 06.33 WIB

Statistik Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. http://hubud.dephub.go.id/?id/aoc/index/sort:aoc. Diunduh pada 5 Januari 2016 pukul 05.35 WIB

http://www.cathaypacific.com/cx/id_ID/travel-information/special-assistance/disability-assistance/passengers-needing-escorts.html diakses pada 1 Desember 2016 pukul 09.15

http://www.cathaypacific.com/cx/id_ID/travel-information/special-assistance/disability-assistance/postural-support-equipment.html diakses pada 1 Desember 2016 pukul 10.11 WIB


Dokumen yang terkait

Evaluasi Pelaksanaan Program Bimbingan Keterampilan Bagi Penyandang Disabilitas Tubuh Di Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) “Bahagia” Sumatera Utara Unit Pelaksana Teknis(UPT).Kementerian Sosial RI

9 97 108

Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

3 100 84

Dampak Permberlakuan Tarif Fiskal Luar Negeri Terhadap Jumlah Penumpang Pada Maskapai Penerbangan

0 34 63

Pengaruh Program Bimbingan Keterampilan Terhadap Kemandirian Penyandang Disabilitas Tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara

5 72 112

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DAN HARGA TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN MASKAPAI PENERBANGAN GARUDA Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Harga Terhadap Kepuasan Pelanggan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia Di Kota Solo.

0 1 13

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DAN HARGA TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN MASKAPAI PENERBANGAN GARUDA Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Harga Terhadap Kepuasan Pelanggan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia Di Kota Solo.

0 5 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PENUMPANG MASKAPAI PENERBANGAN GARUDA INDONESIA AIRLINES DI PROVINSI SUMATERA UTARA.

3 38 30

TANGGUNG JAWAB HUKUM MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIDERITA OLEH PENUMPANG PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA DI INDONESIA.

0 2 9

Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan maskapai penerbangan: studi kasus pada penumpang maskapai penerbangan di 3 biro perjalanan Yogyakarta.

0 2 129

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA TERHADAP TINDAKAN PENOLAKAN PENUMPANG PENYANDANG DISABILITAS BERDASARKAN UURI NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN.

0 0 1