POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I KUTOARJO)

POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI
INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
KELAS I KUTOARJO)
SKRIPSI

DISUSUN OLEH :
TOPAZ SUAKA CHERI RAYUNI
20100610161
Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI
INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
KELAS I KUTOARJO)
SKRIPSI


DISUSUN OLEH:
TOPAZ SUAKA CHERI RAYUNI
20100610161
Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

i

HALAMAsN MOTTO

“Beleajarlah setiap hari dari apapun dan siapapun” (Penulis)
“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada
pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu”
(Amsal 3 : 5-6)
“Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran (yang kau jalani) yang
membuatmu terpana hingga kau lupa pedihnya rasa sakit” (Imam Ali bin Abi Thalib A.S)


ii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada:
1. Ayah dan Ibu terhebat yang saya banggakan Marsidi Heri Purwanto dan Pujihari Rayuni.
2. Kedua kakak ku tercinta Feni Dhian Cheri Rayuni dan Fena Dhian Cheri Rayuni.

iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Topaz Suaka Cheri Rayuni
NIM

: 20100610161

Judul Skripsi : POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI INDONESIA (STUDI DI

LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I KUTOARJO)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan hukum skripsi ini berdasarkan hasil,
wawancara, pemikiran, pemamaparan asli dari penulis sendiri. Jika terdapat karya dari orang
lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketikbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan gelar sarjana S1 yang telah diperoleh karena karya tulis ini dan
sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun.

Yogyakarta, 9 Januari 2017
Yang menyatakan

Topaz Suaka Cheri Rayuni

iv

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan karuniaNya skripsi dengan judul POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU
TINDAK


PIDANA

DALAM

LEMBAGA

PEMBINAAN

KHUSUS

ANAK

DI

INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I
KUTOARJO). Penulisan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
Penyusunan karya tulis ini diperoleh berkat bantuan dan motivasi dari beberapa pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang membantu

dalam penyusunan karya tulis ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Trisno Raharjo, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta yang sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah
memberikan bimbingan, saran dan pengarahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Hj. Yeni Widowaty SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan dorongan semangat, bimbingan, saran dan pengarahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Kepada kedua Orang Tua ku yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Kepada Bapak Bambang sebagai Kasubsi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan
selaku petugas LPKA Kelas I Kutoarjo yang telah bersedia diwawancara oleh penulis.
5. Kepada Bapak Maman yang telah membantu dalam proses pengurusan skripsi.

v

6. Kepada Bapak Dirman selaku pegawai Tata Usaha yang selalu membantu untuk
pengurusan yang terkait.
7. Kepada ke dua kakak ku Feni dan Fena yang selalu mengingatkan dan selelu memberikan
semangat kepada penulis.

8. Kepada teman-teman Edho, Chandra, Nurman, Irza, Yusra, mas Dwi, mbak Endri,
Ridwan, Erling, Hermin, Selly, Bastian, Kayadun, Firman, Devi, Dwi, Tika, Rizal,
Widho, Vendy, Ellya, Andi, Angga, mak Ijah, Bapak Rahman yang selalu memberikan
dorongan semangat dan selalu sudi membantu dalam kesulitan apapun yang dialami oleh
penulis.
Besar harapan Penulis semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
masukan bagi instansi yang terkait dalam menerapkan Pola Pembinaan yang Ideal didalam
LPKA bagi Anak Berhadapan dengan Hukum.

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………….

i

HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………..

ii


HALAMAN PENGESAHAN .……………………………………..

iii

HALAMAN MOTTO ………………………………………………

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………

v

HALAMAN KEASLIAN ………………………………………….

vi

KATA PENGANTAR …………………………………………….. .

v


DAFTAR ISI ………………………………………………………..

ix

DAFTAR TABEL ………………………………………………….

xi

ABSTRAK ...……………………………………………………….

xii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................

1

A. Latar Belakang ……..…………………….…….…….....

1


B. Rumusan Masalah …………...…………….……………

5

C. Tujuan Penelitian …………...…………………………..

6

D. Tinjauan Pustaka …………………………….……….…

6

E. Metode Penelitian ……………………………..…….….

10

F. Sistematika Penulisan Skripsi …………………………..

12


BAB II ANAK PELAKU TINDAK PIDANA………………….. .

14

A. Pengertian dan Batasan Anak……………………………

14

B. Tindak Pidana Anak …………………………………….

22

C. Upaya Preventif Penanggulangan Tindak Pidana Anak…

29

vii

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA 41

A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan …..………...…….

41

B. Tujuan dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan…………..

42

C. Pelaksaan Pemasyarakatan ……………………………...

47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………......

52

A. Perbandingan Hukum Pola Pembinaan Terhadap Anak
Berhadapan dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus

52

B. Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan
dengan Hukum ….…………………………………………...

73

BAB V PENUTUP……………………………………………………...

101

A. Kesimpulan …………………………………………………

101

B. Saran ………………………………………………………… 102
DAFTAR PUSTAKA

viii

DAFTAR TABEL

Tabel I:

Program Pembinaan Anak Jangka Panjang di Jepang ………………..

Tabel II:

Data Warga Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I
Kutoarjo Per Tanggal 31 Oktober 2016 ……………………………….

Tabel III:

77

Jadwal Kegiatan Harian Anak Didik Pemasyarakatan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo ………………………….

Tabel VI:

76

Data Warga Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I
Kutoarjo menurut jenis kelamin Per Tanggal 31 Oktober 2016 ……...

Tabel V:

75

Data Warga Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I
Kutoarjo menurut jenis kelamin Per Tanggal 31 Oktober 2016 ………

Tabel IV:

69

94

Pola Pembinaan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Indonesia
(Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo),
Malaysia dan Jepang ………………………………………………..

ix

96

ABSTRAK
Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, akan tetapi anak-anak juga
bisa melakukan hal tersebut. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sekarang ini seperti
pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, penyalahgunaan obat terlarang, dan sebagainya. Untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya anak menjalani masa hukuman sesuai dengan putusan
hakim di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Anak Didik
Pemasyarakatan mendapatkan pembinaan agar ketika kembali ke masyarakat lebih baik dan
tidak mengulangi perbuatannya kembali. Skripsi ini bertujuan untuk seberapa idealnya pola
pembinaan yang diterapkan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam memberikan
pembinaan bagi Anak Didik Pemasyarakatan.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Perbandingan Pola Pembinaan
Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus, (2) Pola Pembinaan
yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk
mengetahui pebandingan hukum pola pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di
lembaga pembinaan khusus. (2) Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan
Hukum. Wawan cara yang dilalukukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo.
Berdasarkan penulisan dapat diketahui bahwa pembinaan yang dilakukan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo sudah cukup efektif, dengan mengacu pada Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dinilai sudah cukup
ideal jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dan Jepang. Pembinaan yang dilakukan di
Indonesia mementingkan kebutuhan si anak. Pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum
yang diterapkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo selama ini adalah
Pembinaan, Pembimbingan Kepribadian dan Kemandirian yang meliputi: 1) Pembinaan
Pendidikan, 2) Pembinaan Keagamaan, 3) Pembekalan Keterampilan, 4) Pembinaa Kesadaran
Hukum, 5) Pembinaan Jasmani, 6) Pembinaan Sikap dan perilaku 7) Pembinaan Sosial. Agar
pembinaan lebih ideal lagi, maka tidak ada salahnya jika pola pembinaan yang dilakukan di
Indonesia mengadopsi beberapa pola pembinaan yang di terapkan di Malaysia dan Jepang,
seperti: 1) Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam pola pembinaan anak, 2)
Memberikan pembinaan keterampilan yang lebih bervariasi sesuai dengan perkembangan saat ini
sebagai bekal bagi anak pidana di kemudian hari, 3) Membangun infrastruktur yang diperlukan
bagi pembinaan Anak khususnya dalam hal pendidikan layak anak, seperti ruangan ataupun
gedung yang berkonsep educated and fun, ataupun memperbaiki bangunan yang tersedia untuk
disesuaikan dengan konsep pendidikan Anak.
Kata Kunci: Pola Pembinaan, Tindak Pidana Anak, Lembaga Pemasyarakatan

x

ABSTRAK
Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, akan tetapi anak-anak juga
bisa melakukan hal tersebut. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sekarang ini seperti
pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, penyalahgunaan obat terlarang, dan sebagainya. Untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya anak menjalani masa hukuman sesuai dengan putusan
hakim di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Anak Didik
Pemasyarakatan mendapatkan pembinaan agar ketika kembali ke masyarakat lebih baik dan
tidak mengulangi perbuatannya kembali. Skripsi ini bertujuan untuk seberapa idealnya pola
pembinaan yang diterapkan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam memberikan
pembinaan bagi Anak Didik Pemasyarakatan.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Perbandingan Pola Pembinaan
Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus, (2) Pola Pembinaan
yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk
mengetahui pebandingan hukum pola pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di
lembaga pembinaan khusus. (2) Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan
Hukum. Wawan cara yang dilalukukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo.
Berdasarkan penulisan dapat diketahui bahwa pembinaan yang dilakukan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo sudah cukup efektif, dengan mengacu pada Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dinilai sudah cukup
ideal jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dan Jepang. Pembinaan yang dilakukan di
Indonesia mementingkan kebutuhan si anak. Pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum
yang diterapkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo selama ini adalah
Pembinaan, Pembimbingan Kepribadian dan Kemandirian yang meliputi: 1) Pembinaan
Pendidikan, 2) Pembinaan Keagamaan, 3) Pembekalan Keterampilan, 4) Pembinaa Kesadaran
Hukum, 5) Pembinaan Jasmani, 6) Pembinaan Sikap dan perilaku 7) Pembinaan Sosial. Agar
pembinaan lebih ideal lagi, maka tidak ada salahnya jika pola pembinaan yang dilakukan di
Indonesia mengadopsi beberapa pola pembinaan yang di terapkan di Malaysia dan Jepang,
seperti: 1) Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam pola pembinaan anak, 2)
Memberikan pembinaan keterampilan yang lebih bervariasi sesuai dengan perkembangan saat ini
sebagai bekal bagi anak pidana di kemudian hari, 3) Membangun infrastruktur yang diperlukan
bagi pembinaan Anak khususnya dalam hal pendidikan layak anak, seperti ruangan ataupun
gedung yang berkonsep educated and fun, ataupun memperbaiki bangunan yang tersedia untuk
disesuaikan dengan konsep pendidikan Anak.
Kata Kunci: Pola Pembinaan, Tindak Pidana Anak, Lembaga Pemasyarakatan

x

BAB I
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG MASALAH
Anak merupakan amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus

dijaga, dipelihara serta dididik karena didalamnya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan generasi serta harapan bagi
orang tua, bangsa dan negara. Kondisi sosial ekonomi keluarga dan keberadaan anak serta
berbagai faktor lain pada saat ini membawa sebagian anak berada dalam situasi sulit dan
rawan. Keadaan tersebut menjadikan anak kehilangan masa kanak-kanak dan bahkan
menjerumuskan mereka ke dalam tindakan-tindakan kenakalan, pelanggaran hukum hingga
kriminalitas.
Bambang Waluyo mengungkapkan bahwa ‘sebagai pengaruh kemajuanilmu
pengetahuan, kemajuan budaya dan perkembangan pembangunan pada umumnya
bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak juga terjebak melanggar norma terutama
norma hukum. Anak-anak terjebak dalam pola konsumerisme dan asosial yang makin
lama dapat menjurus ke tindakan kriminal,sepertinarkotika, pemerasan, pencurian,
penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya’. 1
Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan
terhadap norma yang tidak disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian biasanya oleh masyarakat
dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam
kehidupan manusia merupakangejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia,
masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya
dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas tuntas.
1

Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 3.

1

Antisipasi atas kejahatan tersebut dapat dilakukan dengan cara memfungsikan
instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law enforcement).
Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi
secara preventif maupun represif. Penanggulangan atas kejahatan ini sering disebut sebagai
politik kriminal. Mengajuka ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana
bagi anggota masyarkat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan
yang represif. 2
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak,
disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain dampak negatif
perkembangan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan cara hidup sebagian orang tua yang pada
akhirnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.Anak yang kurang
memperoleh kasih sayang, bimbingan, pembinan dan pengawasan orang tua dapat terseret
dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dan dapat merugikan
perkembangan pribadi. Peningkatan kenakalan dan kejahatan anak bukanlah gangguan dan
ketertiban semata, tetapimerupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan masyarakat
suatu bangsa. Penanganan dan penyelesaian dapat dilakukan dengan memperhatikan
kondisi yang harus diterima oleh anak.
Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan
bukan hanya pemenjaraan tetapi juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi
warga binaan pemasyarakatan. Usaha ini dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang
2

Ibid. hlm. 1-2.

2

dibina, dan juga masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan. Tujuan akhir dari usaha ini agar warga binaan menyadari kesalahan, dapat
memperbaiki diri, dan juga tidak mengulangi melakukan tindak pidana dimasa yang akan
datang.Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan bahwa suatu kehidupan dan
penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pemasyarakatan
dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, pribadinya sebagai manusia,
antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta
alamnya, kesemuanya dengan lindungan Tuhan Yang Maha Esa”. 3
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem PeradilanPidana Anak
Pasal 1 ayat (2) “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang menjadi sanksi tindak
pidana”. Dalam penulisan ini mengkaji tentang anak yang berkonflik dengan hukum, pada
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menyatakan “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
Persoalan anak yang berkonflik dengan hukum sudah lama dikemukanparaahli.
Negara telah bertindak salah dalam menangani anak yang berkonflik denganhukum. Begitu
banyak kasus bermunculan yang selalu diakhiri dengan pemidanaananak, dan aparat
penegak hukum baru akan memberikan hukuman ”bijak” apabilasudah diributkan di media
massa. 4

3
4

Bahrudin Soerjobroto, 1986, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), Jakarta, AKIP, hlm. 8
Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 2.

3

Anak yang berkonflik dengan hukum atau yang menjadi pelaku tindak pidana tetap
harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tetapi dilakukan dengan
cara yang tepat, pertanggungjawabaan pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat
untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. 5
Di Indonesia ada Undang-undang yang mengatur tentang pengadilan anak agar anak
yang melakukan tindak pidana yang di hadapkan ke pengadilan tidak digabungkan dengan
persidangan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, hal ini dimaksudkan untuk
melindungi jiwa anak agar tidak mengalami trauma yang dapat menyebabkan jiwa anak
tersebut terganggu. Undang-undang Nomor 11Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, lebih bertujuan untuk mendidik anak agar tidak terjerumus kembali ke dalam
kejahatan, sedangkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHP) hukuman yang diberikan lebih bertujuanuntuk memberikan jera terhadap pelaku
tindak pidana, di dalam hal ini masyarakat lebih setuju Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diterapkan untuk anak-anak yang melakukan
tindak pidana. Beberapa contoh kasus tindak pidana anak di Indonesia antara lain: Kasus
pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh Anjar Andreas Lagaronda siswa SMK berusia
15 tahun yang diadili di Pengadilan Negeri Palu, Selasa 20 Desember 2011 karena didakwa
mencuri sandal jepit milik Brigadir Satu Polisi Ahmad Rusdi Harahap. Siswa kelas 1 SMK
ini didakwa dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara.
Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah. 6 Kasus yang menimpa Foni Nubatonis,

5
6

Mahrus Ali, 2012, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 156.
http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilanpidana-anak-catatan-singkat-undang-undang
nomor-11-tahun-2012.html, Diakses pada hari kamis, tanggal 24 November 2016, pukul, 22.20.WIB.

4

remaja 16 tahun, siswa kelas II SMK Kristen SoE, Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Foni Nubatonis dilaporkan ibu angkatnya
karena mencuri delapan batang bunga adenium dan dijual ketetangganya dengan harga Rp
5 ribu sampai dengan Rp 10 ribu.Kasus pencurian bunga yang menjerat Foni Nubatonis
dituntut dua bulan penjara, karena dinyatakan bersalah kasus pencurian bunga adenium
sebanyak delapan batang. 7
Dari beberapa contoh penyelesaian kasus tersebut, menunjukkan bahwa lembaga
peradilan masih banyak yang berkesimpulan bahwa anak yang bermasalah tersebut
(selanjutnya disebut anak pelaku tindak pidana) dikenai sanksi perampasan kemerdekaan
atau pidana penjara, untuk kemudian ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
B.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbandingan pola pembinaan terhadap anak berhadapan dengan
hukum dalam lembaga pembinaan khusus di Negara Malaysia, Jepang dan
Indonesia?
2. Bagaimana pola pembinaan yang ideal bagi anak berhadapan dengan hukum di
Indonesia?

7

http://www.tnol.co.id/id/community/forum/4-social/13351-anak-pencuri-bungadituntut-dua-bulan-penjara.html
Diakses hari rabu, tanggal 4 Januari 2017, pukul 23.38 WIB.

5

C.

TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan objektif dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa:
1. Untuk mengetahui perbandingan pola pembinaan terhadap anak berhadapan
dengan hukum dalam lembaga pembinaan khusus di Negara Malaysia, Jepang,
dan Indonesia.
2. Untuk mengetahui pola pembinaan yang ideal bagi anak yang berhadapan dengan
hukum di Indonesia.

D.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Pola Pembinaan
Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara

menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan berperan
dalam pembinaan narapidana anak yang memperlakukan narapidana anak agar menjadi
lebih baik, yang perlu dibina adalah pribadi narapidana, membangkitkan rasa harga diri
dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, sehingga potensial
menjadi manusia yang berkepribadian dan bermoral tinggi. 8
Pembinaan menurut peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan Buku
ke VI Bidang Pembinaan, yaitu: “Pembinaan narapidana dan anak didik yaitu semua usaha
yang ditujukan untuk memperbiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana
dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan”.
Pembinaan menurut Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1)
pengertian lain pembinaan adalah “Kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
8

Muidin Gultom, 2008, Perbandingan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistim Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
Jakarta, Refika Aditama, hlm. 126.

6

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan
jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.
Pembinaan di LAPAS sesuai Pasal 5 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, yaitu perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka
melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. 9
2. Pengertian Anak
Menurut perundang-undangan di Indonesia, ketentuan mengenai pengertian anak
diatur secara beragam. Undang-undang Nomor 11Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 1 ayat (2), merumuskan bahwa “Anak adalah orang dalam perkara anak
nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas)”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 mengatakan, “Orangorang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa anak adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan
mengatakan, “Seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dari
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak adalah pria yang belum mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun dan wanita yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun.Pasal

9

Darwan Prinst, 2003, Hukum Anak Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 68.

7

1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.Undang-undang Nomor 4 tahun 1976 Tentang Kesejahteraan Anak.Menurut
pasal 1 butir 2, menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin”.
3. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan
peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman,
dalam hal ini tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melakukan tindak pidana tetapi juga
bisa dilakukan oleh anak dibawah umur. Anak yang melakukan tindak pidana terdorong
oleh beberapa faktor, antara lain faktor kurangnya perhatian orang tua, faktor ekonomi,
faktor lingkungan, faktor salah pergaulan dan faktor pendidikan. 10
Pada suatu tindak pidana dikenal unsur objektif dan unsur subjektif.Unsur objektif
adalah unsur yang terdapat diluar diri pelaku tindak pidana. 11 Unsur objektif adalah unsur
yang ada hubungannya dengan keadaan yaitu didalam keadaan pada tindakan-tindakan dari
pelakutersebut harus dilakukan unsur objektif , meliputi:
a. Perbuatan atau kelakuan manusia.
b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik.
c. Unsur melawan hukum.
d. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana.

10

http://lib.atmajaya.ac.id/ default.aspx? tabID=61&src=k&id=130770 Diakses hari kamis, tanggal 24 November
2016, pukul 23.15 WIB.
11
PAF Lamintang, 1989, Delik-Delik Khusus, Bandung, Sinar Baru, hlm. 142.

8

e. Unsur yang memberatkan pidana.
f. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.
Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku tindak pidana, yang
meliputi: 12
a. Kesengajaan (dolus)
b. Kealpaan (culpa)
c. Niat(voor nermen)
d. Maksut(oogmert)
4. Sitem Peradilan Pidana Anak.
Sistem peradilan pidana anak yang diterapkan saat ini tampaknya masih
menitikberatkan untuk menjatuhkan hukuman bagi para pelaku tindak kejahatan sebagai
balasan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan titik berat seperti ini, dimensi
tindak kejahatan sepertinya hanya dilihat dari satu sisi, yaitu dari sisi si pelaku tindak
kejahatan itu sendiri. 13 Kalau mau dicermati lebih jauh, dimensi tindak kejahatan
sesungguhnya bisa lebih luas lagi. Tindak kejahatan tidaklah semata pelaku kejahatan.
Namun, pada tindak kejahatan ini pun akan ada yang namanya korban dari tindakan yang
diklasifikasikan jahat tersebut, ada kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, ada
masyarakat yang tatananya terganggu, dan lebih jauh lagi, akan ada implikasi di kemudian
hari. Dengan demikian, penanganan dari suatu tindakkejahatan selayaknya dipandang

12

Ibid. hlm. 43.
Distia Aviandari dkk, 2008,Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman, Lembaga Advokasi
Hak Anak (LAHA) bekerjasamasa dengan Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK),
YayasanKalyanamandira dan SKEPO atas dukungan Terre des Hommes Netherlands, Bandung, hlm. 3.

13

9

dengan perspektif yang lebih luas pula. Tidak melulu hanya pada soal pembalasan bagi
pelaku tindak kejahatan. 14
Secara umum, sistem peradilan pidana anak yang berkembang di berbagai belahan
dunia saat ini memang masih cenderung hanya bersifat merespon kejahatan: baru akan
bertindak setelah kejahatan itu terjadi. Hal ini dapat dilihat dari aktor-aktor peradilan
pidana terlibat di dalamnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.
Kesemua aktor ini merupakan institusi representasi negara dalam penegakkan hukum.
Mereka inilah yang akan merespon kejahatan dengan menindak para pelakunya. 15
E.

METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah merupakan penelitian hukum Normatif
yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan denganbahan pustaka atau data
sekunder dan perbandingan tentang pola pembinaan dalam lembaga khusus anak di
Indonesia, Malaysia dan Jepang.
2. Sumber Data
Penulis menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder merupakan dokumendokumen tertulis, peraturan perundang-undangan dan literatur, literatur yang
berkaitan dengan objek penelitian ini. Data sekunder digolongkan dari sudut kekuatan
mengikatnya dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan berkaitan dengan
masalah yang diteliti, meliputi:

14

Ibid.
Ibid. hlm. 4.

15

10

a. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
b. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
c. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut
terhadap bahan hukum primer, dan atau memberikan pemaparan-pemaparan yang
terkait dengan rumusan masalah, yang meliputi:
a. Buku-buku yang terkait dalam penulisan skripsi.
b. Bahan-bahan acuan yang relevan dengan rumusan masalah, baik dalam bentuk
mekanik (had file) maupun elektronik (soft file).
c. Berita internet.
d. Surat kabar.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum tersier meliputi bahan-bahan ilmiah
yang menunjangatau memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder,
yang bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Tehnik pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada 1 (satu) petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Kelas I Kutoarjo dan wawancara kepada 2 (dua) Anak Didik Pemasyaratan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo.

11

b. Studi kepustakaan,
Dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji berbagaiPeraturan Perundangundangan dan buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi.
4. Analisis data
Setelah proses pengumpulan data selesai, kemudian data-data tersebut dianalisa
dengan menggunakan metode kuantitatif, yaitu penyajian analis data yang diperoleh
dengan menggunakan narasi dan uaraian untuk menjelaskan hasil penelitian. Dipilih
data-data yang ada kaitannya dengan permasalahan dan dapat menggambarkan
keadaan yang sebenarnya di lapangan.
F.

SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan penulisan hukum ini,

maka penulis membagi penulisan ini menjadi 5 BAB sebagaimana yang tercantum dibawah
ini:
BAB I Pendahuluan, Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, metode penelitian, skema penulisan skripsi.
BAB II, Bab ini menjelaskan tentang pengertian dan batasan anak, tindak pidana
anak, dan upaya preventif penanggulangan tindak pidana anak.
BAB III, Bab ini menjelaskan tentang pengertian lembaga pemasyarakatan, tujuan
dan fungsi lembaga pemasyarakatan, dan pelaksaan pemasyarakatan.
BAB IV, Bab ini akan dibahas mengenai analisis pola pembinaan yang ideal bagi
anak pelaku tindak pidana dalam lembaga pembinaan khusus anak di Indonesia.
12

BAB V, Bab ini akan berisi kesimpulan dari hasil pembahasan bab-bab sebelumnya
berisi saran-saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dan
bermanfaat bagi instansi yang terkait.

13

BAB II
ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
A. Pengertian dan Batasan Anak
Pada umumnya masyarakat mengartikan anak adalah anak dibawah umur 17 (tujuh
belas) tahun dan masih dalam pengawasan orang tua. Pengertian tersebut tidak termasuk
terhadap anak dibawah 17 tahun yang sudah menikah ataupun pernah menikah.Sejatinya
anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang masih memerlukan perlindungan, hal ini
karena anak belum bisa membela dirinya baik secara fisik maupun psikis. Anak-anak masih
suka meniru apa yang dilihatnya baik melalui mass media terutama televisi maupun meniru
perbuatan orang dewasa dilingkungannya. Sehingga sering kali anak tidak mengetaui
akibat dari apa yang dilakukannya.
Pada saat anak memasuki usia 12 sampai 18 tahun disebut periode penemuan diri dan
kepekaan sosial. 1 Pada usia ini anak memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang
yang dilakukan dirumah, misalnya: berkelahi dengan saudaranya, merusak benda milik
saudaranya, berbohong dan malas melakukan kegiatan rutin. Sedangkan penyimpangan
yang dilakukan diluar rumah diantaranya adalah: penyalahguaan narkoba, mencuri, menipu
dan berkelahi. 2 Sementara menurut Romli Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih
di bawah umur dan belum dewasa serta belum kawin. 3
Apabila mengacu pada aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase
perkembangan kejiwaan, yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk
1

M. Montessori sebagaimana dikutip oleh Agus Sujanto, 1996, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Rineka Cipta,
hlm. 55.
2
Elizabeth B. Hurlock,2004, Psikologi Pekembangan:Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi
Kelima, Jakarta, Erlangga, hlm. 166.
3
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Bandung, Armico, hlm. 25.

14

menentukan kriteria seorang anak di samping ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat
dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya.
Dalam hal fase-fase perkembangan yang dialami seorang anak, dapat diuraikan
bahwa:
1. Masa kanak-kanak, terbagi dalam:
a. Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai umur dua tahun.
Pada masa tersebut seorang anak masih lemah belum mampu menolong
dirinya sehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan ibu.Pada umur ini
terhadap anak terjadi beberapa peristiwa penting yang mempunyai pengaruh
kejiwaanya, seperti disapih, tumbuh gigi, mulai berjalan dan berbicara.
b. Masa kanak-kanak pertama, yaitu umur antara 2-5 tahun.
Pada masa ini anak-anak sangat gesit bermain dan mencoba.Mulai
berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya serta mulai
terbentuknya pemikiran tentang dirinya. Pada umur ini anak-anak sangat suka
meniru dan emosinya sangat tajam. Oleh karena itu diperlukan suasana yang
tenang dan memperlakukannya dengan kasih sayang serta stabil.
c. Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara umur 5-12 tahun.
Anak pada fase ini berangsur-angsur pindah dari tahap mencari kepada tahap
memantapkan. Pada tahap ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat,
suka bekerja, lebih suka bermain bersama serta berkumpul tanpa aturan
sehingga biasa disebut dengan gangage. Pada tahap ini disebut juga masa anak
sekolah dasar atau periode intelektual.

15

2. Masa remaja antara usia 13- 20 tahun.
Masa remaja adalah masa dimana perubahan cepat terjadi dalam segala bidang, pada
tubuh dari luar dan dalam, perubahan perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan
kepribadian. Masa ini disebut juga sebagai masa persiapan untuk menempuh masa
dewasa. Bagi seorang anak, pada masa tersebut merupakan masa goncang karena
banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang seringkali
menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa dinilai sebagai
perbuatan nakal.
3. Masa dewasa muda, antara umur 21 sampai 25 tahun.
Pada masa dewasa muda ini pada umumnya masih dapat dikelompokan kepada
generasi muda. Walaupun dari segi perkembangan jasmani dan kecerdasan telah
betut-betul dewasa, dari kondisi ini anak sudah stabil, namun dari segi kemantapan
agama dan ideologi masih dalam proses pemantapanya. 4
Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak,
memberikan pemahaman bahwa dalam pandangan psikologis untuk menentukan batasan
terhadap seorang anak nampak adanya berbagai macam kriteria, baik didasarkan pada segi
usia maupun dari perkembangan pertumbuhan jiwa.
Atas dasar hal tersebut seseorang dikualifikasikan sebagai anak-anak apabila ia
berada pada masa bayi hingga masa remaja awal antara 16-17 tahun. Sedangkan lewat
masa tersebut seseorang sudah termasuk kategori dewasa, dengan ditandai adanya

4

Zakiah Daradjat, 1985, Faktor-Faktor yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan Generasi Muda,
Bandung, Bina Cipta, hlm. 38-39.

16

kestabilan, tidak mudah dipengaruhi oleh pendirian orang lain dan propaganda seperti pada
masa remaja awal.
Sementara apabila dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masih
berpegang teguh pada hukum adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa anakanak dan dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas usia
sematamata melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan sosial dalam
pergaulan hidup masyarakat. Seseorang adalah dewasa apabila ia secara fisik telah
memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan yang dapat mendukung penampilannya.
Dikemukakan oleh Ter Haar, bahwa saat seseorang menjadi dewasa ialah saat ia
(lelaki atau perempuan) sebagai orang yang sudah kawin, meninggalkan rumah ibu
bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda yang
merupakan keluarga yang berdiri sendiri. 5 Selanjutnya Soedjono, menyatakan bahwa
menurut hukum adat, anak di bawah umur adalah mereka yang belum menentukan tandatanda fisik yang konkrit bahwa ia telah dewasa. Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono
ternyata menurut hukum adat Indonesia tidak terdapat batasan umur yang pasti sampai
umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak atau sampai umur berapakah
seseorang dianggap belum dewasa. 6
Guna

menghilangkan

keragu-raguan

tersebut,

Pemerintah

Hindia

Belanda

mengeluarkan Staatblad No, 54, yang berbunyi sebagai berikut.Oleh karena terhadap
orang-orang Indonesia berlaku hukum adat, maka timbul keragu-raguan sampai umur
berapa seseorang masih dibawah umur. Guna menghilangkan keragu-raguan tersebut oleh
5

Ter Haar dalam Safiyudin Sastrawijaya, 1977, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, Bandung, PT.
Karya Nusantara, hlm. 18.
6
Soedjono Dirjosisworo, 1983 Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Bandung, Tarsito, hlm. 230.

17

pemerintah dulu diadakan Staatblad, 1931-54 isinya menyatakan antara lain: bahwa untuk
menghilangkan keragu-raguan, maka jika dipergunakan istilah anak di bawah umur
terhadap bangsa indonesia, ialah: a) mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya
belum pernah kawin, b) mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan
kemudian bercerai berai dan tidak kembali lagi di bawah umur, c) yang dimaksud dengan
perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak. Dengan demikian barang siapa yang
memenuhi persyaratan tersebut diatas disebut anak di bawah umur (minderjarig) atau
secara mudahnya disebut anak-anak. 7
Dari pernyataan tersebut, ukuran kedewasaan yang diakui oleh masyarakat adat, dapat
dilihat dari ciri-ciri:
1. Dapat bekerja sendiri (mandiri).
2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bertanggung jawab.
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa yang dapat dikatagorikan sebagai seorang
anak, bukan semata-mata didasarkan kepada usia yang dimiliki seseorang, melainkan
dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup mandiri menurut
pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada.
Dalam pandangan hukum adat, begitu tubuh si anak tumbuh besar dan kuat, mereka
dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan orang tuanya.Pada
umum nya mereka dianggap telah mampu memberi hasil untuk memenuhi kepentingan diri

7

Ibid.hlm. 30.

18

dan keluarganya. Di samping itu mereka juga sudah dapat diterima dalam lingkungannnya,
oleh karena itu pendapatnya didengar dan diperhatikan.Pada saat itulah seorang anak diakui
sebagai orang yang telah cukup dewasa. Oleh karena itu apabila seseorang belum dapat
memenuhi kriteria tersebut, maka dia masih dikategorikan sebagai seorang anak.
Begitu juga dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara anak dan
dewasa tidak didasarkan pada kriteria usia. Bahkan tidak dikenal adanya perbedaan
anakdan dewasa sebagaimana diakui dalam pengertian hukum adat. Dalam ketentuan
hukum Islam hanya mengenal perbedaan antara masa anak-anak dan masa baligh.
Seseorang dikategorikan sudah balighditandai dengan adanya tandatanda perubahan
badaniah, baik terhadap seorang pria maupun wanita. Seorang pria dikatakan sudah baligh
apabila ia sudah mengalami mimpi yang dialami oleh orang dewasa (alhulzima).
Sedangkan bagi seorang wanita dikatakan sudah baligh apabila ia telah mengalami haid
atau mensturasi.
Dalam pandangan hukum Islam seseorang yang dikategorikan memasuki usia baligh
merupakan ukuran yang digunakan untuk menentukan umur awal kewajiban melaksanakan
syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain terhadap mereka yang telah
baligh dan berakal, berlakulah seluruh ketentuan hukum Islam. 8
Menurut ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, memberikan
pengertian anak atau orang yang belum dewasa, sebagai berikut:
Belum dewasa adalah seseorang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan
tidak lebih dahulu kawin. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun
telah kawin, dan perkawinan itu dibubarkan sebelum umurnya genap 21 tahun maka
ia tidak kembali lagi ke kedudukan belum dewasa. Seseorang yang belum dewasa dan
8

Zakiah Daradjat, 1994, Remaja Harapan dan Tantangan, Jakarta, Ruhama, hlm. 11.

19

tidak berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagai manadiatur
dalam bagian ketiga, keempat kelima dan keenam bab ke belum dewasaan dan
perwalian.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan), tidak mengatur tentang pengertian
anak. Namun dalam Pasal 7 Undang-undang Perkawinan disebutkan perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa anak adalah seseorang di bawah
umur 19 tahun bagi seorang laki-laki dan di bawah umur 16 tahun bagi seorang perempuan.
Dalam kajian aspek hukum pidana, persoalan untuk menentukan kriteria seorang anak
walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia, namun apabila kita teliti beberapa
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur batas anak, juga
terdapat keaneka ragaman.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan

Anak

(selanjutnya

disebut

Undang-undang

Kesejahteraan

Anak),

memberikan pengertian: anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin.
Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang perubahan atas Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ditentukan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Dengan demikian, maka pengertian anak atau juvenile pada umumnya adalah
seseorang yang masih di bawah umur tertentu, yang belum dewasa, dan belum pernah

20

kawin. Pada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai batas umur
kedewasaan seseorang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dari sudut manakah dilihat dan
ditafsirkan, apakah dari sudat pandang perkawinan, dari sudut kesejahteraan anak, dan dari
sudut pandang lainnya. Hal ini tentu ada pertimbangan psikologis, yang menyangkut
kematangan jiwa seseorang. Batas umur minimum ini berhubungan erat dengan pada umur
berapakah pembuat atau pelaku tindak pidana dapat dihadapkan ke pengadilan dan dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan batas umur
maksimum dalam hukum pidana adalah untuk menetapkan siapa saja yang sampai batas
umur ini diberikan kedudukan anak (juvenile), sehingga harus diberi perlakuan hukum
secara khusus. 9
Dalam proses pembinaannya diatur anak-anak tersebut dikategorikan sebagai anak
didik pemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 nomor 8, yang berbunyi:
Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan Pengadilan menjalani pidana di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan Pengadilan diserahkan pada
negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama
sampaiberumur 18 (delapan belas) tahun.

9

Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Malang, IKIP Malang,
hlm.8.

21

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan Pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampaiberumur
18 (delapan belas) tahun.
Dapat dipahami bahwa dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan mengkategorikan seorang anak baik anak pidana, anak negara maupun
anak sipil adalah mereka yang memperoleh pendidikan paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun. Dengan kata lain ketentuan tersebut menentukan batas usia bagi
seorang anak adalah 18 tahun. 10

B.

Tindak Pidana Anak
Pengaturan tentang tindak pidana anak tidak terdapat secara khusus melainkan

tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Disamping itu, istilah tindak
pidana anak, dalam kajian hukum pidana sebenarnya merupakan istilah yang belum dikenal
secara umum tetapi hanya merupakan materi khusus dari materi hukum pidana. Sementara
yang lazim dikenal dalam kepustakaan hukum pidana hanya adanya istilah tindak pidana.
Di mana Istilah tersebut menunjuk kepada perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh seseorang, baik dilakukan oleh seorang yang telah dewasa maupun oleh seorang anak.
Istilah tindak pidana itu merupakan terjemahan dari strafbaar fiet atau delict bahasa
Belanda, atau crime dalam bahasa Inggris. Beberapa literatur dan peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia dapat dijumpai istilah lain untuk menterjemahkan
strafbaar feit, antara lain:

10

Safiyudin Sastrawijaya, 1997,Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, Bandung, PT. Karya Nusantara,
hlm. 18.

22

1. Peristiwa pidana.
2. Perbuatan pidana.
3. Pelanggaran pidana.
4. Perbuatan yang dapat dihukum.
5. Perbuatan yang boleh dihukum dan lain-lain.
Beberapa arti dari strafbaar feit tersebut didasarkan pada berbagai argumentasi yang
melatarbelakangi muncul dan digunakannya istilah tersebut, sesuai dengan pemahaman
atas teknik interprestasi yang digunakan, sehingga muncul berbagai rumusan atau
pengertian yang berlainan pula.
Sudarto, menggunakan istilah Tindak Pidana sebagai istilah lain dari strafbaar feit,
dengan alasan bahwa istilah tindak pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk Undangundang dan sudah diterima oleh masyarakat, jadi sudah mempunyai sociologische gelding.
Sedangkan Utrecht, dalam bukunya Hukum Pidana I menggunakan istilah Peristiwa
Pidana. Dengan alasan bahwa istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau
doen-positio atau suatu melalaikan (verzuim atau nalaten, niet-doen negatif) maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan itu). 11
Sementara menurut Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih
suka menggunakan istilah Perbuatan Pidana.Hal tersebut sebagaimana dikemukakan dalam
pidatonya pada tahun 1955, dengan judul Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban dalam
Hukum Pidana. Alasan beliau bahwa perbuatan ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang
atau barang sesuatu yang dilakukan. Lebih lanjut dikatakan: (Perbuatan) ini menunjuk baik

11

Utrecht, 1968, Hukum Pidana I, Universitas, Bandung, hlm. 18.

23

pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Ia menganggap kurang tepat
menggunakan istilah peristiwa pidana sebagaimana yang digunakan dalam Pasal 14 UUDS
1950 untuk memberikan suatu pengertian yang abstrak. Peristiwa adalah pengertian yang
kongkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja. Hal tersebut
sama halnya dengan pemakaian istilah Tindak dalam Tindak Pidana” 12
Di dalam definisi di atas, Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, terhadap seorang tersangka
pertama-tama harus dibuktikan dulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya apakah
memenuhi rumusan undang-undang atau tidak. Walaupun perbuatan tersebut telah
memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang, namun tidak secara
otomatis orang tersebut harus dihukum karena harus dilihat pula mengenai kemampuan
bertanggungjawab. Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab maka orang tersebut
lepas dari segala tuntutan hukum. Konsep demikian merupakan konsep yang dipakai dalam
sistem Anglo Saxon dimana adanya pemisahan antara Criminal Act dan Criminal
Responsibility. Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap
anak yang dianggap telah melakukan Criminal Act selain perlu dikaji sifat perbutannya
apakah sebagai suatu kejahatan atau kenakalan (delinquency), patut dikaji pula masalah
kemampuan pertanggungjawaban dari si anak yang pada dasarnya kurang bahkan tidak
memahami atau mengerti arti dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, diperlukan adanya
kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu tindak
pidana untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidana.

12

Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 54-55.

24

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan pemberian
pidana. 13 Simo

Dokumen yang terkait

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS II BANDAR LAMPUNG)

4 26 78

Peran Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam Pembinaan Narapidana Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas I Tanjung Gusta Medan.

30 283 119

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PADA PETUGAS LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I KUTOARJO Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo.

0 5 16

Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dalam Proses Pembinaan Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ( Studi Kasus Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Medan )

0 0 10

Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dalam Proses Pembinaan Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ( Studi Kasus Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Medan )

0 0 1

Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dalam Proses Pembinaan Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ( Studi Kasus Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Medan )

0 0 24

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

0 0 15

PERAN LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DALAM PROSES PEMBINAAN ANAK PIDANA (Studi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

1 21 14

PEMBINAAN ANAK PELAKU PENCABULAN YANG KORBANNYA ANAK (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI BLITAR)

0 0 13

Strategi Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan (Andikpas) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo (Studi Kasus Pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah) - UNS Institutional Repository

0 0 20