BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengujian Pseudoprime Rabin Millter
Sebuah tes primality yang menyediakan probabilistik yang efisien algoritma untuk menentukan apakah nomor atau angka yang diberikan adalah
prima . Hal ini didasarkan pada sifat-sifat pseudoprimes kuat . Algoritma tersebut digunakan dengan menentukan sebuah bilangan bulat , Biarkan
dengan . Kemudian pilih sebuah integer acak dengan . Jika
atau untuk beberapa
, Maka melewati tes. Sehingga seluruh bilangan akan lulus uji untuk semua .
Tes ini sangat cepat dan tidak memerlukan lebih dari mod
perkalian mod , dimana lg adalah logaritma basis 2. Sayangnya, nomor yang
lulus uji tidak selalu prima . Monier, 1980 dan Rabin, 1980, telah
menunjukkan bahwa komposit sejumlah lulus tes paling 1 4 dari basis yang mungkin . Jika
beberapa tes independen yang dilakukan pada sejumlah komposit , maka probabilitas yang digunakan akan melewati tes masing-masing
atau kurang. Namun, jika jumlah terkecil bilangan komposit yang melewati serangkaian
tes tertentu dikenal di angka berikutnya, maka set tes tersebut merupakan bukti
primality untuk semua nomor yang lebih kecil. Sloanes Jaeschke, 1993, Urutan
angka ganjil terkecil melewati tes Miller-Rabin menggunakan beberapa bilangan prima untuk
, 2, ... , 2, ... adalah 1373653 25326001, 3215031751, 2152302898747, 3474749660383, 341550071728321, 341550071728321. Oleh
karena itu, tes Rabin dilakukan menggunakan 7 bilangan prima pertama menggunakan 8 memberikan perbaikan berlaku untuk setiap angka hingga
. .
Universitas Sumatera Utara
Pada teori Mathematica versi 2.2 telah menerapkan beberapa tes Rabin- Miller di basis 2 dan 3 yang digabungkan dengan pseudoprime Lucas tes sebagai
uji primality kemudian digunakan pada fungsi
Prime Q
[n]. Pada tahun 1997, prosedur ini diketahui benar hanya untuk semua
,
3.2 Perumusan Algoritma RSA
sehingga tidak ada bandingannya dengan pseudoprime lain, dan jika ada pseudoprime lain pasti
melakukannya dengan probabilitas yang sangat kecil.
Algoritma RSA didasarkan pada teorema Euler yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
mod 1
n a
n
≡
φ
…………………………………………………………1 Dengan syarat :
1. a harus relatif prima terhadap n
2. 1
1 .....
1 1
1 1
2 1
n
p p
p n
n −
− −
= φ
yang dalam hal ini
1
p
,
2
p
,….
r
p
, adalah faktor prima dari n.
n φ adalah fungsi yang menentukan berapa
banyak dari bilangan-bilangan 1, 2, 3,……,n yang relatif prima.
Berdasarkan sifat mod n
b a
k k
≡ untuk k bilangan bulat
1 ≥ ,
maka persamaan1 dapat ditulis menjadi mod
1 n
a
k n
k
≡
φ
………………………………………………..2 Bila a diganti dengan m, maka persamaan 2 diatas dapat ditulis menjadi
mod 1
n m
n k
≡
φ
………………………………………………. 3
Berdasarkan sifat
, mod n
bc ac
≡
maka bila persamaan 3 dikali dengan m menjadi mod
1
n m
m
n k
≡
+ φ
………………………………………………..4 Yang dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa m relatif prima terhadap n.
Universitas Sumatera Utara
Misalkan: e dan d dipilih sedemikian sehingga menjadi
mod 1
. n
d e
φ ≡
………………………………………………. 5
Kemudian persamaan 5 diatas dilakukan perkalian dengan persamaan 4 sehingga mod
.
n m
d e
≡ 6
Setelah itu persamaan 6 dapat ditulis kembali menjadi mod
n m
m
d e
≡ 7
Yang artinya, perpangkatan m dengan e diikuti dengan perpangkatan d menghasilkan kembali m semula. Berdasarkan persamaan 7, maka Enkripsi dan Dekripsi dirumuskan
menjadi sebagai berikut: a.
Enkripsi n
m c
m E
e e
mod ≡
= …………..………………..…………………………..
8 b.
Dekripsi
n c
m c
D
d e
mod ≡
=
………………………..…..………………………….. 9
Karena e
d d
e .
. =
maka enkripsi diikuti dengan dekripsi ekivalen, dengan dekripsi diikuti enkripsi:
n m
m D
E m
E D
d d
e e
d
mod ≡
=
……………………..……………..… 10
Oleh karena n
jn m
n m
d d
mod mod
+ ≡
untuk sembarang bilangan bulat j, maka tiap plainteks m,
,......., 2
, n
m n
m +
+
menghasilkan cipherteks yang sama. Dengan kata lain, transformasinya dari banyak ke satu. Agar transformasinya satu-ke-satu, maka m
harus dibatasi dalam himpunan
{ }
1 ,.......
3 ,
2 ,
1 ,
− n
sehingga dekripsi dan enkripsi tetap benar seperti pada persamaan 8.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Enkripsi dan Dekripsi RSA