47
diatas S1 cenderung mengalami perilaku mental accounting daripada responden dengan tingkat pendidikan lainnya.
4.5 Pembahasan
4.5.1 Mental Accounting sebagai perangkat Self-Control
Pengujian pertama terbukti secara siginifikan bahwa terdapat kecenderungan fenomenal mental accounting pada
Pegawai Non Akademik UKSW Salatiga khususnya wanita. Pembuktian ini sejalan dengan sebuah fenomena perilaku
finansial atau ekonomi perilaku behavioral finance yang pertama kali diteliti oleh Richard Thaler yang mengartikan
mental accounting sebagai perilaku ekonomi bilamana seseorang
menggolongkan masukan
dan keluaran
berdasarkan pos-pos seperti halnya model akuntansi account code. Ini dapat dilihat dari 53 responden pada Pegawai Non
Akademik UKSW Salatiga khususnya perempuan yang mengelompokan dan memberlakukan uang secara berbeda.
Lebih lanjut, responden dalam mengelola penghasilannya menggunakan mental accounting dimana mereka melakukan
identifikasi, kategorisasi,
dan evaluasi
hasil dalam
mendistribusikan keuangannya
ke pos-pos
kebutuhan hidupnya Thaler, 1980; Kahneman Tversky, 1984;.
Selanjutnya pengujian kedua terbukti secara signifikan bahwa terdapat kecenderungan responden setuju dengan
mental accounting
sebagai perangkat
self-control, dan
pembuktian ini sejalan dengan Karlsson 1998 dan Hoch
48
loewenstein 1991. Pengujian kedua jelas menunjukan bahwa penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Chatterjee, Heath dan Min 2009 serta Thaller 1990 yang menganggap bahwa mental accounting dapat
membawa dampak yang tidak baik dalam pengambilan keputusan karena adanya kemungkinan untuk boros atau
berperilaku konsumtif atas penghasilan ekstra. Temuan
lain mengenai
bagaimana individu
mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Pertama, bahwa masih belum dapat mengelola keuangan
apabila ada kebutuhan lainnya yang lebih penting. Responden cenderung menggunakan uang yang telah didistribusikan
dalam pos-pos tertentu yang dinilai kurang penting untuk kepentingan mendadak yang lebih penting. Dalam hal ini
mental accounting belum bisa dijadikan sebagai perangkat self- control jika ada kebutuhan lain yang lebih penting. Kedua,
dalam hal
penundaan kepuasan.
Mental accounting
memainkan peran
dalam mengendalikan
penundaan kepuasan. Responden tidak akan mengambil uang yang telah
dialokasikan dalam pos tabungan atau pos tertentu hanya untuk memuaskan keinginan yang tiba-tiba muncul ketika
muncul suatu kebutuhan tersier. Terakhir, mental accounting dapat digunakan sebagai alat pembatasan diri terhadap
kebutuhan lain yang dapat ditangguhkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa mental accounting
dapat digunakan sebagai perangkat self-control dalam
49
mengelola keuangan. Seseorang yang menggunakan mental accounting berarti bahwa mereka memiliki kecermatan dalam
mengalokasikan dana penghasilannya ke dalam kebutuhan- kebutuhan mereka dan ke dalam tabungan. Hal ini juga
berarti bahwa orang yang menggunakan mental accounting memiliki perencanaan yang matang terhadap pengelolaan
penghasilan mereka serta dapat mengambil keputusan dalam hal keuangan serta memaksimalkan kepuasan terus menerus
seumur hidupnya ketika mereka maju dalam siklus hidup dengan 1 mengerahkan pengendalian diri self-control yang
telah meningkat dalam menunda konsumsi ke periode yang akan datang; 2 secara mental memisahkan penghasilan pada
account berbeda yang disebut dengan mental accounting; 3 menyesuaikan tingakat tabungan saving rate mereka atas
dasar keuntungan atau kerugian yang dipersepsikan dalam tiga mental accounts yakni : current income, current asset dan
future income Shefrin dan Thaller 1988.
4.5.2 Mental Accounting Berdasar Demografi Responden