Analisa Hasil Pengelasan Smaw Pada Stainless Steel Aisi 304 Dengan Variasi Arus dan Diameter Elektroda

(1)

66 DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Samsul, 1997. Las Listrik dan Otogen. Jakarta: Ghalia. Indonesia.

ASM Handbook. 1988. Metals HandbookNinth Edition Volume 15 Casting. TheUniversity of Alabama.

ASM Handbook. 2000. Volume 9Metallography and Microstructures. International ASM

Harsono Wiryosumatro & Thosie Okumura, Teknologi Pengelasan Logam. Pradnya Paramita, Jakarta Cetakan ke IX

W, Kenyon.1985. Dasar-dasar pengelasan. Jakarta : Penerbit Erlangga http://mesin-teknik.blogspot.com

Widharto, Sri. 2003. Petunjuk Kerja Las. Jakarta : Penerbit Erlangga.

S, Widharto, 2007. Menuju Juru Las Tingkat Dunia, cetakan pertama, Jakarta: PradnyaPramita

Sindo kou. WELDING METALLURGY. University of Wiconsin Zainun achmad, 2006. Elemen mesin I ,Bandung: PT.Refika Aditama


(2)

46 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam penelitian, sehingga pelaksanaan dan hasil penelitian bisa untuk dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, yaitu suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat antara dua faktor yang berpengaruh. Eksperimen dilaksanakan dilaboratorium guna memperoleh data tentang pengaruh arus dan elektroda pengelasan terhadap kekerasan dan metallografi pada las SMAW dengan bahan uji Stainless Steel AISI 304.

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Metalurgi Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Politeknik Negri Medan.Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2016 sampai dengan bulan September 2016

3.2 Alat dan Bahan • Kabel Las

Kabel las biasanya dibuat dari tembaga yang dipilin dan dibungkus dangan karet isolasi Yang disebut kabel las ada tiga macam yaitu :

- kabel elektroda - kabel tenaga

- kabel massa

Kabel elektroda adalah kabel yang menghubungkan pesawat las dengan elektroda. Kabel massa menghubungkan pesawat las dengan benda kerja. Kabel tenaga adalah kabel yang menghubungkan sumber tenaga atau jaringan listrik dengan pesawat las. Kabel ini biasanya terdapat pada pesawat las AC atau AC - DC.

Gambar 3.1 Kabel Las(www.pengelasan.htm )


(3)

47 • Pemegang Elektroda

Ujung yang tidak berselaput dari elektroda dijepit dengan pemegang elektroda. Pemegang elektroda terdiri dari mulut penjepit dan pegangan yang dibungkus oleh bahan penyekat. Pada waktu berhenti atau selesai mengelas, bagian pegangan yang tidak berhubungan dengan kabel digantungkan pada gantungan dari bahan fiber atau kayu.

• Palu Las

Palu las digunakan untuk melepaskan dan mengeluarkan terak las pada jalur las dengan jalan memukulkan atau menggoreskan pada daerah las. Berhati-hatilah membersihkan terak las dengan palu las karena kemungkinan akan memercik ke mata atau ke bagian badan lainnya.

• Klem massa

Klem massa adalah suatu alat untuk menghubungkan kabel massa ke benda kerja. Biasanya klem massa dibuat dari bahan dengan penghantar listrik yang baik seperti Tembagaagar arus listrik dapat mengalir dengan baik, klem massa ini dilengkapi dengan pegas yang kuat. Yang dapat menjepit benda kerja dengan baik.

Walaupun demikian permukaan benda kerja yang akan dijepit dengan klem massa harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran-kotoran seperti karat, cat, minyak. • Tang (penjepit)

Penjepit (tang) digunakan untuk memegang atau memindahkan benda kerja yang masih panas.

• Helm Las

Helm Ias maupun tabir las digunakan untuk melindungi kulit muka dan mata dari sinar las (sinar ultra violet dan ultra merah) yang dapat merusak kulit maupun mata, Sinar Ias yang sangat terang/kuat itu tidak boleh dilihat dangan mata langsung sampai jarak 16 meter. Helm las ini dilengkapi dengan kaca khusus yang dapat mengurangisinar ultra violet dan ultra merah tersebut.

• Sarung Tangan

Sarung tangan dibuat dari kulit atau asbes lunak untuk memudahkan memegang pemegang elektroda. Pada waktu mengelas harus selalu dipakai sepasang sarung tangan.


(4)

48 • Sepatu Las

Sepatu las berguna untuk melindungi kaki dari semburan bunga api, Bila tidak ada sepatu las, sepatu biasa yang tertutup seluruhnya dapat juga dipakai.

• Masker Las

Jika tidak memungkinkan adanya kamar las dan ventilasi yang baik, maka gunakanlah masker las, agar terhindar dari asap dan debu las yang beracun.

2 Mesin polish

Sebelum melakukan pengamatan struktur mokro denga mikroskop optic, dilakukan surface polishing dengan mesin polish.

Merek mesin polish : Marumoto Metalographi Pregrinder Model : 6528-B: No.8185: 220 Volt : 50 Hz

Mesin polish ini terdapat pada laboratorium Teknik Metalurgi Universitas Sumatra Utara di Medan.

Gambar 3.2 Mesin Polish 3.3 Langkah – Langkah Penelitian

Adapun Metode langkah – langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagaiberikut:

1) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari literatur – literatur yang sesuai, sehingga dapat mempermudah dalam proses penelitian dan analisa data penelitian.

2) Proses Pengelasan

Untuk melaksanakan proses pengelasan dalam penelitian ini, ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu:


(5)

49 • Penyiapan alat

• Penentuan Ampere Meter • Proses Pengelasan

Langkah-langkahyangdilakukandalamprosespengelasanadalah:

• Mempersiapkan mesin las SMAW DC sesuai dengan pemasangan polaritas terbalik.

• Mempersiapkan benda kerjayangakandilaspadamejalas.

• Posisi pengelasan dengan menggunakan posisi pengelasan mendatar atau bawahtangan dan gerakan elektroda pola zig-zag

• Posisi pengelasan dengan menggunakan posisi pengelasan atas kepala dan gerakan elektroda pola C

KampuhyangdigunakanjeniskampuhVterbuka,dengansudut450, denganlebarcelah ±5mm.

• Mempersiapkan elektroda sesuai dengan arus dan ketebalan plat, dalam penelitian ini dipilih elektroda jenis E308L dan elektroda jenis E309L

• Menyetelamperemeteryangdigunakanuntukmengukurarusyang sudah di tentukan, kemudian salahsatupenjepitnyadijepitkanpada kabelyang digunakan untukmenjepit elektroda. Mesin las dihidupkan dan elektroda digoreskan sampai menyala.Ampere meter diatur pada angka yang sudah ditentkan. Selanjutnyamulaidilakukan pengelasan untuk specimen.

3) Metode Penelitian

Analisa dan pembahasan dilakukan terhadap hasil pengujian yang dilakukan. Hasil pengujian yang dianalisa adalah sebagai berikut:

Hardness Test Photo Mikro

3.3.1 Pengujian Struktur Mikro

Mikro optic digunakan untuk mengamati struktur mikro pada daerah antar muka (interface) dengan pembesaran 200 kali.

Pengujian ini menggunakan reflected Metallurgical Microscope dengan type Rax Vision No.545491,MM-10A,230V-50Hz. Mikroskop optic dapat dilhat pada gambar 3.3


(6)

50 Gambar 3.3 Alat Uji PhotoMikro (Mikroskop optic)

Adapun prosedur pengujian sebagai berikut : • Cutting (Pemotongan)

Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya.

Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua yaitu teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda dan teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed diamondsaw. Sebagai contoh, untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.


(7)

51 • Grinding (Pengamplasan)

Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah ke nomor mesh yang tinggi (200 hingga 1500 mesh). Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas.

Polishing (Pemolesan)

Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan. Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidak teraturan sampel. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus.

Etching (Etsa)

Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat

• Etsa Kimia


(8)

52 Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya antara lain : nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 95%), picral (asam picric + alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa waktu etsa jangan terlalu lama (umumnya sekitar 4 – 30 detik).

Gambar 3.4 Spesimen Etsa Kimia

Setelah dietsa, kemudian spesimen segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan.

Gambar 3.5 Spesimen Setelah di Etsa Langkah-langkah pengujian struktur mikro :

a. Nyalakan mikroskop dengan menekan ON pada power switch b. Letakan spesimen pada stage

c. Pilih cahaya yang sesuai dengan memutar light intensity control knop d. Pilih pembesaran lensa objektif dengsn memutar revolving nose pience e. Lihat gambar pada eye piece yaitu pada lensa okuler

f. Fokuskan gambar

g. Pilih lokasi yang akan diinginkan dengan memutar stage drive control knop h. Pemotretan: Lihat hasil pemotretan pada layar komputer yang sudah di install

dengan program Rax Vision


(9)

53 3.3.2 Pengujian Kekerasan (Hardness Test)

Percobaan uji kekerasan (Hardness Test) yang akan dilakukan adalah percobaan kekerasan dengan cara mekanis statis (bukan mekanis dinamis) dan itu meliputi cara-cara Rockwell, Brinell dan Vickers. Ketiga cara tersebut diatas berdasarkan pada cara penekanannya (indentation) suatu benda yang tidak terdeformasi kedalam permukaan logam yang diuji (specimen) kekerasannya, sehingga terjadi suatu bekas penekanan (lekukan) yang kemudian dijadikan dasar untuk penilaian kekerasannya. Penekanan dilakukan sampai lekukan yang bersifat tetap. Logam yang diuji akan lebih keras bila bekas yang terjadi lebih kecil.

Alat yang dipergunakan untuk melakukan uji kekerasan suatu logam yang dilakukan dengan menggunakan uji kekerasan Rockwell digunakan alat yang bernama Rockwell Hardness Test. Alat pengujian Rockwelldapat dilihat pada gambar 3.6

Gambar 3.6 Alat Uji Rockwell Spesifikasi alat pengujian :

Type : Future –Tech LC-200RB Scale : 15Y

Load : 15 Kg/f

Bola indentasi : Steel Ball ½’

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian kekerasan dengan metode Rockwell :

Power dihidupkan hingga layar menyala. Masukan spesifikasi pengujian sesuai standart. Letakkan spesimen uji pada landasan uji.


(10)

54 • Atur jarak antara benda uji dengan indentor dengan jarak kurang dari 8mm Tekan “START” data hasil uji keluar di layar, Indentor kembali ke posisi

semula.

• Pengambilan data diulangi sebanyak 5 kali untuk masing-masing spesimen dan diambil nilai rata-ratanya.

Gambar 3.7 Spesimen Setelah Uji Kekerasan


(11)

55 Gambar 3.8Diagram Alir Penelitian

Start

Proses pengelasan SMAW Menggunakan

Elektroda E 308L Berdiameter 2,6 mm

- Arus 85 A - Arus 95 A - Arus 105 A - Arus 115 A

Proses Pengelasan SMAW Menggunakan

Elektroda E 308L Berdiameter 3,2mm

- Arus 85 A - Arus 95 A - Arus 105 A - Arus 115A Persiapan Spesiment

Pembentukan Spesimen Uji

Uji Struktur Mikro Uji Kekerasan

Hasil dan Analisa

Kesimpulan

Selesai


(12)

56 BAB IV

HASIL DAN ANALISA

4.1 Pendahuluan

Pada bab ini akan membahas mengenai hasil dari pengujian yang dilakukan pada spesimen,Setelah melakukan tahapan–tahapan seperti pada metodologi penelitian, maka didapatnilai-nilai pengujian.

4.2 Hasil Pengujian

Hasil pengujian pada penelitian ini meliputi hasil : 1.Uji Hardness (Uji kekerasan)

2.Metalografy (photo mikro)

4.3 Hasil Pengujian kekerasan (hardness)

Pengujian kekerasan terhadap spesimen stainless steel Aisi 304menggunakan metode Rockwell Hardness Test cara pengujian kekerasan menggunakan alat ukur Equatip Hardnessn Tester, hasil pengujian sampel langsung tertera di monitor alat, sampel diukur sampai lima kali dan diambil rata-ratanya.

Tabel 4.1 Nilai kekerasn (HRB) dengan elektroda E 308L diameter 2,6 mm

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai kekerasan (HRB) dengan elektroda E308L diameter 2,6 mm adalah nilai kekerasan rata-rata tertinggi pada spesimen dengan arus 95 A adalah 84,58 HRB sedangkan nilai kekerasan rata-rata terendah pada spesimen dengan arus 115 A adalah 82,91 HRB

Sampel Nilai Kekerasan (HRB) Kekerasan Rata-rata

(HRB) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5

I/26 82,33 84,58 82,96 85,15 84,49 83,90

II/26 84,94 78,76 86,26 85,17 87,79 84,58 III/26 83,27 81,93 87,85 81,88 84,85 83,96 IV/26 82,05 82,32 82,18 83,78 84,22 82,91


(13)

57 Gambar 4.1 Grafik nilai kekerasan rata-rata (HRB) dengan elektroda E 308L

diameter 2,6 mm

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa nilai kekerasan rata-rata dengan elektroda E308L diameter 2,6 mm adalah nilai kekerasan rata-rata tertinggi pada spesimen dengan arus 95 A adalah 84,58 HRB sedangkan nilai kekerasan rata-rata terendah pada spesimen dengan arus 115 A adalah 82,91 HRB

Tabel 4.2 Nilai kekerasn (HRB) dengan elektroda E 308L diameter 3,2 mm

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai kekerasan (HRB) dengan elektroda E308L diameter 3,2 mm adalah nilai kekerasan rata-rata tertinggi pada spesimen dengan arus 85 A adalah 85,86 HRB sedangkan nilai kekerasan rata-rata terendah pada spesimen dengan arus 115 A adalah 81,18 HRB

82 82,5 83 83,5 84 84,5 85

I/26 II/26 III/26 IV/26

Series 1

Series 1

Sampel Nilai Kekerasan (HRB) Kekerasan Rata-rata (HRB) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5

I/32 85,78 85,78 85,96 85,54 86,22 85,86 II/32 82,22 82,71 81,88 80,73 81,06 81,72 III/32 81,40 81,44 81,65 80,80 83,66 81,79 IV/32 80,16 82,87 81,29 80,48 81,08 81,18


(14)

58 Gambar 4.2 Grafik nilai kekerasan rata-rata (HRB) dengan elektroda E 308L

diameter 3,2 mm

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa nilai kekerasan dengan elektroda E 308L diameter 3,2 mm adalah nilai kekerasan rata-rata tertinggi pada spesimen dengan arus 85 A adalah 85,86 HRB sedangkan nilai kekerasan rata-rata terendah pada spesimen dengan arus 115 A adalah 81,18 HRB

4.4 Hasil Pengamatan Struktur Mikro

Pengamatan terhadap struktur mikro dilakukan untuk mengetahui truktur mikro maupun ukuran butir sehingga dapat mengetahui perubahan dan fenomena-fenomena yang terjadi pada hasil lasan.

Tabel 4.3 Spesifikasi spesimen

Spesimen Pembesaran (X) Arus Diameter

I 200 85 26

II 200 95 26

III 200 105 26

IV 200 115 26

V 200 85 32

VI 200 95 32

VII 200 105 32

VIII 200 115 32

78 80 82 84 86 88

I/32 II/32 III/32 IV/32

Series 1

Series 1


(15)

59 Spesimen I

Gambar 4.3 Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 2,6 mm dan arus 85 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 2,6 mm variasi arus 85 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap), struktur mikro ferit lebih dominan dari struktur mikro ferlit. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong sedikit.

Spesimen II

Ferli

Ferit Porositas

Ferit

Ferli

Porositas


(16)

60 Gambar 4.4 Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 2,6 mm dan

arus 95 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 2,6 mm variasi arus 95 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap).Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong banyak, hal ini disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.

Spesimen III

Gambar 4.5Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 2,6 mm dan arus 105 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 2,6 mm variasi arus 105 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap). Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong lebih banyak, hal ini

Porosita

Ferit Ferlit


(17)

61 disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.

Spesimen IV

Gambar 4.6Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 2,6 mm dan arus 115 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 2,6 mm variasi arus 115 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap). Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong lebih banyak, hal ini disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.

Spesimen V

Ferlit

Porositas

Ferit

Porositas

Ferlit Ferit


(18)

62 Gambar 4.7 Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 3,2 mm dan

arus 85 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 3,2 mm variasi arus 85 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap). Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong lebih banyak, hal ini disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.

Spesimen VI

Gambar 4.8 Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 3,2mm dan arus 95 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 3,2 mm variasi arus 95 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap). Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong lebih banyak. Hal ini

Ferit

Porosita

Ferlit


(19)

63 disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.

Spesimen VII

Gambar 4.9Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 3,2 mm dan arus 105 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 3,2 mm variasi arus 105 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap). Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong lebih banyak, hal ini disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.

Spesimen VIII

Porositas

Ferit Ferlit Ferlit Porositas

Ferit


(20)

64 Gambar 4.10Hasil foto mikro dengan elektroda E 308L diameter 3,2 mm dan

arus 115 A

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang di pakai percobaan pada pengelasan SMAW dengan menggunakan Stainless Steel Aisi 304 dengan elektroda E308L diameter 3,2 mm variasi arus 115 A, akan menghasilkan struktur mikro berupa ferit (daerah terang) dan perlit (daerah gelap).Butiran felrit dan ferit lebih besar dan panduannya lebih homogen. Bintik-bintik hitam merupakan bentuk dari penyusutan daging lasan yang disebut dengan porositas. Pada gambar tersebut porositas yang terdapat pada spesimen tergolong lebih besar dan banyak, hal ini disebabkan karena semakin besar arus yang dipakai untuk pengelasan maka porositas akan semakin banyak.


(21)

65 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Variasi arus dan diameter elektroda yang dipakai saat dilakukan pengelasan pada spesimen dapat mempengaruhi besarnya nilai HRB nya. Dari hasil pengujian kekerasan diproleh nilai kekerasaan untuk spesimen Stainless Steel Aisi 304dengan elektroda E 308L diameter 2,6 mm arus 85 A,95 A,105 A,115 A, nilai kekerasan yang paling tinggi adalah 95 A (84,58 HRB),sedangkan pada elektroda diameter 3,2 mm dengan arus sama dengan diameter 2,6 mm nilai kekerasan yang paling tinggi adalah dengan arus 85 A (85,86 HRB), maka sebaiknya dapat dipakai dalam pengelasan ini dengan elektroda diameter 3,2 mm arus 85 A, karena memiliki nilai kekerasan paling tinggi dibandingkan ketika memakai elektroda diameter 26 mm b. Variasi arus dan diameter ektroda yang dipakai saat pengelasan dapat

mempengaruhi hasil photo mikro. Dari hasil pengujian photo mikro maka semakin besar arus dan diameter yang dipakai akan semakin banyak juga terjadinya porositas.

5.2 SARAN

a. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, sebaiknya alat-alat penelitian hendaknya harus memadai dan alat yang sudah rusak diperbaiki atau diganti dengan yang baru sehingga ketelitian hasil pengujian lebih maksimal dan akurat.

b. Sebaiknya dilakukan pemanasan elektroda terlebih dahulu sebelum dilakukan pengelasan untuk menghilangkan hidrogen yang ada pada flux, karena hidrogen akan menyebabkan hasil lasan berkualitas jelek.

c. Lebih teliti dalam melakukan proses pengelasan.


(22)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja

2.1.1 Sejarah Baja

Baja adalah logam paduan, logam besi sebagai unsur dasar dengan beberapa elemen lainnya, termasuk karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja berkisar antara 0.2% hingga 2.1% berat sesuai grade-nya. Elemen berikut ini selalu ada dalam baja: karbon, mangan, fosfor, sulfur, silikon, dan sebagian kecil oksigen, nitrogen dan aluminium. Selain itu, ada elemen lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa jenis baja diantaranya: mangan, nikel, krom, molybdenum, boron, titanium, vanadium dan niobium. Dengan memvariasikan kandungan karbon dan unsur paduan lainnya, berbagai jenis kualitas baja bisa didapatkan. Fungsi karbon dalam baja adalah sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal (crystal lattice) atom besi. Baja karbon ini dikenal sebagai baja hitam karena berwarna hitam, banyak digunakan untuk peralatan pertanian misalnya sabit dan cangkul.

Sebelum diperkenalkannya metode produksi Bessmer dan berbagai teknik produksi modern lainnya, baja termasuk material yang mahal dan hanya digunakan ketika tidak ada material alternatif yang lebih murah, khususnya untuk bagian tajam dari pisau, alat pencukur, dan pedang, dan berbagai alat perkakas yang membutuhkan bagian yang keras dan tajam. Baja pada saat itu juga digunakan untuk pegas, termasuk pegas yang digunakan pada jam.

Dengan berkembangnya metode produksi yang lebih cepat dan ekonomis, baja menjadi lebih mudah didapat dan menjadi jauh lebih murah. Baja telah menggantikan penggunaan bongkah besi dalam berbagai hal. Pada abad 20 dengan ditemukannya plastik, penggunaan baja untuk beberapa aplikasi dapat tergantikan, dikarenakan plastik lebih murah dan lebih ringan. Fiber karbon juga menggantikan baja untuk berbagai aplikasi yang lebih memprioritaskan berat yang ringan daripada harga ekonomis, seperti pada pesawat terbang, peralatan olah raga dan kendaraan mewah.


(23)

7 2.1.2 Sifat-sifat Baja

Baja mempunyai sejumlah sifat yang membuatnya menjadi baqhan bangunan yang sangat berharga. Beberapa sifat baja yang penting adalah:

Kekuatan.

Baja mempunyai daya tarik,lengkung, dan tekan yang sangat besar. Pada setiap partai baja, pabrikan baja menandai beberapa besar daya kekuatan baja itu. Pabrikan baja misalnya, memasukan satu partai baja batangan dan mencatumkan pada baja itu Fe 360. di sini Fe menunjukan bahwa partai itu menunjukkan daya kekuatan (minimum) tarikan atau daya tarik baja itu. Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah gaya tarik N yang dapat dilakukan baja bergaris tengah 1 mm2 sebelum baja itu menjadi patah. Dalam hal ini daya tarik itu adalah 360 N/mm2. dahulu kita mencantumkan daya tarik baja itu Fe 37, karena daya tariknya adalah 37 kgf/mm2. karna smengandung sedikit kadar karbon, maka semua jenis baja mempunyai daya tarik yang kuat. Oleh karna daya tarik baja yang kuat maka baja dapat menahan berbagai tegangan, seperti tegangan lentur. • Kekerasan

Baja itu sangat keras sekali sehingga sebagai bahan konstruksi, baja mungkin saja untuk digunakan berbagai tujuan. Apabila untuk produk-produk baja tertentu ada suatu keharusan,maka bisa saja baja itu, dengan cara dipanaskan,dibuat luar biasa kerasnya.

Ketahanan terhadap korosi

Tanpa perlindungan, baja sangat cepat berkarat. Untung saja baja diberikan perlindungan yang sangat efektif dengan berbagai cara.

• Perawatan dengan panas

Kekerasan yang lebih besar adalah sangat penting untuk benda-benda tertentu yang dibuat dari baja. Yang dimaksud dari kekerasan suatu bahan adalah ketahananannya terhadap bisa atau tidak dimasuki oleh bahan lain. Untuk dapat mencapai kekerasan yang tinggi, maka diperlukan sistim perawatan dengan panas khusus yang disebut ‘pengerasan’ . sebuah benda baru dapat dikuatkan sesudah benda itu diproduksikan. Ada beberapa cara untuk mengeraskan:

- Mengeraskan secara mendalam:Benda dari baja baik bagian luar maupun bagian dalam dibuat menjadi sangat keras.


(24)

8 - Mengeraskan permukaan :Hanya bagian luar saja yang keras sedangkan bagian

intinya tidak.

• Pengerasan yang mendalam

Pada pengerasan mendalam, benda yang sudah terbentuk, dipanaskan dengan temperature yang cukup tinggi. Kemudian dengan cepat didinginkan; tindakan ini disebut ‘mengejutkan’baja. Pendinginan ini bisa dilakukan di dalam air,minyak atau udara. Benda itu menjadi keras bukan hanya bagian luar saja, tetapi juga intinya menjadi keras benar. Dengan cara ini baja baja menjadi cepat rapuh; berarti baja itu dapat cepat patah. Kita semua paham betapa mudah patahnya ulir mata bor dari baja yang berukuran kecil.

• Pengerasan permukaan

Untuk peralatan-peralatan tertentu hanya bagian luarnya saja yang harus dikeraskan. Untuk dapat menerima tekanan yang besar, inti benda ini harus tetep lentur. Hal ini dapat dicapai dengan hanya mengeraskan bagian permukaan dari benda tersebut. Pengerasan permukaan dipakai pada poros engkol (crankshaft), kopling akar,cacing,roda cacing, dan gigi cacing.

• Tempering

Tempering adalah memanaskan baja yang sudah diperkeras dengan temperature yang cukup rendah (180oC), diikuti dengan pendinginan secara perlahan-lahan. Tempering dilakukan dengan tujuan memberikan struktur yang lebih merata pada bahan itu. Lewat proses ini maka baja yang telah diperkeraskan tadi hanya sedikit saja yang diperlunak, tetapi baja itu menjadi tidak begitu rapuh. Karena tempering, produk tersebut menjadi terhindar dari perubahan bentuk (pertambahan isi) sebagai kibat proses pengerasan. Hal ini, terutama ukuran akhir dan semacamnya sangat penting untuk alat pengukur yang tepat seperti caliber.

2.1.3 Jenis – jenis Baja

Baja secara umum dapat dikelompokkan atas 2 jenis yaitu : • Baja karbon (Carbon steel)

Baja paduan (Alloy steel) 1) Baja Karbon (carbon steel) Baja karbon dapat terdiri atas :


(25)

9 a. Baja karbon rendah (low carbon steel)

Machine, machinery dan mild steel (0,05 % – 0,30% C ) Sifatnya mudah ditempa dan mudah di mesin. Penggunaannya:

• 0,05 % – 0,20 % C : automobile bodies, buildings, pipes, chains, rivets, screws, nails.

• 0,20 % – 0,30 % C : gears, shafts, bolts, forgings, bridges, buildings b. Baja karbon menengah (medium carbon steel )

• Kekuatan lebih tinggi daripada baja karbon rendah. • Sifatnya sulit untuk dibengkokkan, dilas, dipotong. Penggunaan:

0,30 % – 0,40 % C : connecting rods, crank pins, axles.

0,40 % – 0,50 % C : car axles, crankshafts, rails, boilers, auger bits, screwdrivers.

0,50 % – 0,60 % C : hammers dan sledges c. Baja karbon tinggi (high carbon steel)

Sifatnya sulit dibengkokkan, dilas dan dipotong. Kandungan 0,60 % – 1,50 % C.

2) Baja Paduan (Alloy steel)

Tujuan dilakukan penambahan unsur yaitu:

• Untuk menaikkan sifat mekanik baja (kekerasan, keliatan, kekuatan tarik dan sebagainya).

• Untuk menaikkan sifat mekanik pada temperatur rendah.

• Untuk meningkatkan daya tahan terhadap reaksi kimia (oksidasi dan reduksi).

• Untuk membuat sifat-sifat spesial.

Baja paduan yang diklasifikasikan menurut kadar karbonnya dibagi menjadi: • Low alloy steel, jika elemen paduannya 2,5 % .

Medium alloy steel, jika elemen paduannya 2,5 – 10 %. High alloy steel, jika elemen paduannya > 10 %.

Baja paduan juga dibagi menjadi dua golongan yaitu baja campuran khusus (special alloy steel) &high speed steel.


(26)

10 3) Baja Paduan Khusus (special alloy steel)

Baja jenis ini mengandung satu atau lebih logam-logam seperti nikel, chromium, manganese, molybdenum, tungsten dan vanadium. Dengan menambahkan logam tersebut ke dalam baja maka baja paduan tersebut akan merubah sifat-sifat mekanik dan kimianya seperti menjadi lebih keras, kuat dan ulet bila dibandingkan terhadap baja karbon (carbon steel).

4) High Speed Steel (HSS) Self Hardening Steel

Kandungan karbon : 0,70 % – 1,50 %. Penggunaan membuat alat-alat potong seperti drills, reamers, countersinks, lathe tool bits dan milling cutters. Disebut High Speed Steel karena alat potong yang dibuat dengan material tersebut dapat dioperasikan dua kali lebih cepat dibanding dengan carbon steel. Sedangkan harga dari HSS besarnya dua sampai empat kali dari pada carbon steel.

Jenis Lainnya:

• Baja dengan sifat fisik dan kimia khusus: • Baja tahan garam (acid-resisting steel) Baja tahan panas (heat resistant steel) Baja tanpa sisik (non scaling steel) Electric steel

Magnetic steel Non magnetic steel

Baja tahan pakai (wear resisting steel) • Baja tahan karat/korosi

Dengan mengkombinasikan dua klasifikasi baja menurut kegunaan dan komposisi kimia maka diperoleh lima kelompok baja yaitu:

Baja karbon konstruksi (carbon structural steel) Baja karbon perkakas (carbon tool steel)

Baja paduan konstruksi (Alloyed structural steel) Baja paduan perkakas (Alloyed tool steel)

Baja konstruksi paduan tinggi (Highly alloy structural steel)


(27)

11 2.1.4 Baja Stainless

Baja stainless merupakan baja paduan yang mengandung minimal 10,5% Cr. Sedikit baja stainless mengandung lebih dari 30% Cr atau kurang dari 50% Fe. Karakteristik khusus baja stainless adalah pembentukan lapisan film kromium oksida (Cr2O3). Lapisan ini berkarakter kuat,tidak mudah pecah dan tidak terlihat secara kasat mata. Lapisan kromium oksida dapat membentuk kembali jika lapisan rusak dengan kehadiran oksigen. Pemilihan baja stainless didasarkan dengan sifat-sifat materialnya antara lain ketahanan korosi, fabrikasi, mekanik, dan biaya produk. Penambahan unsur-unsur tertentu kedalam baja stainless dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Penambahan Molibdenum (Mo) bertujuan untuk memperbaiki ketahanan korosi pitting dan korosi celah

2. Unsur karbon rendah dan penambahan unsur penstabil karbida (titanium atau niobium) bertujuan menekan korosi batas butir pada material yang mengalami proses sensitasi.

3. Penambahan kromium (Cr) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan oksida (Cr2O3) dan ketahanan terhadap oksidasi temperatur tinggi.

4. Penambahan nikel (Ni) bertujuan untuk meningkatkan ketahanan korosi dalam media pengkorosi netral atau lemah. Nikel juga meningkatkan keuletan dan mampu bentuk logam. Penambahan nikel meningkatkan ketahanan korosi tegangan.

5. Unsur aluminium (Al) meningkatkan pembentukan lapisan oksida pada temperature tinggi.

2.1.4.1 Baja Stainless Martensitik.

Baja ini merupakan paduan kromium dan karbon yang memiliki struktur martensit body-centered cubic (bcc) terdistorsi saat kondisi bahan dikeraskan. Baja ini merupakan ferromagnetic, bersifat dapat dikeraskan dan umumnya tahan korosi di lingkungan kurang korosif. Kandungan kromium umumnya berkisar antara 10,5 – 18%, dan karbon melebihi 1,2%. Kandungan kromium dan karbon dijaga agar mendaptkan struktur martensit saat proses pengerasan. Karbida


(28)

12 berlebih meningkatkan ketahanan aus. Unsur niobium, silicon,tungsten dan vanadium ditambah untuk memperbaiki proses temper setelah proses pengerasan. Sedikit kandungan nikel meningkatkan ketahan korosi dan ketangguhan.

2.1.4.2 Baja Stainless Ferritik

Baja jenis ini mempunyai struktur body centered cubic (bcc). Unsur kromium ditambahkan ke paduan sebagai penstabil ferrit. Kandungan kromium umumnya kisaran 10,5 – 30%. Beberapa tipe baja mengandung unsur molybdenum, silicon, aluminium, titanium dan niobium. Unsur sulfur ditambahkan untuk memperbaiki sifat mesin. Paduan ini merupakan ferromagnetic dan mempunyai sifat ulet dan mampu bentuk baik namun kekuatan di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan baja stainless austenitic. Kandungan karbon rendah pada baja ferritik tidak dapat dikeraskan dengan perlakuan panas.

Tingkat kekerasan beberapa tipe baja stainless ferritik dapat ditingkatkan dengan cara celup cepat. Metode celup cepat merupakan proses pencelupan banda kerja secara cepat dari keadaan temperature tinggi ke temperature ruang. Sifat mampu las, keuletan, ketahanan korosi dapat ditingktakan dengan mengatur kandungan tertentu unsur karbon dan nitrogen.

2.1.4.3 Baja Stainless Austenitik

Baja Stainless austenititk merupakan paduan logam besi-krom-nikel yang mengandung 16-20% kromium, 7-22%wt nikel, dan nitrogen. Logam paduan ini merupakan paduan berbasis ferrous dan struktur kristal face centered cubic (fcc). Struktur kristal akan tetap berfasa austenit bila unsur nikel dalampaduan diganti mangan (Mn) karena kedua unsur merupakan penstabil fasa austenit. Fasa austenitic tidak akan berubah saat perlakuan panas anil kemudian didinginkan pada temperatur ruang. Baja stainless austenitik tidak dapat dikeraskan melalui perlakuan celup cepat (quenching). Umumnya jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat asutenitik pada temperature ruang, lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi lebih baik dibandingkan baja stainless ferritik dan martensit.

Baja stainless austenitic hanya bisa dikeraskan melalui pengerjaan dingin. Material ini mempunyai kekuatan tinggi di lingkungan suhu tinggi dan bersifat


(29)

13 cryogenic. Tipe 2xx mengandung nitrogen, mangan 4-15,5%wt, dan kandungan 7%wt nikel. Tipe 3xx mengandung unsur nikel tinggi dan maksimal kandungan mangan 2%wt. Unsur molybdenum, tembaga, silicon, aluminium,titanium dan niobium ditambah dengan karakter material tertentu seperti ketahanan korosi sumuran atau oksidasi. Sulfur ditambah pada tipe tertentu untuk memperbaiki sifat mampu mesin.

Salah satu jenis baja stainless austenitic adalah AISI 304. Baja austenitic ini mempunyai struktur kubus satuan bidang (face center cubic) dan merupakan baja dengan ketahanan korosi tinggi. Komposisi unsur – unsur pemadu yang terkandung dalam AISI 304 akan menentukan sifat mekanik dan ketahanan korosi. Baja AISI 304 mempunyai kadar karbon sangat rendah 0,08%wt. Kadar kromium berkisar 18-20%wt dan nikel 8-10,5%wt yang terlihat pada Tabel 1. Kadar kromium cukup tinggi membentuk lapisan Cr2O3 yang protektif untuk meningkatkan ketahanan korosi. Komposisi karbon rendah untuk meminimalisai sensitasi akibat proses pengelasan.

Tabel 2.1 Komposisi kimia stainless steel AISI 304 Unsur %wt

C 0,08

Mn 2

P 0,45

S 0,03

Si 0,75

Cr 18-20

Ni 8-10,5

Mo 0

Ni 0,10

Cu 0

Fe Balance

Komposisi kandungan unsure dalam baja AISI 304 tersebut diperoleh sifat mekanik material yang ditunjukan pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Sifat mekanikstainless steel AISI 304


(30)

14 Poison Tensile Yield Elong Hard Mod Density

0,27-0,30 515 205 40 88 193 8

Keterangan :

Poison : Rasio Poison

Tensile : Tensile strength (MPa) Yield : Yield Strength (MPa) Elong : elongation %

Hard : Kekerasan (HVN)

Mod : Modulus elastisitas (GPa) Density : berat jenis (Kg/m3)

Tabel 2.3 Sifat fisik dan listrik stainless stell AISI 304 pada kondisi annealed Thermal

ekspansi (10-6/ºC)

Thermal konduktivitas (W/m-K)

Spesific heat (J/kg-K)

Resistivitas (10-9W-m)

17,2 16,2 500 720

2.1.4.4 Baja Stainless Dupleks

Jenis baja ini merupakan paduan campuran struktur ferrite (bcc) dan austenit. Umumnya paduan-paduan didesain mengandung kadar seimbang tiap fasa saat kondisi anil. Paduan utama material adalah kromium dan nikel, tapi nitrogen, molybdenum,tembaga,silicon dan tungsten ditambah untuk menstabilkan struktur dan memperbaiki sifat tahan korosi. Ketahanan korosi baja stainless dupleks hampir sama dengan baja stainless austenitik. Kelebihan baja stainless dupleks yaitu nilai tegangan tarik dan luluh tinggi dan ketahanan korosi retak tegang lebih baik dari pada baja stainless austenitik. Ketangguhan baja stainless dupleks antara baja austenitic dan ferritik.

2.1.4.5 Baja Stainless Pengerasan Endapan

Jenis baja ini merupakan paduan unsure utama kromium-nikel yang mengandung unsur precipitation-hardening antara lain tembaga, aluminium, atau


(31)

15 titanium. Baja ini berstruktur austenitic atau martensitik dalam kondisi anil. Kondisi baja berfasa austenitic dalam keadaan anil dapat diubah menjadi fasa martensit melalui perlakuan panas. Kekuatan material melalui pengerasan endapan pada struktur martensit.

2.2 Pengelasan

2.2.1 Sejarah Pengelasan

Berdasarkan penemuan benda-benda sejarah dapat diketahui bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak zaman prasejarah, misalnya pematrian timbal-timah menurut keterangan yang didapat telah diketahui dan dipraktekan dalam rentang waktu antara 4000 sampai 3000SM. Sumber energi panas yang dipergunakan pada waktu itu diduga dihasilkan dari pembakaran kayu atau arang. Berhubung suhu yang diperoleh dengan pembakaran kayu dan arang sangat rendah maka teknik penyambungan ini pada waktu itu tidak dikembangkan lebih lanjut.

Setelah energi listrik dapat dipergunakan dengan mudah, teknologi pengelasan maju dengan pesat sehingga menjadi suatu teknik penyambungan yang mutakhir. Cara-cara dan teknik pengelasan yang banyak digunakan pada waktu ini seperti las busur,las resistansi listrik, las termit dan las gas, pada umumnya diciptakan pada akhir abad ke-19.

Alat-alat busur dipakai secara luas setelah alat tersebut digunakan dalam praktek oleh Benardes dalam tahun 1885. Dalam penggunaan yang pertama ini Benardes memakai elektroda yang dibuat dari batang karbon atau grafit. Dengan mendekatkan elektroda kelogam induk atau logam yang akan dilas sejarak kira-kira 2 mm, maka terjadi busur listrik yang merupakan sumber panas dalam proses pengelasan. Karena panas yang timbul, maka logam pengisi yang terbuat dari logam yang sama dengan logam induk mencair dan mengisi tempat sambungan.

Dalam tahun 1889 Zerner mengembangkan cara pengelasan busur yang baru dengan menggunakan busur listrik yang dihasilkan oleh dua batang karbon. Dengan cara ini busur yang dihasilkan ditarik ke logam dasar oleh gaya elektromagnit sehingga terjadi semburan busur yang kuat.


(32)

16 Slavianoff dalam tahun 1892 adalah orang pertama yang menggunakan kawat logam elektroda yang turut mencair karena panas yang ditimbulkan oleh busur listrik yang terjadi. Dengan penemuan ini maka elektroda di smping berfungsi sebagai penghantar dan pembangkit busur listrik juga berfungsi sebagai logam pengisi. Kemudian Kjellberg menemukan bahwa kualitas sambungan las menjadi lebih baik bila kawat elektroda logam yang digunakan dibungkus dengan terak. Penemuan ini adalah permulaan dari penggunaan las busur dengan elektroda terbungkus yang sangat luas penggunaanya pada waktu ini.

Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai sampai dengan tahun 1950, telah mulai mempercepat lagi kemajuan dalam bidang las. Karena itu, tahun 1950 dapat dianggap sebagai permulaan masa keemasan yang ketiga yang masih terus berlangsung terus sampai sekarang. Selama masa keemasan yang ketiga ini telah ditemukan cara-cara las baru antara lain las tekan dingin, las listrik terak, las busur dengan perlindungan gas CO2, las gesek, las ultrasonik, las sinar elektron, las busur plasma, las laser dan masih banyak lagi lainnya. Jumlah penemuan pada tahun-tahun tertentu dan jenis pengelasan yang ditemukan dipergunakan dalam praktek pada waktu ini, sebagian masih memerlukan perbaikanyang mungkin dalam waktu yang dekat akan menjadi lebih bermanfaat dan dapat merupakan sumbangan yang berharga kepada kemajuan teknologi las.


(33)

17 Gambar. 2.1 Perkembangan cara pengelasan (Wiryosumarto,2004)

2.2.2 Pengertian las

Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Pada waktu itu telah digunakan lebih dari 40 jenis pengelasan termasuk pengelasan yang dilaksanakan dengan hanya menekan dua logam yang disambung sehingga terjadi ikatan antara atom-atom atau molekul-molekul dari logam yang disambungkan.

Pengelasan dapat diartikan dengan proses penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam, dengan atau tanpa menggunakan bahan tambah dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas. Pengelasan juga dapat diartikan sebagai ikatan tetap dari benda atau logamyangdipanaskan.

Mengelas bukan hanya memanaskan dua bagian benda sampai mencairdanmembiarkanmembekukembali,tetapimembuatlasanyangutuh

dengancaramemberikanbahantambahatauelektrodapadawaktudipanaskan sehingga mempunyai kekuatan seperti yang dikehendaki. Kekuatan

sambunganlasdipengaruhibeberapafaktorantaralain:prosedurpengelasan, bahan,elektrodadanjeniskampuh yangdigunakan.

2.2.3 Klasifikasi Cara-cara Pengelasan dan Pemotongan

Sampai pada waktu ini banyak sekali cara-cara pengklasifikasian yang digunakan dalam bidang las, ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan dalam hal tersebut. Secara konvesional cara-cara pengklasifikasiaan tersebut pada waktu ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu klasifikasi berdasarkan cara kerja dan klasifikasi berdasarkan energi yang digunakan. Klasifikasi pertama membagi las dalam kelompok las cair, las tekan, las patri dan lain-lainnya, sedangkan klasifikasi yang kedua membedakan adanya kelompok-kelompok seperti las listrik, las kimia, las mekanik dan seterusnya. Bila diadakan


(34)

18 klasifikasiyang lebih terperinci lagi, maka kedua klasifikasi tersebut di atas akan terbaur dan akan terbentuk kelompok-kelompok yang banyak sekali.

Di antara kedua cara klasifikasi tersebut, kelihatannya klasifikasi berdasarkan cara kerja lebih banyak digunakan, berdasarkan klasifikasi ini pengelasan dapat dibagi dalam tiga kelas utama yaitu :

• Pengelasan cair adalah cara pengelasan di mana sambungan dipanaskan sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau semburan api gas yang terbakar.

• Pengelasan tekan adalah cara pengelasan di mana sambungan dipanaskan dan kemudian ditekan hingga menjadi satu.

• Pematrian adalah cara pengelasan di mana sambungan diikat dan disatukan dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah. Dalam cara ini logam induk tidak turut mencair.

Perincian lebih lanjut dari klasifikasi ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Berdasarkan klasifikasi dalam tabel tersebut, beberapa cara pengelasan yang banyak dilaksanakan pada waktu ini diterangkan lebih terperinci dalam pasal-pasal berikut.


(35)

19 Gambar 2.2. Klasifikasi Cara Pengelasan

2.2.4 LasSMAW(ShieldedMetalArcWelding)

Las tistrik ini menggunakan elektroda berselaput sebagai bahan tambah. Busur listrik yang terjadi diantara ujung elektroda dan bahan dasar akan mencairkan ujung elektroda dan sebagian bahan dasar. Selaput elektroda yang turut terbakar akan mencair dan menghasilkan gas yang melindungi ujung elektroda, kawah Ias, busur Iistri dan daerah Ias di sekitar busur listrik terhadap pengaruh udara luar. Cairan selaput elektroda yang membeku akan menutupi permukaan Ias yang juga berfungsi sebagai pelindung terhadap pengaruh luar.

Logam induk dalam pengelasan ini mengalami pencairan akibat pemanasan dari busur listrik yang timbul antara ujung elektroda dan permukaan benda kerja. Busur listrik dibangkitkan dari suatu mesin las. Elektroda yang digunakan berupa kawat yang dibungkus pelindung berupa fluks. Elektroda ini selama


(36)

20 pengelasan akan mengalami pencairan bersama denganlogaminduk danmembekubersamamenjadi bagiankampuhlas.

Prosespemindahanlogamelektrodaterjadipadasaatujungelektroda mencair dan membentuk butir-butir yang terbawa arus busur listrik yang terjadi. Bila digunakan arus listrik besar maka butiran logam cair yang terbawamenjadihalusdansebaliknyabilaaruskecilmakabutirannyamenjadi besar. Pola pemindahan logam cair sangat mempengaruhi sifat mampu las darilogam.Logammempunyaisifatmampulasyangtinggibilapemindahan terjadi dengan butiran yang halus. Pola pemindahan cairan dipengaruhi oleh besar kecilnya arus dan komposisi dari bahan fluks yang digunakan. Bahan fluks yang digunakan untuk membungkus elektroda selama pengelasan mencairdan membentuk terakyangmenutupilogamcairyangterkumpuldi tempat sambungan dan bekerja sebagai penghalang oksidasi

Gambar2.3LasSMAW(Wiryosumarto,2004)

2.2.5 Prinsip Kerja Las Listrik

Pada dasarnya las listrik yang menggunakan elektroda karbon maupun logam, menggunakan tenaga listrik sebagai sumber panas. Busur listrik yang terjadi antara ujung elektroda dan benda kerja dapat mancapai temperatur tinggi yang dapat melelehkan sebagian bahan merupakan perkalian antara tegangan listrik (E) dangan kuat arus (I) dan waktu (t) yang dinyatakan dalam satuan panas joule, atau kalori seperti rumus dibawah ini :

H = E x I x t


(37)

21 dimana :

H = Panas Dalam Satuan Joule. E = Tegangan Listrik Dalam Volt. I = Kuat Arus Dalam Amper. t = Waktu Dalam Detik.

A. Las Listrik Dengan Elektroda Karbon (Carbon Arc Welding)

Carbon Arc Welding mungkin adalah proses las listrik yang dikembangkan pertama kali menurut catatan, eksperimen las listrik pertama kali dilakukan pada tahun 1881, ketika Auguste de Meritens (Perancis) menggunakan busur karbon sebagai sumber pengelasan dengan aki sebagai sumber listriknya. Dalam eksperimennya, dia menghubungkan benda kerja dengan kutub positif. Walaupun kurang efisien, proses ini berhasil menyatukan timah dengan timah. Carbon ArcWelding adalah proses untuk menyatukan logam dengan menggunakan panas dari busur listrik, tidak memerlukan tekanan dan batang pengisi (filler metal) dipakai jika perlu. Carbon Arc Welding banyak digunakan dalam pembuatan aluminium dan besi. Mula-mula elektroda kontak/bersinggungan dengan logam yang dilas, sehingga terjadi aliran arus listrik, kemudian elektroda diangkat sedikit sehingga timbullah busur. Panas pada busur bisa mencapai 5.5000 C. Sumber arusnya bias DC maupun AC. Dengan menggunakan DC/AC, proses Carbon Arc Welding bias dipakai secara manual ataupun otomatis. Pendinginannya tergantung besarnya arus, bila penggunaan arus di atas 200 Ampere digunakan air pendingin (WaterCooled). Dan sebaliknya bila di bawah 200 Ampere digunakan pendingin dengan udara bebas (Air cooled). Jenis bahan elektroda yang banyak digunakan adalah elektroda jenis logam walaupun ada juga jenis elektroda dari bahan karbon namun sudah jarang digunakan.

Elektroda berfungsi sebagai logam pengisi pada logam yang dilas sehingga jenis bahan elektroda harus disesuaikan dengan jenis logam yang dilas. Untuk las biasa mutu lasan antara arus searah dengan arus bolak-balik tidak jauh berbeda, namun polaritas sangat berpengaruh terhadap mutu lasan. Elektroda


(38)

22 yang digunakan pada pengelasan jenis ini ada 3 macam yaitu: elektroda polos, elektroda fluks dan elektroda berlapis tebal.

Elektroda polos adalah elektroda tanpa diberi lapisan dan penggunaan elektroda jenis ini terbatas antara lain untuk besi tempa dan baja lunak. Elektroda fluks adalah elektroda yang mempunyai lapisan tipis fluks, dimana fluks ini berguna melarutkan dan mencegah terbentuknya oksida-oksida pada saat pengelasan. Kawat las berlapis tebal paling banyak digunakan terutama pada proses pengelasan komersil. Lapisan pada elektroda berlapis tebal mempunyai fungsi :

1. Membentuk lingkungan pelindung.

2. Membentuk terak dengan sifat-sifat tertentu untuk melindungi logam cair.

3. Memungkinkan pengelasan pada posisi diatas kepala dan tegak lurus. Kecepatan pengelasan dan keserbagunaan mesin las arus bolak-balik dan arus searah hampir sama, namun untuk pengelasan logam/pelat tebal, las arus bolak-balik lebih cepat.

B. Las Elektroda Terbungkus (Coated Electrode Welding)

Cara Pengelasan dimana elektrodanya dibungkus dengan fluks merupakan pengembangan lebih lanjut dari pengelasan dengan eletroda logam tanpa pelindung (Bare Metal Electrode). Dengan elektroda logam tanpa pelindung, busur sulit dikontrol dan mengalami pendinginan terlalu cepat sehingga O2 dan N2 dari atmosfir diubah menjadi oksida dan nitrida, akibatnya sambungan menjadi rapuh dan lemah. Prinsip Las Elektroda Terbungkus adalah akibat dari busur listrik yang terjadi antara elektroda dan logam induk yang mengakibatkan logam induk dan ujung elektroda mencair dan kemudian membeku bersama-sama. lapisan (pembungkus) elektroda terbakar bersama dengan meleburnya elektroda. Fungsi Fluks ini antara lain:

- Melindungi logam cair dari lingkungan udara. - Menghasilkan gas pelindung

- Menstabilkan busur

- Sumber unsur paduan (V, Zr, Cs, Mn).


(39)

23 C. Las Busur Rendam (Submerged Arc Welding)

Dalam pengelasam busur rendam otomatis, busur dan material yang diumpankan untuk pengelasan tidak diperlukan seorang operator yang ahli. Pengelasan otomatis ini pertama kali diusulkan oleh Bernardos dan N. Slavianoff dan las busur rendam dipraktekkan pertama kali oleh D. Dulchevsky. Las busur rendam adalah pengelasan dimana logam cair tertutup dengan fluks yang diatur melalui suatu penampung fluks dan logam pengisi yang berupa kawat pejal diumpankan secara terus menerus. Dalam pengelasan ini busur listriknya terendam dalam fluks. Karena dalam pengelasan ini, busur listriknya tidak kelihatan, maka sangat sukar untuk mengatur jatuhnya ujung busur. Di samping itu karena mempergunakan kawat elektroda yang besar maka sangat sukar untuk memegang alat pembakar dengan tangan tepat pada tempatnya. Karena kedua hal tersebut maka pengelasan selalu dilaksanakan secara otomatis penuh. Mesin las ini dapat menggunakan sumber listrik AC yang lamban dan DC dengan tegangan tetap.

Bila menggunakan listrik AC perlu adanya pengaturan kecepatan pengumpanan kawat las yang dapat diubah-ubah untuk mendapatkan panjang busur yang diperlukan. Bila menggunakan sumber listrik DC dengan tegangan tetap, kecepatan pengumpanan dapat dibuat tetap dan biasanya menggunakan polaritas balik (DCRP). Mesin las dengan listrik DC kadang-kadang digunakan untuk mengelas pelat tipis dengan kecepatan tinggi atau untuk pengelasan dengan eletroda lebih dari satu.

2.2.6 Klasifikasi Kawat Elektroda dan Fluksi 2.2.6.1 Kawat Elektroda

Elektroda baja lunak dan baja paduan rendah untuk las busur listrik menurut klasifikasi AWS (American Welding Society) dinyatakan dengan tanda E XXXX yang artinya sebagai berikut :

E menyatakan elaktroda busur listrik

XX (dua angka) sesudah E menyatakan kekuatan tarik deposit las dalam ribuan Ib/in2 ( lihat table ).


(40)

24 X (angka ketiga) menyatakan posisi pangelasan angka 1 untuk pengelasan segala posisi. angka 2 untuk pengelasan posisi datar di bawah tangan.

X (angka keempat) menyatakan jenis selaput dan jenis arus yang cocok dipakai untuk pengelasan.

Elektroda berselaput yang dipakai pada Ias busur listrik mempunyai perbedaan komposisi selaput maupun kawat Inti. Pelapisan fluksi pada kawat inti dapat dengah cara destrusi, semprot atau celup. Ukuran standar diameter kawat inti dari 1,5 mm sampai 7 mm dengan panjang antara 350 sampai 450 mm. Jenis-jenis selaput fluksi pada elektroda misalnya selulosa, kalsium karbonat (CaCO3), titanium dioksida (rutil), kaolin, kalium oksida mangan, oksida besi, serbuk besi, besi silikon, besi mangan dan sebagainya dengan persentase yang berbeda-beda, untuk tiap jenis elektroda. Tebal selaput elektroda berkisar antara 70% sampai 50% dari diameter elektroda tergantung dari jenis selaput. Pada waktu pengelasan, selaput elektroda ini akan turut mencair dan menghasilkan gas CO2 yang melindungi cairan las, busur listrik dan sebagian benda kerja terhadap udara luar.

Udara luar yang mengandung O2 dan N akan dapat mempengaruhi sifat mekanik dari logam Ias. Cairan selaput yang disebut terak akan terapung dan membeku melapisi permukaan las yang masih panas.

2.2.6.2 Fluksi

Fluksi merupakan pembungkus elektroda yang sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu sambungan karna fluksi bersifat melindungi metal cair dari udara bebas serta menstabilkan busur.

Terdapat 2 macam Fluksi sesuai dengan pembuatannya : - Fused Fluksi.

- Bonded Fluksi. A). Fused Fluksi

Fused Fluksi terbuat dari campuran butir-butir material seperti mangan, kapur, boxit, kwarsa dan fluorpar didalam suatu tungku pemanas. Cairan terak yang terbentuk akan diubah ke dalam bentuk fluksi dengan jalan :

- Dituang di suatu cetakan dalam bentuk beberapa lapis / susun yang tebal kemudian dipecah serta disaring sesuai dengan ukuran butiran yang diinginkan.


(41)

25 - Dari kondisi panas dituang ke dalam air, sehingga timbul percikan – percikan yang kemudian disaring sesuai ukurannya. Metode ini lebih effisien, tetapi kualitas fluksi yang dihasilkan mengandung hidrogen yang cukup tinggi yang memerlukan prose lebih lanjut untuk mengurangi kadar hidrogen tersebut.

B). Bonded Fluksi

Bonded Fluksi ini dibuat di pabrik dengan jalan mencampur butiran-butiran material yang ukurannya jauh lebih halus seperti mineral, ferroalloy, water glass sebagai pengikat dalam suatu pengaduk (mixer) yang khusus. Campuran tersebut kemudian akan dikeringkan dalam suatu pengering yang berputar pada temperature 6000 – 8000oC.

2.2.7 Siklus Thermal Daerah Lasan ( Heat Affected Zone )

Menurut Wiryosumarto dan Okumura (2000: 56), daerah lasan terdiri dari 3 bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh panas ( HAZ ) dan logam induk yang tak terpengaruhi.

1. Logam Las

Menurut Widharto (2013: 455), logam las adalah perpaduan antara bahan pengisi (filler metal) dengan logam induk yang kemudian setelah membeku membentuk jalur las.

Logam didaerah pengelasan mengalami siklus termal yakni pencairan kemudian pembekuan. Kondisi ini menyebabkan perubahan struktur mikro dari logam yang bersangkutan.

Gambar 2.4 Arah Pembekuan dari Logam Las (Wiryosumarto dan Okumura 2000: 57)


(42)

26 Pada Gambar 2.4 ditunjukkan secara skematik proses pertumbuhan dari kristal-kristal logam las yang berbentuk pilar. Titik A dari gambar tersebut adalah titik mula dari struktur pilar yang selalu terletak dalam logam induk. Titik ini tumbuh menjadi garis lebur dengan arah yang sama dengan gerakan sumber panas. Pada garis lebur sebagian dari logam dasar turut mencair dan selama proses pembekuan logam las tumbuh pada butir-butir logam induk dengan sumbu kristal yang sama (Wiryosumarto dan Okumura 2000: 57).

2. Logam Induk

Menurut Widharto (2013: 456), logam induk adalah bagian logam yang jauh dari bagian las sehingga tidak terpengaruh oleh suhu panas las dan tetap dalam struktur mikro dan sifat semula.

Gambar 2.5 Bagian las (Widharto 2013: 456)

Menurut Aisyah (2013: 21), baja hypoeutectoid memiliki struktur mikro yang terdiri dari butiran kristal ferrite dan pearlite. Ferrite adalah suatu komposisi logam (fasa) yang mempunyai kandungan karbon 0,025 % pada suhu 723oC, struktur kristalnya Body Center Cubic (BBC) dan pada suhu kamar mempunyai batas kelarutan karbon 0,0008 %. Pearlite. Ferrite adalah suatu komposisi logam (fasa) yang mempunyai kandungan karbon 0,025 % pada suhu 723oC, struktur kristalnya Body Center Cubic (BBC) dan pada suhu kamar mempunyai batas kelarutan karbon 0,0008 %. Pearlite adalah campuran eutectoid antara ferrite dengan cementite yang terbentuk pada suhu 723oC dengan kandungan karbon 0,83 %. Cementite adalah suatu senyawa yang terdiri dari unsur Fe dan C dengan perbandingan tertentu (Fe3C) dengan struktur kristalnya orthohombik.


(43)

27 3. Heat Affected Zone (HAZ)

Menurut Sonawan dan Suratman (2006: 66), pemanasan lokal pada permukaan logam induk selama proses pengelasan menghasilkan daerah pemanasan yang unik, artinya disetiap titik yang mengalami pemanasan itu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada pengelasan busur listrik, permukaan logam yang berhubungan langsung dengan busur listrik akan mengalami pemanasan paling tinggi yang memungkinkan daerah tersebut mencapai titik cairnya.

Menurut Wiryosumarto dan Okumura (2000: 56), daerah terimbas panas atau HAZ adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat.

Ada tiga titik berbeda yang terdapat di daerah HAZ. Titik satu dan dua menunjukkan temperatur pemanasan mencapai daerah berfasa austenit, daerah ini disebut dengan daerah transformasi menyeluruh yang artinya struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit kemudian bertransformasi menjadi austenit 100%. Titik tiga menunjukkan temperatur pemanasan mencapai daerah berfasa ferit dan austenit, daerah ini disebut denagn daerah transformasi sebagian yang artinya struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit berubah menjadi ferit+austenit (Sonawan dan Suratman, 2006: 71).

Gambar 2.6 Transformasi fasa pada logam hasil pengelasan (Sonawan dan Suratman, 2006: 72)

Perubahan metalurgi yang paling penting dalam pengelasan adalah perubahan struktur mikro pada HAZ maupun daerah las. Perubahan struktur mikro


(44)

28 yang terjadi akan menentukan sifat mekanik pada sambungan las, seperti kuat tarik dan kekerasnnya (Aisyah 2011: 16).

2.2.8 Desain Sambungan Las

Untuk menghasilkan kualitas sambungan las yang baik, salah satu faktor yang harus diperhatikan yaitu kampuh las. Kampuh las ini berguna untuk menampung bahan pengisi agar lebih banyak yang merekat pada benda kerja, dengan demikian kekuatan las akan terjamin. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis kampuh adalah:

1. Ketebalan benda kerja. 2. Jenis benda kerja.

3. Kekuatan yang diinginkan. 4. Posisi pengelasan.

Sebelum memulai proses pengelasan terlebih dahulu ditentukan jenis sambungan las yang akan dipilih. Hal-hal yang harus diperhatikan bahwa sambungan yang dibuat akan mampu menerima beban (beban statis, beban dinamis, atau keduanya).

Dengan adanya beberapa kemungkinan pemberian beban sambungan las, maka terdapat beberapa jenis sambungan las, yaitu sebagai berikut:

1. Kampuh V Tunggal

Sambungan V tunggal juga dapat dibuat tertutup dan terbuka. Sambungan ini juga lebih kuat dari pada sambungan persegi, dan dapat dipakai untuk menerima gaya tekan yang besar, serta lebih tahan terhadap kondisi beban statis dan dinamis. Pada pelat dengan tebal 5 mm–20 mm penetrasi dapat dicapai 100%. 2. Kampuh Persegi

Sambungan ini dapat dibuat menjadi 2 kemungkinan, yaitu sambungan tertutup dan sambungan terbuka.Sambungan ini kuat untuk beban statis tapi tidak kuat untuk beban tekuk.

3. Kampuh V Ganda

Sambungan ini lebih kuat dari pada V tunggal, sangat baik untuk kondisi beban statis dan dinamis serta dapat menjaga perubahan bentuk kelengkungan sekecil mungkin.dipakai pada ketebalan 18 mm-30 mm.


(45)

29 4. Kampuh Tirus Tunggal

Sambungan ini digunakan untuk beban tekan yang besar.Sambungan ini lebih baik dari sambungan persegi, tetapi tidak lebih baik dari pada sambungan V. Letaknya disarankan terbuka dan dipakai pada ketebalan pelat 6 mm-20 mm. 5. Kampuh U Tunggal

Kampuh U tunggal dapat dibuat tertutup dan terbuka.Sambungan ini lebih kuat menerima beban statis dan diperlukan untuk sambungan berkualitas tinggi.Dipakai pada ketebalan

12 mm-25 mm. 6. Kampuh U Ganda

Sambungan U ganda dapat jg dibuat secara tertutup dan terbuka, sambungan ini lebih kuat menerima beban statis maupun dinamis dengan ketebalan pelat 12 mm-25 mm dapat dicapai penetrasi 100%.

7. Kampuh J Ganda

Sambungan J ganda digunakan untuk keperluan yang sama dengan sambungan V ganda, tetapi tidak lebih baik untuk menerima beban tekan. Sambungan ini dapat dibuat secara tertutup ataupun terbuka.

Gambar 2.7 Jenis-jenis sambungan las (Wiryosumarto, Harsono 2004)


(46)

30 2.2.9 Parameter Pengelasan

Kestabilan dari busur api yang terjadi pada saat pengelasan merupakan masalah yang paling banyak terjadi dalam proses pengelasan dengan las SMAW, oleh karena itu kombinasi dari Arus listrik (I) yang dipergunakan dan Tegangan (V) harus benar-benar sesuai dengan spesifikasi kawat elektroda dan fluksi yang dipakai.

1. Pengaruh dari Arus Listrik (I)

Setiap kenaikan arus listrik yang dipergunakan pada saat pengelasan akan meningkatkan penetrasi serta memperbesar kuantiti lasnya. Penetrasi akan meningkat 2 mm per 100A dan kuantiti las meningkat juga 1,5 Kg/jam per 100A.

Gambar 2.8 Pengaruh Arus Listrik

2. Pengaruh dari Tagangan Listrik (V)

Setiap peningkatan tegangan listrik (V) yang dipergunakan pada proses pengelasan akan semakin memperbesar jarak antara tip elektroda dengan material yang akan dilas, sehingga busur api yang terbentuk akan menyebar dan mengurangi penetrasi pada material las. Konsumsi fluksi yang dipergunakan akan meningkat sekitar 10% pada setiap kenaikan 1 volt tegangan.

3. Pengaruh Kecepatan Pengelasan

Jika kecepatan awal pengelasan dimulai pada kecepatan 40 cm/menit, setiap pertambahan kecepatan akan membuat bentuk jalur las yang kecil (Welding Bead), penetrasi, lebar serta kedalaman las pada benda kerja akan berkurang. Tetapi jika kecepatan pengelasannya berkurang dibawah 40 cm/menit cairan las yang terjadi dibawah busur api las akan menyebar serta penetrasi yang dangkal, hal ini dikarenakan over heat.

4. Pengaruh Polaritas arus listrik (Alternating Curret atau Direct Current)


(47)

31 Pengelasan dengan kawat elektroda tunggal pada umumnya menggunakan tipe arus Direct Current (DC), elektroda positif (EP), jika menggunakan elektroda negatif (EN) penetrasi yang terbentuk akan rendah dan kuantiti las yang tinggi.

Pengaruh dari arus Alternating Curret (AC) pada bentuk butiran las dan kuantiti pengelasan antara elektroda positif dan negatif adalah sama yaitu cenderung porosity, oleh karena itu dalam proses pengelasan yang menggunakan arus AC harus memakai fluks yang khusus.

Arus adalah aliran pembawa muatan listrik,simbol yang digunakan adalah huruf besar I dalam satuan ampere. Pengelasan adalah penyambungan dua logam dan atau logam paduan dengan cara memberikan panas baik diatas atau dibawah titik cair logam tersebut,baik dengan atau tanpa tekanan serta ditambah atau tanpa logam pengisi yang dimaksud dengan arus paengelasan disini adalah aliran pembawa muatan listrik dari mesin las yang digunakan untuk menyambung dua logam dengan mengalirkan panas ke logam pengisi atau elektroda. Hubungan diameter elektroda dengan arus pengelasan menurut Howard BC,1998 dapat dilihat pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Hubungan diameter elektroda dengan arus pengelasan Diameter Elektroda (mm) Arus (Ampere)

2,5 60-90

2,6 60-90

3,2 80-140

4,0 150-190

5,0 180-250

2.3 Pengujian Hasil Pengelasan .2.3.1 Uji Kekerasan

Proses pengujian logam kekerasan logam dapat diartikan sebagai kemampuansuatubahanterhadappembebanandalamperubahanyangtetap. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya pembebanan yangdiberikanterhadapluasanbidang yangmenerima pembebanan.

Pengujiankekerasanlogaminisecaragarisbesarada3jenisyaitucara goresan, penekanan, cara dinamik. Proses pengujian yang mudah dan cepat dalam


(48)

32 memperoleh angka kekerasan yaitu penekanan. Penentuan kekerasan penekananada3carayaituBrinell,Vickers,danRockwell.Padapenelitianini digunakan cara kekerasan Rockwell

Rockwell ( HR/RHN ), adalah metode pengujian kekerasan dalam bentuk daya tahan terhadap identor dalam bentuk bola baja ataupun kerucut intan yang di tekankan pada permukaan material uji tersebut. Untuk mencari besarnya nilai kekerasan dengan menentukan nilai kekerasan Rockwell di jelaskan pada gambar 4. Yaitu pada langkah 1, benda uji di tekan oleh identor pada beban dengan beban minor ( Minor Load F0 ), setelah itu di tekan dengan beban mayor ( Mayor Load F1 ) pada langkah 2, dan pada langkah 3 beban mayor di ambil sehingga yang tersisa adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini identor di tahan seperti pada kondisi pada saat total load F yang terlihat pada gambar 4. Akan tetapi pada penelitian ini yang di gunakan adalah pengujian kekerasan dengan metode Rockwell, karena cocok untuk semua material yang keras dan dan lunak dan metode ini lebih sederhana karna penekanannya dapat dengan leluasa.

Gambar 2.9 Prinsip Kerja Metode Kekerasan Rockwell

Dimana:

F0 = beban minor ( load minor ) (kgf) F1 = beban mayor ( load major ) (kgf) F = total beban ( kgf )

e = jarak antara kondisi 1 dengan kondisi 3 yang di bagi dengan 0,002 mm E = jarak antar identor saat di beri minor load dan zero referense line yang untuk tiap jenis identor yang berbeda-beda

HR = besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness


(49)

33 Tabel 2.5Rockwell Hardness Scales

Scale Indentor F0 (kgf)

F1 (kgf)

F (kgf) E Jenis Material Uji

A Diamond

cone

10 50 60 100 Exremely hard

materials, tugsen carbides, dll

B 1/16" steel ball

10 90 100 130 Medium hard

materials, low dan medium carbon steels, kuningan, perunggu, dll

C Diamond

cone

10 140 150 100 Hardened steels,

hardened and tempered alloys

D Diamond

cone

10 90 100 100 Annealed kuningan dan tembaga

E 1/8" steel ball

10 90 100 130 Berrylium copper,

phosphor bronze, dll. F 1/16"

steel ball

10 50 60 130 Alumunium sheet

G 1/16" steel ball

10 140 150 130 Cast iron, alumunium alloys

H 1/8" steel ball

10 50 60 130 Plastik dan soft metals seperti timah

K 1/8" steel ball

10 140 150 130 Sama dengan H scale

L 1/4" steel ball

10 50 60 130 Sama dengan H scale

M 1/4" steel ball

10 90 100 130 Sama dengan H scale

P 1/4" steel ball

10 140 150 130 Sama dengan H scale


(50)

34 R 1/2" steel

ball

10 50 60 130 Sama dengan H scale

S 1/2" steel ball

10 90 100 130 Sama dengan H scale

V 1/2" steel ball

10 140 150 130 Sama dengan H scale

2.3.2 Photo Mikro (Metalografi)

Analisa mikro adalah suatu analisa mengenai struktur logam melalui pembesaran dengan menggunakan mikroskop khusus metalografi. Dengan analisa mikro struktur, kita dapat mengamati bentuk dan ukuran kristal logam, kerusakan logam akibat proses deformasi, proses perlakuan panas, dan perbedaan komposisi.Sifat-sifat logam terutama sifat mekanis dan sifat teknologis sangat mempengaruhi oleh mikro struktur logam dan paduannya. Struktur mikro dari logam dapat diubah dengan jalan perlakuan panas ataupun dengan proses perubahan bentuk (deformasi) dari logam yang akan diuji.Pengamatan metalografi dengan mikroskop optik dapat dibagidua, yaitu : metalografi makro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10-100 kali dan metalografi mikro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas 100 kali.

Gambar 2.10 Alat Uji PhotoMikro (Mikroskop optic)

Gambar diatas yaitu alat uji struktur mikro, yang fungsinya untuk mengambil gambar dari spesimen yang di uji dengan ukuran 200 x pembesaran (metalografi).


(51)

35 Sebelum melakukan percobaan metalografi terhadap suatu material, terlebih dahulu harus ditentukan material logam apa yang akan diuji. Sebaiknya harus ada data pembanding antara data mikro struktur yang di dapat dari percobaan dengan data mikro struktur yang sebenarnya dari suatu material yang dijadikan benda uji. Pada pengamatan stuktur mikro digunakan mikroskop optic dimana pada alat terdapat bagiana-bagian penting yaitu :

 Filter Cahaya

Filter cahaya berfungsi untuk menaikkan kontras dari batas butir maupun keadaan fasa tertentu dengan cara membedakan warna.

 Lensa Kondesor

Lensa kondesor berfungsi sebagai alat pemantul sinar dan memperbaiki kontras bayangan.

 Lensa Reflektor

Lensa reflektor befungsi untuk memantulkan cahaya dari lensa kondesor ke spesimen.

 Lensa Objektif

Lensa objektif berfungsi untuk mengumpulkan sinar yang dipantulkan dari spesimen.

 Lensa Okuler

Lensa okuler berfunsi untuk meneruskan pantulan sinar spesimen sehingga dapat dilihat mata.Untuk mengukur besar butir logam,lensa okuler dilengkapi dengan grid yang sesuai dengan standart ASTM

2.4 Cacat Pada las

2.4.1Jenis Cacat Permukaan Las Lubang Jarum (Pin Hole)

Sebab : Terbentuk gas di dalam bahan las sewaktu pengelasan akibat kandungan belerang dalam bahan

Akibat : Kemungkinan bocor di lokasi cacat

Penanggulangan: Gouging 100% di lokasi cacat dan perbaiki sesuai WPS asli.


(52)

36 Gambar 2.11 Lubang jarum (Sri Widharto, 2007)

Percikan Las (Spatter)

Sebab : Elektrode lembab, kampuh kotor, angin kencang, lapisan galvanisir, ampere capping terlalu tinggi

Akibat : Tampak jelek, mengalami karat permukaan.

Penanggulangan : Cukup dibersihkan dengan pahat. Pembersih dengan gerinda tidak boleh mengingat akan memakan bahan induk.

Gambar 2.12 Percikan Las (Sri Widharto, 2007)

Retak (Crack)

Sebab : Tegangan di dalam material, penggetasan pada bahan dan daerah terimbas panas, karat tegangan, bahan tidak cocok dengan kawat las, pengelasan tanpa perlakuan panas yang benar.

Akibat : Fatal

Penanggulangan :Diselidiki dulu sebabnya, setelah diketahui baru ujung-ujung retak dibor dan bagian retak digouging (dikikis) 100% kemudian diisi dengan bahan yang cocok sesuai dengan WPS. Jika sebabnya adalah ketidakcocokan materil atau retak berada


(53)

37 di luar kampuh, maka seluruh sambungan las berikut bahannya diganti.

Gambar 2.13 Retak (Sri Widharto, 2007)

Keropos (Porosity)

Sebab : Lingkungan las lembab atau basah, kampuh kotor, angin berhembus dipermukaan las, lapisan galvanis, salah jenis arus, salah jenis polaritas, ampere capping terlalu besar.

Akibat : Melemahkan sambungan, tampak buruk, mengawali karat permukaan. Penanggulangan : Cacat digerinda hingga hilang kemudian dilas isi sesuai WPS.

Gambar 2.14 Keropos (Sri Widharto, 2007)

Muka Cekung (Concavity)

Sebab : Tukang las terlalu cepat selesai, amper capping terlalu tinggi, kecepatan las capping terlalu tinggi, elektrode terlalu kecil, bukaan sudut kampuh terlalu besar.

Akibat : Melemahkan sambungan, mengawali karat permukaan, dapat terjadi keretakan akibat tegangan geser.

Penanggulangan : Cukup di sempurnakan bentuk capping dan sedikit penguat (reinforcement)


(54)

38 Gambar 2.15 Muka Cekung (Sri Widharto, 2007)

Longsor Pinggir (Undercut)

Sebab : Suhu metal terlalu tinggi, ampere capping terlalu tinggi. Akibat : Melemahkan sambungan, mengawali karat permukaan. Penanggulangan : Cukup diisi dengan stringer saja.

Undercut yang tajam seperti takik, dilarang (harus segera diperbaiki) karena dapat menyebabkan keretakan notch.

Gambar 2.16 Longsor Pinggir (Sri Widharto, 2007)

Penguat berlebihan (Excessive Reinforcement)

Sebab : Elektrode terlalu rapat, kecepatan capping terlalu rendah, ampere capping terlalu rendah, suhu metal terlalu dingin.

Akibat : Diragukan fusi dan kekuatannya, perlu diuji eltrasonik proba sudut (angle probe), jika ternyata fusi tidak ada, seluruh sambungan diapkir.

Penanggulangan : gounging 100% dan dilas ulang esuai WPS. Welder diperingatkan.

Gambar 2.17 Penguat Berlebihan (Sri Widharto, 2007)


(55)

39 • Jalur Terlalu Lebar (Wide Bead)

Sebab : Mungkin telah terjadi manipulasi mutu las.

Akibat : Jika terbukti, seluruh material diapkir. Welder tidak lulus.

Gambar 2.18 Jalur Terlalu Lebar (Sri Widharto, 2007)

Tinggi Rendah (High Low) Sebab : Penyetelan tidak benar. Akibat : Sambungan diapkir.

Penanggulangan: gouging 100%, distel dan dilas ulang sesuai WPS. Welder diperingatkan.

Gambar 2.19 Tinggi Rendah (Sri Widharto, 2007)

Lapis Dingin (Cold Lap)

Sebab : Suhu metel terlalu dingin, ampere capping terlalu rendah, ayunan (sway) tidak tetap (consistent).

Akibat : Terjadi fusi tidak sempurna dipermukaan dan mungkin juga di dalam. Karenanya mutu las dipertanyakan.

Penanggulangan :Bongkar keseluruhan jalur las untuk kemudian dibuat kampuh lagi dan dilas ulang sesuai WPS.


(56)

40 Gambar 2.20 Lapis Dingin (Sri Widharto, 2007)

Penetrasi Tidak Sempurna (Incomplete Penetration)

Sebab : Celah terlalu sempit, elektrode terlalu tinggi, ampere mesin las tidak tetap, celah tidak seragam ( sempit dan lebar tidak beraturan), ampere akar las rendah, kampuh kotor, elektrode terlalu besar.

Akibat : Di bagian cacat berpotensi retak.

Penanggulangan : Gouging 100% pada bagian cacat dan dilas ulang sesuai WPS.

Gambar 2.21 Penetrasi Tidak Sempurna (Sri Widharto, 2007)

Penetrasi Berlebihan (Excessive Penetration)

Sebab : Celah terlalu lebar, elektrode terlalu kecil, ampere akar terlalu tinggi, kecepatan akan terlalu rendah, elektrode terlalu dalam.

Akibat : Biasa menyebabkan retak akar, karat sebelah dalam, menghancurkan piq (bola pembersih dalam pipa)

Penanggulangan : Bongkar total, stel kembali dan dilas ulang sesuai WPS.


(57)

41 Gambar 2.22 Penetrasi Berlebihan (Sri Widharto, 2007)

Retak Akar (Root Crack)

Sebab : Celah terlalu lebar, elektrode terlalu kecil, ampere akar terlalu tinggi, kecepatan akan terlalu rendah, elektrode terlalu dalam.

Akibat : Biasa menyebabkan retak akar, karat sebelah dalam, menghancurkan piq (bola pembersih dalam pipa)

Penanggulangan : Bongkar total, stel kembali dan dilas ulang sesuai WPS. Jika retak keluar dari jalur las maka seluruh material diganti.

Gambar 2.23 Retak Akar (Sri Widharto, 2007)

Terbakar Tembus (Blow Hole)

Sebab : Celah tidak seragam, ampere mesin las tiba-tiba naik, posisi elektrode naik turun.

Akibat : Pada lokasi cacat sambungan lemahdan terdapat kemungkinan bocor, mengawali erosi dan karat tegangan pada lokasi cacat.

Penanggulangan : Gouging 100% di lokasi cacat dan diisi ulang sesuai WPS.


(58)

42 Gambar 2.24 Terbakar Tembus (Sri Widharto, 2007)

Longsor Pinggir Akar (Root Undercut)

Sebab : Suhu metal terlalu tinggi pada saat pengelasan akar, ampere akan terlalu besar.

Akibat : Mengawali erosi dan karat sebelah dalam, memungkinkan terjadinya retak takik (notch).

Penanggulangan : Lokasi cacat di-gouging 100% dan dilas ulang sesuai WPS.

Gambar 2.25 Longsor Pinggir Akar (Sri Widharto, 2007)

Akar Cekung (Root Concavity/ Such Up)

Sebab : Terhisapnya las akar oleh jalur las di atasnya (khususnya pada GTAW), kecepatan las akar terlalu tinggi.

Akibat : Melemahkan sambungan,potensi terjadi erosi dan karat tegangan. Penanggulangan : Lokasi cacat di-gouging 100% dan dilas ulang sesuai WPS.

Gambar 2.26 Akar Cekung (Sri Widharto, 2007)


(1)

ABSTRACT

Construction using metal at the present time involves many elements, especially

the field of welding engineering for welded joints is one of making connections

that technically requires a high skill for welding, in order to obtain a connection

with good quality. This study aims to determine the effect of variations in flow and

the electrode on the distribution of hardness and microstructure in welding

Stainless Steel AISI 304. seam type used is a double hem V with an angle 45. In

this study used current and electrode diameter different, current used is 85 A, 95

A, 105 A, 115 A and the diameter of the electrode used is 2.6 mm and 3.2 mm, the

type of weld used is Shielded Metal Arc welding (SMAW). Tests used in the form

of micro hardness testing and fhoto. Based on the research results obtained

hardness values were highest at 3.2 mm electrodes with a current 85 A (85.86

HRB). It should be used in these premises welding electrode diameter of 3.2 mm

and a flow of 85 A, because it has the highest hardness value than when using an

electrode diameter of 2.6 mm. For testing fhoto that the greater the flow and

diameter are used in welding will be more and more also the occurrence of

porosity.

Keywords: Stainless Steel AISI 304, welding Shielded Metal Arc Welding


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... .. 1

1.2 Perumusan Masalah ... .. 3

1.3 Tujuan Penelitian ... .. 3

1.4 Batasan Masalah ... .. 4

1.5 Sistematika Penulisan ... .. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja ... .. 6

2.1.1 Sejarah Baja ... .. 6

2.1.2 Sifat-Sifat Baja ... .. 7

2.1.3 Jenis-Jenis Baja ... .. 8

2.1.4 Stainless Steel ... .. 11

2.1.4.1 Baja Stainless Mantensitik ... .. 11

2.1.4.2 Baja Stainless Ferritik ... .. 12

2.1.4.3 Baja Stainless Austenitik ... .. 12

2.1.4.4 Baja Stainless Dupleks ... .. 14

2.1.4.5 Baja Stainless Pengerasan Endapan ... .. 15

2.2 Pengelasan ... .. 15

2.2.1 Sejarah Pengelasan ... .. 15

2.2.2 Pengertian Las ... .. 17

2.2.3 Klasifikasi Cara-Cara Pengelasan dan Pemotongan ... .. 18

2.2.4 Las SMAW (Shielded metal arc welding) ... .. 19

2.2.5 Prinsip Kerja Las Listrik ... .. 20

2.2.6 Klasifikasi Kawat Elektroda dan Fluksi ... .. 23

2.2.6.1 Kawat Elektroda ... .. 23

2.2.6.2 Fluksi ... .. 24

2.2.7 Siklus Termal Daerah Lasan (Heat Affected Zone) ... .. 25

2.2.8 Desain Sambungan las ... .. 28

2.2.9 Parameter Pengelasan ... .. 30

2.3 Pengujian Hasil Pengelasan ... .. 31

2.3.1 Uji Kekerasan ... .. 31

2.3.2 Photo Mikro ... .. 34

2.4 Cacat Pada Las ... .. 35

2.4.1 Jenis Cacat Pada Permukaan Las ... .. 35


(3)

2.4.3 Lubang- Lubang Halus Pada Pengelasan ... .. 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan waktu ... .. 46

3.2 Alat dan Bahan ... .. 46

3.3 Langkah – Langkah Penelitian ... .. 48

3.3.1 Pengujian Struktur Mikro ... .. 49

3.3.2 Pengujian Kekerasan (Hardness Test) ... .. 53

BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Pendahuluan ... .. 56

4.1 Hasil Pengujian ... .. 56

4.2 Hasil Pengujian Kekerasan... .. 56

4.3 Hasil Pengamatan Struktur Mikro ... .. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... .. 65

5.2 Saran ... .. 65 DAFTAR PUSTAKA


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar2.1PerkembanganCaraPengeasan... 17

Gambar 2.2 Klasifikasi Cara Pengelasan ... 19

Gambar 2.3 Las SMAW... 20

Gambar 2.4 Arah Pembekuan Dari Logam Las... 25

Gambar 2.5 Bagian las... 26

Gambar 2.6 Tranformasi Fasa Pada Logan Hasil Pengelasan... 27

Gambar 2.7 Jenis-jenis Sambungan Las... 29

Gambar 2.8 Pengaruh Arus Listrik... 30

Gambar 2.9 Prinsip Kerja Metode Kekerasan Rockwell ... 32

Gambar 2.10 Alat Uji Photo Mikro (Mikroskop Optic)... 34

Gambar 2.11 Lubang Jarum... 36

Gambar 2.12 Percikan Las... 36

Gambar 2.13 Retak... 37

Gambar 2.14 Keropos... 37

Gambar 2.15 Muka Cekung ... 38

Gambar 2.16 Longsor Pinggir... 38

Gambar 2.17 Penguat Berlebihan... 38

Gambar 2.18 Jalur Terlalu Besar... 39

Gambar 2.19 Tinggi Rendah... 39

Gambar 2.20 Lapis Dingin... 40

Gambar 2.21 Penetrasi Tidak Sempurna... 40

Gambar 2.22 Penetrasi Berlebihan... 41

Gambar 2.23 Retak Akar... 41

Gambar 2.24 Terbakar Tembus... 42

Gambar 2.25 Longsor Pinggir Akar... 42

Gambar 2.26 Akar Cekung... 42

Gambar 2.27 Stop Start A... 43

Gambar 2.28 Stop Start B ... 43

Gambar 2.29 Terjdinya Lubang Halus Dalam Pengelasan Aluminium... 45


(5)

Gambar 3.2 Mesin Polish ... 48

Gambar 3.3 Alat Uji Photo Mikro ... 50

Gambar 3.4 Spesimen Etsa Kimia... 52

Gambar 3.5 Spesimen Setelah di Etsa ... 52

Gambar 3.6 Alat Uji Rockwell ... 53

Gambar 3.7 Spesimen Uji Kekerasan ... 54

Gambar 3.8 Diagram Alir Penelitian ... 55

Gambar 4.1 Grafik Nilai Kekerasan Rata-Rata (HRB) Dengan Elektroda E 308L Diameter 2,6 mm... 57

Gambar 4.2 Grafik Nilai Kekerasan Rata-Rata (HRB) Dengan Elektroda E 308L Diameter 3,2 mm ... 58

Gambar 4.3 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 2,6 mm Dan Arus 85 A... 59

Gambar 4.4 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 2,6 mm Dan Arus 95 A... 59

Gambar 4.5 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 2,6 mmDan Arus 105 A... 60

Gambar 4.6 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 2,6 mmDan Arus 115 A... 61

Gambar 4.7 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter3,2 mmDan Arus 85 A... 61

Gambar 4.8 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 3,2 mmDan Arus 95 A... 62

Gambar 4.9 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 3,2 mmDan Arus 105 A... 63

Gambar 4.10 Hasil Photo Mikro Dengan Elektroda E 308L Diameter 3,2 mmDan Arus 115 A... 63


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Stainless steel AISI 304. ... 13

Tabel 2.2 Sifat Mekanik Stainless steel AISI 304. ... 14

Tabel 2.3 Sifat – sifat dan Listrik Stainless steel AISI 304 Pada Kondisi Annealed. ... 14

Tabel 2.4 Hubungan Diameter Elektroda Dengan Arus Pengelasan. ... 31

Tabel 2.5 Rockwell Hardness Scales. ... 33

Tabel 4.1 Nilai Kekerasan (HRB) Dengan E 308L Diameter 2,6 mm. ... 56

Tabel 4.2 Nilai Kekerasan ( HRB) Dengan E 308L Diameter 3,2 mm. ... 57