Kriteria Mulok APLH dan Laboratorium Alam yang Harus Dipenuhi oleh Setiap Sekolah

4.3. Kriteria Mulok APLH dan Laboratorium Alam yang Harus Dipenuhi oleh Setiap Sekolah

Untuk mengoptimalkan hasil mulok APLH dan Laboratorium Alam, perlu adanya kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah yang menerapkan program tersebut. Kriteria-kriteria ini harus dipenuhi oleh setiap sekolah, agar tidak menghasilkan program gagal yang malah akan memperburuk situasi yang ada.

Kemampuan berpikir dan analisa pelajar pada setiap jenjang berbeda-beda. Misal pelajar SD takkan mampu memahami materi mulok APLH pada jenjang SMA. Oleh karena itu, untuk kriteria mengenai materi pembelajaran mulok APLH, materi harus menyesuaikan dengan jenjang pendidikan pada suatu sekolah, namun tetap pada obyektif utama yaitu menumbuhkan rasa peduli akan kelestarian alam pada generasi muda.

Menurut Jean Piaget, anak usia antara 2 sampai 7 tahun terdapat pada stadium praoperasional, namun daya ingatnya cukup tinggi. George Herbert Mead juga menyatakan bahwa anak pada usia ini dapat meniru secara sempurna tentang keadaan yang berada di sekelilingnya. Maka materi mulok APLH pada tingkat prasekolah (Taman kanak-kanak) diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dengan mempraktekkan perilaku-perilaku sederhana yang mencerminkan sikap ramah lingkungan. Musalnya, membuang sampang di tempatnya, mengambil makanan secukupnya agar tidak terbuang, mengajak anak untuk berjalan kaki untuk bepergian dalam jarak pendek sehingga mengurangi konsumsi bensin dan pencemaran, dan sikap-sikap ramah lingkungan lainnya. Walaupun masing-masing sifatnya kecil, tetapi jika jumlahnya banyak akan menjelma menjadi “sedikit-sedikit menjadi bukit”.

Menurut Jean Piaget, anak-anak mulai usia 7 tahun berada pada konkret operasional, artinya sudah mempu mengoperasikan dua variabel, akan tetapi masih belum mampu memahami sistem yang abstrak. Untuk itu, materi mulok APLH pada jenjang SD hendaknya benar-benar ditunjukkan kepada hal-hal Menurut Jean Piaget, anak-anak mulai usia 7 tahun berada pada konkret operasional, artinya sudah mempu mengoperasikan dua variabel, akan tetapi masih belum mampu memahami sistem yang abstrak. Untuk itu, materi mulok APLH pada jenjang SD hendaknya benar-benar ditunjukkan kepada hal-hal

Usia siswa SMP pada umumnya berkisar antara 13-16 tahun. Siswa yang berumur tersebut sudah masuk ke dalam tahap perubahan dari konkret operasional ke formal operasional, namun belum mampu masuk ke dalam stadium formal operasional. Oleh sebab itu, pembelajaran mulok APLH pada tahapan sekolah ini perlu suatu penelaahan lebih mendalam, sehingga pelaksanaannya dapat lebih sesuai dengan perkembangan mereka.

Siswa SMA pada umumnya berumur 16 hingga 19 tahun. Usia ini termasuk ke dalam usia stadium formal operasional. Namun masih ada kemungkinan beberapa siswa belum bisa dimasukkan ke dalam stadium ini, sehingga hal-hal yang konkret masih harus juga disajikan, yang tentu saja, masalahnya harus lebih kompleks dari masalah yang disajikan pada siswa SMP. Untuk mengajarkan mulok APLH pada siswa SMA, kita sudah dapat mencoba menyajikan suatu permasalahan yang relatif kompleks dan menganalisis masalah tersebut, kemudian mengidentifikasi bagaimana mencari alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan kata lain bahwa siswa dapat diajak untuk mengadakan penelitian sederhana tentang Lingkungan Hidup. Misalnya, siswa dapat diajak untuk mengembangkan teknologi inovatif untuk budidaya tumbuhan, atau mencari langkah alternatif untuk menyelamatkan erosi plasma nutfah. Di sini Laboratorium Alam dapat dijadikan media untuk mengadakan penelitian yang sesuai.

Siswa SMK terdapat pada stadium usia yang sama dengan stadium siswa SMA. Namun materi APLH yang diajarkan akan sangat beragam, karena perbedaan jurusan. Sehingga materi APLH pada jenjang SMK harus menyesuaikan dengan Kejuruan masing-masing.

Karena APLH masih tergolong muatan lokal, maka waktu pembelajaran mulok APLH tidak boleh mendominasi dan melebihi bidang studi utama. Jika bidang studi utama mendapat jatah 3-5 jam/minggu, maka muatan lokal bisa mendapat paling tidak 2 jam/minggu. Namun karena banyaknya kegiatan konkret Karena APLH masih tergolong muatan lokal, maka waktu pembelajaran mulok APLH tidak boleh mendominasi dan melebihi bidang studi utama. Jika bidang studi utama mendapat jatah 3-5 jam/minggu, maka muatan lokal bisa mendapat paling tidak 2 jam/minggu. Namun karena banyaknya kegiatan konkret

Selain kriteria materi dan waktu pembelajaran mulok APLH, setiap sekolah juga harus memenuhi kriteria Tenaga Pengajar. Oleh karena itu, tenaga pengajar akan diberi pembekalan pendidikan dan latihan dasar berwawasan lingkungan agar terbentuk tenaga pengajar yang sesuai dengan konsep dan tujuan penerapan muatan lokal APLH.

Sedangkan kriteria Laboratorium Alam hampir sama pada semua jenjang pendidikan, kecuali tingkat prasekolah (Taman kanak-kanak). Menurut Jean Piaget, anak-anak pada usia ini memiliki kemampuan kognitif yang masih terbatas pada non-operasional. Sehingga Laboratorium Alam dirasa kurang dibutuhkan dalam menunjang materi pembelajaran APLH yang diterapkan pada tingkat prasekolah. Laboratorium Alam mulai dibutuhkan pada jenjang pendidikan SD ke atas.

Dengan mempertimbangkan bangunan sekolah yang rata-rata memiliki lebar 7 meter, maka laboratorium alam yang dibangun oleh setiap sekolah harus mempunyai luas minimal 7x3 = 21m². Dengan mengansumsikan setiap tumbuhan memakan tempat sekitar 40x40cm², dan tempat untuk jalan sekitar 6x0,5m², maka setiap sekolah dengan luas laboratorium minimal bisa melestarikan kurang lebih (21-3)/0,16 = 112 tumbuhan. Tentu saja angka tersebut hanya permisalan, beberapa tumbuhan bisa saja menuntut tempat yang lebih luas ataupun sempit. Namun luas minimal laboratorium alam tetap 21m².

Departemen Pendidikan Nasional (2009) menyatakan jumlah seluruh sekolah yang terdapat Indonesia, mulai SD, SMP, SMA, hingga SMK, sekolah negeri, maupun swasta adalah 182.538 buah. Departemen Kehutanan (2002) menyatakan jumlah spesies tumbuhan di Indonesia adalah 3530 jenis, dengan 87 spesies endemik, dan 240 spesies langka. Dengan mempertimbangkan perbandingkan jumlah seluruh spesies tumbuhan dengan jumlah spesies tumbuhan yang langka di Indonesia, maka setiap sekolah harus melestarikan minimal 6,7% tumbuhan langka dari total tumbuhan yang sekolah tersebut lestarikan. Misalnya, jika suatu sekolah melestarikan 200 tumbuhan, maka 13 tumbuhan diantaranya Departemen Pendidikan Nasional (2009) menyatakan jumlah seluruh sekolah yang terdapat Indonesia, mulai SD, SMP, SMA, hingga SMK, sekolah negeri, maupun swasta adalah 182.538 buah. Departemen Kehutanan (2002) menyatakan jumlah spesies tumbuhan di Indonesia adalah 3530 jenis, dengan 87 spesies endemik, dan 240 spesies langka. Dengan mempertimbangkan perbandingkan jumlah seluruh spesies tumbuhan dengan jumlah spesies tumbuhan yang langka di Indonesia, maka setiap sekolah harus melestarikan minimal 6,7% tumbuhan langka dari total tumbuhan yang sekolah tersebut lestarikan. Misalnya, jika suatu sekolah melestarikan 200 tumbuhan, maka 13 tumbuhan diantaranya

Asumsikan 80% dari seluruh sekolah di Indonesia menerapkan mulok APLH dan Laboratorium Alam dengan setiap sekolah hanya membangun Laboratorium Alam seluas kriteria minimal. Asumsikan pula setiap tumbuhan budidaya butuh satu tahun untuk berregenerasi. Maka dalam setiap tahun akan lahir 80%x182538x112x1 = 16.355.405 tumbuhan baru, berkat hasil penerapan mulok APLH dan Laboratorium Alam. Jumlah tersebut dapat digunakan untuk mereboisasi lahan kritis dan hutan gundul, atau untuk tujuan pengelolaan lingkungan lainnya.