INTEGRASI MUATAN LOKAL APLIKASI PENDIDIK

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH BIOSFER 2011

INTEGRASI MUATAN LOKAL APLIKASI PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (APLH) DAN LABORATORIUM ALAM DALAM

MEWUJUDKAN GENERASI MUDA PEDULI KELESTARIAN ALAM SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF DAN REPRESIF EROSI PLASMA NUTFAH

Diusulkan oleh : Moch Alif Ramadhan (NIS 6051) Gifari Zulkarnaen (NIS 5981) Gita Islamianto F ( NIS 5982)

SMA NEGERI 1 TAMAN SIDOARJO 2011

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat kepada kita semua, sehingga karya tulis yang berjudul “Integrasi Muatan Lokal Aplikasi Pendidikan Lingkungan Hidup (APLH) dan Laboratorium Alam dalam Mewujudkan Generasi Muda Peduli Kelestarian Alam sebagai Langkah Preventif dan Represif Erosi Plasm a Nutfah” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Karya tulis ini dibuat dalam rangka untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Biosfer 2011 oleh Himabio FMIPA Universitas Brawijaya. Sebuah penjelasan tentang penggabungan muatan lokal Aplikasi Pendidikan Lingkungan Hidup (APLH) dan Laboratorium Alam untuk mewujudkan pribadi generasi muda bangsa yang peduli akan kelestariam alam sebagai usaha pencegahan sekaligus penanggulangan pengikisan spesies di dunia ini tertuang dalam karya tulis ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ini, diantaranya kepada :

1. Bapak Drs. H. Panoyo, M.Pd, selaku kepala SMAN I TAMAN.

2. Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten, Sidoarjo selaku mediator pemberi referensi .

3. Dra.Nanik Mudjiastutik, Mpd, Dra. Hj. Maisaroh dan Hengky Herdianto selaku pembina dalam pembuatan karya tulis ini.

Semoga dengan adanya karya tulis ini dapat memberikan manfaat di dalam mengetengahkan solusi atas masalah pengikisan biodiversitas yang terus terjadi. Mengingat adanya kelemahan, dan keterbatasan, serta masih jauhnya karya tulis ini dari kesempurnaan, maka semua saran dan kritik yang inovatif serta membangun sangat diharapkan untuk menjadikan karya tulis ini lebih baik.

Taman, 9 April 2011 Penyusun

INTEGRASI MUATAN LOKAL APLIKASI PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (APLH) DAN LABORATORIUM ALAM DALAM MEWUJUDKAN GENERASI MUDA PEDULI KELESTARIAN ALAM SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF DAN REPRESIF EROSI PLASMA

NUTFAH

Moch. Alif Ramadhan, Gifari Zulkarnaen, dan Gita Islamianto F SMA NEGERI 1 TAMAN

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui konsep mulok APLH dan Laboratorium Alam yang diterapkan di setiap lingkungan sekolah melalui pendekatan biogeokultural dan pendekatan klimal; (2) Mengetahui cara mulok APLH dan Laboratorium Alam dapat direalisaikan di setiap lingkungan sekolah; (3) Mengetahui kriteria mulok APLH dan Laboratorium Alam yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah. Hasil yang didapat : (1) Konsep mulok APLH mengajarkan hubungan lingkungan hidup geografis dengan kebudayaan setempat dan dengan mengajarakan hubungan lingkungan hidup dengan iklim serta penerapannya dalam Laboratorium Alam; (2) Dalam merealisasikan mulok APLH dan Laboratorium Alam, sekolah perlu memenuhi 2 hal: (a) Melakukan prosedur yang dilakukan Tim Perekayasa Kurikulum; (b) Mengajukan Rekomendasi hingga ke Diknas Provinsi; (3) Kriteria yang harus terpenuhi oleh setiap sekolah untuk mulok APLH meliputi: (a) materi pembelajaran menyesuaikan dengan jenjang pendidikan dan kejuruan; (b) Waktu pembelajaran 1x2jam/minggu; (c) Tenaga Pengajar memenuhi standarisasi. Dan Laboratorium Alam meliputi: (a) Luas minimal 21m²; (b) Tumbuhan langka minimal 6,7% dari total tumbuhan.

Kata Kunci: Muatan Lokal, Aplikasi Pendidikan Lingkungan Hidup (APLH), Laboratorium Alam, Generasi Muda, Kelestarian Alam, Erosi Plasma Nutfah .

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bumi merupakan satu-satunya planet yang memiliki kehidupan. Komponen fisik yang membentuk lingkungan hidup bumi adalah atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan kerak bumi. Bagian bumi yang terdapat adanya kehidupan lazim disebut biosfer, sedangkan lingkungan hidup diartikan sebagai bagian fisik bumi yang mendukung kehidupan serta proses-proses yang terlibat dalam aliran energi dan materi. Lingkungan hidup merupakan sistem ekologis yang dihsilkan dari industri antara komponen fisik/kimia dan komponen biotis.

Krisis kependudukan dan krisis lingkungan hidup telah melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, penduduk Indonesia sudah mnencapai kurang lebih 237 juta orang dan pada tahun 2020 diperkirakan penduduk Indonesia kurang lebih mencapai 280 juta orang. Penyediaan kebutuhan primer dan sekunder kehidupan rakyat harus ditingkatkan secara lebih intensif, disamping penanganan pengurangan kemiskinan bagi kurang lebih 28 juta orang maka pertambahan jumlah anak ini betul-betul memerlukan usaha yang memadai. Usaha ini jelas akan banyak berakibat pada kelestarian lingkungan hidup (BPS, 2010).

Bahaya yang sedang kita hadapi ialah bahwa manusia merasa sebagai spesies yang paling kuat dan segalanya dapat dibereskan dengan teknologi. Dengan teknologi yang makin canggih, sistem biogeofisik makin dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya semaksimum mungkin. Dengan makin tinggi tingkat konsumsi maupun populasi manusia, makin banyak sumberdaya yang diperlukan untuk menopang pola hidup itu (Soemarwoto, 1999).

Penyalahgunaan sumber daya milik bersama menyebabkan timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup misalnya, pabrik-pabrik yang menyebabkan pencemaran udara, nelayan yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan turunya sumber daya ikan, penebangan liar, perdagangan liar, dan beberapa aktifitas lain dari manusia yang menimbulkan masalah lingkungan. Pejabat pun mau diajak berkolusi sehingga Penyalahgunaan sumber daya milik bersama menyebabkan timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup misalnya, pabrik-pabrik yang menyebabkan pencemaran udara, nelayan yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan turunya sumber daya ikan, penebangan liar, perdagangan liar, dan beberapa aktifitas lain dari manusia yang menimbulkan masalah lingkungan. Pejabat pun mau diajak berkolusi sehingga

Pada tahun 2001 diperkirakan bahwa penggundulan hutan di Indonesia mencapai dua juta ha/tahun. 39.452 tumbuhan dan 23.953 ekor satwa diperdagangkan secara liar tahun 2008, termasuk di antaranya satwa dan tumbuhan langka. Pada tahun 2002, 772 jenis flora dan fauna dinyatakan terancam punah. Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya (BAPPENAS, 1993; Dephut, 2002; PHKA, 2008;).

Pandangan hidup kita berpindah dari ekosentris menjadi antroposentris, yaitu sebuah pandangan hidup yang menganggap alam diciptakan untuk kepentingan manusia. Pandangan hidup itu bersifat eksploitatif, yaitu sistem biogeofisik dieksploitasi semaksimal mungkin untuk mendukung pola hidup konsumtif. Akibatnya terjadi deplesi sumberdaya dan rusaknya fungsi ekologi lingkungan hidup kita (Soemarwoto, 1999).

Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka kita perlu mengembalikan pandangan ekosentris pada masyarakat Indonesia selaku pengelola lingkungan. Jika kita dapat menyadarkan masyarakat bahwa masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengelola lingkungannya dengan baik, seperti tertera dalam undang-undang No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kita akan mencapai kemajuan yang besar dalam pengelolaan lingkungan (Ganjar, 1997).

Alternatif penyelesaiannya adalah memberikan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat dilaksanakan baik melalui pendidikan formal mulai dari taman kanak- kanak/pendidikan dasar sembilan tahun sampai dengan perguruan tinggi, maupun jalur pendidikan non formal.

Pemerintah telah merintis Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) sejak tahun 1975. Hingga kini, PKLH bukan merupakan pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi merupakan program pendidikan yang teregintegrasi di dalam berbagai mata pelajaran. Namun PKLH masih dirasakan sebagai materi tambahan kepada materi bidang pelajaran masing-masing, sehingga selalu Pemerintah telah merintis Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) sejak tahun 1975. Hingga kini, PKLH bukan merupakan pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi merupakan program pendidikan yang teregintegrasi di dalam berbagai mata pelajaran. Namun PKLH masih dirasakan sebagai materi tambahan kepada materi bidang pelajaran masing-masing, sehingga selalu

Oleh karena itu, di dalam Karya Tulis Ilmiah ini, penulis berusaha memberikan solusi berupa tindakan konkret dan tegas pada PLH, sehingga PLH dapat dirasakan hasilnya. Tindakan konkret berupa menambahkan aspek “Aplikasi” atau penerapan pada PLH. Media dalam menerapkan APLH berupa Laboratorium Alam. Dan tindakan tegas berupa memasukkan APLH ke dalam Muatan Lokal, sehingga APLH bukan lagi sebuah materi yang mengintegrasi pada bidang studi lain, melainkan sebuah bidang studi yang berdiri sendiri.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep mulok APLH dan Laboratorium Alam yang diterapkan di setiap lingkungan sekolah melalui pendekatan biogeokultural dan pendekatan klimal?

2. Bagaimana mekanisme proses mulok APLH dan Laboratorium Alam dapat direalisaikan di setiap lingkungan sekolah?

3. Bagaimana kriteria mulok APLH dan Laboratorium Alam yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep mulok APLH dan Laboratorium Alam yang diterapkan di setiap lingkungan sekolah melalui pendekatan biogeokultural dan pendekatan klimal.

2. Untuk mengetahui cara mulok APLH dan Laboratorium Alam dapat direalisaikan di setiap lingkungan sekolah.

3. Untuk mengetahui kriteria mulok APLH dan Laboratorium Alam yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah.

1.4. Manfaat

1. Memasyarakatkan mengenai integarasi MULOK APLH dan Laboratorium Alam yang diterapkan di setiap lingkungan sekolah untuk mewujudkan generasi muda bangsa yang peduli akan kelestarian alam.

2. Memberi gambaran mengenai manfaat integrasi MULOK APLH dan Laboratorium Alam yang di terapkan di setiap lingkungan sekolah.

3. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pengembangan sistem pendidikan di setiap jenjang pendidikan.

4. Dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Degradasi Biodiversitas

Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan) dan benua Australia (Pulau Papua) dan sebara n wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara) yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dengan tingkat kekhasan yang tinggi dengan tingkat endemisme masing-masing (Primack, 1998).

Keanekaragaman hayati Indonesia mengalami erosi yang tinggi, yang apabila tidak segera dihentikan akan merosot terus menerus. Sekitar 20 –70 persen habitat asli telah lenyap. Walaupun sulit dipastikan, diperkirakan satu spesies punah setiap harinya. Sementara penyusutan keanekaragaman genetik, terutama di spesies liar, belum terdokumentasi dengan baik padahal sumber daya genetik yang ada belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat (BAPPENAS, 1993; KLH, 1997).

Berbagai penyebab penurunan keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem antara lain degradasi habitat (deforestasi, perubahan peruntukan lahan) konversi lahan, pencemaran, exploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang merusak, dan perubahan iklim., bencana (kebakaran), dan masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar (Makarim, 2003).

Gangguan berupa penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat mencapai luasan 52.972,27 ha. Sedangkan gangguan terhadap tegakan hutan berupa penebangan ilegal diperkirakan telah mengakibatkan kehilangan kayu 14.632,36 m3 kayu bulat. Pada tahun 2007, telah tercatat 32.678,39 ha, dan telah mengakibatkan kehilangan kayu 3.650,59 m³ kayu bulat. Pada tahun 2001 diperkirakan bahwa penggundulan hutan di Indonesia mencapai dua juta ha/tahun (Dephut, 2002).

Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan. Pada tahun 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 spesies burung, 28 spesies reptilia, 68 spesies ikan, 3 spesies moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka (BAPPENAS, 1993).

2.2. Pandangan Masyarakat terhadap Lingkungan

Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya menjadi bagian penting kebudayaan manusia yang mengandung nilai-nilai tertentu. Dengan demikian pengelolaan lingkungan juga merupakan bagian kebudayaan manusia. Pandangan hidup ini mencerminkan pandangan holistis, yaitu bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan tempat hidupnya. Jika ekosistem rusak, manusia akan menderita juga. Karena itu pemanfaatan sistem biogeofisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada ekosistem. Pandangan hidup ini bersifat ekosentris (Soemarwoto, 1999).

Bahaya yang sedang kita hadapi ialah bahwa kita merasa sebagai spesies yang paling kuat dan segalanya dapat dibereskan dengan teknologi. Dengan teknologi yang makin canggih, sistem biogeofisik makin dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya semaksimum mungkin. Dengan makin tinggi tingkat konsumsi manusia, makin banyak sumber daya yang diperlukan untuk menopang pola hidup itu. Untuk memenuhi kebutuhan itu, banyak dilakukan penyimpangan- penyimpangan sumber daya, seperti penebangan liar, exploitasi berlebihan, Bahaya yang sedang kita hadapi ialah bahwa kita merasa sebagai spesies yang paling kuat dan segalanya dapat dibereskan dengan teknologi. Dengan teknologi yang makin canggih, sistem biogeofisik makin dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya semaksimum mungkin. Dengan makin tinggi tingkat konsumsi manusia, makin banyak sumber daya yang diperlukan untuk menopang pola hidup itu. Untuk memenuhi kebutuhan itu, banyak dilakukan penyimpangan- penyimpangan sumber daya, seperti penebangan liar, exploitasi berlebihan,

Pandangan hidup kita berpindah dari ekosentris menjadi antroposentris, yaitu sebuah pandangan hidup yang menganggap alam diciptakan untuk kepentingan manusia. Pandangan hidup itu bersifat eksploitatif, yaitu sistem biogeofisik dieksploitasi semaksimal mungkin untuk mendukung pola hidup konsumtif. Akibatnya terjadi deplesi sumberdaya dan rusaknya fungsi ekologi lingkungan hidup kita. Contohnya ialah penyusutan luas hutan dan kerusakan hutan yang mengakibatkan rusaknya fungsi ekologi hutan sehingga terjadilah erosi tanah, pendangkalan sungai, waduk, saluran irigasi dan pelabuhan, banjir, dan erosi genetik (Soemarwoto, 1999).

2.3. Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan hidup

Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) merupakan salah satu upaya manusia terutama di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran umat manusia sebagai penduduk Indonesia terhaap pola-pola hidup yang berwawasan lingkungan. PKLH sudah dirintis di Indonesia sejak tahun 1975. Namun dinamika perkembangan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya baik secara global, nasional maupun lokal begitu pesat, selama 3 dasawarsa terakhir ini, 1960-1970; 1971-1980; 1981-1990, sehingga peng- “kemas-kini”-an (updating) dan pembaharuan memang akan selalu diperlukan. Pembangunan untuk memenuhi keperluan hidup manusia masa kini dengan tidak mengabaikan kepentingan manusia pada generasi akan datang. PKLH meski disempurnakan sedemikian rupa sehingga mampu menjadi ajang pendidikan bagi upaya menuju kehidupan berkelanjutan di bumi. Dan anak-didik tidak hanya mampu menjadi warga bangsa pengembang dan pengamal IPTEK yang ramah lingkungan dan hemat SDA, melainkan juga mampu menerima dan menjalankan etika dan moralitas insan pembangunan berkelanjutan sebagai bagia n dari amal-sholehnya. Amal sholeh bagi anak keturunannya di masa datang dan taqwa pada Maha Pencipta yang memberkahinya. Pendidikan mempunyai kapasitas untuk menjadikan pembangunan ini berkelanjutan . ini berarti pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengindahkan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) merupakan salah satu upaya manusia terutama di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran umat manusia sebagai penduduk Indonesia terhaap pola-pola hidup yang berwawasan lingkungan. PKLH sudah dirintis di Indonesia sejak tahun 1975. Namun dinamika perkembangan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya baik secara global, nasional maupun lokal begitu pesat, selama 3 dasawarsa terakhir ini, 1960-1970; 1971-1980; 1981-1990, sehingga peng- “kemas-kini”-an (updating) dan pembaharuan memang akan selalu diperlukan. Pembangunan untuk memenuhi keperluan hidup manusia masa kini dengan tidak mengabaikan kepentingan manusia pada generasi akan datang. PKLH meski disempurnakan sedemikian rupa sehingga mampu menjadi ajang pendidikan bagi upaya menuju kehidupan berkelanjutan di bumi. Dan anak-didik tidak hanya mampu menjadi warga bangsa pengembang dan pengamal IPTEK yang ramah lingkungan dan hemat SDA, melainkan juga mampu menerima dan menjalankan etika dan moralitas insan pembangunan berkelanjutan sebagai bagia n dari amal-sholehnya. Amal sholeh bagi anak keturunannya di masa datang dan taqwa pada Maha Pencipta yang memberkahinya. Pendidikan mempunyai kapasitas untuk menjadikan pembangunan ini berkelanjutan . ini berarti pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengindahkan

2.3.1. Landasan Pokok Pengajaran PKLH Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan RI yang merdeka, bersatu dan berdaulat rakyat dalam suasana berkehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, eratur dan damai (Ganjar 1997).

Pola dasar Pembangunan Nasional dan pola Umum Pembangunan Jangka Panjang ke II ditetapkan dalam GBHN 1993 sasaran utama pembangunan jangka panjang adalah menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri menuju masyarakat adil dan makmur berdaarkan Pancasila (Ganjar, 1997).

Kualitas pendidikan suatu bangsa mencerminkan masa depan Negara tersebut. Dari sini Nampak tugas pendidikan yang cukup berat, sebab di dalam mewujudkan pembangunan yang demikian itu, masalah Pendidikan Lingkungan Hidup (PKLH) harus menjadi perhatian khusus, jika hasil pembangunan yang berkelanjutan ini tidak hanya mau dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga generasi yang akan datang. Untuk itu, PKLH harus disebarluaskan melalui berbagai jalur pendidikan sehingga setiap warga negara mempunyai persepsi yang mantap tentang kemungkinan adanya dampak negatif dari pertumbuhan penduduk yang tidak terkendalikan atau interaksi negatif dengan lingkungan hidupnya (Ganjar, 1997).

2.3.2. Tujuan, Strategi dan Pendekatan PKLH Di dalam UU Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

Indonesia seutuhnya, yaitu menusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudu pekerti luhu, memilki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohan, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.melihat tujuan tersebut, meskipun masalah lingkungan tidak disebutkan secara eksplisit, secara implisit tercermin pada seluruh aspek yang ada pada tujuan pendidika nasional tersebut (Ganjar, 1997).

Tujuan PKLH untuk SD, SMP, SMA dan SMK sebenarnya adalh agar siswa memilki pengtahuan, sikap dan tingkah laku yang rasional dan bertanggung jawab terhadap masalah kependudukan dan lingkungan hidup. PKLH bukan merupakan pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi merupakan program pendidikan yang teregintegrasi di dalam berbagai mata pelajaran berdasarkan kurikulum 1994 (Ganjar, 1997).

Strategi yang digunakan di dalm pengintegrasian PKLH ke dalam kurikulum 1994 adalh menggunakan pendekatan integrative (terpadu). Meskipun strategi pendekatan ini bertolak dari kenyataan, bahwa beban kurikulum 1994 yang ada sudah terlalu syarat dengan mata pelajaran (Ganjar, 1997).

2.3.3. Mekanisme Alur PKLH

Program Proyek PKLH Pusat

Pelatihan PKLH Tk.Pusat

Pelatihan PKLH Tk.Daerah

Masyarakat Indonesia

Pelaksanaan PKLH

Gambar 1. Diagram Mekanisme Alur PKLH

2.3.4. Kendala yang Masih Terdapat di Lapangan (1) Masih kurangnya tenaga guru yang terdidik dalam PKLH; (2) Guru yang telah mendapat pelatihan belum seluruhnya memiliki keterampilan yang memadai untuk mengajarkan PKLH yang terintegrasi pada bidang pelajaran masing-masing kelas; (3) Masih kurangnya buku-buku tentang Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang dimiliki oleh sekolah-sekolah, apalagi oleh guru dan siswa; (4) PKLH masih dirasakan sebagai materi tambahan kepada materi bidang pelajaran masing-masing, sehingga selalu dirasakan tidak sempat untuk memasukkan segi PKLH tersebut pada pengajaran (Ganjar, 1997).

2.4. Kurikulum Muatan Lokal (Mulok)

2.4.1. Pengertian Kurikulum Muatan Lokal Kurikulum Muatan Lokal adalah pedoman penyelenggaraan PBM yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan, yang berisikan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan dalam penyajian bahan itu dalam PBM. Pengertian lokal itu sendiri bisa mencakup wilayah pemerintahan provinsi, misalnya bahasa daerah, atau mungkin untuk wilayah kabupaten atau pun Wilayah desa tertentu, untuk bahan keterampilan, atau kesenian lokal atau pun sosial kemasyarakatan lainnya (Ali, 2008).

2.4.2. Ruang Lingkup Muatan Lokal Pembuatan kurikulum muatan lokal hendaknya meliputi bahan kajian seperti: (1) Pendidikan Budaya Daerah; (2) Pendidikan Keterampilan, seperti Keterampilan olah Tangan dengan alat sederhana; (3) Pendidikan Lingkungan, (Ali, 2008).

2.4.3. Landasan Muatan Lokal Landasan idealnya adalah UUD 1945, Pancaasila dan Tap MPR Nomor II/1988 tentang GBHN dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional dan tujuan pendidikan nasional seperti terdapat dalam UUSPN pasal 4 dan PP.28/1990 pasal 4 yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya (Wahyu, 2009).

Landasan hukumnya adalah Keputusan Mendikbud No.0412 tahun 1987, Keputusan Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah No.173/C/Kep/M/1987 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerapan Muatan Lokal (Wahyu, 2009).

Landasan teori pelaksanaan muatan kurikulum lokal adalah tingkat kemampuan siswa, dari yang konkret ke yang abstrak. Oleh karena itu, dalam penyampaian bahan kepada siswa harus diawali dengan pengenalan hal yang ada di sekitarnya. Penerimaan gagasan baru dengan bantuan gagasan atau pengetahuan yang telah ada ini sebenarnya telah dikemukakan oleh John Friedrich Herbert yang dikenal dengan apersepsi. Pada dasrnya anak-anak usia sekolah Landasan teori pelaksanaan muatan kurikulum lokal adalah tingkat kemampuan siswa, dari yang konkret ke yang abstrak. Oleh karena itu, dalam penyampaian bahan kepada siswa harus diawali dengan pengenalan hal yang ada di sekitarnya. Penerimaan gagasan baru dengan bantuan gagasan atau pengetahuan yang telah ada ini sebenarnya telah dikemukakan oleh John Friedrich Herbert yang dikenal dengan apersepsi. Pada dasrnya anak-anak usia sekolah

Landasan Demografik. Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan memiliki beraneka ragam adapt-istiadat, tatacara dan tatakrama pergaulan, seni dan budaya serta kondisi alam dan social yang juga beraneka ragam. Hal itu perlu diuapayakan kelestariannya agar tidak musnah. Upaya pelestarian tersebut dilakukan dengan cara melaksanakan pendidikan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian akan karakteristik daerah sekitar siswa, baik yang berkaitan dengan lingkungan alam, social, dan budaya peserta didik sedini mungkin (Wahyu, 2009).

2.4.4. Tujuan dan Manfaat Pengajaran Muatan Lokal Ada beberapa tujuan pengajaran Muatan Lokal, sbb. : (1) Mengenal dan

menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial dan budayanya; (2) Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungannya masyarakat pada umumnya; (3) Memilki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai/ aturan-aturan yang berlaku di daerahnya serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan Nasional (Ali, 2008).

Manfaat yang didapatkan siswa dengan pengajaran Muatan Lokal, yaitu : (1) Memiliki pengetahuan yang lengkap dan utuh, baik pengetahuan yang menjadi standard Nasional maupun hal yang dimiliki daerahnya; (2) Dapat memiliki keterampilan sebagai alat membantu orang tua atau bekal hidup mereka (Ali, 2008).

2.4.5. Proses Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal (1) Melakukan Studi Kebutuhan ( Need Assessment ), dimana Tim Perekayasa Kurikulum ( TPK ) mengumpulkan data daerah dan melakukan studi kualifikasi tenaga kerja dan sejauh mana uraian tugasnya yang diperlukan daerah 2.4.5. Proses Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal (1) Melakukan Studi Kebutuhan ( Need Assessment ), dimana Tim Perekayasa Kurikulum ( TPK ) mengumpulkan data daerah dan melakukan studi kualifikasi tenaga kerja dan sejauh mana uraian tugasnya yang diperlukan daerah

2.4.6. Muatan Lokal yang Dibuat oleh Suatu Sekolah TPK yang dibentuk dimasing-masing daerah telah menyediakan perangkat Kurikulum Muatan Lokal dan sekolah dipersilahkan memilih Mata Pelajaran tertentu yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerahnya. Namun jika dianggap tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat sekitar, maka untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sendiri, sekolah harus melakukannya sebagaimana prosedur yang dilakukan TPK, kemudian sekolah dapat mengajukannya ke Diknas Wilayah dengan melampirkan semua perangkat kurikulum yang telah disusun, dengan tembusan ke Diknas Kabupaten dan Kecamatan. Setelah usulan tersebut dikaji TPK atas dasar penugasan dari Diknas Provinsi dan disetujui, maka sekolah dapat menerapkan pengajaran muatan lokal yang mereka buat itu (Ali, 2008).

2.4.7. Hal yang Harus Diperhatikan dalam Merancang Muatan Lokal Dalam hal nama Mata Pelajaran, tentu diselaraskan dengan bahan kajian yang terkait. Pembuatan kurikulum muatan lokal ini tentunya harus memegang prinsip Link and Match atau harus dapat menjembatani antara kebutuhan keluarga dan masyarakat dengan Tujuan Pendidikan Nasional, karena itu penyusunannya seharusnya didasarkan atas studi kebutuhan masyarakat dan kondisi daerah setempat (Ali, 2008).

Jika merancang kurikulum muatan lokal, hal dasar penentuan isi yang harus diperhatikan, adalah : (1) Isi didasarkan pada keadaan ( lingkungan alam, sosial ekonomi dan budaya ); (2) Kebutuhan daerah ( khususnya untuk Jika merancang kurikulum muatan lokal, hal dasar penentuan isi yang harus diperhatikan, adalah : (1) Isi didasarkan pada keadaan ( lingkungan alam, sosial ekonomi dan budaya ); (2) Kebutuhan daerah ( khususnya untuk

Hal yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan sebuah pengajaran muatan lokal, yaitu: (1) Tersedianya tenaga pengajar; (2) Tersedianya fasilitas belajar; (3) Diperlukan di daerah setempat (Ali, 2008).

2.5. Klasifikasi Iklim

Klasifikasi iklim secara global didasarkan pada perbedaan intensitas sinar matahari yang diterima permukaan bumi. Setiap wilayah pada permukaan bumi berbeda karakter dengan wilayah lainnya. Lokasi berdasarkan garis lintang, fisiografi, lingkungan atau kondisi atmosfernya memunculkan tipe iklim berlainan antardaerah di Indonesia. Tempat-tempat pada lintang tinggi lebih sedikit memperoleh sinar matahari dibanding lintang rendah (ekuator); (1) Iklim tropis:

0 daerah dengan letak lintang 23,5 0 LU –23,5 LS; (2) Iklim subtropis: daerah dengan

0 0 0 letak lintang 23,5 0 LU –40 LU dan 23,5 LS –40 LS; (3) Iklim sedang: daerah

0 0 0 dengan letak lintang 40 0 LU –66,5 LU dan 40 LS –66,5 LS; (4) Iklim kutub: daerah

0 0 0 dengan letak lintang 66,5 0 LU –90 LU dan 66,5 LS –90 LS (Budiyati, 2009; Sudarsono, 2007).

2.5.1. Klasifikasi Iklim Menurut Junghuhn Klasifikasi iklim menurut Junghuhn berdasarkan ketinggian suatu tempat dan jenis tumbuhan yang cocok tumbuh di suatu daerah. Ia melakukan penelitian di Pulau Jawa. Pembagian iklimmenurut Junghuhn sebagai berikut: (1) Zona panas, berada pada ketinggian 0-700 meter di atas permukaan laut. Suhu 26,3° – 22°C. Tanaman yang sesuai diantaranya kelapa, tebu, padi, jagung; (2) Zona sedang, berada pada ketinggian 700-1500 meter di atas permukaan laut. Suhu 22° -17,1°C. Tanaman yang sesuai diantaranya tembakau, teh, kopi, cokelat, kina dan tanaman hortikultura.(3) Zona sejuk, berada pada ketinggian 1500-2500 meter di atas permukaan laut. Suhu 17,1° – 11,1°C. Tanaman yang sesuai diantaranya pinus dan cemara. (4) Zona dingin, berada pada ketinggian kurang lebih 2500 meter di atas permukaan laut. Suhu 11,1° – 6,2°C. Tanaman yang sesuai adalah 2.5.1. Klasifikasi Iklim Menurut Junghuhn Klasifikasi iklim menurut Junghuhn berdasarkan ketinggian suatu tempat dan jenis tumbuhan yang cocok tumbuh di suatu daerah. Ia melakukan penelitian di Pulau Jawa. Pembagian iklimmenurut Junghuhn sebagai berikut: (1) Zona panas, berada pada ketinggian 0-700 meter di atas permukaan laut. Suhu 26,3° – 22°C. Tanaman yang sesuai diantaranya kelapa, tebu, padi, jagung; (2) Zona sedang, berada pada ketinggian 700-1500 meter di atas permukaan laut. Suhu 22° -17,1°C. Tanaman yang sesuai diantaranya tembakau, teh, kopi, cokelat, kina dan tanaman hortikultura.(3) Zona sejuk, berada pada ketinggian 1500-2500 meter di atas permukaan laut. Suhu 17,1° – 11,1°C. Tanaman yang sesuai diantaranya pinus dan cemara. (4) Zona dingin, berada pada ketinggian kurang lebih 2500 meter di atas permukaan laut. Suhu 11,1° – 6,2°C. Tanaman yang sesuai adalah

2.5.2 Klasifikasi Iklim Menurut Koppen Jenis Iklim Koppen (Dr Wladimir Koppen ahli ilmu iklim dari Jerman, 1918). Koppen membuat klasifikasi iklim seluruh dunia berdasarkan suhu dan kelembaban udara. Kedua unsur iklim tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap permukaan bumi dan kehidupan di atasnya. Berdasarkan ketentuan itu Koppen membagi iklim dalam lima daerah iklim pokok. Masing-masing daerah iklim diberi simbol A, B, C, D, dan E (Kadarsah, 2007).

Menurut Koppen di Indonesia terdapat tipe-tipe iklim Af, Aw, Am, C, dan

D. Tipe iklim hutan hujan tropis (Af) dan iklim monsoon tropis (Am) terdapat di daerah Indonesia bagian barat, tengah, dan utara, seperti Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Utara. Tipe iklim sabana (Aw) terdapat di Indonesia yang letaknya dekat dengan benua Australia seperti daerah-daerah di Nusa Tenggara, Kepulauan Aru, dan Irian Jaya pantai selatan. Tipe iklim Iklim Hujan Sedang Panas (C) terdapat di hutan-hutan daerah pegunungan. Tipe iklim Hutan salju Sejuk (D) terdapat di pegunungan salju Irian Jaya (Kadarsah 2007; Wikipedia, 2011C).

2.6. Korelasi antara Kepribadian, Sosialisasi, dan Kebudayaan

Kepribadian seseorang yang terwujud dalam berbagai pola perilaku orang yang berasangkutan akan disesuaikan dengan sistem nilai dan normayang berlaku dalam masyarakat terkait. Untuk mencapai keselarasan antara kepribadian dengan nilai dan norma yang berlaku dengan masyarakat, maka diperlukan adanya proses sosialisasi karena berbagai nilai dan norma tersebut akan sulit terwujud apabila tidak disosialisasikan kepada semua anggota masyarakat (Rahmawati, 2009).

Kepribadian bisa dijadikan acuan bermasyarakat yang disebut kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga memerlukan sosialisasi agar sesuai dengan kepribadian masyarakat yang bersangkutan (Rahmawati, 2009).

Kebudayaan yang dipakai sebagai pedoman hidup merupakan pernagkta yang disilkan suatu bentuk kehudupan bersama. Dengan sifatnya yang dinamis maka kebudayaan menuntut untuk senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan dan Kebudayaan yang dipakai sebagai pedoman hidup merupakan pernagkta yang disilkan suatu bentuk kehudupan bersama. Dengan sifatnya yang dinamis maka kebudayaan menuntut untuk senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan dan

2.7. Psikologi Perkembangan

2.7.1. Teori Perkembangan Kognitif Teori Perkembangan Kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980, pada tahun 1955. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia: (1) Periode sensorimotor (usia 0 –2 tahun), bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut; (2) Periode praoperasional (usia 2 –7 tahun), prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek- objek. Kemampuan kognitif pada usia ini masih terbatas pada non-operasional; (3) Periode operasional konkrit (usia 7 –11 tahun), mampu mengoperasikan dua variabel, namun belum mampu memahami sisterm yang abstrak. (4) Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa), karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia (Wikipedia, 2011A).

2.7.2. Proses Sosialisasi George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) Tahap persiapan: Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. (2) Tahap meniru: Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. (3) Tahap Siap Bertindak: Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri 2.7.2. Proses Sosialisasi George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) Tahap persiapan: Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. (2) Tahap meniru: Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. (3) Tahap Siap Bertindak: Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri

BAB III METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah jenis penelitian pustaka (library research).

3.1. Prosedur Pengumpulan Data

Studi literatur: didapatkan data dari media informasi, dilakukan studi literatur terhadap berbagai buku, jurnal, disertasi, majalah, dan media masa bidang pendidikan tinggi, riset dan ekonomi sesuai dengan topik yang dipilh.

3.2. Pengolahan Data

Setelah diperoleh data-data dari berbagai tinjauan kemudian data dianalisis dengan teknik deskripsi kualitatif. Kemudian data diolah dengan analisis sintesis untuk memecahkan permasalahan.

3.3. Analisis Sintetis

Metode analisis komparatif, untuk melihat perbandingan antara pikiran utama karya tulis ini dengan beberapa teori yang relevan. Metode analisis deskripsi, untuk mengolah dan menafsirkan data yang telah diperoleh sehingga didapatkan gambaran jelas tentang keadaan sebenarnya pada obyek yang sedang dikaji.

3.4. Rekomendasi

Setelah dilakukannya sebuah analisis, penulis memberikan alternatif model pemecahan masalah atau gagasan kreatif sebagai solusi permasalahan yang diangkat dalam karya tulis ini kemudian disusun menjadi suatu hasil pembahasan dan kesatuan suatu kesimpulan. Kemudian dilakukannya sebuah rekomendasi hasil pemecahan masalah menjadi sebuah adopsi pengetahuan, sebagai landasan berfikir penengahan masalah yang telah dirumuskan.

3.5. Diagram Alur Penelitian

Dikembangkan Masalah Ditemukan Ide

Latar Belakang

Dikembangkan Rumusan Masalah

Tinjauan Pustaka

Judul

Studi Literatur Sumber Data Dikembangkan

dan Daftar Pustaka

Diolah Data Analisis Kerangka

Dianalisis

Analisis KTI

Teknik Deskripsi Kualitatif

Sintesis Metode Analisis Komparatif

Olahan Data

Metode Analisis Deskriptif

Diberi alternatif pemecahan masalah

Rekomendasi Hasil dan Kesimpulan Pemecahan Masalah

: Proses yang

: Peninjauan didahulukan

: Proses yang dilakukan

setelah proses pertama

kembali

Gambar 2. Diagram Alur Penelitian

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Konsep Penerapan Mulok APLH dan Laboratorium Alam dalam Setiap Lingkungan Sekolah Melalui Pendekatan Geokultural dan Klimal

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang telah diterapkan hingga saat ini masih dirasakan sebagai materi tambahan kepada materi bidang pelajaran masing-masing, sehingga selalu dirasakan tidak sempat untuk memasukkan segi PLH tersebut pada pengajaran. Sehingga dirasa akan sangat sedikit sekolah yang akan menanggapi mulok PLH. Oleh karena itu, diperlukan tindakan nyata dan tegas sehingga PLH dapat dirasakan hasilnya. Sehingga PLH bukan lagi sebuah materi yang mengintegrasi pada bidang studi lain, melainkan sebuah bidang studi yang berdiri sendiri berupa muatan lokal yaitu Aplikasi Pendidikan Lingkungan Hidup (APLH).

Kurikulum muatan lokal APLH yang ditujukan sebagai pedoman penyelenggaraan PBM yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan daerah bersangkutan akan dikontrol oleh pendekatan-pendekatan yang diajukan. Hal itu dikarenakan, pendekatan yang diajukan meliputi pendekatan geokultural dan pendekatan klimal yang dimana setiap daerah memiliki karakteristik geokultural dan klimal yang berbeda. Melalui pendekatan-pendekatan inilah yang akan menjadi dasar bagi setiap sekolah di daerah untuk menerapkan mulok APLH dan Laboratorium Alam.

Konsep mulok APLH melalui pendekatan geokultural, sekolah di setiap daerah akan mengajarkan lingkungan hidup geografis yang hubungannya dengan kebudayaan setempat. Hal itu dikarenakan lingkungan hidup geografis memiliki peran dalam membentuk suatu perilaku dari individu untuk dapat melangsungkan hidupnya di tempat tersebut. Individu yang secara tidak langsung mengalami perubahan pola berpikir dan secara tidak langsung pula individu lain yang berada di tempat yang sama akan mengalami hal serupa. Sehingga dari individu -individu tersebut akan saling bersosialisasi hingga terbentuk suatu kelompok yang terus berkembang hingga mencapai tahap membentuk masyarakat yang memiliki pola Konsep mulok APLH melalui pendekatan geokultural, sekolah di setiap daerah akan mengajarkan lingkungan hidup geografis yang hubungannya dengan kebudayaan setempat. Hal itu dikarenakan lingkungan hidup geografis memiliki peran dalam membentuk suatu perilaku dari individu untuk dapat melangsungkan hidupnya di tempat tersebut. Individu yang secara tidak langsung mengalami perubahan pola berpikir dan secara tidak langsung pula individu lain yang berada di tempat yang sama akan mengalami hal serupa. Sehingga dari individu -individu tersebut akan saling bersosialisasi hingga terbentuk suatu kelompok yang terus berkembang hingga mencapai tahap membentuk masyarakat yang memiliki pola

Masyarakat

Individu

Pendekatan Geokultural

Kebudayaan

Lingkungan hidup

geosfer Geogeografis

Gambar 3. Diagram Korelasi Pendekatan Geokultural

Namun yang perlu diperhatikan adalah dampak negatif yang ditimbulkan dimana hal ini akan menyebabkan degradasi lingkungan yang dalam jangka pendek mengakibatkan penurunan jumlah populasi tumbuhan sebagai produsen dalam rantai makanan suatu ekosistem. Apabila hal ini terus berkelajutan maka dalam jangka panjang akan berimbas pada anggota rantai makanan lain seperti konsumen tingkat satu hingga tingkat akhir. Demikian inilah yang akan mengakibatkan makin berkurangnya keanekaragaman hayati.

Oleh karenanya dalam APLH akan dibahas lebih terperinci semua hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup termasuk menanamkan sikap pribadi yang cinta lingkungan kepada siswa. Namun tidak hanya dengan muatan lokal langkah penananaman sikap pribadi yang cinta lingkungan diwujudkan. Tindakan nyata berupa menambahkan aspek “aplikasi” atau penerapan pada PLH. Media dalam menerapkan APLH berupa Laboratorium Alam.

Laboratorium Alam merupakan tindakan nyata dari sikap pribadi yang cinta lingkungan. Selain itu Laboratorium Alam juga sebagai langkah preventif penurunan jumlah spesies khususnya bagi spesies-spesies tumbuhan yang dapat dibudidayakan di dalam ruangan sebagai akibat dari kebudayaan konsumtif dan berpandangan antroposentris contohnya Anggrek pensil (Vanda hookeriana)yang hidup menumpang pada bunga bakung (Crinum asiaticum). Langkanya anggrek ini, dikarenakan habitat anggrek yang ada di Cagar Alam Dusun Besar (CADB), Bengkulu sudah rusak oleh tangan manusia. Kerusakan tersebut juga menyebabkan bunga bakung mati.

Untuk menghindari adanya tambahan degradasi spesies akibat dari kualitas perawatan dan budidaya tumbuhan yang buruk. Mula-mula setiap sekolah akan melestarikan spesies langka yang tingkat kelangkaannya masih rendah. Jika dalam suatu kurun waktu sekolah tersebut menunjukkan kualitas baik dalam membudidayakan tumbuhan tersebut, sekolah tersebut diperbolehkan membudidayakan tumbuhan yang tingkat kelangkaannya setingkat lebih tinggi dari sebelumnya. Proses tersebut dilakukan terus menerus, hingga suatu sekolah mampu membudidayakan tumbuhan dengan tingkat kelangkaan sangat tinggi. Namun bagi spesies-spesies hewan langka Laboratorium Alam dirasa kurang efektif karena masih banyak kendala-kendala dalam hal sarana dan prasarana pelestarian.

Konsep mulok APLH melalui pendekatan klimal bahwa sekolah di setiap daerah akan mengajarkan secara umum tentang lingkungan hidup yang tersebar di setiap wilayah beriklim tertentu dan secara khusus tentang lingkungan hidup berdasarkan iklim di daerah sekolah tersebut. Iklim yang merupakan salah satu faktor abiotik dalam suatu ekosistem sangat menentukan tingkat keanekaragaman hayati khususnya tumbuhan terlebih bagi tumbuhan-tumbuhan endemik yang hanya dapat hidup dalam ekosisitem tertentu. Selain itu ekosistem yang berada dalam cakupan tipe iklim menurut Koppen juga harus diperhatikan cakupan tipenya menurut Junghuhn. Sehingga dalam penerapan mulok APLH di dalam Laboratorium Alam nantinya diharapkan memperoleh hasil yang nantinya bisa mengurangi tingkat erosi plasma nutfah khusunya. Contohnya Edelweis Anaphalis

Javanica yang hidup pada tipe iklim hutan tropis (Koppen) dan pada Zona Sedang(Junghuhn).

Lingkungan HIdup

Iklim

Pendekatan Klimal

Gambar 4. Diagram Diagram Korelasi Pendekatan Klimal

4.2. Mekanisme Proses Realisasi Mulok APLH dan Laboratorium Alam

Muatan Lokal Aplikasi Pendidikan Lingkungan Hidup (APLH) telah memenuhi ruang lingkup mulok ketiga, yaitu Pendidikan Lingkungan. Mulok APLH juga telah memenuhi landasan ideal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, landasan hukum dalam pelaksanaan penerapan muatan lokal, landasan teori pelaksanaan dalam pemberian kesempatan mempelajari lingkungan, maupun landasan demografik dalam melestarikan lingkungan alam.

bertugas membuat dan mengembangkan Muatan Lokal (Mulok). TPK yang dibentuk dimasing-masing daerah telah menyediakan perangkat Kurikulum Muatan Lokal dan sekolah dipersilahkan memilih Mata Pelajaran tertentu yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerahnya. Namun jika dianggap tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat sekitar, maka untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sendiri, sekolah harus melakukannya sebagaimana prosedur yang dilakukan TPK.

Tim Perekayasa

Kurikulum

(TPK)

Mula-mula sekolah melakukan Studi Kebutuhan (Need Assessment), yaitu mengumpulkan data dan melakukan studi kualifikasi tenaga kerja dan sejauh mana uraian tugasnya. Dilanjutkan dengan mengkaji bahan untuk dipelajari siswa dalam memenuhi kualifikasi tenaga kerja tersebut. Lalu mengorganisasi bahan menjadi bahan muatan lokal APLH. Kemudian mengkaji potensi sekolah yang dimiliki dalam penerapan kurikulum muatan lokal tersebut, yang akan dimanfaatkan dalam pembuatan buku acuan pelaksanaan. Lalu menyusun

Perangkat Kurikulum, meliputi Buku acuan Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal, GBPP, dan Petunjuk Pelaksanaan.

Kemudian sekolah dapat mengajukannya ke Diknas Wilayah dengan melampirkan semua perangkat kurikulum yang telah disusun, dengan tembusan ke Diknas Kabupaten dan Kecamatan. Setelah usulan tersebut dikaji TPK atas dasar penugasan dari Diknas Provinsi dan disetujui, maka sekolah dapat menerapkan pengajaran muatan lokal APLH.

Namun dalam menerapkan muatan lokal APLH, diperlukan adanya tenaga pengajar yang memenuhi syarat, dan fasilitasnya berupa Laboratorium Alam. Untuk memenuhi hal tersebut, pembentukan stadarisasi tenaga pengajar perlu dibentuk. Pembekalan Pendidikan dan latihan dasar berwawasan lingkungan terhadap tenaga pengajar sangat diperlukan untuk mewujudkan tenaga pengajar yang sesuai dengan konsep dasar penerapan APLH.

Untuk merealisasikan atau mendirikan Laboratorium Alam di lingkungan sekolah memerlukan beberapa proses yang hampir sama dengan proses realisasi muatan lokal, diantaranya sekolah menyusun rekomendasi pembangungan Laboratorium Alam meliputi potensi sekolah yang dimiliki, prospek program Laboratorium Alam, dan petunjuk pelaksanaan, langkah berikutnya adalah mengajukan rekomendasi tersebut ke cabang Dinas Pendidikan Kecamatan dan dilanjutkan ke cabang Dinas Pendidikan Kabupaten. Setelah mendapatkan izin dilanjutkan dengan mengajukan rekomendasi ke Dinas Pendidikan Provinsi. Apabila telah mendapatkan izin dan persetujuan dari Dinas Pendidikan Provinsi, perencanaan pembangunan laboratorium alam yang diajukan dapat direalisasikan.