Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Bab IV Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah tidak perlu diperkenalkan lagi. Ia telah memperkenalkan diri dengan sendirinya lewat figur pendirinya al-Saffah (Si Penjagal), khalifah pertama Bani Abbasiyah. Di atas mimbar, ia berikrar: “Allah telah mengembalikan hak kami (untuk memimpin), dan Ia akan menutup kepemimpinan ini dengan kami sebagaimana ia bermula. Waspadalah, karena saya adalah penjagal yang siap menghalalkan darah siapa saja (al-saffh al-mub) dan pembalas dendam yang siap membinasakan siapa pun juga (al-tsir al-mubr)!”

Al-Saffah sungguh layak menyebut dirinya “Si Penjagal”. Kepemimpinannya bermula dari dua keputusan penting yang tidak ada taranya dalam sejarah.

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah | 159

KOLEKSI JAPPY PELLOKILA

Tak ada orang setelah al-Saffah yang mampu menandingi apalagi melampaui “prestasi” kebengisannya. Adapun dekrit pertama — dengan ungkapan modern — yaitu titahnya untuk mencari kuburan dan memburu apa yang tersisa dari jenazah para pemimpin Umayyah, melecut, menyalib, membakar, dan menabur abunya ke udara. Sejarah mencatatkan apa yang berhasil ia temukan.

Ibnu Atsir mengungkapkan: “Kuburan Muawiyah bin Abi Sufyan dibongkar, tetapi usaha mereka sia-sia karena tidak ditemukan apa-apa. Lalu kuburan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan dibongkar juga. Mereka menemukan sepotong tulang yang sudah berubah menjadi mirip arang. Lalu dibongkarlah kuburan Abdul Malik bin Marwan dan mereka hanya menemukan tengkoraknya. Dari satu kuburan ke kuburan lain, mereka tidak menemukan banyak hal kecuali potongan-potongan tubuh. Terkecuali jenazah Hisyam bin Abdul Malik; mayatnya ditemukan hampir utuh, kecuali ujung hidungnya yang somplak. Mayat itu lalu didera, disalib, dibakar, lalu hilang ditelan angin. Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.” 1

1 Ibnu Atsir, al-Kmil fit Trikh. Vol. IV, hal. 333.

160 | Farag Fouda

Al-Mas’udi pun mengungkapkan kisahnya secara

lebih terperinci. 2 “Haitsam bin Uday at-Tha`i meriwayatkan kisah dari Amru bin Hani. ‘Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah pada masa Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kami temukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. Abdullah bin Ali mengeluarkannya, melecutnya 80 kali, lalu membakarnya. Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari perkuburan Dabiq. Yang tersisa memang hanya tulang belakang, tulang rusuk, dan tengkoraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal serupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek pekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus. Di sana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik. Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga menggali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan penggalian kuburan Yazid bin Muawiyah, tapi kami hanya menemukan sepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemukan garis hitam seperti ditorehkan arang. Kami masih memburu jenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan membakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka.”

2 Al-Mas’udi, Murdjuz Dzahab, Vol. III, hal. 219.

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah | 161

KOLEKSI JAPPY PELLOKILA

Saya perlu berterus terang kepada para pembaca bahwa ketika merenungkan kejadian-kejadian sadis ini, saya selalu berupaya menalar dan mencari justifikasinya. Namun, semua berakhir tanpa hasil. Saya justru jijik membaca peristiwa-peristiwa sadis ini. Pembunuhan terhadap para pembesar dalam konteks perebutan kekuasaan, membunuh sanak keluarga demi menjamin masa depan kekuasaan baru dan menghapuskan sisa-sisa kekuasaan masa lalu memang sudah sering terjadi. Akan tetapi, memburu jenazah, membalas dendam, menyalib dan membakarnya, adalah perkara yang sangat-sangat berlebihan.

Anehnya, sebagian orang justru menafsirkan fakta ini sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran Tuhan. Sebab, satu-satunya jenazah yang ditemukan hampir utuh, lalu disiksa, disalib, dibakar, dan abunya ditabur ke udara, tiada lain adalah jenazah Hisyam bin Abdul Malik. Untuk kasus ini, sebagian orang justru menafsirkannya sebagai cara Tuhan membalas dendam terhadap Hisyam.

Tafsiran ini merupakan ekses dari kekejaman Hisyam pada masa hidupnya terhadap Zaid bin Ali bin Hasan, cicit Ali bin Abi Thalib, yang terbunuh karena memberontak terhadap Hisyam. Saat itu, Zaid terbunuh dan mayatnya dimakamkan di tempat penampungan air, sembari disembunyikan di balik dedebuan dan semak- belukar agar tidak dapat ditemukan. Namun para panglima

162 | Farag Fouda 162 | Farag Fouda

tempat itu dibuatkan pula monumen untuknya” 3 .

Andai kita menerima asumsi bahwa apa yang terjadi pada Hisyam merupakan cara Tuhan untuk membalas dendam, bagaimana kita akan menyebut apa yang terjadi pada lainnya dari kalangan Bani Umayyah? Bagian mana dari al-Quran dan Sunnah yang dapat membenarkan tindakan-tindakan brutal kalangan Abbasiyah? Di manakah suara para fuqaha dan ulama pada masa itu? Ke mana perginya Abu Hanifah yang kala itu berusia lebih dari 50 tahun, dan Imam Malik yang sudah menginjak 40 tahun usianya? Mengapa mereka diam saja, bahkan tidak sekadar diam, tetapi bahkan mendukung baik lewat syair- syair atau dengan cara menggaungkan validnya hadis nabi yang konon telah memprediksi kepemimpinan al-Saffah?

Dalam Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebutkan hadis berikut: “Akan muncul pemimpin dari sanak keluargaku pada masa terjadinya peralihan zaman dan malapetaka besar. Ia disebut al-Saffah, kedermawanannya sangat melimpah.” Al-Thabari juga

3 Al-Mas’udi, ibid, hal. 219.

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah | 163

KOLEKSI JAPPY PELLOKILA

menyebutkan: “Rasulullah pernah mewartakan kepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan Arab kelak akan jatuh ke tangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak keluarganya itu tidak sabar menantikan kapan saat itu tiba.” Bahkan, sebagian orang menyibukkan diri dengan kisah perjamuan al-Saffah yang kita sebut sebagai keputusannya yang kedua. Mungkin keputusannya ini sangat penting untuk dicermati insan sinema masa kini agar dapat memetik kisah tentang kejeniusan penyutradaraan, keruntutan skenario serta keutuhan babak-babak dari kisahnya. Bukan itu saja, keputusan itu juga didahului oleh pemandangan yang sangat hidup untuk sebuah drama. Para pembaca tidak akan ragu lagi menyatakan bahwa semua skenario disusun dengan sangat rapi, dan para para pendahulu kita itu sangat andal dalam seni pemasaran. Mereka juga sangat piawai dalam menentukan titik-titik ketegangan dalam plotnya, dan mampu mencocokkannya sehingga kisah berlangsung alamiah, mengalir, dan beriringan dengan konteks peristiwa secara keseluruhan.

Kita akan mulai kisah ini dengan babak sinopsis sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir. 4 “Di saat al- Saffah sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik, Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya:

4 Ibnu Atsir, ibid, hal. 333.

164 | Farag Fouda

Jangan silau akan tampilan seorang Jika sumsum simpan penyakit mematikan Hunuskan pedang, sediakan lecutan Sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang

Kontan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: “Anda benar-benar telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif)!” Al-Saffah pun langsung beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.

Dari apa yang dicatatkan oleh Ibnu Atsir, kita dapat menyusun skenario peristiwa itu sebagai berikut:

Al-Saffah mencoba bermurah hati dengan upaya memberi perlindungan kepada salah satu pembesar keluarga Umayyah (anak dari khalifah sebelumnya). Akan tetapi, ia dianggap terlalu berlebihan dalam memberi perlindungan, sampai-sampai harus mengundangnya ke sebuah perjamuan yang sangat membesarkan hati. Sejurus kemudian, seorang penyair masuk layar sebagai unsur kejutan. Ia melantunkan beberapa bait syair guna memprovokasi pembalasan dendam dan berisi celaan untuk perlakuan lemah-lembut terhadap keluarga Umayyah. Lalu anggota keluarga Umayyah berteriak histeris: “Anda benar-benar telah membunuhku, Syekh Sudaif!” Temperamen khalifah langung naik dan segera

Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah | 165