Penutup: Lalu Apa?

Bab V Penutup: Lalu Apa?

Para pembaca tidak perlu risau jika merasa terguncang ketika membaca buku ini. Terguncang demi mencapai kebenaran adalah mulia. Terguncang dengan fakta-fakta jauh lebih baik daripada berbangga dengan kepalsuan. Namun penyebab utama keterguncangan itu — seperti sudah kita sebutkan di awal pembicaraan buku ini — karena jiwa kita memang lebih nyaman membaca apa yang kita sukai. Mendengar apa yang hanya ingin didengarkan — terlepas dari aspek kebenaran dan fakta yang didengarkan — juga menjadi bagian dari watak manusia.

Karena mengklaim suatu kebenaran, di sini saya berkewajiban untuk menegaskan aspek kebenaran itu: Islam-negara atau Islam yang menegara (Islm al-dawlah), selalu merupakan reduksi terhadap Islam-agama (Islm al- dn), bahkan menjadi beban baginya. Islam, sebagaimana Karena mengklaim suatu kebenaran, di sini saya berkewajiban untuk menegaskan aspek kebenaran itu: Islam-negara atau Islam yang menegara (Islm al-dawlah), selalu merupakan reduksi terhadap Islam-agama (Islm al- dn), bahkan menjadi beban baginya. Islam, sebagaimana

Sementara untuk aspek fakta: manusia tetaplah manusia dalam setiap masa; baik pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, Umayyah, Abbasiyah, maupun pada zaman modern ini. Karena itu memperbincangkan imajinasi tentang “firdaus dunia” adalah omong kosong yang tak berguna, kesia-siaan yang tidak membawa manfaat, dan kebohongan yang tidak berpengharapan.

Para pembaca mungkin sudah menangkap kesan bahwa perbicangan tentang sejarah dalam buku ini justru diarahkan ke masa kini dan diproyeksikan untuk masa depan. Dalam orientasi dan proyeksi itu, saya sering kali harus menahan diri tatkala berhadapan dengan fakta-fakta yang memilukan atau kejadian-kejadian yang menyesakkan. Saya tidak tahu apakah para pembaca akan percaya kalau saya mengaku telah benar-benar menahan diri untuk tidak terlalu menyelami beberapa detail persoalan. Itu saya lakukan untuk menghindarkan diri dari ungkapan-ungkapan yang tercela atau berlebihan-lebihan dalam mengumbar kebobrokan.

Saya berharap apa yang saya kerjakan ini berhasil membumikan fantasi-fantasi sejarah kita ke dalam dunia nyata agar kita tidak selalu berada di alam mimpi. Namun itu sungguh berat, karena yang kita dapat justru kenyataan pahit, tidak melegakan, bahkan tak jarang memilukan.

Penutup: Lalu Apa? | 241

KOLEKSI JAPPY PELLOKILA

Saya pun tidak mengklaim selalu benar dan tidak mungkin berbuat kekeliruan dalam pemaparan fakta sejarah. Yang pasti, saya tidak ingin terjebak dalam kekeliruan banyak orang dalam menilai sejarah Islam. Terlalu banyak orang yang tidak memedulikan masa hampir seribu tahun kekuasaan Umayyah plus Abbasiyah lalu memfokuskan diri pada masa dua tahun, tidak lebih dari masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz misalnya.

Untuk menunjukkan keunggulan sistem khilafah, mereka terkadang juga sengaja menonjol-nonjolkan fase al-Khulafa’ al-Rasyidun sebagai contoh ideal sistem khilafah. Mereka ini telah membolak-balik fakta sejarah dan mengelabui generasi muda untuk menghancurkan tatanan sosial kemasyarakatannya. Dengan itu mereka berpikir akan dapat membalik jarum jam sejarah dan membangun sistem sosial-politik berdasarkan imanjinasi tentang khilafah. Padahal, jika kita betul-betul merenungkan potret masa itu saja secara utuh, kita tentu akan lebih berbesar hati dan bersyukur dengan pencapaian-pencapaian masyarakat modern.

Apa yang kita tuliskan ini bukanlah sebentuk celaan terhadap individu-individu. Al-Khulafa’ al-Rasyidun nauzubillah! Martabat meraka sudah amat tinggi sebagai para sahabat Rasulullah dan sebagai agamawan-agamawan agung. Namun kita memang sedang menilik mereka dari sudut pandang berbeda yaitu sudut politik. Karena itu

242 | Farag Fouda 242 | Farag Fouda

Untuk membuktikan premis ini cukuplah bagi para pembaca untuk merenungkannya bersama. Kita tersentak karena masa kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun hanya berlangsung selama 30 tahun. Selama masa itu, empat orang khalifah datang silih berganti. Dan yang sangat menyentak, tiga di antara mereka wafat karena terbunuh oleh tajamnya pedang atau runcingnya tombak. Yang terbunuh oleh bocah Majusi (Umar bin Khattab) sungguh sangat menyentak. Yang terbunuh di tangan rakyatnya (Usman bin Affan) jauh lebih menyentak dan mengagetkan. Dan yang terakhir (Ali bin Abi Thalib) wafat oleh tangan Muslim ekstremis dan ini juga sangat memilukan.

Yang juga perlu diperhatikan khalifah keempat (Ali) menghabiskan hampir seluruh masa kekuasaannya untuk memantapkan kekuasaan dan mengukuhkan kepemimpinannya tanpa hasil apa-apa. Kisahnya berujung tatkala ia terkepung di Kufah sambil bermohon agar Allah mengganti rakyatnya dengan rakyat lainnya dan menghadirkan untuk mereka pemimpin yang jauh lebih buruk darinya. Dan kita lebih tertohok lagi tatkala mencermati kenyataan ini: sekalipun masa kekuasaan Ali

Penutup: Lalu Apa? | 243