1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan
sekitarnya. Pembangunan dan pertambahan penduduk yang sangat cepat menyebabkan meningkatnya segala
kebutuhan baik perorangan maupun kebutuhan sosial. Hal tersebut secara tidak langsung telah menimbulkan
berbagai dampak, terutama dampak negatif pada lingkungan, diantaranya pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan penurunan kualitas atau degradasi lingkungan Daryanto, 2013: 4.
Kerusakan lingkungan pada dasarnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Adanya kesalahan cara pandang
manusia turut melahirkan pola perilaku yang salah atau keliru terhadap alam dan lingkungan hidup. Keraf 2010:
80 mengatakan bahwa cara pandang ini kemudian melahirkan sikap dan perilaku yang eksploitatif dan
tidak peduli kepada alam. Menurut Hamzah 2012: 14 pengelolaan lingkungan yang dilakukan dapat dikatakan
efektif tergantung dari bagaimana upaya mengadopsi etika yang baik dalam berperilaku. Perilaku yang
dimaksud adalah perilaku yang ramah dan peduli dengan keadaan lingkungan.
2
Melihat dari sikap dan aktivitas yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan
maka Pendidikan
Lingkungan Hidup PLH perlu diberikan kepada masyarakat terutama kepada anak agar terbentuk
kesadaran dan sikap peduli lingkungan sejak dini. PLH menurut Kementerian Lingkungan Hidup KLH Karim,
2012: 12 dibangun dengan tujuan untuk mendorong dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian,
komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana,
turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika
lingkungan hidup, dan memperbaiki kualitas hidup. PLH merupakan salah satu faktor penting keberhasilan
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan merupakan aspek sentral dari proses menuju pembangunan
berkelanjutan BPLH, 2016: 1. Widaningsih 2008: 8 mengatakan bahwa PLH
dalam lingkup sekolah merupakan pendidikan yang membelajarkan siswa didik pada kearifan alam dan
lingkungan, kreativitas,
strategi dan
metode pembelajarannya harus senantiasa dikembangkan
berdasarkan kebutuhan perkembangan siswa didik serta kondisi alam dan lingkungan dimana siswa berada.
3
Menurut Nurjhani dan Widodo Landriany, 2014: 82 pendidikan lingkungan dibutuhkan dan harus diberikan
kepada anak sejak dini agar mereka mengerti dan tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini PLH mempengaruhi
beberapa aspek antara lain: 1 aspek kognitif, pendidikan lingkungan hidup mempunyai fungsi untuk
meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan lingkungan, juga mampu meningkatkan daya ingat,
penerapan, analisis, dan evaluasi; 2 aspek afektif, pendidikan lingkungan hidup berfungsi meningkatkan
penerimaan, penilaian,
pengorganisasian dan
karakteristik kepribadian dalam menata kehidupan dalam keselarasan dengan alam; 3 aspek psikomotorik,
pendidikan lingkungan hidup berperan dalam meniru, memanipulasi dalam berinteraksi dengan lingkungan di
sekitarnya dalam
upaya meningkatkan
budaya mencintai lingkungan; dan 4 aspek minat, pendidikan
lingkungan hidup berfungsi meningkatkan minat dalam diri anak. Dari beberapa pendapat diatas dapat
diketahui bahwa PLH merupakan langkah yang sangat efektif untuk terus menggerakkan kesadaran manusia
akan kepedulian terhadap lingkungan. PLH dapat diselenggarakan melalui pendidikan
formal, misalnya melalui sekolah; informal, misalnya dalam lingkungan keluarga; non formal, misalnya dalam
kelompok-kelompok belajar Maryani, 2014: 172. Dalam
4
lingkup pendidikan formal sendiri, PLH didukung dengan adanya kebebasan yang dimiliki sekolah dimana
manajemen dan pengelolaannya sepenuhnya diserahkan kepada pihak sekolah yang disebut Manajemen Berbasis
Sekolah MBS sehingga selain menghasilkan generasi- generasi yang melek lingkungan juga akan mendukung
dalam ketercapaian penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sesuai dengan aturan perundang-undangan
pendidikan yang berlaku Barlian, 2013: 2. Melalui MBS, sekolah memiliki otonomi dalam hal: 1
pengetahuan knowledge, dimana sekolah memiliki kewenangan berkaitan dengan kurikulum, termasuk
membuat keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan atau pembelajaran yang akan dicapai, 2
teknologi technology,
dimana sekolah
memiliki kewenangan memutuskan sarana teknologi belajar
mengajar apa saja yang digunakan untuk mencapai kualitas, 3 kekuasaan power, dimana sekolah memiiki
otonomi dalam membuat keputusan terbaik yang mendorong kualitas di sekolah, 4 material material,
dimana sekolah memiliki otonomi dalam hal pengadaan dan penggunaan berbagai fasilitas peralatan sekolah
secara optimal, 5 manusia people, dimana sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai pengembangan
sumber daya
manusia di
sekolah, termasuk
pengembangan profesionalisme yang berkaitan dengan
5
proses belajar mengajar yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar secara efektif, 6 waktu time,
dimana sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai pemanfaatan alokasi waktu, dan 7 keuangan finance,
dimana sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai alokasi keuangan Barlian, 2013: 6-7. Dengan
demikian, setiap sekolah dapat menerapkan kurikulum dengan fokus penekanan kemampuan yang berbeda-
beda, sesuai dengan apa yang akan dicapai oleh peserta didik. Penekanan kemampuan yang berbeda-beda ini
bergantung pada sumber daya tenaga pendidik yang ada di sekolah dimana yang menjadi fokusnya adalah
pengembangan kompetensi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan hidup yang diintegrasikan
secara formal ke dalam kurikulum sekolah merupakan salah satu alternatif yang rasional Landriany, 2014: 82,
dimana sekolah merupakan komunitas masyarakat yang di dalamnya terdiri dari siswa, guru, kepala sekolah, dan
tata usaha serta karyawan merupakan salah satu medium efektif bagi pembelajaran dan penyadaran
terutama warga sekolah agar individu-individu, mulai dari guru, murid, dan pekerja terlibat dalam upaya
menghentikan laju
kerusakan lingkungan
yang disebabkan tangan manusia.
Pada tahun
2004, Kebijakan
Pendidikan Lingkungan Hidup kemudian disusun oleh Kementerian
6
Negara Lingkungan Hidup yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam
Negeri dan Kementerian Agama. Selanjutnya, pada tahun 2006 disepakati pembinaan dan pengembangan
pendidikan lingkungan hidup yang lebih intensif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian
Pendidikan Nasional
melalui program
Adiwiyata Program Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan.
Program Adiwiyata merupakan program dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran
warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup melalui prinsip edukatif, partisipatif dan
berkelanjutan. Program adiwiyata ini diikuti oleh tingkat sekolah dasar, tingkat SMP dan tingkat SMA atau level
pendidikan yang sama BPLH, 2016: 2. Beberapa
penelitian yang
telah dilakukan
dibeberapa negara mengenai program yang serupa dengan program adiwiyata, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Steven A. Marable pada tahun 2015 di
Public Schools in Virginia, Virginia Beach City Public Schools, Virginia
dengan judul “Green schools-the Implementation and Practices of Environmental Education
in LEED and USED Green Ribbon ” menemukan bahwa
dengan mengimplementasikan program LEED dan USED serta dengan adanya penghargaan yang diberikan
berdampak kepada lingkungan, terutama di sekolah.
7
Sekolah memiliki lingkungan yang sehat dan kesadaran yang kuat akan pentingnya menjaga lingkungan.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Brit Shay- Margalit and Ofir D. Rubin dari Department of Public
Policy Administration, Ben-Gurion University of the Negev, Beer-Sheva, Israel pada 9 Mei 2016 yang lalu yang
meneliti tentang Effect of the Israeli “Green Schools”
Reform on Pupils’ Environmental Attitudes and Behavior”
menemukan bahwa pendidikan lingkungan memberikan efek positif pada lingkungan. Dampak sekolah hijau
menunjukkan efek langsung pada perubahan tingkah laku terhadap lingkungan. Dia juga menemukan bahwa
terdapat perbedaan antar siswa, dimana siswa yang lebih banyak menghabiskan waktu luang mereka
dengan menonton TV atau berhubungan dengan media elektronik lainnya cenderung memiliki sikap peduli
lingkungan yang kurang. Dari beberapa penelitian diatas kita menemukan
bahwa penerapan program Adiwiyata di sekolah memang memberikan dampak positif terhadap sikap kepada
lingkungan. Gordon mengatakan 2010: 1 sekolah hijau atau sekolah yang menerapkan program Adiwiyata akan
berusaha untuk menciptakan lingkungan yang optimal dengan menyediakan udara yang segar, rentang suhu
yang nyaman, dengan banyak pencahayaan alami, dan meminimalkan gangguan suara di sekitar sekolah.
8
Selain itu pula memaksimalkan efisiensi sumber daya, meminimalkan polusi, dan mengajarkan kepada siswa
pentingnya inovasi
di lingkungan.
Sehingga, terintegrasinya pendidikan lingkungan hidup ke dalam
program sekolah diharapkan dapat menjadi proses pembiasaan
sehingga diharapkan
adanya pengembangan perilaku, sikap dari siswa untuk
menghargai, mencintai dan memelihara lingkungan hidup yang dapat menjadi kebiasaan sehari-hari Aini,
2014: 279. Di kota Salatiga terdapat beberapa sekolah yang
memang sudah menjalankan program Adiwiyata dan sudah mendapatkan penghargaan baik di tingkat kota,
provinsi, nasional maupun Adiwiyata Mandiri, salah satunya SMP Negeri 6 Salatiga. SMP Negeri 6 Salatiga
merupakan salah satu sekolah yang fokus untuk mengembangkan diri menjadi sekolah yang peduli dan
berbudaya lingkungan atau yang disebut dengan sekolah Adiwiyata. Hal ini terlihat dari visinya yaitu
unggul dalam mutu, berpijak pada iman dan taqwa yang berwawasan
lingkungan. Untuk
mewujudkannya sekolah memiliki satu misi yang berkaitan dengan
lingkungan yaitu mewujudkan lingkungan pembelajaran yang kondusif dan mewujudkan sekolah Adiwiyata.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah, yaitu mewujudkan
sekolah Adiwiyata,
sekolah telah
9
melakukan persiapan sejak tahun 2010 sehingga pada tahun 2011 sekolah tersebut mendapatkan penghargaan
sebagai calon sekolah Adiwiyata tingkat kota Salatiga, kemudian pada tahun 2012 sekolah mendapatkan
penghargaan sebagai sekolah Adiwiyata tingkat kota, dan
pada tahun
2013 sekolah
mendapatkan penghargaan
sebagai sekolah
Adiwiyata tingkat
nasional. Pencapaian yang diraih sekolah tidak bisa lepas dari adanya kerjasama seluruh warga sekolah,
termasuk di dalamnya kepala sekolah sebagai manajer sekolah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugiyantono pada tahun 2015, secara institusional SMP
Negeri 6 Salatiga telah berhasil mengembangkan sekolah Adiwiyata dimana di dalamnya terdapat kegiatan-
kegiatan yang dibuat berorientasi lingkungan yang baik dan mampu menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan
kepada seluruh warga sekolah. Untuk terus mengembangkan sekolah Adiwiyata,
sekolah mengajukan diri sebagai calon sekolah Adiwiyata Mandiri pada tahun 2015 sebagai usulan dari
pemerintah provinsi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi sekolah Adiwiyata Mandiri, SMP Negeri 6
Salatiga melakukan pembinaan kepada sekolah-sekolah di Salatiga sebagai salah satu prasyarat bahwa sebagai
calon sekolah Adiwiyata Mandiri sekolah harus memiliki
10
minimal 10 sepuluh sekolah imbas yang memenuhi kriteria Adiwiyata minimal kabupatenkota. Hasil
wawancara awal dengan salah satu pengurus Adiwiyata SMP Negeri 6 Salatiga didapat bahwa bahwa dalam
menjalankan pembinaan,
pada awalnya
sekolah mengadakan pertemuan dengan mengundang setiap
perwakilan dari sekolah-sekolah yang bisa dijadikan sebagai calon sekolah Adiwiyata yang dalam hal ini
disebut sekolah imbas, kemudian melakukan sosialisasi mengenai sekolah Adiwiyata dengan harapan nantinya
calon sekolah imbas mau dibina untuk menjadi calon sekolah Adiwiyata. Setelah itu sekolah dibina, diawasi,
dan dievaluasi. Dalam pelaksanaannya, pembinaan yang dilakukan kepada sekolah imbas dilakukan oleh kepala
sekolah saja dan bersifat monitoring untuk melihat bagaimana capaian yang telah dilakukan oleh sekolah
dalam rangka
mengikuti program
Adiwiyata. Berdasarkan hasil observasi peneliti lebih lanjut, SMP
Negeri 6 mengalami pergantian kepala sekolah, sehingga peneliti kesulitan untuk mencari informasi lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pembinaan di sekolah tersebut karena pengurus Adiwiyata lainnya di sekolah tersebut
kurang memahami proses pembinaan itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti kemudian mencoba mencari sekolah
lain yang juga memiliki kriteria seperti SMP Negeri 6 Salatiga, yaitu sekolah yang sedang mengikuti program
11
Adiwiyata Mandiri ataupun sekolah yang sudah pernah berhasil menjadi sekolah Adiwiyata Mandiri, yaitu SD
Marsudirini 77 Salatiga dimana sekolah tersebut juga merupakan
sekolah yang
berfokus untuk
mengembangkan diri dengan mengikuti program Adiwiyata Mandiri.
Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan kepada ketua Adiwiyata di SD Marsudirini 77 Salatiga,
Bapak Fx. Ernastyono, S.Pd didapatkan bahwa pembinaan Adiwiyata dilakukan oleh ketua Adiwiyata
sekolah dan bersifat monitoring. Tinjauan atau kunjungan ke sekolah-sekolah imbas jarang dilakukan,
dan apabila dilakukan hanya jika ada sekolah imbas yang meminta agar pembina datang untuk melihat
capaian sekolah imbas itu sendiri. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya
kesulitan pembina dalam membagi waktu untuk membina sekolah imbas dan beban mengajar yang harus
dijalankan serta tugas administrasi lainnya. Sejalan dalam proses pembinaan, pembina merasa kesulitan
karena ada beberapa sekolah imbas kurang memiliki motivasi dan antusias, serta komitmen dalam mengikuti
program Adiwiyata, sehingga hal inipun menjadi tantangan bagi pembina untuk bagaimana memberikan
motivasi kepada sekolah imbas dalam pembinaan.
12
Studi pendahuluan lebih lanjut mendapatkan bahwa keefektifan pembinaan Adiwiyata yang dilakukan
oleh sekolah masih rendah, hal ini sesuai dengan hasil wawancara lebih lanjut dengan ketua Adiwiyata di SD
Marsudirini 77 yang sekaligus sebagai pembina mengatakan bahwa belum ada perencanaan khusus
untuk pembinaan itu sendiri karena mengingat adanya beberapa pertimbangan terutama waktu, sehingga
pembinaan bisa dilakukan ketika ada waktu kosong atau
tidak sedang
mengajar dan
juga harus
menyesuaikan dengan waktu yang dimiliki oleh sekolah imbas itu sendiri, sehingga dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa
pembinaannya masih
bersifat isidental. Selain itu pula adanya perubahan rencana
karena antara pihak sekolah imbas dan sekolah induk sering berbenturan jadwalnya dengan kegiatan dinas
lainnya. Dalam pengorganisasiannya sendiri belum ada
pembentukan tim khusus pembinaan, sehingga selama ini yang melakukan pembinaan hanya ketua Adiwiyata
terkadang juga bersama Suster Kepala. Hal ini juga menjadi kendala karena dengan begitu seluruh tugas
dan peran yang seharusnya tidak dikerjakan oleh pembina, maka kemudian dikerjakan oleh pembina.
Untuk pelaksanaan pembinaan belum berjalan dengan efektif dan maksimal dikarenakan sekolah imbas belum
13
banyak berpartisipasi secara utuh karena kurang termotivasi dan juga masih memiliki komitmen yang
rendah dalam melaksanakan program Adiwiyata ini, padahal keberhasilan untuk mewujudkan harapan
seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup,
sesungguhnya membutuhkan partisipasi masyarakat melalui berbagai aktivitas yang dapat dihubungkan
dengan pembinaan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup, sehingga evaluasi yang dilakukan
oleh pembina belum dapat mempengaruhi sekolah imbas secara optimal.
Dari paparan tersebut terlihat bahwa model pembinaan Adiwiyata yang ada belum dapat menjawab
permasalahan di dalam melaksanakan pembinaan, dimana pembinaan belum terkonsep dengan baik serta
kurangnya partisipasi secara tidak langsung pula memberi dampak negatif baik kepada sekolah induk
maupun sekolah imbas dimana program Adiwiyata sulit atau tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pada
akhirnya tujuan program Adiwiyata sulit untuk tercapai. Jika merujuk kepada teori mengenai pembinaan
sebuah organisasi yang dikemukakan oleh Ivancevich 2009: 46 pembinaan adalah sebuah proses sistematis
untuk mengubah perilaku kerja seorangsekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi.
14
Untuk menghasilkan kinerja pada tingkat yang tinggi, maka seorang manajer atau pemimpin berjuang untuk
memotivasi orang-orang di dalamnya dengan melibatkan mereka untuk turut ambil bagian dalam setiap
prosesnya, sehingga muncul pertanggungjawaban dalam diri mereka untuk melaksanakan setiap tugas dan
tanggungjawab yang diberikan. Terkait dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Abdul Karim
pada tahun 2012 mengenai “Manajemen Pendidikan Lingkungan
Hidup Berbasis
Partisipasi” juga
menyatakan bahwa partisipasi dapat memberikan kontribusi untuk mengisi dan mengatasi berbagai
permasalahan lingkungan. Bentuk-bentuk partisipasi bisa mulai dari spektrum yang paling ekstrim sampai
pada bentuk kemitraan. Melalui partisipasi yang aktif, mereka
dapat mengeksplorasikan
kepeduliaannya maupun melakukan kontrol.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ratna Dwi Utami Juliari dan rekan-rekannya pada tahun 2015
mengenai “Strategi Pembinaan Sekolah Adiwiyata di Kota Batu” menemukan hasil bahwa status pengelolaan
sekolah adiwiyata nasional sangat baik pada aspek kebijakan dan aspek sarana dan prasarana, tetapi pada
aspek kurikulum dan aspek partisipatif memiliki status baik. Hal ini sesuai dengan hasil penilaian tim adiwiyata,
dimana pada kedua aspek ini merupakan aspek yang
15
sedang diupayakan untuk ditingkatkan melalui upaya menjalin kemitraan dengan pihak luar, aktif menjadi
narasumber dan meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan
isu lokal
dan global
serta mengembangkan indikator pembelajaran dan pada
sekolah adiwiyata provinsi serta sekolah adiwiyata kota, status pengelolaan yang paling lemah justru pada aspek
partisipatif, hal ini dikarenakan sekolah adiwiyata provinsi dan sekolah adiwiyata kota belum memiliki
keberanian untuk menjalin kemitraan dengan pihak luar terutama sebagai narasumber pada instansisekolah
lain. Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa untuk melakukan pembinaan harus jelas prosesnya dan harus sistematis, tahapan-tahapannya
harus jelas mulai dari perencanaan hingga evaluasinya sehingga pembinaan dapat berjalan dengan efektif.
Selain itu pula, motivasi di dalam diri seseorang atau dalam
organisasi diperlukan
dalam membantu
ketercapaian strategi yang telah direncanakan. Motivasi dapat dimunculkan melalui pelibatan secara langsung
ke dalam setiap tahapan pembinaan. Dalam hal ini berarti diperlukan sebuah model pembinaan Adiwiyata
yang terkonsep mulai dari tahap perencanaan hingga tahap
evaluasinya secara
kongkret. Selain
itu memasukkan basis partisipasi dalam model sangat
16
diperlukan sehingga dapat memotivasi sekolah-sekolah imbas dan dapat memunculkan keberanian dalam diri
sekolah imbas untuk menjalin kerja sama dengan pihak atau instansi lainnya. Dengan adanya model pembinaan
berbasis partisipasi pula akan diketahui seberapa jauh keefektifan dan keberhasilan pembinaan tersebut
dilakukan. Selain itu bila dilihat dari segi waktu akan menjadi lebih efisien serta apabila sewaktu-waktu
sekolah imbas dilepas atau dihentikan pembinaannya, mereka dapat berdiri sendiri karena sudah memiliki
patokan yang jelas dalam melaksanakan program Adiwiyata.
1.2 Identifikasi Masalah