Pengelolaan Pulau Kecil Terluar Indonesia (Studi Pulau Miangas)

(1)

PENGELOLAAN PULAU KECIL TERLUAR INDONESIA

(KASUS PULAU MIANGAS)

MAARTIANUS SAVERIUS BAROLEH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: Pengelolaan Pulau Kecil Terluar Indonesia (Studi Pulau Miangas) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017 Maartianus Saverius Baroleh C262110031


(4)

RINGKASAN

MAARTIANUS SAVERIUS BAROLEH. Pengelolaan Pulau Kecil Terluar Indonesia (Studi Pulau Miangas). Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, ROKHMIN DAHURI, SETYO BUDI SUSILO dan DANIEL R.O. MONINTJA.

Luas Pulau Miangas sekitar 3,15 km² dengan panjang garis pantai 6,640 km (Miangas dalam Angka 2012) atau 218,39 hektar berdasarkan citra satelit Quickbird 2005 (KKP 2012). Wilayah daratan terdiri dari dataran berpasir putih, rawa, perkebunan kelapa dan sagu, bukit / gunung tanah dan batu karang. Kondisi alamnya pada sisi sebelah Barat pada umumnya berupa dataran rendah dan dibeberapa tempat gundukan batu karang / kapur serta goa; daerah pada sisi ini didominasi oleh tanaman kelapa dengan hamparan pasir putihnya di hampir seluruh pantai.

Bahwa Kerentanan Pulau Miangas, didapatkan sebagai berikut : 1. Dimensi Exposure

Dimensi Exposure didapatkan nilai IE = 4,29 2. Dimensi Sensitivity

Dimensi Sensitivity didapatkan nilai IS = 2,35 3. Dimensi Adaptive Capacity

Dimensi Adaptive Capacity IAC didapatkan nilai =1,6

Secara umum didapatkan nilai (kerentanan Pulau Miangas) IK-PPK = IE x IS/IAC = 4,29 x 2,35 /1,6 = 6,30

Pulau Miangas berdasarkan analisis adalah kerentanan sedang (moderate) dan sedangkan isolasi IKP1(Miangas) = 32,6744 Indeks keterisolasian yang berarti Analisis keberlanjutan membuktikan bahwa dimensi ekonomi pulau Miangas tidak dapat di berlanjutkan. .

Berdasarkan hasil keberlanjutan maka didapatkan sebagai berikut :

1. Bahwa berdasarkan analisis keberlanjutan terhadap lima dimensi pulau Miangas maka didapatkan 3 hal utama terbesar dalam rangka melakukan keberlanjutan, yaitu:

1) Tingkat pendidikan relatif terhadap tingkat provinsi 2) Besarnya pasar

3) Rata-rata penghasilan relatif terhadap UMR (Upah Minimum Regional)

2.Bahwa untuk melakukan keberlanjutan ke depan bagi masyarakat pulau Miangas dalam rangka memperkuat ke masa depan adalah :

1) Memperkuat pembangunan pendidikan masyarakat pulau Miangas 2) Memperbanyak jumlah pasar di Pulau Miangas

3) Memperkuat kemampuan ekonomi masyarakat ke depan

4) Berdasarkan hasil keberlanjutan, didapatkan bahwa dari Dimensi Ekonomi merupakan dimensi yang tidak bisa dilakukan

keberlanjutan 18,42

Berdasarkan analisis keberlanjutan pulau Miangas maka perlu dilakukann kecukupan ekonomi pulau Miangas. Perlu dilakukan subsidi ke Pulau Miangas sejumlah Rp 9.174.933.000, per tahun sambil mempersiapkan sumberdaya manusia Pulau Miangas yang siap menjawab kebutuhan ekonomi ke masa depan.


(5)

Bentuk usaha percepatan pertumbuhan perekonomian perbatasan yang berbasis kerakyatan antara lain:

1. Penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat adat/kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang sudah ada.

2. Pemberdayaan, pendampingan dan penguatan peran serta perempuan dalam kegiatan perekonomian atau sosial.

3. Pengembangan wawasan kebangsaan masyarakat di kawasan perbatasan. 4. Menghidupkan peran lembaga keuangan mikro dalam peningkatan

pertumbuhan perekonomian.

5. Identifikasi potensi dan pengembangan sektor-sektor unggulan di daerah perbatasan.

Sosial sumberdaya pulau Miangas merupakan kekuatan sosial yang terbentuk oleh budaya yang kuat. Ekonomi Miangas adalah ekonomi yang rentan dan masih disubsidi. Politik Miangas adalah suatu kekuatan yang memancarkan tema beranda Pancasila sedangkan kelembagaan masyarakat Miangas masih perlu diperkuat.


(6)

SUMMARY

MAARTIANUS SAVERIUS BAROLEH. Management of Small Island Outer Indonesia (Study Miangas). Supervised by ACHMAD FAHRUDIN, ROKHMIN DAHURI, SETYO BUDI SUSILO and DANIEL R.O. MONINTJA. Size Miangas of about 3.15 square kilometers with a coastline of 6.640 km (Miangas in Figures 2012) or 218.39 hectares by 2005 Quickbird satellite image (CTF, 2012). The land area consists of white sandy plains, swamps, and sago palm plantations, hills / mountains of soil and rock. The landscape on the west side is generally a low lying areas and in some places a mound of rock / limestone and caves; area on this side is dominated by coconut trees with white sand in almost the entire coast.Vulnerabilities that Miangas, obtained as follows:

1. Exposure DimensionsExposure dimension values obtained IE = 4.29 2. Dimensional SensitivityDimensional Sensitivity got value IS = 2,35 3. Adaptive Capacity Dimensions

Adaptive Capacity Dimension IAC earned value = 1.6 In general the values obtained (susceptibility Miangas) IK-PPK = IE x IS / IAC = 4.29 x 2.35 / 1.6 = 6.30

Miangas based analysis is Vulnerability (moderate) and while insulating IKP1 (Miangas) = 32.6744 isolation index, which means sustainability analysis proves that the economic dimension can not be on the island Miangas. , Based on the results of sustainability then obtained as follows:

1.That based analysis of the sustainability of the five dimensions of the island Miangasthen obtained the largest three main things in order to conduct sustainability,that is:

1) The level of education relative to the provincial level

2) The size of the market3) average earnings relative to UMB (Minimum Wage regional)

2.That to sustainable future for the people of the islandMiangas in order to strengthen into the future are:

1) Strengthening the development of the island community education Miangas

2) Conducting market numbers in Miangas 3) Strengthening the economic ability to forward

4) That the results showed that the sustainability of DimensionsThe economy is a dimension that can not be donesustainability 18.42

Based on the analysis of the sustainability of the island it is necessary dilakukann Miangas sufficiency economy Miangas island. Needs to be done to Miangassubsidy of Rp 9.174933 billion, per year while preparing human resources Miangas are ready to answer the needs of the economy into the future. While the establishment of acceleration of economic growth is a community-based border, among others:

1. Strengthening the institutional capacity of indigenous / non- governmental groups that already exist.


(7)

2. Empowering, mentoring and strengthening the role of women in economic or social activity.

3. Development of the concept of nationalism border communities.

4. Turn on the role of micro-finance institutions in increasingeconomic growth.

5. Identify the potential and development of leading sectors in the border area.

Social resources Miangas island is a social force that was formed by astrong culture. Economic Miangas economy is fragile and still subsidized. Politics Miangas is a strength that radiates homepage theme Pancasila while Miangas community institutions still need strengthening.

Keywords: vulnerability, sustainability, economics, island Miangas .


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

PENGELOLAAN PULAU KECIL TERLUAR INDONESIA

(KASUS PULAU MIANGAS)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Charles Kepel, DEA 2. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof Dr Ir Charles Kepel, DEA

2. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc


(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah Pulau Kecil Terluar, dengan judul Pengelolaan Pulau Kecil Terluar Indonesia (Kasus Pulau Miangas).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi, Prof Dr Rokhmin Dahuri, MS, Prof Dr Setyo Budi Susilo, MSc dan Prof Dr Daniel R O Monintja, MSc telah banyak memberi saran dan masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Drs Stevenheiner Maarisip, Kepala Kecamatan Pulau Miangas, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada almarhum ayah, almarhumah ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017 Maartianus Saverius Baroleh


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Hipotesis 5

Kerangka Pemikiran 5

Kebaruan (Novelty) 6

2 KERENTANAN (VULNERABILITY) & ISOLASI PULAU MIANGAS 7

Pendahuluan 7

Metode Penelitian 10

Hasil dan Pembahasan 26

Kesimpulan 43

3 KEBERLANJUTAN PULAU MIANGAS 45

Pendahuluan 45

Metode Penelitian 51

Hasil dan Pembahasan 54

Kesimpulan 67

4 KECUKUPAN EKONOMI PULAU MIANGAS 68

Pendahuluan 68

Metode Penelitian 68

Hasil dan Pembahasan 69

Kesimpulan 87

5 PEMBAHASAN UMUM 89

6 KESIMPULAN DAN SARAN 95

DAFTAR PUSTAKA 98

LAMPIRAN 103


(14)

DAFTAR TABEL

1. Pulau Miangas 11

2. Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan lingkungan pulau Miangas untuk dimensi exposure dan sensitivity 13 3. Sistem penskalaan dan skoring tingkat adaptive capacityPulau Miangas 14 4. Teknik pengumpulan sebagaimana di acu dalam Tahir (2010) 20

5. Kriteria persentasi penutupan karang hidup 22

6. Kriteria baku kerusakan mangrove 22

7. Kategori tutupan lamun 23

8. Parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 24

9. Random Consistency (RC) 25

10. Kategori kerentanan (Doukakis 2005) 27

11. Bobot parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 28

12. Persentase kejadian gelombang 31

13. Konstante harmonis pasang surut Pulau Miangas 32

14. Penduduk menurut kelompok umur di Desa Miangas 34

15. Data kemiringan pulau Miangas 36

16. Klasifikasi dan skoring variabel curah hujan 37

17. Beberapa organisme terumbu karang lainnya berdasarkan survey jelajah 40

18. Kehadiran mangrove berdasarkan metode kuadrat 41

19. Mangrove 1 Stasion belakang posisi lintang 5º32'.484", bujur

126º34'.830" 41

20. Mangrove 2 stasion depan posisi lintang 5º32'.990", bujur 126º34'.790" 41

21. Lamun di Pulau Miangas 42

22. Dimensi dan atribut ekologi keberlanjutan di Pulau Miangas 46 23. Dimensi dan atribut ekonomi keberlanjutan di Pulau Miangas 47 24. Dimensi hukum dan kelembagaan di Pulau Miangas 48 25. Dimensi dan atribut politik keberlanjutan di Pulau Miangas 49 26. Dimensi dan atribut sosial keberlanjutan di Pulau Miangas 50 27. Dimensi dan atribut ekologi keberlanjutan di Pulau Miangas 55 28. Dimensi dan atribut ekonomi keberlanjutan di Pulau Miangas 56 29. Dimensi dan hukum dan kelembagaan di Pulau Miangas 57 30. Dimensi dan atribut politik keberlanjutan di Pulau Miangas 58 31. Dimensi dan atribut sosial keberlanjutan di Pulau Miangas 59 32. Penentuan ordinasi dengan analisis multidimensional scaling (MDS) 60

33. Kategori hasil analisis rapfish Pulau Miangas 61

34. Kategori hasil analisis rapfish Pulau Marampit 64 35. Kategori hasil analisis rapfish perbandingan Pulau Miangas dan Pulau

Marampit 66

36. Jarak antara pulau Miangas dengan pusat pemerintah 70

37. Penggunaanan lahan di Kecamatan Miangas 71

38. Karakteristik fisik dan ekologi perairan Pulau Miangas 72 39. Penduduk menurut kelompok umur di Desa Miangas 74

40. Berdasarkan lapangan pekerjaan 75

41. Status pekerjaan 75


(15)

43. Pendapatan 77 44. Indeks kebutuhan hidup layak sesuai Kepmennaker No. 13 tahun 2012

tentang perubahan penghitungan KHL dan hasil indeks kebutuhan hidup

layak di Pulau Miangas 2013 78

45. Analisis data subsidi Pulau Miangas 82

46. Analisis data subsidi Pulau Miangas hasil analisis langsung 82 47. Status aransemen kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan

pulau-pulau kecil di Pulau Miangas 88

DAFTAR GAMBAR

1. Jarak tempuh Miangas dalam satuan mil 2

2. Kerangka pulau kecil terluar, Miangas 5

3. Lokasi penelitian Pulau Miangas 11

4. Pendekatan matriks perbandingan Hossain (2001) dalam (Tahir 2010) 14 5. Diagram pelingkupan kerentanan yang dikemukakan Polsky et al. 2007

yang diacu dalam Tahir (2010) 15

6. Klarifikasi dan skoring variabel kemiringfan lereng 36 7. Plot pulau Miangas berdasarkan penggunaan lahan 37

8. Penyebaran permukiman 38

9. Kecukupan ekonomi Pulau Miangas 69

10. Lokasi penelitian Pulau Miangas, direktur pekerjaan umum, direktorat

penataan ruang wilayah III, 2007 70

11. Jarak tempuh Miangas dalam satuan mil 71

12. Peta analisis fisik dasar Pulau Miangas (Sumber : Direktur pekerjaan umum, Direktorat Jendral Tata Ruang, Direktorat Penataan Ruang

Wilayah III 2007) 72

13. Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan di Desa Miangas 75

14. Bandara Pulau Miangas di tahun 2016 78 15. Estimasi nilai total Pulau Miangas berdasarkan UMR 83

16. Estimasi nilai total Pulau Miangas berdasarkan KHL 84 17. Estimasi nilai total Pulau Miangas berdasarkan analisis langsung 84


(16)

LAMPIRAN

1. Empat kategori kerentanan (Doukakis 2005) 104

2. Rekapitulasi data penelitian 105

3. Rekapitulasi data penelitian Pulau Miangas 106

4. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Miangas dimensi ekologi 108 5. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Miangas Dimensi ekonomi 109 6. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Miangas Dimensi hukum

dan kelembagaan 110 7. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Miangas Dimensi politik 111

8. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Miangas Dimensi sosial 112

9. Kategori hasil akhir status Miangas 113

10. Peta Marampit 114

11. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit dimensi ekologi 115 12. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit Dimensi ekonomi 116

13. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit Dimensi hukum

dan kelembagaan 117

14. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit Dimensi politik 118 15. Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit Dimensi sosial 119

16. Laporan ke Sekretaris Daerah Talaud 110

17. Pulau Miangas 120

18. Di POSAD Miangas 121

19. Perahu pelang Miangas 121

20. Lokasi Bandara Miangas 122


(17)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) berada di kawasan perbatasan negara. Pulau-pulau Kecil terluar ini memiliki nilai strategis secara geoekonomi, geopolitik maupun geokultural bagi bangsa Indonesia. Jumlah PPKT Indonesia, mencapai 92 pulau sesuai dengan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Secara geo-ekonomi, PPKT memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang meliputi:

1.Sumberdaya kelautan berupa marikultur, perikanan tangkap (ikan, teripang, kepiting, dan moluska), budidaya laut, terumbu karang, dan lamun, serta

2.Sumberdaya non-kelautan berupa tanaman perkebunan (kelapa), cengkeh, dan pala maupun tanaman pangan.

Sumberdaya ekonomi tersebut menjadi sumber mata pencaharian masyarakat yang menghuninya. Secara geo-politik, PPKT bernilai strategis untuk mengukuhkan eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengingat batas laut Indonesia dengan Negara tetangga acuannya diawali dari pulau perbatasan yang terluar (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang kemudian diakui oleh UNCLOS ke III, 1982 dalam UU No. 17 Tahun 1985 : Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea). Apabila, pulau perbatasan terluar mengalami degradasi akibat ancaman abrasi, tindakan destruktif manusia yang mengekpsploitasi sumberdaya hayati dan non hayati yang terkandung di dalamnya maupun di perairannya, akan berdampak pada keberadaan pulau itu. Dalam konteks ini, termasuk trend permukaan air laut meningkat, berdampak pada pulau-pulau kecil terluar yang berpotensi akan tenggelam. Bila hal ini terjadi di PPKT Indonesia, otomatis mengancam batas maritim negara kita dengan negara tetangga (kedaulatan nasional).

Secara geo-kultural, kultur masyarakat di PPKT umumnya bersifat unik karena berasal dari etnik tertentu yang memiliki karakteristik sosio-kultural yang khas seperti orang Aceh, Bugis, Makassar, Bajo, Sangir dan Talaud. Mereka umumnya sebagai bangsa pelaut yang mencerminkan etnisitas tersendiri. Proses bermukimnya mereka di PPKB itu sudah berlangsung lama akibat kondisi sosial-ekonomi yang mereka hadapi di daerah asalnya maupun konflik peperangan yang kerap disebut sebagai proses diaspora. Bahkan, etnik-etnik tersebut memiliki tradisi-tradisi kebudayaan (seni, sastra maupun teknologi perkapalan tradisional) yang sebenarnya merupakan kekuatan pengetahuan asli bangsa Indonesia. Sayangnya, sebagian pengetahuan ini terserabut dari akarnya akibat penjajahan yang berlangsung lama sehingga mempengaruhi proses kemajuan dan kemampuan masyarakat Indonesia dalam bidang teknologi kelautan dan perkapalan.

Secara ekonomi PPKT memiliki akses ekonomi dan dinamikanya lebih bergantung kepada negara tetangga Indonesia yang kerap memiliki disparitas yang jauh dari segi kesejahteraan masyarakat, dan infrastruktur sosial maupun pendidikan. Umpamanya, pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan


(18)

Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia, kondisi ekonomi masyarakatnya berbeda jauh dengan wilayah yang masuk teritorial Malaysia ketimbang Indonesia. Apalagi, bila dibandingkan dengan Tawao maupun Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya maupun sarana sosial amat timpang. Akibatnya, masyarakat di wilayah PPKT umumnya berada dalam kondisi miskin dan tertinggal, bila dibandingkan dengan wilayah induknya. Mungkin Pulau Sebatik masih relatif dekat dengan Kabupaten Nunukan ketimbang Pulau Miangas yang jaraknya amat jauh dengan daratan Provinsi Sulawesi Utara atau yang paling terpencil adalah Palau dengan Provinsi Papua. Berikut disajikan jarak pulau Miangas dengan pusat-pusat pemerintahan terdekat baik Indonesia maupun Filipina Gambar 1.

Sumber: BPS 2009

Gambar 1 Jarak tempuh Miangas dalam satuan mil

Dari sisi ekologis eksistensi PPKT dipengaruhi daya dukung pulau yang rentan dengan perubahan lingkungan (perubahan iklim) yang terjadi secara global. Umpamanya, kenaikan suhu permukaan laut akan menyebabkan :

1) Air laut mengalami keasaman sehingga biota yang hidup di badan air dan siklus rantai makanan akan terputus;

2) Ekosistem terumbu karang yang banyak mengelilingi sekitar perairan pulau-pulau kecil seperti di pulau-pulau Bras akan mengalami pemutihan (bleaching) sehingga secara ekologi, biota (ikan karang) yang berasosiasi dengan terumbu karang akan mengalami penurunan populasi maupun kelimpahannya.

Kerusakan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya tersebut. Ekosistem terumbu karang yang terpelihara dengan baik terutama tipologi karang penghalang (barrier reef) amat berperan melindungi pulau dari hantaman gelombang sehingga tidak menyebabkan abrasi yang mengancam eksistensi pulau itu.

Eksistensi pulau kecil juga amat ditentukan oleh vegetasi yang tumbuh di sekeliling daratannya. Umpamanya, hutan mangrove ataupun jenis tanaman waru.

Jarak Miangas

324 185

276 48

50

240

0 100 200 300 400

Jarak

Mil 6. Tahuna ibukota kabupaten

Sangihe

5. San Agustin / General Santos (Filipina)

4. Davao (Filipina)

3. Bitung

2. Melonguane ibukota kabupaten Talaud


(19)

Keberadaan vegetasi ini amat berperan dalam melindungi pulau dan masyarakat yang bermukim di dalamnya dari ancaman angin topan, dan gelombang laut tinggi. Bukan hanya itu, secara ekologis ekosistem mangrove juga berperan sebagai tempat biota laut (ikan dan udang) untuk berkembang biak dan mencari makan termasuk habitat burung, dan hewan lainnya. Bahkan, perakaran mangrove dapat menjadi penyaring bahan pencemaran minyak yang kerap dibuang kapal yang melintasi perairan Indonesia. Apalagi beberapa pulau perbatasan kita berada di jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I-III yang ramai dilayari kapal-kapal besar dari Asia ke benua Amerika melalui Pasifik.

Barnet dan Adger (2003) yang meringkas penelitian Nurse dan Sem (2001) yang diacu dalam IPPC (2001) menyajikan dampak perubahan iklim global terhadap negara-negara di pulau attol di Pasifik antara lain, yakni:

1) Terjadinya kehilangan lahan yang potensial apabila terjadi kenaikan permukaan air laut.

2) Menurunnya keamanan pangan akibat kegagalan panen.

3) Terjadinya erosi di wilayah pesisir akibat perubahan iklim yang menyebabkan kerugian dalam bidang pariwisata

4) Terjadinya dampak ekonomi yang disebabkan kerusakan infrastruktur di pulau yang diakibatkan bencana alam dan menurunkan pendapatan dari sektor pariwisata.

5) Menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat wabah penyakit dan ketidaknyamanan pangan.

Pulau-pulau terluar biasanya daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat mengganggu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Ada beberapa kondisi yang membahayakan keutuhan wilayah jika terjadi pada pulau-pulau terluar, diantaranya :

1) Hilangnya pulau secara fisik akibat abrasi, tenggelam, atau karena kesengajaan manusia.

2) Hilangnya pulau secara kepemilikan, akibat perubahan status kepemilikan akibat pemaksaan militer atau sebagai sebuah ketaatan pada keputusan hukum seperti yang terjadi pada kasus berpindahnya status kepemilikan Sipadan dan Ligitan dari Indonesia ke Malaysia

3) Hilang eksisting sosial dan ekonomi, akibat praktek ekonomi dan sosial dari masyarakat di pulau tersebut yang tidak sesuai.

Keterbatasan pengawasan terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya kelautan, baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun eksploitasi illegal warga negara asing, berpeluang mengancam kelestarian lingkungan atau sumberdaya kelautan yang ada. Penangkapan ikan merupakan salah satu eksploitasi sumberdaya kelautan yang perlu diperhatikan dalam penanganan wilayah perbatasan laut, mengingat sering terjadi lintas batas illegal nelayan asing ke wilayah NKRI ataupun nelayan Republik Indonesia ke wilayah negara tetangga, terutama yang mempergunakan teknologi penangkapan yang kurang ramah lingkungan.


(20)

Merespon kebutuhan pengelolaan kawasan perbatasaan, maka salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya adalah mengelola sumberdaya pesisir dan lautannya. Tujuan utama pengelolaan adalah mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Secara teknis pembangunan berkelanjutan di suatu kawasan, dapat terwujud apabila laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui daya dukung lingkungan kawasan tersebut untuk menghasilkan atau menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang dimaksud.

Oleh karena itu, penelitian dengan judul Kerentanan Pulau Kecil Terluar Berpenduduk, Studi Kasus Pulau Miangas Provinsi Sulawesi Utara menggunakan pendekatan ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan dan politik.

Perumusan Masalah

Pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut:

1) Pulau Miangas merupakan salah satu dari 10 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Posisi pulau Miangas yakni berbatasan langsung dengan Negara tetangga Filipina. Sebagai pulau kecil terluar, pulau Miangas berfungsi sebagai titik dasar garis pangkal perbatasan dengan negara Filipina sehingga perlu dijaga keberadaanya. Kondisi yang rawan konflik dan ancaman perubahan lingkungan global menyebabkan keberadaan Pulau Miangas rentan. Hal ini menyebabkan nilai pulau Miangas sebagai kondisi sine qua non.

2) Di pulau Miangas terdapat berbagai potensi sumberdaya alam yang dapat pulih. Sumberdaya ini tidaklah berarti bebas dieksploitasi, tetapi harus dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Sumberdaya alam ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan batas lestarinya, sehingga kegiatan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa merusak daya dukung (ekologi). Beberapa diantara sumberdaya ekologi yang dapat pulih yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat yakni, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, perikanan, serta bahan-bahan bioaktif lainnya.

3) Sebagaimana umumnya pulau-pulau kecil terluar, maka pulau Miangas memiliki masalah yang sama yakni kondisi terpencil ditengah samudera Pasifik dengan aksesibilitas yang rendah, miskin serta tidak memiliki infrastruktur yang memadai. Minimnya akses dari luar pulau dan keluar dari pulau perbatasan merupakan salah satu faktor yang turut mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas sosial ekonominya kenegara tetangga. Dalam jangka panjang, hal ini akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat yang tinggal di perbatasan. Oleh karena itu, perlu diketahui secara utuh bagaimana kondisi sosial ekonomi tersebut untuk keberlangsungan masyarakat pulau Miangas

4) Upaya optimalisasi potensi sumberdaya alam pulau Miangas bagi kesejahteraan masyarakat harus memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk kawasan


(21)

perbatasan, memanfaatkan sumberdaya alam secara illegal dan tak terkendali, sehingga perlu model pengelolaan yang sesuai untuk pulau kecil terluar.

Berdasarkan pokok permasalahan ini, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana mendapatkan kecukupan ekonomi Pulau Miangas dengan kesesuaian ekologi, politik, dan sosial?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1) Melakukan analisis determinasi kerentanan Pulau Miangas

2) Melakukan keberlanjutan Pulau Miangas untuk memudahkan perencanaan pembangunan ke depan

3) Menganalisis kecukupan ekonomi 4) Menyusun pengelolaan Pulau Miangas Tujuan tersebut dicapai melalui tahapan:

 Identifikasi dan menganalisis kerentanan pulau Miangas

 Memformulasikan indeks kerentanan pulau Miangas

 Menganalisis kecukupan ekonomi

 Menyusun strategi pulau Miangas berdasarkan analisis keberlanjutan dan kecukupan ekonomi dan mengelola Pulau Miangas

Hipotesis

Adapun hipotesis penelitian ini “Pembangunan Pulau Kecil Terluar berpenduduk: Pulau Miangas”, tidak mengalami kerentanan. Karena tidak rentan maka keberlanjutan tidak perlu dilakukan di Pulau Miangas.

Kerangka pemikiran

Berdasarkan latar belakang, masalah dan tujuan penelitian ini, maka disusunlah kerangka pemikiran (Gambar 2) dengan penjelasannya:


(22)

Keterangan:

 Keberadaan pulau Miangas merupakan harga mati bagi kepentingan nasional bangsa Indonesia mengingat nilai strategisnya (eksisting).

 Dalam kondisi sine qua non tersebut diinventarisir potensi pulau tersebut. Pulau tersebut di analisis dalam 5 dimensi utama pengelolaan, yakni potensi ekologi, sosial, kelembagaan, politik dan ekonomi.

 Potensi ekologi menjadi daya dukung utama dalam pengelolaan yang berinteraksi dengan potensi ekonomi, hukum kelembagaan, politik dan social (raw input)

 Pengelolaan potensi pulau Miangas perlu diketahui sejauh mana pulau tersebut berlangsung, sedangkan keberadaan ke depan terkait erat dengan kerentanan terhadap eksistensi pulau. Pengelolaan terkait erat dengan memperkuat entitas ekologi dan ekonomi Pulau Miangas sedangkan potensi politik, potensi sosial dan kelembagaan terutama untuk menganalisis sumberdaya manusianya (input).

 Kelima dimensi utama tersebut, dielaborasi lebih lanjut dalam analisis ekologi, ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan dengan kerentanan pulau dan ada timbal balik konfirmasi dari kelima dimensi tersebut (process)

 Konfirmasi timbal balik tersebut diformulasikan dengan keberlanjutan sebagai proses integrasi ekologi, sosial, kelembagaan, ekonomi dan politik (process). Selanjutnya diekstraksi sebagai Pulau Kecil Terluar: Pulau Miangas (output)

Kebaruan (Novelty)

Penelitian ini akan menghasilkan kebaruan analisis kerentanan pulau kecil terluar berpenghuni di Miangas dan keberlanjutannya dengan menggunakan tambahan konsep politik sebagai model yang diaplikasikan sehingga Pulau Miangas lebih utuh. Kebaharuan dari penelitian ini adalah:

a) Penggunaan tambahan formula indeks keberlanjutan politik dalam memprediksi keberlanjutan secara dinamik belum pernah dilakukan

b) Formula indeks politik yang ditambahkan dari persamaan keberlanjutan merupakan karakteristik keberlanjutan yang memperkuat dari rumus awalnya.

c) Pemberian bobot dan skoring terhadap parameter-parameter yang ditambahkan memperkuat dibanding peneliti lain sebelumnya.

d) Rancangan software keberlanjutan dengan menggunakan formula tambahan dalam menilai pulau Miangas merupakan temuan baru yang dapat digunakan sebagai sistem pengambilan keputusan dalam penilaian kerentanan dan keberlanjutan di pulau kecil terluar.

e) Membuat kecukupan ekonomi untuk menjawab kebutuhan isolasi dan sarana


(23)

2

KERENTANAN (

Vulnerability

) & ISOLASI PULAU

MIANGAS

Pendahuluan

Kerentanan adalah kondisi yang mengurangi kemampuan seseorang atau kelompok dalam menghadapi ancaman dari luar (external shock). Kerentanan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, politik, fisik maupun psikologi atau lainnya. Bencana biasanya dimulai oleh kerentanan dari salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya. Awotona (1997:1-2): " .... Natural disaster are the interaction between natural hazard and vulnerable condition".

Sebenarnya, bencana alam tidak hanya menyebabkan kerentanan pada aspek-aspek tersebut saja, namun juga berdampak pada aspek lain seperti politik, kesehatan, dan pangan. Kerentanan pasca bencana alam juga dapat mengacu pada konsep human security. Konsep ini merupakan penurunan dari comprehensive security, yang diartikan bahwa agar dapat hidup aman, makmur, dan sejahtera, manusia harus terpenuhi kebutuhan politik, ekonomi, dan sosialnya. Kebutuhan politik berbentuk kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, terwujudnya demokrasi, situasi pluralisme, yang membuat manusia nyaman menjalani kehidupan sehari-hari. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan utamanya (freedom from want) tergolong dalam kebutuhan ekonomi, sedangkan wujud dari kebutuhan sosial antara lain kemampuan untuk mengatasi rasa takut (freedom from fear) (Herman and Wittek 2000). Dengan memaknai comprehensive security, konsep human security dapat dijabarkan dalam konsep keamanan politik, keamanan ekonomi, dan keamanan sosial.

Keamanan politik (political security) didefinisikan sebagai norma yang berlaku guna menciptakan rasa aman bagi manusia dengan pemenuhan kebutuhan hak asasinya, dimana pemenuhan tersebut dapat dilakukan oleh manusia dan negara. Namun, saat aspek-aspek yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan politik tersebut tidak terpenuhi, kondisi ini menyebabkan kerentanan politik (political vulnerability) (UNDP 1994). Terkait bencana alam, wujud keamanan politik antara lain berupa ketersediaan perlindungan hukum terhadap bencana alam bagi masyarakat, ketersediaan bantuan dari pemerintah, keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan penanggulangan bencana alam, kemampuan masyarakat dalam mengakses bantuan, serta akses masyarakat untuk mengurus aset bergerak tidak bergerak yang hilang/rusak/hancur akibat bencana. Prinsip kerentanan politik (sisi negatif dari keamanan politik) adalah kondisi kebalikan dari wujud-wujud keamanan politik. Kondisi ini dikarenakan tidak terpenuhinya wujud-wujud keamanan politik terkait bencana alam, seperti tidak tersedianya perlindungan hukum terhadap bencana alam bagi masyarakat.

Keamanan ekonomi (economic security) berhubungan dengan perolehan pendapatan, baik melalui lapangan kerja maupun jaring pengaman sosial (UNDP 1994). Pemaknaan lain dari keamanan ekonomi ialah bebas dari kemiskinan, yang merupakan produk proses ekonomi, sosial, dan politik, yang saling berhubungan satu sama lain, dan secara berkala menekan masing-masing dengan cara yang membuat kehidupan manusia menjadi semakin sengsara (World Bank 2001).


(24)

Kriteria-kriteria keamanan ekonomi yang tidak terpenuhi akan mengakibatkan munculnya kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Dalam konteks bencana alam, kerentanan ekonomi dapat berbentuk kehilangan sumber pendapatan dan aset akibat bencana alam, beban utang/kredit akibat bencana alam, ketidak mampuan mengakses sumber pendapatan, dan kebutuhan sandang papan yang tak tercukupi.

Sementara itu, keamanan sosial (social security) didefinisikan sebagai terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, kebutuhan psikologis manusia melalui kerjasama, saling bertukar pikiran, dan solidaritas (Benda-Beckmann, Franz and Kebbet Von 1994). Seperti halnya keamanan politik dan ekonomi, kondisi negatif dari keamanan sosial memunculkan adanya kerentanan sosial (social vulnerability). Dalam hal bencana alam, bentuk kerentanan sosial antara lain berupa ketidakmampuan korban bencana alam untuk berkumpul kembali dengan lingkungan asal, kurangnya pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam, serta kurang/tidak memadainya fasilitas sosial di tempat pengungsian dan fasilitas/bantuan pendidikan/pelatihan bagi korban bencana alam.

Kerentanan tersebut, kerentanan ekonomi dan sosial paling sering dan paling banyak ditangani serta dikurangi dalam proses penanggulangan dampak bencana alam di Indonesia, meskipun penanganannya masih kurang memperhatikan komponen human security. Kerentanan politik masih sangat minim diperhatikan atau sama sekali tidak ditanggulangi. Bahkan dalam PDNA pun, yang digunakan oleh BNPB untuk pemetaan kerentanan, tidak ada instrumen kerentanan politik. Padahal kerentanan politik juga merupakan bagian dari kerentanan bencana alam. Oleh karena itu, kerentanan politik juga harus menjadi fokus perhatian dalam proses penanggulangan dampak dan pengurangan resiko bencana alam. Pemetaan, penanganan, dan pengurangan kerentanan tersebut sebaiknya lebih mengacu pada konsep human security karena ini merupakan sisi negatif dari human security.

Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial, politik, dan ekonomi.Kondisi kerentanan dapat dilihat dari berbagai indikator, misalnya: persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; dan sebagainya.

Ada beberapa metode analisis dalam mengetahui kerentanan suatu komunitas. Dalam analisis untuk mengetahui kerentanan pulau Miangas maka digunakan kerentanan determinan. Evaluasi kerentanan determinan sangat mudah digunakan dan sederhana. Oleh karna itu, determinan kerentanan biasa menggunakan assessment terhadap sumberdaya yang dilakukan secara utuh, sehingga hasil dapat dijadikan bahan acuan terhadap pengelolaan.

Kerentanan

Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan cakupan atau skalanya. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari sistem yang menggambarkan kondisinya. Sementara dilihat dari skalanya, kerentanan


(25)

digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara.

Pengertian pulau-pulau kecil

Pulau dapat didefinisikan dan dikategorikan dalam berbagai cara, dan masing-masing memiliki tujuan yang sangat bermanfaat, namun tidak tersedia satu definisi tunggal atau kategori tunggal yang mengakomodir seluruh kebutuhan pendefinisian pulau. Definisi yang paling banyak tersedia tentang pulau cenderung kepada masalah ukuran pulau (Grainger 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti remoteness, morfologi, ukuran populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa (lintang) (seperti pulau tropis, temperate atau artik), berdasarkan proses geologi atau struktur pulau (pulau kontinental dan oseanik), berdasarkan hidrologi (daerah run-off), berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau berbukit).

Kerentanan pulau-pulau kecil

Lewis (2003) mengemukakan beberapa alasan, mengapa pulau-pulau kecil menjadi rentan. Alasan yang dikemukakan adalah pulau-pulau kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu : (1) Ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis

daratan,

(2) Insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama,

(3) masalah faktor lingkungan seperti keterpaparan terhadap gangguan, (4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas,

(5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan

(6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas

Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan. Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekwensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut. Pada penelitian Pulau Miangas juga ditambahkan memiliki posisi yang menjadi signifikansi sebagai posisi terluar dan batas posisi. Lewis (2003) mengemukakan beberapa alasan, mengapa pulau-pulau kecil menjadi rentan. Alasan yang dikemukakan adalah pulau-pulau kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu


(26)

(1) Ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan,

(2) Insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama,

(3) Masalah faktor lingkungan seperti Keterpaparan terhadap gangguan, (4) Kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas,

(5) Faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan pendudukyang tinggi, dan

(6) Faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.

Tompkins et al. (2005) juga menyatakan hal yang sama bahwa pulau-pulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah. Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar. Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat risiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut. Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil, ada dua faktor yang menjadi penghambat, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau. Pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya (darat) dan keterbatasan ruang. Hal ini menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastruktur di pulau-pulau kecil.

Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulau-pulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara. Negara-negara maju tidak mengalami hambatan terkait dengan faktor skala dan lokasi seperti Hawai dan Singapore (Brookfield 1990). Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruang/lokasi yang berbeda. Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak peneliliti yang menyatakan bahwaisu utama pulau-pulau kecil bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil. Menurut Farrel (1991) permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil (small island development stated) adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut.

Disamping analisis kerentanan perlu juga diketahui keterisolasian Pulau Miangas posisinya berapa.

Metode Penelitian

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data lapang dilakukan selama dua bulan, yaitu dari Bulan September-Oktober 2013. Lokasi penelitian adalah di pulau Miangas, pulau kecil terluar yang secara geografis memiliki karakteristik.

Karakteristik umum Pulau Miangas dapat dilihat pada Tabel 2 dan gambar lokasi penelitian di Pulau Miangas dalam Gambar 3


(27)

Tabel 1 Pulau Miangas

Parameter Pulau Miangas

Jenis pulau Karang

Vegetasi Mangrove

Keterbukaan terhadap perairan Lautan Kepadatan penduduk Sedang

Sistem pulau Gugus

Gambar 3 Lokasi penelitian Pulau Miangas

Tahapan Penelitian

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengumpulan kedua jenis data ini dilakukan di beberapa lokasi yaitu di pulau kecil terluar yang menjadi objek penelitian. Selain itu juga dilakukan pencarian data sekunder di tingkat kabupaten atau kota yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Data primer dikumpulkan melalui pengukuran, pengamatan lapang, serta wawancara dengan masyarakat di lokasi studi. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data, dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian. Melalui analisis ini diperoleh :

1. Gambaran umum tentang kondisi ekosistem dan sumberdaya pesisir pulau-kecil terluar Miangas;

2. Analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat. Hasil dari analisis ini adalah gambaran umum karakteristik fisik pulau seperti ketinggian pulau di atas permukaan laut, kelerengan pulau, dan karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada di pulau Miangas; 3. Analisis kecenderungan kenaikan muka laut, termasuk erosi pantai. Analisis

ini menghasilkan informasi tentang kecenderungan kenaikan muka laut dan dampaknya; dan analisis kerentanan lingkungan pulau Miangas. Hasil yang


(28)

didapatkan dari analisis ini adalah dinamika kerentanan Pulau Miangas. Setelah dilakukan overlayterhadap hasil analisis didapatkan keluaran penelitian berupa indeks kerentanan dan strategi adaptasi pulau Miangas.

Indeks Keterisolasian Pulau (IEKP)

Keterisolasian pulau merupakan akar kuadrat jara kantara kedudukan suatu pulau terhadap pulau terdekat seukuran atau lebih besar dan daratan induk (mainland). Jarak pada masing-masing pulau dikaji menggunakan peta dan citra yang ada kemudian diukur untuk masing-masing jarak yang dibutuhkan untuk indeks ini (UNEP2003).

IKPi = Sij IKPi : Indeks keterisolasian Pulau

Sij : Jarak antara PPKi dengan PPK/mainland j

1 : Mewakili jarak PPKi dengan PPK lainnya yang seukuran atau lebih besar terdekatj

2 : Mewakili jarak PPKi dengan mainland-1j

3 : Mewakili jarak PPKi dengan mainland-2j i: Nama PPK

Penentuan skala dan bobot parameter kerentanan

Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam penentuan indeks adalah metode penskalaan parameter ke dalam nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut dinyatakan sebagai nilai skor dari suatu parameter. Sebagaimana yang dilakukan oleh (Tahir 2010) yang diacu dalam Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) maka pada analisis Pulau Miangas mengacu penentuan skala paramater dan bobot kerentanan tersebut.

Mengacu pada pendekatan penentuan peringkat skala dan skor yang disebutkan di atas, sistem penskalaan dan skoring penelitian ini seperti disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3:

3 1

j


(29)

Tabel 2 Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan lingkungan pulau Miangas untuk dimensi exposure dan sensitivity

Parameter

Nilai Skor Sumber

1 2 3 4 5

Exposure

Kenaikan muka laut

(mm/thn) < 4.99

5-9.99

10-14.99 15-25 >25 DKP (2008)

Erosi pantai (m/thn) >2.0

1.0-2.0

-1.0-1.0 -1.0-(-2.0) <-2.0

Gornitz et al. (1992) Rata-rata tunggang pasang

(m) <0.50

0.51-1.0 1.1-2.0 2.1-4.0 >4 DKP (2008) Tinggi gelombang (m) <0.50

0.51-1 1.1-1.5 1.51-2 >2

DKP (2008) Kejadian tsunami dalam

kurun waktu 1900 sampai saat ini

0 1 2-3 4-10 >10

Modifikasi SOPAC

(1999)

Pertumbuhan penduduk (%) < 0.5

0.51-1.0 1.1-1.5

1.51-2.0 2.1≤

Modifikasi dari SOPAC

(1999) Kepadatan penduduk

(jiwa/ha) <75

76-150 151-200

201-400 >400

BSN (2004)

Sensitivity

Elevasi (m) >5 3.1-5 2.1-3 1.1-2 0.1 Hamzah et

al. (in press)

Slope (%) >40 25.1-40 15.1-25 9-15 0-8

Hamzah et al. (in press) Tipologi

pantai bervegetasi Berbatu berkerikil

pantai berpasir pantai hasil endapan DKP (2009a) Penggunaan lahan Lahan terbuka budidaya laut budidaya

pertanian peternakan pemukiman

DKP (2009a) Letak pemukiman penduduk Ketinggian >5m ketinggian 2-5m di belakang sempadan pantai sekitar pantai di atas perairan Modifikasi dari Malone et al. (2005)

Tabel 3 Sistem penskalaan dan skoring tingkat adaptive capacity pulau Miangas


(30)

1 2 3 4 5 Habitat pesisir (proporsi terhadap luas daratan pulau) lebih kecil atau sama 2 kali lebih besar 3 kali lebih besar 4 kali lebih besar ≥5 kali daratan pulau Bengen (Personnel Communication, 6 Nopember 2009) Terumbu

karang (%) 0-24.9 -

25.00-49.9

50.0-74.9 75.0-100 KLH (2001) Mangrove

(pohon/ha) < 1 000 -

1 000 – 1

500 - > 1 500 KLH (2004)

Padang lamun

(%) 0-29.9 - 30-59.9 - > 60.0 KLH (2004) Konservasi

laut (proporsi terhadap habitat pesisir)

0 1-10 11-25 26-40 >50

Modifikasi dari DKP (2009b)

Teknik penentuan bobot untuk setiap parameter ketiga dimensi kerentanan (exposure, sensitivity, adaptive capacity) dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pemberian bobot secara langsung berdasarkan signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan lingkungan (Doukakis 2005), penentuan bobot dengan matriks perbandingan (Villa dan McLeod 2002); Hossain (2001), dan analisis regresi linear. Dalam penelitian ini, pendekatan penentuan bobot yang digunakan mengacu pada pendekatan matriks perbandingan sebagaimana dikemukakan

Teknik penentuan bobot untuk setiap parameter ketiga dimensi kerentanan (exposure, sensitivity, adaptive capacity) dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pemberian bobot secara langsung berdasarkan signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan lingkungan (Doukakis 2005), penentuan bobot dengan matriks perbandingan (Villa dan McLeod 2002); Hossain (2001), dan analisis regresi linear. Dalam penelitian ini, pendekatan penentuan bobot yang digunakan mengacu pada pendekatan matriks perbandingan sebagaimana dikemukakan Hossain (2001) Gambar 4.

Gambar 4 Pendekatan matriks perbandingan Hossain (2001) dalam (Tahir 2010) Mengidentifikasi parameter dimensi kerentanan tersebut, digunakan konsep Vulnerability Scoping Diagram (VSD) atau diagram pelingkupan kerentanan yang dikemukakan Polsky et al. 2007) (Gambar 5)

PENGUMPULAN DATA

Kajian Pustaka

Survei Lapangan

METODE / PENDEKATAN ANALISIS

Analisis ekosistem dan sumberdaya Analisis karakteristik fisik dan

sosial ekonomi Anailisis kecendrungan kenaikan

muku laut

Analisis kerentanan pulau

HASIL ANALISIS

Analisis ekosistem dan sumberdaya pesisir Gambaran umum karakteristik

fisik dansosial ekonomi Proyeksi kenaikan muka laut dan

dampaknya

Dinamika kerentanan pulau

OUT PUT PENELITIAN

Formulasi Indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Nilai indeks kerentanan

pulau-pulau kecil

Strategi adaptasi pulau-pulau kecil


(31)

Gambar 5 Diagram pelingkupan kerentanan yang dikemukakan Polsky et al. 2007 yang diacu dalam Tahir (2010)

I. Exposure (Keterpaparan) 1) Kenaikan Muka Laut (SR)

Kenaikan muka laut akan meningkatkan potensi rendaman dan penggenangan pulau-pulau kecil (Mimura, 1999). Pesisir dan pulau-pulau kecil dataran rendah merupakan wilayah yang paling terancam dampak kenaikan muka laut. Laju kenaikan muka laut dan dampak telah banyak dikaji khususnya di negara-negara kepulauan. Luas daratan pulau-pulau kecil yang terendam sangat ditentukan oleh ketinggian pulau tersebut dari permukaan laut. IPCC Third Assessment Report (2001) menyebutkan proyeksi rata-rata kenaikan muka laut antara 20-70 cm sejak tahun 1900 sampai 2100. Rata-rata kenaikan muka laut global 3.32 mm/tahun. Dalam penelitian ini data kecenderungan kenaikan muka laut di perairan sekitar lokasi penelitian diperoleh dari AVISO (Archiving, Validation and Interpretation of Satellites Oceanographic) yang dapat diunduh di alamat http://www.aviso.oceanobs.com/en/news/ocean-indicators/mean-sealevel/-index.html.


(32)

2) Erosi Pantai (ER)

Erosi pantai adalah proses dinamis dari wilayah pesisir atau daerah pantai karena adanya faktor-faktor oseanografis. Namun, ditengarai laju erosi di pulau-pulau kecil semakin meningkat dengan adanya kenaikan muka laut (Jallow et al. 1996). Selain karena kenaikan muka laut, laju erosi juga sangat ditentukan oleh tipologi pantai (substrat pantai), dan profil pantai. Dalam penelitian ini, data erosi diperoleh dari informasi masyarakat dengan menggunakan indegenous knowledgedi masyarakat. Traditional knowledge ini merupakan aspek penting dalam merekam berbagai kejadian alam termasuk perubahan garis pantai di suatu pulau (Mimura 1999). Masyarakat yang hidup di pulau mampu merekam berbagai perubahan yang terjadi di pulau tersebut, termasuk perubahan garis pantai.

3) Rara-Rata Tunggang Pasang (PS)

Pasang merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Parameter ini juga akan memberikan kontribusi terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Semakin besar rata-rata tunggang pasang, semakin tinggi tingkat Keterpaparan pulau terhadap pasang. Data pasang diperoleh dari data pengukuran tide gauge yang telah dilakukan oleh beberapa instansi seperti Bakosurtanal, Dinas Hidrooseanografi.

4) Rata-Rata Tinggi Gelombang (GL)

Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak lurus permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal, yang disebabkan oleh angin. Significant wave height (SWH) adalah nilai gelombang tertinggi yang mungkin terjadi. Saat gelombang pecah di pantai akan mengangkut sedimen (material pantai) menuju laut dalam akibatnya terjadi erosi/pengikisan pantai. Parameter ini juga merupakan variabel dari kerentanan pulau-pulau kecil. Semakin tinggi gelombang laut, tingkat Keterpaparan juga semakin besar. Data tinggi gelombang diperoleh dari AVISO yang dapat diunduh di http://atoll- motu.aviso.oceanobs.com/?action=listproductmetadata&service=AvisoNRT-&product=nrtmisc_msw h_merged.

5) Kejadian Tsunami (TS)

Tsunami adalah gelombang laut akibat adanya pergerakan atau pergeseran di bumi di dasar laut, dimana terjadi penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar ke seluruh penjuru mata angin. Peristiwa tsunami merupakan salah satu bencana alam yang sering menimpa wilayah Indonesia. SOPAC (1999) memasukkan parameter ini sebagai salah satu parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Data kejadian tsunami diperoleh dari NGDC (National Geophysical Data Center) yang dapat diunduh melalui http://www.ngdc-.noaa.gov/hazard/tsu.shtml. Data kejadian tsunami untuk wilayah Indonesia tercatat kejadian tsunami dari tahun 1600 – 2009.

6) Pertumbuhan Penduduk (PD)

Pertumbuhan penduduk juga merupakan salah satu parameter dari Keterpaparan. SOPAC (1999) mengemukakan bahwa semakin tinggi


(33)

pertumbuhan penduduk di suatu pulau akan meningkatkan kerentanan pulau-pulau kecil. Sejalan dengan Tompkins et al. (2005), menyebutkan bahwa pulau yang memiliki penduduk yang padat akan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpenduduk rendah atau tidak berpenduduk. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk, semakin tinggi sifat exposure dari pulau tersebut. Data laju pertumbuhan penduduk dianalisis dari data statistik yang didapatkan dari catatan kependudukan di setiap pulau.

7) Kepadatan Penduduk (KP)

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan terhadap ruang (lahan) juga akan meningkat. Padahal, lahan merupakan faktor pembatas di pulaupulau kecil. Peningkatan penduduk akan memberikan tekanan terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Hal ini dapat memberikan dampak terhadap berkurangnya kemampuan pulau-pulau kecil beradaptasi terhadap kenaikan muka laut. SOPAC (1999) juga menjadikan kepadatan penduduk sebagai indikator kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Data kepadatan penduduk diperoleh dari data statistik kependudukan di setiap pulau dibagi dengan luas pulau tersebut.

II. Sensitivity (Sensitivitas) 1) Elevasi (EL)

Elevasi pulau merupakan salah satu parameter yang menentukan apakah suatu pulau rentan terhadap kenaikan muka laut. Pulau-pulau kecil yang memiliki elevasi yang rendah merupakan daerah yang paling mudah terkena dampak kenaikan muka laut berupa perendaman/penggenangan. Mimura (1999) mengkaji potensi penggenangan pulau-pulau atol di kawasan Pasifik melihat potensi yang tinggi karena pulau tersebut memiliki elevasi yang rendah. Data elevasi pulau diperoleh dari pengukuran di lapang dengan menggunakan alat pengukuran topografi (total station) yang kemudian dianalisis dengan mengunakan sistem informasi geografis.

2) Kelerengan/Slope (SL)

Kemiringan atau kelerengan daratan suatu pulau mempengaruhi tingkat kerentanannya terhadap kenaikan muka laut. Gornitz et al. (1992) memasukkan parameter ini dalam mengkaji kerentanan pesisir sebagai salah satu variabel dari kerentanan wilayah pesisir terhadap kenaikan muka laut. Kelerengan memiliki korelasi dengan elevasi pulau. Dimana pulau-pulau yang datar akan memiliki kelerengan yang landai. Semakin kecil kelerengan pulau akan meningkatkan kerentanan terhadap kenaikan muka laut. Data kemiringan pulau diperoleh dari pengukuran di lapang dengan menggunakan alat pengukuran topografi (total station).

3) Tipologi Pantai (TP)

Tipologi pantai juga memiliki keterkaitan dengan kerentanan pulau-pulau kecil khususnya dikaitkan dengan peningkatan erosi pantai. Ada jenis pantai yang mudah mengalami erosi dan ada pulau yang memiliki daya tahan yang kuat terhadap proses erosi pantai. Beberapa jenis pantai yang memiliki daya tahan rendah terhadap erosi adalah pantai hasil endapan dan pantai berpasir. Sebaliknya tipologi pantai dari jenis pantai bervegetasi memiliki daya tahan terhadap erosi.


(34)

Data tipologi pantai diperoleh dari pengamatan di lapangan yang kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti.

4) Penggunaan Lahan (PL)

Jenis pemanfaatan lahan di pulau-pulau kecil juga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kenaikan muka laut karena perendaman atau penggenangan daratan. Kategori pemanfaatan lahan atau peruntukan lahan di pulau-pulau kecil telah ditetapkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Semakin rentan suatu pemanfaatan atau peruntukan lahan terhadap suatu kenaikan muka laut, pemanfaatan tersebut semakin sensitif (Brenkert dan Malone 2005). Data penggunaan lahan diperoleh melalui pengamatan di lapangan yang kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti.

5) Pemukiman Penduduk (PP)

Pemukiman dan infrastruktur lainnya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu parameter yang sensitif terhadap kenaikan muka laut (Brenkert dan Malone 2005). Sensitivitas semakin tinggi dengan banyaknya bangunan/pemukiman yang berada pada wilayah yang memiliki resiko tinggi terhadap kenaikan muka laut. Cardona (2003) menyatakan bahwa besarnya resiko atau dampak terhadap pemukiman sangat terkait dengan lokasinya terhadap Keterpaparan. Data penyebaran pemukiman diperoleh dari pengamatan secara langsung di lapangan yang kemudian diplotkan dalam peta pulau yang diteliti.

III. Adaptive Capacity (kapasitas adaptif) 1) Habitat Pesisir (HP)

Kemampuan ekosistem pesisir untuk meredam pengaruh dari luar terhadap pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh proporsi habitat pesisir. Bengen (Personnel Communication, 6 Nopember 2009), menyebutkan bahwa habitat pesisir memiliki kemampuan melindungi terhadap gangguan dari luar. Semakin besar proporsi habitat pesisir terhadap daratan pulau-pulau kecil, semakin tinggi kemampuan perlindungan yang diberikan terhadap daratan pulau tersebut. Habitat pesisir terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari ekosistem pesisir yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun, sedangkan komponen abiotik terdiri dari pantai berpasir, pantai berbatu dan pantai berlumpur. Kench et al. (2006) menunjukkan perubahan tinggi gelombang ke arah pantai berbanding dengan panjang terumbu ke arah pantai. Data proporsi habitat pesisir pulau-pulau kecil diperoleh dengan melakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan yang kemudian diplotkan dalam peta.

2) Kerapatan Mangrove (MR)

Kapasitas adaptif dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat bersumber dari sistem alamiah pulau maupun dari sistem sosial masyarakat di pulau tersebut (Mimura 1999). Ekosistem mangrove selain memiliki fungsi secara fisik, juga memiliki peran secara ekologi dalam mendukung keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Ekosistem mangrove memiliki kemampuan sebagai perangkap sedimen, pelindung dari badai angin, mencegah banjir di kawasan pesisir (Mahmood et al. 2005). Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi


(35)

memperlambat erosi pantai (Othman 1994;Vermaat dan Thampanya 2006). Terdapat dua faktor yang menentukan peran dari kapasitas adaptif ekosistem mangrove yaitu luas hamparan mangrove dan tingkat kerapatan (Alongi 2008). Data kerapatan dan luas mangrove diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan yang kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti.

3) Terumbu Karang (TK)

Ekosistem terumbu karang juga merupakan ekosistem alamiah dari pulau kecil (Mimura 1999). Ekosistem ini memiliki kemampuan dalam meningkatkan kapasitas adaptif pulau kecil terhadap gangguan alam termasuk kenaikan muka laut dan berbagai implikasinya. Seperti halnya ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi fisik dan ekologi yang sangat menentukan keberlanjutan dan sistem pulau-pulau kecil. Ekosistem ini memiliki peran dalam meredam energi gelombang menuju ke arah pantai. Data tentang kualitas dan sebaran terumbu karang didapatkan dari hasil pengamatan secara langsung di lapangan dengan menggunakan metode PIT (point line transect).

4) Padang Lamun (LM)

Ekosistem lamun juga merupakan salah satu parameter dari sistem alamiah pulau-pulau kecil yang dapat meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil. Ekosistem lamun memiliki fungsi sebagai stabilisator dan perangkap sedimen (USFWS 2009; NOAA 2004). Lamun memiliki kemampuan perangkap sedimen sekitar 1 cm per 100 tahun (EPA 2009; Torbay‟s Seagrass Project 2009). Sedimen ini memiliki peran untuk memproteksi garis pantai dari hantaman gelombang. Hubungan antara ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun di kawasan pesisir memiliki peran penting menjaga sistem ekologi di pulau-pulau kecil.

5) Konservasi Laut (KL)

Kawasan konservasi laut adalah instrumen pengelolaan yang dapat meningkatkan resiliensi pulau-pulau kecil (SOPAC 2005). Moreno dan Becken (2009) menjadikan kawasan konservasi laut sebagai paratemer kapasitas adaptif dalam kerentanan wisata pesisir terhadap perubahan iklim. Kawasan pesisir yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut dapat meningkatkan kualitas ekosistem di dalamnya seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun. Dahuri (1997) menyebutkan bahwa untuk mengoptimalkan kawasan konservasi laut, perlu menetapkan suatu kawasan secara permanen yang tidak boleh diganggu dengan proporsi minimal 20 % untuk preservasi dan 30 % untuk kawasan konservasi. Sementara DKP (2009b) menyebutkan bahwa untuk pulau kecil kawasan pesisir yang perlu dikonservasi sebesar 30 % dan pulau sangat kecil, sebesar 50 % dari luas pulau. Proporsi kawasan konservasi laut yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proporsi dari luas pesisir (mangrove, terumbu karang dan lamun). Pengumpulan data tentang kawasan konservasi laut dilakukan melalui wawancara dengan masyarakat.

Penentuan Skala dan Bobot Parameter Kerentanan

Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam penentuan indeks adalah metode penskalaan parameter ke dalam nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai


(36)

tersebut dinyatakan sebagai nilai skor dari suatu parameter. Bossel (1999) menyatakan bahwa untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa tingkatan. Terdapat banyak penelitian yang menggunakan pendekatan ini untuk menentukan indeks suatu objek. Dari penelitian tersebut, ditemukan perbedaan dalam menentukan jumlah tingkatan atau peringkat skala dan skoring yang digunakan. SOPAC (1999) menggunakan 7 tingkatan (1-7), Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) menggunakan 5 tingkatan (1-5). Untuk memaknai setiap nilai skor tersebut, baik SOPAC (1999), Doukakis (2005) maupun Rao et al. (2008) memberikan definisi dari setiap skor (Tabel 10). Skala 1-7 yang dikemukakan SOPAC (1999) memiliki nilai tengah yang disebut dengan rata-rata dan nilai minimum dan maksimum sebagai batas bawah dan batas atas. Adapun Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) menggunakan nilai tengah sebagai nilai sedang, nilai terendah dan tertinggi sebagai batas bawah dan batas atas.

Teknik penentuan bobot untuk setiap parameter pada ketiga dimensi kerentanan (exposure, sensitivity, adaptive capacity) dilakukan dengan mengacu pada pendekatan matriks perbandingan sebagaimana dikemukakan Hossain (2001) yang diacudalam Tahir (2010).

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung didapatkan di lokasi penelitian, baik melalui pengukuran, pengambilan contoh/sampel, pengamatan maupun wawancara dengan responden. Adapun data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan dan dipublikasikan oleh pihak lain. Secara umum pengelompokan data yang dikumpulkan terdiri dari data geofisik, data ekobiologi, dan sosial ekonomi. Secara ringkas kebutuhan dan teknik pengumpulan data disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Teknik pengumpulan sebagaimana diacu dalam Tahir (2010)

No. Jenis data

Teknik pengumpulan

data

Keterangan A. Geofisik

1.

Kenaikan muka laut

Terdapat tiga teknik

pengumpulan data kenaikan muka laut, yaitu data rekaman tide gauge, data dari model SRES, Data AVISO

Penelitian ini menggunakan data dari AVISO yang diunduh dari http://www.aviso.oceanobs.

com/en/news/oceanindica-tors/mean-sea-level/index.html. Data tersebut kemudian diekstrak dengan program Ocean Data View (ODV 4.1). Data kecenderungan kenaikan muka laut yang tersedia dari tahun 1992-2009

2. Gelombang

Data gelombang juga diperoleh dari AVISO

Data gelombang diunduh dari http://atoll-motu.aviso.oceanobs.com

/?action=listproductmetadata&service=

AvisoNRT&product=nrtmisc_mswh_merged. Data yang tersedia 2005-2009


(37)

3. Pasang surut

Pengukuran data pasang dengan menggunakan tide gauge

Data pasang yang digunakan adalah data pasang yang diperoleh dari Dinas Hidrooseanografi.

4. Kejadian tsunami

Data kejadian tsunami diperoleh dari NGDC (National Geophysical Data Center)

Data kejadian tsunami diunduh dari

http://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu.sht ml. Untuk wilayah Indonesia tercatat kejadian tsunami dari tahun 1600 – 2008.

5. Erosi (perubahan garis pantai)

Pengukuran pantai yang tererosi

Data perubahan garis pantai diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa anggota masyarakat yang memiliki informasi terkait perubahan garis pantai dari tahun-tahun sebelumnya. 7. Elevasi pantai, kemiringan, luas pulau, luas habitat pesisir Pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan alat Total Station

Pengukuran ketinggian daratan pulau dilakukan dengan menggunakan total stasion yang memiliki ketelitian hingga satuan milimeter (mm)

8. Tipologi pantai Pengamatan lapangan

Tipologi pantai diamati secara langsung di lapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti.

B. Ekobiologi

1. Terumbu karang

Pengamatan dan pengukuran di lapangan

Untuk pulau yang belum memiliki data sekunder, dilakukan pengamatan terumbu karang dengan metode PIT

(point line transect)

2. Mangrove

Pengamatan dan pengukuran di lapangan

Menggunakan metode transek garis dan petak contoh (line transect plot)

3. Lamun

Pengamatan dan pengukuran di lapangan

Menggunakan metode transek garis dan petak contoh (line transect plot)

C. Sosial ekonomi

1. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk Data sekunder dari statistik kelurahan -

2. Penggunaan lahan

Pengamatan dan pemetaan

Penggunaan lahan diamati secara langsung di lapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti. 3. Pola pemukiman Pengamatan dan

pemetaan

Pola pemukiman diamati secara langsung di lapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta pulau yang diteliti.

4. Pengelolaan pulau-pulau kecil (konservasi laut) Wawancana dengan masyarakat. -


(38)

Analisis Data

Analisis Ekosistem Pesisir

1) Ekosistem Terumbu Karang

Data ekosistem terumbu karang yang dianalisis mencakup luasan (sebaran habitat) dan persentasi tutupan karang hidup. Analisis sebaran ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis. Adapun kualitas tutupan karang hidup dianalisis dengan menggunakan kriteria yang dikemukakan KLH (2001). Kualitas tutupan karang hidup dibagi menjadi empat kategori, yaitu kondisi buruk, sedang, baik dan sangat baik (Tabel 5).

Tabel 5 Kriteria persentasi penutupan karang hidup

Persentase Tutupan Karang Hidup (%) Kondisi

0.0% - 24.9% Buruk

25.0% - 49.9% Sedang

50.0% -74.9% Baik

75.0% - 100% Sangat Baik

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2001)

2) Ekosistem Mangrove

Seperti halnya dengan analisis terumbu karang, analisis ekosistem mangrove juga mencakup analisis spasial atau sebaran habitat dan analisis kualitas tutupan dalam bentuk kerapatan pohon mangrove. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis, sedangkan analisis tingkat kerapatan dilakukan dengan menghitung jumlah pohon dalam satuan hektar (pohon/ha). Untuk menilai tingkat kerapatan mangrove digunakan kriteria yang dibuat Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004). Kriteria yang digunakan untuk menilai kerapatan mangrove terdiri dari tiga kategori, yaitu kepadatan jarang, sedang dan sangat padat (Tabel 6).

Tabel 6 Kriteria baku kerusakan mangrove

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan

(Pohon/Ha)

Baik Sangat Padat > 70 > 1 500

Rusak Sedang > 50 - < 70 > 1 000 - < 1 500 Jarang < 50 < 1 000

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004)

3) Padang Lamun

Data ekosistem padang lamun juga mencakup data tentang distribusi spasial dan kualitas tutupan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis, sedangkan analisis kualitas tutupan lamun menggunakan kriteria yang dikemukakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup


(39)

(2004). Kualitas tutupan lamun dibagi menjadi tiga, yaitu sangat kaya, kurang kaya dan miskin (Tabel 7).

Tabel 7 Kategori tutupan lamun

Kondisi % Penutupan Area

Baik Sehat/kaya ≥ 60

Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59.9

Miskin 29.9

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004)

Analisis Karakteristik Geofisik Pulau-Pulau Kecil

Parameter geofisik pulau kecil yang dianalisis adalah kelerengan pantai (coastal slope), ketinggian atau elevasi pulau dari permukaan laut, dan tipologi/jenis pulau, laju erosi pantai, dan parameter oseanografi seperti gelombang dan pasang surut. Kelerengan pantai berhubungan dengan kemudahan dari suatu pantai/pesisir mengalami perendaman atau penggenangan apabila terjadi banjir atau kenaikan muka laut dan mempercepat bergesernya garis pantai. Demikian juga dengan faktor elevasi pulau, akan menentukan seberapa lama suatu pulau akan mengalami perendaman dengan adanya kenaikan muka laut dari tahun ke tahun. Tipologi secara tidak langsung juga menentukan kemudahahan suatu pulau mengalami perendaman, misalnya pulau-pulau dataran rendah lebih cepat mengalami perendaman dibandingkan pulau berbukit. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk analisis kenaikan muka laut, seperti yang dikemukakan Hamzah et al. (in press), yaitu:

1. Berdasarkan data pasang surut dari rekaman tide gauge serta proyeksi perubahan duduk tengahnya yang diasumsikan secara linear

2. Berdasarkan data satelit altimetri ADT yang diperoleh dari AVISO.

3. Berdasarkan model kenaikan permukaan laut (sea level rises = SLRs) dengan skenario SRES (Special Report on Emissions Scenarios) series IPCC.

Kenaikan muka laut akan meningkatkan potensi rendaman daratan pulau kecil. Selain kenaikan muka laut, potensi rendaman daratan pulau kecil juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti pasang surut, dan subsiden dari suatu pulau. Parameter-parameter oseanografi seperti pasang surut, gelombang laut, erosi pantai juga dianalisis mengingat parameter ini memiliki kontribusi terhadap kerentanan pulau-pulau kecil

Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi

Parameter sosial ekonomi yang dianalisis adalah pertumbuhan dan kepadatan penduduk, mata pencaharian, pola persebaran pemukiman penduduk dan kearifan lokal terkait dengan pengelolaan lingkungan. Pertumbuhan penduduk dianalisis dengan membandingkan jumlah penduduk dari tahun ke tahun, untuk mendapatkan laju pertumbuhan penduduk per tahun. Sementara kepadatan penduduk dianalisis dengan membandingkan jumlah penduduk dengan ketersediaan lahan daratan yang layak dihuni. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui jenis mata pencaharian masyarakat di pulau-pulau kecil, pola-pola persebaran pemukiman dan kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat dalam melindungi sumberdaya pesisir.


(40)

Konstruksi model indeks kerentanan lingkungan dimulai dengan pemahaman terhadap karakter sistem yang akan diteliti, dalam hal ini adalah karakter pulau-pulau kecil. Karakteristik parameter kerentanan lingkungan pulau pulau kecil dianalisis untuk memahami karakteristik dari sistem tersebut. Berdasarkan pemahaman tersebut dilakukan identifikasi parameter-paremeter lingkungan yang mempengaruhi kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Setelah parameter kerentanan lingkungan diketahui lalu dilakukan konstruksi model indeks kerentanan.

Penentuan Bobot

Menurut Villa dan McLeod (2002) salah satu pendekatan yang digunakan dalam memberikan bobot adalah matriks perbandingan berpasangan yang sudah dikembangkan oleh Saaty (1980). Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Tahapan-tahapan pengolahan bobot parameter kerentanan lingkungan adalah sebagai berikut:

1. Memberikan nilai signifikansi setiap parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

2. Menyusun matriks perbandingan dari masing-masing parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, sebagai berikut Tabel 8:

Tabel 8 Parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil A=(aij)=

Dalam hal ini, C1, C2,...Cn adalah parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Nilai signifikansi perbandingan berpasangan membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks perbandingan parameter yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. Cara pengisian elemen-elemen matriks pada di atas adalah:

1. Elemen a[i, j] = 1 dimana i = 1,2,…,n (untuk penelitian n = 4) 2. Elemen matriks segitiga atas sebagai input

3. Elemen matriks segitiga bawah mempunyai rumus , a [j,i]= , untuk i≠j Matriks gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks yang nilai rasio inkonsistensinya memenuhi syarat. Pengolahan horizontal, yaitu:

a) perkalian baris,

b) Perhitungan vektor prioritas atau vektor ciri (eigen vector), c) perhitungan akar ciri (eigen vaue) maksimum, dan

d) perhitungan rasio inkonsistensi.

] , [

1 j i a

C1 C2 …. Cn

C1 1 a12 …. a1n

C2 1/a12 1 …. a2n

… …. …. …. ….


(41)

Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk menghitung konsistensi penilaian signifikansi parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.

3. Menghitung eigen value setiap baris dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ʎi=

C1,C2,…….,Cn dan bobot pengaruhnya adalah w1, w2,….,wn. Misalkan aij = wi / wj

menunjukkan kekuatan Ci jika dibandingkan dengan Cj. Matriks dari angka angka aij ini dinamakan matriks pairwise comparison, yang diberi simbol A, yang merupakan matriks reciprocal, sehingga aji = 1 / aij. jika zi, …..,zn adalah angka-angka yang memenuhi persamaan Aw = λw dimana λ merupakan eigen value dari matriks A, dan jika aij = 1 untuk semua i, maka :

4. Menguji konsistensi setiap matriks berpasangan antar alternatif dengan rumus masing-masing elemen matriks berpasangan pada langkah 3 dikalikan dengan nilai prioritas kriteria. Hasil masing-masing baris dijumlahkan, kemudian hasilnya dibagi dengan masing-masing nilai prioritas kriteria sebanyak nʎ . Menghitung Lamda max (ʎmax) dengan rumus:

ʎmax =( Menghitung Consistency Index (CI) dengan rumus

CI= Menghitung dengan rumus :

(CR) =

RC adalah nilai yang berasal dari tabel acak seperti Tabel 17. Jika CR < 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan konsisten. Jika CR >0.1, maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten. Jika tidak konsisten, maka pengisian nilai-nilai pada matriks berpasangan oleh setiap parameter harus diulang. Hasil akhirnya berupa prioritas global sebagai nilai yang digunakan oleh pengambil keputusan berdasarkan skor yang tertinggi (Tabel 9).

Tabel 9 Random Consistency (RC)

n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 RC 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 Sumber : Tahir, 2010

wi wj a

n j 1 ij.

.

1

 

n

i  n

n

i 1 i)/n

( 

1 ) max (

 

n n

RC CI


(42)

Hasil

Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau Kecil terluar

Model indeks kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari model statis indeks kerentanan lingkungan dan model dinamik indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Model statis indeks kerentanan lingkungan dimaksudkan untuk menghitung indeks kerentanan saat ini (sesaat), sedangkan model dinamik indeks kerentanan lingkungan digunakan untuk melakukan prediksi dinamika kerentanan pada masa yang akan datang.

Indeks Kerentanan Saat Ini

Seperti telah disebutkan dalam Sub Bab 1.7, konsep kerentanan lingkungan yang diacu dalam penelitian ini adalah konsep kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), bahwa kerentanan (V) merupakan fungsi overlay dari exposure (E), sensitivity (S), dan adaptive capacity (AC), yang selanjutnya diekspresikan secara matematika oleh Metzger et al. (2006) seperti pada persamaan (1). Persamaan (1) tersebut diekspresikan lebih lanjut dalam bentuk persamaan matematika oleh Hamzah et al. (in press) dan juga memiliki kesamaan yang dikembangkan UNU-EHS (2006) menjadi:

V = (E x S)/AC

Dengan menjabarkan parameter kerentanan seperti yang diadopsi dari Polsky et al. (2007), dimensi E, S dan AC masing-masing dapat dijabarkan sebagai sebuah persamaan.

1.Dimensi Exposure

Persamaan indeks kerentanan dimensi exposure dituliskan sebagai berikut:

IE = α1 (SR x ER) + α2GL + α3PS + α4TS + α5 (PD x KP)

Keterangan: α adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil.

2.Dimensi Sensitivity

Dimensi sensitivity dituliskan sebagai berikut:

IS = β1EL + β2TP + β3SL + β4PL + β5 PP

Keterangan: β adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil.

3.Dimensi Adaptive Capacity

Parameter dimensi adaptive capacity terdiri dari habitat pesisir (HP), ekosistem terumbu karang (TK), ekosistem mangrove (MR), ekosistem lamun (LM) dan konservasi laut (KL). Masing-masing parameter tersebut memiliki peran yang berbeda dalam menentukan kemampuan adaptasi pulau-pulau kecil. Persamaan matematika untuk indeks kerentanan dimensi adaptive capacity dituliskan sebagai berikut:


(43)

Keterangan: ε adalah bobot yang didasarkan atas signifikansi setiap parameter terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Sehingga persamaan Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil (IK-PPK) sebagai berikut:

IK-PPK = IE x IS/IAC

Untuk mendapatkan nilai minimum dan maksimum dari persamaan (22), dilakukan dengan mensubstitusi nilai setiap parameter yang berkisar dari 1 sampai 5. Dengan menggunakan bobot dari masing-masing parameter pada persamaan (19), (20), dan (21) dengan bobot pada Tabel 18, diperoleh nilai minimum IK-PPK sebesar 0.20 dan nilai maksimum sebesar 76.00. Hasil perhitungan nilai indeks minimum dan maksimum disajikan pada Lampiran Tabel 54. Dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum tersebut, skala penilaian tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dibagi menjadi 4 kategori kerentanan (Doukakis 2005) sebagai berikut Tabel 10:

Tabel 10 Kategori kerentanan (Doukakis 2005) 0.20 - 6.04 : Kerentanan rendah (low) 6.05 - 18.18 : Kerentanan sedang (moderate) 18.19 - 40.48 : Kerentanan tinggi (high)

40.49 - 76.00 : Kerentanan sangat tinggi (very high)

Proyeksi Kerentanan Pulau Kecil terluar

Kerentanan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang dinamis, yang berarti kerentanan tersebut akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Dengan model kerentanan pulau-pulau kecil seperti di atas, maka laju atau perubahan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil pada waktu yang akan datang dapat diduga dengan lebih baik. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi exposure, sensitivity, dan adaptive capacity disajikan pada Tabel 11 Bobot parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, sedangkan metode penghitungan disajikan pada:


(1)

118

Lampiran 14 Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit dimensi politik

Stress = 0,14

Squared Correlation (RSQ) = 0,94


(2)

119

Lampiran 15 Kategori hasil analisis Rapfish Pulau Marampit dimensi sosial

Stress = 0,13

Squared Correlation (RSQ) = 0,95


(3)

120

Lampiran 16 Laporan ke Sekretaris Daerah Talaud

Lampiran 17 Pulau Miangas


(4)

(5)

(6)

123

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 31 Maret 1967

Sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan keluarga Bapak Jhon Ferdinand Baroleh (Alm) dan Ibu Janete Nebat (Alm).

Tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Manado dan pada tahun yang sama penulis masuk Universitas Sam Ratulangi Manado. Tahun 1991 Penulis lulus pada jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Unsrat Manado

Pada Tahun 1995 penulis diterima di Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 1998 menyelesaikan program Magister bidang Ketahanan Nasional melalui BPPS-DIKTI Pada tahun 2011 diterima program Doktor di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, melalui beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS-DIKTI tahun 2011.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Sam Ratulangi sejak tahun 1991 melalu Beasiswa TID. Sebelum melanjutkan pendidikan, penulis aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tahun 1989-1991. Mengikuti berbagai seminar,pelatihan dan lokakarya serta menulis berbagai artikel.

Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Debiana Mardjun dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Benaya Nehemia Baroleh (26 Tahun), Maria Joana Baroleh (18 Tahun) dan Sharon Easter Baroleh (15 Tahun)

Nomor HP 081356704704 Jalan Pogidon Raya No.39, RW 2/ RT, Kelurahan Mahawu Kecamatan Tuminting, Manado - 95239

Bogor,