Metode Takhrîj Hadis

C. Metode Takhrîj Hadis

Kitab dan literatur yang masuk dalam kategori sumber asli, disusun dengan sistematika dan metodologi yang berbeda. Hal ini menyebabkan metodologi yang digunakan untuk mengkaji hadisnya juga berbeda. Untuk melakukan proses ”pembacaan” terhadap sebuah literatur, kita perlu mengetahui metodologi penulisan yang digunakan. Ketika akan melakukan takhrîj hadis, kita perlu mengetahui metode penulisan sumber-sumber asli, agar dapat ditentukan metode takhrîj mana yang akan kita gunakan.

Ada ulama yang menyusun kitabnya berdasarkan susunan nama perawi, ada juga yang berdasarkan bab-bab fiqh, dan ada yang menyusunnya berdasarkan tema-tema tertentu. Dengan berdasarkan kategorisasi dan metodologi penulisan, setidaknya ada lima cara atau metode yang digunakan untuk menakhrîj hadis:

1. Metode Penelusuran Hadis Berdasarkan Perawi Sahabatnya

Metode ini digunakan ketika nama perawi sahabatnya diketahui. Pengguna metode ini harus meyakini terlebih dahulu sosok sahabat yang meriwayatkan hadis yang akan ditakhrîj. Untuk kemudian melakukan penelusuran hadis pada buku atau literatur yang metodologi penulisan hadisnya berdasarkan urutan nama- nama sahabat. Metode ini berlaku pada kitab-kitab musnad, mu’jam dan atrâf.

37 Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 16

Musnad adalah kitab yang ditulis berdasarkan urutan sahabat yang meriwayatkan hadis. Ada banyak musnad yang pernah ditulis oleh para pakar

hadis. Al-Tahhan menyatakan bahwa ada lebih dari seratus musnad. 38 Musnad yang paling terkenal adalah musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Ketika

seseorang menyebutkan kata musnad, maka musnad Ahmad inilah yang dimaksud. Selain itu ada juga musnad al-Humaydî (w. 219 H) yang merupakan guru dari al-Bukhârî, Musnad Abû Dâwud al-Tayâlisî (w. 204 H), Musnad Abû Ya’lâ al-Mausulî (w. 307 H), dan Musnad ’Abd bin Humayd (w. 249 H).

Hadis-hadis dalam musnad disusun berdasarkan tiap-tiap nama-nama sahabat. Penyusunan ini bisa berdasarkan abjad (dalam artian perawi yang

namanya diawali huruf Hamzah disebutkan pertama, lalu perawi yang namanya diawali huruf Ba`, dan seterusnya). Ada yang disusun berdasarkan kedahuluan masuk ke dalam agama Islam. Ada juga yang disusun berdasarkan kabilah (klan), atau yang berdasarkan nama daerah (buldân).

Dalam prakteknya, ada juga musnad yang disusun berdasarkan tema-tema, misalnya musnad karya Baqî bin Makhlad al-Andalusî yang disusun berdasarkan

bab-bab fiqh. 39 Mu’jam adalah buku atau kitab hadis yang penulisannya berdasarkan nama

sahabat, atau nama guru dari penulisnya, atau nama-nama tempat. Biasanya, mu’jam disusun sesuai urutan abjad, baik ketika mu’jam itu berdasarkan nama sahabat ataupun nama guru dan nama tempat. Metode pertama ini bisa digunakan dalam penelusuran hadis yang berada di mu’jam yang disusun sesuai nama sahabat. Karena metode ini memang hanya dapat diterapkan pada literatur yang sistematikanya disusun berdasarkan nama sahabat.

Mu’jam juga ada banyak, dan yang paling terkenal dan banyak dikaji oleh pengkaji hadis adalah mu’jam karya al-Tabrânî (w. 360 H). Al-Tabrânî memiliki tiga mu’jam. Pertama al-Mu’jam al-Kabîr yang penyusunannya berdasarkan nama sahabat. Jika dalam literatur klasik kita dapati kata ”al-Mu’jam”, maka yang dimaksud adalah al-Mu’jam al-Kabîr karya al-

38 Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 40 39 Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 40

Tabrânî ini. Ibn Dihyah menyatakan bahwa al-Mu’jam al-Kabîr adalah mu’jam terbesar yang ada di dunia ini. Mu’jam ini memuat sekitar enam puluh ribu hadis, dan disusun berdasarkan nama perawi dari generasi sahabat kecuali Abû Hurayrah. Al-Tabrânî memiliki karya khusus yang memuat hadis-hadis yang

diriwayatkan oleh Abû Hurayrah. 40 Kedua, al-Mu’jam al-Awsat, yang disusun berdasarkan nama guru-guru al-Tabrânî yang berjumlah sekitar dua ribu orang.

Mu’jam yang ketiga adalah al-Mu’jam al-Sagîr yang juga disusun berdasarkan nama guru-gurunya.

Dengan melihat metodologi penulisan masing-masing mu’jam, kita dapati bahwa metode pertama ini hanya dapat diterapkan pada al-Mu’jam al-Kabîr.

Selain al-Tabrânî, ada juga ulama lain yang menyusun kitab mu’jam, yaitu Ahmad bin ’Alî bin Lâl al-Hamdânî (w. 398 H) yang menulis Mu’jam al- Sahâbah, dan Abû Ya’lâ al-Mausulî (w. 307 H) yang menulis kitab dengan judul yang sama.

Sementara yang dimaksud atrâf adalah kitab yang menyebutkan sebagian dari hadis dengan menyebutkan sanad-sanadnya. Biasanya, penyusunan atraf berdasarkan abjad nama-nama sahabat. Dalam menyebut potongan hadis, biasanya pembaca dapat mengenali matan hadis yang tidak ditulis. Misalnya, hadis”kullukum râ’in” dan ”buniya al-Islâm ’ala khams”.

Ada banyak atrâf yang beredar di masyarakat, misalnya Atrâf al-Sahîhayn karya Abû Mas’ûd Ibrahîm bin Muhammad al-Dimisyqî (w. 401 H), dan Tuhfah al-Asyrâf bi Ma’rifah al-Atrâf karya Yûsuf ’Abdurrahmân al-Mizzî (w. 742 H).

Perlu diingat bahwa atrâf tidak menyebut matan hadis secara lengkap, sehingga jika kita ingin mengetahui matannya secara lengkap, maka kita harus merujuk sumber aslinya. Atrâf mengumpulkan sanad-sanad yang ada dalam satu tempat, yang bisa membantu kita menilai kualitas hadis berdasarkan kuantitas sanadnya.

40 Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 45

2. Metode Ungkapan Pertama Dalam Matan

Metode ini digunakan ketika kita mengetahui dengan pasti ungkapan awal dari matan hadis. Setidaknya ada kategori kitab yang dapat menggunakan metode ini:

Pertama, kitab-kitab mengumpulkan hadis yang matannya sudah populer di tengah masyarakat luas (musytahirah). Ada banyak ungkapan yang diklaim sebagai hadis, yang dihafal dengan baik oleh masyarakat awam. Hadis-hadis ini ada yang kualitasnya sahîh, hasan dan da’îf bahkan palsu. Ada banyak kitab yang mengumpulkan hadis semacam ini, misalnya al-Durar al-Muntatsirah Fî al- Ahâdîts al-Musytahirah karya al-Suyûtî (w. 911 H), al-Maqâsid al-Hasanah Fî

Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ’Alâ al-Alsinah karya al-Sakhâwî (w. 902 H), dan Kasyf al-Khafâ wa Muzîl al-Ilbâs ’Ammâ Isytahar Min al-Ahadîts ’Alâ Alsinah al-Nâs karya al-’Ajlûnî (w. 1162 H).

Kedua, kitab-kitab yang disusun berdasarkan abjad huruf pertama matannya, misalnya al-Jâmi’ al-Sagîr Min Hadîts al-Basyîr al-Nadzîr karya al- Suyûtî (w. 911 H).

Kitab al-Jâmi’ al-Sagîr tidak menggunakan sanad yang dimiliki pengarangnya, sehingga tidak bisa dianggap sumber asli. Namun kitab ini secara lugas menyebutkan sumber asli yang dikutipnya, sehingga siapapun yang ingin melakukan kajian atas sanadnya, harus merujuk kepada kitab yang dirujuk oleh al- Suyûtî.

Ketiga, kitab Miftâh dan Fihris, atau kitab yang disusun berdasarkan indeks matan hadis, seperti Miftâh al-Sahîhayn karya Muhammad al-Syarîf bin Mustafâ al-Tawqâdî, dan Miftâh al-Tartîb Lî Ahâdîts Târîkh al-Khatîb karya Ahmad bin Muhammad al-Gimârî.

Jenis ketiga ini juga tidak dapat dijadikan sumber asli, karena ia tidak menggunakan sanad yang dimiliki oleh pengarangnya. Namun demikian, kitab ini dapat membantu proses penelusuran lokasi hadis pada sumber yang dirujuk.

3. Metode Indeks Kata

Metode ini digunakan dengan cara mencari kata-kata yang menjadi ”kata kunci” dalam indeks hadis. Yang dimaksud dengan ”kata kunci” adalah kata yang terdapat dalam matan hadis dan tidak banyak digunakan dalam ungkapan sehari- hari. Metode ini menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras Lî Alfâz al-Hadîts yang disusun oleh sebuah tim yang beranggotakan pakar orinetalis. Salah satu dari tim penyusunnya bernama A.J. Wensinck (w. 1939), seorang guru besar Bahasa Arab di universitas Leiden. Al-Mu’jam al-Mufahras memuat indeks kata yang terdapat dalam 9 (sembilan) sumber koleksi hadis, yaitu al-Kutub al-Sittah, Muwatta`, Musnad Ahmad, dan Musnad al-Dârimî.

4. Metode Tematis Hadis

Metode ini digunakan oleh orang yang memiliki cita rasa (dzawq) ilmiah yang memungkinkannya menentukan tema bagi hadis yang sedang dikaji. Sebagaimana kita ketahui, hadis memiliki kandungan berupa akidah, akhlaq, prediksi masa depan yang berdasarkan wahyu (tanabbuât), kisah masa lampau (fakta sejarah), norma dan pranata sosial, hukum, dan lain sebagainya. Seseorang yang sering membaca dan memiliki wawasan luas dalam hadis dan ilmu-ilmu keislaman, akan dapat menentukan tema sebuah hadis untuk kemudian dia melakukan penelusuran dalam kitab atau literatur yang diduga memuat hadis itu berserta sanadnya.

Kitab dan literatur hadis yang beredar di kita sekarang ini, ada yang disusun berdasarkan tema-tema fiqh (yang dikenal sebagai ”kitab sunan”), ada yang disusun berdasarkan satu tema, dan ada yang disusun berdasarkan seluruh atau mayoritas tema yang ada.

Semisal hadis yang dikaji memuat tata cara melaksanakan puasa, maka penelusuran dapat dilakukan pada kitab sunan. Atau jika hadis yang dikaji memuat anjuran berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, maka penelusuran dapat dilakukan dalam kitab atau literatur yang khusus mengoleksi hadis tentang targîb wa tarhîb. Demikian seterusnya

5. Metode Penelusuran Berdasarkan Kondisi Matan Atau Sanad

Beberapa kitab atau literatur mengoleksi hadis yang memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu bisa ada dalam sanad maupun matan hadis. Jika hadis yang dikaji memiliki ciri dan tanda kepalsuan, maka kita dapat melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis palsu. Atau jika hadis yang dikaji dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, atau yang kita kenal sebagai hadis qudsî, maka kita melakukan penelusuran terhadap kitab atau literatur yang memuat hadis-hadis qudsî.

Kemudian jika sanad hadisnya terdapat periwayatan bapak dari anak (riwâyah al-âbâ` ’an al-abnâ`), maka kita melakukan penelusuran dalam kitab

yang khusus mengoleksi hadis periwayatan bapak dari anak. Atau jika sanad hadisnya ternyata berupa musalsal, maka kita melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis musalsal.

Kelima metode ini dapat digunakan secara bersamaan, atau dipilih salah satu yang paling memdahkan kita dalam melakukan penelusuran hadis. Kita perlu menentukan dulu matan atau perkiraan matan untuk kemudian memilih metode yang akan digunakan.

Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita dapat melakukan penelusuran hadis melalui program komputer dan internet. Penggunaan teknologi modern dalam melakukan kajian hadis tentu bukanlah sebuah aib. Apalagi mengingat rendahnya kualitas dabt dan wawasan hadis yang dimiliki kebanyakan pengaji hadis di masa sekarang. Penggunaan alat bantu komputer atau internet akan sangat membantu. Namun kita perlu melakukan cross check atau konfirmasi ke kitab-kitab atau literatur hadis yang ”manual” berupa kitab-kitab hadis. Hal ini demi mendapatkan hasil yang faktual dan valid, dan untuk menghindari adanya kesalahan yang mungkin terjadi saat kita mengakses program atau internet.

Konfirmasi ke kitab-kitab ”manual” ini juga diperlukan agar kita dapat mengenali dengan baik metodologi penulisan kitab-kitab hadis.