Menghindari Plagiarisme

C. Menghindari Plagiarisme

Apakah “plagiarisme” itu dan mengapa harus dihindari? Istilah “plagiarisme” atau biasa pula disebut “plagiat” ditransfer dari bahasa Inggris plagiarism yang asal-muasalnya dari bahasa Latin plagiarius yang berarti penculik. Istilah ini kemudian memiliki arti “penipuan dengan cara mengambil hasil pemikiran orang lain dan menyajikannya seolah-olah hasil pemikirannya sendiri” (Gibaldi, 1995:26). Dalam menulis karya ilmiah, seseorang mestilah menghargai hasil pemikiran orang lain. Ia tidak boleh dengan seenaknya memasukkan pemikiran orang lain (khususnya yang telah dipaparkan dalam bentuk tulisan) ke dalam karya tulisnya. Ada aturan yang sangat ketat yang harus diikuti. Bila ia mengutip pendapat orang lain, maka ia haruslah memberi tanda kutipan (atau mengetiknya dalam spasi khusus) lalu menyebutkan sumber kutipan tersebut.

Contoh: Hadiwidjojo (dalam Sakri, 1993:153) menuliskan dalam Perkembangan Peristilahan Ilmu dan Teknologi dalam Bahasa Indonesia, 1928-1988. bahwa:

Boleh kita katakan, sejak beberapa tahun terakhir ini kita dapat menyaksikan adanya perkembangan yang luar biasa cepatnya di segala bidang. Ini dengan sendirinya berpengaruh pula pada usaha pembentukan istilah baru. Bagi setengah orang, mungkin yang tampak seakan-akan hanya kerancuan: terlalu banyak kata yang mereka anggap baru. Padahal penyebab sebenarnya, mereka memang tidak akrab dengan kotakasa yang kita miliki. Banyak di antara kita yang tidak mempunyai kamus bahasa Indonesia, tempat kita dapat bertanya. Tidak mengherankan, berbagai pertanyaan maupun usul timbul untuk mengatasinya. Tidak sedikit orang yang merasa betapa istilah baru yang muncul itu menyulitkan orang dalam berkomunikasi. Di antaranya ada pula yang kemudian menyuarakan, lebih baik kalau digunakan kata asingnya saja.

Bila seseorang memasukkan kutipan tersebut secara mentah mentah ke dalam - tulisannya tanpa memberi tanda kutipan atau merapatkan spasi dan menyebutkan sumbernya, maka ia disebut melakukan plagiarisme. Melakukan plagiarisme dalam dunia ilmu pengetahuan merupakan pelanggaran besar yang amat memalukan. Mengutip pendapat orang lain pun hendaknya dalam jumlah yang terbatas. Bila ia mengutip pendapat seseorang secara panjang lebar, maka ia seyogyanya meminta izin kepada pemilik hak cipta - dari tulisan yang dikutipnya itu.

Kadang kadang ada orang yang mengubah tulisan orang lain dengan mengganti kata - - kata tertentu dengan kata-kata yang sama artinya lalu mengakui tulisan yang telah diubahnya itu sebagai tulisannya. Ini pun disebut sebagai plagiarisme. Contoh berdasarkan kutipan di atas (kata kata yang bergaris bawah telah diubah dari aslinya): -

Dapatlah dikatakan, akhir-akhir ini kita dapat melihat adanya kemajuan yang amat pesat di berbagai lapangan kehidupan. Ini secara otomatis berdampak pula pada upaya pengembangan terminologi baru. Bagi sebagian orang, mungkin yang kelihatan seakan-akan hanya kerancuan: yakni amat banyak istilah yang mereka anggap baru. Padahal penyebab sesungguhnya, mereka memang tidak familiar dengan perbendaharaan kata yang kita punyai. Banyak di antara kita yang tidak memiliki kamus bahasa Indonesia, tempat kita memperoleh jawaban. Tidak mengherankan, beragam pertanyaan maupun saran muncul untuk memecahkannya. Tidak sedikit orang yang menyadari betapa istilah baru yang lahir itu membuat orang sulit dalam berhubungan. Di antaranya ada pula yang kemudian mengusulkan, lebih baik bila dipakai istilah asingnya saja (Sakri, 1993:153).

Bahkan menurut Prof. Markman dkk. (1982), mengubah kalimat orang lain sekalipun dengan menyebutkan sumbernya masih dipandang sebagai plagiarisme.

Agar supaya seorang ilmuwan terhindar dari perbuatan plagiarisme yang tercela tersebut, maka ia dapat melakukan salah satu diantara 2 pilihan.

1. Pilihan pertama adalah memberi tanda kutipan atau merapatkan spasi dari kalimat yang dikutipnya lalu menyebutkan sumbernya seperti contoh pertama di atas.

2. Pilihan kedua adalah menuliskan kembali kalimat-kalimat orang lain dalam bahasanya sendiri (dengan tidak mengubah arti kalimat-kalimat tersebut) lalu menyebutkan sumbernya.

Contoh penulisan kembali dalam bahasa sendiri: Ekspresi anak berbeda dengan ekspresi orang dewasa karena kebutuhan orang

dewasa berlainan dengan kebutuhan anak anak. Anak anak mencari kepuasan dengan - - “bebas,” dengan berteriak, bernyanyi, dan perilaku lainnya. Karena itulah yang selalu dilakukan, berekspresi dan mengekspresikan dengan spontan. Ekspresi ini perlu mendapat perhatian karena melalui ekspresi ini cita-cita, keinginannya tersalurkan (Muharram dan Sundaryati, 1991/1992:28).

Dapat dibahasakan kembali menjadi: Secara alamiah ekspresi anak anak berbeda dengan ekspresi orang dewasa. Ekspresi -

anak anak yang bebas dan spontan perlu diperhatikan (Muharram dan Sundaryati, - 1991/1992).