Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, sighot akad
harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan. Undang-Undang No.21 tahun 2008 menyebutkan tentang definisi akad sebagai berikut :
“Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip
Syariah.”
2. Rukun Akad
Dalam pengertian para ahli hukum Islam “Rukun” adalah pokok suatu dan hakekatnya dan ia merupakan bagian yang sangat penting daripadanya meskipun berada di luarnya.
Menurut jumhur ulama pendapat banyak ulama rukun akad menyangkut 4 hal yaitu :
57
a. sighat al ahad yaitu pernyataan untuk meningkatkan diri. b. ma’qhud alaih atau mahal al’aqd yaitu harga dan barang yang ditransaksikan atau
objek akad c. al aqidan yaitu orang yang membuat atau menyelenggarakan akad atau pihak-pihak
yang berakad d. maudhu al aqd yaitu tujuan diselenggarakan akad
Akan tetapi, menurut Mazhab Hanafi, hanya ijab kabul yang menjadi rukun akad, sementara para pihak dan objek akad sudah di luar esensi akad, sehingga bukan
merupakan rukun akad, melainkan merupakan syarat akad.
58
3. Syarat-syarat Akad
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “ Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis”
syarat-syarat akad adalah sebagai berikut:
59
a. Ijab dan kabul haruslah dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan berbuat. Dalam hal ini orang tersebut waras, cukup umur mencapai umur tamyiz dan tidak
boros b. Ijab kabul harus tertuju kepada obyek tertentu.
c. Ijab kabul harus dilakukan oleh kedua belah pihak dalam kontrak atau jika salah satu pihak tidak hadir, maka dapat ditujukan kepada pihak ketiga, dimana pihak ketiga
57
Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Bandung, 2001 hal. 251-258
58
Munir Fuady SH.LLM., Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung, 2003, hal 28.
59
Ibid., hal 28-29
menyampaikannya kepada pihak yang tidak hadir, dan pihak yang tidak hadir menyatakan kabulnya.
d. Akad tidak dilarang oleh nash syarak. e. Memenuhi syarat-syarat khusus bagi akad-akad tertentu.
f. Akad itu bermanfaat. g. Ijab harus tetap shahih sampai saat dilakukan kabul. Artinya tidak sah akad jika
sebelum kabul dilakukan telah terjadi pembatalan ijab dan pelaku ijab telah gila atau meninggal dunia.
h. Ijab kabul dilakukan dalam 1 satu majelis, yakni dengan tatap muka atau kabul tunda. Akan tetapi menurut mazhab Syafii, kabul harus segera dilakukan setelah akad
dan tidak boleh ditunda-tunda. i. Tujuan akad harus jelas dan diakui oleh syarak. Misalnya akad nikah bertujuan,
antara lain untuk menghalalkan hubungan suami istri. Karena itu akad semu dilarang, misalnya akad jual beli tetapi sebenarnya untuk menutup-nutupi riba.
4. Klasifikasi Akad