Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual Vcd/Dvd Porno (Studi Putusan No. 1069/Pid.B/2010/Pn.Bdg)

(1)

PENERAPAN UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG

PORNOGRAFI TERHADAP PENJUAL

VCD/DVD PORNO

(STUDI PUTUSAN No. 1069/Pid.B/2010/PN.bdg)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh; THEO SAGA TARIGAN

NIM. 060200274

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSUTAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG

PORNOGRAFI TERHADAP PENJUAL

VCD/DVD PORNO

(STUDI PUTUSAN No. 1069/Pid.B/2010/PN.bdg)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh;

THEO SAGA TARIGAN NIM. 060200274

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana Dr. M. Hamdan, S.H.,MH NIP. 195703261986011001

Pembimbing I

Pembmbimbing II

Berlin Nainggolan,S.H.,M.Hum Rafiqoh Lubis,S.H.,M.Hum

NIP. 195212051986011002 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSUTAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

* Berlin Nainggolan, SH, M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum *** Theo Saga Tarigan

Kejahatan di bidang pornografi merupakan salah satu dari aktivitas kriminal yang berkembang cepat yang disebabkan karena adanya perkembangan di bidang teknologi dan informasi. Berbagai hal telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang merek mulai dari dibentuknya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Namun kejahatan di bidang pornografi ini masih saja terdapat di dalam masyarakat, bahkan dapat diperkirakan kasus kejahatan terhadap pemalsuan di bidang merek ini meski sudah ditangani, akan terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan diantaranya pengaturan kejahatan pornografi dalam hukum positif di Indonesia ditinjau berdasarkan Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta penerapan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap penjual VCD/DVD porno. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research) serta menganalisa putusan Pengadilan Negeri Bandung dalam Perkara Register No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg.

Di Indonesia sendiri, masalah pornografi bukanlah hal yang baru. Di mana di dalam KUHP mengenai pornografi telah di atur dalam Pasal 281,282,283, dan Pasal 533 KUHP. Selain itu masalah Pornografi juga di atur dalam Undang– Undang Penyiaran, Undang Perfilman, Undang Pers, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang-Undang-Undang ITE. Namun, karena pemerintah Indonesia merasa bahwa pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang yang telah ada itu kurang kuat mengikat para pelakunya maka kemudian pemerintah mengupayakan larangan terhadap pornografi yang telah dituangkan dalam suatu peraturan tentang pornografi yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Mengenai penerapan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap penjual VCd/DVD porno harus terpenuhi unsur-unsur pokok yang terdapat dalam dakwaan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

* Dosen Pemimbing I ** Dosen Pemimbing II


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadiran Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah PENERAPAN Undang-Undang NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI TERHADAP PENJUAL VCD/DVD PORNO (STUDI PUTUSAN No. 1096/ Pid.B/ 2010/ PN. Bdg). Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinnginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak M. Husni, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, SH, M.Hum, sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberi bantuan, pengarahan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Berlin Nainggolan, SH, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bantuan, pengarahan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi dan juga juga telah membantu penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bantuan, pengarahan, bimbingan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga telah membantu penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak M,Hayat, SH, M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.

10. Para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dedikasi yang sangat besar kepada penulis serta para pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah


(6)

membantuy penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Secara khusus penulis juga mengucapakan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya tercinta yang selalu mencurahkan segenap kasih sayang, pengorbanan, doa serta memberikan motivasi hati sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan tinggi dan karena doa mereka jualah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Keluarga tercinta ,Kakak Yvany Tarigan dan Agaventa Tarigan yang member segenap dukungan dan doa kepada penulis.

13. Buat Corry Ceria Purba terima kasih atas perhatian, dukungan dan bantuan selama ini.

14. Terima kasih juga buat abang/kakak senior yang telah memberikan saran serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Medan, April 2011


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI………...iv

ABSTRAKSI………. vi

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...7

D. Keaslian Penulisan………...9

E. Tinjauan Kepustakaan ………...9

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana……...9

2. Pengertian Pornografi dan Dampak Pornografi ………..21

F. Metode Penelitian………..29

G. Sistematika Penulisan………...30

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI……….33

A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi………33

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)………..33

2. Undang-Undang Penyiaran………...38

3. Undang-Undang Perfilman………...39

4. Undang-Undang Pers………40

5. Undang-Undang Telekomunikasi……….41

6. Undang-Undang ITE……….41

B. Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ………..44

BAB III PENERAPAN UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI TERHADAP PENJUAL VCD/DVD PORNO (STUDI PUTUSAN No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg)………...50

A. Penjualan VCD/DVD PORNO Sebagai Salah Satu Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Pornografi Menurut UU No. 44 Tahun 2008……….50

B. Kasus Posisi………53

1. Kronologis ………....53

2. Dakwaan ………...54

3. Fakta Hukum ………54

4. Tuntutan ………...69

5. Pertimbangan Hakim ………70

6. Putusan………..74


(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………77

A. Kesimpulan………. 77

B. Saran………....78


(9)

ABSTRAKSI

* Berlin Nainggolan, SH, M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum *** Theo Saga Tarigan

Kejahatan di bidang pornografi merupakan salah satu dari aktivitas kriminal yang berkembang cepat yang disebabkan karena adanya perkembangan di bidang teknologi dan informasi. Berbagai hal telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang merek mulai dari dibentuknya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Namun kejahatan di bidang pornografi ini masih saja terdapat di dalam masyarakat, bahkan dapat diperkirakan kasus kejahatan terhadap pemalsuan di bidang merek ini meski sudah ditangani, akan terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan diantaranya pengaturan kejahatan pornografi dalam hukum positif di Indonesia ditinjau berdasarkan Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta penerapan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap penjual VCD/DVD porno. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research) serta menganalisa putusan Pengadilan Negeri Bandung dalam Perkara Register No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg.

Di Indonesia sendiri, masalah pornografi bukanlah hal yang baru. Di mana di dalam KUHP mengenai pornografi telah di atur dalam Pasal 281,282,283, dan Pasal 533 KUHP. Selain itu masalah Pornografi juga di atur dalam Undang– Undang Penyiaran, Undang Perfilman, Undang Pers, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang-Undang-Undang ITE. Namun, karena pemerintah Indonesia merasa bahwa pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang yang telah ada itu kurang kuat mengikat para pelakunya maka kemudian pemerintah mengupayakan larangan terhadap pornografi yang telah dituangkan dalam suatu peraturan tentang pornografi yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Mengenai penerapan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap penjual VCd/DVD porno harus terpenuhi unsur-unsur pokok yang terdapat dalam dakwaan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

* Dosen Pemimbing I ** Dosen Pemimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (HAM) dan selalu melindungi hak dan kewajiban warga negaranya. Salah satu hak warga negara Indonesia adalah kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi yang positif tentu akan berdampak positif pula, namun kadangkala kebebasan berekspresi ini di salahartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas dan sering melanggar norma kesusilaan dan kesopanan di dalam masyarakat.

Negara-negara timur, khususnya Indonesia sangat terkenal dengan bangsa yang sopan- santun, lebih beretika, dan sangat kuat memegang norma-norma terutama norma-norma agama. Berkat kemajuan teknologi dan informasi maka masuklah pengaruh dari negara-negara lain, yang mencolok dalam hal ini adalah masuknya budaya dari negara-negara Barat. Budaya Barat yang serba terbuka, termasuk buka-bukaan dalam berpakaian. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan pengalaman yang berbeda dengan Eropa/Barat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.1

Dalam pandangan hidup dan budaya kita, pornografi dan pornoaksi adalah fenomena di luar sistem-nilai. Karena itu, sudah sepatutnya bagi mereka yang tetap berpegang teguh pada pandangan-hidup dan sistem nilai Indonesia yang menolak segala bentuk pornografi dan pornoaksi.

1

http:www.grelovejogja.wordpress.com/2007/05/16/pornografi-dan-pornoaksi-dalam pandangan-etika/, diakses tanggal 28 Maret 2011


(11)

Mengenai (ketelanjangan) terdapat 2 pengertian, antara lain:2

Menurut Mary Anne Layden, direktur Program Psikologi dan Trauma Seksual, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, menyatakan gambar porno adalah masalah utama pada kesehatan mental masyarakat dunia saat ini. Ia tak cuma memicu ketagihan yang serius, tapi juga pergeseran pada emosi dan

1. ketelanjangan yang disajikan dalam media cetak dan elektronik.

2. ketelanjangan yang disajikan secara langsung dengan berbagai gaya dan ”sajian”.

Kategori pertama dinamakan ”pornografi”, sementara kategori kedua dinamakan ”pornoaksi”.

Globalisasi telah menghapus sekat-sekat yang ada dalam masyarakat baik itu masyarakat internasional maupun merembes kepada masyarakat dalam satu negara. Hal yang nampak jelas adalah terjadinya pertemuan antar budaya yang telah melahirkan dua mata pisau, disatu sisi berdampak positif, namun di sisi lain terjadi pergesekan yang cukup hebat.

Banyaknya tayangan seksual dalam video klip, majalah televisi, dan film membuat remaja melakukan aktivitas seks secara sembarangan. Tidaklah mengherankan ketika terjadi kasus pemerkosaan terhadap anak-anak oleh anak seusia SMP, adegan panas yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA, seperti kasus di Cianjur ( melakukan sex di dalam kelas, yang turut melibatkan guru), dan banyak lagi kasus-kasus lain. Menurut Jane Brown, ilmuwan dari Universitas North Carolina, ”semakin banyak remaja disuguhi eksploitasi seks di media, mereka akan semakin berani mencoba seks di usia muda.

2


(12)

perilaku sosial. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengaruh kokain dalam tubuh bisa dilenyapkan. Ini berbeda dengan pornografi. Sekali terekam dalam otak, image porno itu akan mendekam dalam otak selamanya.3

Dalam hal ini salah satu sarana yang banyak digunakan masyarakat dalam berekspresi adalah dengan menggunakan media masa. Menurut Sayling Wen dalam bukunya Future of the media, membagi media menjadi 3 (tiga) kategori, antara lain:

4

1. Media komunikasi antar pribadi, terdiri dari media teks, grafik, suara, music, animasi, video.

2. Media penyimpanan, terdiri dari perekam video, disk optikal.

3. Media transmisi, terdiri dari media komunikasi, media penyiaran dan media jaringan.

Perkembangan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, menimbulkan problema baru bagi pembentuk Undang-Undang tentang bagaimana caranya melindungi masyarakat secara efektif dan efisien terhadap bahaya demoralisasi sebagai akibat dari masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di Negara masing-masing. Di samping itu, apabila dalam waktu yang sesingkat-singkatnya ternyata tidak dapat diduga bahwa masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing ke Indonesia, dapat menimbulkan problema baru bagi pemerintah dalam usahanya untuk memelihara keamanan umum dan mempertahankan ketertiban umum dalam masyarakat, yang

3

Ibid

4

Sayling Wen, Future of The Media, (Batam: Lucky Publisher, 2002), hal. 17-80, sebagaimana dikutip dari Burhan Bungin, Pornomedia:Konstruksi Sosial teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 5


(13)

bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi secara negatif usaha bangsa Indonesia dalam memelihara ketahanan nasional mereka.

Perdebatan mengenai masalah pornografi akhir-akhir ini sangatlah menarik, meskipun bukan masalah yang baru lagi karena sudah sejak beberapa waktu yang lalu telah mencuat. Namum masalah ini kembali muncul sejak semakin banyaknya peredaran VCD/DVD porno dan rekaman video porno di lingkungan sekolah dan juga kampus yang banyak dilakukan oleh para siswa-siswi serta para mahasiswa-mahasiswa-siswi.

Mengenai masalah seksualitas dan sensualitas yang ada di dalam pornografi bisa tidak menjadi tontonan dan konsumsi masyarakat secara massal dan tidak menjadi persoalan, jika dalam kenyataannya pornografi itu tidak dikemas dalam berbagai bentuk, baik oleh media cetak dan media elektronik yang banyak memproduksi barang-barang pornografi, seperti koran, majalah, tayangan film, internet dan VCD/DVD porno yang banyak dikonsumsi oleh khalayak ramai, dalam hal ini bukan hanya orang-orang dewasa tetapi juga para remaja dan anak-anak, yang masih rentan terhadap pengaruh negatif pornografi dari media masa tersebut.

Dalam hal pengaruh media massa tidak kalah besarnya terhadap keinginan atau kehendak yang tertanam pada diri seseorang untuk berbuat jahat. Keinginan atau kehendak itu sering timbul karena adanya pengaruh dari bacaan, gambar-gambar dan film yang ditonton. Para remaja maupun anak-anak yang mengisi waktu luangnya dengan membaca bacaan, melihat film yang


(14)

mengandung adanya unsur pornografi maka hal itu akan berbahaya dan dapat mmepengaruhi mereka untuk melakukan perbuatan jahat.

Keterpaduan teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan inovasi, berupa transformasi aktivitas baik lokal maupun global menjadi sangat singkat.5 Terdapat sisi negatif dan positif terhadap perkembangan ini. Segi positif perkembangan ini memudahkan manusia dalam menghadapi kehidupannya, sedangkan imbas negatifnya antara lain semakin merajalelanya jaringan pornografi internasional. Akses jaringan pornografi ini dapat dinikmati oleh penduduk berbagai negara. Melalui sarana teknologi telekomunikasi yang berupa internet, penyebaran pornografi dapat dilakukan secara luas, melewati batas-batas negara. Jaringan internet secara potensial menyebarkan “polusi” pornografi ke seluruh dunia. Bahkan disebut sebagai “perusakan dan pencemaran informasi di mayantara” (mungkin dapat disebut sebagai “cyber damage” dan “cyber pollution”) bagian dari environmental crime, yang perlu dicegah dan ditanggulangi.6 Dalam Konvensi Cyber Crime Dewan Eropa disebut pula sebagai “Global crime”.7

Dampak arus global pornografi tidak urung telah merambah wilayah kita. Beberapa waktu yang lalu berita yang disiarkan di televisi mengenai majalah mesum “Playboy” yang berkantor pusat di Amerika akan terbit dan beredar dalam versi Indonesia. Kenyatan ini cukup menggelisahkan, sehingga memicu gelombang protes di berbagai tempat. Protes masyarakat tersebut menegaskan,

5

Dimyati Hartono, Hukum Sebagai Faktor Penentu Pemanfaatan Teknologi Telekomunikasi, (Pidato Pengukuhan Gurubesar FH UNDIP Semarang,1990), hal. 19

6

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 250

7


(15)

jenis kejahatan di bidang kesusilaan ini dipandang cukup serius untuk ditanggulangi. Sebenarnya upaya memberantas kejahatan kesusilaan ini sejak dahulu telah dilakukan. Terdapat pasal-pasal dalam KUHP yang melarang segala bentuk dan jenis pornografi, di samping itu terdapat pada peraturan perundangan lainnya, seperti Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).8

Seberapa jauh komitmen suatu negara untuk memberantas pornografi tergantung pada politik hukum dan kondisi negara yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Konggres PBB Ke V tahun 1975 di Geneva, Swiss bahwa dikriminalisasikan atau tidak pornografi atau kejahatan di bidang kesusilaan ini di hubungkan dengan kuat dan lemahnya hubungan antara moral dan hukum (law and moral standrad) di negara yang bersangkutan. Indonesia merupakan negara yang bersifat religius, yakni moral menjadi hal yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu hal-hal yang bersifat pornografi maupun pornoaksi tetap menjadi persoalan Perbuatan pornografi merupakan bentuk perbutan yang dilarang oleh norma agama, kesopanan, kesusilaan masyarakat maka perbuatan pornografi tersebut merupakan perbuatan yang tercela, sehingga secara substansial layak dinyatakan sebagai perbuatan kriminal.

8

http:www.eprints.ums.ac.id/320/1/4._.SULISTYANTO.pdf, diakses tanggal 28 Maret 2011


(16)

yang banyak mengundang perhatian dan kecaman di masyarakat. Oleh sebab itu tidak benar kiranya apabila pornografi dianggap sebagai urusan pribadi semata.9

1. Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan pornografi dalam hukum positif di Indonesia sebelum lahirnya dan menurut UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi?

Apabila dihubungkan dengan cyber crime (tindak pidana di mayantara) yang bersifat Cyber Pollution, maka polusi pornografi yang dapat menimbulkan kerusakan moralitas bangsa, merupakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Pengaruh global terhadap penyebaran pornografi sungguh luar biasa. Melalui internet inilah penyebaran pornografi tidak terbendung lagi. Keadaan ini dapat menjadi bahan kajian ulang (reevaluasi) baik dalam aspek hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.

B. Perumusan Masalah

2. Bagaimanakah penerapan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap penjual VCD/DVD porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan :

9


(17)

a. Untuk mengetahui pengaturan kejahatan pornografi ditinjau berdasarkan sebelum lahirnya dan menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

b. Untuk mengetahui penerapan pidana ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam perkara register No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg terhadap orang yang memperjualbelikan VCD/DVD porno.

2. Manfaat Penulisan

Disamping untuk melengkapi tugas–tugas dan syarat–syarat mencapai gelar sarjana hukum, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, yaitu penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi serta dapat menjadi motivasi bagi mereka yang hendak mempelajari hal- hal yang berkaitan dengan Pornografi.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, yaitu penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai bahann kajian serta kontribusi pemikiran baik bagi perorangan, masyarakat, serta pemerintah, khususnya aparat penegak hukum untuk dapat menekan dan memberantas akibat negatif yang ti,bulkan oleh Pornografi, terutama terhadap orang yang memperjualbelikan VCD/DVD porno.


(18)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini penulis beri judul Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual VCD/DVD Porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg). Penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas– tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum.

Penulisan skripsi ini merupakan hasil karya penulis. Topik ini penulis angkat karena banyaknya orang yang memperjualbelikan VCD/DVD porno yang terjadi di dalam masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.

Dan sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul tersebut belum pernah ada yang, menulis sebelumnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Sebelum skripsi ini penulisan jabarkan lebih lanjut, ada beberapa hal yang harus penulis uraikan terlebih dahulu guna mempermudah pemahaman dalam pembahasan lebih lanjut atas skripsi ini, yaitu :

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah starfbaar feit adalah:10

10

Adami, Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2001), hal.67


(19)

a. Tindak pidana b. Peristiwa pidana c. Delik

d. Pelanggaran pidanaPerbuatan yang boleh dihukum e. Perbuatan yang dapat dihukum

f. Perbuatan pidana.

Moeljatno menggunakan istilah tindak pidana, dimana perkataan “Tindak” tidak menunjuk pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan kongrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak.11

Pandangan dualisme memisahkan tindak pidana itu antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Sedangkan pandangan monoisme tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. 12

Dalam hal ini yang termasuk ke dalam pandangan monoisme antara lain:13

a. J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan,

11

Ibid, hal 72

12

Ibid, hal 75

13


(20)

b. Wirjono Projodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. c. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh

dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

d. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dari beberapa ahli antara lain:14 a. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: perbuatan, yang

dilarang (oleh aturan hukum), ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

b. Menurut R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia), yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, diadakan dengan penghukuman.

c. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana: kelakuan manusia, diancam dengan pidana, dalam peraturan perundang-undangan.

14


(21)

d. Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana: perbuatan (yang), melawan hukum (yang berhubungan dengan), kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat), dipertanggungjawabkan.

e. Menurut Schravendijk, unsur-unsur tindak pidana: kelakuan (orang yang), bertentangan dengan keinsyafan hukum, diancam dengan hukuman, dilakukan oleh orang (yang dapat), dipersalahkan/kesalahan.

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain:15

a. unsur tingkah laku b. unsur melawan hukum c. unsur kesalahan

d. unsur akibat konstitutif

e. unsur keadaan yang menyertai

f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana h. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.

15


(22)

Dalam hal mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana maka Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan syarat untuk dapat adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kelalaian.

Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechttelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidana nya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:16

1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat. 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. 3. Ada pembuat yang mampu bertanggung jawab.

4. Tidak ada alasan pemaaf.

16

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1996, hal.11-12


(23)

Berikut akan dijelaskan mengenai syarat-syarat pertanggung jawaban diatas.

Ad. 1 Ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada (melawan formil) dan dapat bersumber pada masyaraka (melawan materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam maupun dalam masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut, walaupun kadang kala ada pebuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut Undang-Undang, misalnya perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP) dan bergelandang (Pasal 505 KUHP).

Dari sudut, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undagan, artinya sifat terlarang itu bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perUndang-Undangan.17

17


(24)

Perkataan melawan dalam KUHP yang berlaku sekarang, kadang-kadang disebutkan dalama rumusan tindak pidana dan kadang-kadang-kadang-kadang tidak. Menurut Schaffmeister ditambahkannya kata melawan sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik yang (telah) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa ditambahkannya perkataan melawan mungkin timbul bahaya, yaitu mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan pidana.18 Sedangkan, alasan tidak dicantumkannya dalam tiap-tiap Pasal dalam KUHP adalah bilamana dari rumusan, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan nya, sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit.19

Menurut Hoffman, bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan apabila memenuhi 4 unsur, yaitu:20

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Unsur kesalahan yang mengenai 1. Harus ada yang melakukan perbuatan

2. Perbuatan itu harus melawan

3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.

Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

18

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana), 2006, hal 50

19

A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika), 1995, hal 240

20

Komariah Emong Sapardjadja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni), 2002, hal.34


(25)

keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan dan perbuatan dengan si pelaku. Istilah kesalahan (schuld) dalam pidana adalah berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana atau mengandung beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa).

Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dari situ dapat disimoulkan bahwa pembuatnya dapat dicela karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana.

Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini ada di sebagian rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas, misalnya: Pasal 104, Pasal 179, Pasal 204, Pasal 205, Pasal 362, Pasal 368, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 406 dan Pasal 480 KUHP, dan disebagian lagi tidak dicantumkan, misalnya: Pasal 162, Pasal 167, Pasal 170, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 289, Pasal 294 dan Pasal 422 KUHP.21

Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban tindak pidana, maka tindak pidana merupakan suatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan, ada pula syarat internal, yaitu persyaratan yang justru terletak pada diri Ad 3. Pembuat yang mampu bertanggungjawab

21

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2001, hal.91


(26)

si pembuat. Konkritnya, kondisi si pembuatlah yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat internal tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.22

Dapat dipertanggung jawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat dipertanggung jawabkan. Mengenai asa tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, mka pembuat dapat dipertanggung jawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada di luar pengertian kesalahan.23

Tidak mampu bertanggungjawab ditandai dari dua hal, yaitu jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Mengenai hal ini, haruslah diambil sikap, bahwa mengenai mampu bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk menjatuhkan pidana dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tidak mampu bertanggungjawab Mampu bertanggungjawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu, kesalahan adalah unsur pertangungjawaban pidana. Mampu bertanggungjawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana. Allen mengatakan bahwa keadaan mental pembuat termasuk dalam masalah kemampuan bertanggungjawab. Tepatnya keadaan mental pembuat yang tidak dapat dipertanggugjawabkan dalam pidana.

22

Chairul Huda, Op.Cit, hal.88

23


(27)

adalah ketidak normalan keadaan batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggung jawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut. Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dipidana.24

D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, orang yang memiliki pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapkan, yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan adanya kehendaknya dengan cara yang normal pula.25

Moeljanto menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab ialah pertama harus adanya kemamppuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dan yang melawan; kedua harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.26

KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur adalah kebalikannya, yaitu

24

Ibid, hal.94-95

25

Adami Chazawi, Op.Cit, hal.144


(28)

ketidakmampuan bertanggung jawab.27

Pembuat tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana dalam keadaan-keadaan tertentu, sekalipun sebenarnya tidak diinginkannya. Dalam kejadian tersebut, tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan pada yang bersangkutan untuk tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan, dengan kata lain, terjadinya tindak pidana ada kalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya.

Hal ini dapat dilihat dalam rumusan KUHP Pasal 44 ayat (1): “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”.

Ad 4. Tidak ada alasan pemaaf

Mengenai istilah-istlah alasan pembenar dan alasan pemaaf tidak ada disebutkan dalam KUHP. Dalam teori pidana, yang dimaksud dengan alasan pembenar yaitu alasan yang mengahapuskan sifat melawan nya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

28

Faktor eksternal yang menyebakan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat

27

A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit, hal.260

28


(29)

terdapat alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau selaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain selain melakukan perbuatan itu.29

Kondisi tersebut menekan batin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan padanya.

Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama, alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada tekanan dari luar yang ditujukan pada kehendak bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku ini lah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal.

30

Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif maupun represif pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana.31

Yang dipandang sebagai alasan pembenar dalam titel 3 buku I KUHP adalah Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan , Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan

29

Ibid

30

Ibid, hal.120

31


(30)

perintah dari pihak atasan. Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) (alasan penghapus) penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Sedangkan tentang Pasal 48 yang dinamakan daya paksa (overmacht) ada yang mengatakan, daya paksa ini sebagai alasan pembenar dan ada pula yang mengatakan bahwa ini ada alasan pemaaf. Disamping itu, ada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa Pasal 48 itu mungkin ada alasan pembenar dan mungkin pula ada alasan pemaaf.

Berdasarkan hal di atas maka alasan penulis mengambil judul skripsi ini adalah dikarenakan pada saat ini kejahatan terhadap pronografi semakin hari semakin berkembang, hal ini dikarenakan semakin banyaknya peredaran VCD/DVD porno yang diperjualbelikan secara bebas di tempat-tempat umum yang dapat diliat oleh anak-anak dibawah umur sehingga mereka mempunyai niat untuk membelinya. Selain dari semakin banyaknya peredaran VCD/DVD porno, pornografi juga sudah banyak beredar di internet sebagai akibat dari semakin berkembangnya sarana teknologi. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini maka diharapkan kejahatan terhadap ponografi ini dapat berkurang sehingga tidak menimbulkan keresahan lagi di dalam masyarakat.

2. Pengertian Pornografi dan Dampak Pornografi

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Tentang Pormografi No. 44 Tahun 2008 diberikan suatu defenisi tentang pornografi yaitu: gambar, sketsa,


(31)

illustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Pornografi berasal dari bahasa Yunani pornographia, secara harafiah berati “tulisan tentang pelacur” atau “gambar tentang pelacur” adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip, namun berbeda dengan erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian.32

Dalam pengertian aslinya, pornografi secara harafiah berarti “tulisan tentang pelacur”, mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara harafiah berarti “(sesuatu yang) dijual”. Kata ini berasal dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat pornoai, atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari zaman Yunani kuno. Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuan social untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19 menerbitkan risalah-risalah yang mempelajari pelauran dan mengajukan usul-usul untuk mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam Oxford English Dictionary hingga 1905.33

Belakangan istilah ini digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak bermoral, apabila pembuatan, penyajian atau konsumsi bahan tersebut dimaksdukan hanya

32

33


(32)

untuk membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah “pornografi” seringkali mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan dengan “erotika” yang sifatnya dianggap lebih terhormat.

Kadang-kadang orang juga membedakan antara pornografi ringan dengan pornografi berat. Pornografi ringan umumnya merujuk kepada bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif bersifat seksual, atau menirukan adegan seks, sementara pornografi berat mengandung gambar-gambar alat kelamin dalam keadaan terangsang dan kegiatan seksual termasuk penetrasi. Di dalam industrinya (industri pornografi) sendiri dilakukan klasifikasi lebih jauh secara informal. Pembedaan-pembedaan ini mungkin tampaknya tidak berarti bagi banyak orang, namun defenisi hukum yang tidak pasti dan standar yang berbeda-beda pada penyalur-penyalur yang berbeda pula menyebabkan produser membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara yang berbeda-beda pula. Mereka terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam versi yang berbeda-beda kepada tim hukum mereka.34

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa defenisi kata “pornografi” adalah:35

1. penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi

2. bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.

34

Ibid

35

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan


(33)

K. Deaux menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pornografi adalah gabungan unsur-unsur yang bersifat erotis yang berhubungan dengan agresi dan seksualitas yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan seksual (We define pornography as a particular type of erotic material, material that combines elements of sexuality and aggression and in which force or coercion is used to accomplish the sexual act).36

Adami Chazawi menjelaskan bahwa ponrnografi berasal dari dua suku kata yaitu pornos dan grafi. Pornos artinya sesuatu yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas termasuk benda-benda patung, yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Bagi setiap orang yang normal berdasarkan pengalaman orang-orang pada umumnya, jika membaca tulisan atau melihat gambar atau benda patung atau boneka semacam itu, akan menyerang rasa kesusilaannya seperti dia merasa malu atau mungkin jijik atau mungkin pula merasa berdosa.37

Secara garis besar, dalam wacana porno atau tindakan pencabulan kontemporer, ada beberapa bentuk porno, yaitu pornografi, pornoteks, pornosuara, dan pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori ini dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga konsepnya menjadi pornomedia.38

36

K.Deaux, Social Psychology in The 90’s, Wadsworth Inc, California, 1993,hal.274,sebagaiamana dikutip dari Adami Chazawi,Op.Cit, hal 144

37

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2005, hal.22

38

Burhan Bungin, Pornomedia:Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa,Prenada Media,Jakarta,2003,hal.154


(34)

Pornografi adalah gambaran-gambaran porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto dan gambar video. Sedangkan pornoteks adalah karya pencabulan yang menyangkut cerita berbagai versi hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaca merasa ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa-peristiwa hubungan seks itu.penggambaran yang detail secara naratif terhadap hubungan seks itu menimbulkan terciptanya “theatre of mind” pembaca, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggebu-gebu terhadap hubungan seks yang digambarkan itu.39

Pornosuara yaitu suara, tuturan, dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang langsung atau tidak langsung, bahkan secara halus atau vulgar tentang obyek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara ini secara langsung atau tidak meberi respons seksual terhadap pendengar atau penerima informasi seksual itu. Sedangkan pornoaksi adalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang disengaja atau tidak disengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi obyek seksual yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual di masyarakat.40

1. Menurut Azimah Subagio (Sekretaris Umum Masyarakat Anti-Pornografi Indonesia), Pornografi adalah semua materi yang bias merangsang hasrat

Kemudian berikut ini akan diuraikan pengertian pornografi menurut bebrapa sarjana hukum:

39

Ibid

40


(35)

seksual orang pada umumnya, baik dalam bentuk gambar, tayangan, pembicaraan dan tulisan.41

2. Menurut Andi Hamzah, pornografi adalah42

a. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi

:

b. Suatu ungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya.

Berdasarkan defenisi di atas maka pornografi itu bisa dujumpai dalam tulisan-tulisan, lukisan, fotografi, film, seni pahat, syair bahkan juga ucapan-ucapan, tetapi apabila dilihat segi ilmu pengetahuan maka dapat dibedakan mana yang dimaksud dengan pornografi tersebut.

3. Menurut Wiryono Projodikoro memberikan rumusan tentang Pornografi yaitu kata pornografi itu terbentuk dari asal kata pornos, yaitu berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan tulisan, gambar atau patung benda pada umumnya yang berisi atau menggairahkan sesuatu yang menyinggung rasa susila yang membaca atau melihatnya.43

4. Menurut Oemar Seno Adji dalam bukunya yang berjudul Mass Media dan Hukum, mengatakan bahwa: “Sedangkan pornografi mempunyai pemikiran yang assiatif dengan istilah cabul, dimana suatu kecabulan itu di dalam

41

http:wwww.kompas.com, diakses tanggal 20 Februari 2011

42

Andi Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta, 1987, hal.8

43

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Erisco, Bandung, 1986,hal.120


(36)

masyarakat telah melanggar rasa kesusilaan yang melihatnya. Di negara-negara Anglo Saxon istilah kecabulan lebih mendekati dan identik dengan kata obscenity, yang kadang-kadang menunjukkan suatu perbedaan lain dengan kata lain dengan kata pornografi. Obscenity merupakan restruksi universal terhadap kebebasan pers yang berintikan larangan tindakan pencegahan dan sensor, khususnya pejabat yang berwenang. Kebebasan pers yang bertanggungjawab pada umumnya telah diterima oleh undang-undang dan hukum.44

Pornografi telah memberikan dampak negatif terutama kepada anak. Beberapa dampak negatif itu antara lain:45

1. Pelecehan seksual

Setelah melihat tayangan pornografi, biasanya orang yang bersangkutan lalu mencari cara untuk melampiaskan dorongan seksnya. Anak usia dini adalah individu yang sangat rentan terhadap pelecehan seksual, apalagi di Indonesia sendiri pendidikan seks untuk anak bagi sebagian besar orangtua masih tabu dan belum waktunya diberikan. Hasilnya anak sering menjadi korban pelampiasan seks oleh orang disekitarnya terutama yang dekat dengan anak.

2. Penyimpangan seksual

Anak balita atau anak usia dini yang belum waktunya sudah melihat adegan atau tayangan hubungan intim suami istri atau tayangan –tanyangan porno lainnya, dan tidak ketahuan orangtua sehingga tidak langsung diberi pemahaman

44 Ibid, hal.120


(37)

(dengan bahasa yang mudah dipahami anak tentu saja) ketika dewasa kelak bisa mengalami penyimpangan seksual, karena yang ada dalam benak anak adegan itu jorok, sakit, seram.

3. Sulit konsentrasi

Bagaimana bisa konsentrasi kalau yang ada dalam pikiran anak adalah pikiran-pikiran kotor. Belum lagi kalau anak belum paham sehingga yang ada dalam otak anak adalah berbagai pertanyaan seputar adegan atau tayangan porno yang baru dia lihat. Yang bahaya lagi, kalau sudah tertanam dalam otak maka untuk menghapus akan sangat sulit. Hal in dikarenakan seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Anak yang sudah menemukan kenikmatan seks sebelum waktunya dan tertanam secara mendalam dalam pikirannya akan sulit untuk dihilangkan.

4. Tidak percaya diri

Anak bisa saja jadi tidak percaya diri, hal ini karena frame yang dia lihat dari maraknya tayangan TV atau bahkan lingkungan disekitarnya, ”kalau mau cantik dan punya banyak teman ya harus berpakaian terbuka”, ”kalau berpakaian tertutup kuper gak gaul, ndeso”. Besok-besok anak akan muncul PD-nya ketika berpakaian minim dan terbuka.

5. Menarik Diri

Anak yang mengalami pelecehan seksual atau kekerasan seksual biasanya cenderung menarik diri, tertutup dan minder. Apalagi kalau orangtua tidak segera mencari bantuan psikolog dan cenderung menyalahkan anak, memarahi atau menggunakan kekerasan. Dimasa depan bisa saja kemudian anak


(38)

akan sangat membenci orang dengan jenis kelamin tertentu karena mengingatkan pada kejadian seram masa kecilnya.

6. Meniru

Anak usia dini adalah peniru ulung, apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar dari orang dewasa dan lingkungannya akan ditiru. Anak kan belum tahu mana yang benar atau mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, yang mereka tahu orang dewasa adalah model atau sumber yang paling baik untuk ditiru

F. Metode Penelitian

Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan penulis meliputi:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan-peraturan dan bahan yang berhubungan serta menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual VCD/DVD Porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/ PN.Bdg).

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder diperoleh dari:


(39)

a. Bahan hukum primer, yakni berupa buku- buku

b. Bahan hukum sekunder, yakni berupa majalah dan artikel

c. Bahan hukum tertier, yakni berupa kamus-kamus yang relevan dengan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penelitian terhadap literatur-literatur adalah untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan peran, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan dalam skripsi ini terbagi dalam beberapa bagian yang disebut dengan bab dimana masing-masing bab merupakan penjelasan dari


(40)

jawaban permasalahan skripsi ini, namun bab tersebut masih dalam konteks yang berkaitan satu sama lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Menggambarkan hal-hal yang bersifat umum, yang memuat mengenai alasan atau latar belakang pemilihan judul, lalu dilanjutkan dengan permasalahan, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan dan metode penelitian.

Bab II Peraturan Yang Berkaitan Dengan Pornografi Dalam Hukum Positif Di Indonesia Sebelum Lahirnya dan Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Dalam bab ini diuraikan mengenai peraturan–peraturan yang berkaitan dengan Pornografi sebelum keluarnya Undang-Undang Pornografi yaitu menurut Kitab Undang–Undang Hukum Pidana, Undang Penyiaran, Undang-Undang Perfilman, Undang-Undang-Undang-Undang Pers, Undang-Undang-Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang ITE, dan menurut Undang– Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.


(41)

Bab III Penerapan Undang–Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual VCD/DVD Porno (Studi Putusan No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg )

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai penjualan VCD/DVD Porno sebagai salah satu perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana pornografi menurut Undang– Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi., serta akan dibahas kasus posisi dimulai dari kronologis, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hakim dan putusan serta akan dibahas juga mengenai analisa putusan.

Bab IV Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang diharapkan akan dapat berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun di dalam prakteknya.


(42)

BAB II

PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA

UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang kejahatan pornografi yaitu pada Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, dan Pasal 533 KUHP. Kejahatan pornografi yang dimaksud menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dengan kejahatan terhadap kesopanan.

Dalam hal ini akan diuraikan pasal per pasal pengaturan yang mengatur tentang kejahatan dalam pornografi, antara lain:

1. Pasal 281 KUHP dimana dinyatakan: dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah), dalam hal:

a. barang siapa sengaja merusak kesopanan dimuka umum;

b. barang siapa sengaja merusak kesopanan dimuka orang lain, yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri.

Dalam hal ini maksud sengaja merusak kesopanan dimuka umum dan dimuka orang lain artinya dimana perbuatan itu merupakan perbuatan yang sengaja dilakukan ditempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak ,seperti di pinngir jalan, di pasar, ataupun


(43)

di tempat-tempat umum lainnnya yang memungkinkan orang banyak dapat melihatnya.

2. Pasal 282 KUHP dimana dinyatakan:

a. barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu tulisan yang diketahui isinya, atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan, maupun membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan oleh orang banyak, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan diminta atau menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh di dapat, dihukum penjara selama-lamanya 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah);

b. barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu tulisan, atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan, maupun membawa masuk, mengirimkan terus, membawa keluar atau menyediakan surat, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan, sehingga kelihatan oleh orang banyak ataupun dengan berterang-terangan atau dengan


(44)

menyiarkan sesuatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh di dapat, di hukumj penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah); c. melakukan kejahatan yang diterangkan dalam ayat pertama

dijadikan suatu pencaharian atau kebiasaan, oleh tersangka dapat dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah).

Perbuatan yang dimaksud berupa menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan dengan terang-terangan di tempat umum yang dapat dilihat oleh orang banyak dimana tulisan itu melanggar perasaan kesopanan atau kesusilaan, seperti buku yang isinya terdapat kata-kata atau gambar-gambar yang cabul, patung atau gambar yang bersifat cabul yang berada di tempat umum atau film yang isinya bersifat cabul.

3.Pasal 283 KUHP dimana dinyatakan:

a. dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,- (sembilan ribu rupiah), dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya atau patut disangkanya bahwa


(45)

oarang itu belum cukup umurnya 17 tahun sesuatu tulisan, sesuatu gambar, atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau sesuatu cara yang dipergunakan untuk mencegah atau mengganggu hamil, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang dan cara itu diketahuinya.

b. dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 bulan atau kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,- (sembilan ribu supiah), dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan di tangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa sebagai tersebut pada ayat pertama, sesuatu surat (tulisan), sesuatu gambar, atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, demikian pula memperdengarkan dihadapan seorang yang belum dewasa sebagai tersebut pada ayat pertama, isi surat yang menyinggung perasaan kesopanan, jika ia ada alasan yang cukup untuk menyangka, bahwa tulisan, gambar atau barang itu melanggar kesopanan atau cara itu merupakan cara untuk mencegah atau mengganggu hamil.

Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan menawarkan, menyerahkan, mempertunjukkan sesuatu baik itu berupa barang, gambar atau tulisan yang bersifat cabul kepada orang yang belum dewasa (belum cukup umur 17 tahun).


(46)

4. Pasal 533 KUHP dimana dinyatakan: dengan hukuman kurungan selama-lamanya 2 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah), yang termasuk perbuatan itu antara lain: amempertunjukkan atau menempelkan sesuatu tulisan yang

namanya (kepalanya), sampulnya (kulitnya), atau isinya yang terbaca itu dapat menimbulkan nafsu birahi anak-anak muda, ataupun mempertunjukkan atau menempelkan sesuatu gambar atau benda, yang dapat menimbulkan nafsu birahi anak-anak muda. b memperdengarkan isi tulisan, yang dapat menimbulkan nafsu

birahi anak-anak muda.

c menawarkan sesuatu tulisan, gambar atau benda yang dapat menimbulkan nafsu birahi anak-anak muda, atau dengan terang- terangan atau dengan menyiarkan tulisan dengan diminta, menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau benda itu dapat diperoleh.

dmenawarkan, memberikan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan sesuatu tulisan, gambar atau benda demikian kepada seseorang yang belum dewasa dibawah umur 17 tahun.

e memperdengarkan isi tulisan dimuka seseorangyang belum dewasa dibawah umur 17 tahun.

Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan berupa mempertunjukkan, menempelkan, menawarkan, memperdengarkan


(47)

sesuatu baik itu berupa gambar, tulisan yang mana diletakkan di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum yang mana anak-anak juga mungkin berada di tempat itu sehingga perbuatan itu dapat menimbulkan nafsu birahi anak-anak muda.

2. Undang-Undang Penyiaran

Di dalam Undang–Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ada di atur mengenai pornografi. Hal ini terdapat di dalam Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (5), Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (6), Pasal 58 jo Pasal 46 ayat (3).

Dalam hal ini akan diuraikan pasal per pasal pengaturan yang mengatur tentang kejahatan dalam pornografi, antara lain:

1. Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (5) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap siaran yang menonjolkan unsur cabul.

2. Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (6) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia.

3. Pasal 58 jo Pasal 46 ayat (3) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap siaran iklan niaga yang di dalamnya memuat (antara lain):

- hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau

- eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun.

Pada Undang-undang ini disebutkan bahwa isi daripada penyiaran itu haruslah wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan


(48)

manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sehingga apabila isi penyiaran itu mengandung adanya unsur cabul, melecehkan nilai-nilai agama dan martabat manusia (kesusilaan masyarakat) serta adanya siaran yang terdapat eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun maka perbuatan itu dapat dipidana.

3. Undang-Undang Perfilman

Di dalam Undang–Undang Perfilman No. 8 Tahun 1992 ada diatur mengenai pornografi walaupun tidak secara jelas disebutkan. Hal ini terdapat di dalam Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (1), Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (6).

Dalam hal ini akan diuraikan pasal per pasal pengaturan yang mengatur tentang kejahatan dalam pornografi, antara lain:

1. Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (1) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap perbuatan yang dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film Indonesia.

2. Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (6) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap perbuatan yang dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film Indonesia. Maksudnya adalah perbuatan yang mempertunjukkan dan/atau


(49)

menayangkan film atau reklame yang telah ditolak oleh lembaga sensor film Indonesia yang mana semua film dan/atau reklame yang akan ditayangkan terlebih dahulu harus mendapat izin dari lembaga sensor film Indonesia, perbuatan yang mana juga menayangkan atau mempertunjukkan potongan film ataupun suara yang telah ditolak oleh lembaga sensor film Indonesia juga dapat dipidana

4. Undang-Undang Pers

Di dalam Undang–Undang Pers No. 40 Tahun 1999 ada diatur mengeai pornografi walaupun tidak secara jelas disebutkan. Hal ini terdapat di dalam Pasal 18 jo Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 jo Pasal 13 ayat (1).

Dalam hal ini akan diuraikan pasal per pasal pengaturan yang mengatur tentang kejahatan dalam pornografi, antara lain:

1. Pasal 18 jo Pasal 5 ayat (1) dimana dinyatakan: mengancam perbuatan yang memberitakan peristiwa dan opini yang melanggar norma-norma agama dan kesusilaan.

Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, bilamana perbuatan itu dilanggar makan dapat dipidana.

2.Pasal 18 jo Pasal 13 ayat (1) dimana dinyatakan: mengancam perbuatan perusahaan pers yang memuat iklan yang bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.


(50)

Dalam hal perbuatan perusahaan yang memuat iklan yang bertentangan dengan rasa kesusilaan di dalam masyarakat maka hal itu dapat dipidana.

5. Undang-Undang Telekomunikasi

Di dalam Undang–Undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999 mengenai pornografi tidak ada diatur secara jelas, dimana pornografi yang dimaksud dalam hal ini termasuk ke dalam perbuatan kesusilaan yang mana ada di atur di dalam Pasal 45 jo Pasal 21. Dimana disebutkan di dalam Pasal 45 jo Pasal 21 yaitu diancam sanksi administrasi terhadap penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.

Maksud dari menyelenggarakan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum, sehingga perbuatan itu dapat dipidana. Sehingga jika terbukti terdapat perbutan tersebut maka kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi itu dapat dilakukan penghentian oleh pemerintah.

6. Undang-Undang ITE

Di dalam Undang–Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No.11 Tahun 2008, mengenai pornografi (tindak pidana kesusilaan) ada diatur di dalam Pasal 45 jo Pasal 27 ayat (1), Pasal 50 jo 34 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat (4).


(51)

Dalam hal ini akan diuraikan pasal per pasal pengaturan yang mengatur tentang kejahatan dalam pornografi, antara lain:

1.Pasal 45 jo Pasal 27 ayat (1) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap perbuatan yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah perbuatan yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, yang mana bila perbuatan ini dilakukan maka akan diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.Pasal 50 jo Pasal 34 ayat (1) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap perbuatan yang memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang melanggar kesusilaan.

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah perbuatan yang mendukung Pasal 27 dimana perbuatan ini berupa memproduksi, menjual, mengadakan, menyediakan perangkat keras atau lunak


(52)

komputer yang khusus dirancang untuk memfasilitasi perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka perbuatan ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

3.Pasal 52 ayat (1) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap perbuatan yang menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak.

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah perbuatan yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak, maka dapat dikenakan pemberatan sepertiganya dari pidana pokok.

4.Pasal 52 ayat (4) dimana dinyatakan: mengancam pidana terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran terhadap kesusilaan.

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah perbuatan yang ada di atur pada Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang mana perbuatan itu dilakukan oleh korporasi, maka dapat diancam dengan hukuman dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.


(53)

B. Menurut UU No. 48 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Di dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang kejahatan pornografi. Hal ini dapa dilihat di dalam ketentuan pidana dari Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 41.

Dalam hal ini akan diuraikan pasal per pasal pengaturan yang mengatur tentang kejahatan dalam pornogarfi, antara lain:

1. Pasal 29 dimana dinyatakan: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat persenggamaan termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.


(54)

2. Pasal 30 dimana dinyatakan: Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi

pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah menyediakan jasa pornografi yang menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual, atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

3. Pasal 31 dimana dinyatakan: Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4 ayat (1).

4. Pasal 32 dimana dinyatakan: Setiap orang yang memperdengarkan,

mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).Yang dimaksud pada pasal ini adalah orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi.


(55)

5. Pasal 33 dimana dinyatakan: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah mendanai atau memfasilitasi perbuatan yang berhubungan dengan pornografi.

6. Pasal 34 dimana dinyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

7. Pasal 35 dimana dinyatakan: Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.


(56)

8. Pasal 36 dimana dinyatakan: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

9. Pasal 37 dimana dinyatakan: Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek yang berhubungan dengan pornografi.

10.Pasal 38 dimana dinyatakan: Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp


(57)

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).Perbuatan yang dimaksud pada pasal ini adalah mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Dalam hal mana bila kejahatan pornografi itu dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi maka hal ini ada di atur di dalam Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Dimana pada Pasal 40 tersebut dinyatakan:

1. Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

2. Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5. Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.


(58)

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

7. Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Dimana pada Pasal 41 tersebut dinyatakan: Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha;

c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum.


(59)

BAB III

PENERAPAN UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI TERHADAP PENJUAL VCD/DVD PORNO

(STUDI PUTUSAN No. 1096/Pid.B/2010/PN.Bdg)

A. Penjualan VCD/DVD PORNO Sebagai Salah Satu Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Pornografi Menurut UU No. 44 Tahun 2008

Dalam hal perbuatan penjualan (jual-beli) menurut BW merupakan suatu perbuatan yang mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.46

Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en veekoop” yang mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual-beli disebut dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudut si penjual), begitu pula dalam bahasa Prancis disebut hanya “vente” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakai perkataan “kauf” yang berarti “pembelian”.47

Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian BW,

46

R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,1995, hal. 1-2

47


(60)

perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak setuju tentang barang dan harag, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.48

Di samping itu kewajiban lain dari pihak si penjual yaitu menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggungterhadap cacad-cacad yang tersembunyi, dimana ini berupa konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Sedangkan kewajiban dari pihak si pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.

Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi: “Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Dari perjanjian jual-beli itu maka terdapat kewajiban dari para pihak baik itu dari pihak si penjual maupun pihak si pembeli. Kewajiban dari pihak si penjual yaitu menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan, dimana ini berupa segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

49

Di dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi perbuatan penjualan (memperjualbelikan) VCD/DVD porno ada diatur di dalam Pasal 29, dimana disebutkan: “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,

48

Ibid

49


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengenai masalah pornografi telah ada dibahas di beberapa undang-undang

sebelum lahirnya undang-undang tentang pornografi. Dimana mengenai peraturan yang berkaitan dengan pornografi sebelum lahirnya Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi ada diatur di dalam Kitab Undang– Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pada Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, dan Pasal 533 KUHP, Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ada di atur dalam Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (5), Pasal 57 jo Pasal 36 ayat (6), Pasal 58 jo Pasal 46 ayat (3). Undang-Undang Perfilman No. 8 tahun 1992 ada diatur dalam Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (1), Pasal 40 jo Pasal 33 ayat (6), Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 ada di atur dalam Pasal 18 jo Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 jo Pasal 13 ayat (1), Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 tahun 1999 ada di atur di dalam Pasal 45 jo Pasal 21, dan Undang-Undang ITE No.11 Tahun 2008 ada diatur di dalam Pasal 45 jo Pasal 27 ayat (1), Pasal 50 jo 34 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat (4). Sedangkan pengaturan pornografi menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2008 ada di atur dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 41.

2. Pada kasus ini terdakwa JHON DEARDO SIPAYUNG, di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan primair yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kasus ini telah diputus oleh


(2)

Pengadilan Negeri Bandung, dimana terdakwa JHON DEARDO SIPAYUNG dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana berupa memperjualbelikan VCD/DVD porno. Dimana terdakwa JHON DEARDO SIPAYUNG dijatuhi hukuman berupa pidana kurungan selama 1 (satu) bulan dan membayar denda sebesar Rp Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

B. Saran

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penulis dalam kesempatan ini memberikan beberapa saran atau masukan kepada pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan skripsi ini, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan yang ada khususnya mengenai pornografi telah mencerminkan adanya bentuk perlindungan dari pemerintah kepada masyarakatnya, akan tetapi hal ini masih diraskan kurang. Hal ini disebabkan karena sanksi yang diberikan kepada terdakwa pelaku pornografi dalam hal ini yang memperjualbelikan pornografi baik itu berupa dalam bentuk VCD/DVD pornografi masih terlalu ringan. Mengingat dampak yang dapat diberikan dari adanya pornografi ini membahayakan masyarakat khususnya kepada anak-anak dibawah umur. Untuk itu kepada Pemerintah diharapkan agar dapat melakukan revisi ataupun pembaharuan terhadap peraturan ini sehingga masyarakat dalam hal ini anak-anak di bawah umur dapat terjaga dengan baik sehingga mereka dapat terhindar dari kejahatan pornografi.


(3)

2. Dalam hal terjadinya pelanggaran dan kejahatan terhadap pornografi, maka diperlukan adanya aparatur dari pemerintahan yang aktif serta memiliki pengetahuan yang cukup ataupun lebih luas mengenai pornografi.

3. Dalam hal penegakan terhadap suatu pelanggaran ataupun kejahatan, hendaknya diperlukan peran serta yang aktif dari seluruh masyarakat, karena peran serta masyarakat dapat juga diperlukan untuk membantu pemerintah dan aparaturnya dalam hal memberikan setiap informasi yang telah diketahuinya tentang terjadinya pelanggaran ataupun kejahatan dsekitar lingkungan mereka. 4. Peran serta orang tua dalam hal ini juga sangat diperlukan dimana diharapkan

agar para orang tua lebih mengawasi segala pergaulan, perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak mereka dalam hal membuka/melihat situs-situs yang ada di internet, sehingga anak-anak yang masih di bawah umur dapat terhindar dari kejahatan pornografi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abidin A.Zainal Farid, 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Bungin Burhan, 2003, Pornomedia: Konstruksi Sosial teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Kencana, Bogor.

Chazawi, Adami, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Deaux K, 1993, Social Psychology in The 90’s, Wadsworth Inc, California.

Emong Komariah Sapardjadja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung.

Hamzah, Andi, 1987, Pornografi dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta. Hartono, Dimyati, 1990, Hukum Sebagai Faktor Penentu Pemanfaatan Teknologi

Telekomunikasi, Semarang.

Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Pada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta.

Nawawi, Barda Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(5)

Nawawi, Barda Arief, 2003, bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wiryono, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Erisco, Bandung.

Subekti R, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Wen Sayling, 2002, Future of The Media, Lucky Publisher, Batam.

B. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang–Undang Perfilman No. 8 tahun 1992 Undang–Undang Pers No. 40 tahun 1999

Undang–Undang Telekomunikasi No. 36 tahun 1999 Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002

Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No.11 Tahun 2008 Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008

C. Internet


(6)

http:www.eprints.ums.ac.id/320/1/4._.SULISTYANTO.pdf

http:www.grelovejogja.wordpress.com/2007/05/16/pornografi-dan-pornoaksi-dalam pandangan-etika/

http:wwww.kompas.com

D. Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1995, Departemen Pendidikan