jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya
bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut
kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan rumusan Mackey dalam
Suwito, 1996: 47 bahwa kedwibahasaan diartikan sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur. Menurut Mackey yang dikutip
Fishman dalam Abdul Chaer dan Leony Agustina, 1995: 112 bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Nababan 1993:27 mengemukakan bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan
dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain.
2. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini
bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara
kelompok yang satu dengan yang lain. Abdul Chaer 2004:2 berpendapat bahwa intinya sosiologi itu
adalah kajian yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam
masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah bidang ilmu yang
mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Sumarsono
2007:2 mendefinisikan Sosiolinguistik sebagai linguistik institusional yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang
memakai bahasa itu. Berdasarkan penjelasan di atas penulis menyimpulkan
bahwa. Sosiolinguistik
adalah adalah ilmu
yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara
para pengguna bahasa dengan fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.
3. Alih Kode dan Campur Kode
a Alih Kode
Rene Appel dalam Pateda, 1991: 85 mendefinisikan alih kode itu sebagai peralihan pembicaraan dari masalah satu ke persoalan lain. Alih
kode adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran
atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain Kridalaksana, 2008: 9.
Ditambahkan oleh Hymes bahwa alih kode bukan hanya terbagi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya
yang terdapat dalam satu bahasa. Sebagai contoh peristiwa peralihan yang terjadi dalam suatu kelas yang sedang mempelajari bahasa asing sebagai
contoh bahasa Inggris. Di dalam kelas tersebut secara otomatis interaksi antara guru dan murid menggunakan dua bahasa yaitu, bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Kemudian terjadi percakapan dalam suatu bahasa nasional contoh bahasa Indonesia lalu tiba-tiba beralih ke bahasa daerah
contoh bahasa Jawa, maka kedua jenis peralihan ini juga disebut alih kode.
b Campur Kode
Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur kode, Thelander dalam Chaer 2004:115 mengatakan apabila didalam suatu
peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran hybrid clauses, hybrid phrases,
dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri- sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Kemudian
Nababan 1991:32 mengatakan campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa
atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Maksudnya
adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang
berlangsung. Jadi penutur dapat dikatakan secara tidak sadar melakukan percampuran serpihan-serpihan bahasa ke dalam bahasa asli. Campur kode
serupa dengan intervensi dari bahasa satu ke bahasa lain.
Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Unsur-unsur tersebut dapat berupa
kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata. Jika berwujud kata biasanya gejala itu disebut peminjaman. Hal yang
menyulitkan timbul ketika memakai kata-kata pinjaman tetapi kata-kata pinjaman ini sudah tidak dirasakan sebagai kata asing melainkan dirasakan
sebagai bahasa yang dipakai. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi komputer ini sangat lambat”. dari sini
terlihat si A banyak menggunakan kata-kata asing yang dicampurkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun ini tidak dapat dikatakan sebagai gejala
campur kode atau pun alih kode. Hal ini disebabkan penutur jelas tidak menyadari kata-kata yang dipakai adalah kata-kata pinjaman, bahkan ia
merasa semuanya merupakan bagian dari bahasa Indonesia karena proses peminjaman tersebut sudah terjadi sejak lama. Lebih lanjut Sumarsono
2004:202 menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata yang-kata yang mengalami gejala
intervensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika
sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan campur kode. Oleh karena itu dalam bahasa tulisan,
biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis
menggunakannya secara sadar.
c Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode
1. Penyebab Terjadinya Alih Kode
Selain sikap
kemultibahasaan yang
dimiliki oleh
masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer
2004:108, yaitu: a.
Penutur b.
Lawan tutur c.
Hadirnya penutur ketiga d.
Perubahan situasi e.
Topik pembicaraan 2.
Penyebab Terjadinya Campur Kode a.
Sikap attitude type b.
Kebahasaan language type
4. Sosiolinguistik