222
Rerata hasil prestasi afektif lebih tinggi pada metode eksperimen laboratorium. Hal ini
disebabkan karena kelompok siswa pada eksperimen di laboratorium lebih bisa
terbimbing dan terarahkan daripada siswa yang melaksanakan eksperimen di lapangan, selain itu
siswa lebih terdorong untuk memiliki rasa tanggung jawab yang lebih tinggi untuk
memastikan setiap anggota kelompok untuk menjaga kenyamanan dan keamanan khususnya
saat
proses eksperimen
di laboratorium
berlangsung. Menurut Nuryani 2007 metode eksperimen
di laboratorium
mempunyai kelebihan siswa akan menjadi lebih yakin atas
suatu hal, memperkaya pengalaman, prestasi belajar akan bertahan lebih lama dalam ingatan
siswa, dan dapat mengembangkan sikap ilmiah. Hasil penelitian ini juga didukung dengan
hasil penelitian Christine Ching 2005 yang menunjukkan
PBL
dapat membantu siswa mengungkapkan permasalahan mereka sendiri
dan memperoleh
inspirasi menyelasaikan
masalah yang terjadi pada kehidupan sehari-hari. Selain itu juga hasil penelitian yang dilakukan
oleh Behiye Akçay 2009 yang menyimpulkan bahwa melalui pembelajaran
PBL
dengan melakukan
eksperimen siswa memperoleh pengetahuan dan menjadi mampu pemecahan
masalah belajar, mandiri, dan partisipasi tim.
b. Hipotesis Kedua Hasil uji pengaruh kemampuan berpikir
analitis tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar kognitif, afektif dan psikomotorik pada
Tabel 6 menunjukkan bahwa prestasi kognitif siswa sama-sama menunjukkan ada perbedaan
yang
signifikan pada
kedua metode
pembelajaran yang diterapkan, ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,000 sig 5.
Artinya rerata prestasi kognitif berbeda pada kedua metode yang diterapkan. untuk prestasi
afektif dan psikomotorik terdapat pengaruh yang signifikan pada kedua metode yang ditunjukkan
dengan nilai signifikansi masing-masing 0,649 da 0,288 sig 5;. Artinya rerata prestasi
afektif tidak ada perbedaan pada kedua metode yang diterapkan.
Jonassen 2003: 17 menyatakan bahwa kemampuan berpikir analitis termasuk
problem solving
skills
sangat dibutuhkan
untuk menyelesaikan masalah baik yang kompleks
terstruktur maupun tidak terstruktur. Dalam menyelesaikan
masalah siswa
dituntut menggabungkan konsep yang sudah diperoleh
dan mengkonstruksi pengetahuan barunya. Lundeberg
dalam Jonassen,
2003: 17
menyatakan bahwa menyelesaikan masalah membutuhkan pembelajar yang berpikir kritis,
analisis, menggunakan kognitif, reflektif dan mengambil keputusan. Kemampuan berpikir
analitis yang dikembangkan akan membantu siswa mencapai prestasi belajar yang maksimal.
Hasil penelitian Oscarson and Osberg 2010: 4 menyatakan bahwa keterampilan
berpikir
thinking skills
berkorelasi signifikan terhadap prestasi kognitif siswa materi kimia.
Kemampuan berpikir analitis yang mencakup
analytical reasoning
dan
analysis of explanation
sebagai bagian
keterampilan berpikir
memberikan harga korelasi r=0,37, artinya kemampuan
berpikir analitis
memberikan sumbangan sebesar 13,69 terhadap prestasi
belajar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa kemampuan berpikir analitis berpengaruh
terhadap prestasi belajar kognitif siswa dimana siswa yang memiliki kemampuan berpikir
analitis tinggi mempunyai prestasi ranah khususnya
kognitif yang
lebih baik
dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan berpikir analitis rendah. Hasil
prestasi belajar afektif dan psikomotorik tidak terlalu dipengaruhi oleh kemampuan berpikir
analitis
analytical reasoning
dan
analysis of explanation
sehingga hasil
relatif sama.
Berdasarkan taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional ke
dalam tiga kelompok, yaitu tujuan yang bersifat kognitif, tujuan kognitif berorientasi kepada
kemampuan “berpikir”, mencakup kemampuan intelektual
yang lebih
sederhana, yaitu
“mengingat”, sampai dengan kemampuan untuk memecahakan suatu masalah
problem solving
yang menuntut mahasiswa untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya tujuan kognitif ini paling sering digunakan dalam proses insruksional. Tujuan
afektif yang berhubungan dengan “perasaan”, “emosi”, “sistem nilai” dan “sikap hati”
attitude
yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif
terdiri dari yang paling sederhana, yaitu “memperhatikan suatu fenomena” sampai
dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal seseorang, seperi kepribadian dan hati
nurani. Dalam literatur tujuan afektif ini disebutkan sebagai: minat, sikap hati, sikap
menghargai, sistem nilai, serta kecenderungan emosi. Tujuan psikomotor berorientasi kepada
keterampilan motorik yang berhubungan dengan
223
anggota tubuh, atau tindakan
action
yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot.
Tujuan ini
tidak banyak
ditemukan penjelasannya,
dan biasanya
dihubungkan dengan
“latihan menulis”,
berbicara, berolahraga,
serta mata
kuliah yang
berhubungan dengan keterampilan teknis.
c. Hipotesis Ketiga Uji pengaruh sikap peduli lingkungan