Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Di Mts Hidayatul Umam

(1)

BERDASARKAN LEVEL KOGNITIF SISWA

Di MTs Hidayatul Umam

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun oleh:

Mairanti Pratiwi

NIM 109017000032

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2014.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran, pengaruh level kognitif, dan pengaruh interaksi terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Penelitian ini dilakukan di Mts Hidayatul Umam Cinere Tahun Ajaran 2013/2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design, yang melibatkan 67 siswa sebagai sampel. Penentuan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Siswa juga dikategorikan berdasarkan level kognitif siswa dengan memberikan tes materi prasyarat terlebih dahulu.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Perbedaan metode pembelajaran yang diajarkan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Metode thinking aloud pair problem solving memberikan kemampuan berpikir analitis matematis yang lebih baik. Terdapat pengaruh Level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Perbedaan level kognitif berpengaruh terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Level kognitif yang lebih tinggi memberikan kemampuan berpikir analitis matematis yang lebih baik. Tetapi tidak terdapat pengaruh interaksi metode pembelajaran dengan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa, hal ini dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving cocok/sesuai untuk semua level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

Kata kunci: Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving, level kognitif, Kemampuan Berpikir Analitis


(6)

ii

the Cognitive Level of Student". Thesis Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, January 2014.

The purpose of this research is to determine the effect of learning methods, the influence of cognitive levels, and the effect of the interaction of the mathematical analytical thinking skill of students. The research was conducted at Mts Hidayatul Umam Cinere for academic year 2013/2014. The method used in this research is quasi experimental method with Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design, involve 67 students as sample. To determine sample used cluster random sampling technique. Retrieval of data used instruments such as written essay test. Data collection after the treatment is done by using analytical test students mathematical thinking skills. Students are also first categorized by cognitive levels test prerequisites material.

The results of the study revealed that there are significant effect learning method on students mathematical analytical thinking skill. The difference learning methods are taught effects the students mathematical analytical thinking skill. Thinking aloud pair problem solving method gives mathematical analytical thinking skill better. There are significant effect cognitive level of the students mathematical analytical thinking skill. The difference cognitive levels are taught effects the mathematical analytical thinking skill. Cognitive level better are providing mathematical analytical thinking skill better. But there is no interaction effect learning methods with the level of cognitive to mathematical analytical thinking skill of students. The conclusion is learning thinking aloud pair problem solving method suitable/appropriate for all cognitive levels skill to students mathematical analytical thinking skill.

Keywords : Thinking Aloud Pair Problem Solving Method, cognitive level, Analytical Thinking Skill


(7)

iii

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyelamat umat, pemberi syafaat hingga yaumil kiamat.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas. Namun, berkat dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Nurlena Rifa’I, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Maifalinda Fatra, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Otong Suhyanto, M. Si, sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Maifalinda Fatra, M. Pd, selaku dosen penasehat akademik kelas A Jurusan

Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Abdul Muin, S.Si, M. Pd, selaku dosen pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, pengarahan, waktu dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

6. Otong Suhyanto, M. Si, selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.


(8)

iv

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.

10. Dedi Jayadi, S.Ag, selaku kepala Mts Hidayatul Umam Cinere, yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian.

11. Ila Bainatul, selaku guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian. 12. Siswa dan siswi kelas VIII Mts Hidayatul Umam, khususnya kelas VIII-1 dan

VIII-3 yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian. 13. Keluarga tercinta Ayahanda alm. Thamrin, Ibunda Widihastuti yang tak

henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Serta semua keluarga yang selalu mendoakan, mendorong penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita.

14. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’09, kelas A, B dan C terutama Annisaa, Citra, Linda, Sakhina, Nurul, Marpuah, Ila, Esti, dan Tommy yang selalu memberikan motivasi dan saling bertukar informasi selama penulisan skripsi ini.

15. Orang terdekat saudara Taufik Rachman, SE, yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

16. Dan kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT dapat menerima sebagai amal kebaikan atas jasa baik yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih belum mendekati sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat dibutuhkan demi


(9)

v

Jakarta, 30 Desember 2013

Penulis


(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah... 6

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian... 7

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 8

A. Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ... 8

B. Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving ... 10

1. Pengertian Metode Pembelajaran TAPPS ... 10

2. Keunggulan Metode Pembelajaran TAPPS... 13

C. Pembelajaran Konvensional ... 16

D. Level Kognitif Siswa ... 18

E. Penelitian Yang Relevan ... 20

F. Kerangka Berpikir ... 21

G. Hipotesis Penelitian ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

B. Metode dan Desain Penelitian ... 24

C. Populasi dan Sampel ... 25


(11)

vii

A. Deskripsi Data ... 40

B. Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 48

1. Pengujian Persyaratan Analisis ... 48

1) Uji Normalitas ... 48

a. Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level Sedang .... 48

b. Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level Rendah ... 48

c. Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Sedang ... 49

d. Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Rendah ... 49

2) Uji Homogenitas ... 50

2. Hasil Pengujian Hipotesis... 51

3. Pembahasan ... 53

C. Keterbatasan Penelitian ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(12)

viii

Tabel 2.2 Level Fungsi Kognitif ...20

Tabel 3.1 Desain Penelitian ...25

Tabel 3.2 Kisi-kisi Intstrumen Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...27

Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel ...28

Tabel 3.4 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda dan Taraf Kesukaran ...32

Tabel 3.5 Hasil Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...36

Tabel 4.1 Hasil Tes Kemampuan berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...41

Tabel 4.2 Hasil Tes Transformasi Kemampuan berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...42

Tabel 4.3 Perbandingan nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol ...46

Tabel 4.4 Rangkuman Hasil Uji Normalitas ...49

Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Uji Homogenitas ...50

Tabel 4.6 Analisis Varians menurut Metode Pembelajaran dengan Kategori Level Kognitif Siswa pada Kemampuan Berpikir Analitis Matematis dengan SPSS ...51


(13)

ix

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Nilai Kemampuan Berpikir Analitis

Matematis ...46 Gambar 4.2 Grafik Interaksi Metode Pembelajaran dan Level Kognitif

terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...52

Gambar 4.3 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Sedang Kelas Eksperimen

...55

Gambar 4.4 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Sedang Kelas Kontrol ...56

Gambar 4.5 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Rendah Kelas

Eksperimen ...57

Gambar 4.6 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Rendah Kelas Kontrol ...58


(14)

x

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ...65

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol ...79

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelompok Eksperimen ...89

Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelompok Kontrol ...120

Lampiran 5 Kisi-kisi Tes Materi Prasyarat ...140

Lampiran 6 Tes Materi Prasyarat SPLDV ...142

Lampiran 7 Kisi-kisi Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...143

Lampiran 8 Soal Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...144

Lampiran 9 Kunci Jawaban Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...146

Lampiran 10 Perhitungan Uji Validitas Isi dengan Metode Pearson ...150

Lampiran 11 Hasil Uji Validitas Isi Menggunakan Software Excel ...151

Lampiran 12 Perhitungan Uji Reliabilitas ...152

Lampiran 13 Hasil Uji Reliabilitas Menggunakan Software Excel ...153

Lampiran 14 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ...154

Lampiran 15 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran Menggunakan Software Excel ... 155 Lampiran 16 Perhitungan Uji Daya Pembeda ...156

Lampiran 17 Perhitungan Uji Daya Pembeda Menggunakan Software Excel 157 Lampiran 18 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis ...158

Lampiran 19 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis ...159

Lampiran 20 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...161 Lampiran 21 Hasil Tes Transformasi Kemampuan Berpikir Analitis


(15)

xi

Lampiran 23 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level

Kognitif Rendah ...168

Lampiran 24 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Kognitif Sedang ...169

Lampiran 25 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Kognitif Rendah ...170

Lampiran 26 Perhitungan Uji Homogenitas ...171

Lampiran 27 Hasil uji hipotesis menggunakan SPSS ...173

Lampiran 28 Tabel Nilai Koefisien Korelasi “r” Product Moment dari Pearson ...174

Lampiran 29 Tabel Daftar Nilai Kritis untuk Uji Lilliefors ... 176

Lampiran 30 Tabel Chi Square untuk Uji Barttlet ...177

Lampiran 31 Daftar Wawancara Pra Penelitian ...178


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan kewajiban bagi setiap manusia dalam mendapatkan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Seperti hadis Nabi Muhammad SAW:

( )

“Dari Anas r.a Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya mencari ilmu diwajibkan atas setiap muslim, sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena rida kepada apa yang dicarinya.”(HR Ibnu Abdul Bar).1

Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW tersebut dapat dikatakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslimin di muka bumi ini. Siapapun, kapanpun, dan dimanapun proses belajar akan terus terjadi. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada zaman sekarang ini, ilmu pendidikan dituntut untuk memberikan pengaruh yang nyata dalam upaya meningkatkan kemajuan bangsa. Selain itu, ilmu pendidikan juga dituntut untuk melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia yaitu ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang dasar Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 diungkapkan fungsi dan tujuan pendidikan adalah:

1

Multahim, dkk, Pendidikan Agama Islam: Penuntun Akhlak SMP kelas IX, (Jakarta: Yudhistira, 2012), h. 13


(17)

Pendidikan nasional berfungsi mengembangakan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.2

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut diperlukan usaha-usaha yang serius dari semua aspek yang terlibat. Pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan masa depan, sehingga sangat dibutuhkan perhatian khusus dari semua pihak dalam pengembangannya. Pengembangan pendidikan tidak hanya menarik perhatian dari pemerintah saja, namun semua aspek juga harus terlibat dalam pengembangannya terutama peran guru yang dapat mempengaruhi kemajuan pendidikan bangsa ini. Peningkatan kualitas pendidikan ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengajar dan mengelola kelas saat proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran ini, siswa memperoleh suatu pengetahuan yang akan dapat dikembangkan pada proses pembelajaran berikutnya.

Siswa memperoleh pendidikan formal yaitu dalam lingkungan sekolah. Salah satu mata pelajaran yang didapat siswa disekolah untuk dipelajari dalam setiap jenjang pendidikan adalah matematika. Russel mendefinisikan bahwa matematika sebagai suatu studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang tersusun baik (konstruktif), secara bertahap menuju arah yang rumit (kompleks) dari bilangan bulat ke bilangan pecahan, bilangan riil ke bilangan kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, dan menuju matematika yang lebih tinggi.3

Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik, hal ini terjadi karena proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak

2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, (http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/UU20-2003-Sisdiknas.pdf)

3Hamzah B.Uno dan Masri Kudrat Umar, Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran Sebuah konsep Pembelajaran Berbasis Kecedasan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009) h. 108


(18)

memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses berpikirnya.4

Hal senada juga diungkapkan Erman Suherman faktor penyebab rendahnya nilai matematika siswa yaitu umumnya guru masih menggunakan metode konvensional, guru mendominasi kelas sedangkan siswa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran, siswa hanya duduk manis, mendengarkan, dan siswa hanya menerima bahan jadi tanpa adanya analisis tentang kebenarannya, sehingga soal-soal yang diberikan tidak bervariasi dan tidak jarang hanya bersifat soal-soal rutin saja.5

Sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada guru matematika kelas VIII MTS Hidayatul Umam, diperoleh informasi bahwa kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika masih sangat rendah hal ini dikarenakan siswa masih kesulitan dalam kemampuan operasi dasar matematika, kemampuan siswa juga masih rendah jika diberikan soal-soal tingkatan analisis. Siswa masih mengalami kesulitan menganalisis soal jika diberikan soal yang berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru. Selain itu, dalam pembelajaran masih didominasi oleh guru dengan menerapkan metode pembelajaran secara konvensional yaitu ceramah, sehingga siswa tidak terlibat aktif pada saat pembelajaran dikelas jika ada materi pelajaran yang kurang dipahami.

Pentingnya kemampuan berpikir analitis matematis, menjadikan kemampuan analitis matematis perlu perhatian khusus untuk dilatih kepada siswa di sekolah. Apabila siswa mampu memungsikan tingkat analisis dalam pembelajaran matematika, siswa akan mampu menyelesaikan soal-soal dengan kasus yang berbeda dari contoh yang diberikan oleh guru.

Menurut Wina Sanjaya, kemampuan analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagiannya

4

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Konsep Landasan, dan Implementasinya pada Kurklulum Tibkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 5

5

Murli Siregar, Penerapan Model Direct Instruction untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Bentuk Pangkat dan Akar di Kelas X SMA Methodist 8 Medan Tahun ajaran 2012/2013, Skripsi pada Pendidikan Matematika UNIMED Medan, Medan, 2012, h. 3, tidak dipublikasikan (http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Undergraduate-22146-BAB%20I.pdf), diakses pada bulan Juli 2013


(19)

yang merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami oleh siswa yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan menerapkan.6

Berdasarkan pendapat Wina Sanjaya tersebut dapat dipahami bahwa kemampuan berpikir analitis membutuhkan level kognitif siswa tingkat tinggi. Siswa dapat mencapai pengetahuan analisis ketika siswa telah menguasai level kognitif tingkat rendah yaitu pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Hal serupa juga dikemukan dalam taksonomi Bloom yang membagi daerah kognitif kedalam 6 aspek besar yang tersusun secara hirarki (terurut menurut kesukarannya), yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, ketiga aspek terakhir itu termasuk untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah.7 Salah satu daya matematika yang diungkapkan Oemar Hamalik adalah “matematika

sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah”.8

Wahyudin juga menyatakan pembelajaran matematika yang pasif kemungkinan besar membuat kegagalan pada siswa, karena guru hanya memberikan materi-materi untuk membangun pengetahuan siswa tanpa membuat siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang membuat kejenuhan siswa dalam belajar.9 Dengan demikian, diduga dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan analitis matematis siswa harus berawal dari pembelajaran yang membuat siswa aktif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mencari dan menerapkan metode pembelajaran yang membuat siswa aktif di kelas dan mampu meningkatkan kemampuan pemahaman dan aplikasi matematika siswa sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematisnya.

6

Wina Sanjaya, a, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008), h.127

7

Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, (Bandung: Tarsito, 2006), h. 220

8

Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), h.

9Supardi, “

Meningkatkan Kemampuan Analisis Matematika Siswa Melalui Reciprocal Teaching”, Tesis pada Pendidikan Matematika UPI Bandung, Bandung, 2009, h. 4, tidak dipublikasikan


(20)

Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan salah satu metode dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah, yang juga mampu melibatkan siswa secara aktif. Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pertama kali diperkenalkan oleh Claparede yang kemudian digunakan oleh bloom dan Broader untuk meneliti proses pemecahan masalah siswa.10 Ide di balik metode TAPPS adalah proses penyajian pemecahan masalah membantu keterampilan berpikir analisis, juga dapat membantu membangun kerangka kontekstual yang diperlukan untuk pemahaman, siswa dapat berlatih konsep, menghubungkannya dengan kerangka kerja yang ada, dan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam materi.11

Metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) melibatkan siswa bekerja secara berpasangan dengan tugas yang berbeda untuk setiap siswa, satu pihak siswa sebagai problem solver yaitu bertugas menyelesaikan permasalahan yang diberikan dan menjelaskannya kepada listener dan satu pihak siswa lainnya sebagai listener dan ketika menjadi seorang problem solver, siswa harus dapat menemukan ide-ide, memahami konsep matematika yang dipelajari untuk dapat menyelesaikan permasalahannya, memahami urutan langkah-langkah yang mendasari pemikiran mereka, dan dapat mengidentifikasi kesalahan yang dilakukan.12 Sehingga pada saat siswa menjadi seorang problem solver, siswa dapat melatih kemampuan berpikir analitis matematis mereka. Dengan metode pembelajaran TAPPS, diharapkan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan mengaplikasikan konsep matematis siswa akan terus terlatih sampai akhirnya kemampuan analitis matematis siswa dapat menjadi lebih baik.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa”.

10

Harry Benham, Using “Talking Aloud Pair Problem Solving” To Enhance Student Performance In Productivity Software Course, Vol X, 2009, h. 150

11

Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS),

(http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/cl/doingcl/tapps.htm), diakses pada 25 Januari 2013

12

Elizabeth F. Barkley, Student Engagement Techniques A Handbook for College Faculty,


(21)

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah dalam uraian tersebut adalah sebagai berikut:

1. masih rendahnya kemampuan berpikir analitis matematis siswa

2. guru masih menggunakan metode pembelajaran konvensional yang hanya bersifat satu arah

3. siswa kurang aktif dalam pembelajaran matematika

C.

Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang muncul dalam identifikasi masalah, penulis dalam hal ini membatasi permasalahan yang hendak diteliti yaitu mengenai rendahnya kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut akan diterapkan salah satu metode pembelajaran yaitu metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS).

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. apakah terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa?

2. apakah terdapat pengaruh level kognitif siswa terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa?

3. apakah terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa?

E.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengetahui pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.


(22)

2. mengetahui pengaruh level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

3. mengetahui pengaruh interaksi metode pembelajaran dan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

F.

Manfaat Penelitian

1. Bagi Sekolah, dapat memberikan masukan yang baik kepada sekolah dalam rangka perbaikan atau peningkatan pembelajaran.

2. Bagi Guru, memperoleh pengalaman dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa, khususnya metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).

3. Bagi Siswa, penerapan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa, mendorong siswa untuk menyenangi matematika dan memahami konsep-konsep matematika serta dapat berperan aktif dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

4. Bagi Peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS).


(23)

8

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN

PENGAJUAN HIPOTESIS

A.

Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa

Terdapat banyak pendapat mengenai definisi matematika yang diungkapkan menurut para pakar, sehingga belum ada kesepakatan definisi tunggal dari matematika. Matematika berasal dari bahasa Latin mathematika yang mulanya diambil dari bahasa Yunani mathematike yang bearti mempelajari.1 Menurut Johnson dan Myklebust, “matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berpikir”.2

Pakar lain, Soedjadi memandang bahwa “matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak, aksiomatik, dan deduktif”.3

Kemampuan analisis menurut Wina Sanjaya adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagiannya yang merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami oleh siswa yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan menerapkan.4 Dengan kata lain, kemampuan berpikir analitis membutuhkan kemampuan siswa yang mempunyai level kognitif tingkat atas.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Benyamin S. bloom mengelompokkan kemampuan kognitif ke dalam 6 aspek (kelompok) besar yang tersusun secara hirarki (terurut menurut kesukarannya), yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, ketiga aspek terakhir

1

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 3

2

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:Rineka Cipta, 1999), h. 252

3

Hamzah B. Uno, Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan, (Jakarta: Bumu Aksara, 2009), h. 108

4


(24)

termasuk untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah.5 Siswa untuk dapat memahami kemampuan analisisnya ia terlebih dahulu menguasai pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi matematikanya.

Menurut Ruseffendi, menganalisis adalah kemampuan memisahkan materi (informasi) ke dalam bagian-bagian yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagiannya, dan mengamati sistem bagian-bagiannya, serta analisis itu termasuk juga kemampuan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, menemukan hubungan, membuktikan, merumuskan serta menunjukkan benarnya suatu generalisasi.6

Merrill juga menguraikan bahwa menganalisis adalah menjabarkan komponen dengan membedakan dari bentuk, fungsi, tujuan, dengan rincian dalam menganalisis yaitu: membedakan, menyusun kembali, menandai.7 Menurut Nasution, berpikir analitis berlangsung selangkah demi selangkah dan tiap langkah itu tegas dapat dijelaskan kepada orang lain.8

Analisis dapat dibedakan menjadi:

1. Analisis unsur-unsur, yaitu kemampuan untuk mengenali hal-hal yang tidak diketahui dan keterampilan membedakan fakta dari hipotesis.

2. Analisis hubungan, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan dari ide-ide yang ada.

3. Analisis prinsip-prinsip keteraturan, yaitu kemampuan mengenal relevansi dan menghubungkan atau memberi kesimpulan dari teori-teori yang ada.9

Permasalahan yang dihadapi dapat dikatakan masalah jika masalah tersebut tidak bisa dijawab secara langsung, karena harus menyeleksi informasi (data) terlebih dahulu, serta jawaban yang diperoleh bukanlah kategori masalah

5

Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk meningkatkan CBSA, (Bandung: PT. Tarsito bandung, 2006), h. 220-224

6

ibid, h. 223

7

Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Desain Pembelajaran (Instructional Design Principles),

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cetakan kedua, h. 95

8

Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2003), Cetakan kedelapan, h. 11

9

Kinkin Suartini, Urgensi Pertanyaan dalam Pembelajaran Sains dengan Metode Discovery-Inquiry, dalam Gelardan Munasprianto, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains dan Matematika Dasar, (Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2007), h. 109


(25)

yang rutin (tidak sekedar memindahkan/mentransformasi dari bentuk kalimat biasa kepada kalimat matematika).10

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan definisi bahwa kemampuan berpikir analitis matematis adalah kemampuan dalam menguraikan permasalahan matematis menjadi bagian-bagian sub masalah yang lebih kecil yang saling terkait untuk diselesaikan secara parsial dan keseluruhan. Permasalahan matematis adalah suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara langsung yang hanya sekedar memindahkan informasi, tetapi terlebih dahulu mendata informasi yang terdapat dalam masalah tersebut.

Adapun indikator dari kemampuan berpikir analitis berdasarkan penjelasan diatas diantaranya:

1. menguraikan masalah menjadi sub masalah.

2. menghubungkan antara sub masalah matematis yang diketahui.

3. menyelesaikan masalah matematis berdasarkan sub masalah yang diperoleh.

B.

Metode Pembelajaran

Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS)

1. Pengertian Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Metode pembelajaran adalah upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, dengan kata lain metode adalah a way in achieving something.11 Metode pembelajaran harus dirancang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah metode Thinking aloud pair problem solving. Thinking aloud pair problem solving (TAPPS) adalah metode artikulasi-refleksi yang dikembangkan dan diteliti selama bertahun-tahun oleh Whimbey dan Lochhead yang merupakan suatu metode

10

Nahrowi Adjie dan Maulana, Pemecahan Masalah Matematika, (Bandung: UPI Press, 2006), cetakan pertama, h. 4

11


(26)

pembelajaran yang mengkombinasikan dari berpikir keras dan teknik mengungkapkan kembali.12 David mengungkapkan metode ini melibatkan siswa bekerjasama dengan cara berpasangan dalam menyelesaikan suatu masalah, setiap siswa mempunyai tugas masing-masing yaitu menjadi problem solver dan listener.13

Problem solver bertugas untuk mengungkapkan semua hal yang terpikirkan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam soal tersebut kepada pendengar atau listener, sedangkan listener bertugas untuk mendengarkan semua pendapat dari problem solver, memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat problem solver, jika menemukan kesalahan, listener hanya menunjukkan kesalahan tetapi tidak berusaha untuk memperbaikinya, Listener harus terus mengajukan pertanyaan kepada problem solver untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan problem solver terhadap masalah yang ia hadapi.14

Menurut Harry Benham, peran listener lebih sulit daripada peran problem solver, dikarenakan listener harus terlibat penuh dalam proses pemecahan masalah yang diungkapkan oleh problem solver.15

Metode ini melibatkan siswa bekerja secara berpasangan dengan tugas yang berbeda untuk setiap siswa. Satu pihak siswa bertugas memecahkan masalah yang secara tidak langsung membantu proses berpikir analitis siswa dan menjelaskan seluruh langkah pemecahan masalah yang dilakukan siswa tersebut kepada pasangannya. Serta satu pihak siswa lainnya bertugas sebagai pendengar dari penjelasan yang dikemukakan temannya.

Langkah-langkah dalam metode pembelajaran Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS) yaitu:

1. memberikan suatu masalah yang terkait dalam pembelajaran kepada siswa yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu terbatas. Masalah harus melibatkan siswa dalam keterampilan pemecahan masalah seperti

12

David H. Jonassen, Learning to solve Problems An Instructional Design Guide, (San Fransisco: 2004), h. 139

13 Ibid 14

Ibid 15

Harry Benham, Using “Talking Aloud Pair Problem Solving” to Enhance Student


(27)

mengidentifikasi sifat dari masalah, menganalisis pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai solusi, mengidentifikasi solusi, memilih solusi terbaik dan mengevaluasi hasil. Untuk lebih efektif, masalah yang diberikan harus menantang siswa, mengharuskan mereka untuk berkonsentrasi dan fokus, apakah mereka bertugas sebagai problem solver atau listener.

2. memberikan lembar kerja

3. meminta siswa untuk membentuk pasangan dan menjelaskan kepada siswa peran problem solver dan listener.

Tugas seorang problem solver (PS) sebagai berikut: 1) membaca soal dengan cukup keras.

2) mulai menyelesaikan dengan cara sendiri. Problem solver mengemukakan semua pendapat serta gagasan yang terpikirkan, mengemukakan semua langkah yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut serta menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana langkah tersebut diambil agar listener mengerti penyelesaian yang dilakukan problem solver.

3) problem solver harus lebih berani dalam mengungkapkan segala hasil pemikirannya. Anggaplah bahwa listener tidak sedang mengevaluasi.

4) mencoba untuk terus menyelesaikan masalah sekalipun problem solver menganggap masalah tersebut sulit.

Tugas seorang listener (L) sebagai berikut:

1) menuntun problem solver untuk tetap berbicara dan menjelaskan langkah-langkah untuk memecahkan masalah.

2) listener juga dapat mengajukan pertanyaan klarifikasi dan menawarkan saran, tetapi harus menahan diri dari benar-benar memecahkan masalah 3) seteleh suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa diminta untuk

bertukar tugas.

4) selesai ketika siswa telah memecahkan semua masalah.16

16

Elizabeth F. Barkley, Student Engagement Techniques A Handbook for College Faculty,


(28)

2. Keunggulan Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Menurut Slavin metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) dapat memungkinkan siswa untuk berlatih konsep, menghubungkannya dengan kerangka kerja yang ada, dan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam materi yang dipelajari siswa.17 Elizabeth juga mengutarakan bahwa metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan analitis dengan membantu siswa untuk mengutarakan gagasan, berlatih konsep, memahami urutan langkah-langkah yang mendasari pemikiran dalam menyelesaikan masalah yang diberikan dan dapat mengidentifikasi kesalahan dalam penalaran orang lain.18

Menurut David, dalam menggunakan metode TAPPS siswa menyampaikan hasil pemikiran yang telah diselesaikan kepada siswa lainnya, dapat membantu mengingat langkah-langkah dari cara kerja yang diselesaikan dalam memecahkan masalah yang diberikan.19

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa keunggulan dalam pembelajaran dengan menggunakan metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS), diantaranaya:

1. ketika menyelesaikan permasalahan siswa menjadi seorang problem solver, memungkinkan siswa dapat berlatih konsep dan dapat menghubungkan dengan kerangka kerja yang ada.

2. dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis

3. dapat membantu mengingat langkah-langkah dari cara kerja yang diselesaikan ketika menyampaikan hasil pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan. 4. meningkatkan kemampuan mendengarkan aktif

5. menumbuhkan rasa percaya diri dalam memecahkan masalah.

Melalui metode TAPPS siswa belajar bertanggung jawab dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan dan juga bertanggung jawab dalam tugas yang diperankan oleh tiap-tiap siswa. Tidak sekedar menjadi

17

Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS),

(http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/cl/doingcl/tapps.htm), diakses pada 25 Januari 2013

18

Elizabeth, op. cit, h.259

19


(29)

penerima informasi yang pasif, siswa juga harus terlibat aktif dalam mencari informasi-informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan definisi bahwa metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) merupakan metode pembelajaran yang mengelompokkan siswa secara berpasangan yang tiap siswa mempunyai peran dan tugas masing-masing yaitu sebagai problem solver dan listener. Probelm solver bertugas untuk mengungkapkan setiap langkah penyelesaian dari masalah yang diselesaikannya kepada listener dan listener bertugas mendengarkan setiap langkah penyelesaian yang disampaikan oleh problem solver serta berhak mengarahkan jawaban jika menemukan kesalahan.

Adapun langkah-langkah atau prosedur pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.1

Tahapan Pelaksanaan Metode TAPPS

Tahapan Kegiatan Kegiatan Pembelajaran

Pendahuluan

- Guru dan siswa berdoa bersama

- Mengkondisikan kelas, guru melakukan absensi siswa

- Guru menyampaikan apersepsi dan motivasi kepada siswa

- Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai setelah proses pembelajaran - Menginformasikan kepada siswa bahwa metode

yang digunakan pada setiap pertemuan yaitu metode TAPPS dan menyampaikan prosedur pelaksanaannya.

Kegiatan inti

Eksplorasi:

- Guru membagikan lembar kerja kepada siswa. - Guru memberikan suatu masalah yang terdapat


(30)

- Siswa mencari informasi-informasi yang terkait dengan permasalahan yang diberikan sesuai dengan materi yang akan dipelajari untuk dapat menyelesaikan lembar kerja yang diberikan oleh guru.

- siswa dikelompokkan secara berpasangan dengan kata lain masing-masing kelompok beranggotakan 2 oang yang setiap siswa mempunyai peran masing-masing yaitu sebagai problem solver dan listener.

- Guru mengarahkan setiap pasangan untuk secara bergantian menjadi problem solver dan listener. - Siswa mengerjakan soal-soal yang terdapat

dalam lembar kerja yang diberikan.

- Siswa yang bertindak sebagai problem solver bertugas untuk mempresentasikan jawabannya kepada listener. Mulai dari membacakan soal sampai menjelaskan penyelesaian hingga kesimpulan.

- Siswa yang bertindak sebagai listener bertugas mendengarkan setiap langkah penjelasan yang disampaikan oleh problem solver.

- Listener berhak mengajukan pertanyaan kepada problem solver terkait penjelasan dan penyelesaian yang dilakukan. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan Problem solver, listener tidak diperbolehkan untuk memecahkan masalah.

- Guru membimbing bagi siswa yang menemukan kesulitan.


(31)

Elaborasi:

- Guru memberikan soal secara individu kepada siswa untuk dikerjakan terkait materi pembelajaran yang dipelajari.

- Siswa mengumpulkan lembar jawaban serta lembar kerja kelompok untuk diberi penilaian oleh guru.

Konfirmasi:

- Siswa melakukan tanya jawab kepada guru terkait kesulitan yang dihadapi selama mengerjakan soal. Guru dan siswa membahas soal-soal tersebut.

Penutup

- Guru bersama dengan siswa membuat rangkuman dan kesimpulan materi yang telah dipelajari dan didiskusikan.

- Siswa diminta untuk mempelajari materi selanjutnya.

- Guru dan siswa menutup pelajaran dengan salam.

C.

Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasanya digunakan oleh guru dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas, sedangkan peran siswa dalam pembelajaran tidak terlibat aktif yaitu masih dikatakan pasif. Pembelajaran konvensional ini walaupun sudah banyak digunakan oleh para guru bukan berarti pembelajaran konvensional ini merupakan model pembelajaran yang terbaik digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Model pembelajaran konvensional yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan strategi pembelajaran ekspositori. Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses


(32)

penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.20

Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori, yaitu: 1. menyampaikan materi secara verbal.

2. biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi.

3. tujuan utama pembelajaran aadalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.21 Ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori, yaitu:22 1. Persiapan.

Langkah persiapan merupakan langkah yang sangat penting karena langkah ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.

2. Penyajian

Langkah penyajian merupakan langkah inti dalam strategi pembelajaran ekspositori, karena dalam langkah ini guru menyampaikan materi pelajaran melalui bahasa verbal proses komunikasi yang efektif.

3. Korelasi

Pada langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. 4. Menyimpulkan

Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah disajikan.

5. Mengaplikasikan

Mengaplikasikan adalah langkah untuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru.

20

Wina, a, op. cit, h. 189

21

Wina Sanjaya, b, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 179

22

Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, 2009), h149-152


(33)

Strategi pembelajaran ekspositori merupakan strategi pembelajaran yang banyak dan sering digunakan. Hal ini dikarenakan strategi ini memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:

1. guru bisa mengontrol sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.

2. dianggap sangat efektif ketika menyampaikan materi yang cukup luas, sementara waktu yang dimilki untuk belajar terbatas.

3. siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang suatu materi pelajaran, juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).

4. strategi pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.23

D.

Level Kognitif Siswa

Kemampuan berpikir analitis membutuhkan level kognitif siswa tingkat tinggi. Siswa terlebih dahulu harus memiliki kemampuan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi untuk dapat mengembangkan kemampuan analisis siswa seperti yang diungkapkan oleh Benyamin S. Bloom dalam taksonomi Bloom yang menempatkan kemampuan analisis pada tingkatan keempat.24

Kata “kognisi” berasal dari bahasa Latin “cognoscere” yang artinya

“mengetahui”, atau “sebagai pemahaman terhadap pengetahuan” atau “kemampuan untuk

memperoleh suatu pengetahuan tertentu”.25Pengertian kognisi mencakup aspek-aspek

struktur intelek yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu, dan perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menggunakan bahasa dan matematika.26

Level kognitif siswa dalam pembelajaran dapat berdasarkan dari kemampuan materi prasyarat siswa sesuai materi yang ingin dipelajari.

23

Wina, b, op. cit, h. 190-191

24

Ruseffendi, op. cit, h. 220-224

25

Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 79

26

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:Rineka Cipta, 1999), h. 169


(34)

Kemampuan materi prasyarat yang didapat akan dikelompokkan menjadi tiga level kognitif yang diadaptasi dari Bloom dan Levine yang tersusun secara hirarki yang pembagian level kognitif ini untuk memanfaatkan bahwa dalam menyelesaikan suatu kasus yang menggunakan kemampuan level kognitif tinggi juga membutuhkan kemampuan level kognitif rendah.27

Tiga level dari perilaku kognitif yang diadaptasi dari Bloom dan levine, yaitu: 1. Level 1: Knowledge, pada level ini hanya melibatkan kemampuan mengingat

dan memahami pembelajaran pada materi sebelumnya, sebuah pengetahuan yang memerlukan individu untuk memahami keterkaitan antara fakta yang diberikan.

2. Level 2: Interpretation, pada level ini kemampuan kognitif dibangun pada kedalaman pemahaman teori. Siswa diberikan suatu masalah yang memerlukan aplikasi dan ekstrapolasi dari suatu teori. Masalah yang diberikan pada level ini mungkin juga memerlukan suatu analisis. Siswa dapat memahami masalah dan cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan tersebut. 3. Level 3: Problem Solving and Evaluation, pada level ini kemampuan kognitif

melibatkan sintesis dari bagian-bagian yang menjadi satu kesatuan yang kompleks. Pada level problem solving and evaluation ini siswa dapat merumuskan rencana untuk memecahkan suatu masalah yang diberikan. Untuk sampai pada proses atau rencana siswa membutuhkan informasi yang dapat digunakan untuk proses dalam penyelasaian masalah yang diberikan tersebut. Kemudian mengevaluasi rencana-rencana yang telah disusun untuk mencapai suatu solusi dari permasalahan.28

Daftar kata kerja dari ketiga level kognitif agar dapat membedakan antara kegiatan yang membutuhkan tingkat yang lebih tinggi dan lebih rendah dari level kognitif. Kata kerja dari ketiga level kognitif tersebut dapat dipaparkan pada tabel berikut. 29

27

Professional Examination Service, Three Levels Of Cognitive Behavior, 2007, (www.bpsweb.org/pdfs/threelevels.pdf)

28

Ibid

29


(35)

Tabel 2.2 Level Fungsi Kognitif

Level Kognitif Kata kerja

Level 1: Knowledge Define Repeat Record List Recall Translate Restate Discuss Describe Recognize Level 2: Interpretation Interpret

Apply Employ Use Demonstrate Dramatize Analyze Operate Calculate Solve Level 3: Problem solving dan

evaluation Compose Plan Propose Design Formulate Construct Create Prepare Evaluate Choose

Berdasarkan pada paparan level kognitif di atas, maka dapat dirumuskan definisi bahwa level kognitif dalam penelitian ini adalah tingkatan pengetahuan siswa berdasarkan kemampuan materi prasyarat yang dikategorikan menjadi 3 yaitu knowledge, interpretation, problem solving dan evaluation

E.

Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Supardi dengan judul “meningkatkan kemampuan analisis matematika siswa melalui reciprocal teaching” Tesis pada

pendidikan matematika UPI Bandung yang dilakukan di SMA Negeri 1 Lembang kabupaten Bandung. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan analisis


(36)

matematika siswa lebih tinggi yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran reciprocal teaching daripada yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.30

Penelitian lain yang relevan yaitu penelitian yang dilakukan Ruzyta Nur

dengan judul “Pembelajaran Matematika Melalui Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam

Tipe Soal Analisis.” Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam tipe

soal analisis lebih meningkat yang diajarkan dengan menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) daripada yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.31

F.

Kerangka Berpikir

Matematika adalah pelajaran yang diajarkan setiap jenjang pendidikan. Ini berarti matematika sangat penting kedudukannya dalam pembelajaran di sekolah. Pembelajaran sekarang ini yang lebih berorientasi pada tujuan jangka pendek yang hanya mengembangkan kemampuan dasar dengan pertanyaan tingkat rendah dan soal-soal rutin. Sehingga membuat kemampuan berpikir analitis siswa tidak berkembang.

Kemampuan berpikir analitis matematis adalah kemampuan dalam menguraikan permasalahan matematis menjadi bagian-bagian sub masalah yang lebih kecil yang saling terkait untuk diselesaikan secara parsial dan keseluruhan. Permasalahan matematis adalah suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara langsung yang hanya sekedar memindahkan informasi, tetapi terlebih dahulu mendata informasi yang terdapat dalam masalah tersebut. Adapun indikator dari kemampuan berpikir analitis matematis adalah: menguraikan masalah menjdi sub masalah, menghubungkan antara sub masalah matematis yang

30Supardi, “

Meningkatkan Kemampuan Analisis Matematika Siswa Melalui Reciprocal Teaching”, Tesis pada Pendidikan Matematika UPI Bandung, Bandung, 2009, h. 2, tidak dipublikasikan

31Ruzyta Nur H, “

Pembelajaran Matematika Melalui Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Tipe Soal Analisis”,


(37)

diketahui, menyelesaikan masalah matematis berdasarkan sub masalah yang diperoleh.

Kemampuan analitis merupakan kemampuan yang membutuhkan kemampuan level kognitif siswa tingkat atas. Siswa untuk dapat berpikir analitis terlebih dahulu harus mempunyai kemampuan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Level kognitif dalam penelitian ini adalah tingkatan pengetahuan siswa berdasarkan kemampuan materi prasyarat yang dikategorikan menjadi 3 yaitu knowledge, interpretation, problem solving dan evaluation.

Berdasarkan penjelasan tersebut untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa perlu diterapkan metode pembelajaran yang dapat membuat kemampuan berpikir analitis matematis siswa dapat berkembang pada tiap kelompok level kognitif siswa didalam kelas sehingga mencapai hasil yang maksimal. Metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) merupakan metode pembelajaran yang mengelompokkan siswa secara berpasangan yang tiap siswa mempunyai peran dan tugas masing-masing yaitu sebagai problem solver untuk mengungkapkan setiap langkah penyelesaian dari masalah yang diselesaikannya kepada listener dan sebagai listener mendengarkan setiap langkah penyelesaian yang disampaikan oleh problem solver serta berhak mengarahkan jawaban jika menemukan kesalahan. Dengan menggunakan metode TAPPS ini diharapkan siswa akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran matematika karena siswa merasa lebih menyenangkan dan tidak monoton dalam suasana belajar matematika dan juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa dalam pembelajaran matematika berdasarkan level kognitif siswa. Sehingga, dengan penggunaan metode Thinking aloud Pair Problem Solving (TAPPS) sebagai salah satu metode pembelajaran diduga bisa meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa berdasarkan level kognitif siswa.


(38)

G.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

2. terdapat pengaruh level kognitif siswa terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

3. terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.


(39)

24

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di MTs Hidayatul Umam Cinere yang beralamat di Jl. Masjid I, Cinere – Depok.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 pada bulan November 2013.

B.

Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan uji coba penerapan metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap kemampuan berpikir analitis matematis berdasarkan level kognitif siswa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasi experiment, yaitu keadaan dimana peneliti tidak memungkinkan untuk mengontrol variabel dengan penuh.1 Dalam penelitian ini kelas eksperimen yang dalam prosesnya menerapkan metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving (TAPPS), sedangkan pada kelas kontrol dalam proses pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran ekspositori (konvensional).

Desain penelitian ini menggunakan rancangan penelitian randomized subject posttest only control group design. Desain eksperimen ini memiliki dua kelompok, dimana kelompok pertama (kelas eksperimen) yang mendapat perlakuan berupa proses pembelajaran matematika dengan menggunakan metode thinking aloud pair problem solving. Sedangkan kelompok kedua (kelas kontrol) dalam proses pembelajaran matematika dengan menggunakan metode konvensional.

1


(40)

Berikut adalah tabel dengan rancangan penelitian randomized subject posttest only control group design.2

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Perlakuan Posttest

(R) X Y

(R) K - Y

Keterangan:

R = Pemilihan kelas secara random E = Kelas eksperimen

K = Kelas kontrol

X = Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen (metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving)

Y= Tes akhir

C.

Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.3 Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.4

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII Mts Hidayatul Umam Cinere tahun ajaran 2013/2014. Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelas VIII-1 dan VIII-3.

Jumlah kelas VIII MTs Hidayatul Umam sebanyak 6 kelas paralel. Penempatan siswa VIII MTs Hidayatul Umam dilakukan secara merata dalam hal

2

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 185

3

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Cv Alfabeta, 2009), h. 117.

4


(41)

kemampuan, artinya tidak ada kelas unggulan serta kurikulum yang diberikan juga sama, maka karakteristik antar kelas dapat dikatakan homogen.

Teknik pemilihan sampel menggunakan Cluster Random Sampling, maksudnya sampel yang diambil dalam bentuk kelompok bukan individu.5 Mengambil dua kelas secara acak dari 6 kelas yang memilki karakteristik yang sama. Hasil random diperoleh kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan metode thinking aloud pair problem solving berasal dari kelas VIII-1 sebanyak 37 orang dan yang menjadi kelas kontrol yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional berasal dari kelas VIII-3 sebanyak 30 orang.

D.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Data diperoleh dari hasil penilaian kedua kelompok sampel dengan pemberian tes kemampuan berpikir analitis matematis yang sama, yang dilakukan pada akhir pokok bahasan materi yang telah dipelajari. Tes tersebut diberikan kepada kedua kelompok yang diberi pengajaran berbeda. Kelas eksperimen dengan metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) dan kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan data tersebut sebagai berikut:

1. Variabel yang Diteliti

Variabel bebas : Metode pembelajaran Thinking aloud pair problem solving

Variabel terikat : Kemampuan berpikir analitis matematis siswa

Variabel moderator : Level kognitif siswa

2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir analitis matematis. Tes ini diberikan sesuai dengan indikator kemampuan berpikir analitis matematis. Tes kemampuan berpikir analitis matematis diberikan kepada siswa untuk

5

Farouk Muhammad dan H. Djaali, Metodologi Penelitian Sosial , (Jakarta: PTIK Press & Restu Agung, 2005), h. 47-48


(42)

mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal berpikir analitis matematis. Kisi-kisi instrumen yang akan diuji cobakan adalah:

Standar kompetensi :

Memahami sistem persamaan linier dua variabel dan menggunakannya dalam pemecahan masalah.

Kompetensi dasar :

Menguraikan permasalahan menjadi sub masalah yang lebih kecil yang terkait dengan sistem persamaan linear dua variabel serta dapat menghubungkan dan menyelesaikannya dalam masalah sehari-hari.

Tabel 3.2

Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Analitis Matematis

Indikator Soal

Indikator kemampuan berpikir analitis

Jumlah butir soal Menguraikan masalah menjadi sub masalah Menghubungk an antar sub

masalah Menyelesaikan masalah berdasarkan sub masalah Menguraikan permasalahan sehari-hari menjadi sub masalah terkait masalah SPLDV.

1, 2a, 3a, 4a 4

Menghubungkan sub masalah dengan membuat model matematika.

2b, 3b, 4b 3

Menyelesaikan masalah sehari-hari dengan

menggunakan metode penyelesaian SPLDV

4c, 5, 6 3


(43)

Untuk memperoleh data kemampuan berpikir analitis matematis siswa, diperlukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Pedoman penskoran untuk kemampuan berpikir analitis matematis siswa adalah adaptasi dari pedoman penskoran tesis Abdul Muin seperti pada Tabel 3.3 berikut ini:6

Tabel 3.3

Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir analitis Matematis Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

Kriteria Skor

Semua aspek pertanyaan dijawab dengan benar dan jelas/lengkap 3 Hampir semua aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 2 Hanya sebagian aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 1 Tidak ada jawaban atau menarik kesimpulan salah 0

E.

Uji Instrumen Penelitian

Agar tes kemampuan berpikir analitis matematis dapat digunakan, perlu dilakukan proses uji coba instrumen. Instrumen tes diuji cobakan terlebih dahulu kepada subjek lain diluar subjek penelitian. Instrumen tes diuji cobakan kepada siswa kelas IX-1 MTs Hidayatul Umam Cinere. Setelah data hasil uji coba diperoleh, kemudian setiap butir soal akan dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda instrumen, sebagai berikut:

1. Perhitungan Validitas Instrumen

Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dalam penelitian ini, untuk mengukur validitas pada tes kemampuan berpikir

6Abdul Muin, “

Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Matematika Siswa SMA”, Tesis pada Pendidikan Matematika UPI Bandung, Bandung, 2005, h.35, tidak dipublikasikan


(44)

analitis matematis siswa menggunakan rumus Product Moment Person sebagai berikut:7

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan:

N : Banyaknya peserta tes X : Skor butir soal

Y : Skor total

rxy : Koefisien relasi antara variabel X dan Y

Kriteria Pengujiannya:

Jika , maka soal tersebut valid Jika , maka soal tersebut tidak valid

Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas instrumen, dari sepuluh soal yang diuji cobakan diperoleh 7 butir soal yang valid yaitu no 2a, 3a, 3b, 4a, 4b, 5, dan 6.

2. Reliabilitas Instrumen

Suatu instrumen dikatakan reliabel apabila instrumen tersebut konsisten dan memberikan penilaian atas apa yang diukur. Untuk mengetahui reliabilitas instrumen digunakan rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:8

dengan varians, yaitu:

∑ ∑

7

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), edisi Revisi, Cet. XII, hal.72

8


(45)

Keterangan:

: Reliabilitas yang dicari

n : Banyaknya butir soal yang valid

: Varians dari pertanyaan

: Varians total

X : Skor tiap soal

k : Banyaknya sampel

Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut: 0,80 < ≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik

0,60 < ≤ 0,80 Derajat reliabilitas baik 0,40 < ≤ 0,60 Derajat reliabilitas cukup 0,20 < ≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah

0,00 < ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah

Berdasarkan hasil perhitungan uji realibilitas instrument, nilai r11 = 0,845

berada antara kisaran 0,80 < ≤ 1,00, maka dari 7 soal yang valid memiliki derajat reliabilitas sangat baik.

3. Taraf Kesukaran

Uji taraf kesukaran instrumen penelitian dihitung dengan menghitung indeks besarannya. Indeks kesukaran adalah bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya sesuatu soal. Besarnya indeks kesukaran antara 0,00 sampai 1,0. Indeks kesukaran

ini menunjukan taraf kesukaran soal. Hal ini bertujuan untuk mengetahui soal-soal

tersebut mudah, sedang dan sukar. Untuk itu digunakan rumus9 :

9


(46)

Keterangan :

P = taraf kesukaran

B = banyak siswa yang menjawab soal itu dengan benar JS = jumlah seluruh siswa peserta tes

Klasifikasi tingkat kesukaran:10

: soal sukar

: soal sedang

: soal mudah

Hasil perhitungan uji taraf kesukaran terhadap 7 butir soal yang valid diperoleh soal no 2a memiliki kriteria “mudah”, dan soal lainnya yaitu 3a, 3b, 4a, 4b,

5 dan 6 memiliki kriteria “sedang”.

4. Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Seluruh pengikut tes dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pandai atau kelompok atas (upper group)dan kelompok bodoh atau kelompok bawah (lower group).11 Daya pembeda suatu soal tes dapat dihitung dengan menggunakan rumus: 12

Keterangan :

J : Jumlah peserta

: Banyaknya peserta kelompok atas : Banyaknya peserta kelompok bawah

10

Ibid, h.210

11

Ibid., h.211

12


(47)

: Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar : Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar : proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

: proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Klasifikasi daya pembeda :13

D : 0,00 – 0,19 : jelek D : 0,20 – 0,39 : cukup D : 0,40 – 0,69 : baik D : 0,70 – 1,00 : baik sekali

Dari hasil perhitungan uji daya pembeda terhadap 7 butir soal valid diperoleh 1 butir soal dengan kriteria “jelek”, 2 butir soal dengan kriteria “cukup” dan 4 butir soal dengan kriteria “baik”.

Berikut rekapitulasi hasil uji validitas, daya pembeda dan taraf kesukaran. Tabel 3.4

Rekap Data Hasil Uji Coba Instrumen No

Soal Validitas Taraf Kesukaran Daya Pembeda Keterangan

1 drop Mudah Jelek Tidak Digunakan

2a Valid Mudah Jelek Digunakan

2b Drop Mudah Jelek Tidak digunakan

3a Valid Sedang Baik Digunakan

3b Valid Sedang Baik Digunakan

4a Valid Sedang Cukup Digunakan

4b Valid Sedang Cukup Digunakan

4c Drop Sukar Jelek Tidak digunakan

5 Valid Sedang Baik Digunakan

6 Valid Sedang Baik Digunakan

Derajat Reliabilitas 0,845

13


(48)

Selanjutnya 7 butir soal yang valid diatas akan digunakan sebagai instrumen penelitian untuk mengukur kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

F.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif, yaitu suatu teknik analisis yang penganalisisannya dilakukan dengan perhitungan, karena berhubungan dengan angka, alat tes yang diberikan yaitu tes kemampuan berpikir analitis matematis. Penganalisisan dilakukan dengan membandingkan hasil tes kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

Dari data yang telah diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan statistik dan melakukan perbandingan terhadap dua kelompok tersebut untuk mengetahui kontribusi metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving (TAPPS) terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data pada keempat kelompok sampel yang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Dalam

penelitian ini, pengujian normalitas menggunakan uji Lilliefors. Adapun prosedur

pengujiannya adalah sebagai berikut: 14

a. Pengamatan X1,X2,...,Xndijadikan bilangan baku z1,z2,...,zndengan menggunakan

rumus

s X X

zi

dimana X dan smasing-masing merupakan rata-rata dan simpangan

baku sampel.

14

Kadir, Statistika Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Cet.I, (Jakarta: Rosemata Sampurna, 2010), h. 107


(49)

b. Untuk tiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F (zi) = P (z < zi).

c. Selanjutnya dihitung proporsi z1,z2,...,znyang lebih kecil atau sama dengan zi. Jika

proporsi ini dinyatakan oleh S (zi), maka S (zi) =

n

z yang z

z z

banyaknya 1, 2,..., ni

d. Hitung selisih F (zi) - S (zi) kemudian tentukan harga mutlaknya.

e. Ambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut. Sebutlah

harga terbesar ini L0.

Untuk menerima atau menolak hipotesis nol, kita bandingkan L0 ini dengan nilai kritis L yang diambil dari daftar daftar nilai kritis untuk Uji Lilliefors untuk taraf nyata  yang dipilih. Kriterianya adalah: tolak hipotesis nol bahwa populasi berdistribusi normal jika L0 yang diperoleh dari data pengamatan melebihi L dari daftar. Dalam hal lainnya hipotesis nol diterima.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah keempat kelompok sampel berasal dari populasi yang sama (homogen) atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian homogenitas menggunakan uji Bartlett. Adapun prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut:15

a. Menentukan Hipotesis

H0 : 12 22 32 42

H1 : Ada salah satu yang tidak sama

b. Cari dengan rumus:

∑ Dimana,

dan ∑

15


(50)

c. Tetapkan taraf signifikan

 

d. Hitung dengan rumus:

e. Tentukan kriteria pengujian H0, yaitu:

Jika , maka H0 diterima dan H1ditolak

Jika , maka H0 ditolak dan H1diterima

Adapun pasangan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

H0 : kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians sama atau

homogen

H1 : kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians yang berbeda

atau tidak homogen

3. Pengujian Hipotesis

Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data, maka apabila data berdistribusi normal dan kedua populasi homogen, maka dilakukan uji hipotesis. Uji

hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji “anava dua jalur”. Anava digunakan

untuk menguji hipotesis yang berkenaan dengan perbedaan dua mean atau lebih.16 Analisis varians 2 jalur ( Two Way Analysis of Variance) atau disingkat anava 2 jalur dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang menyatakan perbedaan rata-rata antara kelompok-kelompok sampel baik yang menggunakan Two Factorial Design atau Treatmen by Level Design.

16


(51)

Tabel 3.5

Hasil Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Level Kognitif Metode Pembelajaran

TAPPS Konvensional

Sedang

X1 X1

̅

Sd

X2 X2

X3 X3

. . . . . .

X18 X9

̅ ̅

Sd Sd

Rendah

X1 X1

̅

Sd

X2 X2

X3 X3

. . . . . .

X19 X21

̅ ̅

Sd Sd

̅ ̿

Sd Sd

Untuk melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan anava -2 jalur, digunakan langkah-langkah sebagai berikut: 17

1. Menghitung Jumlah kuadrat total (JKt), Antar A (JkA), Antar B (JkB) , Interaksi A

x B (JkAB), dan Dalam kelompok (Jkd), dengan formula sebagai berikut.

17

Tulus Winarsunu, Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, (Malang: UMM Press, 2009) h. 108-112


(52)

2. Menghitung derajat kebebasan total (dbt), antar A (dbA), antar B (dbB), interaksi A

x B (dbAB), dan dalam kelompok (dbd)

dbt = N – 1,

dbA = K – 1,

dbB = K – 1,

dbAB = dbA X dbB

dbd = dbt– (dbA +dbB +dbAB)

3. Menghitung rata-rata kuadrat antar A (RkA), antar B (RkB), interaksi A x B

(RkAB), dan dalam kelompok (RkD)

,

, 4. Menghitung rasio FA, FB, FAB

,

, dan

.

Kriteria pengujian, jika Fhitung > Ftabel pada taraf signifikan yang dipilih

dengan db pembilang adalah db yang sesuai, maka H0 ditolak. Jadi terdapat

perbedaan rata-rata antara kelompok-kelompok yang diuji, sebaliknya untuk Fhitung ≤

Ftabel, maka H0 diterima. Untuk anava 2 jalur, langkah pertama yang dilakukan adalah


(53)

F(OAB) ≤ Ftabel atau H0 diterima berarti tidak terdapat pengaruh interaksi, maka

selanjutnya dilakukan uji hipotesis pengaruh utama (main effect), yaitu uji F(OA) untuk

melihat perbedaan rerata antar A, dan uji F(OB) untuk mempelajari perbedaan antar B.

Sebaliknya jika F(OAB) > Ftabel atau H0 ditolak, berarti terdapat pengaruh interaksi yang

signifikan, maka konsekuensinya harus diuji pengaruh sederhana (simple effect). Simple effect adalah perbedaan rerata antar A pada tiap kelompok Bi (i = 1,2,3,... )

atau perbedaan rerata antar B pada tiap kelompok Ai (i = 1,2,3,... ).18

G.

Hipotesis Statistik

Adapun hipotesis statistik yang akan diuji adalah sebagai berikut : 1. Masalah 1

Baris (Metode Pembelajaran) H0 :

H1 : ada

2. Masalah 2

Kolom (Level kognitif siswa) H0 :

H1 : ada

3. Masalah 3

Interaksi antara baris dan kolom (metode pembelajaran dan level kognitif siswa)

H0 :

H1 : ada .19

18

Kadir, Statistika untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: PT Rosemata Sampurna, 2010), h. 216-217

19

Richard Lungan, Aplikasi Statistika dan Hitung Peluang, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 295-296


(54)

Keterangan :

: pengaruh metode TAPPS terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa

: pengaruh metode konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa

: pengaruh level kognitif rendah terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa

: pengaruh level kognitif sedang terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa

: pengaruh interaksi metode pembelajaran dan level kognitif siswa terhadap kemampuan berpikir analitis matematis.

Adapun kriteria pengujian untuk uji ANAVA dua jalur ini adalah: Jika maka H0 diterima


(55)

40

A.

Deskripsi Data

Penelitian dilaksanakan di kelas VIII Mts Hidayatul Umam Cinere. Dengan kelas VIII-1 ditetapkan sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-3 sebagai kelas kontrol. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 67 siswa, 37 siswa kelas eksperimen dan 30 siswa kelas kontrol. Siswa kelas eksperimen belajar dengan menggunakan metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) sementara kelas kontrol belajar dengan pembelajaran secara konvensional. Kemampuan yang akan diteliti adalah kemampuan berpikir analitis matematis dan materi yang dipelajari adalah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV).

Dari 37 siswa kelas eksperimen dibentuk kembali 3 kelompok berdasarkan level kognitif siswa. Pembagian ini dilakukan dengan acuan tes kemampuan prasyarat yang diberikan sebelum penerapan metode pembelajaran di kedua kelas dilakukan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tes kemampuan prasyarat diketahui 18 siswa kelas eksperimen masuk ke dalam kategori siswa level kognitif sedang, 19 siswa masuk kategori level kognitif rendah dan tidak ada siswa yang masuk kategori level kognitif tinggi. Dengan cara yang sama dilakukan pembagian kepada 30 siswa kelas kontrol berdasarkan level kognitifnya. Diperoleh hasil 9 siswa masuk kategori level kognitif sedang, 21 siswa masuk kategori level kognitif rendah dan tidak ada siswa yang masuk kategori level kognitif tinggi.

Untuk mengetahui kemampuan berpikir analitis matematis kedua kelompok berdasarkan level kognitif siswa, setelah diberikan perlakuan yang berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan diberikan tes materi prasyarat untuk mengelompokkan level kognitif tiap siswa, kemudian kedua kelompok yang dibagi berdasarkan level kognitif sedang dan rendah pada akhir pembelajaran diberikan posttes berupa tes uraian yang terdiri dari 7 butir soal. Tes kemampuan berpikir analitis matematis tersebut telah di uji cobakan di


(56)

kelas IX-1 Mts Hidayatul Umam Cinere, dan telah dianalisis karakteristiknya berupa uji validitas, uji reliabilitas, uji taraf kesukaran dan uji daya pembeda soal.

Setelah kedua kelompok sampel diberikan tes kemampuan berpikir analitis matematis, maka diperoleh hasil kemampuan berpikir analitis matematis siswa dari kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan perhitungan pengujian prasyarat analisis dan pengajuan hipotesis. Adapun hasil tes kemampuan berpikir analitis matematis berdasarkan level kognitif siswa adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1

Hasil Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Level Kognitif Metode Pembelajaran TAPPS Konvensional

Sedang

57 76 47

̅ = 70,33 SD = 10,04

62 76 48

67 76 62

67 76 67

67 76 67

67 76 67

71 81 71

71 86 71

71 90 86

̅= 72,94 ̅= 65,11

SD = 8,07 SD = 11,97

Rendah

43 67 19 48

̅= 53,57 SD = 16,47

47 67 19 52

57 67 19 52

57 67 19 57

62 71 19 57

62 71 43 57

62 76 43 57

62 80 43 62

67 43 62

67 43 67

67 43

̅= 64,15 ̅= 44

SD = 8,83 SD = 16.01

̅ 68,43 50,33 ̿= 60,32

SD


(57)

Hasil pengujian uji normalitas dan homogenitas dari hasil posttest kemampuan berpikir analitis siswa, ternyata data berdistribusi normal tetapi tidak homogen. Untuk memenuhi asumsi uji anava dua jalur data berdistribusi normal dan homogen, dilakukan transformasi data agar data homogen dengan menggunakan LNGAMMA. Transformasi data menggunakan SPSS, adapun hasil transformasi data tes kemampuan berpikir analitis matematis berdasarkan level kognitif siswa adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2

Hasil Transformasi Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Level Kognitif Metode Pembelajaran

TAPPS Konvensional

Sedang

251.89 230.44 213.53

̅ = 228,32 SD = 42,27

313.65 230.44 132.95

295.77 230.44 136.8

273.67 213.53 192.74

251.89 213.53 213.53

251.89 213.53 213.53

251.89 213.53 230.44

251.89 192.74 230.44

251.89 172.35 295.77

̅= 239,16 ̅= 206,63

SD = 34,63 SD = 49,64

Rendah

230.44 192.74 36.4 172.35

̅= 161,54 SD = 62,17 269.29 192.74 117.77 117.77

251.89 192.74 172.35 172.35 230.44 192.74 172.35 36.4

213.53 172.35 36.4 152.41

213.53 132.95 117.77 117.77 213.53 117.77 213.53 36.4 213.53 172.35 136.8 192.74

213.53 36.4 152.41

213.53 117.77 192.74

213.53 117.77

̅= 202,27 ̅= 124,69

SD = 36,15 SD = 57,95

̅ 220,21 149,27 ̿=188,45


(58)

1. Siswa Level Kognitif Rendah di Kelas Eksperimen

Kemampuan berpikir analitis matematis siswa diukur menggunakan instrumen tes kemampuan komunikasi matematis yang sebelumnya telah lolos uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Pada tabel 4.2 terlihat siswa level kognitif rendah di kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata kemampuan berpikir analitis matematis sebesar 202,27 dengan simpangan baku sebesar 36,16. Dapat kita lihat pula sebanyak 11 siswa atau sekitar 57% dari siswa level kognitif rendah kelas eksperimen memiliki nilai lebih baik dari nilai rata-rata kelompoknya.

2. Siswa Level Kognitif Sedang di Kelas Eksperimen

Pada tabel 4.2 terlihat siswa level kognitif sedang di kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata kemampuan berpikir analitis matematis sebesar 239,16 dengan simpangan baku sebesar 34,63. Dapat kita lihat pula sebanyak 9 siswa atau sekitar 50% dari siswa level kognitif sedang kelas eksperimen memiliki nilai lebih baik dari nilai rata-rata kelompoknya.

Jika kita bandingkan kedua kelompok ini terlihat perbedaan nilai rata-rata sebesar 36,89 dengan keunggulan nilai dimiliki siswa kelompok sedang. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh yang diberikan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa kelas eksperimen, dengan hasil menunjukan bahwa siswa dengan level kognitif yang lebih baik akan memiliki kemampuan berpikir analitis matematis yang lebih baik pula. Jika ditinjau dari nilai simpangan baku dapat diketahui bahwa siswa kelompok rendah dari kelas eksperimen memiliki nilai yang lebih bervariasi dari siswa kelompok sedang. Sehingga dapat dijelaskan kemampuan berpikir analitis matematis level kognitif rendah lebih heterogen dibandingkan dengan kemampuan berpikir analitis matematis level kognitif sedang yang lebih homogen.

Hasil perbandingan dua kelompok pada kelas eksperimen ini mengindikasikan adanya pengaruh level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa kelas eksperimen. Hal ini terlihat dari selisih nilai yang diperoleh siswa level kognitif rendah dan siswa level kognitif sedang pada kelas


(59)

eksperimen. Namun untuk dapat menyimpulkan adanya pengaruh signifikan masih harus memperhatikan hasil dari kedua kelompok di kelas kontrol dan juga analisis dari uji empiris menggunakan ANAVA dua jalur.

3. Siswa Level Kognitif Rendah di Kelas Kontrol

Pada tabel 4.2 dapat kita lihat nilai rata-rata siswa level kognitif rendah di kelas kontrol sebesar 124,69 dengan nilai simpangan baku sebesar 57,95. Jika dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa level kognitif rendah dari kelas eksperimen, nilai siswa kelas kontrol ini lebih rendah dengan selisih nilai sebesar 77,58. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh yang diberikan metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa level kognitif rendah. Namun untuk dapat menyatakan adanya pengaruh signifikan harus mempertimbangkan hasil yang diperoleh siswa level kognitif sedang dari kelas kontrol.

Nilai simpangan baku siswa level kognitif rendah di kelas kontrol mengindikasikan bahwa variasi nilai pada kelompok ini merupakan yang terbanyak dibandingkan tiga kelompok lainnya. Dari tabel 4.2 juga dapat kita lihat sebanyak 9 siswa atau 42% dari total siswa level kognitif rendah di kelas kontrol memiliki nilai lebih besar dari rata-rata kelompoknya.

4. Siswa Level Kognitif Sedang di Kelas Kontrol

Pada tabel 4.2 terlihat siswa level kognitif sedang di kelas kontrol memiliki nilai rata-rata kemampuan berpikir analitis matematis sebesar 206,63 dengan simpangan baku sebesar 49,64. Jika kita bandingkan dengan level kognitif rendah di kelas yang sama terlihat perbedaan nilai rata-rata sebesar 81,94 dengan keunggulan nilai dimiliki siswa level kognitif sedang. Hal ini sejalan dengan apa yang diperoleh ketika membandingkan nilai siswa level kognitif rendah dengan level kognitif sedang di kelas eksperimen. Berdasarkan hasil tersebut terdapat indikasi adanya pengaruh yang diberikan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa, dengan hasil menunjukan bahwa siswa dengan level kognitif yang lebih baik akan memiliki kemampuan berpikir analitis


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH METODE TAPPS TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA

3 27 213

Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematik Siswa Dengan Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps)

8 37 157

Pengaruh Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa (Penelitian Quasi Eksperimen Di Kelas Xi Ipa Sma Muhammadiyah 25 Pamulang)

3 26 192

PENGARUH METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) DAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIKA SISWA

34 139 204

Pengaruh metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan gender terhadap kemampuan berpikir kritis matematika siswa

2 17 0

PENERAPAN STRATEGI THINK ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI Penerapan Strategi Think Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis (PTK Bagi Siswa Kelas VIII Semester Ganjil S

0 2 18

PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMA.

0 3 48

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENERAPAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING DISERTAI HYPNOTEACHING (HYPNO-TAPPS.

7 24 42

STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KELANCARAN BERPROSEDUR DAN KOMPETENSI STRATEGIS MATEMATIS SISWA SMP.

2 8 62

PENGARUH STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) TERHDAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP.

6 17 132