1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perusahaan umumnya berusaha meningkatkan nilai perusahaan setiap periode, karena tingginya nilai perusahaan yang tercermin dalam harga saham,
akan dapat meningkatkan kemakmuran bagi para pemegang saham Ilmiani dan Sutrisno, 2014. Hal ini memberi dampak para pemegang saham tetap
mempertahankan investasinya dan calon investor tertarik menginvestasikan modalnya kepada perusahaan tersebut. Berbagai upaya dilakukan pihak
manajemen untuk meningkatkan nilai perusahaan, salah satunya adalah dengan melakukan pengurangan biaya pajak yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan.
Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat perusahaan ke sektor publik. Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber
penerimaan penting dan terbesar. Oleh karenanya, pembayaran pajak perusahaan memiliki implikasi bagi masyarakat dan sosial karena membentuk fungsi yang
penting dalam membantu mendanai penyediaan barang publik dalam masyarakat, termasuk hal-hal seperti pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat,
transportasi umum, dan penegakan hukum Friese, dkk, 2008 dalam Lanis dan Richardson, 2012.
Untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, maka perusahaan akan menekan biaya seoptimal mungkin, dalam hal ini beban pajak itu sendiri. Dari
sinilah muncul perilaku yang dinamakan agresivitas pajak. Hlaing 2012
2 mendefinisikan agresivitas pajak sebagai cakupan semua kegiatan perencanaan
pajak yang akan perusahaan tempuh dalam mengurangi tarif pajak efektif. Definisi tindakan pajak agresif menurut Frank, dkk., 2004, yaitu suatu tindakan
yang bertujuan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong atau tidak tergolong tax evasion.
Di Indonesia banyak kasus terkait pajak. Salah satunya, terdapat kasus dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak
perusahaannya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal KPC sebesar Rp.2,1 triliun pada tahun 2007. Lembaga Sosial Masyarakat, Indonesian
Corruption Watch ICW menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp.11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-
2008. Direktorat Jenderal Dirjen Pajak sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan
nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya pada PT Bumi Resources Tbk BUMI
yang tidak sesuai dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah satunya dari biaya bunga pinjaman, yang bila
ditelusuri nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah Dini, 2010. Komponen biaya merupakan salah satu komponen yang bisa dikurangkan
dari penghasilan bruto dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak. Namun, berdasarkan ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan
3 dari penghasilan bruto. Perbedaan asumsi biaya sebagai beban yang dapat
dikurangkan antara akuntasi dan pajak menyebabkan terdapat perbedaan antara laba akuntansi dan laba perpajakan. Adanya 2 jenis laba tersebut menyebabkan
laba yang dihasilkan perusahaan berbeda sehingga mempengaruhi kualitas laba. Laba merupakan salah satu indikator penting dalam laporan keuangan yang
digunakan untuk mengetahui peningkatan nilai perusahaan. Informasi tentang laba mengukur keberhasilan atau kegagalan bisnis dalam mencapai tujuan operasi yang
ditetapkan Parawiyati, 1996 dalam Siallagan, 2006. Baik kreditur maupun investor, menggunakan laba untuk: mengevaluasi kinerja manajemen,
memperkirakan earnings power, dan untuk memprediksi laba dimasa yang akan datang. Meningkatkan nilai adalah tujuan utama yang ingin dicapai setiap
perusahaan. Karena persistensi merupakan salah satu karakteristik kualitatif relevansi
laba Jonas dan Blanchet, 2000 dalam Suwandika dan Astika, 2013, maka semakin besar perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal, persistensi laba
perusahaan akan semakin kecil. Sebaliknya semakin kecil perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal, maka semakin tinggi persistensi laba yang dimiliki
oleh perusahaan. Menurut Wijayanti 2006 perbedaan laba akuntansi dengan laba fiskal secara negatif berpengaruh signifikan terhadap persistensi laba, hal ini
mengindikasikan bahwa semakin besar selisih laba akuntansi dengan laba fiskal maka persistensi laba perusahaan itu juga akan semakin rendah. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hanlon 2005. Persistensi laba menjadi pusat perhatian bagi para pengguna laporan keuangan, khususnya bagi
4 mereka yang mengharap persistensi laba yang tinggi karena persistensi laba
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan laba dari waktu ke waktu. Perusahaan memberikan laporan keuangan kepada berbagai stakeholder,
dengan tujuan untuk memberikan informasi yang relevan dan tepat waktu agar berguna dalam pengambilan keputusan investasi, monitoring, penghargaan
kinerja, dan pembuatan kontrak. Agar dapat memberikan informasi yang handal maka laba harus persisten.
Prospek perusahaan dimasa yang akan datang dilihat dari pertumbuhan laba, dengan laba perusahaan yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam mengelola biaya yang dikeluarkan secara efisien. Semakin tinggi kemungkinan laba akuntansi di masa depan yang tercermin dari laba tahun
berjalan, maka laba memiliki persistensi yang tinggi. Laba bersih yang tinggi menunjukkan earning per share yang tinggi, yang berarti perusahaan mempunyai
tingkat profitabilitas yang baik, dengan tingkat profitabilitas yang tinggi dapat meningkatkan kepercayaan pemodal untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut.
Karena saham-saham akan lebih diminati di bursa sehingga kecenderungan harganya meningkat lebih besar dan nilai perusahaan juga semakin naik.
Konsep Teoritis mengenai jenis-jenis biaya yang bisa menjadi pengurang penghasilan bruto sebagaimana dikemukakan oleh Sommerfeld dalam
Ompusunggu 2009, bahwa pengeluaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria yaitu:
1 Ordinary expense, bahwa komponen biaya secara umum dapat menjadi
pengurang penghasilan bruto bagi semua Wajib Pajak.
5 2
Necessary, bahwa biaya yang dikeluarkan dianggap mampu untuk memberi kontribusi menghasilkan pendapatan perusahaan.
3 Trade or business, bahwa biaya usaha adalah berhubungan dengan kegiatan
lini usaha perusahaan. 4
Reasonable in amount, bahwa biaya yang dikeluarkan merupakan jumlah yang wajar sesuai dengan kepentingan usaha.
Dalam UU PPh No.36 tahun 2008, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto deductible expense tertuang dalam pasal 6. Komponen-
komponen biaya yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan di dalam UU tersebut, terdapat diantaranya komponen biaya yang
dibebankan karena perusahaan melaksanakan program CSR Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Kegiatan tanggung jawab sosial ini menjadi marak dibahas sejak disahkannya UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No.25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dimana dalam pasal 74 UU PT mewajibkan perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
yang melekat pada setiap perseroan dan yang tidak melaksanakan akan dikenai sanksi hukum, serta dalam pasal 15 b UU Penanaman Modal mewajibkan setiap
penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor: kep-431bl2012 Tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik juga menyebutkan bahwa perusahaan wajib mengungkapkan
6 kegiatan tanggung jawab sosialnya baik di dalam laporan tahunan perusahaan atau
di dalam laporan keberlanjutan tersendiri. Tanggung jawab utama sebuah perusahaan secara historis adalah untuk
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dan meningkatkan nilai pemegang saham maximize shareholders value. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh
Friedman dalam Baron 2003, bahwa tanggung jawab perusahaan adalah menjalankan perusahaan sesuai dengan keinginan pemilik untuk menghasilkan
keuntungan sebanyak mungkin sepanjang tidak melanggar hukum masyarakat dan etika. Tentu saja dengan adanya ketentuan tentang CSR yang diatur oleh
pemerintah membuat investor dan para pemegang saham kebingungan. Perusahaan akan menganggarkan kewajiban tersebut sebagai biaya perseroan,
yang akan dibebankan dalam biaya sebagai pengurang penghasil bruto dan berpotensi mengurangi kewajiban perpajakan dikemudian hari. Namun di sisi lain,
investor dan pemegang saham ingin memperoleh laba yang besar dengan meminimalkan biaya perusahaan.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, tujuan tersebut mengalami pergeseran. Adanya tuntutan dari masyarakat pengguna hasil-hasil produksi
perusahaan, membuat perusahaan mengubah orientasi tujuannya, bukan lagi hanya mengejar laba tetapi bagaimana masyarakat memberikan pengakuan
terhadap eksistensi perusahaan. Tanggung jawab sosial dapat dikatakan sebagai cara perusahaan mengatur
proses produksi yang berdampak positif pada komunitas. Dapat pula dikatakan, sebagai proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan untuk meraih
7 keuntungan, baik internal pekerja, shareholder, maupun eksternal kelembagaan
pengaturan umum, anggota-anggota komunitas, kelompok komunitas sipil dan perusahaan lain. Pada dasarnya, bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat
beraneka ragam, dari yang bersifat charity sampai pada kegiatan yang bersifat pengembangan komunitas Community Development. Dengan adanya tanggung
jawab sosial sebenarnya perusahaan diuntungkan karena dapat menciptakan lingkungan sosial yang baik serta dapat menumbuhkan citra positif perusahaan,
tentu hal ini dapat meningkatkan iklim bisnis bagi perusahaan. Di Indonesia, sudah banyak perusahaan yang melaksanakan program CSR,
beberapa diantaranya: 1.
Kontribusi sosial-lingkungan di Aqua sudah dimulai sejak sebelum CSR jadi tren saat ini di Indonesia. Terbentuknya Departemen CSR tahun 2005 di
Aqua menginisiasi pelaksanaan beberapa kegiatan, salah satunya Program Aqua Lestari yang merupakan sustainable initiative. Perspektif pengelolaan
dampak pun mulai terlihat, dimana Danone kemudian melakukan kajian perhatian pemangku kepentingan serta isu yang harus ditangani perusahaan
misalnya dari aspek transportasi, pengelolaan limbah, akses air, konservasi, program pengembangan masyarakat dan lainnya. Pada tahun 2010 Aqua
mulai merapikan, memfokuskan strategi dan melihat kegiatan CSR secara komprehensif.
2. Pengembangan pendidikan berkarakter, menjadi fokus kegiatan tanggung
jawab sosial CSR Trakindo. Maka dari itu, perusahaan yang berdiri pada 1970 dan telah memiliki lebih dari 65 cabang di seluruh negeri mulai yang
8 terbentang dari Sumatera hingga ke Papua, ingin mengembangkan model
pendidikan yang tidak melulu menyoal kemampuan kognitif belaka, namun menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan dan akhlak. Pada periode 2012-
2013, Trakindo telah memberikan Bantuan Pendidikan bagi 40 Sekolah Dasar Negeri di seluruh Indonesia dan Program Pendidikan Alat Berat
COOP bagi 10 SMK Negeri dan 5 Politeknik di Indonesia. Program dilakukan sesuai dengan perencanaan yang dilakukan. Saat ini, lebih dari
13.000 murid dan seribu guru telah merasakan manfaatnya. Tidak hanya itu, Trakindo juga telah merenovasi lebih dari 500 ruangan kelas sekolah di
Indonesia yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. 3.
Sampoerna, Tbk, perusahaan rokok yang telah memulai bisnisnya di Indonesia selama puluhan tahun yang lalu telah banyak berkontribusi dalam
mengurangi penggangguran dengan membuka lapangan pekerjaan. Puluhan ribu masyarakat Indonesia saat ini menjadi tulang punggung proses produksi
perusahaan rokok terbesar di Indonesia. 4.
PT. Telekomunikasi Indonesia, kegiatan tanggung jawab sosial Telkom cukup beragam dengan jangkauan seluruh Indonesia. Salah satu kegiatan
tanggung jawab sosial Telkom dikelola oleh unit Telkom Community Development Center Telkom CDC yang berdiri secara resmi sejak 2001.
Melalui CDC, Telkom mengelola program PKBL Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang tersebar di seluruh Nusantara. Kegiatan tanggung
jawab sosial Telkom yang cukup menonjol adalah di bidang pendidikan. Pada posisi sampai dengan Triwulan III 2006, dana yang dikeluarkan untuk
9 bantuan pendidikan dan pelatihan BPP mencapai 49 dari seluruh
anggaran Bina Lingkungan Telkom. 5.
Bank Mandiri, sebagai salah bank pemerintah telah merealisasikan Program Bina Lingkungan 2007 di bidang kesehatan dengan melaksanakan khitanan
massal bagi 5.000 anak yang tersebar di 15 lokasi kota besar Indonesia. Kegiatan ini juga sebagai bentuk kepedulian Bank Mandiri terhadap anak-
anak tidak mampu. 6.
Selain bank pemerintah, Bank Danamon sebagai salah satu bank swasta nasional juga melaksanakan tanggung jawab sosial dengan program
”Danamon Peduli”. Program Danamon Peduli dimulai tahun 2001, dan terus berkembang, sehingga pada tanggal 17 Februari 2007 didirikanlah Yayasan
Danamon Peduli oleh PT. Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT. Adira Dinamika Multifinance Tbk untuk memberikan akses yang lebih luas kepada
para pihak yang mempunyai misi yang sama dalam menciptakan kesejahteraan.
Berdasarkan UU PPh No.36 Tahun 2008, Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak dapat memberikan insentif pajak dengan memperkenankan
pengeluaran-pengeluaran tanggung jawab sosial sebagai pengurang penghasilan kena pajak untuk perusahaan yang konsisten menerapkan tanggung jawab
sosialnya. Meskipun demikian, perusahaan tetap memandang berat dalam melaksanakan program CSR tersebut.
Menurut Setiadji 2010 mengatakan bahwa selama ini perusahaan beranggapan memiliki dua beban yang sama yaitu beban pajak dan beban CSR.
10 Pada dasarnya kedua beban tersebut digunakan untuk mensejahterakan
masyarakat. Namun agar perusahaan tidak memiliki dua beban maka perusahaan mulai mencari cara untuk meminimalkan pajak perusahaan melalui kegiatan
agresivitas pajak. Tindakan tersebut tentu tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu untuk menutupi tindakan tersebut perusahaan
melaksanakan tanggung jawab sosialnya lebih besar kepada masyarakat untuk mengubah presepsi dan memperoleh legitimasi dari masyarakat.
Perusahaan dalam melakukan tindakan pajak agresif akan memperoleh keuntungan dan kerugian Chen dkk., 2010 dalam Hidayanti, 2013. Keuntungan
yang diperoleh berupa penghematan pajak sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilikpemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar. Kerugian yang
ditanggung yaitu kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksipenalti dari fiskus pajak, dan turunnya harga saham perusahaan. Seperti yang pernah menimpa bank
swasta terbesar di Indonesia, Bank Central Asia BCA pada tahun 2014 lalu, ketika Ketua KPK, Abraham Samad, pada tanggal 21 April 2014, menetapkan
Hadi Poernomo yang menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan periode tersebut, sebagai tersangka kasus manipulasi pajak pada tahun 2003.
Dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp.375 miliar itu, Hadi yang saat itu menjabat sebagai Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2003,
mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA melalui nota dinas bernomor ND192PJ2004 pada 17 Juni 2004. Nota dinas yang dikeluarkan mendadak ini
menganulir penolakan keberatan Direktorat Pajak Penghasilan yang saat itu dipimpin Sumihar Petrus Tambunan. Menurut salinan nota dinas yang diperoleh
11 Tempo, Hadi menyebutkan sejumlah alasan mengabulkan permohonan keberatan
pajak BCA atas terdapatnya koreksi fiskal pemeriksa pajak senilai Rp.5,5 triliun. Menurut Hadi, seperti disebut dalam dokumen itu, BCA dianggap masih memiliki
aset dan kredit macetnya ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional sehingga koreksi Rp.5,5 triliun itu dibatalkan. Karena pembatalan ini, negara
kehilangan pajak penghasilan dari koreksi penghasilan BCA senilai Rp.5,5 triliun itu. Perhitungan KPK nilainya Rp.375 miliar Rizky, 2014.
Penetapan status tersangka terhadap Hadi Poernomo dalam kaitan dengan pembayaran pajak PT Bank Central Asia Tbk memberi dampak buruk bagi saham
emiten tersebut. Dikabarkan bahwa pihak Bank BCA sendiri sudah menghubungi KPK agar tidak mempublikasikan nama-nama dari Bank BCA yang terkait kasus
korupsi pajak Bank BCA. Hal itu dilakukan untuk melindungi saham Bank BCA agar tidak anjlok akibat terseret kasus korupsi pajak. Namun, KPK menegaskan
bahwa KPK tidak akan menuruti kemauan Bank BCA. Anjloknya nilai saham BCA akibat terseret kasus korupsi adalah resiko yang harus diterima. Dalam
perdagangan di Bursa Efek Indonesia 22 April 2014, nilai saham emiten berkode BBCA itu turun 125 poin 1,12 persen menjadi Rp.11.050 per lembar. Penurunan
tersebut bertolak belakang dengan kenaikan harga saham emiten bank berkapitalisasi besar, seperti PT Bank BRI Tbk yang naik 150 poin 1,49 persen
menjadi Rp.10.200 dan PT Bank Mandiri Tbk yang naik 25 poin 0,25 persen menjadi Rp.9.850. Saham BCA yang berpindah tangan sebanyak 226.074 lot atau
jauh di atas rata-rata tiga bulan sebanyak 168.966 lot. Analis dari PT Recapital Securities, Agustini Hamid, memperkirakan terungkapnya kasus pajak BCA bakal
12 menggerus kepercayaan pelaku pasar atas emiten bank. Jadi, tak mengherankan
jika pelaku pasar mengurangi kepemilikan saham pada bank itu. “Publik mulai
mencemaskan integritas dan manajemen risiko yang dimiliki BCA,” ujarnya Megel dkk., 2014
Penelitian mengenai pengaruh agresivitas perusahaan dalam hal ini tax avoidance terhadap nilai perusahaan pernah dilakukan oleh Juwita 2013 dan
hasil penelitian menunjukkan bahwa tax avoidance jangka panjang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini memiliki keterbatasan data
variabel moderasi kepemilikan keluarga karena tidak semua perusahaan menyediakan informasi yang transparan mengenai keterlibatan keluarga dalam
manajemen dan kepemilikan suatu perusahaan. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Simarmata dan Cahyonowati 2014 dengan hasil bahwa tax
avoidance jangka pendek berpengaruh positif terhadap tax avoidance jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai Cash ETR tahunan akan
meningkatkan long-run tax avoidance LRTA. Tax avoidance jangka panjang tidak memiliki pengaruh yang postitif terhadap nilai perusahaan.
Hanlon dan Slemrod 2009 dalam Simarmata dan Cahyonowati 2014, penelitiannya menguji bagaimana reaksi pasar atas tindakan tax avoidance yang
dilakukan oleh perusahaan, menunjukkan bahwa tindakan tax aggressiveness dapat meningkatkan atau menurunkan nilai saham perusahaan. Jika tax
aggressiveness dipandang sebagai upaya untuk melakukan tax planning dan efisiensi pajak, maka pengaruhnya positif terhadap nilai perusahaan. Namun jika
13 dipandang sebagai tindakan non-compliance, hal tersebut akan meningkatkan
risiko sehingga mengurangi nilai perusahaan. Menurut Lanis dan Richardson 2012 perusahaan yang telah terbukti
melakukan agresivitas pajak dapat betindak sesuai dengan teori legitimasi dengan cara melakukan pengungkapan informasi CSR tambahan. Dari sudut pandang
ekonomi, perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan.
Menurut Kiroyan dikutip dari Sayekti dan Wondabio, 2007, perusahaan berharap jika dengan menerapkan corporate social responsibility atau tanggung
jawab sosial perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan akan memaksimalkan ukuran keuangan untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan corporate social responsibility berharap akan direspon positif oleh para pelaku pasar seperti investor dan kreditur
yang nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian mengenai kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan CSR terhadap nilai perusahaan pernah
dilakukan oleh Permanasari 2010. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa variabel corporate social responsibility memiliki pengaruh positif terhadap nilai
perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis hubungan
keempat variabel, yaitu
“Pengaruh Agresivitas Pajak, Tingkat Persistensi Laba, dan
Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Studi Empiris Pada Perusahaan LQ45 Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun
2012- 2014”.
14
B. Rumusan Masalah