1993 1995 1999 Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Indonesia Hasil Estimasi Model

264 Dalam hal ini, penulis melihat hambatan masuk pada industri kelapa sawit ini melalui Minimum Efficiency of Scale atau MES.

8.5.2. Minimum Efficiency of Scale atau MES

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa MES merupakan proksi dari hambatan masuk ke dalam suatu pasar. Semakin suatu pasar dapat memproduksi dengan biaya rata-rata yang paling minimum, maka akan membuat para entrant enggan memasuki pasar tersebut. Hal ini karena susah bagi mereka untuk menyaingi pemain lama yang sudah dapat memproduksi komoditi tersebut dengan biaya yang rendah. Karena hal ini tentunya membutuhkan proses yang cukup panjang. Terlebih lagi, para pemain lama dapat menentukan harga yang lebih rendah dikarenakan keberhasilan mereka dalam berproduksi di batas AC minimum. Berikut perkembangan MES pada industri kelapa sawit pada tahun 1990, 1993, 1995, 1999 dan 2000. Tabel 67. Nilai Skala Efisiensi Minimun Industri Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2000 Tahun Tingkat Skala Usaha Minimum dari Empat Perusahaan Terbesar 1990

21.1 1993

15.7 1995

14.2 1999

17.3 2000

18.1 Sumber : Hasil Analisis. 2010 265 Jika dibandingkan dengan data CR4 sebelumnya, maka pada tahun 1990 tingkat MES adalah sebesar 21.1 dan mengalami penurunan pada tahun 1993 yaitu sebesar 15.7. Sedangkan tingkat konsentrasi yang terjadi antara kedua tahun ini mengalami penurunan yaitu dari 85 menjadi 63. Hal ini menandakan semakin kecil MES maka menjadikan hambatan masuk para pemain baru ke dalam perusahaan ini menjadi melonggar. Kemudian, pada tahun 1995, tingkat konsentrasi kembali mengalami penurunan hingga mencapai 57 dengan tingkat MES sebesar 14.2. Pada tahun 1999, tingkat konsentrasi kembali meningkat hingga mencapai 69 dengan tingkat MES sebesar 17.3. Sedangkan pada tahun 2000, tingkat konsentrasi kembali mengalami peningkatan hingga mencapai angka 72 dengan tingkat tingkat sebesar 18.1. Ternyata, yang menyebabkan tingkat konsentrasi industri kelapa sawit Indonesia ini tinggi bukanlah jumlah perusahaan atau pelaku pasar yang ada, melainkan tingkat MES yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Akibatnya, meskipun pada saat tingkat konsentrasi industri kelapa sawit ini tinggi, jumlah perusahaan bukanlah hal yang menjanjikan adanya penurunan tingkat konsentrasi, namun tergantung MES suatu perusahaan. Semakin efisien suatu perusahaan dalam berproduksi maka semakin tinggi kesempatan mereka untuk menguasai pasar, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya tingkat konsentrasi yang tinggi yang akhirnya membuat struktur pasar cenderung ke arah monopoli. Biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan kelapa sawit cukup tinggi. Hal ini membuat biaya produksi dalam industri ini menjadi mahal. Pemain pasar yang sudah lama 266 dalam industri ini, mereka lebih dapat memproduksi dengan biaya minimum dibandingkan dengan pamain pasar yang baru memasuki industri ini. Hal inilah yang dapat menghambat pemain pasar tersebut untuk menguasai pasar. Berdasarkan teori ekonomi industri, berproduksi pada titik biaya minimum memerlukan proses waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, meskipun jumlah perusahaan yang masuk ke dalam pasar bertambah banyak, jika tidak dapat berproduksi dengan biaya minimum yang sama dengan pesaing yang sudah menguasai pasar sejak lama, maka para pemain lama tersebut dapat lebih meningkatkan pangsa pasarnya. Prosentase Gambar 18. Grafik Tingkat Konsentrasi dan Skala Efisiensi Empat Perusahaan Terbesar Indonesia

8.5.3. Perilaku Industri Kelapa Sawit Indonesia

Perkembangan tingkat konsentrasi yang terbentuk pada industri kelapa sawit ini semakin meningkat seiring peningkatan pangsa pasar yang 267 dimiliki para perusahaan terbesar begitu juga dengan hambatan masuk yang juga meningkat bagi pemain baru untuk memasuki industri ini. Berdasarkan teori SCP, dimana struktur pasar merupakan fungsi dari hambatan masuk dan tingkat konsentrasi, maka hasil penjelasan deskriptif diatas menandakan bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah struktur pasar oligopoli. Dengan struktur pasar yang oligopoli ini maka akan berpengaruh kepada pembentukan harga oleh perusahaan-perusahaan yang ada. Sehingga, keuntungan yang mereka miliki dapat lebih tinggi lagi dan menciptakan hambatan pemain baru lain untuk masuk. Struktur pasar yang oligopoli cenderung menciptakan perilaku kolusif diantara perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang besar. Konsumsi terbesar komoditi kelapa sawit, khususnya CPO terjadi pada industri minyak goreng. Hal ini terjadi akibat sebagian besar bahan baku minyak goreng adalah CPO. Harga minyak goreng Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini mengalami fluktuasi. Alasan yang sering dikemukakan adalah jumlah komoditi kelapa sawit lebih banyak diprioritaskan sebagai komoditi ekspor yang mengakibatkan suplai minyak sawit mentah untuk dalam negeri menjadi lebih sedikit. Akibatnya, domestik mengalami kekurangan bahan baku minyak goreng. Secara teori ekonomi, tepatnya hukum penawaran, jika suplai mengalami penurunan dengan keadaan tingkat permintaan yang berlebih, akan membuat harga menjadi lebih tinggi. Begitu juga yang terjadi pada industri minyak goreng ini, akibat sebagian besar produksi CPO ditujukan untuk ekspor dan membuat sedikitnya jumlah CPO yang ditawarkan di dalam 268 negeri dan kurangnya kuantitas tersebut untuk memenuhi permintaan maka harga CPO menjadi naik. Naiknya harga CPO membuat biaya produksi dalam menghasilkan minyak goreng menjadi ikut naik. Hal ini terjadi jika memang benar keadaan yang terjadi seperti apa yang dijelaskan. Namun, berdasarkan data BPS, ditemukan data-data yang tidak menguatkan alasan tersebut. Penulis membandingkan ketiga data sebagai bukti ketidakkuatan alasan yang selama ini sering terdengar oleh masyarakat Indonesia. Jika data ini valid, maka sesuai dengan mekanisme pasar, harga minyak goreng menjadi lebih murah. Hal ini dapat dilihat melalui tabel 68. Menurut data, bahwa pada tahun 1990-1996, Indonesia belum mengarah ke export oriented, hal ini terlihat pada jumlah ekspor CPO yang lebih kecil dibandingkan jumlah CPO untuk domestik. Namun, sejak tahun 1997-2004, volume CPO untuk ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan volume CPO untuk dalam negeri. Selain itu lahan perkebunan yang menghasilkan Tanda Buah Segar TBS meningkat yang menyebabkan produksi CPO meningkat, tingginya ekspor juga dengan pejualan dari keuntungan yang diperoleh dari ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan dari dalam negeri. Terlebih lagi pada tahun 1998, di mana terjadi puncak krisis moneter di Indonesia, yang menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami kelemahan, maka terjadi selisih antara nilai tukar rupiah dengan mata uang asing Dolar Amerika yang menyebabkan keuntungan yang semakin tinggi. 269 Tabel 68. Tingkat Penawaran dan Ekspor CPO serta Permintaan CPO Oleh Industri Minyak Goreng tahun 1990-2004 Tahun Penawaran CPO Ekspor CPO Permintaan Industri Minyak Goreng 1990 1623,20 815,58 981,60 1991 1527,77 1167,70 1302,31 1992 2544,74 1030,30 1498,55 1993 1941,34 1632,00 1508,46 1994 2500,54 1631,20 1788,37 1995 3264,49 1265,00 2014,06 1996 3334,30 1671,96 2811,64 1997 2504,59 2967,59 3051,90 1998 4178,49 1479,28 3288,14 1999 2691,85 3298,99 3625,30 2000 2283,38 3937,82 3909,43 2001 3493,40 4903,22 4082,81 2002 3298,14 6333,71 3901,78 2003 4058,44 6386,41 3910,66 2004 3453,36 8661,65 4050,76 Sumber : BPS, 2005 Pada tahun 1990-1996 tingkat penawaran CPO untuk domestik lebih besar dibandingkan dengan tingkat permintaan CPO domestik untuk Industri Minyak Goreng. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku penghasil minyak goreng ini mengalami ekses penawaran yang sesuai dengan teorinya dapat terjadi penurunan harga pada bahan baku tersebut. Sehingga harga minyak goreng dapat ditekan menjadi lebih murah. Namun, sesuai dengan data yang diperoleh, faktanya hukum tersebut seolah-olah tidak berlaku pada industri kelapa sawit, khususnya CPO ini. Penulis membandingkan tingkat permintaan CPO untuk minyak goreng domestik. Setelah dibandingkan ketiga variabel tersebut, ternyata tingkat harga minyak goreng domestik terus mengalami peningkatan dari tahun 1990-1996 seiring dengan tingkat suplai yang melebihi tingkat permintaannya. Pada tahun 1990 harga minyak goreng domestik mencapai 270 tingkat harga sebesar Rp. 708,30kg, kemudian pada tahun 1991 mencapai Rp 822,60kg. Pada tahun 1992, harga minyak goreng kembali mengalami peningkatan, yaitu menjadi Rp. 961kg. Hal ini terus terjadi hingga tahun 1996 dengan tingkat harga minyak goreng domestik sebesar Rp. 1.821kg. Berarti alasan yang sering terdengar bahwa meningkatnya harga minyak goreng domestik akibat harga bahan baku yang meningkat yang disebabkan oleh ekses permintaan, tidak terbukti kebenarannya dalam industri kelapa sawit Indonesia. Hal ini terjadi karena peningkatan ekses suplai akan komoditi CPO tahun 1990-1996 diikuti dengan peningkatan harga minyak goreng domestik. Pada tahun 1998, harga minyak goreng mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu mencapai level Rp. 5.449kg. Jika dilihat dari segi excess demand, kenaikan harga yang terjadi sangat wajar akibat suplai CPO domestik yang tidak mencapai kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng. Namun, sebenarnya hal yang sama terjadi pada tahun 1999 yang juga terdapat kelebihan permintaan CPO. Tetapi tidak begitu adanya, yang terjadi malah penurunan harga. Pada tahun 1999, harga minyak goreng adalah sebesar Rp.4.143kg. Hal ini terus terjadi hingga tahun 2003 dengan tingkat harga sebesar Rp 4.625kg. Penulis mengasumsikan terjadinya penurunan harga ini akibat adanya kebijakan pemerintah dalam bentuk operasi pasar ataupun subsidi, atau bisa saja terjadi akibat penggunaan kelebihan bahan baku CPO untuk minyak goreng pada tahun sebelumnya. Namun, ketika penulis mencoba 271 membandingkan perkembangan harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional, timbul suatu kecurigaan adanya dugaan perilaku kartel dalam industri kelapa sawit Indonesia ini. Berikut Tabel 70 tentang perkembangan harga CPO internasional dan harga minyak goreng domestik. Dengan membandingkan harga CPO internasional dengan harga minyak goreng domestik, terlihat sejak tahun 1997-2004 terjadi pergerakan yang searah dan sebanding antara kedua tingkat harga tersebut, padahal, jika dilihat dari segi penawaran dan permintaan akan CPO ini, seharusnya hal ini lebih mempengaruhi tingkat harga yang terbentuk dalam pasar domestik. Ternyata yang ditemukan oleh penulis adalah adanya pergerakan yang searah dan sebanding antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional. Sehingga, harga minyak goreng tidak terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran menurut mekanisme pasar. Dengan melihat data tersebut, penulis menduga adanya unsur perilaku kartel yang terbentuk pada Industri Kelapa Sawit ini. Sebenarnya, Indonesia mengalami peningkatan produksi sekitar bulan Juni dan Juli setiap tahunnya, yang dikarenakan musim panen pada bulan ini, ditambah lagi semenjak November curah hujan tinggi dan turunnya hujan mempengaruhi jumlah produksi kelapa sawit. Sehingga tingkat produksi kelapa sawit bertambah, seharusnya keadaan ini dapat memenuhi permintaan domestik dan membuat harga minyak goreng tetap melambung tinggi. Pada tahun 2007, harga minyak goreng domestik bahkan mencapai angka Rp. 9.000 – Rp. 11.000,-kg, sedangkan harga internasional CPO adalah US 750 Agustus 2007. Dibandingkan dengan harga internasional 272 CPO tahun tersebut harga CPO tahun lalu adalah sebesar US 500. Kenyataan inilah yang membuat penulis menduga adanya unsur kartel dalam industri ini. Terlebih lagi teori ekonomi industri, struktur pasar yang oligopoli cenderung membentuk perilaku kolusif. Tabel 69. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga Internasional CPO tahun 1990-2004 Tahun Harga Minyak Goreng Rupiah Harga Internasional USD 1990 708,30 279,88 1991 822,60 333,03 1992 961,40 290,75 1993 987,70 406,85 1994 1250,00 524,55 1995 1463,00 648,95 1996 1821,40 531,81 1997 2000,00 545,03 1998 5449,12 678,13 1999 4143,58 438,39 2000 3418,54 310,44 2001 3527,27 275,66 2002 4337,99 388,89 2003 4625,76 447,61 2004 4905,99 482,19 Sumber : Deperindag, 2005. Berdasarkan Tabel 69, harga CPO internasional dengan harga minyak goreng domestik diatas, harga CPO internasional mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Sedangkan, harga minyak goreng domestik mengalami gejolak harga yang berfluktuatif. Penulis menduga kartel yang terbentuk lebih mengarah kepada kartel output dibandingkan dengan kartel harga. Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan volume produksi. Namun ternyata, 80 dari total keseluruhan produksinya, masih merupakan 273 Rp USD gabungan dengan industri sawit Malaysia. Hal inilah yang melatarbelakangi Indonesia mau berkartel dengan Malaysia. Gambar 19. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga CPO Internasional Tahun 1990-2004 Indonesia takut jika tidak melakukan kartel dengan Malaysia, karena akan mencabut investasinya dari Indonesia yang pada akhirnya akan mengurangi volume produksi kelapa sawit yang dapat dihasilkan. Hal ini dapat menyebabkan keuntungan yang diperoleh Indonesia jadi menurun. Begitu juga dengan Malaysia, negara jiran ini takut jika tidak melakukan kesepakatan dengan Indonesia akan membuka peluang Indonesia untuk mengalahkan Malaysia. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki potensi untuk memperluas lahan untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan Malaysia tidak, akhirnya kartel terbentuk diantara keduanya. 274 Kartel yang terbentuk dalam bentuk penetapan jumlah output bersama, Malaysia dan Indonesia bersama-sama menentukan jumlah output yang diproduksi. Tentunya, hal ini mengakibatkan jumlah output yang diproduksi menjadi lebih sedikit dibandingkan jika mereka tidak berkolusi dan mengakibatkan jumlah yang diproduksi lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat permintaannya. Hal ini berdampak pada industri hilir yang menggunakan bahan baku CPO, akibatnya harga internasional menjadi mahal. Perilaku kolusif berbentuk kartel ini menurut penulis tidak mempengaruhi kestabilan harga minyak goreng domestik di Indonesia dan secara tidak langsung justru menguntungkan industri sawit Malaysia.

8.5.4. Kinerja Industri Kelapa Sawit Indonesia

Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam industri kelapa sawit ini sebenarnya lebih dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung di Industri kelapa sawit ini. Terlebih lagi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur pasar yang terbentuk oleh Industri ini berdasarkan pengamatan tingkat struktur pasar terbentuk, maka industri ini tergolong oligopoli bahkan mendekati monopoli. Seperti yang telah dikemukakan oleh Bain, bahwa semakin mengarah ke monopoli semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh. Penulis mencoba menjelaskan pernyataan yang dikemukakan oleh Bain tersebut melalui grafik berikut dengan membandingkan pergerakan keuntungan dengan tingkat konsentrasi. Di mana, PCM digunakan sebagai proksi dari keuntungan tersebut dan CR4 sebagai tingkat konsentrasi industri kelapa sawit. 275 Secara rata-rata pergerakan PCM dengan CR4 memiliki hubungan yang positif antara tahun 1990 dengan 1993, tingkat konsentrasi mengalami penurunan yang awalnya mencapai 0,85 menjadi 0,63, begitu juga antara tahun 1995 dengan 1999, terjadi peningkatan konsentrasi dari 0,56 menjadi 0,69. Hingga pada tahun 2000, tingkat konsentrasi mencapai tingkat 0,72. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan PCM, artinya terbukti CR4 memang mempengaruhi tingkat keuntungan yang terjadi pada industri ini. Ini artinya, teori Bain dalam industri kelapa sawit Indonesia terbukti kebenarannya. Tingkat konsentrasi semakin tinggi membuat struktur pasar industri kelapa sawit ini menunjukkan struktur pasar yang oligopoli yang mendorong terbentuknya perilaku kolusif yang menjadikan mereka bertindak selayaknya pelaku pasar monopoli yang kemudian mengakibatkan keuntungan yang tercapai juga meningkat. Menurut pemikiran penulis, masalah struktur pasar terkonsentrasi tidak selamanya menjadi masalah bagi industri. Jika suatu industri menunjukkan adanya keuntungan yang besar didalamnya, maka hal ini justru akan menarik para pemain baru untuk ikut masuk ke dalam industri tersebut. Apalagi, didukung dengan pasar kelapa sawit yang terus mengalami pengembangan dengan adanya tingkat permintaan yang meningkat serta tingkat produksi yang juga meningkat. Akibatnya banyak pemain baru yang tertarik untuk melakukan bisnis ini. Akhirnya, struktur pasar yang tadinya hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan menjadi semakin berkurang dan menimbulkan adanya persaingan dalam pasar. Tingginya tingkat konsentrasi juga tetap bisa 276 terjadi, namun yang berada pada CR4 ini merupakan perusahaan- perusahaan yang berganti-ganti akibat kehebatan dan keunggulannya dalam berproduksi dan penggunaan teknologinya. Berarti peningkatan tingkat konsentrasi sebenarnya juga bisa membuat struktur pasar menciptakan adanya persaingan di dalam industri tersebut. Penulis beranggapan tingkat konsentrasi yang tinggi bukan berarti tingkat kompetisi antara pesaing hilang selama tidak ada hambatan masuk. Oleh sebab itu, jika tingkat yang semakin tinggi mendorong terciptanya iklim persaingan di industri kelapa sawit, maka seharusnya keuntungan yang dirasakan akan menurun seiring peningkatan tingkat konsentrasi tersebut akibat adanya persaingan. Selain itu, kondisi ini akan membuat pasar menjadi lebih seimbang akibat menurunnya kecenderungan monopoli. Namun, berhubung industri kelapa sawit menunjukkan adanya arah yang positif antara PCM dengan CR4, maka perilaku yang terduga kuat adalah terdapat perilaku kolusi di antara para pesaing di industri ini. Sehingga hal ini mengakibatkan minimnya persaingan yang terjadi pada industri ini. Pergerakan yang searah antara PCM dan CR4 yang telah disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa perilaku kolusi yang terdapat di industri ini yang membuat para pesaingnya berperilaku selayaknya monopoli sehingga dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Menurut penulis, kinerja industri kelapa sawit dapat lebih tinggi lagi. Indonesia termasuk pemasok CPO terbesar di dunia. Di sisi Industri Hulu, Indonesia bisa menciptakan produksi kelapa sawit dengan jumlah yang tinggi. Selain itu, perluasan lahan yang dilakukan Indonesia serta 277 peningkatan jumlah produksi menunjukkan adanya pengembangan di sektor hulunya. Namun, tidak dengan sektor hilir yang tidak mengalami perkembangan yang nyata. Sebagian besar CPO domestik, yaitu sebesar 79 digunakan untuk industri minyak goreng. Sedangkan Indonesia mengekspor sebagian besar volume CPOnya ke pasar internasional. Seharusnya, Indonesia mengembangkan industri hilirnya juga agar dapat menciptakan nilai tambah dari CPO yang dihasilkan di sektor hulu. Menurut teori ekonomi industri oleh Martin, 1993, keuntungan bisa ditingkatkan dengan melakukan diferensiasi produk. Oleh sebab itu, seharusnya penggunaan CPO tidak hanya digunakan untuk minyak goreng. Namun lebih dikembangkan lagi ke sektor lain, seperti sabun, biofuel, kosmetik, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Malaysia, negara ini tidak sepenuhnya mengekspor hasil CPO ke luar negeri, melainkan sebahagin diolah menjadi bahan jadi untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Sehingga, hal ini membuat Malaysia tidak mengalami gejolak harga minyak goreng dalam negerinya seperti apa yang dialami oleh Indonesia. Malaysia dalam mengembangkan industri hilirnya dengan mengolah produk hulunya menjadi bernilai tinggi, membuat negeri jiran ini meningkatkan keuntungan industri kelapa sawitnya. Selain itu, tingkat produksi Malaysia bisa tetap lebih tinggi ketimbang Indonesia yang memiliki lahan lebih melimpah dan tenaga kerja yang banyak adalah tingkat produktivitas Malaysia yang berjumlah 3,21 tontahun dengan 422 pabrik pengolahan. Sedangkan Indonesia tingkat produktivitasnya hanya sebesar 2,5 ton CPOtahun dengan 323 pabrik pengolahan. Perbedaan itu juga yang 278 membuat Malaysia dapat menggunakan 87 kapasitas terpasang pabrik yang mencapai 86 juta ton TBStahun, sedangkan Indonesia 65 ton TBStahun. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 70 dan Tabel 71.

8.5.5. Kontribusi Industri Kelapa Sawit pada Perekonomian Indonesia

Industri minyak nabati, salah satunya adalah kelapa sawit mendorong perekonomian Indonesia. Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar. Selain itu, komoditi ini menghadapi permintaan dengan jumlah yang selalu meningkat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 2.273 orang, sedangkan pada tahun 1993 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 3.854 orang. Pada tahun 1995 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 7.674 orang, kemudian meningkat pada tahun 1999 menjadi 9.232 orang. Namun, pada tahun 2000 tenaga kera yang terserap hanya sebanyak 6.260 orang. Hal ini diakibatkan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda krisis. Nilai tukar rupiah yang jatuh, dan harga barang yang mengalami peningkatan sehingga membuat tingkat upah juga menjadi mahal. Akibatnya, untuk menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan kelapa sawit terpaksa merumahkan beberapa pekerjanya. Namun pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 170.060 orang untuk industri pengolahan kelapa sawit, sedangkan untuk industri minyak goreng adalah sebanyak 37.621 orang. Perusahaan pengolahan kelapa sawit dengan jumlah sebanyak 58 perusahaan. Begitu juga dengan industri minyak goreng, jumlah perusahaan terbanyak terdapat di Sumatera Utara dengan jumlah sebanyak 57 perusahaan. 279 280 281 Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang terserap, maka tingkat pengangguran menjadi menurun. Penurunan tingkat pengangguran menandakan peningkatan pada individu yang berpendapatan. Oleh karena itu pembeli potensial dalam artian pembeli yang memiliki daya beli menjadi meningkat. Sehingga, tingkat kemiskinan menjadi menurun dan perekonomian juga akan membaik. Diharapkan untuk tahun selanjutnya jumlah tenaga kerja kelapa sawit dapat ditingkatkan kembali. Jika tenaga kerja semakin banyak terserap maka akan dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia. Selain dilihat dari sisi tenaga kerja yang terserap, industri ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan Peningkatan yang tajam terlihat adalah pada tahun 1998, yaitu mencapai Rp. 4.940.692kapita. Dengan melihat data yang ada, penulis menduga peningkatan pendapatan per kapita yang begitu pesat ini akibat terjadinya nilai tukar rupiah yang lemah yang membuat jumlah CPO yang diekspor menghasilkan devisa yang cukup tinggi meskipun yang diekspor hanya dengan jumlah 1.479.280 ton. Sedangkan penawaran untuk domestik sebanyak 4.178.490 ton dan ini melebihi tingkat permintaan CPO pada industri minyak goreng. Akibat kelebihan penawaran CPO di pasar domestik membuat harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih murah. Oleh karena itu, penulis memperkirakan hal inilah yang membuat pendapat per kapita dari industri ini meningkat, yaitu akibat tingginya pendapatan devisa. Penulis menduga bahwa akibat fakta ini, pemerintah yang awalnya menetapkan kebijakan kuota ekspor CPO mengalami dilema, dan akhirnya memperlonggar kebijakan tersebut hingga membuat volume ekspor menjadi 282 lebih tinggi dibandingkan penawaran CPO pada pasar domestik. Hal ini terbukti, dengan adanyan peningkatan volume ekspor CPO, pendapatan per kapita semakin meningkat. Terlebih lagi dengan adanya penawaran domestik yang tidak memenuhi kebutuhan tingkat permintaan domestik, mengakibatkan harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih mahal. Contohnya saja pada tahun 2004, tingkat permintaan CPO untuk minyak goreng adalah sebesar 4.050.760 ton, sedangkan penawaran domestiknya hanya sekitar 3.453.000 ton di mana penawaran untuk ekspor sebesar 8.661.650 ton. Dengan keadaan seperti itu, pendapatan per kapita pada industri kelapa sawit menjadi lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 10.571.442. Keadaan inilah menurut penulis yang membuat pemerintah Indonesia semakin mengizinkan peningkatan volume CPO untuk diekspor.

8.6. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Indonesia

Model ekonometrika yang digunakan dalam disertasi ini adalah : PCM = α + β 1 CR4 it +β 2 MES it + β 3 PCPOINT it + β 4 PD MG it + Β 5 DGROW + β 6 KURS + ε t = Periode Waktu t = 1,2,...,T it Di mana : PCM = Price-Cost Margin CR4 = Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar MES = Minimum Effieciency of Scale PCPOINT = Harga CPO Internasional PDMG = Harga Minyak Goreng Domestik DGROW = Pertumbuhan permintaan Minyak Sawit Indonesia KURS = Nilai tukar Dolar Amerika terhadap Rupiah Indonesia ε = Error I = Industri atau perusahaan i = 1,2,...,n 283 Sebelumnya penulis telah menjabarkan hasil pengamatannya secara deskriptif mengenai industri sawit Indonesia. Kali ini, penulis melihat hubungan variabel-variabel PCM melalui software SPSS Version 6 dan Minitab 15 dengan analisis korelasi. Dalam melakukan analisis regresi, awal tujuan penulis ingin melihat adanya pengaruh tingkat konsentrasi, hambatan masuk, tingkat harga internasional CPO dan tingkat harga minyak goreng domestik. Hal ini bertujuan ingin membuktikan dugaan penulis akan perilaku kartel yang terbentuk akibat struktur pasar yang terbentuk pada industri kelapa sawit ini.

8.7. Hasil Estimasi Model

Pada hasil analisis regresi diatas, penulis tidak memasukkan variable time pada persamaan. Hal ini terjadi, akibat tidak kuatnya pengaruh waktu terhadap PCM yang terbentuk pada industri ini. Sehingga, analisa yang terbentuk berdasarkan hasil analisis regresi sebagai berikut : PCM = - 434 + 0.60 CR4 + 0.642 PCPOINT - 0.0158 PDMG + 14.2 DGROW + 0.0087 KURS 18 cases used, 1 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P Constant -433.7 415.5 -1.04 0.317 DGROW 14.230 4.040 3.52 0.004 PCPOINT 0.6418 0.3109 2.06 0.061 CR4 0.602 5.021 0.12 0.907 PDMG -0.01576 0.02549 -0.62 0.548 KURS 0.00871 0.01520 0.57 0.577 S = 99.5281 R-Sq = 70.8 R-Sqadj = 58.6 284 Untuk mendapatkan keakuratan dalam suatu model bukanlah suatu hal yang mudah, R 2  Variabel CR4 adalah 70.8 namun tidak menjamin model tersebut adalah baik. Namun, salah satu kriteria suatu model dikatakan akurat atau tidak adalah kesesuaian model tersebut dengan teori yang ada. Persamaan struktural dibuat dengan tujuan ingin melihat bagaimana hubungan yang diberikan oleh variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogennya. Besarnya hubungan variabel eksogen terhadap variabel endogen dapat dilihat melalui besaran koefisien yang dimiliki masing-masing variabel eksogen tersebut. Arah pengaruh yang diberikan pada variabel eksogen tersebut dapat dilihat dari positif atau negatifnya koefisein tersebut. Jika negatif, berarti pengaruh yang diberikan variabel eksogen terhadap variabel endogennya adalah berlawanan arah. Contohnya, dalam penelitian ini, jika variabel eksogen dari PCM memiliki koefisien yang negatif, berarti peningkatan atau penurunan variabel eksogen tersebut mempengaruhi penurunan atau peningkatan variabel. Dari hasil analisis regresi dapat dikatakan bahwa CR4 mempengaruhi PCM secara positif dengan koefisien sebesar + 0.60 namun tidak signifikan. Artinya, tingkat konsentrasi yang dihasilkan mempengaruhi terbentuknya struktur pasar pada suatu industri. Berarti, teori yang dikemukakan oleh Bain berlaku pada industri kelapa sawit Indonesia.  Variabel MES Berdasarkan hasil estimasi dan stepwise, MES tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada PCM dengan demikian variabel MES tidak 285 diberikan penjelasan dalam estimasi PCM. Berarti ada faktor non- ekonomi yang menentukan masuknya pelaku dalam pasar seperti kebijakan pemerintah, faktor keamanan atau faktor politik  Variabel PCPOINT Variabel PCPOINT merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat harga CPO Internasional dalam pembentukan keuntungan pada industri kelapa sawit. Ternyata, harga CPO Internasional memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan pada industri kelapa sawit Indonesia dengan pengaruh yang diberikan yaitu sebesar +0.642. Semakin tinggi harga CPO Internasional semakin tinggi keuntungan industri sawit Indonesia dalam skala Nasional.  Variabel PDMG Variabel PDMG adalah Harga Minyak Goreng Domestik merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat harga minyak goreng di pasar Indonesia dalam pembentukan keuntungan pada industri kelapa sawit Indonesia. Ternyata, harga minyak goreng domestic memberikan pengaruh pada keuntungan yang tercipta pada industri kelapa sawit dengan pengaruh negatif yaitu sebesar - 0.0158 namun tidak signifikan. Semakin rendah harga minyak goreng dalam negeri semakin tinggi keuntungan yang tercipta.  Variabel DGROW Variabel DGROW merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat permintaan minyak sawit domestik dalam pembentukan keuntungan pada industri kelapa sawit. Ternyata, permintaan minyak 286 sawit domestik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan pada industri minyak sawit skala Nasional, yaitu sebesar + 14.2, hal ini seiring semakin tinggi permintaan minyak sawit domestik Indonesia untuk kebutuhan industri dan konsumsi rumah tangga berupa minyak goreng dan sebagainya. Hasil ini membuktikan kebenaran hipotesa yang dibuat penulis sebelumnya. Artinya ketika suatu saat terjadi lonjakan permintaan akan minyak sawit goreng maka para pemain lama akan lebih mudah memenuhi lonjakan permintaan tersebut dikarenakan taktik mereka dalam melakukan produksi. Mereka sepakat memproduksi dibawah kapasitas kemampuan mereka dalam berproduksi. Mereka tahu semakin tahun semakin banyak jumlah penduduk yang ada, maka semakin tinggi pula kebutuhan akan minyak goreng. Saat terjadi peningkatan permintaan, para pengusaha yang tergolong dalam pangsa pasar terbesar menggunakan kelebihan kapasitas mereka yang sengaja mereka jaga dari tahun ke tahun. Sehingga, permintaan yang tinggi dapat dipenuhi oleh para pemain pasar tersebut. Akhirnya, para pemain baru yang berusaha untuk masuk ke dalam pasar menjadi berfikir dua kali untuk terjun ke pasar tersebut. Hal ini dikarenakan biaya produksi mereka pastinya akan lebih tinggi dibandingkan dengan para pemain lama yang membuat mereka tidak dapat bersaing dengan para pemain lama. Oleh karena itu, para pemain baru akan terhambat untuk memasuki pasar ini, dan membuat para pemain lama menikmati keuntungan yang lebih tinggi. 287  Variabel KURS Variabel KURS merupakan variabel yang ingin melihat hubungan tingkat nilai tukar mata uang Dolar Amerika terhadap nilai tukar Rupiah. Menurut teori bahwa hubungan antara keuntungan industri berbanding terbalik dengan niai tukar, dalam penelitian ini adalah benar namun tidak signifikan. Semakin rendah nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap Dolar Amerika, maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh dengan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keuntungan yang tercipta pada industri kelapa sawit dengan pengaruh yang diberikan yaitu sebesar + 0.0087. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis tampilkan data sejarah pengembangan Industri Sawit Malaysia dan Indonesia Historical Comparative Research berupa matriks H-C tahun 1960- 2008. Tabel 72 - Tabel 79.

IX. IMPLIKASI KEBIJAKAN BAGI PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT INDONESIA

9.1. Industri Sawit Indonesia

Indonesia menetapkan kebijakan pada industri kelapa sawit dan memberlakukan pajak ekspor dengan ketentuan yang berubah-ubah. Tujuan pengenaan pajak ekspor ini adalah untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng domestik. Namun yang terjadi kebijakan ini tidak dapat mengatasi hal tersebut, justru yang ada harga minyak goreng domestik tetap mengalami naik turun. Sejak terjadi krisis ekonomi tahun 1998, pasokan minyak sawit dalam negeri mengalami kelangkaan sehingga harga minyak goreng melambung tinggi akibat pesatnya ekspor minyak sawit ke luar negeri. 9.1.1. Pengembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia Menurut Masrul E.H 2006, mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri kelapa sawit dibandingkan dengan negara lain. Dilihat dari potensi luas lahan yang tersedia di Indonesia yang sesuai untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit, Indonesia dinilai berpotensi memperluas areal kelapa sawitnya hingga lima kali lipat dari luas areal yang dimilikinya sekarang. Sedangkan Malaysia sebagai kompetitor dalam memproduksi CPO tidak memiliki potensi sebesar Indonesia. Selain itu, daerah yang memiliki potensi yang tinggi di sektor tersebut di Indonesia, untuk pulau Sumatera terdapat di provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, untuk pulau Kalimantan terdapat di Kalimantan Barat,