Analisis pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit

(1)

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR

TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT

OLEH:

MARIA IRENE HUTABARAT A14105570

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(2)

RINGKASAN

MARIA IRENE HUTABARAT. Analisis Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit. Di bawah bimbingan HARIANTO.

Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil

= CPO) terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Kebijakan pungutan ekspor (PE) CPO hingga kini belum efektif menahan fluktuasi harga minyak goreng di pasar domestik. Bahkan, menurut pengusaha sawit (Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta), PE hanya akan menguntungkan pemerintah, tetapi tidak memberi benefit bagi pengembangan industri sawit nasional.

Pemerintah meningkatkan pungutan ekspor sebagai salah satu instrumen kebijakan. Peningkatan PE CPO diharapkan mampu mengurangi besarnya kenaikan harga minyak goreng domestik. Pengembangan industri hilir melalui instrumen peningkatan PE tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan pengembangan infrastruktur dan insentif investasi, serta dapat mengancam terjadinya involusi industri hulu, berkurangnya kesempatan kerja dan penerimaan negara. Karenanya perlu dipilih instrumen-instrumen yang lebih efektif dan tepat dalam mendorong industri hilir CPO ini. Prinsipnya adalah bahwa instrumen kebijakan yang akan digunakan harus memberikan manfaat bagi industri secara keseluruhan.

Kebijaan PE progresif ini adalah dimaksudkan mengurangi volume ekspor CPO secara berlebihan. Seperti yang diketahui, peningkatan permintaan CPO dunia mengakibatkan harganya melambung tinggi. Hal ini mendorong pemilik kebun lebih memilih mengekspor dibanding menjualnya di pasar dalam negeri. Akibatnya, pasokan CPO dalam negeri menyusut yang kemudian pabrik-pabrik berbahan baku CPO kesulitan memperoleh pasokan. Untuk memenuhi CPO dalam negeri inilah, PE akhirnya diberlakukan. Pemberlakuan PE mungkin akan menguntungkan negara, yaitu pendapatan negara dari tarif bertambah. Pendapatan dari tarif oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang seluruh masyarakat bisa merasakannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada pada aspek produksi dan ekspor CPO Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal, produktivitas, ekspor CPO dan harga CPO domestik serta mengevaluasi pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit. Pengolahan data dilakukan melalui metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan luas areal kelapa sawit, produksi CPO, produktivitas CPO, pajak ekspor CPO dan harga CPO domestik. Model kuantitatif menggunakan model ekonometrika dengan metode Two Stages Least Square (2SLS) untuk menganalisis pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan secara bertahap dimulai dengan pengelompokan data dan perhitungan model analisa dengan bantuan komputer. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program E-views 4.1 dan Microsoft Excel 2003.

Tingkat produksi Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup meningkat. Hal ini berdampak terhadap harga kelapa sawit dan produk olahannya yang mengalami peningkatan. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh bertambahnya


(3)

18

luas lahan perkebunan kelapa sawit dan peningkatan produktivitas tanaman sebagai hasil dari upaya peremajaan tanaman yang dilakukan.

Masalah yang perlu diantisipasi adalah menurunnya produksi CPO. Masalah lain adalah melemahnya mekanisme harga pasar, sulitnya memberikan petunjuk teknik budidaya sehingga perkebunan tersebut dapat dikelola dengan baik terutama dalam penyediaan maupun pemakaian pupuk. Selain itu, masalah yang diduga akan sangat mempengaruhi produksi kelapa sawit adalah peremajaan tanaman kelapa sawit agar lebih terencana dengan baik.

Pengekangan ekspor melalui kebijakan peningkatan PE CPO bukan saja merupakan disinsentif bagi sebagian besar pelaku industri, namun dapat menurunkan penerimaan keuangan negara dan terhambatnya kegiatan investasi dan perdagangan internasional dalam industri sawit.

Luas areal kelapa sawit Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh harga CPO (HCPO) pada tingkat kepercayaan 80 persen. Harga CPO berpengaruh nyata terhadap luas areal kelapa sawit, menunjukkan bahwa harga CPO mempengaruhi pertumbuhan luas areal kelapa sawit. Dimana, harga CPO domestik lebih baik dibandingkan dengan harga ekspor CPO yang secara langsung dapat menarik minat para pengusaha kelapa sawit untuk memperluas areal perkebunannya. Luas areal kelapa sawit tahun sebelumnya pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa, jika luas areal kelapa sawit tahun sebelumnya meningkat maka luas areal kelapa sawit tahun berikutnya akan mengalami peningkatan pula.

Produktivitas CPO berhubungan positif dengan harga pupuk dan produktivitas tahun sebelumnya. Mengingat pupuk sebagai input produksi yang dapat meningkatkan produktivitas CPO, maka jika produktivitas meningkat akan diikuti oleh meningkatnya harga pupuk. Ini membuktikan bahwa pengusaha perkebunan kelapa sawit akan tetap meningkatkan produktivitas CPO walaupun harga pupuk yang digunakan cenderung mengalami peningkatan. Sebaliknya harga ekspor CPO, dan harga CPO domestik, berhubungan negatif dengan produktivitas CPO. Peningkatan harga ekspor CPO tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas CPO. Harga CPO tidak akan meningkat dengan meningkatnya produktivitas CPO. Hal ini menunjukkan, bahwa harga riil CPO domestik tidak mampu menarik pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitasnya. Produktivitas CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap produktivitas CPO pada tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dollar berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO. Hal ini disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah yang mengakibatkan volume ekspor meningkat sedangkan kebutuhan domestik tidak terpenuhi. Pajak ekspor CPO berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO. Hal ini menunjukkan bahwa, jika pemerintah meningkatkan pajak ekspor maka jumlah CPO yang akan diekspor akan menurun. Peningkatan pajak ekspor tidak akan diikuti dengan volume CPO yang akan di ekspor. Dimana, dengan adanya pajak tersebut maka akan mengurangi penerimaan.

Pajak ekspor dan harga CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga CPO domestik pada tingkat kepercayaan 90 persen (pajak ekspor) dan 95 persen (harga CPO tahun sebelumnya). Pajak ekspor yang meningkat akan diikuti dengan meningkatnya harga CPO domestik. Sedangkan ekspor CPO tidak berpengaruh nyata baik pada tingkat kepercayaan 90 persen maupun 95 persen. Jika ekspor CPO menurun, maka harga CPO domestik akan meningkat. Ini


(4)

menggambarkan bahwa harga CPO di pasar internasional tidak lebih baik dibandingkan dengan harga di pasar domestik.

Produksi CPO berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya produksi CPO maka akan meningkatkan volume CPO yang akan diekspor. Ekspor CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan harga ekspor CPO, nilai tukar, pajak ekspor, dan harga BBM dunia tidak berpengaruh nyata. Harga ekspor CPO tidak responsif terhadap jumlah CPO yang akan dieskpor. Apabila harga ekspor CPO meningkat, maka jumlah CPO yang diekspor tidak meningkat. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal. Artinya, walaupun harga ekspor CPO tinggi tetapi tidak memberikan minat kepada produsen untuk dapat meningkatkan volume yang akan dieskpor. Kenaikan harga CPO tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jumlah CPO yang akan di ekspor.

Kebijakan pajak ekspor CPO diharapkan mampu memposisikan urutan prioritas secara tepat untuk mencari solusi terhadap masalah ekonomi yang mendesak. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PE hanya akan menambah mata rantai pungutan disamping biaya yang tak terduga dan yang selama ini telah meningkatkan ongkos produksi dan menghambat pertumbuhan sektor industri, khususnya dalam industri CPO. Hal ini semakin mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditekan oleh biaya tinggi. Implikasi persoalan ini secara sosial adalah penurunan daya serap sektor industri terhadap tenaga kerja semakin menurun.


(5)

20

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT

OLEH:

MARIA IRENE HUTABARAT A14105570

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(6)

Judul : Analisis Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit Nama : MARIA IRENE HUTABARAT

NRP : A14105570

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS NIP.131 430 801

Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019


(7)

22

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2008

Maria Irene Hutabarat


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 7 Juni 1984.

Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Saidi

Hutabarat dan Ibu Normintan Silalahi.

Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri Lubukpakam pada tahun

1990 dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun yang sama penulis

melanjutkan pendidikan di SMP Roma Katholik Lubukpakam dan lulus pada

tahun 1999. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan ke SMA 2 Lubukpakam

dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai

mahasiswa Program Diploma III Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas

Pertanian, Program Studi Teknologi Benih dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang

sama, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 Program Sarjana Ekstensi

Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi pengajar (privat) di

SD dan SMP dan sebagai peserta pengajar dalam Program Guru Tambahan yang

diselenggarakan oleh IPB Crisis Center. Penulis juga aktif pada berbagai kegiatan

organisasi kemahasiswaan yaitu pengurus GMKI Bogor dan UKM PMK IPB pada


(9)

24

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul ”Analisis Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor Terhadap

Kinerja Industi Kelapa Sawit”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan

Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi permasalahan

yang ada pada aspek produksi dan ekspor CPO Indonesia; menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal, produktivitas, produksi, ekspor CPO dan

harga CPO domestik; mengevaluasi kebijakan pajak ekspor yang dapat

mempengaruhi kinerja industri kelapa sawit.

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat menjadi referensi dan informasi

bagi pihak yang memerlukannya. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang

dapat dikerjakan penulis dengan menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari

sempurna. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada diharapkan dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2008

Maria Irene Hutabarat


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

kasih dan berkat penyertaannya sehingga memberikan kekuatan dan kesehatan

dalam menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Papa dan Mama, yang selalu memberikan dukungan doa, materi, kasih sayang,

perhatian, dan semangat yang tiada henti untuk keberhasilan penulis.

2. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

memberikan bimbingan, dorongan, saran, dan perhatiannya yang sangat

membantu penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen evaluator yang telah banyak

memberikan masukan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji utama yang telah

memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Etriya, SP., MM selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah

memberikan masukan mengenai teknik penulisan karya ilmiah yang baik dan

benar.

6. Jumini yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar.

7. Rekan-rekan dari GMKI Cabang Bogor dan UKM IPB dari Komisi Pelayanan

Siswa (KPS).

8. Seluruh dosen, staf pengajar, dan staf sekretariat Ekstensi MAB yang telah

membantu kelancaran penulis mulai dari kuliah sampai dengan penulisan


(11)

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR

TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT

OLEH:

MARIA IRENE HUTABARAT A14105570

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(12)

RINGKASAN

MARIA IRENE HUTABARAT. Analisis Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit. Di bawah bimbingan HARIANTO.

Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil

= CPO) terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Kebijakan pungutan ekspor (PE) CPO hingga kini belum efektif menahan fluktuasi harga minyak goreng di pasar domestik. Bahkan, menurut pengusaha sawit (Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta), PE hanya akan menguntungkan pemerintah, tetapi tidak memberi benefit bagi pengembangan industri sawit nasional.

Pemerintah meningkatkan pungutan ekspor sebagai salah satu instrumen kebijakan. Peningkatan PE CPO diharapkan mampu mengurangi besarnya kenaikan harga minyak goreng domestik. Pengembangan industri hilir melalui instrumen peningkatan PE tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan pengembangan infrastruktur dan insentif investasi, serta dapat mengancam terjadinya involusi industri hulu, berkurangnya kesempatan kerja dan penerimaan negara. Karenanya perlu dipilih instrumen-instrumen yang lebih efektif dan tepat dalam mendorong industri hilir CPO ini. Prinsipnya adalah bahwa instrumen kebijakan yang akan digunakan harus memberikan manfaat bagi industri secara keseluruhan.

Kebijaan PE progresif ini adalah dimaksudkan mengurangi volume ekspor CPO secara berlebihan. Seperti yang diketahui, peningkatan permintaan CPO dunia mengakibatkan harganya melambung tinggi. Hal ini mendorong pemilik kebun lebih memilih mengekspor dibanding menjualnya di pasar dalam negeri. Akibatnya, pasokan CPO dalam negeri menyusut yang kemudian pabrik-pabrik berbahan baku CPO kesulitan memperoleh pasokan. Untuk memenuhi CPO dalam negeri inilah, PE akhirnya diberlakukan. Pemberlakuan PE mungkin akan menguntungkan negara, yaitu pendapatan negara dari tarif bertambah. Pendapatan dari tarif oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang seluruh masyarakat bisa merasakannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada pada aspek produksi dan ekspor CPO Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal, produktivitas, ekspor CPO dan harga CPO domestik serta mengevaluasi pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit. Pengolahan data dilakukan melalui metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan luas areal kelapa sawit, produksi CPO, produktivitas CPO, pajak ekspor CPO dan harga CPO domestik. Model kuantitatif menggunakan model ekonometrika dengan metode Two Stages Least Square (2SLS) untuk menganalisis pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan secara bertahap dimulai dengan pengelompokan data dan perhitungan model analisa dengan bantuan komputer. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program E-views 4.1 dan Microsoft Excel 2003.

Tingkat produksi Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup meningkat. Hal ini berdampak terhadap harga kelapa sawit dan produk olahannya yang mengalami peningkatan. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh bertambahnya


(13)

18

luas lahan perkebunan kelapa sawit dan peningkatan produktivitas tanaman sebagai hasil dari upaya peremajaan tanaman yang dilakukan.

Masalah yang perlu diantisipasi adalah menurunnya produksi CPO. Masalah lain adalah melemahnya mekanisme harga pasar, sulitnya memberikan petunjuk teknik budidaya sehingga perkebunan tersebut dapat dikelola dengan baik terutama dalam penyediaan maupun pemakaian pupuk. Selain itu, masalah yang diduga akan sangat mempengaruhi produksi kelapa sawit adalah peremajaan tanaman kelapa sawit agar lebih terencana dengan baik.

Pengekangan ekspor melalui kebijakan peningkatan PE CPO bukan saja merupakan disinsentif bagi sebagian besar pelaku industri, namun dapat menurunkan penerimaan keuangan negara dan terhambatnya kegiatan investasi dan perdagangan internasional dalam industri sawit.

Luas areal kelapa sawit Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh harga CPO (HCPO) pada tingkat kepercayaan 80 persen. Harga CPO berpengaruh nyata terhadap luas areal kelapa sawit, menunjukkan bahwa harga CPO mempengaruhi pertumbuhan luas areal kelapa sawit. Dimana, harga CPO domestik lebih baik dibandingkan dengan harga ekspor CPO yang secara langsung dapat menarik minat para pengusaha kelapa sawit untuk memperluas areal perkebunannya. Luas areal kelapa sawit tahun sebelumnya pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa, jika luas areal kelapa sawit tahun sebelumnya meningkat maka luas areal kelapa sawit tahun berikutnya akan mengalami peningkatan pula.

Produktivitas CPO berhubungan positif dengan harga pupuk dan produktivitas tahun sebelumnya. Mengingat pupuk sebagai input produksi yang dapat meningkatkan produktivitas CPO, maka jika produktivitas meningkat akan diikuti oleh meningkatnya harga pupuk. Ini membuktikan bahwa pengusaha perkebunan kelapa sawit akan tetap meningkatkan produktivitas CPO walaupun harga pupuk yang digunakan cenderung mengalami peningkatan. Sebaliknya harga ekspor CPO, dan harga CPO domestik, berhubungan negatif dengan produktivitas CPO. Peningkatan harga ekspor CPO tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas CPO. Harga CPO tidak akan meningkat dengan meningkatnya produktivitas CPO. Hal ini menunjukkan, bahwa harga riil CPO domestik tidak mampu menarik pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitasnya. Produktivitas CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap produktivitas CPO pada tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dollar berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO. Hal ini disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah yang mengakibatkan volume ekspor meningkat sedangkan kebutuhan domestik tidak terpenuhi. Pajak ekspor CPO berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO. Hal ini menunjukkan bahwa, jika pemerintah meningkatkan pajak ekspor maka jumlah CPO yang akan diekspor akan menurun. Peningkatan pajak ekspor tidak akan diikuti dengan volume CPO yang akan di ekspor. Dimana, dengan adanya pajak tersebut maka akan mengurangi penerimaan.

Pajak ekspor dan harga CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga CPO domestik pada tingkat kepercayaan 90 persen (pajak ekspor) dan 95 persen (harga CPO tahun sebelumnya). Pajak ekspor yang meningkat akan diikuti dengan meningkatnya harga CPO domestik. Sedangkan ekspor CPO tidak berpengaruh nyata baik pada tingkat kepercayaan 90 persen maupun 95 persen. Jika ekspor CPO menurun, maka harga CPO domestik akan meningkat. Ini


(14)

menggambarkan bahwa harga CPO di pasar internasional tidak lebih baik dibandingkan dengan harga di pasar domestik.

Produksi CPO berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya produksi CPO maka akan meningkatkan volume CPO yang akan diekspor. Ekspor CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan harga ekspor CPO, nilai tukar, pajak ekspor, dan harga BBM dunia tidak berpengaruh nyata. Harga ekspor CPO tidak responsif terhadap jumlah CPO yang akan dieskpor. Apabila harga ekspor CPO meningkat, maka jumlah CPO yang diekspor tidak meningkat. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal. Artinya, walaupun harga ekspor CPO tinggi tetapi tidak memberikan minat kepada produsen untuk dapat meningkatkan volume yang akan dieskpor. Kenaikan harga CPO tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jumlah CPO yang akan di ekspor.

Kebijakan pajak ekspor CPO diharapkan mampu memposisikan urutan prioritas secara tepat untuk mencari solusi terhadap masalah ekonomi yang mendesak. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PE hanya akan menambah mata rantai pungutan disamping biaya yang tak terduga dan yang selama ini telah meningkatkan ongkos produksi dan menghambat pertumbuhan sektor industri, khususnya dalam industri CPO. Hal ini semakin mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditekan oleh biaya tinggi. Implikasi persoalan ini secara sosial adalah penurunan daya serap sektor industri terhadap tenaga kerja semakin menurun.


(15)

20

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT

OLEH:

MARIA IRENE HUTABARAT A14105570

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(16)

Judul : Analisis Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit Nama : MARIA IRENE HUTABARAT

NRP : A14105570

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS NIP.131 430 801

Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019


(17)

22

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2008

Maria Irene Hutabarat


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 7 Juni 1984.

Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Saidi

Hutabarat dan Ibu Normintan Silalahi.

Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri Lubukpakam pada tahun

1990 dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun yang sama penulis

melanjutkan pendidikan di SMP Roma Katholik Lubukpakam dan lulus pada

tahun 1999. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan ke SMA 2 Lubukpakam

dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai

mahasiswa Program Diploma III Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas

Pertanian, Program Studi Teknologi Benih dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang

sama, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 Program Sarjana Ekstensi

Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi pengajar (privat) di

SD dan SMP dan sebagai peserta pengajar dalam Program Guru Tambahan yang

diselenggarakan oleh IPB Crisis Center. Penulis juga aktif pada berbagai kegiatan

organisasi kemahasiswaan yaitu pengurus GMKI Bogor dan UKM PMK IPB pada


(19)

24

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul ”Analisis Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor Terhadap

Kinerja Industi Kelapa Sawit”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan

Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi permasalahan

yang ada pada aspek produksi dan ekspor CPO Indonesia; menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal, produktivitas, produksi, ekspor CPO dan

harga CPO domestik; mengevaluasi kebijakan pajak ekspor yang dapat

mempengaruhi kinerja industri kelapa sawit.

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat menjadi referensi dan informasi

bagi pihak yang memerlukannya. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang

dapat dikerjakan penulis dengan menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari

sempurna. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada diharapkan dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2008

Maria Irene Hutabarat


(20)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

kasih dan berkat penyertaannya sehingga memberikan kekuatan dan kesehatan

dalam menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Papa dan Mama, yang selalu memberikan dukungan doa, materi, kasih sayang,

perhatian, dan semangat yang tiada henti untuk keberhasilan penulis.

2. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

memberikan bimbingan, dorongan, saran, dan perhatiannya yang sangat

membantu penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen evaluator yang telah banyak

memberikan masukan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji utama yang telah

memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Etriya, SP., MM selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah

memberikan masukan mengenai teknik penulisan karya ilmiah yang baik dan

benar.

6. Jumini yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar.

7. Rekan-rekan dari GMKI Cabang Bogor dan UKM IPB dari Komisi Pelayanan

Siswa (KPS).

8. Seluruh dosen, staf pengajar, dan staf sekretariat Ekstensi MAB yang telah

membantu kelancaran penulis mulai dari kuliah sampai dengan penulisan


(21)

26

9. Teman-teman Ekstensi: Sisca, Elferidah, Junita, Septina, Nova, Cici atas

dukungan dan semangat yang diberikan.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca

dan yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2008


(22)

DAFTAR TABEL ... i DAFTAR GAMBAR ... ii DAFTAR LAMPIRAN ... iii I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 5 1.4 Kegunaan Penelitian... 5 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Luas Areal Kelapa Sawit ... 7 2.2 Produksi CPO ... 8 2.3 Produktivitas CPO ... 9 2.4 Ekspor CPO ... 9 2.5 Harga CPO Domestik ... 10 2.6 Penelitian Terdahulu ... 12

III KERANGKA PEMIKIRANGRANGKA PEMIKIRAN ... 16

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 16 3.1.1 Teori Produksi ... 16 3.1.2 Teori Nilai Tukar... 16 3.1.3 Teori Perdagangan Internasional ... 17 3.1.4 Teori Ekspor-Impor ... 28 3.1.5 Konsep Perdagangan Internasional ... 32 3.1.6 Dampak Kebijakan Perdagangan ... 33 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 35

IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Jenis dan Sumber Data ... 39 4.2 Metode Analisis ... 39 4.3 Analisis Regresi ... 39 4.4 Model Ekonometrika... 43 4.5 Identifikasi Model ... 51 4.6 Pengujian Hipotesis... 52 4.6.1 Uji-F ... 53 4.6.2 Uji-t ... 54 4.6.3 Koefisian Determinasi ... 54 4.7 Pengujian Asumsi ... 56

4.7.1 Uji Multikolinearitas ... 56 4.7.2 Uji Normalitas... 56 4.7.3 Uji Autokorelasi ... 57 4.7.4 Uji Heteroskedastisitas ... 58 4.8 Definisi Operasional ... 58


(23)

iii

V GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT INDONESIA ... 61

5.1 Kebijakan Industri CPO Indonesia... 61 5.2 Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia ... 62 5.3 Perkembangan Produksi CPO Indonesia... 64 5.4 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia ... 66

VI ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP

INDUSTRI KELAPA SAWIT ... 69

6.1 Identifikasi Permasalahan Aspek Produksi dan Ekspor CPO

Indonesia... 69 6.2 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Areal

Kelapa Sawit Indonesia ... 70 6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

CPO Indonesia... 73 6.4 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO

Indonesia ... 75 6.5 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga CPO

Domestik ... 78 6.6 Evaluasi Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Industri Kelapa

Sawit ... 80

VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

7.1 Kesimpulan... 83 7.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN... 87


(24)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Identifikasi Model dengan Pengujian

Order Condition ... 52

2

3

Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Kelompok Usaha

Tahun 2001-2009**... Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia

Tahun 1987-2007...

63

72

4

5

6

Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas CPO Indonesia

Tahun 1987-2007 ...

Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia Tahun 1987-2007 ...

Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga CPO Indonesia Tahun 1987-2007 ...

74

76


(25)

v

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1

2

3

Product-Life Cycle...

Komponen Keunggulan Kompetitif Nasional ...

Proses Perdagangan Internasional

(Keseimbangan Parsial) ... 24

26

29

4 Kerangka Pemikiran Operasional ... 38

5

6

Model Ekonometrika Analisis Pengaruh Pajak Eksp Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ...

Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Kelompok Usaha

Tahun 2001-2009** ... 50

64

7 Perkembangan Produksi CPO Indonesia Menurut

Kelompok Usaha Tahun 2001-2009** ... 65

8 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia

Tahun 2001-2006 ………... 67

9 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Negara Produsen Utama Minyak Kelapa Sawit Dunia

Tahun 2000-2006 ... 87

2

3

Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia (Ribu

Ton) ...

Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan

Tahun 2006... 87

87

4 Hasil Output Eviews Persamaan Luas Areal

Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... 88

5 Hasil Output Eviews Persamaan Produktivitas CPO……… ………... 89

6 Hasil Output Eviews Persamaan Harga CPO... 90

7 Hasil Output Eviews Persamaan Ekspor CPO ……… ………... 91


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil

= CPO) terbesar kedua di dunia setelah Malaysia (Lampiran 1). Kebijakan

pungutan ekspor (PE) CPO hingga kini belum efektif menahan fluktuasi harga

minyak goreng di pasar domestik. Bahkan, menurut pengusaha sawit (Perkebunan

Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta), PE hanya akan

menguntungkan pemerintah, tetapi tidak memberi benefit bagi pengembangan

industri sawit nasional.

Sejak setahun terakhir pemerintah memberlakukan pungutan ekspor

bersifat progresif pada setiap transaksi ekspor minyak sawit mentah. PE progresif,

berarti besaran pungutan ekspor CPO yang dikenakan mengikuti harga patokan

ekspor atau HPE CPO di pasar Rotterdam.

Pemerintah meningkatkan pungutan ekspor sebagai salah satu instrumen

kebijakan. Peningkatan PE CPO diharapkan mampu mengurangi besarnya

kenaikan harga minyak goreng domestik. Pengembangan industri hilir melalui

instrumen peningkatan PE tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan

pengembangan infrastruktur dan insentif investasi, serta dapat mengancam

terjadinya involusi industri hulu, berkurangnya kesempatan kerja dan penerimaan

negara. Karenanya perlu dipilih instrumen-instrumen yang lebih efektif dan tepat

dalam mendorong industri hilir CPO ini. Prinsipnya adalah bahwa instrumen

kebijakan yang akan digunakan harus memberikan manfaat bagi industri secara


(28)

Besaran PE bulan berjalan ditetapkan berdasarkan HPE CPO bulan

sebelumnya. Artinya, persentase PE bulan April misalnya, ditentukan oleh harga

rata-rata CPO bulan Maret. Oleh karena itu, PE yang berlaku bulan Maret sebesar

15 persen, sebab HPE CPO di pasar Rotterdam Belanda mendekati US$ 1300 per

ton. Jika, selama bulan April mendatang rata-rata HPE melebihi US$ 1300 per

ton, maka pelaku industri yang menjual CPO-nya ke luar negeri akan dikenakan

biaya sebesar 20 persen6.

Kebijaan PE progresif dimaksudkan untuk mengurangi volume ekspor

CPO secara berlebihan. Seperti yang diketahui, peningkatan permintaan CPO

dunia mengakibatkan harganya melambung tinggi. Hal ini mendorong pemilik

kebun lebih memilih mengekspor dibanding menjualnya di pasar dalam negeri.

Akibatnya, pasokan CPO dalam negeri menyusut yang kemudian pabrik-pabrik

berbahan baku CPO kesulitan memperoleh pasokan. Untuk memenuhi CPO dalam

negeri inilah, PE akhirnya diberlakukan. Pemberlakuan PE mungkin akan

menguntungkan negara, yaitu pendapatan negara dari tarif bertambah. Pendapatan

dari tarif oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang seluruh

masyarakat bisa merasakannya.

Menurut Susila (2000), kebijakan pemerintah khususnya dalam hal

perdagangan akan menimbulkan distorsi pada pasar CPO. Hal ini juga didukung

oleh Salvatore (1997), yang menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan maka

akan menimbulkan harga di dalam negeri jauh lebih rendah atau lebih tinggi

daripada harga di pasar internasional. Hal inilah yang menjadi bahan

6


(29)

3

pertimbangan, bahwa masih perlunya dilakukan penelitian tentang analisis

pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit.

1.2 Perumusan Masalah

Pada bulan September 2007 pemerintah menaikkan pungutan ekspor untuk

CPO dan RBD Olein sebesar 7,5 persen7, yang sebelumnya sebesar 6,5persen8. Pada bulan November di tahun yang sama, pungutan ekspor CPO dan RBD Olein

naik lagi menjadi 10 persen9. Kenaikan pungutan ekspor terutama dipicu oleh meningkatnya harga minyak goreng di dalam negeri yang diakibatkan oleh

semakin langkanya pasokan CPO untuk pasar domestik. Produsen CPO lebih

cenderung menjual produknya ke luar negeri karena terjadi kenaikan harga yang

signifikan di pasar internasional.

Kenaikan pajak yang diharapkan pemerintah dimaksudkan untuk

memastikan pasokan CPO bagi industri dalam negeri mencukupi, agar harga

minyak goreng stabil. Sebelumnya, harga minyak goreng nasional melonjak

akibat harga CPO internasional naik setelah harga minyak mentah membumbung.

Pemerintah menaikkan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) menjadi 25

persen jika harga internasional mencapai US$ 1.300 per ton. Jika harga CPO US$

1.100 per ton (pungutan ekspor di atas 10 persen), tetapi kalau di bawah itu tetap

10 persen10.

7

http://www.tempointeraktif.com [11 januari 2008]

8

Loc.cit

9

Op.cit

10


(30)

Pengekangan ekspor melalui kebijakan peningkatan PE CPO bukan saja

merupakan disinsentif bagi sebagian besar pelaku industri, namun dapat

menurunkan penerimaan keuangan negara dan terhambatnya kegiatan investasi

dan perdagangan internasional dalam industri sawit. Rencana peningkatan PE

CPO dinilai merupakan kebijakan yang kontra produktif bukan saja akan menekan

daya saing produk CPO Indonesia di pasar dunia, tetapi dapat mengganggu

tatanan industri CPO dalam negeri dari hulu sampai hilir.

Perubahan kebijakan mempunyai dampak yang cukup luas pada industri

CPO Indonesia dan juga terhadap pasar CPO di pasar internasional karena

Indonesia termasuk eksportir terbesar kedua setelah Malaysia. Terhadap industri

kelapa sawit Indonesia, kebijakan tersebut berdampak terhadap luas areal,

produksi, ekspor, impor, harga domestik, lapangan kerja, nilai tambah, pendapatan

petani, dan kesejahteraan konsumen-produsen. Dampak-dampak tersebut

merupakan masalah penting yang harus diestimasi sehingga dapat ditetapkan

kebijakan perdagangan CPO Indonesia yang mampu mengoptimalkan

perkembangan industri CPO.

Beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

1. Bagaimanakah kinerja produksi dan ekspor CPO Indonesia selama ini?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi luas areal, produktivitas, ekspor

CPO dan harga CPO domestik?

3. Bagaimanakah pengaruh pajak ekspor CPO terhadap kinerja industri


(31)

5

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang hendak dijawab, maka penelitian ini

secara spesifik bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi permasalahan yang ada pada aspek produksi dan ekspor

CPO Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal, produktivitas,

ekspor CPO dan harga CPO domestik.

3. Mengevaluasi pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa

sawit.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan

maupun kebijakan ekspor CPO.

2. Bagi penulis sendiri, dapat menambah pengetahuan, wawasan dan

pengalaman serta latihan sebagai aplikasi ilmu-ilmu yang diperoleh selama

di bangku kuliah.

3. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam

melakukan studi lanjutan, pembuatan karya ilmiah dan juga diharapkan

dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan


(32)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Mengacu pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian

yang sudah diuraikan sebelumnya, maka ruang lingkup penelitian ini mengarah

pada perkembangan produksi dan pajak ekspor CPOdi Indonesia.

Keterbatasan penelitian ini antara lain hanya membahas pengaruh pajak

ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit. Penelitian ini juga tidak melakukan

uji validasi. Di samping itu, bentuk pengusahaannya juga tidak dibedakan antara

Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Besar Swasta,

sebab penelitian ini diarahkan pada total keseluruhan hasil produksi dari ketiga


(33)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luas Areal Kelapa Sawit

Komoditas kelapa sawit yang sangat potensial ini sangat didukung oleh

pemerintah yang ditandai dengan dikeluarkannya SK Menteri Pertanian

No.469/Kpts/KB/510/6/1985 mengenai upaya pengembangan luas lahan. Prospek

industri kelapa sawit yang semakin cerah baik di pasar domestik maupun

internasional memberikan peluang bagi industri untuk dapat lebih berkembang.

Luas areal merupakan salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi

produksi CPO. Peningkatan luas areal kelapa sawit di Indonesia merupakan akibat

dari meningkatnya perkembangan permintaan akan kelapa sawit. Luas lahan yang

potensial untuk pengembangan kelapa sawit Indonesia secara umum berada pada

pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua (Pusat Penelitian Kelapa Sawit,

2006).

Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia cenderung

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan luas areal dan produksi

kelapa sawit adalah akibat dari pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit

baik dari dalam maupun luar negeri. Industri ini sangat berperan dalam

menyediakan kesempatan kerja, menghasilkan devisa dan pendapatan negara,

serta menyediakan bahan baku bagi industri pangan, seperti minyak goreng. Peran

industri CPO dan produk turunannya akan terus berkembang, terutama dengan

adanya program energi alternatif, biodiesel, baik nasional maupun internasional.

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2006), permintaan domestik

terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga


(34)

per tahun. Tingginya permintaan CPO baik lokal maupun internasional sebagai

input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang

besar dalam perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Sementara itu, kebutuhan minyak sawit mentah dan turunannya di Indonesia dan

pasar dunia juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain,

seperti: minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari dan lain-lain

(Lampiran 2).

2.2 Produksi CPO

Kebijakan pemerintah khususnya dalam perluasan areal kelapa sawit

merupakan respon positif yang dapat mempengaruhi produksi CPO yang semakin

meningkat. Meningkatnya luas areal kelapa sawit di Indonesia tidak terlepas dari

campur tangan para pengusaha ataupun investor dengan maksud agar dapat

meningkatkan faktor produksinya.

Pada sisi produksi, Arifin (2001) menyatakan bahwa teknologi dapat

berupa suatu proses produksi atau bagaimana faktor-faktor produksi (input)

dikombinasikan untuk menghasilkan suatu produk (output). Perubahan teknologi

yang demikian merupakan cara mengkombinasikan faktor produksi. Sementara

itu, produktivitas dimaksudkan sebagai suatu ukuran efisiensi yang berupa rasio

produk dengan faktor produksi tertentu. Inovasi dan perubahan teknologi biasanya

mampu meningkatkan tingkat produksi sekaligus produktivitasnya (meningkatnya


(35)

9

2.3 Produktivitas CPO

Peningkatan produktivitas sektor pertanian merupakan kemajuan dan

perubahan teknologi. Adopsi teknologi pertanian yang padat karya (penggunaan

benih unggul, pupuk, dan pestisida) serta teknologi mekanis yang padat modal

(penggunaan traktor sederhana dan pembangunan sarana irigasi teknis, dan

sebagainya) secara langsung ataupun tidak langsung telah mewarnai peningkatan

produktivitas itu sendiri (Arifin, 2001).

Ketersediaan input (pupuk) memegang peranan penting dalam

meningkatkan produktivitas. Kebutuhan akan pupuk dalam meningkatkan

produktivitas tersebut diikuti oleh perkembangan harga pupuk yang cenderung

meningkat. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi harga suatu komoditi

(CPO) sebagai hasil produk pertanian. Harga CPO yang tinggi di pasar

internasional mengakibatkan para pengusaha lebih memilih untuk mengekspor

CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri.

2.4 Ekspor CPO

Secara teori suatu negara akan mengekspor suatu komoditi (misalnya

CPO), jika di negara asalnya mengalami kelebihan produksi. Kenyataannya,

pengusaha akan tetap mengekspor jika harga minyak sawit di pasar dunia jauh

lebih tinggi harganya dibandingkan dengan harga di pasar domestik.

Kecenderungan harga yang selalu meningkat ini dipengaruhi oleh keadaan

perekonomian Indonesia yang belum stabil.

Secara luas, Kindleberger dan Lindert (1995) mendefinisikan bahwa

penawaran ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik


(36)

bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan. Berdasarkan teori

tersebut, maka fungsi ekspor suatu negara dapat dituliskan sebagai berikut:

Xt = Qt – Ct + St

Dimana:

Xt = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Qt = Jumlah produksi komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Ct = Jumlah konsumsi komoditas suatu negara pada tahun ke-t

St = Jumlah persediaan komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Untuk membatasi ekspor CPO maka pemerintah mengenakan pajak ekspor

terhadap eksportir. Tujuannya, untuk menjamin kebutuhan dalam negeri,

melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga di pasar

internasional, hingga menjaga stabilitas harga dalam negeri. Kebijakan tarif

ekspor CPO dimulai pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan

Bersama (SKB) Mendagkop (No.275/KPB/X1/78), Mentan

(No.764/Kpts/UM/12/1978) dan Menperindag (No.252/M/SK/12/1978). Nilai

tukar dan harga bahan bakar minyak dunia diduga menjadi bahan pertimbangan

oleh pengusaha dalam mengekspor CPO.

2.5 Harga CPO Domestik

Menurut Salvatore (1997), penentuan harga di dalam perdagangan

internasional berdasarkan pada harga relatif dari komoditas yang dipertukarkan

pada masing-masing negara. Harga relatif komoditas dalam kondisi equilibrium

tercipta ketika proses perdagangan internasional telah berlangsung cukup lama.


(37)

11

dalam waktu yang cukup panjang sehingga tersedia cukup waktu bagi

kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan untuk saling bertemu dan menentukan harga

yang disepakati. Berdasarkan pengertian tersebut maka, dapat dirumuskan

persamaannya sebagai berikut:

Pt = f (Xt, Mt, Pt-1)

Dimana:

Pt = Harga komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Xt = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Mt = Jumlah impor komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Pt-1 = Harga komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Jika pemerintah melakukan devaluasi nilai tukar rupiah, maka akan terjadi

peningkatan ekspor. Sebab devaluasi akan menjadikan harga ekspor minyak sawit

Indonesia menurun untuk tingkat harga yang konstan. Devaluasi rupiah terhadap

dollar menyebabkan harga konstan di pasar dunia; nilai tukar rupiah terhadap

dollar menurun. Dengan demikian, importir minyak sawit akan membayar dengan

dollar yang lebih sedikit untuk nilai rupiah yang sama. Karenanya dilihat dari sisi

harga minyak sawit Indonesia menjadi turun yang dapat memacu peningkatan

ekspor dan diikuti oleh pengenaan pajak ekspor dalam membatasi ekspor tersebut.

Jika harga CPO domestik naik, maka biaya produksi akan naik pula. Dan

pada akhirnya akan memaksa produsen minyak sawit untuk menaikkan harga jual

di pasar domestik. Jika keadaan ini tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan

harga minyak sawit melebihi harga internasional maka akan timbul kesulitan


(38)

2.6 Penelitian Terdahulu

Menurut Prahastuti (2000), dalam penelitiannya yang mengambil judul

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO);

serta keterkaitan pasar CPO dan minyak goreng sawit di Indonesia, telah meneliti

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan luas areal kelapa sawit,

produksi CPO, ekspor CPO, produksi minyak goreng sawit, konsumsi CPO oleh

industri minyak goreng sawit, harga CPO domestik, harga ekspor CPO dan harga

minyak goreng sawit. Selain itu, penelitiannya juga bertujuan untuk mengetahui

tingkat ketekaitan antara pasar CPO dan minyak goreng sawit di Indonesia.

Penelitian ini membuktikan bahwa luas areal kelapa sawit di Indonesia

dipengaruhi oleh harga CPO domestik, harga pupuk, harga ekspor CPO, dan

tingkat suku bunga. Produksi CPO di Indonesia dipengaruhi harga CPO domestik

dan luas areal perkebunan kelapa sawit. Sedangkan ekspor CPO dipengaruhi oleh

harga CPO domestik, produksi CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar

Amerika. Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng sawit dipengaruhi oleh

ekspor CPO, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga CPO domestik dan

penewaran CPO domestik. Produksi minyak goreng sawit di Indonesia

dipengaruhi penawaran CPO domestik. Pembentukan harga CPO domestik

dipengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Harga ekspor

CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga dunia CPO dan produksi CPO Indonesia.

Harga minyak goreng sawit dipengaruhi fluktuasi harga CPO domestik.

Menurut Askadarimi (2007) tentang analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO) Indonesia, yang bertujuan


(39)

13

produktivitas, ekspor, impor minyak sawit, dan dampak perubahan pajak ekspor

CPO terhadap volume perdagangan minyak sawit Indonesia. Penelitian ini

menggunakan model persamaan simultan yang diduga dengan metode Two Stage

Least Square (2SLS) dengan menggunakan data tahun 1975 hingga tahun 2004,

sedangkan untuk menganalisis dampak penurunan pajak ekspor CPO terhadap

perdagangan CPO Indonesia silakukan simulasi. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia tergantung pada faktor-faktor

yang mempengaruhi luas areal kelapa sawit dan produktivitas minyak sawit

Indonesia. Oleh sebab itu, produksi dinyatakan dalam persamaan identitas.

Persamaan luas areal kelapa sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga

riil CPO domestik, harga karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa

sawit Indonesia dan luas areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya pada taraf

nyata lima persen dan 15 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) dari model sebesar 99.51 persen dan nilai F-hitung sebesar 1,2225.575. Berdasarkan nilai

elastisitas, harga riil CPO domestik, harga riil karet domestik, dan dummy

kebijakan perluasan areal kelapa sawit bersifat responsif pada jangka panjang.

Persamaan produktivitas berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen dan 10

persen, sedangkan harga riil pupuk domestik tidak berpengaruh nyata. Persamaan

ekspor minyak sawit berpengaruh secara nyata pada taraf 5 persen. Persamaan

impor berpengaruh nyata pada taraf 10 dan 15 persen. Pajak ekspor berpengaruh

nyata terhadap ekspor CPO Indonesia mengindikasikan bahwa perlunya

pemerintah memberlakukan kebijakan penurunan pajak ekspor CPO yang relatif


(40)

Menurut Nurdiyani (2007), yang berjudul analisis dampak rencana

penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao yang bertujuan

(1) menganalisis integrasi pasar kakao dunia dan dalam negeri, termasuk di

beberapa sentra kakao di Indonesia; (2) menganalisis dampak kebijakan pungutan

ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasinya terhadap

para stakeholder agribisnis kakao. Data yang digunakan dalam penelitian ini

berupa data primer (wawancara dengan pihak ASKINDO) dan sekunder (berupa

data harga bulanan kakao). Alat analisis yang digunakan adalah model integrasi

pasar berupa model Autoregressive Distributed Lag. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pasar kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak

tersegmentasi dalam jangka pendek. Dengan demikian harga yang terbentuk di

dalam negeri tidak dipengaruhi oleh perubahan ini tidak langsung diteruskan ke

pasar dalam negeri, pembentukan harga kakao di dalam negeri hanya dipengaruhi

oleh harga kakao sebelumnya di pasar domestik (pengaruhnya sebesar 71 persen)

dan dipengaruhi pula oleh harga bulan sebelumnya di dunia.

Widyanti (2007) tentang analisis integrasi pasar CPO dunia dengan

minyak goreng dan TBS domestik serta pengaruh tarif ekspor BBM dunia,

bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar CPO, minyak goreng, dan TBS

domestik; pengaruh tarif ekspor dan harga BBM dunia. Data yang digunakan

peneliti data deret waktu (time series) yang berjumlah 72 bulan (Januari 2001 –

Januari 2006). Pengolahan data dengan menggunakan pendekatan metode Vector

Autoregression (VAR), dan perangkat lunak Microsoft 4.0. Hasil penelitian


(41)

15

kebijaksanaan pemerintah dalam industri perkelapasawitan karena dengan adanya

tarif ekspor, ekspor CPO akan berkurang.

Berdasarkan pada penelitian terdahulu, maka persamaan penelitian ini

dengan penelitian terdahulu adalah komoditas yang diteliti yaitu CPO dan

menggunakan persamaan simultan; perbedaan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya adalah tujuan penelitian yang berbeda selain itu penelitian ini khusus

membahas tentang pengaruh pajak ekspor terhadap kinerja industri kelapa sawit.

Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dengan metode Two Stage Least


(42)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi

Menurut Lipsey (1995), bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat

komoditas, baik barang maupun jasa. Fungsi produksi adalah hubungan fungsi

yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input

dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002), menyatakan bahwa fungsi

produksi memperlihatkan jumlah output maksimum yang bisa diperoleh dengan

menggunakan berbagai alternatif kombinasi kapital (K) dan tenaga kerja (T).

Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam bentuk persamaan

aljabar. Secara sistematis fungsi produksi sebagai berikut:

Q = f (K, T, ...)

Dimana:

Q = output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu

K = kapital

T = tenaga kerja

f = menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output

3.1.2 Teori Nilai Tukar

Nilai tukar adalah harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam

mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Menurut Mankiw

(2003), kurs (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang

disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Kurs


(43)

17

adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah harga

relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat

dimana suatu negara bisa memperdagangkan barang-barangnya dari suatu negara

untuk barang-barang dari negara lain.

Kurs riil mempengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing

negara pengekspor dan pengimpor. Jika kurs riil rendah, harga barang-barang luar

negeri lebih mahal dan harga barang-barang domestik akan relatif lebih murah.

Apabila kurs riil tinggi maka barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan

barang-barang domestik relatif lebih mahal, sebagai akibatnya penduduk domestik

lebih berkeinginan untuk mengkonsumsi barang-barang impor dan orang asing

akan sedikit membeli barang kita.

3.1.3 Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang

lanjut jika dibandingkan dengan teori perdagangan internasional pada mulanya,

yaitu yang sering disebut sebagai Merkantilisme. Pada bagian di bawah ini

disampaikan perkembangan teori perdagangan internasional tersebut, uraian

perkembangan teori ini berasal dari tulisan Wild et al., (2008).

A. Merkantilisme

Teori perdagangan ini menyatakan bahwa negara-negara harus

mengumpulkan kekayaan finansial, biasanya dalam bentuk emas dengan

mendorong ekspor dan menghambat impor. Negara-negara yang menganut paham


(44)

merkantilisme antara lain Sir Josiah Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von

Hornich. Kebijakan merkantilisme berpusat pada dua ide pokok dalam bidang

perdagangan luar negeri:

1. Penumpukan logam mulia

2. Surplus perdagangan, hasrat yang besar untuk mencapai dan mempertahankan

kekuasaan nilai ekspor atas nilai impor.

Perkembangan ide tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan

usaha-usaha untuk mendirikan negara-negara nasional yang kuat di Eropa pada

waktu itu. Mereka melakukan pelayaran dan eksploitasi seperti ke Afrika, Asia,

Amerika Utara, Selatan dan Latin. Kolonisasi ini sangat menguntungkan

negara-negara kolonial, dan setiba di negara-negara yang menjadi koloninya dieksploitasi

sumberdayanya.

Tujuan utama kebijakan merkantilisme adalah pembentukan negara

nasional yang kuat dan pemupukan kemakmuran nasional untuk mempertahankan

dan mengembangkan kekuatan negara itu. Perdagangan luar negeri adalah alat

utama untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Josiah Child,

seorang pendukung merkantilisme (1630-1699) bahwa perdagangan luar negeri

menghasilkan kekayaan, kekayaan menghasilkan kekuasaan, kekuasaan

melindungi atau mempertahankan perdagangan.

Negara mengimplementasikan merkantilisme dengan cara: pertama,

negara meningkatkan kesejahteraannya dengan memelihara surplus perdagangan,

yaitu suatu kondisi dimana nilai ekspor suatu negara lebih besar dari nilai

impornya. Karena itu setiap negara wajib berusaha untuk memperoleh suatu


(45)

19

Surplus perdagangan dalam merkantilisme berarti bahwa suatu negara

mendapatkan lebih banyak emas atas penjualan produk ekspornya daripada

mengeluarkannya untuk produk impor. Suatu defisit perdagangan adalah kondisi

dimana nilai impor suatu negara lebih besar dari nilai ekspornya. Defisit

perdagangan dalam merkantilisme merupakan hal yang harus dihindari pada

setiap biaya-biaya.

Kedua, pemerintah suatu negara mengintervensi perdagangan

internasional, dengan memelihara surplus perdagangan. Menurut merkantilisme

surplus perdagangan, timbunan kekayaan tergantung atas kenaikan surplus

perdagangan suatu bangsa, bukan dengan memaksa menambah nilai atau volume

perdagangan. Pemerintah merkantilis melakukan surplus perdagangan dengan

melarang impor secara resmi atau menciptakan berbagai macam

pembatasan-pembatasan impor seperti tarif atau kuota. Pada saat yang sama mereka

mensubsidi industri-industri di negaranya untuk memperluas ekspor.

Ketiga, negara-negara merkantilis akan melakukan kolonialisasi ke seluruh

dunia dengan mengeksploitasi bahan baku dan perluasan pasar sehingga harga

produk akhirnya menjadi lebih tinggi. Sumber bahan baku yang esensial meliputi

teh, gula, tembakau, karet dan katun.

Saat ini banyak negara mencoba untuk memelihara surplus perdagangan

melalui praktek neo-merkantilisme atau nasionalisme ekonomi. Jepang sering

dipandang mempraktekkan neo-merkantilisme, karena secara konsisten

memelihara surplus perdagangan yang tinggi dengan beberapa negara industri,


(46)

neo-merkantilisme dengan mitra dagangnya mendorong team ekspor dimasa ekonomi

yang sulit di masa lalu.

Masalah utama dengan merkantilisme adalah bahwa aliran ini memandang

perdagangan internasional sebagai zero–sum game, dimana memandang sebuah

negara hanya mendapatkan keuntungan bila mengorbankan negara lain. Namun,

bila semua negara membentengi pasarnya dari impor dan memaksakan ekspornya

kepada negara lain, maka perdagangan internasional akan sangat terbatas. Juga

kebijakan kolonial membuat pasar-pasar potensial tetap miskin karena pasar-pasar

tersebut hanya menerima sedikit uang bagi bahan baku/mentah, namun dikenakan

harga yang tinggi untuk barang jadi.

Usaha untuk memupuk logam mulia melalui surplus ekspor tidak akan

berhasil. Surplus ekspor yang harus dibayar dengan logam mulia menimbulkan

kenaikan dalam jumlah uang yang beredar yang langsung akan mendorong ke

arah naiknya harga barang-barang dan jasa.

B. Keunggulan Absolut

Ekonom Skotlandia Adam Smith, menempatkan keunggulan absolut pada

urutan pertama dari empat teori perdagangan di tahun 1776. Kemampuan suatu

negara untuk memproduksi dengan baik dan efisien dibanding negara lainnya

disebut keunggulan absolut. Dengan kata lain, negara yang mempunyai

keunggulan absolut dapat menghasilkan keluaran yang lebih baik dengan

menggunakan sumberdaya yang lebih sedikit atau sama dibanding negara lain.

Alasan Smith diantaranya adalah bahwa perdagangan internasional akan sangat


(47)

21

Suatu negara dapat berkonsentrasi pada pembuatan suatu barang yang punya

keunggulan dari negara lain yang membutuhkannya tapi tidak memproduksinya.

Teori ini tidak menilai suatu negara dengan berapa banyak emas dan perak yang

dimiliki tetapi dinilai dari kehidupan standar (kesejahteraan warganya). Kekuatan

teori keunggulan absolut memperlihatkan keuntungan yang ada merupakan suatu

masalah yang potensial.

C. Keunggulan Komparatif

Ekonom Inggris bernama David Ricardo membangun teori keunggulan

komparatif pada tahun 1817. Suatu negara mempunyai keunggulan komparatif

ketika negara tersebut tidak bisa memproduksi barang secara lebih efisien dari

negara lain, tetapi dapat memproduksinya secara lebih efisien dibanding barang

lain. Dengan kata lain, perdagangan tetap menguntungkan jika suatu negara tidak

efisien dalam memproduksi dua barang, selama dapat memproduksi salah satu

barang secara lebih efisien dari barang lain.

D. Teori Faktor Proporsi/Teori Heckscher-Ohlin

Di awal tahun 1900, teori perdagangan lebih terfokus pada proporsi

(supply) sumber daya suatu negara. Biaya-biaya sumberdaya sederhana untuk

permintaan dan penyediaan. Faktor supply permintaan akan relatif lebih mahal

dari faktor-faktor supply permintaan relatif. Teori faktor proporsi menyatakan

suatu negara akan memproduksi dan mengekspor barang-barang yang


(48)

yang memerlukan sumberdaya yang lebih sedikit ketersediaannya di suatu negara.

Teori ini muncul dari penelitian dua ekonom Heckscher-Ohlin.

Teori faktor proporsi berbeda dengan teori keunggulan komparatif

menyatakan suatu negara akan berspesialisasi menghasilkan barang jika dapat

memproduksinya secara lebih efisien dari barang lainnya. Selanjutnya fokus dari

teori keunggulan absolut adalah pada produktifitas dari proses produksi beberapa

barang. Sangat kontras, teori faktor proporsi menyatakan suatu negara akan

berspesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor barang yang memerlukan

faktor produksi yang banyak tersedia dan murah bukan barang-barang yang paling

produktif.

Teori faktor proporsi membagi sumberdaya suatu negara menjadi dua

kategori, yaitu tenaga kerja dan lahan serta peralatan modal. Prediksinya suatu

negara akan berspesialisasi dalam memproduksi suatu barang yang memerlukan

tenaga kerja jika biaya tenaga kerja relatif lebih murah dari biaya lahan dan

peralatan modal. Alternatif lain suatu negara akan berspesialisasi dalam

memproduksi suatu barang yang memerlukan lahan dan peralatan modal jika

biayanya lebih murah dari biaya tenaga kerja.

Meskipun seruan konsep teori faktor proporsi tidak mendukung dengan

studi terjadinya perdagangan internasional, yang pertama kali menemukan dan

mengungkapnya melalui riset adalah Liontief pada awal 1950. Liontief

mengemukakan bahwa Amerika dengan sumberdaya modalnya mengekspor

barang yang membutuhkan sumber daya modal dan mengekspor barang-barang


(49)

23

penyimpangan antara prediksi teori faktor proporsi dengan yang terjadi pada

perdagangan internasional dan dinamakan penyimpangan Liontief.

E. Internasional Product Life Cycle (Teori Daur Hidup Produk Internasional)

Raymond Vernon menyatakan teori perdagangan ini di tahun 1960 untuk

barang-barang hasil industri. Teorinya menyatakan bahwa suatu negara akan

mulai mengekspor produknya dan kemudian menginvestasikan sejalan dengan

daur hidup produknya. Teori itu menjelaskan mengapa suatu negara mengekspor

sebelum mengimpor barang yang sama.

Walaupun Vernon membangun model tersebut berdasarkan keadaan yang

ada di Amerika, hal itu dapat digeneralisasikan untuk pasar-pasar inovasi di dunia,

seperti Australia, Uni Eropa, Jepang dan Amerika Utara. Gambar 1 menjelaskan

proses terjadinya aliran perdagangan dari teori tersebut. Teori daur hidup produk

internasional mengikuti tahapan siklusnya (dari baru menjadi matur dan standar)

dimana produk tersebut diproduksi. Pada saat produk baru, tahap pertama terdapat

kekuatan pembelian dan permintaan pembeli dalam industri suatu negara dengan

desain dan konsep baru produk. Karena permintaan dalam negeri sangat tinggi,

perusahaan memproduksi untuk mencukupi kebutuhan di dalam negaranya

sendiri.

Pada saat produk matur, pasar domestik dan pasar-pasar lainnya telah

sadar akan keberadaan dan kegunaan produk serta keuntungannya. Dalam waktu

singkat permintaan meningkat, ekspor dimulai untuk meningkatkan pangsa

penjualan, inovasi perusahaan terus berjalan dan diproduksi tetapi di dalam negeri


(50)

Gambar 1. Product-Life Cycle Sumber: Wild et al., 2008

Pada saat produk standar, persaingan semakin ketat menyebabkan adanya

tekanan pada perusahaan untuk mempertahankan penjualan yang ada. Pasar

menjadi sensitif pada harga, perusahaan mulai mencari dengan agresif biaya-biaya

produksi yang murah untuk mensupply pertumbuhan pasar dunia. Lebih baik

memproduksi di tempat lain dan pasar dalam negeri akan lebih baik

mengimpornya.

F. Keunggulan Kompetitif Nasional

Michael Porter mengungkapkan sebuah teori pada tahun 1990 untuk

menggambarkan kenapa beberapa negara adalah pemimpin dalam produksi dari

produk khusus. Teori keunggulan kompetitif nasional yang diungkapkan Porter

mengatakan bahwa sebuah daya saing nasional dalam suatu industri tergantung

pada kapasitas industrinya untuk inovasi dan meningkatkan diri. Porter bekerja

menggabungkan beberapa elemen tertentu dari teori perdagangan internasional


(51)

25

Porter tidak hanya menjelaskan pola ekspor dan impor nasional, tetapi juga

menjelaskan kenapa beberapa negara lebih kompetitif dalam beberapa industri.

Porter mengidentifikasi empat elemen yang diperlihatkan semua negara untuk

bermacam tingkatan yang membentuk dasar dari daya saing nasional (Gambar 2),

yang terdiri dari (1) faktor kondisi; (2) kondisi permintaan; (3) industri terkait dan

pendukung; (4) strategi perusahaan, struktur, dan persaingan.

Adapun beberapa elemen dan strategi untuk dapat saling terkait dalam

mendukung daya saing nasional, yaitu: Kondisi Faktor. Teori faktor proporsi mempertimbangkan sumber daya nasional, seperti tenaga kerja, sumber daya

alam, iklim, atau kondisi permukaan, seperti faktor terpenting dalam penentuan

produk negara yang akan diproduksi dan diekspor.

Faktor Keahlian. Faktor keahlian termasuk di dalamnya seperti tingkat keahlian segmen yang berbeda dari tenaga kerja dan kualitas teknologi

infrastruktur di suatu negara. Faktor keahlian menghasilkan investasi dalam

pendidikan dan inovasi seperti dalam pelatihan pekerja dan penelitian dan

pengembangan teknologi. Mengingat faktor dasar dapat menjadi cetusan awal

untuk kenapa seorang ahli ekonomi memulai memproduksi sebuah produk

khusus, akun faktor keahlian untuk menyokong keuntungan kompetitf sebuah

negara menikmati produk tersebut.

Kondisi Permintaan. Pembeli yang bijaksana di dalam pasar dalam negeri adalah penting bagi keuntungan kompetitif nasional dalam sebuah area

produk. Sebuah pasar domestik yang bijaksana mendorong perusahaan untuk

memodifikasi produk yang ada termasuk mendesain fitur baru dan


(52)

dengan pembeli yang bijaksana harus melihat persaingan dari seluruh peningkatan

group. Sebagai contoh, pasar perangkat lunak komputer AS yang bijaksana telah

membantu perusahaan memberi dasar di Amerika Serikat sebuah batas dalam

pengembangan produk perangkat lunak baru.

Strategi Perusahaan, Struktur, dan

Persaingan

Industri Terkait dan Pendukung Faktor

Kondisi

Kondisi Permintaan

Gambar 2. Komponen Keunggulan Kompetitif Nasional Sumber: Wild et al., 2008

Industri Terkait dan Pendukung. Perusahaan yang memiliki sebuah industri yang berdaya saing internasional tidak dapat menutup diri. Sepertinya,

industri pendukung bermunculan guna menyediakan input yang dibutuhkan oleh

industri. Hal ini dapat terjadi saat perusahaan mendapatkan keuntungan dari

produk atau teknologi proses dari sebuah awal industri berdaya saing internasional


(53)

27

geografi yang sama. Kehadiran dari kelompok ini memberikan penguatan pada

produktivitas, dan oleh karena itu daya saing dari setiap industri tanpa

pengelompokan. Sebagai contoh, Italia adalah tempat bagi sebuah kelompok yang

sukses dalam industri sepatu yang memiliki keuntungan yang besar dari negara

penyamakan kulit dan industri disain mode.

Jumlah yang relatif kecil dari kelompok biasanya tercatat untuk sebuah

pembagian utama dari aktivitas ekonomi regional. Mereka biasanya juga mencatat

untuk pembagian mayoritas dari aktivitas ekonomi yaitu “ekspor” ke lokasi lain.

Pengelompokan eksportir yaitu mereka yang mengekspor produk atau melakukan

investasi untuk bersaing di luar area lokal adalah sumber daya utama dari sebuah

area kemakmuran jangka panjang. Walaupun permintaan untuk industri lokal

menjadi terbatas sifatnya dengan jumlah dari pasar lokal, sebuah kelompok

pengekspor dapat tumbuh jauh melampaui batasnya.

Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan. Keputusan strategis perusahaan memiliki dampak yang panjang pada kemampuan daya saing di masa

mendatang. Perhatian manajer-manajer untuk menghasilkan produk berkualitas

yang bernilai bagi pembeli ketika memaksimumkan pangsa-pasar perusahaan dan

atau pengembalian keuangan adalah penting. Tetapi manajer dengan keahlian

tinggi tidak terlalu dibutuhkan. Padanan yang penting adalah struktur industri dan

persaingan antar perusahaan-perusahaan nasional. Perhatian lebih pada ketahanan

adalah kemampuan bertahan diantara perusahaan domestik nasional, semakin

besar akan menjadi daya saingnya. Penekanan daya saing membantu mereka

untuk bersaing melawan impor dan melawan perusahaan yang mungkin


(54)

Pemerintah dan Perubahan. Di luar dari empat faktor yang diidentifikasi sebagai bagian dari berlian Porter, Porter mengidentifikasi peran pemerintah dan

perubahan dalam membantu perkembangan daya saing nasional dari industri.

3.1.4 Teori Ekspor Impor

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh

penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan

bersama11. MenurutSalvatore (1997) perdagangan internasional dalam arti sempit merupakan suatu masalah yang timbul akibat adanya pertukaran komoditas suatu

negara.

Suatu negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak

menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu dan

dalam waktu yang bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditas yang

produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara

tersebut (Salvatore, 1997). Secara teoritis, negara A akan mengekspor komoditas

X kepada negara B apabila harga domestik komoditas tersebut (sebelum

terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik

di negara B. Hal ini terjadi karena adanya kelebihan penawaran (excess supply) di

negara A, yaitu produksi domestik lebih tinggi daripada konsumsi domestik. Hal

ini menggambarkan bahwa negara A memiliki faktor produksi yang relatif

melimpah. Kondisi ini menciptakan peluang bagi negara A untuk menjual

kelebihan produksinya kepada negara lain. Di lain pihak, negara B mengalami

kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya melebihi produksi

11


(55)

29

domestiknya (excess demand) sehingga tingkat harga domestik menjadi tinggi.

Keadaan ini menimbulkan negara B berkeinginan untuk membeli komoditas X

dari negara lain yang harganya lebih murah. Jika terjadi komunikasi antara kedua

negara tersebut maka akan menyebabkan adanya perdagangan, dalam hal ini

negara A mengekspor komoditasnya ke negara B.

Panel A Panel B Panel C

Pasar di Negara 1 Hubungan Perdagangan Pasar di Negara 2 untuk Komoditi X Internasional Komoditi X untuk Komoditi X

Px/Py Px/Py Px/Py

Sx

P3 Sx A" P3

S A'

P2 B E B* E* B' E'

D Impor Dx

P1 A*

A Dx

0 x 0 x 0 x

Gambar 3. Proses Perdagangan Internasional (Keseimbangan Parsial) Sumber: Salvatore, 1997

Keterangan:

Px/Py : Harga relatif komoditi X

P1 : Harga domestik komoditi X di Negara 1 tanpa perdagangan

internasional

P2(E*) : Harga komoditi X setelah terjadi perdagangan internasional

P3 : Harga domestik komoditi X di negara 2 tanpa perdagangan

internasional


(56)

A’ : Keseimbangan di Negara 2

B-E : Jumlah yang diekspor oleh Negara 1

B’E’ : Jumlah yang diimpor oleh Negara 2

Secara spesifik, panel A (Gambar 3) memperlihatkan bahwa dengan

adanya perdagangan internasional, negara 1 akan mengadakan produksi dan

konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P1, sedangkan

negara 2 akan berproduksi dan mengkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif

P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara keduanya, harga relatif

komoditi X akan berkisar antara P1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut

cukup besar (kekuatan ekonominya). Jika harga yang berlaku di atas P1, maka

negara 1 akan memasok atau memproduksi komoditi X lebih banyak daripada

tingkat permintaan domestik.

Kelebihan produksi tersebut selanjutnya akan diekspor (panel A) ke negara

2. Jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka negara 1 akan mengalami

peningkata permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada produk

domestik. Hal tersebut akan mendorong negara 2 untuk mengimpor kekurangan

kebutuhan atas komoditi X itu dari negara 1 (panel C).

Panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P1, kuantitas

komoditi X yang ditawarkan (QSx) akan sama dengan kuantitas yang diminta

(QDx) oleh konsumen di negara 1, dan demikian pula halnya dengan negara 1

(jadi negara ini tidak akan mengekspor komoditi X sama sekali). Hal tersebut

memunculkan titik A* pada kurva S pada panel B (yang merupakan kurva

penawaran ekspor negara 1). Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan


(57)

31

dibandingkan dengan tingkat permintaan untuk komoditi X (QDx), dan kelebihan

itu sebesar BE. Kuantitas BE itu merupakan kuantitas komoditi X yang akan

diekspor oleh negara 1 pada harga relatif P2. BE sama dengan B*E* dalam panel

B, dan disitulah terletak titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran

ekspor komoditi X dari negara 1 atau S.

Sementara itu, panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P3

maka penawaran dan permintaan untuk komoditi X akan sama besarnya atau QDx

= QSx (titik A’), sehingga negara 2 tidak akan mengimpor komoditi X sama

sekali. Hal tersebut dilambangkan dengan oleh titik A’ yang terletak pada kurva

permintaan impor komoditi X negara 2 (D) yang berada di panel B. Panel C itu

juga menunjukkan bahwa berdasarkan harga relatif P2 akan terjadi kelebihan

permintaan (QDx lebih besar dari QSx) sebesar B’E’. Kelebihan itu sama artinya

dengan kuantitas komoditi X yang akan diimpor oleh negara 2 berdasarkan harga

relatif P2. Lebih lanjut, jumlah itu sama dengan B*E* pada panel B yang menjadi

kedudukan E*. Titik ini sendiri melambangkan jumlah atau tingkat permintaan

impor komoditi X dari penduduk di negara 2 (D).

Berdasarkan harga relatif P2, kuantitas impor komoditi X yang diminta

oleh negara 2 (yakni B’E’ dalam panel C) sama dengan kuantitas ekspor komoditi

X yang ditawarkan oleh negara 1 (yaitu BE dalam panel A). Hal tersebut

diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan S setelah komoditi X

diperdagangkan diantara kedua negara tersebut (panel B). Dengan demikian P2

merupakan harga relatif ekuilibrium untuk komoditi X setelah perdagangan

internasional berlangsung. Dari panel B tersebut kita juga dapat melihat bahwa


(58)

akan melebihi tingkat impor sehingga lambat laun harga relatif komoditi X itu

(Px/Py) akan mengalami penurunan sehingga pada akhirnya akan sama dengan P2.

Dilain pihak apabila Px/Py lebih kecil dari P2, maka kuantitas impor komoditi X

yang diminta akan melebihi kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan

sehingga Px/Py pun akan meningkat dan pada akhirnya akan sama dengan P2.

3.1.5 Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa

yang terjadi melampaui batas-batas antar negara. Perdagangan internasional

diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang dimungkinkan oleh spesialisasi.

Masing-masing negara akan memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukan

secara efisien sementara negara tersebut akan berdagang dengan negara lain untuk

memperoleh barang dan jasa yang tidak diproduksinya (Lipsey, 1997).

Adapun faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan

internasional, di antaranya sebagai berikut12: (1) untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri; (2) keinginan memperoleh keuntungan dan

meningkatkan pendapatan negara; (3) adanya perbedaan kemampuan penguasaan

ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi; (4)

adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual

produk tersebut; (5) adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim,

tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan

hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi; (6) adanya kesamaan selera

terhadap suatu barang; (7) keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan

12


(59)

33

dukungan dari negara lain dan terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu

negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

Selanjutnya Salvatore (1997) mengemukakan bahwa pada dasarnya model

perdagangan internasional harus berlandaskan empat hubungan utama sebagai

berikut: (1) hubungan antar batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva

penawaran relatif; (2) hubungan antara harga-harga relatif; (3) penentuan

keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan permintaan relatif

dunia; (4) dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade)

yakni harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya terhadap

kesejahteraan suatu negara.

3.1.6 Dampak Kebijakan Perdagangan

Kebijakan adalah suatu keputusan atau ketetapan yang diambil oleh

pemerintah yang berfungsi untuk melindungi petani dalam negeri. Kebijakan

tersebut meliputi pengenaan pajak masuk kepada barang yang akan masuk ke

dalam suatu negara dengan harapan akan mengurangi persaingan yang akan

terjadi apabila produk tersebut juga dihasilkan oleh petani dalam negeri.

Pemberlakuan kebijakan pemerintah tersebut sebagai usaha untuk membantu

perekonomian bangsa terhadap berlakunya perdagangan bebas yang menuntut kita

siap bersaing.

Kebijakan yang sering diambil oleh pemerintah adalah kebijakan terhadap

barang ekspor dan kebijakan terhadap barang impor. Kebijakan ekspor

diberlakukan pada barang yang akan diekspor oleh produsen ke negara lain

dengan harapan agar barang tersebut tetap berada dalam negara sehingga


(1)

(2)

Lampiran 1. Negara Produsen Utama Minyak Kelapa Sawit Dunia Tahun 2000-2006

Volume (Ribu Ton) Tahun

Malaysia Indonesia Nigeria Colombia Thailand Lainnya Dunia 2000 10.842 7.001 740 524 525 2.186 21.818 2001 11.804 8.396 770 548 625 2.157 24.300 2002 11.909 9.622 775 528 600 2.210 25.644 2003 13.355 10.441 785 527 640 2.274 28.022 2004 13.976 12.326 790 632 668 2.493 30.885 2005 14.962 14.620 800 661 680 2.559 34.282 2006 15.881 16.000 815 708 780 2.649 36.833 Sumber: Oil World Annual

Lampiran 2. Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia (Ribu Ton)

Uraian Minyak Sawit

Minyak Kedelai

Minyak Rape Seed

M. Bunga Matahari

Minyak Kelapa

Lainnya Dunia 1993 13.200 17.760 9.645 7.730 2.930 34.875 86.122 Pangsa

(%)

15,3 20,6 11,2 9,0 3,4 40,5 100 2000 21.771 25.135 14.417 9.404 2.962 39.689 113.432 Pangsa

(%)

19,2 22,2 12,8 8,3 2,6 34,9 100 2005 33.156 32.879 15.914 9.546 3.047 43.666 138.208 Pangsa

(%)

24,0 23,8 11,5 6,9 2,2 31,6 100 Pert

(%/thn)

7.98 5,27 4,26 1,77 0,33 1,90 4,02 Sumber: Oil World Annual

Lampiran 3. Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 200

No. Negara Tujuan Volume (Ton) Nilai (Ribu US$) Persentase Volume (%) 1. India 1.893.813 738.263 36,42 2. Netherland 834.256 322.370 16,05 3. Malaysia 469.106 166.056 9,02 4. Singapura 489.370 185.473 9,41 5. Jerman 174.155 68.950 3,35 6. Lainnya 1.338.587 512.555 25,75

Total 5.199.287 1.993.667 100,00


(3)

Lampiran 4. Hasil Output E-views 4 Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit

Dependent Variable: LA

Method: Two-Stage Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

HCPO 163.4501 110.8340 1.474729 0.1597 HK 0.061407 0.115483 0.531737 0.6022 LA(-1) 0.854073 0.123765 6.900773 0.0000

C 236024.0 124655.3 1.893413 0.0765

R-squared 0.984007 Mean dependent var 3349243. Adjusted R-squared 0.981009 S.D. dependent var 1945552. S.E. of regression 268114.5 Sum squared resid 1.15E+12 F-statistic 328.1526 Durbin-Watson stat 2.069533 Prob(F-statistic) 0.000000

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

-400000 0 400000

Series: Residuals Sample 1988 2007 Observations 20

Mean -3.27E-10 Median -26577.91 Maximum 663023.8 Minimum -399571.8 Std. Dev. 246038.7 Skewness 1.095802 Kurtosis 4.444549

Jarque-Bera 5.741544 Probability 0.056655

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 0.099223 Probability 0.752764 White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 1.515883 Probability 0.262645 Obs*R-squared 11.54082 Probability 0.240450


(4)

Lampiran 5. Hasil Output E-views 4 Persamaan Produktivitas CPO

Dependent Variable: YCPO Method: Two-Stage Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

HXCPO -0.001931 0.002602 -0.742002 0.4695 HCPO -3.47E-05 0.000316 -0.110011 0.9139 HPU 2.15E-07 6.84E-07 0.314021 0.7578 YCPO(-1) 1.035493 0.306368 3.379901 0.0041

C 0.488164 1.304487 0.374219 0.7135 R-squared 0.694687 Mean dependent var 6.582000

Adjusted R-squared 0.613270 S.D. dependent var 0.905019 S.E. of regression 0.562810 Sum squared resid 4.751319 F-statistic 8.532475 Durbin-Watson stat 2.134846 Prob(F-statistic) 0.000849

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

Series: Residuals Sample 1988 2007 Observations 20 Mean 1.36E-15 Median -0.041374 Maximum 1.155536 Minimum -1.041695 Std. Dev. 0.500069 Skewness 0.457579 Kurtosis 3.333433 Jarque-Bera 0.790577 Probability 0.673486

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 0.673054 Probability 0.411989 White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 1.090539 Probability 0.501850 Obs*R-squared 15.06600 Probability 0.373658


(5)

Lampiran 6. Hasil Output E-views 4 Persamaan Ekspor CPO

Dependent Variable: XCPO Method: Two-Stage Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

HXCPO -273.6299 2052.441 -0.133319 0.8960 XR -70.65773 62.00509 -1.139547 0.2750 PE -1070429. 1049576. -1.019868 0.3264 PCPO 0.191685 0.094327 2.032129 0.0631 BBM 7037.825 23255.56 0.302630 0.7670 XCPO(-1) 0.647331 0.255764 2.530970 0.0251

C 62194.69 750165.0 0.082908 0.9352 R-squared 0.963940 Mean dependent var 2061385.

Adjusted R-squared 0.947297 S.D. dependent var 1753345. S.E. of regression 402516.3 Sum squared resid 2.11E+1

2

F-statistic 57.91892 Durbin-Watson stat 3.060044 Prob(F-statistic) 0.000000

0 1 2 3 4 5 6 7 8

****** -500000 0 500000

Series: Residuals Sample 1988 2007 Observations 20 Mean -5.68E-10 Median -23996.00 Maximum 464541.5 Minimum -754832.0 Std. Dev. 332949.5 Skewness -0.403517 Kurtosis 2.480148 Jarque-Bera 0.767959 Probability 0.681145

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 16.72381 Probability 0.053221 White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 8.097135 Probability 0.005149 Obs*R-squared 18.65599 Probability 0.097176


(6)

Lampiran 7. Hasil Output E-views 4 Persamaan Harga CPO

Dependent Variable: HCPO Method: Two-Stage Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

XCPO -6.53E-05 0.000138 -0.474264 0.6417 PE 1889.270 769.9864 2.453641 0.0260 HCPO(-1) 1.045586 0.147493 7.089037 0.0000

C -42.70839 287.3803 -0.148613 0.8837 R-squared 0.887412 Mean dependent var 2458.180

Adjusted R-squared 0.866302 S.D. dependent var 1653.450 S.E. of regression 604.5795 Sum squared resid 5848262. F-statistic 42.03711 Durbin-Watson stat 2.385526 Prob(F-statistic) 0.000000

0 1 2 3 4 5 6 7 8

-1000 -500 0 500 1000 1500

Series: Residuals Sample 1988 2007 Observations 20 Mean 1.48E-13 Median 26.64892 Maximum 1370.882 Minimum -1100.477 Std. Dev. 554.8002 Skewness 0.442096 Kurtosis 3.879251 Jarque-Bera 1.295733 Probability 0.523161

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Obs*R-squared 1.625004 Probability 0.202395 White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 5.153342 Probability 0.008604 Obs*R-squared 16.45265 Probability 0.058010