Analisa Pengaruh Bendung Terhadap Tanggul Banjir Sungai Ular

(1)

ANALISA PENGARUH BENDUNG TERHADAP TANGGUL

BANJIR SUNGAI ULAR

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

BIDANG STUDI TEKNIK SUMBER DAYA AIR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HABIBI EL HADIDHY

050404084


(2)

ABSTRAK

Bendung merupakan bangunan air yang berfungsi untuk menaikkan elevasi muka air. Bendung sungai Ular di Pulau Gambar direncanakan dapat mensuplai kebutuhan air irgasi untuk lahan pertanian yang sebelumnya hanya mengandalkan free intake. Maka, fenomena peninggian elevasi muka air banjir akan terjadi pada aliran sungai Ular sehubungan dengan adanya bendung khususnya daerah di bagian hulu. Salah satu cara yang paling tua dan dipakai secara luas untuk melindungi lahan dari air banjir akibat banjir adalah pendirian suatu penghalang untuk mencegah luapan atau biasa disebut tanggul banjir.

Untuk menghitung panjang dan elevasi tanggul di sepanjang sungai untuk banjir dengan periode ulang yang berbeda-beda digunakan kurva pengempangan. Perhitungan yang tepat untuk kurva pengempangan dapat dikerjakan dengan metode tahapan standar (standard step method) bila potongan melintang, kemiringan dan faktor kekasaran sungai ke arah hulu lokasi bendung sudah diketahui sampai jarak yang cukup jauh.

Dalam penentuan debit banjir rencana terlebih dahulu dilakukan analisa frekuensi dan penetapan sebaran data curah hujan kemudian diuji dengan chi kuadrat, dimana distribusi yang sesuai adalah distribusi Log Pearson Type III sehingga curah hujan rencana menggunakan distribusi Log Pearson Type III. Dari hasil analisa debit banjir rancangan, untuk merencanakan tanggul banjir digunakan debit banjir kala ulang 50 tahun dengan metode kombinasi Haspers-Log Pearson III dimana Q50 = 1.051,691 m3/detik, kombinasi Haspers-Haspers Q50 = 1.199,099 m3/detik, metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Q50 = 1.144,483 m3/detik, metode Melchior-Log Pearson III Q50 = 990,736 m3/detik dan Melchior-Haspers Q50 = 1.169,636 m3/detik. Hasil perhitungan dengan menggunakan standard step method menunjukkan bahwa terjadi peninggian elevasi muka air banjir setinggi 1,391 m sepanjang 1.700 m.

Berdasarkan analisa perhitungan didapat bahwa dengan adanya bendung terjadi peningkatan tinggi muka air sehingga direncanakan tanggul banjir yang mampu menahan debit banjir kala ulang 50 tahun dengan metode kombinasi Haspers-Haspers dengan panjang 1.700 m dengan tinggi jagaan 0,80 m dan kemiringan talud sebsar 1 : 2 agar dapat melindungi sawah dan pemukiman warga di Pulau Tagor dan Pulau Gambar.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Analisa Pengaruh Bendung Terhadap Tanggul Banjir Sungai Ular”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Terunajaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, Bapak Ir. Terunajaya, M.Sc, Bapak Ivan Indrawan, ST, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Ayahanda Drs. Syahrul AR El Hadidhy, SH, M.Si, dan Ibunda Zildanti Djalil, BA tercinta, yang selalu mendukung, membimbing, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Kepada abang ku Syahrozi El Hadidhy, adik-adikku Hafizi Tolanda El Hadidhy dan Ade Syambudi El Hadidhy terima kasih buat semua dukungan, motivasi dan rasa sayang nya buat penulis.

7. Bapak Medis Surbakti, ST, MT selaku dosen pembimbing akademis. 8. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera

Utara.

9. Abang/ Kakak pegawai Jurusan kak Lince, bg Zul, bg Mail, bg Edi, bg Amin, kak Dina, dan pegawai Fakultas Teknik USU bg Sadiman, bg Bowo, bg Daus, bg Bukit.

10.Buat sahabat-sahabatku di Siv05 :Gedoy, Mumun geboy UJ, Bdel, Af, Q-nul, Fandi, Asrul, Bocor, Rio, Ida, Nisa, Eni, Ina, Iqbal Aceh, Nandul, Buaya, Nasrul, Q-bow, Widokidoli-doli, Ica, Mak nyak, Ayah, Bdul, bg Yudo, Anggodon, Batamb, Bnu, Mizan, Vieka, Arie, Jabud, Kurnia, Rini, Zime’, Andri R, Ledod, Pieter, Ganda, Iqbal Binjai, Heidi, n semuanya terima kasih untuk selalu membantu dalam hal apapun (thanks buat kebersamaan kita).


(5)

11.Buat teman-teman seperjuangan di HMI : Andi, Yuda, Rora, Ratih, Budi, Razi, Gagah, Mora, Cibud, Bayu, Haikal, Asril, serta adik-adik pengurus : Toni, Vina, Ari, Andika, Ikhwan, Marlin, Robi, Riza, Galih dan semuanya. 12.Abang-abang senior ’99 terutama bang Qiqi, abang-abang ’02 bg Ai, bg

Bona, bg Sofyan, bg Rudi, bg Faisal, bg Irfan, bg Memed, dan semuanya, abang/kakak ’03 terutama bg Eger, dan kak Wiwid abang/kakak ’04 bg Rangga, Kak Dzi, bg Faisal, bg Iham, adik-adik ’06, ’07 dan ’08 dan buat semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

13.Bapak Thomson Sebayang, pak Medis, pak Snelman Sebayang, kak Risma, bg Nadeak, kak Wati, bg Yudi, kak Roma, pak Sentosa, pak Helmi Thalib, bg Arif, pak Budi, pak Tuapril dan bg Asrul.

Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, dan atas dukungan yang telah diberikan penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2010 Hormat Saya

Habibi El Hadidhy 05 0404 084


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Tujuan ... 2

I.3. Pembatasan Masalah ... 2

I.4. Identifikasi Masalah ... 3

I.5. Metodologi Penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN II.1. Siklus Hidrologi... 5

II.2. Hujan II.2.1. Pengertian Hujan ... 8

II.2.2 Karekteristik Hujan ... 9


(7)

B. Intensitas Curah Hujan ……… 10

C. Waktu Konsentrasi ……….. 11

II.2.4. Analisa Data Curah Hujan ……… 12

A. Menentukan Curah Hujan Areal ……… 12

B. Distribusi Frekuensi Curah Hujan ...……… 16

II.3. Daerah Aliran Sungai ... 24

II.3.1. Defenisi DAS Berdasarkan Fungsi ... 26

II.3.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi ... 27

II.4. Perhitungan Propil Aliran ... 30

II.4.1. Metode Integrasi Grafis ... 30

II.4.2 Metode Tahapan Langsung ... 31

II.4.3. Metode Tahapan Standar... 32

II.5. Bangunan Pengendali Banjir ……….. 33

II.5.1. Waduk Banjir ……… 35

II.4.2. Tanggul dan Tembok Banjir ... 37

BAB III METODOLOGI DAN DEKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1. Metodologi Penelitian ... 42

III.1.1. Inventarisasi Data Curah Hujan ... 42

III.1.2. Perhitungan Curah Hujan Rencana ... 43


(8)

III.1.4. AnalisaDebit Banjir ... 47

III.1.5. Meneliti luas daerah banjir, lama banjir... 55

III.1.6. Perencanaan Tanggul ……… 57

III.2. Lokasi Studi Penelitian ... 64

BAB IV ANALISA DEBIT BANJIR IV.1. Analisa Data Curah Hujan ... 67

VI.2. Penentuan Pola Distribusi Hujan ... 73

IV.3 Perhitungan Curah Hujan Rencana ………... 79

IV.3.1. Perhitungan Curah Hujan Rencana dengan Metode Log Pearson Type III. ……… 79

IV.3.2. Perhitungan Curah Hujan Rencana dengan Metode Haspers …. 87 IV.4. Perhitungan Debit Banjir ... 83

IV.4.1. Perhitungan Debit Banjir Rencana dengan Metode Haspers …. 91 IV.4.2. Perhitungan Debit Banjir Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ... 96

IV.4.3. Perhitungan Debit Banjir Rencana Metode Melchior ... 102

BAB V PERENCANAAN TANGGUL V.1. Hubungan Debit Banjir Dengan Tinggi Muka Air ... 111


(9)

V.3. Perencanaan Tinggi Tanggul ... 133

V.3. Kemiringan Talud ... ... 136

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan ... 140

VI.2. Saran ... 141

DAFTAR PUSTAKA ……… 142


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Uraian Hal

2.1 DAS dengan tinggi rata-rata 13

2.2 DAS dengan perhitungan curah hujan polygon Thiessen. 14

2.3 DAS dengan perhitungan curah hujan Isohyet 16

3.1 Poligon Thiesen pada DPS 49

3.2 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu 53

3.3 Kurva pengempangan 58

3.4 Potongan melintang tanggul 60

3.5 Metode Irisan Untuk Perhitungan Stabilitas Lereng Tanggul 61

3.6 DAS Ular 66

5.1 Sketsa Tinggi Muka Air Banjir Sungai Setelah Adanya Bendung 121

5.2 Perbandingan Elevasi Muka Air Sebelum Dan Sesudah

Adanya Bendung Metode Tahapan Standar 125

5.3 Sketsa Kurva Pengempangan 126

5.4 Perbandingan Elevasi Muka Air Sebelum Dan

Seudah Adanya Bendung Metode Kurva Pengempangan 129

5.5 Grafik Durasi Banjir Dengan Debit Banjir Metode HSS Nakayasu 132


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Uraian Hal

2.1 Rekomendasi Periode Ulang Minimum Banjir Rencana 31

3.1 Analisis Statistik Data Curah Hujan Stasiun 1, 2 & 3 43

3.2 Parameter statistik dengan sebaran logaritmatik 44

3.3 Kesesuaian Data Curah Hujan Terhadap Jenis Sebaran 46

3.4 Contoh tabel perhitngan lereng tanggul 64

4.1 Data Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Bangun Bandar 68

4.2 Data Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Silinda 69

4.3 Data Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Aek Pancur 70

4.4 Luasan Poligon Thiessen 71

4.5 Curah Hujan Harian Maksimum Wilayah Rata-Rata

Metode Poligon Thiessen 72

4.6 Urutan Peringkat Curah Hujan Harian Maksimum

Rata-Rata Metode Poligon Thiessen 73

4.7 Parameter Statistik dengan Sebaran Normal 74

4.8 Parameter Statistik dengan Sebaran Logaritmatik 76

4.9 Kesesuaian Data Curah Hujan Terhadap Jenis Sebaran 78

4.10 Nilai K Untuk Harga Cs = 1,0309 79

4.11 Batas Kelas Interval Untuk Distribusi Log Pearson III 84

4.12 Perhitungan Nilai Chi Kuadrat 84

4.13 Ringkasan Hujan Rancangan Periode Ulang 5, 10, 25, 30,


(12)

4.14 Standar Variabel (µ) 87 4.15 Tabel Perhitungan Curah Hujan Rencana Metode Haspers 87

4.16 Ringkasan Hujan Rancangan Periode Ulang 5, 10, 25, 30,

50, 100 Tahun Metode Haspers 90

4.17 Ringkasan Hujan Rancangan Periode Ulang 5, 10, 25, 30,

50, 100 Tahun Metode Log Pearson III dan metode Haspers 90

4.18 Ringkasan debit banjir metode Haspers-Haspers 94

4.19 Ringkasan debit banjir metode Haspers-Log Pearson III 95

4.20 Distribusi Hujan Satuan 96

4.21 Ordinat Terpilih HSS Nakayasu 99

4.22 Hujan Efektif Untuk Berbagai Kala ulang 100 4.23 Hidrograf Banjir Rancangan Berbagai Kala Ulang HSS Nakayasu 101

4.24 Ringkasan Hidrograf Banjir Beberapa Kala Ulang HSS Nakayasu 102

4.25 Perhitungan intensitas curah hujan 104 4.26 Ringkasan Hidrograf Banjir Beberapa Metode 107

4.27 Debit Banjir Maksimum yang Pernah Terjadi di Bandar Tiga 108

5.1 Perhitungan Tinggi Energi (H1) Sebelum Adanya Bendung

dengan Metode Tahapan Standar 114

5.2 Perhitungan Tinggi Energi (H1) Setelah Adanya Bendung 117

5.3 Perhitungan Nilai Ha 119

5.4 Perhitungan Tinggi Energi (H1) Setelah Adanya Bendung

dengan Metode Tahapan Standar 122

5.5 Perbandingan Tinggi Muka Air Banjir Sebelum dan

Sesudah Adanya Bendung Dengan Metode Tahapan Standar 124


(13)

5.7 Hubungan Banjir Dengan Durasi Limpasan 130

5.8 Penambahan Tinggi Tanggul Akibat Konsolidasi 133

5.9 Perencanaan Elevasi Tanggul 134


(14)

ABSTRAK

Bendung merupakan bangunan air yang berfungsi untuk menaikkan elevasi muka air. Bendung sungai Ular di Pulau Gambar direncanakan dapat mensuplai kebutuhan air irgasi untuk lahan pertanian yang sebelumnya hanya mengandalkan free intake. Maka, fenomena peninggian elevasi muka air banjir akan terjadi pada aliran sungai Ular sehubungan dengan adanya bendung khususnya daerah di bagian hulu. Salah satu cara yang paling tua dan dipakai secara luas untuk melindungi lahan dari air banjir akibat banjir adalah pendirian suatu penghalang untuk mencegah luapan atau biasa disebut tanggul banjir.

Untuk menghitung panjang dan elevasi tanggul di sepanjang sungai untuk banjir dengan periode ulang yang berbeda-beda digunakan kurva pengempangan. Perhitungan yang tepat untuk kurva pengempangan dapat dikerjakan dengan metode tahapan standar (standard step method) bila potongan melintang, kemiringan dan faktor kekasaran sungai ke arah hulu lokasi bendung sudah diketahui sampai jarak yang cukup jauh.

Dalam penentuan debit banjir rencana terlebih dahulu dilakukan analisa frekuensi dan penetapan sebaran data curah hujan kemudian diuji dengan chi kuadrat, dimana distribusi yang sesuai adalah distribusi Log Pearson Type III sehingga curah hujan rencana menggunakan distribusi Log Pearson Type III. Dari hasil analisa debit banjir rancangan, untuk merencanakan tanggul banjir digunakan debit banjir kala ulang 50 tahun dengan metode kombinasi Haspers-Log Pearson III dimana Q50 = 1.051,691 m3/detik, kombinasi Haspers-Haspers Q50 = 1.199,099 m3/detik, metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Q50 = 1.144,483 m3/detik, metode Melchior-Log Pearson III Q50 = 990,736 m3/detik dan Melchior-Haspers Q50 = 1.169,636 m3/detik. Hasil perhitungan dengan menggunakan standard step method menunjukkan bahwa terjadi peninggian elevasi muka air banjir setinggi 1,391 m sepanjang 1.700 m.

Berdasarkan analisa perhitungan didapat bahwa dengan adanya bendung terjadi peningkatan tinggi muka air sehingga direncanakan tanggul banjir yang mampu menahan debit banjir kala ulang 50 tahun dengan metode kombinasi Haspers-Haspers dengan panjang 1.700 m dengan tinggi jagaan 0,80 m dan kemiringan talud sebsar 1 : 2 agar dapat melindungi sawah dan pemukiman warga di Pulau Tagor dan Pulau Gambar.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Peralihan fungsi lahan pada daerah aliran sungai (DAS) memberikan pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir (Jayadi 2000). Hujan yang jatuh pada suatu tata guna lahan akan menguap, meresap dan menjadi aliran/limpasan permukaan. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.

Perubahan tata guna lahan pada kawasan konservasi menjadi kawasan terbangun dapat menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan. Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak 1995). Aliran/genangan air ini dapat terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampung sungai, maka akan menyebabkan banjir.

Peningkatan debit banjir juga dapat berdampak pada kegagalan bangunan pengendali banjir (bendung, tanggul, saluran drainase, dll). Hal ini disebabkan karena bangunan pengendali banjir tidak mampu menahan beban gaya akibat debit banjir yang telah mengalami peningkatan akibat perubahan tata guna lahan.


(16)

Bendung sungai Ular di Pulau Gambar direncanakan untuk dapat meninggikan elevasi muka air sungai Ular agar dapat mensuplai kebutuhan air irgasi untuk lahan pertanian yang sebelumnya hanya mengandalkan free intake. Maka, fenomena meningkatnya elevasi muka air banjir juga akan terjadi pada aliran sungai Ular sehubungan dengan adanya rencana bendung baru khususnya daerah di bagian hulu.

Bangunan pengendalian banjir sungai Ular sehubungan dengan rencana bendung baru haruslah mampu mengendalikan banjir dimana tanggul pengendali banjir di bagian hulu haruslah direncanakan sehubungan dengan adanya efek back water.

I.2. Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa banjir sungai Ular sehubungan dengan perencanaan bendung Sungai Ular, kemudian merencanakan tanggul banjir akibat pengaruh back water di hulu bendung.

Dengan demikian, maka diharapkan penelitian ini kelak dapat menjadi bahan masukan dalam pengendalian banjir serta dapat menanggulangi permasalahan banjir yang disebabkan oleh banjir sungai Ular.

I.3. Pembatasan Masalah

1. Curah hujan yang diambil pada penelitian ini adalah curah hujan maksimum harian selama 10 tahun.


(17)

2. Pada penelitian ini tanggul yang direncanakan adalah tanggul akibat pengaruh bendung Sungai Ular.

3. Tanggul banjir yang direncanakan adalah tanggul yang dapat mengendalikan debit banjir 50 tahunan.

I.4. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perubahan tinggi muka air banjir yang terjadi sehubungan dengan adanya bendung Sungai Ular.

2. Bagaimana pengaruh debit banjir terhadap tanggul banjir.

3. Apakah tanggul banjir sungai Ular masih mampu mengendalikan banjir serta bagaimana disain tanggul banjir yang tepat agar dapat mengendalikan banjir akibat adanya bendung Sungai Ular di Pulau Gambar.

I.5. Metodologi Penulisan Bab I. Pendahuluan

Merupakan bingkai studi atau rancangan yang akan dilakukan meliputi tinjauan umum, latar belakang, tujuan dan manfaat, ruang lingkup pembahasan, dan sistematika penulisan.

Bab II. Tinjauan Kepustakaan

Bab ini menguraikan tentang teori yang berhubungan dengan penelitian agar dapat memberikan gambar model dan metode analisis yang akan digunakan dalam menganalisa masalah.


(18)

Bab III. Metodologi Penelitian dan Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dan rencana kerja dari penelitian ini dan mendeskripsikan lokasi penelitian.

Bab IV. Analisa Debit Banjir

Merupakan analisa perhitungan debit banjir rancangan dengan menggunakan beberapa metode sehingga dapat diperkirakan tinggi muka air banjirnya.

Bab V. Perencanaan Tanggul

Bab ini membahas pengaruh bendung terhadap tinggi tanggul serta merencanakan tanggul sungai Ular sesuai dengan kebutuhan.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Merupakan kumpulan dari butir-butir kesimpulan hasil analisa dan pembahasan yang telah dilakukan. Kesimpulan juga disertai dengan rekomendasi yang ditujukan untuk penelitian selanjutnya atau untuk penerapan hasil penelitian di lapangan


(19)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

II.1. Siklus Hidrologi

Hidrologi adalah suatu ilmu tentang kehadiran dan gerakan air di alam. Secara khusus menurut SNI No. 1724-1989-F, hidrologi didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan dan di dalam tanah. Defenisi tersebut terbatas pada hidrologi rekayasa. Secara luas hidrologi meliputi pula berbagai bentuk air, termasuk transformasi antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi ini.

Daur atau siklus hidrologi gerakan air laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan akhirnya mengalir ke laut kembali. Siklus peristiwa tersebut sebenarnya tidaklah sesederhana yang kita bayangkan karena

Pertama, daur itu dapat berupa daur pendek, yaitu hujan yang segera dapat mengalir kembali ke laut.

Kedua, tidak adanya keseragaman waktu yang diperlukan oleh suatu daur. Selama musim kemarau kelihatannya daur seolah-olah berhenti, sedangkan dalam musim hujan berjalan kembali.

Ketiga, intensitas dan frekuensi daur tergantung kepada letak geografi dan keadaan iklim suatu lokasi. Siklus ini berjalan karena sinar matahari. Posisi matahari akan berubah-ubah setiap masa menurut meridiannya (meskipun sebenarnya posisi bumi yang berubah).


(20)

Keempat, berbagai bagian daur dapat menjdi sangat kompleks, sehingga kita hanya dapat mengamati bagian akhir saja terhadap suatu curah hujan di atas permukaan tanah yang kemudian mencari jalannya untuk kembali ke laut.

Air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah, sebagian kecil akan meresap (absorbsi) di dalam tanah (infiltrasi), sedang yang lainnya akan menjadi limpasan permukaan (surface run off). Air meresap ini ada yang keluar dan kembali ke permukaan melalui mata air (interflow), tapi sebagian besar akan tetap tersimpan dalam tanah (ground water). Air tanah ini umumnya membutuhkan waktu yang realtif lama untuk dapat muncul kembali ke permukaan, yang biasa disebut dengan limpasan air tanah. Semua bagian-bagian air yang disebut di atas tadi pada akhirnya akan mengalir menuju sungai, waduk, danau, ataupun laut.

Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:

 Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

 Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat


(21)

bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

 Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai (DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.

Dengan demikian ada empat macam proses dalam siklus hidrologi yang harus dipelajari oleh para ahli hidrologi dan para ahli bangunan air, yaitu:

a. prespitasi b. evaporasi c. infiltrasi d. surface run off

Seorang ahli hidrologi harus dapat menginterpretasikan data yang tersedia untuk studinya. Dari studinya itu harus dapat meramalkan suatu besaran ekstrim yaitu debit maksimum (banjir) atau debit minimum (debit-debit kecil).


(22)

II.2. Hujan

II.2.1. Pengertian Hujan

Terjadinya hujan disebabkan penguapan air, terutama air dari permukaan laut yang naik ke atmosfer, mendingin dan kemudian menyuling dan jatuh sebagian di atas laut dan sebagian ai atas daratan, sebagian meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sebagian di tahan tumbuh-tumbuhan (intersepsi), sebagian menguap kembali (evaporasi) dan sebagian menjadi lembab. Air yang meresap ke dalam tanah sebagian menguap melalui pori-pori di dalam tanah (evapotranspirasi) dan demikian pula air yang ditahan tumbuh-tumbuhan sebagian menguap(transpirasi), Air hujan yang menguap, yang meresap ke dalam tanah, yang ditahan tumbuh-tumbuhan dan transpirasi tidak ikut menjadi aliran air di dalam sungai dan disebut air hilang.

Para pakar hidrologi telah lama mengetahui bahwa dari seluruh jumlah prespitasi yang jatuh ke wilayah daratan, hanya seperempatnya yang kembali ke laut melalui limpasan langsung (direct runoff) atau aliran air tanah (ground water flow). Karena itu pada umumnya diyakini bahwa penguapan dari daratan merupakan sumber lengas yang utama bagi hujan di daratan. Kebanyakan gagasan untuk memperbesar hujan telah didasarkan atas anggapan (yang sekarang ternyata salah) bahwa hujan yang lebih besar dapat diperoleh dari peningkatan jumlah air di atmosfir. Sekarang disadari bahwa penguapan dari permukaan laut adalah sumber utama air hujan, dan diperkirakan tidak lebih dari sepuluh persen dari hujan di daratan berasal dari penguapan dari daratan.


(23)

Jika kita membicarakan data hujan, ada 5 buah unsur yang harus kita tinjau, yaitu:

a. intensitas i, adalah laju curah hujan = tinggi air per satuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, mm/hari

b. lama waktu atau durasi t, adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit atau jam.

c. tinggi hujan d, adalah banyaknya atau jumlah hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan dasar, dalam mm.

d. frekuensi, adalah frekuensi terjadinya hujan, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang (return period) T, misalnya sekali dalam T tahun.

e. luas, adalah luas geografis curah hujan A, dalam km2.

Hubungan antara intensitas, durasi dan tinggi hujan dinyatakan sebagai berikut:

=

I

t I idt d

0

... (2-1)

Intensitas rata-rata I dirumuskan sebagai berikut:

t d

i = ... (2-2)

II.2.2. Karakteristik Hujan A. Durasi Hujan

Durasi hujan adalah lamanya kejadian hujan yang diperoleh dari hasil pencatatan alat ukur hujan otomatis (dalam menitan, jam-jaman ataupun harian). Dalam perencanaan drainase, durasi hujan sering diakitkan dengan waktu konsentrasi, khusunya pada drainase permukaan


(24)

diperlukan durasi relatif pendek, mengingat akan toleransi lamanya genangan.

B. Intensitas Curah Hujan

Jika kita diminta untuk menyiapkan perencanaan teknik bangunan air, pertama-tama yang harus kita tentukan adalah berapa debit yang harus diperhitungkan dimana besarnya debit rencana ditentukan oleh intensitas curah hujan.

Intensiatas curah hujan adalah jumlah hujan dalam tiao satuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalam milimeter per jam. Besarnya intensitas curah hujan berbeda-beda, tergantung dengan lamanya curah hujan dan frekuensi kejadian.

Pada umumnya semakin besar durasi hujan t, intensitas hujannya semakin kecil. Jika tidak ada waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau karena disebabkan tidak adanya alat untuk mngamati, maka dapat ditempuh cara empiris dengan menggunakan rumus-rumus berikut ini:

- Talbot (1881)

b t

a i

+

= ... (2-3)

- Sherman (1905)

b

t a

i= ... (2-4)


(25)

b t

a i

+

= ... (2-5)

- Mononobe

3 / 2 24 24 24 

    =

t d

i ... (2-6)

dimana:

i = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = waktu (durasi) curah hujan, menit untuk persamaan (2-3), (24),

dan (2-5), dan jam untuk persamaan (2-6) a,b = konstanta

d24 = tinggi hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

C. Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan air untuk mengalir dari titik yang paling jauh pada aliran ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir saluran. Pada prinsipnyawaktu konsentrasi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

- Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir

di atas permukaan tanah menuju aluran drainase.

- Conduit time (td) yakni waktu yang diperlukan oleh air untuk

mengalir di sepanjang saluran drainase sampai ke titik kontrol yang diperlukan.

Waktu konsentrasi (tc) dapat dihitung dengan rumus berikut:

d

c t t


(26)

II.2.4. Analisa Data Curah Hujan

Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian meramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu.

A. Menentukan Curah Hujan Areal

Dengan melakukan penakaran dan pencatatan curah hujan, kita hanya mendapatkan data curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Jika dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka dapat diambil nilai rata-rata utnuk mendapatkan nilai mcurah hujan areal.

Ada tiga macam cara yang berbeda dalam menetukan tinggi curah hujan pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos pencatat curah hujan atau AWLR (Automatic Water Level Recorder), antara lain:

Cara Tinggi Rata-Rata (Arithmatic Mean)

Cara mencari tinggi rata-rata curah hujan di dalam suatu daerah aliran dengan cara arithmatic mean merupakan salah satu cara yang sangat sederhana. Biasanya cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun curah hujannya, dengan anggapan bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya adalah sama rata (uniform distribution). Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata pengukurna hujan di pos penakar hujan di dalam areal tersebut. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:


(27)

=

= + + + +

= n

i n

n d n

d d

d d d

1 1 3

2

1 .... ... (2-8)

Dimana:

d = tinggi curah hujan rata-rata (mm)

d1, d2, d3,...dn = tinggi curah hujan di stasiun 1,2,3,...,n (mm) n = banyaknya stasiun penakar hujan

Gambar 2.1. DAS dengan tinggi rata-rata

Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika stasiun-stasiun penakarnya ditempatkan secara merta di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh stasiun di seluruh areal.

Cara Poligon Thiessen

Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu poligon tertentu An. Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya = An/A, dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi curah hujannya. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara menjumlahkan pada masing-masing


(28)

penakar yang mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

A

d A d

A d A d A

d = 1. 1+ 2. 2+ 3. 3+... n. n= A

d Ai i

.

...(2-9)

Keterangan:

A = Luas areal (km2)

d = Tinggi curah hujan rata-rata areal d1, d2, d3,...dn = Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n A1, A2, A3,...An= Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n

Gambar 2.2. DAS dengan perhitungan curah hujan poligon Thiessen. Hasil perhitungan dengan rumus (2-9) lebih teliti dibandingkan perhitungan dengan rumus (2-8).


(29)

Cara Isohyet

Dalam hal ini kita harus menggambarkan dulu kontur dengan tinggi curah hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada gambar. Kemudian luas bagian diantara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur dan harga rata-ratanya dihitung sebagai harga rata-rata berimbang dari nilai kontur seperti terlihat pada rumus berikut ini:

n n n n A A A A d d A d d A A d d d ... 2 ... 2 2 2 1 1 2 1 1 0 + + + + + + = − ... (2-10)

+ = − i i i i A A d d d 2 1 ... (2-11) Dimana:

A = Luas areal (km2)

D = Tinggi curah hujan rata-rata areal D0, d1, d2,...dn =Tinggi curah hujan di pos 0, 1, 2,...n

A1, A2, A3,...An = Luas bagian areal yang dibatasi oleh isohyet-isohyet yang bersangkutan


(30)

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan stasiun penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat garis-garis Isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis Isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan.

B. Distribusi Frekuensi Curah Hujan

Sistem-sistem sumber daya air harus dirancang bagi hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang, yang tak dapat dipastikan kapan akan terjadi. Oleh karena itu, ahli hidrologi harus memberikan suatu pernyataan probabilitas bahwa aliran-aliran sungai akan menyamai atau melebihi suatu nilai yang telah ditentukan.

Probabilitas adalah suatu basis matematis bagi peramalan, dimana rangkaian hasil lengkap yang didapat merupakan rasio hasil-hasil yang akan menghasilkan suatu kejadian tertentu terhadap jumlah total hasil yang mungkin (disalin dari: ‘Webster’s 7th New Collegiate Dictionary,’ 1971).

Probabilitas-probabilitas tersebut penting artinya bagi evaluasi ekonomi dan social dari suatu perencanaan bangunan air. Perencanaan untuk mengendalikan banjir yang mempunyai probabilitas tertentu mengandung pengakuan bahwa kemampuan proyek sekali-sekali dapat dilampaui dan kerusakan harus dialami. Namun, biaya perbaikan kerusakan itu akan lebih murah setelah periode pengoperasian yang panjang jika dibandingkan dengan pembuatan bangunan yang khusus dimaksudkan sebagai perlindungan terhadapa keadaan yang paling buruk. Tujuan perencanaan itu


(31)

bukan untuk menghilangkan semua banjir tersebut, melainkan untuk mereduksi frekwensi banjirnya, yang berarti juga mengurangi kerusakan yang ditimbulkan.

Curah hujan rancangan dihitung berdasarkan analisis Probabilitas Frekuensi seperti yang yang mengacu pada SK SNI M-18-1989 tentang Metode Perhitungan debit banjir. Tujuan dari analisa distribusi frekuensi curah hujan adalah untuk memperkirakan besarnya variate-variate masa ulang tertentu.

Banyak macam distribusi teoritis yang kesemuanya itu dapat dibagi dua, yaitu diskrit dan kontinu. Diskrit diantaranya adalah Binominal dan Poisson, sedangkan kontinu adalah Normal, Log Normal, Gamma, Beta, Pearson dan Gumbel. Untuk menganalisis probabilitas banjir biasanya dipakai beberapa macam distribusi yaitu:

a. Gumbel

b. Log Pearson Type III c. Normal

d. Log Normal

Distribusi Gumbel

Menurut Gumbel (1941), persoalan tertua adalah berhubungan dengan nilai-nilai ekstrem datang dari persoalan banjir. Tujuan teori statistik nilai-nilai ekstrem adalah untuk menganalisis hasil pengamatan nilai ekstrem tersebut untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrem berikutnya.


(32)

Gumbel menggunakan teori nilai ekstrem untuk menunjukkan bahwa dalam deret nilai-nilai ekstrem X1, X2, X3, ..., Xn, dengan sampel-sampel yang sama besar, dan X merupakan variabel berdistribusi eksponensial, maka probabilitas kumulatifnya P, pada sebarang nilai di antara n buah nilai Xn akan lebih kecil dari nilai X tertentu (dengan waktu balik Tr), mendekati

) (

)

(

X

e

e a x b

P

=

− − − ... (2-12) Jika diambil Y = a(X-b), maka dapat menjadi

Y

e

e X

P( )= − − ...(2-13) Dengan e = bilangan alam = 2,7182818...

Y = reduced variate

Jika diambil nilai logaritmanya dua kali berurutan dengan bilangan dasar e terhadap rumus (2-1) didapat

{

}

[

ln ln ( )

]

1

X P ab

a

X = − − ... (2-14)

Waktu balik merupakan nilai rat-rat banyaknya tahun (karena Xn merupakan data debit maksimum dalam tahun), dengan suatu variate disamai atau dialmpaui oleh suatu nilai, sebanyak satu kali. Jika interval antara 2 buah pengamatan konstan, maka waktu baliknya dapat dinyatakan sebagai berikut :

) ( 1 1 ) ( X P X Tr


(33)

Ahli-ahli teknik sangat berkepentingan dengan persoalan-persoalan pengendalian banjir sehingga lebih mementingkan waktu balik Tr(X) dari pada probabilitas P(X), untuk itu rumus (2-3) diubah menjadi :

      − − = ) ( 1 ) ( ln ln 1 X T X T a b X r r r

r ... (2-16)

Atau       − − = ) ( 1 ) ( ln ln X T X T Y r r

r ... (2-17)

Chow menyarankan agar variate X yang menggambarkan deret hidrologi acak dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini

K

X =µ+σ. ... (2-18) Dengan µ = Nilai tengah (mean) populasi

σ = Standard deviasi populasi K = Factor frekwensi

Rumus (2-7) dapat diketai dengan sK

X

X = + ………..…. (2-19)

Dengan X = nilai tengah sampel s = Standard deviasi sampel

Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan humus berikut ini :

n s T S Y Y

K = − ………..….…. (2-20)

{

}

[

r r

]

T T T

Y =−ln−ln ( −1)/ ……… (2-21)


(34)

Yn= Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n Sn = Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n

Dari humus (2-19) dan (2-20)

s S Y Y X X n n T T − + = = n T n n S s Y S s Y

X − . + .

Jika dimasukkan a s Sn =

dan b

s s Y Xn. =

, maka

T

T Y

a b

X = +1 ……… (2-21)

Dengan XT = debit banjir waktu balik T tahun YT = Reduced variate

Distribusi Log Pearson Type III

Parameter-parameter statistic yang diperlukan oleh distribusi Pearson Type III adalah:

- Nilai tengah - Standard deviasi - Koefisien skewness

Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, the Hydrology Committee of the Water Resources Council, USA, menganjurkan, pertama kali mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritma kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya.


(35)

Karena transformasi tersebut, maka cara ini disebut log Pearson type III.

Dalam pemakaian Log Pearson Type III, kita harus mengkonversi rangkaian datanya menjadi logaritma.

Rumus untuk metode Log Pearson :

Log Xr = n LogX

n

i

=1 1

... (2-22)

Dengan:

Xr = nilai rerata curah hujan Xi = curah hujan ke-I (mm) n = banyaknya data pengamatan

Sx =

1

) 1

( 1

2

− −

=

n

LogXr LogX

n

i

... (2-23)

dengan:

Sx = standard deviasi

Nilai XT bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah dimodifikasikan :

Log XT = log Xr + K. log Sx ... (2-24) dengan :


(36)

T tahun.

K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan

tipe distribusi frekuensi.

Distribusi Normal

Distribusi ini mempunyai ‘ probability density function’ sebagai berikut:

P’(X) = e ………. (2-25)

Dengan σ = varian µ = rata-rata

Sifat khas lain yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hamper sama dengan nol dan dengan kurtosis 3. Selain itu, kemungkinan:

P ( ) = 15,87% P ( ) = 50% P ( ) = 84,14%

Dengan demikian kemungkinan variant berada pada daerah ( ) dan ( ) adalah 68,27%. Sejalan dengan itu maka yang berada antara ( ) dan ( ) adalah 95,44%.


(37)

Distribusi Log-Normal

Probability density function’ distribusi ini adalah:

P’ x = eksp 2), (µ > 0)…… (2-26)

Dengan

= ln ( )……….... (2-27)

= ln ( )………... (2-28)

Besarnya asimetri adalah

γ = ……….. (2-29)

dengan

0,5

………... (2-30)

kurtosis k = ……. (2-31)

Dengan persamaan (2-29), dapat didekati dengan nilai asimetri 3 dan selalu bertanda positif. Atau nilai ‘skewness’ Cs kira-kira sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi Cv.

Metode Haspers

Untuk metode ini, besar curah hujan rencana periode ulang T tahun diperoleh dengan persamaan:

) . ( Sd X

XT = r + µ ... (2-32) dengan:

N X


(38)

         − +     − = 2 2 max 1 1 max 2 1 µ µ Xr X Xr X

Sd ... (2-34)

m N

T = +1 ... (2-35)

dengan:

XT = Besar curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm) Xr = Besar curah hujan rata-rata (mm)

Sd = Standard deviasi

N = Jumlah tahun pengamatan µ = Standard variate

m = Nomor urut data

Xmax1 = Data curah hujan maksimum pertama (mm) Xmax2 = Data curah hujan maksimum kedua (mm)

II.3. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and


(39)

subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.


(40)

II.3.1. Definisi DAS Berdasarkan Fungsi

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS


(41)

diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah

secara baik.

II.3.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi

Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS.

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.

Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di 12 DAS prioritas (Brantas, Solo, Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, Asahan, Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang). Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti : (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang


(42)

berkembang pada saat ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS; dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.

Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Daur ini dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan, yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai,


(43)

sementara lainnya menembus masuk lebih jauh ke dalam tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi, baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Namun sejumlah besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan dan pemeluhan sebelum sampai ke laut.

Uraian mengenai daur hidrologi ini merupakan uraian yang benar-benar disederhanakan. Sebagai contoh, air dari sebagian aliran permukaan mungkin berperkolasi menjadi air tanah sedangkan pada kejadian lain, air tanah merupakan sumber aliran sungai (stream flow). Daur hidrologi merupakan peraga yang baik untuk menggambarkan lingkup hidrologi, yang memisahkan antara presipitasi pada daratan dan kembalinya air ke atmosfer atau laut. Daur tersebut juga memperlihatkan empat fase yaitu presipitasi, evaporasi, aliran permukaan dan air tanah.

Pembahasan mengenai daur hidrologi tidak perlu memberikan kesan tentang adanya mekanisme yang kontinu, dimana dari awal sampai akhir air bergerak secara tunak dengan kecepatan konstan. Pergerakan air melalui daur tersebut tidak menentu, baik mengenai waktu maupun daerahnya. Kadang-kadang alam memberikan hujan yang amat deras, yang menyebabkan kapasitas saluran di permukaan tanah menjadi penuh. Pada kesempatan lain mungkin terkihat bahwa mekanisme daur itu berhenti sama sekali, dengan demikian presipitasi dan aliran sungai pun ikut terhenti.


(44)

II.4. Perhitungan Propil Aliran

Perhitungan propil aliran berubah lambat laun pada dasarnya meliputi penyelesaian persamaan dinamis dari aliran berubah lambat laun. Sasaran utama dari perhitungan ini telah menentukan bentuk propil aliran. Bila digolongkan secara umum, ada tiga metode perhitungan, yaitu metode integrasi grafis, metode integrasi langsung dan metode tahapan stándar.

II.4.1. Metode Integrasi Grafis

Dasar metode ini ialah mengintegrasikan persamaan dinamis dari aliran berubah lambat laun secara grafis. Dipilih dua penampang saluran dengan jarak berturut-turut x1 dan x2 terhadap suatu titik awal dan dengan kedalaman berturut-turut y1 dan y2. Jarak dalam arah dasar saluran adalah:

dy dy dx dx z

z z

x

x y

y

=

= −

= 2

1 2

1 1

2

Ambil beberapa nilai y dan hitung nilai dx/dy yang berkebalikan dengan suku kanan persamaan aliran berubah lambat laun, Dari persamaan kemudian buatlah lengkung y terhadap dy/dx . Jelas bahwa nilai x sama dengan luas daerah yang diarsir yang terbentuk oleh lengkung, sumbu y dan ordinat dy/dx sesuai dengan y1 dan y2. Luas ini dapat dihitung dan ditentukan pula nilai x nya.

Metode ini sangat luas pemakaiannya. Dapat dipakai untuk aliran dalam saluran prismatik maupun tak prismatik dengan berbagai bentuk dan kemiringan. Prosedurnya tidak berbelit-belit dan mudah diikuti namun, dapt juga menjadi berlarut-larut bila diterangkan untuk persoalan yang sesungguhnya.


(45)

II.4.2. Metode Tahapan Langsung

Secara umum metode tahapan dinyatakan dengan membagi saluran menjadi bagian-bagian saluran yang pendek, lalu menghitung secara bertahap dari satu ujung ke ujung saluran lainnya. Ada berbagai jenis metode tahapan ini. Beberapa metode tampaknya lebih baik dari pada yang lainnya ditinjau dari segi tertentu, tetapi belum ada satu metode yang dianggap paling baik untuk dipakai dalam setiap masalah. Metode tahapan langsung merupakan metode sederhana yang dapat dipakai untuk saluran prismatik.

g v y x S . 2 2 1 1 1 0∆ + +α

= Sf x

g v

y + + ∆

2 2 2 2 2 α cari ∆x

f

f S S

E S S E E x − ∆ = −− = ∆ 0 0 1 2

Dengan E, energi spesifik, atau anggap α

α α1 = 2 =

g v y E 2 . 2 α + =

Pada persmanaan di atas, y adalah kedalaman aliran; v kecepatan rata-rata; α koefisien energi; S0 kemiringan dasar dan Sf kemiringan gesek. Nilai rata-rata Sf diberi tanda Sf. Bila dipakai rumus Manning, kemiringan gesek dinyatakan sebagai berikut: 3 4 2 2 22 , 2 R v n Sf =


(46)

Perhatikan bahwa baik metode tahapan langsung maupun tahapan standar yang akan diuraikan, langkah-langkah perhitungan dilakukan ke arah hulu biala alirannya subkritis dan ke arah hilir bila alirannya superkritis. Langakah perhitungan yang arahnya salah cenderung menghasilkan data yang berbeda dengan profil aliran sesungguhnya.

II.4.3. Metode Tahapan Standar

Metode ini juga dapat dipakai untuk saluran tak prismatik. Pada saluran tak prismatik, unsur hidrolik tergantung pada jarak di sepanjang saluran. Pada saluran alam, biasanya perlu dilakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk setiap penampang yang perlu dihitung. Perhitungan dihitung dengan tahap demi tahap dari suatu pos pengamat ke pos berikutnya yang sifat-sifat hidroliknya telah ditetapkan. Dalam hal ini jarak setiap pos diketahui dan dilakukan penetuan kedalaman aliran di tiap pos. Cara semacam ini biasanya dibuat berdasarkan perhitungan coba-coba.

Untuk menjelasakan cara ini dianggap bahwa permukaan air terletak pada suatu ketinggian dari bidang mendatar.

Z1 = S0∆x+ y1 + z2 Z2 = y2 + z2

Kehilangan tekanan akibat gesekan adalah x

S S x

S

hf = f∆ = 12( 1+ 2)∆

Dengan kemiringan gesekan Sf diambil sebagai kemiringan rata-rata pada kedua ujung penampang atau Sf .


(47)

e

f h

h g v Z

g v

Z + = + + +

2 2

2 2 2 2 2 1 1

1 α α

dengan he ditambahkan untuk kehilangan tekanan akibat pusaran, yang cukup besar pada saluran tak prismatik. Sampai kini belum ada metode rasional untuk menghitung kehilangan tekanan akibat pusaran. Kehilangan ini terutama tergantung pada perubahan tinggi kecepatan dan dapt dinyatakan sebagai bagaian dari padanya, atau k(∆α.V2/2g) dengan k suatu koefisien. Untuk bagian saluran yang lambat laun melebar atau menyempit, berturut-turut k = 0 sampai 0,1 dan 0,2. Untuk pelebaran atau penyempitan tiba-tiba, nilai k sekitar 0,5. Untuk saluran prismatik yang umum kehilangan tekanan akibat pusaran praktis tidak ada, atau k = 0. Untuk mempermudah perhitungan kadang-kadang he dianggap sebagai

bagian dari kehilangan tekanan akibat gesekan dan nilai n Manning akan meningkat pula dalam menghitung hf. Lalu dalam perhitungan he diambil nol.

Maka,

H2 = H1 + hf + he

Inilah persamaan dasar yang merupakan dasar urutan metode tahapan standar. Metode tahapan standar akan memberikan hasil yang terbaik bila dipakai menghitung saluran alam.

II.5. Bangunan Pengendali Banjir

Sebuah banjir merupakan hasil dari limpasan yang berasal dari curah hujan atau cairnya salju dalam jumlah yang terlalu besar untuk dapat ditampung dan dialirkan melalui sungai atau saluran. Manusia hanya dapat berbuat sedikit saja untuk mencegah banjir besar, tetapi mungkin dapat mengecilkan kerugian


(48)

terhadap tanaman dan hak milik di dalam dataran banjir sungai yang bersangkutan. Tindakan-tindakan yang biasa diterima utnuk mengurangi kerugian banjir adalah:

1. Pengurangan puncak banjir dengan waduk

2. pengurangan aliran banjir di dalam statu alur yang ditetapkan dengan tanggul, tembok banjir, atau statu saluran tertutup.

3. Penurunan permukaan puncak banjir dengan mempertinggi kecepatan aliran dengan cara perbaikan alur.

4. Pengalihan air banjir melalui saluran banjir (floodways) ke dalam alur sungai lain atau bahkan DAS lain.

5. Usaha membuat kebal banir (floodproofing) bagi harta milik tertentu. 6. Pengurangan limpasan banjir dengan pengolahan lahan

7. Pengungsian sementara dari daerah-daerah ancaman banjir berdasarkan peringatan banjir.

8. Pengolahan dataran banjir.

Proyek-proyek pengurangan banjir seringkali mempergunakan satu gabungan dari tindakan-tindakan ini.

Dalam mendesain bangunan pengendalian banjir harus disesuiakan dengan rekomendasi periode ulang minimum banjir rencana untuk bangunan pengendali banjir dan banguna-bangunan pelengkapnya. Tabel 2.1. menyajikan rekomendasi periode ulang minimum banjir rencana.


(49)

Tabel 2.1. Rekomendasi Periode Ulang Minimum Banjir Rencana (tahun) Untuk Desain Bangunan-bangunan Pengendali Banjir dan Bangunan Pelengkapnya di Sungai

II.5.1. Waduk Banjir

Fungsi dari suatu waduk banjir adalah untuk menampung sebagian aliran banjir untuk memperkecil puncak banjirnya pada titik yang harus dilindungi.


(50)

Dalam kasus yang ideal, waduk tersebut diletakkan tepat di hulu daerah yang dilindungi dan dioperasikan untuk memotong puncak banjir. Hal ini dilaksanakan dengan mengalirkan semua aliran masuk ke waduk hingga aliran ke luarnya mencapai kapasitas yang aman bagi alur sungai di hilirnya.

Suatu waduk banjir mempunyai potensi tertinggi untuk pengurangan banjir pada waktu kosong. Setelah suatu banjir terjadi, sebagian dari tampungan diisi oleh air banjir yang terkumpul dan tidak dapat dipergunakan lagi sebelum air ini dilepaskan. Banjir kedua mungkin terjadi sebelum waduk dikosongkan. Berhubung dengan itu, seringkali perlu mencadangkan sebagian dari kapasitas tampungan sebagai pengamanan terhadap banjir yang kedua, dengan demikian maka kapasitas penuh dari waduk tidak dapt dianggap tersedia untuk banjir tunggal yang manapun. Bila banjir kedua terjadi pada waktu waduk masih penuh, maka pengaruh dari waduk adalah membuat banjir ini lebih bururk. Kedua pengaruh ini – ketidakpastiaan tentang aliran masuk yang akan datang selama terjadinya banjir serta kebutuhan untuk mencadangkan tampungan bagi kemungkinan banjir kedua – berarti bahwa waduk banjir tidak dapat sepenuhnya efektif.

Suatu masalah operasional ketiga akan timbul bila aliran yang lebih besar daripada aliran alamiah dilepaskan dari suatu waduk dan pada suatu titik di hilir bertemu selaras dengan aliran banjir dari suatu anak sungai. Aliran yang dihasilkan di hilir anak sungai ini mungkin lebih besar daripada aliran banjir yang seharusnya. Kejadian terjadi berkali-kali dan merupakan salah satu bencana dalam operasi pengurangan banjir, terutama pada sungai-sungai besar. Hal ini dapat diperkecil hanya dengan cara ramalan cuaca beberapa hari atau bahkan bebebrapa


(51)

minggu sebelumnya. Pelepasan air dari waduk-waduk di hulu sungai Ohio atau Missouri membutuhkan waktu 2 hingga 4 minggu untuk mencapai Missisipi hilir.

II.5.2. Tanggul dan Tembok Banjir

Salah satu cara yang paling tua dan dipakai secara luas untuk melindungi lahan dari air banjir adalah pendirian suatu penghalang untuk mencegah luapan atau biasa disebut tanggul banjir. Pada dasarnya tanggul adalah bendungan memanjang yang didirikan kira-kira sejajar sungai dan tidak melintang pada alurnya.

A. Perencanaan Struktural Tanggul

Tanggul paling sering dipergunakan untuk pengurangan banjir karena dapat dibangun dengan biaya yang relatif murah dan bahan-bahannya tersedia di tempat yang bersangkutan. Tanggul biasanya dibangun dengan bahan-bahan yang digali dari lubang asal (borrow pit) yang sejajar dengan garis tanggul. Bahan-bahan tersebut haruslah diletakkan berlapis-lapis dan diapadatkan, dengan bahan yang paling kedap air terletak di bagian tanggul yang dekat sungai. Biasanya tidak terdapat bahan yang cocok untuk inti, sehingga kebanyakan tanggul merupakan timbunan yang homogen.

Penampang melintang tanggul haruslah disesuaikan dengan letak dan bahan timbunan yang tersedia. Perincian dari tanggul pada umunya disajikan pada gambar 2-4. Bahan tanggul digali dari suatu lubang asal yang sejajar dengan tanggul yang bersangkutan dan haruslah disisakan di antara kaki tanggul dan lubang itu untuk menghindari runtuhnya tebing lubang. Lebar mercu tanggul biasanya ditetapkan berdasarkan rencana penggunaannya,


(52)

dengan lebar minimum kira-kira 10 ft (3 m) untuk memungkinkan pemindahan alat-alat pemeliharaan. Lereng tebing biasanya sangat datar karena bahan bangunan yang relatif jelek. Lereng-lereng ini haruslah dilindungi terhadap erosi dengan cara penanaman rumput, semak-semak dan pohon-pohon atau dengan menggunakan riprap (hamparan kerakal). Demi keindahan, tanggul dapat juga dibuat lebih datar daripada yang diperlukan untuk kestabilan. Hal ini akan membuat kurang menyoloknya bentuk tanggul dan bila berdekatan dengan suatu taman akan mempermudah orang untuk menyeberangi tanggul tersebut untuk menuju ke tepi sungai.

Walaupun suatu tanggul tidak jebol selama terjadinya suatu banjir, tinggi air berkepanjangan dapat menaikkan garis kejenuhan hingga titik dimana rembesan yang menembus tanggul mengakibatkan genangan dangkal yang luas di daerah yang dilindungi. Bila rembesan mengancam meningkat menjadi masalah yang berat, suatu sayatan pancang pelat baja dapat dipergunakan.

Karena datarnya lereng-lereng tanggul, maka tanggul yang cukup tinggi akan membutuhkan tapak yang lebar. Harga pembebasan lahan untuk tanggul mungkin wajar di daerah pedesaan, tetapi di kota-kota besar seringkali sulit untuk mendapatkan lahan yang cukup untuk tanggul tanah. Dalam hal ini maka tembok banjir beton dapat merupakan pemecahan yang dapat dipilih. Tembok banjir haruslah direncanakan untuk dapat menahan tekanan hidrostatis (termasuk gaya angkat ke atas) yang dibebankan oleh air pada tingkat banjir rencana. Bila tembok tersebut bertumpu pada timbunan tanah, maka harus pula bertindak sebagai tembok penahan terhadap tekanan tanah pada waktu permukaan air rendah.


(53)

Sebuah kota atau daerah pertanian dapat dilindungi dengan suatu tanggul cincin yang sepenuhnya melingkar daerah tersebut. Alternatif untuk tanggul cincin adalah penerusan garis tanggul ke belakang sehingga dapat diakhiri pada tanah yang tinggi.

B. Pemeliharaan Tanggul dan Penanggulangan Banjir

Keadaan pondasi dan bahan bangunan untuk tanggul jarang sepenuhnya memuaskan, bahkan dengan teknik konstruksi yang terbaikpun akan selalu ada bahaya kegagalan. Tergerusnya tebing sungai dapat mengakibatkan putusnya kaki tanggul pada sisi sungai. Rembesan melalui bahan pondasi pada waktu air di sungai sedang tinggi dapat menyebabkan terjadinya pusaran pasir, sehingga pemindahan bahan-bahan pondasi dengan cara piping melalui pusaran tersebut dapat membentuk sebuah alur yang akan runtuh karena berat tanggul.

Penanggulangan banjir (flood fighting) adalah istilah yang dikenakan pada usaha-usaha yang diperlukan selama terjadinya banjir untuk memelihara tetap efektifnya suatu tanggul. Pusaran pasir sebenarnya adalah suatu sumber artesis dalam akifer di bawah tanggul, dengan kecepatan yang cukup untuk menggerakkan bahan-bahan pondasi. Pusaran pasir diatasi dengan sebuah cincin dari kantong-kantong pasir untuk membuat sebauh kolam yang akan mengibatkan tekanan balik yang cukup untuk mengurangi tinggi energi bersih hingga suatu besaran dimana kecepatan aliran menjadi terlalu keciluntuk dapat menggerakkan tanah.


(54)

Penggerusan tebing dapat berlangsung terus menerus tanpa diketahui di bawah air banjir, tetapi dapat diketahui, dapat dikendalikam dengan menceburkan batu-batu, kantong pasir, cerucuk kayu atau bahan-bahan lainnya ke dalam daerah gerusan. Bila air sungai naik, tempat-tempat yang rendah pada tanggul akan menjadi daerah yang terancam, maka daerah yang rendah ini harus dipertinggi. Suatu tanggul dapat dinaikkan (0,3 hingga 0,6 m) dengan karung0karung yang diisi tanah. Bila peninggian lebih lanjut masih diperlukan, maka sebuah dinding kayu yang ditunjang oleh tanah atau kantong-kantong pasir

C. Pengaruh Tanggul Terhadap Duga Muka Air Sungai

Tanggul membatasi lebar alur dengan mencegah terjadinya aliran pada dataran banjir dan hal ini mengakibatkan naiknya duga muka air pada penggal sungai yang ditanggul. Perbaikan alur sungai yang biasanya menyertai pembangunan tanggul, akan menaikkan kecepatan sehingga dapat mengimbangi sebagian atau seluruh kenaikan duga muka air tersebut. Di hilir daerah yang bertanggul, aliran puncak akan meningkat karena berkurangnya tampungan alur akibat naiknya kecepatan aliran.

Kenaikkan duga muka air akibat pembangunan tanggul kadang-kadang memberikan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. Suatu daerah yang diamankan oleh tanggul dapat berada dalam bahaya dan mungkin tergenang karena tanggul-tanggul baru yang dibangun di dekatnya.

Pelanggaran terhadap batas dataran banjir yang berlebihan akan menimbulkan daur duga muka air yang lebih tinggi yang akan mengakibatkan


(55)

kegagalan tanggul serta penanggulangan banjir yang meluas yang dapat menghapuskan keuntungan ekonomis dari perlindungan terhadap lahan-dataran banjir yang lebih luas.


(56)

BAB III

METODOLOGI DAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

III.1. Metodologi Penelitian

Ruang lingkup pekerjaan metodologi hidrologi yang dilakukan, meliputi :

 Inventarisasi data curah hujan yang mempengaruhi pada daerah yang disurvey.

 Uji Kesesuaian

 Perhitungan curah hujan rencana

 Perhitungan debit banjir pada periode ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 30 tahun, 50 tahun dan 100 tahun.

 Meneliti luas daerah banjir, lama banjir, dan ketinggian banjir

 Perencanaan tanggul

III.1.1. Inventarisasi Data Stasiun Curah Hujan

a. Jumlah minimum stasiun pencatat curah hujan diambil minimum 3 (tiga) stasiun curah hujan yang disyaratkan dalam peramalan banjir sungai tergantung pada luas daerah aliran sungai (DAS).

b. Umur pencatat curah hujan minimum 10 tahun dengan catatan bahwa data yang hilang (tidak tercatat) selama jangka waktu pengamatan tidak terlalu banyak.


(57)

c. Mengadakan pengamatan langsung di lapangan tentang keadaan Sungai dan sistem tanggul banjir yang mempengaruhi terjadinya genangan yang lama.

III.1.2. Perhitungan Curah Hujan Rencana

Untuk menentukan jenis sebaran yang akan digunakan dalam menetapkan periode ulang/return periode (analisa frekuensi) maka dicari parameter statistik dari data curah hujan wilayah baik secara normal maupun secara logaritmik.

Langkah yang ditempuh adalah dengan mengurutkan data-data mulai dari terkecil sampai terbesar. Parameter statistik dengan sebaran normal sebagai berikut :

Tabel 3.1 : Analisis Statistik Data Curah Hujan Stasiun 1, 2 & 3

No Xi xi −x (xi −x)2 (xi −x)3 (xi −x)4

1 X1

2 X2

3 X3

n

=


(58)

maka diperoleh parameter sebagai berikut :

 Curah hujan rata-rata :

n x x i i i 1 1 = =

= ……… (3-1)

 Standar deviasi :

1 ) ( 2 1 − − =

Σ

=

n x x Sd i n i ... (3-2)

 Koefisien Variasi (Cv) :

R Sx

Cv = ... (3-3)

 Koefisien Skewness (Cs) : 3

3 ) )( 2 )( 1 ( ) ( Sx n n x R n Cs − −Σ −

= ……. (3-4)

 Koefisien Kurtosis (Ck) :

4 4 2 ) )( 3 )( 2 )( 1 ( ) ( Sx n n n x R n Ck − −

− Σ −

= ……… (3-5)

Tabel 3.2 : Parameter statistik dengan sebaran logaritmatik

No Xi (logxi −logx)

2 ) log

(logxi − x (logxi −logx)3 (logxi −logx)4

1 X 1

2 X 2


(59)

=

x

dimana :

 Logaritma rata-rata :

n X

Xr =

ln

ln ……… (3-6)

 Standar Deviasi (SdlnXr) :

1 ) ln (ln ln 2 − − =

n x x x

Sd i (3-7)

 Standar Varian (Cv) : Cv = Sd (lnX) / (lnXr) ... (3-8)

 Koefisien Skewness (Cs) :

3 3 )) (ln )( 2 )( 1 ( ) ln (ln . Xr Sd n n Xr X n Cs −

− Σ −

= ……….….... (3-9)

 Koefisien Kurtosis (Ck) :

3 3 2 )) (ln )( 3 )( 2 )( 1 ( ) ln (ln ). 3 2 ( Xr Sd n n n Xr X n n Ck − −

− − + Σ −

= ……… (3-10)

Curah Hujan Rencana

Untuk memperkirakan besar curah hujan dengan berbagai periode ulang maka dilakukan analisa frekuensi terhadap data curah hujan. Ada berbagai metode yang dapat digunakan dalam mengestimasi besar curah hujan untuk berbagai periode ulang yaitu : Metode Distribusi Normal, Log Normal, Gumbel, Log Person dan Log-Person Type III.


(60)

Untuk menentukan jenis sebaran yang akan digunakan, maka parameter statistik data curah hujan wilayah diperiksa terhadap beberapa jenis sebaran sebagai berikut :

Tabel 3.3 : Kesesuaian Data Curah Hujan Terhadap Jenis Sebaran

No Jenis Sebaran Syarat

Hasil Perhitungan

Ket

1 Normal Cs = 0

Ck = 3

2 Log Normal Cs (ln X) = 0

Ck (ln X) = 3

3 Person Cs > 0

Ck = 1,5 Cs2 + 3

4 Log Person -

Type III

Cs (ln X) > 0

Ck (ln X) = 1,54 (Cs(lnX)2 + 3

5 Gumbel Cs = 1,14


(61)

III.1.3. Uji Kesesuaian Data Curah Hujan

Setelah kita tetapkan jenis sebaran yang akan digunakan maka terlebih dahulu diuji dengan metoda kwadrat terkecil dan uji Smirnov-Kolmogorav. Jika sesuai, maka jenis sebaran yang dipilih tersebut dapat digunakan.

=

= k 1 i

2 2

hit

EF ) OF -(EF X

Uji Chi – Square

Uji Chi – Square digunakan untuk menguji apakah distribusi pengamatan dapat disamai dengan baik oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan (Shahin, 1976: 186) :

... (3-11)

dimana :

k = 1 + 3,22 Log n

OF = nilai yang diamati

EF = nilai yang diharapkan

Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 hitung < X2Cr. Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikan α dengan derajat kebebasan. Batas kritis X2 tergantung pada derajat kebebasan dan α. Untuk kasus ini derajat kebebasan mempunyai nilai yang di dapat dari perhitungan sebagai berikut :


(62)

DK = JK - ( P + 1) ... (3-12)

dimana :

DK = derajat kebebasan

JK = jumlah kelas

P = faktor keterikatan (untuk pengujian Chi Square mempunyai keterikatan 2)

III.1.4. Analisa Debit Banjir

Perhitungan debit banjir dengan menggunakan : a. Metode empiris

b. Statistik atau probabilitas c. Metode Unit Hidrograf

Debit banjir yang dianalisa untuk periode ulang 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 30 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun.

A. Metode Empiris

Dalam metode empiris dengan menggunakan data curah hujan harian maksimum, dilakukan dengan langkah-langkah :

a. Stasiun curah hujan dipilih yang berada pada DAS Sungai Ular, minimum sebanyak 3 buah stasiun.


(63)

b. Dari data curah hujan harian maksimum ketiga pencatat dipilih data terbesar dengan kejadian yang sama, akan memberikan peluang terjadinya banjir.

c. Curah hujan wilayah harian maksimum dicari dari ketiga stasiun, dengan terlebih dahulu menghitung koefisien pengaruh masing-masing stasiun terhadap DAS Sungai Ular dengan metoda Polygon Thiesen.

Curah hujan wilayah harian maksimum diperoleh berdasarkan persamaan :

R = C1. R1 + C2 . R2 + C3 . R3 ... (3-13)

dimana :

- Ci = Koefisien Pemberat

- Ri = Curah hujan harian maksimum

- A1 = Luas DAS pengaruh statiun 1

- Atotal = Luas Total DAS

Gambar 3.1. : Poligon Thiesen pada DPS

t ot al t ot al

t ot al A

A C A

A C A

A

C 3

3 2

2 1


(64)

Dengan demikian maka diperoleh n data curah hujan wilayah selama n tahun pengamatan

Debit banjir rencana menggunakan metoda empiris antara lain :

a. Metode Weduwen b. Metode Melchior c. Metode Haspers d. Rasional Mononobe

Dari keempat metode diatas yang sahih digunakan untuk berbagai ragam luasan daerah aliran sungai (DAS) hanyalah metode Haspers, sedangkan untuk metode Woduwen hanya sahih digunakan untuk luasan DAS kurang dari 100 Km2. serta metode Melchior sahih untuk luas DAS lebih besar dari 100 Km2. Karena itu, dalam suatu analisis harus senantiasa dilakukan dengan 2 (dua) metode dimana metode Haspers senantiasa bisa dijadikan sebagai pembanding. Sungai Ular memiliki luas DAS sebesar 1.234,14 km2, sehingga metode yang dapat digunakan yaitu metode Haspers.

A. Metode Haspers

Keterkaitan parameter alam yang diperhitungkan dalam metode ini dinyatakan dalam bentuk persamaan dasar seperti berikut :

QT = α.β .q.A. Rn... (3-14)

α = 0,7

7 , 0

075 , 0 1

012 , 0 1

A A +


(65)

β 1 =         + + + − 12 15 10 7 , 3 1 75 , 0 2 4 , 0 A x t x t t ... (3-16) dimana :

QT = Debit banjir rencana dengan kata ulang T tahun (m2/det) α = Koefisien Limpasan

β = Koefisien Reduksi

q = Intensitas curah hujan (m3/Km2/det)

A = Luas Daerah Aliran Sungai (Km2)

t = Waktu konsentrasi (jam)

B. Metode Melchior

Besarnya debit banjir maksimum dinyatakan dengan persamaan sebagai

berikut :

Qmax = α . β . rT . A……….. (3.17)

dimana :

Qmax = Debit banjir maksimum (m3/detik)

α = Koefisien pengaliran untuk masing-masing periode ulang tertentu


(66)

A = Luas DAS/ Catchment area (km2)

Koefisien aliran (α) berkisar antara 0,42 – 0,62 dan Melchior menganjurkan

untuk memakai α = 0,52.

Koefisien reduksi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

β β 0,12 3960 1720.

1970

+ −

− =

A ……… (3-18)

Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

V L t

. 6

. 100

= ... (3-19)

dimana :

V = Kecepatan rambat banjir ke tempat titik pengamatan (km/jam)

L = Panjang sungai dari ujung hulu sampai titik pengamatan (km)

6 , 0 72 

     ∆ =

L H

V ... (3-20)

C. Hidrograf Satuan Sintetik

Di Indonesia, metode unit hidrograf adalah metode yang paling sering digunakan dalam memperkirakan debit banjir berdasarkan curah hujan (sekitar 70 %). Sedangkan metode rasional tidak pernah dipakai lagi sejak permulaan tahun


(67)

1970-an (Ibnu Kasiro, dkk, 1989). Hidrograf terdiri dari tiga bagian yang penting yaitu :

a. Bagian lengkung naik (rising limb) b. Bagian lengkung puncak (crest segment) c. Bagian lengkung turun (decreasing limb).

Unit hidrograf adalah hidrograf dari aliran permukaan tanah yang terjadi oleh curah hujan efektif yang tingginya 10 mm pada suatu waktu tertentu ke daerah aliran sungai secara merata. Unit hidrograf diperkenalkan oleh DR. K. Sherman pada tahun 1932. Pada tahap permulaan disebut unitgraph dan telah dimodifikasi oleh beberapa ahli hidrologi. Salah satu diantaranya adalah Universitas Gadjah Mada yang disebut dengan hidrograf satuan sintetik GAMA I (Dr. Ir. Sri Harto : Hidrograf satuan GAMA I), dan seorang ahli hidrologi Jepang DR. Nakayasu yang disebut dengan hidrograf satuan sintetik Nakayasu.

Hidrograf satauan sintetik GAMA I digunakan apabila data hidrologi sangat sedikit dan luas daerah aliran sungainya kurang dari 3.250 km2 dan hanya berlaku di pulau Jawa. Untuk hidrograf satuan sintetis, hidrograf satuan sintetis Nakayasu merupakan hidrograf satuan yang mengalami penyimpangan paling kecil terhadap hidrograf satuan terukur (Sumianti, 2003) yaitu 16,67 % untuk waktu capai puncak, 12,34 % untuk debit puncak dan 26,32 % untuk waktu dasar (Sumianti, 2003).


(68)

Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu (HSS Nakayasu)

Analisa ini digunakan untuk menghitung banjir rencana dengan periode ulang tertentu. Untuk menganalisa debit banjir ini digunakan hidrograf satuan sintetik Nakayasu dengan persamaan :

) .

3 , 0 ( 6 ,

3 0,3

0 T T AxR Q

P p

+

= ………. (3-21)

Dimana,

QP =Debit puncak banjir (m3/detik)

A = Luas DAS (km2)

R0 = Hujan satuan (mm)

TP = Waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)

T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30 % dari debit puncak (jam).


(69)

Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan dihitung dengan persamaan :

4 , 2     =

P P a

T t Q

Q ………. (3-22)

Dimana,

Qa = Limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/detik)

t = waktu (jam)

Bagian lengkung turun (decreasing limb)

Untuk Qd > 0,3 QP

3 , 0 3 , 0 T

Tp t

Qpx Qd

= ………. (3-23)


(70)

Untuk 0,3Qp > Qd>0,32 Qp 3 , 0 . 5 , 1 3 , 0 . 5 , 0 3 , 0 T T Tp t Qpx Qd + −

= ……… (3-24)

Untuk 0,32 Qp > Qd

3 , 0 . 2 3 , 0 . 5 , 0 3 , 0 T T Tp t Qpx Qd + −

= ……… (3-25)

T0,3 = α.tg ... (3-26)

Tp = tg + 0,8.tr ... (3-27)

tr = 0,5 tg sampai tg (jam) ... (3-28)

dimana untuk

L < 15 km, maka tg = 0,21.L0,7 ... (3-29)

L > 15 km, maka tg = 0,4 + 0,058.L ... (3-30)

Dengan

L = panjang alur sungai (km)

Tg = waktu konsentrasi (jam)

 Untuk daerah pengaliran biasa α = 2

 Untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian turun cepat α = 1,5

 Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian turun yang lambat α = 3. Selanjutnya perhitungan debit banjir dilakukan dengan tabel, dengan memasukkan nilai hujan satuan jam-jaman dan memasukkan angka koreksi.


(71)

III.1.5. Meneliti luas daerah banjir, lama banjir, dan ketinggian banjir a. Luas Daerah Banjir

Luas daerah banjir merupakan luas daerah yang mengalami dampak banjir dan dapat dilihat pada peta topografi daerah yang mengalami dampak banjir kaibta adanya bendung Sungai Ular. b. Lama Banjir

Lama banjir yang terjadi pada sungai Ular khususnya di daerah bendung sungai Ular didapat dari pengamatan langsung berupa

wawancara dengan warga setempat dimana banjir pernah terjadi dan durasinya sehingga banjir surut. Metode lain yang dilakukan yaitu dengan memperkirakan lamanya banjir dan besarnya debit banjir yang terjadi adalah dengan cara analisa hidrograf sintetik satuan Nakayasu berupa nilai debit banjir jam-jaman yang terjadi.

c. Ketinggian Banjir

Ketinggian banjir merupakan tinggi air sungai di hulu bendung akibat adanya backwater. Dalam penelitian ini akan diperkirakan tinggi air yang terjadi akibat debit banjir 50 tahunan dan membandingkan dengan kondisi sebelum dan sesudah adanya bendung sungai Ular.

Untuk menentukan muka air berdasarkan debit rencana untuk Q50 tahunan dipergunakan Standard Step method


(1)

Untuk mempermudah, perhitungan dilakukan dengan cara tabelaris seperti terlihat pada tabel 5.10.


(2)

Tabel 5.10. Perhitungan Faktor Keamanan Lereng Tanggul

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Irisan

no sin α

Lebar Tinggi Berat

W.sinα W.tanφc.b +

α ϕ α sec / ) tan . (tan

1+ F

F coba

X = (7)/(8) F=(10)/(6) Irisan b Irisan h W

(m) (m) (kN) (kN) (kN/m) (m) (kN)

1 0,3843 1,5 1,32 24,354 9,359 22,594 0,967 1,550 23,372 2,497

2 0,3843 1,5 2,93 54,059 20,775 27,832 0,967 1,550 28,790 1,386

3 0,3843 2 3,78 92,988 35,735 40,796 0,967 1,550 42,201 1,181

4 0,3843 2 3,84 94,464 36,303 41,056 0,967 1,550 42,470 1,170

5 0,3843 2 3,42 84,132 32,332 39,234 0,967 1,550 40,585 1,255

6 0,3843 2 2,6 63,960 24,580 35,677 0,967 1,550 36,906 1,501


(3)

Berdasarkan tabel 5.10. didapat nilai faktor keamanan sebesar 1,545 maka, lereng tanggul dianggap stabil karena besar faktor kemanan kestabilan lereng lebih besar dari 1,2 maka diusulkan slope tanggul rencana adalah 1 V : 2 H.

Daerah permukaan slip yang paling berbahaya adalah irisan nomor 2 dan 3 karena memiliki faktor keamanan sebesar 1,17 dan 1,18.


(4)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

1. Bendung sungai Ular di Pulau Gambar akan meninggikan elevasi muka air sungai Ular agar dapat mensuplai kebutuhan air irgasi untuk lahan pertanian yang sebelumnya hanya mengandalkan free intake dari elevasi muka air normal +41,79 m menjadi elevasi +43,30 m di lokasi bendung. 2. Dari hasil analisa perhitungan debit banjir rancangan dengan

menggunakan metode kombinasi Haspers-Log Pearson III didapat Q50 = 1.015,691 m3/detik, kombinasi Haspers-Haspers didapat Q50 = 1.199,099 m3/detik dan metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Q50 = 1.144,483 m3/detik, metode Melchior-Log Pearson III didapat Q50 = 990,736 m3/detik, metode Melchior-Haspers Q50 = 1.169,636 m3/detik.

3. Dengan menggunakan metode tahapan standar (standard step method) dan kurva pengempangan didapat tinggi muka air banjir sebelum dan sesudah adanya bendung dimana efek back water yang terlihat akibat adanya bendung di sungai Ular yaitu sepanjang 1.700 m

4. Akibat adanya bendung, terjadi kenaikan elevasi muka air banjir setinggi 1,391 m, dimana elevasi muka air banjir sebelum adanya bendung yaitu


(5)

5. Akibat adanya bendung terjadi peningkatan tinggi muka air banjir sehingga perlu penambahan tinggi tanggul banjir dari tinggi tanggul eksisting dengan rata-rata penambahan tinggi sebesar 1,30 m.

VI.2. Saran

1. Peninggian tanggul di hulu bendung sangat diperlukan untuk melindungi areal pertanian dan pemukiman warga di Pulau Tagor dan Pulau Gambar. 2. Untuk mendapatkan besarnya debit banjir rancangan sungai Ular yang

lebih akurat perlu dilakukan dengan menambahkan data curah hujan harian maksimum di beberapa stasiun curah hujan yang mewakili dan dengan menambah beberapa metode perhitungan debit banjir lainnya sehingga perhitungan dapat dikomperasi.

3. Perhitungan tinggi muka air banjir dengan menggunakan metode tahapan standar sebaiknya menggunakan data terbaru dan akurat mengenai kemiringan dasar sungai, lebar penampang sungai, kemiringan talud dan kekasaran dasar sungai sehingga didapat perkiraan tinggi air yang tepat. 4. Diperlukan kajian yang lebih lanjut mengenai pembangunan tanggul banjir

di Sungai Ular dimana pemerintah dapat mengambil kebijakan dengan membebaskan tanah di sekitar dataran banjir sungai Ular sehingga biaya pembangunan tanggul dapat diperkecil.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Antonius, Drs, 2004. Petunjuk Praktis Menyusun Karya Tulis Ilmiah. Penerbit Yrama Widya. Bandung

Bedient Philip B, 2008. Hydrology And Floodplain Analysis Fourth Edition, Prentice Hall. Inc. United States of America.

Chow Ven Te, 1997. Hidrolika Saluran Terbuka (Open Channel Hydraulics). Terj. E.V. Nensi Rosalina Penerbit Erlangga.Jakarta

Chow Ven Te, Maidment R. David, Mays W. Larry, 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill. Singapore

Christady Hardiyatmo Hary, 2007. Mekanika Tanah 2 Edisi Keempat, Gadjah Mada University Press. Jogjakarta

Dirjend. Pengairan Dept. Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi

Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama (KP-02). CV. Galang

Persada. Bandung

Dirjend. Pengairan Dept. Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi

Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan (KP-04). CV. Galang Persada.

Bandung

Dirjend. Pengairan Dept. Pekerjaan Umum. 1986. Standar Perencanaan Irigasi

Kriteria Perencanaan Parameter Bangunan (KP-06). CV. Galang Persada.

Bandung

El Hadidhy Habibi, 2009. Tugas Perencanaan Bendung. Departemen Teknik Sipil USU

Linsley Ray K., 1985. Teknik Sumber Daya Air Jilid 1. Terj. Yandi Hermawan Penerbit Erlangga. Jakarta.

Linsley Ray K., 1989. Hidrologi Untuk Insinyur. Terj. Yandi Hermawan. Penerbit Erlangga. Jakarta

Soemarto, C. D., 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga. Jakarta.