KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI PERDAMAIAN ANTARA

102

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI PERDAMAIAN ANTARA

KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEDAN A. Kebijakan Penal Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” Inggris atau “politiek” Belanda. Bertolak dari kedua istilah ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat juga disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy ”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “politik hukum” adalah: 141 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicit-citakan. Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana”berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik 141 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 1. Universitas Sumatera Utara hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakn atau membuat dan merumuskan suatu perundang- undangan yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy ” dari Marc Ancel dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara l ebih baik”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” the positif rules dalam defenisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. 142 Kebijakan hukum pidana dalam bahasa Hofgels disebut Criminal Policy. Kebijakan hukum pidana sering disebut dengan istilah kebijakanpolitik kriminal. Prof Sudarto, S.H pernah mengemukakan tiga arti penting mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 143 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Joseph, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan defenisi singkat bahwa politik criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dari menanggulangi kejahatan”. Defenisi ini diambil dari Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational 142 Ibid., halaman. 23. 143 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 1 Universitas Sumatera Utara organization of the control of crime by society ”. Berdasarkan dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime ”. 144 Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime. Hal ini berarti politik kriminal dapat diartikan sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. 145 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 146 Kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy sebagai bagian dari penegakan hukum law enforcement harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut Hoegels, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy selain merupakan usaha yang rasional dari masyarakat terhadap kejahatan, kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejaharan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan meyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. Kebijakan ini termasuk 144 Ibid 145 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, halaman 13 146 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, halaman 2 Universitas Sumatera Utara bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dianggap sebagai kejahatan criminal policy of designating human behavior as crime. 147 Politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum dalam tataran makro, dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 148 Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang- undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa pembentukan undang- undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sanggat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang sangat luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang- undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi: 1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai;dan 2. Fungsi instrumental. Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat instrument belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber dari Pancasila, maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannyya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi 147 Mahmud Mulyadi, Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, halaman17 148 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit.. Universitas Sumatera Utara berfungsi dalam arti yang sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat idealism Pancasila. 149 Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal law”, dan “Penal Policy”. Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pad akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang- undang, tetapi juga kepada Pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya: 150 “Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis disatu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maj u lagi sehat.” Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Dengan penegasan di atas berarti, masalah kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogianya menjadi pusat perhatian kriminologi. Terlebih memang “pidana” sebagai salah satu bentuk reaksi atau respon 149 Ibid, halaman 14 150 Ibid., halaman. 19. Universitas Sumatera Utara terhadap kejahatan, merupakan salah satu objek studi kriminologi. Dalam penataran kriminologi disajikan bahan- bahan mengenai kebijakan hukum pidana atau “Penal Policy ” yang pada dasarnya merupakan bagian dari politik kriminal. 151 . Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan hukum itu termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu suatu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 152 Kebijakan hukum pidana sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yakni meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang dan bagaimana peerapan hukum pidana ini melalui komponen sistem peradilan pidana serta tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum sesuatu kejahatan terjadi. Berkaitan dengan hal ini, maka ada yang menjadi permasalahan krusial yaitu apakah penerapan hukum pidana dapat dijadikan instrumen prncrgahan krjahatan. Persoalan ini muncul karena selama ini banyak menganggap bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Upaya mencari jawaban tersebut harus diarahkan untuk mengungkap secar filosofis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan filosofis ini sangat penting untuk mencari kearah mana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan.pembabakan tujuan pemidanaan ini 151 Ibid., halaman. 20. 152 Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, halaman. 148 Universitas Sumatera Utara dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment dan social defence. 153 Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally justified” pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asusmsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu ya ng mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar hal ini merupakan bentuk tanggung jawab moral dan kesalahan pelaku. Teori retributif ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu, pelaku kejahatn harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. 154 Teori detterence menurut Zimring dan Hawkins digunkan secara lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the detterence effect” dari anacaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancama bagi seluruh masayarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivsm karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai detterence effect ini dapat dibagi menjadi pencegahan umum general detterence dan pencegahan khusus indivdual detterence. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada 153 Mahmud Mulayadi, Op. Cit, halaman 67 154 Ibid, halaman 68 Universitas Sumatera Utara masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini mempunyai 3 tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa pidana yang dijatuhkan memberikan detterence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi kejahatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan masayarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku. 155 Teori treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sanagt pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun, pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memebrikan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation. Sementara teori social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah perang dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Flippo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandanag social defence ini pecah menjadi dia aliran, yaitu aliran radikal ekstrim dan aliran moderat reformis. Aliran yang radikal berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan pidana yang ada sekarang ini. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sementara pandangan moderat berpendapat bahwa tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan- peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan utnuk kehidupan bersama 155 Ibid, halaman 74. Universitas Sumatera Utara masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan pemenuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Tujuan pemidanaan tidak boleh dilepaskan dalam kebijakan hukum pidana. Tujuan pemidanaan yang hendak dicapai dengan pemberian pidana darus diperhatikan agar penegakan hukum pidana sebagai salah satu kerangka kebijakan kriminal lebih terarah. Kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan melalui kebijakan penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive sesudah tindak pidana kecelakaan lalu lintas terjadi. Artinya setelah terjadi tindak pidana kecelakaan lalu lintas, maka pelaku diberikan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pasal 359, 360 dan 361 KUHP atau Pasal 310,311 dan 312 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut KUHP, pengaturan sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP, yang terdiri atas: a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda b. Pidana tambahan 1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang yang tertentu 3. Pengumuman keputusan hakim Dalam KUHP, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa Universitas Sumatera Utara tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang disebut dengan istilah “ mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya”. Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359. 360 dan 361. Pada pasal 359, yaitu kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya orang diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara dalam pasal 360 ayat 1 yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang luka berat diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lmanya satu tahun. Pasal 360 ayat 2 yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka sederhana sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, diancam pidana penjara selama - lamanya sembilan bulan atau pidan kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-. Pasal 361 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dalam melaksanakan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka dinacam pidana dengan ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari pekerjaannya dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, maupun kecelakaan lalu lintas berat. Pasal 310 ayat 1 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu Universitas Sumatera Utara lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp. 1.000.000,-. Pasal 310 ayat 2 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp. 2.000.000,-. Pasal 310 ayat 3 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan ataudenda paling banyak Rp. 10.000.000,- . Sementara dalam pasal 310 ayat 4 , jika tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia, diancam dengan pidana paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- Tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana yang lebih berat daripada karena kelalaian. Hal ini dapat dilihat dari pengaturannya dalam pasal 311. Dalam pasal 311 ayat 1 mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang secara sengaja dilakukan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,-. Sementara jika kecelakaan lalu lintas tersebut dilakukan dengan mengakibatkan kerusakan kendaraan danatau barang, dalam ayat 2 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,- Dalam pasal 311 ayat 3, dalam hal kecelakaan lalu lintas itu mengakibatkan korban jiwa dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,-. Sementara dalam ayat 4, jika kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana Universitas Sumatera Utara penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- dan jika mengakibatkan korban meninggal dunia, maka diancam dengan pidana paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,- sementara dalam pasal 312, bagi setiap pengemudi kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya dan tidak memberikan pertolongan aau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas. 156 Pidana tambahan juga dapat dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara lalu lintas yaitu berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi SIM atau ganti kerugian. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM larangan mengemudi adalah agar pelaku dalam hal mengemudi menjadi jera dan lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya di kemudian hari. Selain itu, pidana tambahan ini juga berguna agar pelaku tidak dapat mengulangi perbuatannya sebab ia berada dalam kondisi tidak diperkenankan mengemudi hingga berakhir larangan mengemudi tersebut. Selain itu, pidana tambahan berupa ganti kerugian diputuskan hakim jika sebelumnya belum terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian yang harus diberika pelaku kepada korban. Jika sebelumnya telah terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian, maka hakim tidak perlu memutus pidana tambahan berupa ganti kerugian. Dualisme pengaturan kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam KUHP maupun Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebabka n dianutnya asas lex specialis derogate lex generalis. Hal ini disebutka tegas dalam pasal 156 Pasal 314 Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara 63 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khususlah yang diterapkan. Sebagai konsekuensi dari asas tersebut, maka untuk saat ini pengaturan hukum yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas ialah Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Demikian juga mengenai aturan pidananya, maka didasarkan pada undang-undang tersebut karena telah mengatur secara khusus daripada KUHP. Dari pengaturan tersebut di atas, terlihat jelas bahwa baik dalam setiap perkara kecelakaan lalu lintas selalu melekat ancaman pidana. Walaupun telah terdapat perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pertanggungjawaban pidana pelaku. Walaupun kedua belah pihak telah berdamai, pihak korban telah memaafkan pelaku dan adanya pembayaran ganti kerugian berupa biaya perobatan, biaya perbaikan kerusakan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman, proses hukum harus tetap dilanjutkan. Bahkan, walaupun pihak korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas sepakat untuk tidak meneruskan perkaranya secara hukum, hal ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak meminta pertanggungjawaban pidana pelaku. Setelah perkara kecelakaan lalu lintas diperiksa di sidang pengadilan, kekosongan hukum dalam perdamaian kecelakaan lalu lintas ini mengakibatkan terjadinya perbedaan kedudukan perdamaian dalam putusan hakim. Seharusnya perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang diperiksa di Pengadilan Negeri Medan, walaupun telah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, kebijakan kriminal lebih ditekankan pada penjatuhan pidana kepada pelaku. Dalam putusan No.992 Pid. B 2013 PN. Mdn dengan terdakwa Riza Universitas Sumatera Utara Vionita Utami yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 enam bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan diijalankan kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatanpelanggaran atau tidak memenuhi sesuatu syarat yang ditentukan sebelum masa percobaan selama 1 satu tahun terakhir. Sementara dalam putusan No.501 Pid. B 2012 PN. Mdn dengan nama terdakwa Jonfriadi Sitopu karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 8 delapan bulan, hakim juga menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam masa percobaan selama 1 satu tahun berakhir. Dalam perkara dengan terdakwa Riza Vionita Utami, walaupun telah mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat dan meninggal dunia, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana yang berat, melainkan pidana percobaan. Hal ini dikarenakan karena majelis hakim menilai telah ada itikad baik dari pelaku tindak pidana untuk bertanggunggjawab secara moral melalui perdamaian dengan pihak korban. Sementara di lain pihak, dalam perkara dengan terdakwa jonfriadi Sitopu, walaupun secara tertulis perdamaian tersebut tidak dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan pidana, majelis hakim secara moral telah mempertimbangkan perdamaian tersebut untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan kepada terdakwa melalui pemberian pidana percobaan. Menurut Hakim Pengadilan Negeri Medan perdamaian tersebut sangat penting dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana, namun bukan menjadi hal yang menghapus pidana. Pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu Universitas Sumatera Utara lintas bukan hanya semata-mata untuk ditujukan kepada pelaku tindak pidana, melainkan juga untuk memberikan efek pencegahan kepada masyarakat agar tidak lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraan bermotornya. Dengan pemberian pidana kepada pelaku walaupun telah terdapat perdamaian dengan pihak korban, maka tujuan pemidanaan yaitu prevensi umum yang diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan dalam kecelakaan lalu lintas. Tanpa pemberian pidana kepada pelaku kecelakaan lalu lintas akan mengakibatkan kesewenang-wenangan pihak-pihak yang mempunyai banyak uang yang beranggapan bahwa pemberian ganti rugi adalah jalan yang terbaik. Dengan demikian, pengenaan pidana kepada pelaku diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. 157 B. Kebijakan Non Penal Menurut G. P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat dtempuh dengan: 158 a. Penerapan hukum pidana criminal law aplication b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatn dan pemidanaan lewat mass media influencing views of society on crime and punishment mass media. Dengan demikian, butir b dan butir c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya” non- penal”. Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” pencegahan penangkalanpengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama kebijakan penanggulangan kejahatan dengan non penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuhkan atau menimbulkan kejahatan. 157 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014. 158 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, halaman 40 Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kiminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. 159 Beberapa aspek-aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahat khususnya dalam masalah “ Urban Crime’, antara lain disebutkan dalam dokumen A CONF.144L.3 sebagai berikut: 160 a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan kebodohan, ketiadaan kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok serasi; b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan- ketimpangan sosial; c. Mengendurnya ikatan sosial keluarga; d. Keadaan-keadaan kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugiankelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; f. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaanyang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasislitas lingkungan bertetangga; g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masayarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan keluarga familinya, tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya; 159 Ibid. 160 Ibid, halaman, 44 Universitas Sumatera Utara h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor tersebut di atas; i. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; j. Dorongan-dorongan khususnya oleh mass media mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang megarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap tidak toleran intoleransi. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata -mata dengan penal. Di sinilah keterbatasan jalur penal dan oleh karena itu harus ditunjang dengan jalur non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di atas adalah jalur “kebijakan sosial” social policy, yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment ”. Pada dasarnya, kebijakan sosial adalah kebijakan atau upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara materil dan immateril dari faktor-faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, sangatlah tepat apa yang digariskan oleh PBB bahwa “ the over all organization of society should be conceived as anti criminnogenic. Dilihat dari usaha non penal ini berarti perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengefektifkan dan Universitas Sumatera Utara mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditangkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah penanggulangan yang di dasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat community crime prevention. Program- program yang dapat dilakukan anatra lain : 161 1. Pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; 2. Pembinaan tenaga kerja; 3. Pendidikan; 4. Rekreasi; 5. Pembinaan mental melalui agama; 6. Desain tata ruang fisik kota. Dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas, pendekatan kebijakan kriminal melalui non penal memegang peranan yang sangat penting. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kebijakan non penal setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku sama sekali tidak diatur. Dalam undang- undang ini, perdamaian tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri perkara kecelakaan lalu lintas. Setiap terjadinya perkara kecelakaan lalu lintas harus diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, yang berkaitan dengan perkara kecelakaan lalu lintas, hakim lebih berorientasi kepada upaya penal. Sementara upaya non penal cenderung kurang diminati. Upaya non penal berupa pemberian ganti kerugian maupun sanksi administratif tidak pernah dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri 161 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, halaman 58 Universitas Sumatera Utara Medan. Untuk masa yang akan datang, pendekatan non penal perlu mendapat perhatian yang khusus. 162 Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kebijakan non penal setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum di atur. Kebijakan non penal yang diatur adalah pencegahan terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini diatur dengan tegas dalam pasal 226 yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 226: 1 Untuk mencegah kecelakaan lalu lintas dilaksanakan melalui: a. Partisipasi para pemangku kepentingan; b. Pemberdayaan masyarakat; c. Penegakan hukum; dan d. Kemitraan global. 2 Pencegahan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah da n jangka panjang. 3 Penyusunan program pencegahan kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh forum LLAJ di bawah koordinasi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa adanya penyususnan program pencegahan kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh forum LLAJ di bawah koordinasi Kepolisian artinya bahwa khusus untuk urusan pencegahan kecelakaan lalu lintas melibatkan peranan kepolisian. Mengenai forum ini agar lebih jelas maka perlu dikaitkan dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan sebagai berikut: 162 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara 1 Penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 dilakukan secara terkoordinasi. 2 Koordinasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang dimaksud dilakukan oleh forum lalu lintas dan angkutan jalan. 3 Forum lalu lintas dan angkutan jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan mnyelesaikan masalah lalu lintas dan angkutan jalan. 4 Keanggotaaan forum lalu lintas dan angkutan jalan ini terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi dan masyarakat. 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai forum lalu lintas dan nagkutan jalan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam penjelsan pasal 13 ayat 2, yang dimaksud dengan forum adalah badan ad hoc yang berfungsi sebagai wahana untuk menyinergikan tugas okok dan fungsi setiap instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka: a. Menganalisis permasalahan; b. Menjembantani, menemukan solusi, dan meningkatkan kualitas pelayanan; dan c. Bukan sebagai aparat penegak hukum. Setelah menelaah lebih lanjut, dalam isi pasal tersebut, di atas, pada pokoknya forum merupakan badan ad hoc. Artinya eksistensinya sementara. Kenyataan ini sedidkit lontradiktif dengan penyelesaian masalah yang memerlkukan soslusi jangka panjang yakni pencegahan kecelakaan lalu lintas dengan dilakukan oleh forum. Artinya di sini, penyusunan progrm pencegahan kecrlakaan lalu lintas menunggu terbentuknya forum. Hal ini dipahami bahwa masalah kecelakaan lalu lintas dewasa ini merupakan masalah yang cukup serius mengingat korban dan kerugian yang ditimbulkannya . oleh karna itu, Universitas Sumatera Utara upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas merupakan tanggung jawab penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan lebih lanjut ,mengenai forum di ataur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa definisi forum adalah wahana koordinasi antaraisntansi penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 10 PP Nomor 37 tahun 2011 ini disebutkan bahwa terdapat beberapa kriteria masalah yang memerlukan keterpaduan forum. Pasal 10 1 Dalam hal terjadi permasalahan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kompleks dan memerlkukan keterpaduan dalam penyelesaiannya, dibahas dalam forum. 2 Kriteri permasalahan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kompleks dan memerlukan keterpaduan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi: a. Terganggunya Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berdampak negatif terhadap sosial ekonomi; danatau b. Penyelesaiannya memerlukan keserasian atau kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi pembina. Permasalahan mengenai kecelakaan lalu lintas menjadi tanggung jawab forum dalam menyelesaikannya dan membuat kebijakan yang diperlukan. Seperti yang telah diketahu bahwa forum berfungsi untuk menemukan solusi maka sudah barang tentu pembahasan di dalam forum akan menghasilkan kesepakatan. Kesepakatan yang dihasilak oleh forum ini harus dilaksanakan oleh penyelenggara karena setiap penyelenggara itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Forum terdiri dari forum nasional, forum provinsi dan kabupatenkota. Universitas Sumatera Utara Dalam pasal 21 ayat 1 PP Nomor 37 Tahun 2011 ini disebutkan bahwa forum diselenggarakan dalam rangka melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan kabupatrnkota, keanggotaan forum terdiri atas: a. Bupatiwalikota; b. Kepala kepolisian resortresort Kota; c. Badan Usaha Milik Negara danatau Badan Usaha Milik Daerah yang kegiatan usahanya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan; d. Asosiasi perusahaan angkutan umum di kabupatenkota; e. Perwakilan perguruan tinggi; f. Tenaga ahli di bidang lalu lintas dan angkutan jalan; g. Lembaga swadaya masyarakat yang aktivitasnya di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan h. Pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupatenkota Adanya unsur akademisi dan masyarakat sebagai anggota forum telah diamanatkan dalam pasal 13 undang-undang ini. Unsur akademisi diwakili oleh perguruan tinggi sedangkan unrur masyarakat diwakili oleh asosiasi perusahaan angkutan umum di kabupatenkota, lembaga swadaya masyarakatyang aktivitasnya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupatenkota. Dilihat dari sisi upaya non penal ini, berati perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system ” yang ada dalam masyarakat. Mengingat begitu besarnnya peranan forum ini sebagai lembaga dalam pelaksanaan kebijakan non penal dalam kecelakaan lalu lintas, sangat dibutuhkan peran serta dari seluruh pihak yang terlibat untuk mengupayakan upaya pencegahan secara maksimal. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

KEDUDUKAN PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PEMIDANAAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 157

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 13

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 39

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 31

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 5

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 1