Menurut pendapat Bapak Ibu Hakim, apakah perdamaian dalam kecelakaan lalu Kajian Hukum Mengenai Perdamaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas.

9. Apakah saat ini telah ada pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan

pidana? Apakah ada dasar hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut? Jika ada, apakah dasar hukumnya?

10. Menurut pendapat Bapak Ibu Hakim, apakah perdamaian dalam kecelakaan lalu

lintas ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan? Jika perlu, apakah sebagai hal yang meringankan pidana atau menghapus pidana? Mengapa?

11. Menurut Bapak Ibu Hakim, bagaimana dampak jika perdamaian dijadikan sebagai

hal yang menghapus pidana bagi pelaku? Dampak positif: Dampak negatif: Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA A. Buku Aji, Oemar Seno,1980, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga. Amiruddin dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, . Amriani, Nirnianingsih, 2012, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Jakarta: Rajawali Press,. Arief , Barda Nawawi, 1996 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Aditya,. Arief, Barda Nawawi, 1999, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Badan Penyedia Bahan Kuliah FH Undip, Semarang,. Arief, Barda Nawawi, 2008, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana. Arrasjid, Chainur, 2000, Dasar- Dasar Ilmu Hukum, Medan: Sinar Grafika. Ashidiqie, Jimly, 2009, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika,. Astiti, Tjok Istri Putra, 1997, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1, Juli. Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System; Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, Jakarta: Putra A. Bardin,. Bahiej, Ahmad, 2002, Sejarah Pembentukan KUHP, Sistematika KUHP, Dan Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana. Chadawi, Adami, 2002, Pengantar Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Grafindo,. , Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press,. Universitas Sumatera Utara Ediwarman, 2014, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Medan:Genta Publishing. Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju. Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Medan: Refika Aditama,. Kansil, C.S.T, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, , Jakarta: Balai Pustaka,. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian kedua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta. Kerlinger, Fred N., 1991, Asas-Asas Penelitian Behavourial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press,. Kelsen, Hans, 1971,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari General Theory of Law and State New York, Russel and Russel, , Bandung: Nusa Media. Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,. Makarim, Emon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mansur, Didik M. Arief dkk, 2008 Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Rajawali Press. Mawarni, Rita, 2012, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bahan ajar tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Edisi Revisi, Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka,. Universitas Sumatera Utara Muhammad, Buhsar, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,. Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori dan Kebijakan Pidana, , Bandung: Alumni. Mulyadi, Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta: Djambatan,. Mulyadi, Mahmud, 2008, Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kekerasan, , Medan: Pustaka Bangsa Press, Poernomo, Bambang, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,. Prayitno, Wukir, 1991, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Semarang: , CV. Agung,. Prasetyo ,Teguh, 2011, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,. Putranto, Leksmono Suryo, 2008, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, Jakarta: PT Mancanan Jaya Cemerlang,. Rahmawati, Mety, 2010, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan pemberat pidana dalam KUHP, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Roeslan, Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, . Situmorang, Victor M, 1993, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta.. Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama,. Soekanto, Soerjono, 1989, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Padnya Paramita. Subagyo, Joko P, 1991, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,. Universitas Sumatera Utara Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,. , 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Surakhmad, Winarno, 1997, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito. Sutadi, Marianna, 1992, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI. Suarda, I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresc. Syahrani, Riduan, 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,. Yulia, Rena. 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta :Graha Ilmu, Cetakan Pertama. Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Pardigma Pemidanaan, Bandung: CV Lubuk Agung.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan RUU KUHP 2013

C. Putusan

Putusan No.992 Pid. B 2013 PN. Mdn Putusan Nomor No.501 Pid. B 2012 PN. Mdn,

D. Skripsi dan Tesis

Universitas Sumatera Utara Antonio S. Padaga. Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Makassar, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012. Musyahadah R, Alef. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan .” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.

E. Kamus

Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994.

F. Website:

Http: Hynatha30.Files.Wordpress.Com200910Sejarah-Hpi.Pdf. Diakses Tanggal 8 Mei 2014. Syarif,PertanggungjawabanPidana.2012,http:syarifblackdolphin.wordpress.com20120111p ertanggungjawaban-pidana. Diakses tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara 71

BAB III EKSISTENSI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK

PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEDAN Pada bagian ini akan dipaparkan dan dianalisis mengenai mengenai beberapa putusan hakim Pengadilan Negeri Medan mengenai perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang di dalamnya mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi sejak diundangkannya Undang-UndangNomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , pada tahun 2009-2014. Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, dalam rentang waktu tahun 2009-2014, hanya terdapat 2 dua putusan hakim yang menyangkut perkara kecelakaan lalu lintas. Putusan tersebut adalah sebagai berikut. A. Dapat Meringankan Pidana Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No.992 Pid. B 2013 PN. Mdn, mengenai mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Dengan identitas terdakwa: Nama lengkap : Riza Vionita Utami Tempat lahir : Kisaran Umurtanggal lahir : 18 tahun13 Juni 1995 Jenis kelamin : Indonesia Tempat tinggal di :Jl. SM. Raja Km. 11 Gg. Rohis B Bangun Sari Tanjung Morawa Agama : Islam Pekerjaan : Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Pendidikan : - Duduk Perkara: Pada hari rabu tanggal 9 Januari 2013 sekira pukul 19.30 WIB, atau setidak- tidaknya pada suatu waktu lain masih dalam bulan Januari tahun 2013, bertempat di Jl. SM. Raja di depan GKPI Medan, terdakwa Riza Vionita Utami mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Pada waktu dan ditempat sebagaimana diuraikan diatas, saksi korban Rentiana Br. Perangin-angin dan Kartina Harahap keluar dari rumah saksi hendak menyeberang ke arah Gereja hendak mau mengambil uang sewa rumah. Sebelum menyeberang saksi korban sudah melihat ke kanan ke kiri dan tidak ada kendaraan, tetapi situasi pada saat itu gelap karena mati lampu. Selagi menyeberang dan hampir sampai pinggir jalan tiba - tiba saksi korban Rentiana Br. Perangin-Angin dan Kartina Harahap ditabrak oleh sepeda motor Honda Revo dengan No Pol BK 2166 OM yang dikendarai oleh terdakwa Riza Vionita Utami yang mana pada saat itu mengalami sakit maag dan tidak fokus dalam mengendarai sepeda motornya, akibatnya pada saat itu terjadi kecelakaan dan sempat berdiri berteriak minta tolong selanjutnya saksi korban Rentiana Perangi-Angin melihat temannya saksi korban Kartina Harahap dan seorang perempuan lagi sudah pingsan di pinggir jalan, kemudian saksi Budi Harahap melihat kejadian tersebut langsung memanggil becak dan membawa saksi korban dan terdakwa ke RS. Nursaadah atas kejadian kecelakaan tersebut saksi korban Kartina Harahap meninggal dunia dan saksi korban Rentiana Br. Perangin-Angin dan terdakwa Riza Vionita Utami opname di RS Grand Medistra. Universitas Sumatera Utara a. Sesuai dengan Visum Et Repertum No. 71VERRSGMI2013 yang akan ditanda tangani dr. Samuel Sinaga. Hasil pemeriksaannya sebagai berikut : - Pembengkakan di puncak kepala sebelah kanan dengan diameter kurang lebih 5 lima sentimeter b. Sesuai dengan Surat Kematian No. 474.3065SKTD2012 tanggal 14 Januari 2013 atas nama Kartina br. Harahap dari Kelurahan Timbang Deli Medan yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat 3 jo ayat 4 Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam kasus ini, sebelum perkara ini diperiksa di muka persidangan, telah terdapat perdamaian antara pihak pertamaorang tua terdakwa Heri Hernando dengan pihak kedua keluarga korban yaitu anak kandung dari pejalan kaki yang meninggal dunia Darmansyah Sibarani dan pihak ketigakorban yang merupakan pejalan kaki Rentiana Br Perangin-Angin . Perdamaian tersebut dibuat pada tanggal 21 Januari 2013. Dalam perjanjian perdamaian tersebut, pihak pertama, kedua dan ketiga telah menyadari bahwa kecelakaan bukalah unsur kesengajaan dan ketiga belah pihak saling memaafkan. Pihak pertama terdakwa telah memberikan bantuan duka kepada pihak kedua keluarga korban meninggal dunia sebesar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan pihak kedua keluarga korban meninggal dunia menerima bantuan tersebut dengan ikhlas. Pihak terdakwa juga telah memberikan bantuan biaya perobatan kepada pihak ketiga korban luka berat berupa bantuan biaya perobatan sebesar yang telah di sepakati dan pihak korban tersebut menerima dengan ikhlas. Dalam perjanjian perdamaian tersebut, ketiga belah pihak tidak ada masalah lagi dan tidak akan menuntut secara perdata maupun pidana sehubungan dengan kasus lalu lintas yang dimaksud. Bahkan para pihak memohon agar perkaranya tidak diteruskan ke Jaksa Penuntut Umum. Universitas Sumatera Utara Meskipun perkara kecelakaan lalu lintas tersebut telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan melalui perdamaian, pihak kepolisian tetap meneruskan perkara tersebut hingga ke persidangan di pengadilan. Setelah di persidangan yang diperiksa oleh hakim tunggal, yaitu Baslin Sinaga, S.H, M.H. , Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “ Mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat dan megakibatkan orang lain meninggal dunia”, sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 6 enam bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan diijalankan kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatanpelanggaran atau tidak memenuhi sesuatu syarat yang ditentukan sebelum masa percobaan selama 1 satu tahun terakhir. Dalam menjatuhka pidana, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa: Hal-hal yang memberatkan : - Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat; Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa belum pernah dihukum ; - Terdakwa masih berstatus pelajar ; - Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan ; - Antara terdakwa Riza Vionita Utami dan saksi korban telah ada perdamaian. Dalam putusan tersebut di atas, perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas menjadi pertimbangan hakim dalam meringankan pidana bagi terdakwa. Pedamaian yang menjadi pertimbangan tersebut adalah pemberian uang duka maupun biaya perawatan terhadap korban, sedangkan surat pernyataan Universitas Sumatera Utara perdamaian yang dibuat oleh korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut yang pada pokoknya berisi permohonan untuk tidak diteruskan secara pidana sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim, sehingga hakim tetap menjatuhkan pidana bersyarat kepada terdakwa. Berkenaan dengan eksistensi perdamaian dalam putusan tersebut, demikian hasil wawancara dengan hakim pengadilan negeri Medan. Hakim pengadilan Negeri Medan sudah sering menangani perkara kecelakaan lalu lintas. Mulai pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP yang menggunakan istilah “mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya” hingga ketentuan yang lebih khusus mengaturnya dalam dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 114 Perkara lalu lintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Medan tidak banyak. Jumlah perkara yang ditangani oleh hakim Pengadilan Negeri Medan saat ini tidak sebanding dengan angka kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena pihak korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas lebih memilih berdamai secara kekeluargaan dibandingkan meneruskan perkaranya secara hukum. 115 Selain itu, minimnya kasus kecelakaan lalu lintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Medan disebabkan adanya perdamaian yang juga dilakukan di kepolisian. Menurut pengalaman Hakim Pengadilan Negeri Medan, tidan semua kasus kecelakaan lalu lintas yang ditanganinya mengandung perdamaian. Hal ini dimungkinkan terjadi jika tidak terdapat kesepakatan antara para pihak. Adapun bentuk perdamaian yang sering kali terdapat dalam berkas perkara kecelakaan lalu lintas adalah berupa pemberian maaf korban maupun keluarga korban, pembayaran ganti kerugian yang disepakati, pemberian biaya perawatanpengobatan 114 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 115 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara biaya rumah sakit, uang duka cita dan biaya pemakaman jika korban tersebut meninggal dunia. Bahkan tidak jarang, perdamaian yang dibuat oleh pelaku dengan pihak korban tersebut pada esensinya memohon agar perkara tersebut tidak menuntut pelaku dan juga tidak diproses secara hukum. Sejauh ini, menurut pengalaman Hakim Pengadilan Negeri Medan, belum ada perdamaian yang berbentuk pemberian nafkah biaya hidup bagi korban maupun keluarga korban. Pihak korban dan pelaku sering kali berdamai di luar pengadilan, namun ada kalanya, pada saat perkara kecelakaan lalu lintas tersebut sedang diperiksa, para pihak juga melakukan upaya perdamaian. 116 Hakim Pengadilan Negeri Medan mengatakan bahwa lembaga perdamaian dalam hukum pidana, khususnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal sama sekali. Hal ini berarti bahwa hukum pidana tidak mengenal mekanisme perdamaian ini sebagai alternative penyelesaian perkara pidana seperti yang dianut dalam hukum perdata. Hukum pidana, dalam hal ini termasuk juga perkara kecelakaan lalu lintas tidak dapat diselesaikan secara perdamaian di sidang pengadilan. Hal ini disebabkan karena dalam Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah dengan tegas mengatakan bahwa setiap perkara kecelakaan lalu lintas yang terjadi wajib diproses sesuai dengan acara peradilan pidana. Bahkan selain itu, dalam Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diatur secara tegas bahwa bantuan yang diberikan kepada korban maupun keluarga korban berupa uang perobatan, biaya duka pemakaman, ganti kerugian sejumlah uang bahkan kewajiban untuk mencukupi kebuhan korban maupun keluarga korban sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan tuntutan terhadap pelaku. 117 116 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 117 Ibid Universitas Sumatera Utara Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para pihak tidak akan meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan tidak akan menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus pidana bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima secara utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak mmenjatuhkan pidana. 118 Hakim Pengadilan Negeri Medan memandang bahwa perdamaian pasca terjadinya kecelakaan lalu lintas memang sangat perlu dilakukan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, kecelakaan lalu lintas tersebut disebabkan karena adanya unsur kelalaian. Sehingga sebenarnya, kecelakaan lalu lintas tersebut sama sekali tidak dikehendaki oleh pelaku dan juga korban. Namun hal ini tergantung bagi pihak korban maupun pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Jika setelah diupayakan perdamaian namun tidak tercapai kesepakatan, hal tersebut wajar terjadi. Selain faktor kelalaian tersebut, perdamaian juga sangat perlu dilakukan sebagai itikad baik dari pelaku untuk bertanggungjawab atas akibat dari perbuatannya. Bentuk perdamaian seperti ganti kerugian, biaya perobatanperawatan, uang duka maupun biaya pemakama sangat membantu pihak korban, apalagi jika pihak korban maupun keluarga korban merupakan keluarga yang kurang mampu, dan hal ini tentu sangat bermanfaat manakala korban tersebut merupakan tulang punggung keluarga. Harus diakui bahwa walaupun terdapat perdamaian antara korban dengan pelaku tidak pidana, tentu hal ini tidak akan pernah dapat mengembalikan kerugian materil maupun immaterial dari pihak korban apalagi jika korban kecelakaan lalu lintas tersebut meninggal dunia. Selain itu, alasan perlunya 118 Ibid Universitas Sumatera Utara perdamaian tersebut dilakukan oleh pelaku dengan korban kecelakaan lalu lintas dikarenakan adalah bahwa perdamaian itu adalah hal yang terindah. Dengan berdamai, pelaku tidak akan berlarut dalam perasaan bersalah dan pihak korban tidak akan menyimpan dendam terhadap pelaku akibat kecelakaan lalu lintas tersebut. Namun, walaupun Hakim Pengadilan Negeri Medan berpendapat bahwa perdamaian tersebut sangat perlu, hal tersebut bukan berarti proses hukum tidak dilanjutkan. 119 Sejak diundangkannya Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hingga tahun 2014, di Pengadilan Negeri Medan hanya terdapat 2 dua perkara kecelakaan lalu lintas. Kedua perkara kecelakaan lalu lintas tersebut mengacu kepada Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai ketentuan yang mengatur lebih khusus daripada ketentuan dalam KUHP. Adapun pasal yang didakwakan terhadap pelaku tersebut adalah Pasal 310 ayat 1 UU RI No. 22 tahun 2009 yang mengatur mengenai “karena kelal aiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan” dan Pasal 310 ayat 3 jo ayat 4 Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengenai “karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia dan luka berat. Kedua perkara kecelakaan lalu lintas tersebut mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku. Walaupun kedua perkara tersebut mengandung perdamaian, perkara ini masih tetap dilanjutkan ke sidang pengadilan. Dalam sistem pemidanaan, tidak ada pengaturan hukum yang tertulis yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut dalam menjatuhkan putusan. Jika dilihatdalam hukum yang berlaku saat ini, kata “perdamaian” tidak mendapat “tempat” dalam hukum pidana. Ketiadaan pedoman pemidanaan yang 119 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Lisfer Berutu, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam hukum pidana ini memberikan ruang kebebasan yang besar pada hakim. Hakim diberikan kebebasan secara moral untuk memilih mempertimbangkan perdamaian tersebut atau tidak. Etika moral hakimlah yang menentukan kedudukan perdamaian tersebut dalam sistem pemidanaa, sehingga hal ini juga yang menyebabkan adanya perbedaan kedudukan perdamaian dalam kedua perkara yang diteliti oleh penulis. Dimana satu perkara mempertimbangkan perdamaian sebagai hal yang meringankan, dan perkara yang lain sama sekali tidak mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana. Dan menurut Hakim Pengadilan Negeri Medan hal ini wajar saja terjadi sebagai konsekuensi logis dari ketiadaan kewajiban bagi hakim untuk mempertimbangkannya. 120 Dalam sistem pemidanaan, hakim tidak menjadikan perdamaian dalam perkara kecelakaan lalu lintas sebagai alasan yang menghapus pidana bagi terdakwa. Hal ini merupakan konsekuensi logis hukum positif di Indonesia menyatakan demikian dan dalam diri terdakwa tidak terdapat alasan penghapus pidana sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada umumnya, perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas ini hanya dijadikan sebagai alasan yang meringankan pidana bagi terdakwa. Walaupun telah ada perdamaian bahkan permohonan pihak korban untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa, hal ini tidak mengandung peranan yang penting untuk tidak menjatuhkan pidana. Terdakwa tetap dijatuhi pidana apabila memang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sementara mengenai jenis dan lamanya pidana tergantung kepada kebijakan hakim yang memeriksa perkara tersebut. Memang dalam sistem hukum Indonesia, tidak terdapat dasar hukum yang pasti mengenai perdamaian sebagai hal yang meringankan. Namun, dijadikannya perdamaian tersebut sebagai hal yang meringankan di samping karena 120 Ibid Universitas Sumatera Utara terdakwa telah mengakui dan menyesali kesalahannya, bersikap sopan di persidangan dan terdakwa belum pernah dihukum, bukan dikarenakan ada aturan hukum yang mewajibkannya, melainkan karena alasan etika moral dari hakim itu sendiri. 121 Dalam hukum pidana, korban tidak mempunyai peranan yang kuat untuk menentukan putusan. Kadangkala di persidangan, pihak korban maupun keluarga korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Korban dan pelaku sama sekali tidak mempermasalahkan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut dan melalui perdamaian dirasa sudah cukup mengakhiri perkaranya. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, hakim tidak pernah merasakan suatu kegamangan dalam memutus perkara walaupun ada permohonan korban untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Hakim lebih memilih untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, walaupun korban dan terdakwa merasa tidak diuntungkan dengan pengenaan pidana tersebut bagi terdakwa. Sifat hukum publik dalam hukum pidana lebih dikawal oleh hakim. Pemberian pidana tersebut bukan hanya ditujuan kepada pihak terdakwa, melainkan lebih ditujukan kepada kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu ketertiban umum. Pemidanaan juga harus bermanfaat kepada masyarakat agar setiap orang yang berpotensi untuk melakukan tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut lebih berhati-hati. Artinya, dalam hukum pidana, kepentingan yang dilindungi itu bukan hanya kepentingan korban, melainkan juga kepentingan masayarakat yang mengalami dampak tidak langsung dari tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. 122 Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas pada umumnya dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa. Namun, walaupun pada sebagian kasus, hakim 121 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 122 Ibid Universitas Sumatera Utara tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa, hal tersebut memang wajar karena eksistensi perdamaian tersebut memang ranah kebijakan hakim. Keinginan untuk mempertimbangkan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tersebut merupakan pilihan secara etika moral hakim itu sendiri. Namun, alangkah lebih baik jika perdamaian tersebut dipertimbangkan oleh hakim. 123 Dalam beberapa perkara kecelakaan lalu lintas yang juga pernah diperiksa oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidak ada. Hal ini dimungkinkan jika tidak terdapat kesepakatan antara para pihak. Namun, walaupun dalam berkas perkara tidak terdapat perdamaian, bukan berarti hal tersebut dijadikan sebagai hal yang memberatkan pidana bagi terdakwa. Alasan yang memberatkan pidana yang selama ini dijadikan hakim dalam pertimbangannya adalah adanya pengulangan tindak pidana, berbelit-belit, tidak sopan di persidangan dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana. Sementara mengenai ketiadaan perdamaian tersebut, bukan serta merta menjadi alasan yang memperberat pidana bagi terdakwa. Hakim biasanya terdorong untuk menganjurkan perdamaian antara pelaku dengan korban walaupun dalam hukum pidana, hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menganjurkan perdamaian tersebut seperti dalam hukum perdata. Hal ini dilandasi oleh etika moral dari hakim agar tercipta hubungan yang lebih baik bagi para pihak walaupun bukan berarti terdakwa tidak akan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. 124 123 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 124 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara

B. Tidak Dapat Meringankan Pidana

Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No.501 Pid. B 2012 PN. Mdn, mengenai karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan, dengan identitas terdakwa: Nama Lengkap : Jonfriadi Sitopu Tempat Lahir : Medan Umur tgl Lahir : 38 tahun . 19 Februari 1973 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat Tinggal :Jl. Titipapan Gg. Persatuan No. 3 Kel. Sei Sikambing D Medan Pekerjaan : Pengemudi Pendidikan : - Duduk Perkara: Pada hari jumat tanggal 04 November 2011 sekitar pukul 18.48 WIB, di Jl. D. I. Panjaitan simpang Jl. Sekunder Medan, terdakwa yang sedang mengendarai mobil angkot KPUM BK 1078 GW pada awalnya menyenggol mobil Innova di Jalan Sekunder, Medan, dari arah barat menuju timur dengan kecepatan 60-70 kmjam, karena terburu- buru dan cuaca dalam keadaan hujan deras serta tidak lagi memperhatikan kendaraan dari arah lain yang menabrak pintu kiri belakang mobil Suzuki Swift milik saksi Muhammad Fakrie yang berjalan dari arah selatan ke utara, sehingga akibat perbuatan terdakwa mobil milik saksi Muhammad Fikrie mengalami kerusakan pada bagian pintu Universitas Sumatera Utara kiri belakang. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat 1 UU RI No. 22 tahun 2009 yang mengatur mengenai “karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan” Dalam perkara tersebut telah terdapat perdamaian antara korban dengan terdakwa. Surat perdamaian perdamaian tersebut dibuat dengan dilengkapi materai pada tanngal 21 Februari 2012. Pada pokoknya, perdamaian tersebut berisikan kesepakatan antara korban dengan terdakwa untuk berdamai. Perdamaian tersebut dilakukan dengan membayar ganti rugi sebesar Rp. 6.500.000,- enam juta lima ratus ribu rupiah. Perdamaian tersebut dibuat dengan itikad baik antara kedua belah pihak, tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan pihak korban juga dengan ikhlas menerimanya. Namun perkara kecelakaan lalu lintas tersebut tetap dilanjutkan secara hukum walaupun para pihak telah sepakat untuk berdamai. Berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa Jonfriadi Sitopu terbukti secara sah dan meyakinkan hakim telah melakukan kejahatan karena kealpaannya menyebabkan kerusakan kendaraan danataubarang. Majelis hakim menjatuhkan pidana pidana penjara selama 8 delapan bulan, hakim juga menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam masa percobaan selama 1 satu tahun berakhir. Dalam menjatuhkan pidana tersebut, hakim mempertimbangkan hal yang meringankan dan memberatkan pidana bagi terdakwa. Yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa merugikan saksi korban; Yang meringankan : Universitas Sumatera Utara - Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum ; Dalam putusan tersebut, ternyata hakim Pengadilan Negeri medan, yang diketuai oleh S.B. Hutagalung, S.H, M.Hum, tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut. Hakim hanya mendasarkan pada pengakuan dan penyesalan terdakwa serta belum pernahnya terdakwa dihukum sebagai hal yang meringankan. Dari putusan-putusan tersebut diatas, maka perdamaian yang telah terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana tidak dengan sendirinya menghapuskan perbuatan atau pertanggungjawaban pidana yang telah dilakukan terdakwa meskipun sudah ada surat pernyataan yang dibuat oleh pelaku dan korban yang pada intinya korban sudah memaafkan terdakwa dan tidak akan menuntut terdakwa atas perbuatan yang dilakukannya serta memohon agar perkaranya tidak diteruskan secara hukum. Perdamaian tersebut pada sebagian kasus hanya sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa. Hal ini terlihat dengan tetap dipidananya terdakwa. Dari putusan-putusan tersebut juga, ternyata tidak semua pertimbangan hakim yang mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana. Hal ini tergantung kepada kebijakan hakim karena sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Berkaitan dengan putusan tersebut, menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Medan, tidak adanya kewajiban hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam menjatuhkan putusan mengakibatkan terjadinya perbedaan persepsi bagi hakim. Hal tersebut mengakibatkan adanya beberapa hakim yang tidak mempertimbangkan perdamaian dalam memutus perkara. Dalam perkara ini, moral Universitas Sumatera Utara hakimlah yang menentukan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut. 125

C. Dapat Menghapuskan Pidana

Perdamaian sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana tidak terdapat dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam perkara kecelakaan lalu lintas. Hal ini disebabkan karena dalam KUHP telah disebutkan secara limitatif hal-hal yang dapat menghapuskan pidana. Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para pihak tidak akan meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan tidak akan menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus pidana bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima secara utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak menjatuhkan pidana. 126 Menurut penulis, Hakim Pengadilan Negeri Medan masih menganut pandangan yang hanya bersumber kepada undang-undang saja legalistik. Menurut Montesquie, sumber hukum bukan hanya undang-undang. Sumber hukum itu terdiri dari sumber hukum formil dan materil. Sumber hukum dalam arti formal yaitu tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis adalah undang-undang, sedangkan yang tidak tertulis adalah hukum kebiasaan, hukum adat, traktat, doktrin, perjanjian, asas-asas hukum internasional dan lain-lain. Sedangkan dalam arti materil adalah Pancasila. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia harusalah merupakan nilai yang dapat memelihara dan 125 Ibid 126 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antar kepentingan individu satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak. 127 Tetapi karena pendidkan hukum aparatur penegak hukum masih rendah, maka sulit baginya berpikir berdasarkan sumber-sumber hukum tersebut di atas untuk mengaplikasikannya ke dalam masalah hukum yang sedang di proses di dalam praktek. Misalnya, dalam kasus pembunuhan antara suku adat di Jambi, yang kemudian diakhiri dengan perdamaian secara adat, sehingga selesailah masalahnya. Tetapi oleh kepolisian, kasus yang sudah selesai dengan perdamaian tersebut diproses lagi dengan alasan adanya perdamaian tidak menghapus delik. Inilah yang menjadi dasar proses tersebut diteruskan dan ini secara juridis bertentangan dengan hukum adat yang masih diakui di Indonesia. Sebenarnya, jika ketentuan adat tersebut ingin diakui kepastian hukumnya di Indonesia, maka perdamaian tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Maka untuk dijadikan sebagai legalitas, tidak perlu diproses lebih lanjut lagi. Demikian juga dengan perkara kecelakaan lalu lintas, adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas secara ikhlas dan suka rela merupakan wujud konsesualitas yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebagai pengejawantahan sila keempat Pancasila, nilai musyawarah ini seharusnya lebih dihormati dan dihargai sebagai kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Seharusnya perdamaian yang telah dilakukan tersebut, dijadikan sebagai akhir penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas karena memang itu yang dikehendaki oleh pelaku dan juga korban. Hal ini sejalan dengan teori Hukum Pidana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister dan N. Keijzer, seorang ahli hukum Belanda, yang menyatakan bahwa unsur perbuatan pidana itu adalah jika seseorang terbukti melakukan bahwa perbuatannya itu sifatnya tercela atau dilakukan dengan kesalahan atau merugikan 127 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing, Medan, 2014, halaman 11 Universitas Sumatera Utara orang lain. Seseorang bisa dipidana jika perumusan deliknya terpenuhi, baik formal maupun materil dan sifat perbuatan melawan hukum terpenuhi baik formal maupun materil serta perbuatan itu tercela. Akan tetapi, jika perbuatan itu tidak lagi tercela dan tidak ada yang dirugikan, maka seseorang itu tidak dapat dipidana. 128 Demikian juga dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, dengan adanya pemaafan, ganti kerugian, biaya perawatan maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pelaku terhadap pihak korban dan pihak korban menerimanya dengan ikhlas dan memaafkan pelaku, maka sebenarnya tidak ada lagi pihak yang dirugikan serta sifat tercela dari perbuatan pelaku tersebut menjadi hilang karena adanya itikad baik dari pelaku untuk meminta maaf dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan, khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa yang mewakili kepentingannya. Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta 128 Ibid, halaman 12. Universitas Sumatera Utara sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana integrated criminal justice system, yaitu suatu sistem yang berusaha menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi. Perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia, 129 yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang terkandung dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut. Selain hal-hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi urgensi perlunya perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas menjadi alasan yang dapat menghapus pidana: a. Perdamaian dilihat dari tujuan pemidanaan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan rasional dalam menetapkan suatu jenis pidana mengandung arti bahwa pidana yang dipilih itu harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rasional yang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan pemidanaan wajib dipertimbangkan oleh hakim sebab persepsi hakim tentang fiilsafat pemidanaan dan tujuan pemidanaan memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana . Molly 129 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bandung, 1996, halaman 30-31. Universitas Sumatera Utara Cheang sebagaimana di sitir Muladi, pernah menyebut tujuan pemidanaan sebagai kesulitan utama seorang hakim yang mungkin berpikir bahwa tujuan berupa pencegahan hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim yang lain akan berpendapat bahwa pengenaan pidana denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan memidana lebih berat sebab pandangannya adalah pidana harus cocok dengan perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan member pidana yang lebih ringan, sebab ia berpendapat bahwa pidana harus cocok dengan orangnya. Apalagi dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum pernah tercapai suatu kesepakatan di antara para sarjana. 130 Perumusan tujuan pemidanaan telah dicantumkan dalam RUU KUHP 2013 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 1 Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan d. Membebaskan rasa bersalah terpidana. 2 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Menurut Djoko Prakoso, tujuan pidana dan pemidanaan menurut konsep RUU KUHP bertolak dari suatu pandangan filosofis tertentu, yakni filsafat pembinaan. Perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana pada dasarnya bertujuan untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi antara mereka dengan cara 130 Alef Musyahadah R. Op. Cit. halaman 106 Universitas Sumatera Utara kekeluargaan . ini berarti perdamaian telah mendukung tujuan pemidanaan seperti yang tercantum dalam konsep KUHP tersebut. 131 Perdamaian tersebut sesungguhnya sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam hukum adat. Perwujudan perdamaian berupa permintaan maaf, rasa penyesalan, pemberian ganti kerugian baik berupa biaya pemakaman, biaya perobatan, maupun biaya perbaikan merupakan pengembalian ke keadaan yang seimbang atas kegoncangan yang terjadi. Bila dikaitkan dengan ajaran postulat Krannenburg, yang mengatakan bahwa sifat tata susuna masyarakat tradisional sudah mencerminkan asas yang universal dalam ilmu hukum pidana modern, yaitu melalui pengembalian keseimbangan dalam masyarakat yang disebabkan oleh tindakan salah seorang warganya yang mengakibatkan kerugian materil psikologik warga masyarakat lain. Perwujudan kea rah pemulihan keseimbangan dalam tata hidup masyarakat demikian itu mengandung aspek edukatif yang tidak hanya berlaku bagi si pelaku tindak pidana tetapi juga kepada anggota masyarakat lainnya. 132 b. Perdamaian mengandung wujud tanggung jawab pelaku terhadap korban. Perdamaian merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik melalui perdamaian ini tampaknya banyak dilakukan pada masyarakat Batak, Jawa dan Bali yang memandang bahwa penyelesaian dengan jalan damai merupakan nilai terpuji dan dijunjung tinggi sehingga mendapat dukungan yang kuat. Hukum adat Indonesia memandang bahwa setiap penyimpangan terhadap aturan- aturan adat akan menimbulkan kegoncangan ketidakseimbangan , sehingga terhadap 131 Ibid 132 Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra AdityaBakti, Bandung, 1995, halaman 117 Universitas Sumatera Utara orang yang melanggr aturan tersebut dikenakan sanksi reaksi adat. Sanksi reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindaklan ataupun usaha untuk mengembalikan ketidakseimbangan, termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magisakibat adanya gangguan yang berupa pelanggaran adat.pemberian sanksi adat tersebut berfungsi sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dan dunia ghaib, bukan penderitaan. Soepomo menyebutkan ada beberapa bentuk sanksi adat, yaitu: a. Penggantian kerugian immaterial dalam berbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan. b. Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena yang berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani. c. Selematan korban sebagai upaya untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran ghaib. d. Penutup malu, permintaan maaf. e. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati. f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum. Hukum kebiasaan itu biasanya yang lebih menyesuaikan konflik -konflik sosial disbanding hukum positif yang ada, sebab dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini tidak mustahil di samping tunduk kepada hukum positif masih mengikuti hukum kebiasaannya sendiri, termasuk sistem mediator seperti yang terdapat di Kalimantan, Irian Jaya dan sebagainya. 133 Nilai-nilai yang menjelma dalam perdammaian tersebut merupakan hukum yang hidup the living law sebab ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, hukum yang hidup dalam suatu 133 Alef Musyahadah R. Op. Cit. halaman 109. Universitas Sumatera Utara masyarakat merupakan suatu sistem hukum hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu hukum sebagia suatu proses nyata dan aktual. Hukum yang hidup ini harus digali melalui suatu penemuan hukum rechtsvinding para hakim yang dasar kekuatan hukumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 25 ayat 1 dan 28 ayat 1 dan 2. 134 Pasal 25 ayat 1 menyatakan sebagai berikut: “ segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sum ber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa hakim harus menentukan hal-hal yang harus duipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana. Pasal 28 ayat 1 dan 2 berbunyi sebagai berikut: 1 Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 2 Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahta dari terdakwa. Ketentuan tersebut mengharuskan hakim dalam menjatuhkan pidana selalu mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat bahkan sifat baik dan juga sifat jahat terdakwa. Adanya sifat baik dari terdakwa untuk berdamain dalam bentuk permohonan maaf, pemberian ganti kerugian, pembayaran biaya perobatan dan biaya pemakaman atas kecelakaan lalu lintas yang terjadi seharusnya dipertimbangkan juga oleh hakim dalam putusannya. c. Perdamaian dilihat dari perspektif kemanfaatan bagi korban dan pelaku tindak pidana lalu lintas. 134 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit, halaman 138 Universitas Sumatera Utara Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang berupa penjatuhan pidana pemidanaan mengandung arti telah terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku dan pemindahan pengasingan pelaku dari masyarakat lingkungannya. Tidak hanya pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terkena stigmacap jahat, tetapi juga keluarganya menanggung beban malu dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marginal. Narapidana dianggap orang yang berbahaya dan masyarakat akan menerima bekas narapidana masih ragu-ragu dan khawatir terhadap kelakuan baik narapidana tersebut, sehingga sulit untuk bersosialisasi kembali dengan masyarakat termasuk sulit untuk mencari nafkah mendapatkan pekerjaan. Berbagai kritik pidana dijatuhkan terhadap efek negative pidana perampasan kemerdekaan. Usaha-usaha untuk mencari alternatif pidana banyak dilakukan. Melihat kenyataan tersebut, perdamaian dapat menjadi alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Manfaatnya, terpidana akan terhindar dari stigmaisasi jahat dari masyarakat dan terhindar dari pengaruh negative subkultur pidana penjara, anak istri dan sanak saudara tidak menanggung beban malu. Terpida juga tetap dapat menghidupi keluarga. Hal ini seharusnya perlu dipertimbangkan bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas karena pelaku telah meminta maaf, menyampaikan rasa penyesalan dan memberikan sejumlah ganti kerugian dan korban telah memaafkan pelaku. Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan tidak pernah didikutsertakan sehingga pada gilirannya, mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga belum tentu pihak korban merasa puas dengan hasil akhir dari putusan hakim. Penderitaan kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut umum dan kerban tersebut sebenarnya tidak sepakat jika perkara Universitas Sumatera Utara tersebut diproses dengan hukum melalui perdamaian yang telah disepakati dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang mencuri kesempatan dari konflik antara para pihak dan diwujudkan dalam dua pihak, pertama negara dan dilain pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Melalui perdamaian, hak tersebut dapat dikembalikan kepada pihak korban. Pemberian ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban dapat mengurangi beban penderitaan yang berwujud material, terutama bagi korban yang ekonominya tidak mampu. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku dapat digunakan untuk biaya perawatanpengobatan, pemakaman apabila korban meninggal dunia meskipun sebenarnya penderitaan moril korbankeluarga korban tidak dapat dihilangkan sama sekali. Bahkan apabila terdakwa kebetulan mampu dan mempunyai kedudukan yang terpandang dapat membantu dengan berbagai cara sehingga terjalin hubungan baik antara pelaku tindak pidana dengan korbankeluarga korban. Hal tersebut merupakan pengejawantahan penyesalan dan tanggung jawab terhadap korban dn dapat juga mengembalikan hubungan baik antara pembuat dengan korbankeluarga korban. d. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dilihat dari persepektif keadilan restoratif Pasca perkembangan orientasi pemidanaan yang mendudukkan korban sebagai bagian penting dari tujuan pemidanaan. Perkembangan pemikiran tentang pemidanaan selanjutnya bergerak ke ranah orientasi baru di mana penyelesaian perkara pidana merupakan suatu hal yang seharusnya menguntungkan para pihak. Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dapat menjawab tuntutan tersebut. 135 Duff sebagaimana yang dikutip oleh Lode Walgrave menyatakan bahwa restorative justice are not “alternative to punishment but alternative punishment”. Sementara Stephen VP. Grey menyatakan keadilan restorative sebagai a way of 135 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Pardigma Pemidanaan, CV Lubuk Agung. Bandung, 2011, halaman. 63. Universitas Sumatera Utara responding to crime. PBB melalui Basic Principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restorative merupakan pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.P. Hoefnagels yang mengatakan bahwa politik criminal harus rasional a rational total of the responses to crime. Pendekatan restoratif merupakan suatu paradigm yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. 136 Penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus kepada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini diimplementasikan dengan adanya perbuatan yang merupakan gambaran dari perubahan sikap para pihak yang sering diistilahkan dengan stakeholder yang merupakan pihak-pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang terjadi. Stakeholder utama dalam hal ini adalah pelaku yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, korban sebagai pihak yang dirugikan dan masyarakat dimana peristiwa tersebut terjadi. Program dari keadilan restorative adalah adanya kesepakatan para pihak yang terlibat. Kesepakatan di sini adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada adanya pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat di atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. Kesepakatan berupa perdamaian dalam hal ini bisa diartikan sebagai suatu upaya memicu proses reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh karenanya kesepakatan tersebut dapat berbentuk pemberian biaya perobataan, biaya pemakaman ataupun ganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Dalam konsep restoratif ini pentingnya dibuka suatu akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan 136 Ibid, halaman 65 Universitas Sumatera Utara penyelesaian akhir tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan paling menderita. Selain itu, melalui pendekatan restorative ini, terdapatnya suatu kerelaan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Makna kerelaan dalam hal ini harus diartikan sebagai adanya introspeksi diri dari pelaku sehingga muncul kesadaran untuk menilai perbuatannya dengan pandangan yang benar. 137 Demikian pula dalam perkara kecelakaan lalu lintas ini, maka pendekatan keadilan restorative merupakan hal yang akan menempatkan pelaku ikut serta dalam menentukan keputusan, tidak menggantungkan keinginannya melalui jaksa penuntut umum. Pada sistem pemidanaan selama ini, korban bukanlah pihak yang ikut menentukan hasil dari putusan. Korban hanya ditempatkan sebagai pelengkap penderita yaitu salah satu alat bukti yang dipakai untuk menggiring pelaku ke arah pertanggung jawaban pidana berupa penjatuhan sanksi yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apakah sanksi yang dijatuhkan memberikan keuntungan kepada korban atau tidak, hal demikian bukanlah merupakan bagian penting yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Hal inilah yang sering menimbulkan kegamangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara yang sudah mengandung perdamaian. 138 Sehingga penyelesaian yang diperoleh melalui pendekatan restoratif ini adalah sesuai dengan kehendak korban dan juga pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga hukum yang diterapkan menuju kepada hukum yang hidup living law dan berjiwa progresif. Jika dilihat dalam RUU KUHP 2013, sebagai ius constituendum bangsa Indonesia, perdamaian dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan pidana. Hal ini dapat dilihat dengan diaturnya pedoman pemidanaan yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Salah satu pedoman pemidanaan bagi hakim yang 137 Ibid, halaman 76 138 Ibid, halaman. 169 Universitas Sumatera Utara diatur dalam RUU KUHP 2013 mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan. Disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 bahwa dalam pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban danatau keluarga korban; danatau: k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan dalam ayat tersebut memberikan pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam memberikan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan butir-butir pemidanaan tersebut, diharapkan pidana yang akan dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik masyarakat maupun terpidana. Dikaitkan dengan konsep perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, maka berdasarkan penelitian ini, bentuk perdamaian yang antara lain terdiri atas permintaan maaf, pernyataan rasa penyesalan, pemberian ganti rugi, baik pemberian biaya perawatan, biaya perbaikan maupun biaya pemakaman,merupakan wujud tanggung jawab pelaku kepada korban atas perbuatan yang telah dilakukan. Hal Universitas Sumatera Utara ini dapat disamakan dengan sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 ayat 1 huruf f RUU KUHP 2013. Ketentuan mengenai perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidan juga telah diatur secara eksplisit dalam pasal 55 ayat 1 huruf j, yang menyatakan bahwa pemaafan dari korban danatau keluarganya wajib dipertimbangkan hakim dalam sistem pemidanaan. Pernyataan maaf dari pelaku tindak pidana terhadap korban kecelakaan lintas merupakan salah satu bentuk perdamaian yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana pihak korban secara ikhlas memaafkan pelaku tinda pidana kecelakaan lalu lintas. Perkembangan hukum pidana dalam RUU KUHP 2013 memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberikan pengampunan pemaafan kepada terdakwa meskipun ia terbukti bersalah. Pengaturan perdamaian dalam RUU KUHP 2013 ini mulai dipertimbangkan sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas Hal ini dapat dilihat dalam pasal 55 ayat 2 RUU KUHP 2013 yang menyatakan bahwa: “ ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Ayat 2 ketentuan tersebut dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk member maaf kepada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan tidak serius. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Universitas Sumatera Utara Jika melihat pada isi pasal tersebut, maka unsur-unsur atau kriteria bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana meskipun seseorang terlah terbukti bersalah adalah: 1. Ringannya perbuatan; 2. Keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian; Pada kriteria kedua bagi hakim untuk memberikan pengampunan yaitu “keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian,” maka dimungkinkan bagi pelaku baik pada waktu maupun sesudah terjadinya tindak pidana melakukan perbuatan-perbuatan seperti permintaan maaf, menyatakan rasa menyesal, memberikan ganti kerugian baik berupa uang maupun perbaikan barang atas perbuatan yang dilakukannya kepada korban dan korban memaafkan serta tidak akan menuntut pelaku atas perbuatannya. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentukwujud dari perdamaian, oleh karena itu, perdamaian yang telah dilakukan oleh korban dengan pelaku, menurut hemat penulis dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memeberikan pengampunan rechterlijk pardon judicial pardon. Hal ini berdasarkan kenyataan yang terjjadi di masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang sering ditempuh melalui jalur perdamaian. Perdamaian yang dilakukan berupa permintaan maaf, pemberian ganti kerugian, biaya perawatan maupun biaya pemakaman dapat disamakan dengan keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 ayat 2 RUU KUHP 2013 ini. Oleh karena itu, upaya perdamaian antara korban dengan pelaaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas ini memiliki prospek yang besar sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Perdamaian dalam hal ini sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pihak. Bagi pelaku tindak pidana itu Universitas Sumatera Utara sendiri akan terbebas dari rasa bersalah dan stigmatisasi dari masyarakat sebagai orang yang pernah melakukan tindak pidana dan bagi para korban sendiri akan terbebas dari perasaan dendam dan pada akhirnya akan menciptakan hubungan yang harmonis antara korban dengan pelaku tindak pidana. RUU KUHP 2013 mulai menempatkan penyelesaian perkara pidana secara damai sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku. Konsep RUU KUHP 2013 ini lebih menekankan kepada upaya restorasi daripada penjatuhan pidana. Namun, pemikiran mengenai perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas sebagai alasan yang dapat menghapus pidana masih menuai kontroversi. Jika dilihat dalam perspektif yang berbeda, perdamaian sebagai alasan menghapus pidana akan menimbulkan adanya ketidaktertiban dalam masyarakat. Pengemudi kendaraan tidak akan mempunyai kehati- hatian dalam mengemudikan kendaraannya. Golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang memadai akan sesukanya mengemudikan kendaraan tanpa adanya rasa takut akan mengakibatkan kecelakaan. Upaya preventif dalam penanggulangan pidana tidak akan tercapai. Pemberian ganti kerugian akan menyelesaikan masalah tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut secara pidana. Hal ini tentu akan mengakobatkan kekacauan chaos di masyarakat. Sementara di pihak lain, pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang tidak mempunyai uang untuk berdamai dengan pihak korban, pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Pada akhirnya, hukum itu hanya berlaku hanya untuk orang-orang yang miskin bukan untuk semua orang tanpa terkecuali sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum equality before the law . 139 Selain itu, jika perdamaian ini diakomodir dalam hukum pidana akan mengakibatkan terjadinya pergeseran sekat antara hukum pidana dengan hukum perdata. Hal ini 139 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014. Universitas Sumatera Utara diakibatkan karena, pada dasarnya, hukum pidana merupakan ranah hukum publik yang mengandung konsekuensi bahwa setiap terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan pidana, maka negaralah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya. Pernyelesaian perkara pidana tidak dapat diselesaikan secara sepihak oleh para pihak yang berperkara tanpa peran serta aparatur negara. 140 140 Ibid Universitas Sumatera Utara 102

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI PERDAMAIAN ANTARA

KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEDAN A. Kebijakan Penal Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” Inggris atau “politiek” Belanda. Bertolak dari kedua istilah ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat juga disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy ”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “politik hukum” adalah: 141 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicit-citakan. Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana”berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik 141 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 1. Universitas Sumatera Utara hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakn atau membuat dan merumuskan suatu perundang- undangan yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal policy ” dari Marc Ancel dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara l ebih baik”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” the positif rules dalam defenisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. 142 Kebijakan hukum pidana dalam bahasa Hofgels disebut Criminal Policy. Kebijakan hukum pidana sering disebut dengan istilah kebijakanpolitik kriminal. Prof Sudarto, S.H pernah mengemukakan tiga arti penting mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 143 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Joseph, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan defenisi singkat bahwa politik criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dari menanggulangi kejahatan”. Defenisi ini diambil dari Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational 142 Ibid., halaman. 23. 143 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 1 Universitas Sumatera Utara organization of the control of crime by society ”. Berdasarkan dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime ”. 144 Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime. Hal ini berarti politik kriminal dapat diartikan sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. 145 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 146 Kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy sebagai bagian dari penegakan hukum law enforcement harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut Hoegels, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy selain merupakan usaha yang rasional dari masyarakat terhadap kejahatan, kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejaharan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan meyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. Kebijakan ini termasuk 144 Ibid 145 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, halaman 13 146 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, halaman 2 Universitas Sumatera Utara bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dianggap sebagai kejahatan criminal policy of designating human behavior as crime. 147 Politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum dalam tataran makro, dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 148 Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang- undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa pembentukan undang- undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sanggat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang sangat luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang- undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi: 1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai;dan 2. Fungsi instrumental. Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat instrument belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber dari Pancasila, maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannyya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi 147 Mahmud Mulyadi, Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, halaman17 148 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit.. Universitas Sumatera Utara berfungsi dalam arti yang sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat idealism Pancasila. 149 Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal law”, dan “Penal Policy”. Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pad akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang- undang, tetapi juga kepada Pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya: 150 “Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis disatu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maj u lagi sehat.” Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Dengan penegasan di atas berarti, masalah kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogianya menjadi pusat perhatian kriminologi. Terlebih memang “pidana” sebagai salah satu bentuk reaksi atau respon 149 Ibid, halaman 14 150 Ibid., halaman. 19. Universitas Sumatera Utara terhadap kejahatan, merupakan salah satu objek studi kriminologi. Dalam penataran kriminologi disajikan bahan- bahan mengenai kebijakan hukum pidana atau “Penal Policy ” yang pada dasarnya merupakan bagian dari politik kriminal. 151 . Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan hukum itu termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu suatu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 152 Kebijakan hukum pidana sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yakni meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang dan bagaimana peerapan hukum pidana ini melalui komponen sistem peradilan pidana serta tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen mencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum sesuatu kejahatan terjadi. Berkaitan dengan hal ini, maka ada yang menjadi permasalahan krusial yaitu apakah penerapan hukum pidana dapat dijadikan instrumen prncrgahan krjahatan. Persoalan ini muncul karena selama ini banyak menganggap bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Upaya mencari jawaban tersebut harus diarahkan untuk mengungkap secar filosofis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan filosofis ini sangat penting untuk mencari kearah mana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan.pembabakan tujuan pemidanaan ini 151 Ibid., halaman. 20. 152 Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, halaman. 148 Universitas Sumatera Utara dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment dan social defence. 153 Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally justified” pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asusmsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu ya ng mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar hal ini merupakan bentuk tanggung jawab moral dan kesalahan pelaku. Teori retributif ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu, pelaku kejahatn harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. 154 Teori detterence menurut Zimring dan Hawkins digunkan secara lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the detterence effect” dari anacaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancama bagi seluruh masayarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivsm karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai detterence effect ini dapat dibagi menjadi pencegahan umum general detterence dan pencegahan khusus indivdual detterence. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada 153 Mahmud Mulayadi, Op. Cit, halaman 67 154 Ibid, halaman 68 Universitas Sumatera Utara masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini mempunyai 3 tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa pidana yang dijatuhkan memberikan detterence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi kejahatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan masayarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku. 155 Teori treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sanagt pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun, pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memebrikan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation. Sementara teori social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah perang dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Flippo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandanag social defence ini pecah menjadi dia aliran, yaitu aliran radikal ekstrim dan aliran moderat reformis. Aliran yang radikal berpendapat bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan pidana yang ada sekarang ini. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sementara pandangan moderat berpendapat bahwa tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan- peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan utnuk kehidupan bersama 155 Ibid, halaman 74. Universitas Sumatera Utara masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan pemenuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Tujuan pemidanaan tidak boleh dilepaskan dalam kebijakan hukum pidana. Tujuan pemidanaan yang hendak dicapai dengan pemberian pidana darus diperhatikan agar penegakan hukum pidana sebagai salah satu kerangka kebijakan kriminal lebih terarah. Kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan melalui kebijakan penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive sesudah tindak pidana kecelakaan lalu lintas terjadi. Artinya setelah terjadi tindak pidana kecelakaan lalu lintas, maka pelaku diberikan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pasal 359, 360 dan 361 KUHP atau Pasal 310,311 dan 312 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut KUHP, pengaturan sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP, yang terdiri atas: a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda b. Pidana tambahan 1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang yang tertentu 3. Pengumuman keputusan hakim Dalam KUHP, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa Universitas Sumatera Utara tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang disebut dengan istilah “ mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya”. Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359. 360 dan 361. Pada pasal 359, yaitu kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya orang diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara dalam pasal 360 ayat 1 yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang luka berat diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lmanya satu tahun. Pasal 360 ayat 2 yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka sederhana sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, diancam pidana penjara selama - lamanya sembilan bulan atau pidan kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-. Pasal 361 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dalam melaksanakan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka dinacam pidana dengan ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari pekerjaannya dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, maupun kecelakaan lalu lintas berat. Pasal 310 ayat 1 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu Universitas Sumatera Utara lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp. 1.000.000,-. Pasal 310 ayat 2 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp. 2.000.000,-. Pasal 310 ayat 3 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan ataudenda paling banyak Rp. 10.000.000,- . Sementara dalam pasal 310 ayat 4 , jika tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia, diancam dengan pidana paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- Tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana yang lebih berat daripada karena kelalaian. Hal ini dapat dilihat dari pengaturannya dalam pasal 311. Dalam pasal 311 ayat 1 mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang secara sengaja dilakukan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,-. Sementara jika kecelakaan lalu lintas tersebut dilakukan dengan mengakibatkan kerusakan kendaraan danatau barang, dalam ayat 2 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,- Dalam pasal 311 ayat 3, dalam hal kecelakaan lalu lintas itu mengakibatkan korban jiwa dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,-. Sementara dalam ayat 4, jika kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana Universitas Sumatera Utara penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- dan jika mengakibatkan korban meninggal dunia, maka diancam dengan pidana paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,- sementara dalam pasal 312, bagi setiap pengemudi kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya dan tidak memberikan pertolongan aau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas. 156 Pidana tambahan juga dapat dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara lalu lintas yaitu berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi SIM atau ganti kerugian. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM larangan mengemudi adalah agar pelaku dalam hal mengemudi menjadi jera dan lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya di kemudian hari. Selain itu, pidana tambahan ini juga berguna agar pelaku tidak dapat mengulangi perbuatannya sebab ia berada dalam kondisi tidak diperkenankan mengemudi hingga berakhir larangan mengemudi tersebut. Selain itu, pidana tambahan berupa ganti kerugian diputuskan hakim jika sebelumnya belum terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian yang harus diberika pelaku kepada korban. Jika sebelumnya telah terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian, maka hakim tidak perlu memutus pidana tambahan berupa ganti kerugian. Dualisme pengaturan kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam KUHP maupun Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebabka n dianutnya asas lex specialis derogate lex generalis. Hal ini disebutka tegas dalam pasal 156 Pasal 314 Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara 63 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khususlah yang diterapkan. Sebagai konsekuensi dari asas tersebut, maka untuk saat ini pengaturan hukum yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas ialah Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Demikian juga mengenai aturan pidananya, maka didasarkan pada undang-undang tersebut karena telah mengatur secara khusus daripada KUHP. Dari pengaturan tersebut di atas, terlihat jelas bahwa baik dalam setiap perkara kecelakaan lalu lintas selalu melekat ancaman pidana. Walaupun telah terdapat perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pertanggungjawaban pidana pelaku. Walaupun kedua belah pihak telah berdamai, pihak korban telah memaafkan pelaku dan adanya pembayaran ganti kerugian berupa biaya perobatan, biaya perbaikan kerusakan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman, proses hukum harus tetap dilanjutkan. Bahkan, walaupun pihak korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas sepakat untuk tidak meneruskan perkaranya secara hukum, hal ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak meminta pertanggungjawaban pidana pelaku. Setelah perkara kecelakaan lalu lintas diperiksa di sidang pengadilan, kekosongan hukum dalam perdamaian kecelakaan lalu lintas ini mengakibatkan terjadinya perbedaan kedudukan perdamaian dalam putusan hakim. Seharusnya perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang diperiksa di Pengadilan Negeri Medan, walaupun telah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, kebijakan kriminal lebih ditekankan pada penjatuhan pidana kepada pelaku. Dalam putusan No.992 Pid. B 2013 PN. Mdn dengan terdakwa Riza Universitas Sumatera Utara Vionita Utami yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 enam bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan diijalankan kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatanpelanggaran atau tidak memenuhi sesuatu syarat yang ditentukan sebelum masa percobaan selama 1 satu tahun terakhir. Sementara dalam putusan No.501 Pid. B 2012 PN. Mdn dengan nama terdakwa Jonfriadi Sitopu karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 8 delapan bulan, hakim juga menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam masa percobaan selama 1 satu tahun berakhir. Dalam perkara dengan terdakwa Riza Vionita Utami, walaupun telah mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat dan meninggal dunia, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana yang berat, melainkan pidana percobaan. Hal ini dikarenakan karena majelis hakim menilai telah ada itikad baik dari pelaku tindak pidana untuk bertanggunggjawab secara moral melalui perdamaian dengan pihak korban. Sementara di lain pihak, dalam perkara dengan terdakwa jonfriadi Sitopu, walaupun secara tertulis perdamaian tersebut tidak dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan pidana, majelis hakim secara moral telah mempertimbangkan perdamaian tersebut untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan kepada terdakwa melalui pemberian pidana percobaan. Menurut Hakim Pengadilan Negeri Medan perdamaian tersebut sangat penting dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana, namun bukan menjadi hal yang menghapus pidana. Pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu Universitas Sumatera Utara lintas bukan hanya semata-mata untuk ditujukan kepada pelaku tindak pidana, melainkan juga untuk memberikan efek pencegahan kepada masyarakat agar tidak lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraan bermotornya. Dengan pemberian pidana kepada pelaku walaupun telah terdapat perdamaian dengan pihak korban, maka tujuan pemidanaan yaitu prevensi umum yang diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan dalam kecelakaan lalu lintas. Tanpa pemberian pidana kepada pelaku kecelakaan lalu lintas akan mengakibatkan kesewenang-wenangan pihak-pihak yang mempunyai banyak uang yang beranggapan bahwa pemberian ganti rugi adalah jalan yang terbaik. Dengan demikian, pengenaan pidana kepada pelaku diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. 157 B. Kebijakan Non Penal Menurut G. P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat dtempuh dengan: 158 a. Penerapan hukum pidana criminal law aplication b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatn dan pemidanaan lewat mass media influencing views of society on crime and punishment mass media. Dengan demikian, butir b dan butir c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya” non- penal”. Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” pencegahan penangkalanpengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama kebijakan penanggulangan kejahatan dengan non penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuhkan atau menimbulkan kejahatan. 157 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014. 158 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, halaman 40 Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kiminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. 159 Beberapa aspek-aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahat khususnya dalam masalah “ Urban Crime’, antara lain disebutkan dalam dokumen A CONF.144L.3 sebagai berikut: 160 a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan kebodohan, ketiadaan kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok serasi; b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan- ketimpangan sosial; c. Mengendurnya ikatan sosial keluarga; d. Keadaan-keadaan kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugiankelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; f. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaanyang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasislitas lingkungan bertetangga; g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masayarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan keluarga familinya, tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya; 159 Ibid. 160 Ibid, halaman, 44 Universitas Sumatera Utara h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor tersebut di atas; i. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; j. Dorongan-dorongan khususnya oleh mass media mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang megarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap tidak toleran intoleransi. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata -mata dengan penal. Di sinilah keterbatasan jalur penal dan oleh karena itu harus ditunjang dengan jalur non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di atas adalah jalur “kebijakan sosial” social policy, yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment ”. Pada dasarnya, kebijakan sosial adalah kebijakan atau upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara materil dan immateril dari faktor-faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, sangatlah tepat apa yang digariskan oleh PBB bahwa “ the over all organization of society should be conceived as anti criminnogenic. Dilihat dari usaha non penal ini berarti perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengefektifkan dan Universitas Sumatera Utara mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditangkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah penanggulangan yang di dasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat community crime prevention. Program- program yang dapat dilakukan anatra lain : 161 1. Pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; 2. Pembinaan tenaga kerja; 3. Pendidikan; 4. Rekreasi; 5. Pembinaan mental melalui agama; 6. Desain tata ruang fisik kota. Dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas, pendekatan kebijakan kriminal melalui non penal memegang peranan yang sangat penting. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kebijakan non penal setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku sama sekali tidak diatur. Dalam undang- undang ini, perdamaian tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri perkara kecelakaan lalu lintas. Setiap terjadinya perkara kecelakaan lalu lintas harus diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, yang berkaitan dengan perkara kecelakaan lalu lintas, hakim lebih berorientasi kepada upaya penal. Sementara upaya non penal cenderung kurang diminati. Upaya non penal berupa pemberian ganti kerugian maupun sanksi administratif tidak pernah dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri 161 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, halaman 58 Universitas Sumatera Utara Medan. Untuk masa yang akan datang, pendekatan non penal perlu mendapat perhatian yang khusus. 162 Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kebijakan non penal setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum di atur. Kebijakan non penal yang diatur adalah pencegahan terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini diatur dengan tegas dalam pasal 226 yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 226: 1 Untuk mencegah kecelakaan lalu lintas dilaksanakan melalui: a. Partisipasi para pemangku kepentingan; b. Pemberdayaan masyarakat; c. Penegakan hukum; dan d. Kemitraan global. 2 Pencegahan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah da n jangka panjang. 3 Penyusunan program pencegahan kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh forum LLAJ di bawah koordinasi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa adanya penyususnan program pencegahan kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh forum LLAJ di bawah koordinasi Kepolisian artinya bahwa khusus untuk urusan pencegahan kecelakaan lalu lintas melibatkan peranan kepolisian. Mengenai forum ini agar lebih jelas maka perlu dikaitkan dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan sebagai berikut: 162 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara 1 Penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 dilakukan secara terkoordinasi. 2 Koordinasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang dimaksud dilakukan oleh forum lalu lintas dan angkutan jalan. 3 Forum lalu lintas dan angkutan jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan mnyelesaikan masalah lalu lintas dan angkutan jalan. 4 Keanggotaaan forum lalu lintas dan angkutan jalan ini terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi dan masyarakat. 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai forum lalu lintas dan nagkutan jalan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam penjelsan pasal 13 ayat 2, yang dimaksud dengan forum adalah badan ad hoc yang berfungsi sebagai wahana untuk menyinergikan tugas okok dan fungsi setiap instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka: a. Menganalisis permasalahan; b. Menjembantani, menemukan solusi, dan meningkatkan kualitas pelayanan; dan c. Bukan sebagai aparat penegak hukum. Setelah menelaah lebih lanjut, dalam isi pasal tersebut, di atas, pada pokoknya forum merupakan badan ad hoc. Artinya eksistensinya sementara. Kenyataan ini sedidkit lontradiktif dengan penyelesaian masalah yang memerlkukan soslusi jangka panjang yakni pencegahan kecelakaan lalu lintas dengan dilakukan oleh forum. Artinya di sini, penyusunan progrm pencegahan kecrlakaan lalu lintas menunggu terbentuknya forum. Hal ini dipahami bahwa masalah kecelakaan lalu lintas dewasa ini merupakan masalah yang cukup serius mengingat korban dan kerugian yang ditimbulkannya . oleh karna itu, Universitas Sumatera Utara upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas merupakan tanggung jawab penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan lebih lanjut ,mengenai forum di ataur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa definisi forum adalah wahana koordinasi antaraisntansi penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 10 PP Nomor 37 tahun 2011 ini disebutkan bahwa terdapat beberapa kriteria masalah yang memerlukan keterpaduan forum. Pasal 10 1 Dalam hal terjadi permasalahan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kompleks dan memerlkukan keterpaduan dalam penyelesaiannya, dibahas dalam forum. 2 Kriteri permasalahan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kompleks dan memerlukan keterpaduan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi: a. Terganggunya Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berdampak negatif terhadap sosial ekonomi; danatau b. Penyelesaiannya memerlukan keserasian atau kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi pembina. Permasalahan mengenai kecelakaan lalu lintas menjadi tanggung jawab forum dalam menyelesaikannya dan membuat kebijakan yang diperlukan. Seperti yang telah diketahu bahwa forum berfungsi untuk menemukan solusi maka sudah barang tentu pembahasan di dalam forum akan menghasilkan kesepakatan. Kesepakatan yang dihasilak oleh forum ini harus dilaksanakan oleh penyelenggara karena setiap penyelenggara itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Forum terdiri dari forum nasional, forum provinsi dan kabupatenkota. Universitas Sumatera Utara Dalam pasal 21 ayat 1 PP Nomor 37 Tahun 2011 ini disebutkan bahwa forum diselenggarakan dalam rangka melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan kabupatrnkota, keanggotaan forum terdiri atas: a. Bupatiwalikota; b. Kepala kepolisian resortresort Kota; c. Badan Usaha Milik Negara danatau Badan Usaha Milik Daerah yang kegiatan usahanya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan; d. Asosiasi perusahaan angkutan umum di kabupatenkota; e. Perwakilan perguruan tinggi; f. Tenaga ahli di bidang lalu lintas dan angkutan jalan; g. Lembaga swadaya masyarakat yang aktivitasnya di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan h. Pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupatenkota Adanya unsur akademisi dan masyarakat sebagai anggota forum telah diamanatkan dalam pasal 13 undang-undang ini. Unsur akademisi diwakili oleh perguruan tinggi sedangkan unrur masyarakat diwakili oleh asosiasi perusahaan angkutan umum di kabupatenkota, lembaga swadaya masyarakatyang aktivitasnya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupatenkota. Dilihat dari sisi upaya non penal ini, berati perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system ” yang ada dalam masyarakat. Mengingat begitu besarnnya peranan forum ini sebagai lembaga dalam pelaksanaan kebijakan non penal dalam kecelakaan lalu lintas, sangat dibutuhkan peran serta dari seluruh pihak yang terlibat untuk mengupayakan upaya pencegahan secara maksimal. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan urain tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan kecelakaan lalu lintas diatur dalam: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang diatur dalam pasal 359, 360 dan 361 KUHP. b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang diatur dalam pasal 310, 311, 312. Universitas Sumatera Utara 2. Eksistensi perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas antara lain: a. Dapat meringankan pidana b. Tidak dapat meringankan pidana c. Dapat menghapuskan pidana 3. Dalam kecelakaan lalu lintas, kebijakan kriminal terdiri atas: a. Kebijakan penal, yaitu kebijakan yang bersifat represif dengan pengenaan pidana bagi pelaku yang melakukan tindak pidana, walaupun telah terjadi perdamaian. b. Kebijakan non penal lebih dititikberatkan pada upaya pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas dengan melibatkan koordinasi antarinstansi yang terkait dengan lalu lintas dan angkutan jalan.

B. Saran

1. Hakim seharusnya lebih progresif dalam menjatuhkan pidana. Kemanfaatan bagi korban maupun pelaku tindak pidana hendaknya lebih diperhatikan sehingga putusan yang dijauhkan hakim dapat memberi manfaat bagi para pihak. 2. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas harapannya dapat dijadikan sebagai alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa sesuai dengan konsep RUU KUHP 2013, sehingga putusan hakim lebih mengarah pada upaya restorasi daripada pembalasan. Universitas Sumatera Utara 40

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS

JIKA TERJADI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN Sebagai konsekuensi peningkatan jumlah kendaraan dan tingginya mobilitas masyarakat, angka kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kecelakaan lalu lintas darat tersebut mengakibatkan korban dari kecelakaan lalu lintas tersebut tidak sedikit, baik korban yang menderita luka ringan, luka berat sampai mengakibatkan korban meninggal dunia serta kerugian-kerugian lain yang timbul karena kerusakan kendaraan akibat kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu. 73 Akibat hukum terjadinya kecelakaan lalu lintas menimbulkan adanya tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Pengaturan hukum mengenai kecelakaan lalu lintas diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 73 Marianna Sutadi, Op. cit halaman 2 Universitas Sumatera Utara

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam KUHP

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie WvSNI yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit Titah Raja Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan copy dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi penyesuaian bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. Jika diruntut lebih jauh, sistematika KUHP WvS terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut: a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal Pasal 1-103. b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal Pasal 104 s.d. 488. c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal Pasal 489- 569. Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua Kejahatan, Buku Ketiga Pelanggaran, dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain Pasal 103 KUHP. 74 Tindak Pidana Kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kejahatan, yakni yang diatur dalam Buku II KUHP Bab XXI yang mengatur mengenai tindak pidana yang menyebabkan seseorang mati atau luka karena salahnya. Memang dalam bab tersebut, 74 Ahmad Bahiej, Sejarah Pembentukan Kuhp, Sistematika Kuhp, Dan Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana. Http: Hynatha30.Files.Wordpress.Com200910Sejarah-Hpi.Pdf. Diakses Tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara secara khusus dalam pasal-pasalnya tidak secara tegas mengatur tentang tindak pidana lalu lintas, tetapi karena pada umumnya kecelakaan lalu lintas disebabkan karena adanya kekurang hati-hatian dari si pengemudi atau kelalaian dari pengemudi, maka untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku kecelakaan lalu lintas, sering menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam bab XXI ini. Dalam praktek tampak, apabila seorang pengemudi kendaraan bermotor menabrak orang yang mengakibatkan korbannya meninggal, banyak orang mengetahui kecelakaan tersebut maka banyak orang mengeroyok sipelaku, sehingga babak belur, maka timbul adanya beberapa “culpa delicten”, yaitu tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang berhati-hati, tetapi dalam kenyataannya hukuman yang dijatuhkan kepada sipelaku tidak seberat seperti hukuman terhadap “doleuze delicten’, yaitu tindak pidana yang berunsur kesengajaan. Pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP diatur dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 359 berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama- lamanya satu tahun”. 75 Adapun unsur-unsur dari Pasal 359 ini adalah: 1. Barang Siapa Bahwa pengertian “ barangsiapa “ ialah setiap orang atau siapa saja sebagai subjek hukum yang dari padanya dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas perbuatannya. 2. Adanya kesalahan atau kelalaian. Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam kesengajaan dan kealpaan. 75 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Politeie, Bogor, 1991, hal.148 Universitas Sumatera Utara Ada 2 dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau yang membayangkan. Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Menurut teori pengetahuan atau membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang yang terlebih dahulu telah dibuat. Dalam hukum pidana, kesengajaan ada 3 bentuk yaitu; 1. sengaja sebagai maksud opzet als oogemerk 2. segaja sebagai kepastian opzet bij zekerheids 3. sengaja sebagai kemungkinan opzet bij mogelijkheids Sementara kealpaan adalah bahwa si pelaku tidak bermaksud melanggar undang- undang, akan tetapi ia tidak mengindahkan undang-undang itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Selanjutnya dengan menutip pernyataan Van Hammel, Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yakni tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana yang diharuskan oleh hukum. 76 Berbuat salah karena kelalaian disebabkan karena tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan itu seharusnya ia gunakan, kurang cermat berpikir, kurang pengetahuan bertindak kurang terarah dan tidak menduga secara nyata akibat fatal dari tindakan yang dilakukan. 76 Syarif,PertanggungjawabanPidana.2012,http:syarifblackdolphin.wordpress.com20120111pertan ggungjawaban-pidana. Diakses tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara 3. Menyebabkan matinya orang lain Hal ini harus dipengaruhi oleh 3 syarat: 1. adanya wujud dari perbuatan. 2. adanya akibat berupa matinya orang lain 3. adanya hubungan klausula antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain. Matinya orang dalam pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang berhati-hati atau lalainya terdakwa culpa, misalnya seorang supir yang menjalankan kendaraannya terlalu kencang sehingga menubruk orang sampai mati atau seseorang yang berburu melihat sosok hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusaa terus ditembak mati, tetapi ternyata sosok yang dikira babi tersebut adalah manausia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati, meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya. Apabila orang yang mati tersebut dimaksud oleh terdakwa maka ia dikenakan pasal tentang pembunuhan pasal 338 atau 340. Jadi dalam pasal 359 ini, pelaku tidak dikenakan pasal tentang pembunuhan pasal 338 atau 340 KUHP. Pasal ini menjelaskan bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian si pembuat dengan tidak menyebutkan perbuatan sipembuat tetapi kesalahannya. Karena salahnya dalam hal ini berarti kurang hati-hati, lalai, lupa maupun amat kurang perhatian. 77 Adapun sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana dalam pasal ini adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun. Selanjutnya dalam pasal 360 KUHP , dinyatakan bahwa : 77 R. Soesilo, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara 1 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukum penjara selama-lamnya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamnya satu tahun. 2 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4500,- 78 Isi pasal ini hampir sama dengan pasal 359, bedanya hanya bahwa akibat dari pasal 359 adalah matinya orang, sementara dalam pasal 360 adalah : 79 a. Luka berat. Dalam pasal 90 KUHP, yang dimaksud dengan luka berat adalah penyakit atau luka yang tak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang mendatangkan bahaya maut terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan, tidak lagi memakai salah satu panca indra, kudung romping, lumpuh, berubah pikiran atau akal lebih dari 4 empat minggu lamanya, menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu. b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit atau terhalang pekerjaan sehari-hari. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku yang melanggar ketentuan pasal 360 ayat 1 tersebut adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara sanksi pada pasal 360 ayat 2 adalah pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,- Selanjutnya, pasal 361 berbunyi: “ Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan 78 Ibid. 79 Ibid, catatan pasal 360 KUHP Universitas Sumatera Utara sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya dalam waktu dalam mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusan itu diumumkan.” Adapun yang dikenakan pasal ini adalah dokter, bidan, ahli obat, supir, kusir, dokar, masinis yang sebagai ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati pasal 359 atau luka berat pasal 360, maka akan dihukum berat. 80

2. Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan dalam KUHP

Dalam hukum pidana ada suatu upaya koreksi yang disebut dengan transaksi dan sepot. Transaksi adalah kemungkinan untuk mencegah adanya terjadinya tuntutan pidana oleh karena ada pelanggaran. Tersangka masih akan dibebani oleh penuntut umum dengan beberapa syarat-syarat tertentu dan jika tersangka dapat memenuhi syarat-syarat itu, maka gugurlah hak penuntut umum melakukan tuntutan pidana. Biasanya syarat- syarat ini adalah pembayaran suatu jumlah uang yang tidak lebih besar daripada maksimum denda yang diancamkan undang-undang terhadap perbuatan tersebut. Polisi juga berwenang untuk melakukan transaksi khususnya untuk pelanggaran lalu lintas. 81 Spot adalah tindakan penuntut umum yang dapat meniadakan penuntutan atas dasar yang dipertimbangkan dari segi kepentingan umum. Sebenarnya tersangka telah melakukan perbuatan pidana yang dapat dituntut, namun mengingat kepentingan umum, penuntut tidak melakukan penuntutan dengan syarat. Biasanya dikaitkan dengan suatu syarat yang dikaitkan pada tindakan tidak menuntut itu, yaitu bahwa si tersangka dalam waktu yang ditentukan harus telah melakukan sesuatu pembayaran ganti kerugian 80 Ibid, catatan pasal 361 KUHP. 81 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 9 Universitas Sumatera Utara terhadap korbannya. Tindakan koreksi ini terdapat dalam pasal 82 KUHP mengenai denda damai afkop. 82 Pasal 82 KUHP berbunyi: “ Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tidak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika denda maksimum telah dibayar dengan kemauan tersendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara jika penuntutan telah dilakukan, dengan izin amtenar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.” 83 Namun dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa denda damai yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP ini hanya terbatas kepada tindak pidana tertentu, yakni pelanggaran. Bila ada orang yang telah berbuat pelanggaran kejahatan tidak termasuk,yang ancaman hukumannya berupa melulu hukuman denda saja, maka orang itu dapat melepaskan diri dari tuntutan pidana dengan membayar denda maksimum hukuman denda yang diancamkan bila sudah mulai penuntutan, juga ongkos perkaranya itu kepada kas negara. Jika pelanggaran itu diancam pula dengan perampasan barang yang tertentu, maka barang tersebut harus diserahkan atau harga barang itu dibayar.hal ini harus ada izin dari pegawai yang ditunjuk oleh undang-undang. Menurut pasal 376 jo 325, pegawai yang ditunjuk itu adalah jaksa pada pengadilan negeri. 84 Tindak pidana kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari Buku II KUHP, yaitu kejahatan. Sehingga pembayaran denda damai afkop tidak akan menghapus dasar penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP. Sering kali dalam berkas perkara pidana tentang kecelakaan lalu lintas yang membawa korban manusia, terdapat surat perjanjian antara si korban atau ahli warisnya dengan si terdakwa perjanjian perdamaian yang pada pokoknya berisi bahwa si korban atau ahli warisnya yang telah menerima bantuan uang santunan dari terdakwa menyatakan menerima 82 Ibid. 83 Ibid. 84 .R. Soesilo, Op. cit,catatan pasal 82 KUHP. Universitas Sumatera Utara musibah yang menimpanya sebagai takdir dan karenanya tidak akan menuntut terdakwa, sebaliknya terdakwa dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa tanpa paksaan siapapun dan dengan rela hati menyerahkan santunan untuk meringankan penderitaan si korban atau ahli warisnya.pemberian santunan tersebut oleh si terdakwa dimaksudkan agar dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya, sedang bagi si korban atau ahli warisnya, santunan tersebut merupakan jalan pintas untuk dapat secepatnya memperoleh pergantian atas kerugian yang dideritanya sekalipun jumlah yang diterimanya berdasarkan perjanjian tersebut jauh daripada memadai. 85 Dalam KUHP, perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas baik berupa maaf, pembayaran ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman dan berbagai bentuk perdamaian lainnya yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada korban tidak dapat dijadikan sebagai alasan menggugurkan tuntutan. Proses peradilan pidana harus tetap dijalani. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP ini tetap wajib diproses sampai ke Pengadilan dan mendapatkan putusan Majelis Hakim. Dengan kata lain, kesepakatan damai antara para korban dengan maupun pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidaklah serta merta dapat menghapuskan tanggungjawab pidana dari si pelaku.

a. Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapus Tuntutan Pidana

Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus penuntutan terhadap pelaku. Dalam KUHP telah diatur beberapa alasan penghapus penuntutan, yakni: 1. Pasal 76 KUHP. 85 Marianna Sutadi, Op. Cit. halaman 3 Universitas Sumatera Utara Pasal ini mengatur Nebis In Idem sebagai alasan penghapus penuntutan. Nebis In Idem artinya seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama. 2. Pasal 77 KUHP. Pasal ini menyatakan bahwa hak menuntut hilang karena terdakwa meninggal dunia. Menurut Vos, memang tepat isi pasal ini karena hukuman hanyya diberikan kepada pelakunya, maka apabila pelakunya meninggal dunia, maka tidak ada yang menjalani hukuman. 3. Pasal 78 KUHP. Pasal ini mengatur tentang hak menuntut menjadi hilang karena lewat waktu kadaluarsa. 4. Pasal 82 KUHP. Pasal ini mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan atau afdoening buiten process, atau menurut Barda Nawawi Arief, sebagai Lembaga Hukum Afkoop penebusan atau sering disebut sebagai schikking perdamaian. 86 Menurut Satochid Kartanegara, pasal ini hanya berlaku untuk pelanggaran tertentu yang diancam dengan hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan hukuman alternatif, seperti pidana kurungan pengganti. Jadi lembaga ini tidak berlaku untuk kategori kejahatan, hanya untuk pelanggaran. 87 Dari pasal-pasal tersebut diatas, kesepakatan damai antara korban dengan pelaku berupa pemberian ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman maupun hal-hal 86 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Badan Penyedia Bahan Kuliah FH Undip, Semarang, 1999, halaman 63. 87 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian kedua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 2008, halaman 224. Universitas Sumatera Utara lainnya dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

b. Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapuskan Pidana.

Demikian halnya juga dengan alasan penghapus pidana. Dalam KUHP juga telah diatur mengenai alasan-alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana terdiri atas: 88 1. Alasan penghapus pidana yang berlaku umum, yaitu dasar penghapus pidana yang dapat diberlakukan kepada semua tindak pidana. 2. Alasan penghapus pidana yang berlaku khusus, yaitu dasar penghapus pidana yang hanya dapat diberlakukan pada subjek hukum tertentu. Alasan penghapus pidana yang berlaku umum terdiri atas: 1. Pasal 44 KUHP Pelaku yang sakit terganggu jiwanya Dalam pasal 44 KUHP ini, pembentuk undang-undang membuat suatu peraturan khusus bagi setiap pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan olehnya. Kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya ada pada hakim kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum. Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal itu, hakim harus mendapatkan keterangan dari saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan psikiatri. Meskipun demikian, hakim dalam memberiikan putusannya tidakalah terikat dengan keputusan yang diberikan oleh psikiater, hakim dapat menerima atau menolak keterangan yang diberikan oleh psikiater tersebut. Penerimaan maupun penolakan tersebut harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan. 89 2. Pasal 48 KUHP Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa 88 Mety Rahmawati, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan pemberat pidana dalam KUHP. Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, halaman. 21 89 Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Refika Aditama, Medan, 2012, halaman 78. Universitas Sumatera Utara Pasal 48 KUHP ini tidak merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut Memorie van Toelichting, maka yang dimaksud dengan paksaan itu adalah suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan, tidak dapat ditahan. Paksaan itu dikenal dengan istilah paksaan yang absolut. Misalnya seorang yang dipaksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang dipegang oleh orang lain yang lebih kuat. 90 3. Pasal 49 ayat 1 KUHP perbuatan yang dilakukan untuk membela diri. Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 91 a Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela tubuhbadan, kehormatan atau harta benda diri sendiri ataupun orang lain. b Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan utnuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir. c Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam keadaan darurat; jika tidak ada pilihan lain perlawanan itu memang merupakan suatu keharusan untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut. Jadi, apabila perbuatan yang dilakukan itu memenuhi ketiga syarat tersebut, maka perbuatan orang tersebut dapat dibenarkan dan oleh karenanya sifat melawan hukum perbuatan itu dapat dihapuskan. 4. Pasal 49 KUHP ayat 2 pembelaan diri yang melampaui batas 92 90 Ibid, halaman 79 91 Ibid, halaman 79 Universitas Sumatera Utara Pasal ini masih terkait dengan pasal 49 ayat 1 diatas, yaitu mengenai pembelaan diri. Akan tetapi pembelaan diri id sini sudah melampaui batas-batas yang wajar. Menurut pasal 49 ayat 2 ini, apa yang dilakukan tersebut sebenarnya sudah melampaui batas pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi akibat keadaan jiwa perasaan pelaku yang sangat tergoncang, atas terjadinya serangan yang merupakan perbuatan melawan hukum pada saat itu juga. Jadi terkait dengan ayat 1 tersebut di atas, maka pembelaan yang dilakukan dalam hal ini, tetap terhadap perbuatan yang melawan hukum. Meskipun pembelaan tersebut melampauia batas yang wajar, hal ini dapat dimaafkan karena disebabkan perasaan jiwa pelaku yang bbenar-benar tergoncang, terbawa luapan emosi karena melihat suatu peristiwa yang sedang terjadi dan hal itu merupakan adanya hubungan kausalakibat langsung yang menyebabkan adanya pelampauan batas dari pembelaan tersebut. 5. Pasal 50 KUHP melaksanakan peraturan perundang-undangan. 93 Pasal ini menentukan pada prinsipnya oarng yang melakukan suatu perbuatan, meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan pernuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum. Jadi, ada suatu kepentingan yang lebih besar, yang harus diutamakan oleh pelaku. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih baik ini, merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut, meskipun perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana. 6. Pasal 51 ayat 1 KUHP Melakukan perintah jabatan yang sah. 94 Menurut pasal ini, seseorang yang melakukan perintah jabata, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari sutu jabatan atau penguasa yang sah, meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana, ia tidak boleh dihukum. Yang 92 Ibid, halaman 82 93 Ibid, halaman 83 94 Ibid, halaman 84 Universitas Sumatera Utara dimaksudkan perintah di sini tidak harus dalam bentuk tertulis saja, dan yang secara langsung dapat disampaikan kepadanya, akan tetapi dapat juga dalam bentuk instruksi lisan dengan menggunakan saran komunikasi. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa antara yang memerintah dengan yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup kewenangankekuasaan menurut hukum publik meskipun tidak harus sebagai pegawai negeri. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini adalah bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus diperhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui batas keputusan dari orang yang memerintah. 7. Pasal 51 ayat 2 KUHP Melakukan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi dilindungi 95 Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetap merupakan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya, tidak dapat dijadikan alasan utnuk menghapuskan pidana tidak membebaskan pelakunya dari hukuman. Akan tetapi, apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang yang menerima perintah dengan itikad baik karena memandang perintah tersebut adalah perintah dari pejabat yang berwenang dan pelaksanaan tugas tersebut masuk dalam ruang linggkup tugas- tugasnya yang biasa ia lakuukan, maka ia tidak dapat di pidana. Dengan adanya alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahannya, kesalahannya dibebankan kepada orang yang memberi perintah. Adapun alasan penghapus pidana yang berlaku khusus antara lain: 1. Psal 110 ayat 4 KUHP Ayat 4 dalam pasal ini berhubungan dengan laranganancaman pidana yang ada dalam ayat 1 dan ayat 2 dari pasal 110. Ayat 1 pasal ini menyebutkan bahwa permufakatan 95 Ibid Universitas Sumatera Utara untuk melakukan perbuatan makar diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku kejahatan tersebut. Peraturan yang terdapat dalam ayat 1 ini berlaku khusus, karena menyimpang dari aturan umum yang ada dalam Buku I KUHP, tentang percobaan melakukan kejahatan makar. Jadi sebenarnya belum ada perbuatan percobaan poging, bahkan belum ada perbuatan perrispan voorbereiding yang biasanya belum merupakan tindak pidana. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa pidana yang sama juga berlaku bagi orang yang dengan maksud akan menyediakan atau memudahkan salah satu dari lima macam perbuatan. Kelima macam perbuatan tersebut adalah: 96 a. Perbuatan mencoba membujuk orang lain supaya ia melakukan, menyuruh melakukan atau melakukan kejahatan makar atau supaya ia membantu melakukan kejahatan makar atau supaya ia memberi kesempatan, alat-alat, atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan itu; b. Berusaha mendapatkan untuk dia sendiri atau orang lain kesempatan, alat- alat atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan makar itu; c. Menyimpan atau menyediakan barang-barang yang ia ketahui ditujukan untuk melakukan kejahatan makar itu, barang-baran mana menurut ayat 3 pasal ini dapat dirampas. d. Menyiapkan atau memegang rencana-rencana untuk melakukan kejahatan makar itu, rencana-rencana tersebut ditujukan untuk diberitahukan kepada orang lain; e. Berusaha menccegah, menghalangi atau menggagalkan suatu daya upaya pemerintah untuk mencegah atau menumpas pelaksanaan kehendak melakukan kejahatan makar itu. Pasal 110 ini mengatur mengenai pengecualian pidana yang diatur dalam ayat 4. Orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ,karena didasarkan atas maksud tujuan yang baik untuk mengadakan perubahan ketatanegaraan dapat dimaafkan dan karena itu tidak dipidana. 2. Pasal 166 KUHP Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan 165 KUHP yang memberiiikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun sudah mengetahui akan terjadinya bebberapa kejahatan tertentu yang sangat berat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau dicegah. 96 Ibid, halaman 87 Universitas Sumatera Utara Sanksi pidana ini baru dapat dijatuhkan apabila dikemudian ternyata tindak pidana yang bersangkutan benar-benar terjadi. 3. Pasal 164 KUHP Pasal ini adalah mengenai suatu permufakatan antara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana dari pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 113,115,124,187, atau 187 bis KUHP yang diketahui oleh orang tersebut. Sedangkan pasal 165 adalah mengenai niat untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut, ditambah dengan beberapa tindak pidana lain yang juga berat sifatnya seperti, seorang prajurit yang melarikan diri dalam masa perang, penghianatan militer, pembunuhan berencana dan lain-lain. Jadi menurut pasal 166, ancaman pidana dari kedua pasal tersebut 164 dan 165 tidak berlaku. Dengan kata lain, pelakunya tidak dipidana. Hal ini disebabkan karena pelaku melakukan perbuatan itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak saudaranya dalam keturunan lurus dan kesamping sampai derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang pengadilan. Dengan demikian, alasan penghapus pidana ini hanya berlaku secara khusus kepada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 164 dan 165 KUHP, jadi tidak berlaku secara umum terhadap orang lain. Oleh karena itu, alasan penghapu s pidana ini didasarkan kepada maksud pelaku dari dalam diri pelaku untuk menghindarkan dirinya maka hhal ini terkait dengan alasan pemaaf. 97 4. Pasal 186 ayat 1 KUHP Perkelahian satu lawan satu atau perang tanding ini, menurut sejarahnya bukan merupakan tindak pidana. Hal ini merupakan suatu kehormatan pada dua orang yang 97 Ibid, halaman 89 Universitas Sumatera Utara berteengkar dan hanya merasa puas dalam rasa kehormatannya apabila diadakan duel atau perang tanding antara dua orang tersebut. Di Indonesia, perang tanding ini diatur dalam Bab VI KUH P yaitu tentang “Perkelahian Satu Lawan Satu” yang terdapat dalam pasal 182-186. Akan tetapi, saksi-saksi atau tim medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini misalnya dalam olah raga tinju, karaten dan lain sebagainya, tidak boleh dihukum berdasarkan pasal 186 ayat 1 ini. Dengan adanya pasal ini, maka secara khusus perbuatan orang-orang yang memenuhi syarat sebagai saksi, tim medis yang menghadiri perang tanding tersebut tidak dipidana, karena perbuatannya dapat dibenarkan. 98 5. Pasal 121 ayat 2 KUHP. Pasal ini berhubungan dengan pasal 221 ayat 1 yang menentukan dua macam tindak pidana yang bernada sama, yaitu: a. Orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatann atau yang dituntut karena sesuatu kejahatan, atau menolong orang untuk melarikan diri daripada penyelidikan dan pemeriksaan atau tahana polisi danatau penegak hukum; b. Orang yang membinasakan, merusak dan sebagainya benda-benda tempat melakukan atau yang dipakai untuk melakukan kejahatan atau membinasakan, merusak dan sebagainya bekas-bekas kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu. Kedua-duanya perbuatan yang dilarang itu dilakukan dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu atau untuk menghalang-halangi atau menyulitkan pemeriksaan atau penuntutan. Akan tetapi sifat menolong yang dilakukan oleh si pelaku dalam kejahatn ini, menurut ayat 2 pasal ini, tidak berlaku atau tidak diancampidana karena dengan maksud untuk melepaskan atau menghindarkan dari bahaya penuntutan 98 Ibid, halaman 90 Universitas Sumatera Utara seorang keluarga sedarah atau semenda dalam keturunan lurus atau ke samping sampai derajat ketiga atau suamiistri atau jandanya yang telah melakukan kegiatan itu. Dengan kata lain, alasan penghapus pidana ini khusus berlaku bagi orang yang mempunyai hubungan keluarga yang bermaksud untuk melindungi keluarganya tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kesalahannya dimaafkan. 99 6. Pasal 310 ayat 3 KUHP. Ayat 3 pasal ini terkait dengan perbuatan penghinaan atau opencemaran nama baik seseorang, yang diancam dengan pidana berdasarkan ayat 1 pencemaran lisan dan ayat 2 pencemaran dengan tulisan dari pasal 310. Tindak pidan ini dirumuskan dengan kata “ sengaja” menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud tuduhan itu tersiar ataupun diketahui oleh orang banyak. Dalam ayat 3 pasal ini menyatakan bahwa ada 2 dua hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan penghinaanpencemaran nama baik ini, yang mengakibatkan si pelaku tidak dapat dipidana. Dua hal tersebut adalah apabila dilakukan untuk kepentingan umum danatau untuk membela diri. Jadi apabila perbuatan itu tidak dilakukan atas dasar kedua hal ini, maka alasan penghapus pidana tidak berlaku. Dengan kata lain, alasan penghapus pidana ini berlaku secara khusus atas dasar kepentingan umum dan juga untuk membela diri, tidak berlaku utnuk hal yang lainnya. 100 7. Pasal 314 ayat 1 KUHP. Pasal ini juga masih ada hubungannya dengan tindak pidana pencemarannama baik. Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan yang dituduhkandihinakan kepada orang itu terbukti benar, sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunya i 99 Ibid, halaman 91 100 Ibid, halaman 91 Universitas Sumatera Utara kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, orang yang dihinakan dicemarkan nama baiknya itu telah dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakandituduhkan kepadanya. Oleh karena itulah, sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghinapencemar nama baik tersebut dihapuskanhilang. Dengan kata lain, sifat melawan hukumnya hilang hanya berlaku secara khusus, yaitu dalam hal yang dituduhkan itu terbukti melalui putusan hakim yang sah dan mempunyai kekuatan hukum tetap. 101 8. Pasal 351 ayat 5 KUHP. Pasa l ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan biasa” pasal 351, yang pelakunya diancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat 5 ini, maka percobaan melakukan penganiayaan tidak dapat dipidana. Jadi merupakan alasan penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan ini harus dipidana, meskipun pidananya dikurangi dengan sepertiganya. Dengan demikian, pasal 351 ayat 1 ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan biasa. Akan tetapi sayangnya, pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Jika dihubungkan dengan teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, seharusnya perbuatan ini sudah dapat dipidana. Akan tetapi hal ini merupakan pengecualian, oleh karena yang dilakukan ini adalah perbuatan yang resikonya ringan. 102 9. Pasal 352 KUHP. 101 Ibid, halaman 92 102 Ibid, halaman 93 Universitas Sumatera Utara Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan ringan”. Pasal 351 ayat 1, yang pelakunya diancam pidana, akan tetapi, dengan adanya ayat 2 pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat dipidana, merupakan alasan penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga seharusnya dapat dipidana. Dengan demikian pasal 352 ayat 2 ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan ringan. Akan tetapi sayangnya sama seperti pasal 351 ayat 5 pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Sama halnya dengan pasal 352 ayat 5 tersebut diatas, maka jika dihubungkan dengan teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, seharusnya perbuatan ini sudah dapat dipidana. Akan tetapi, hal ini merupakan pengecualian, karena risikonya ringan. 103 Dari seluruh pengaturan alasan penghapus penuntutan dan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP ini, terlihat jelas bahwa perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus penuntutan dan alasan penghapus pidana. Hal ini mengandung arti bahwa pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses pidana. Hal ini dilaksanakan dalam rangkan menegakkan asas legalitas sebagaimana yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga perdamaian yang memang sudah dianut dalam KUHP, dalam bentuk pembayaran denda damai afkop tidak akan menghapus dasar penuntutan sebagaimana 103 Ibid, halaman 94 Universitas Sumatera Utara yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP karena penerapan pasal 82 ini hanya berlaku untuk kategori pelanggaran dan tidak berlaku untuk kejahatan. B. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Setiap kasus kecelakaan yang terjadi di lalu lintas di jalan raya tentu akan membawa konsekuensi hukum bagi pengemudi tersebut. Ketentuan hukum mengenai kecelakaan lalu lintas secara umum diatur dalam Pasal 359, 360 ,361 KUHP dan secara khusus adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, maka ketentuan hukum yang harus dikenakan adalah mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini dikarenakan pengaturan pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “ Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, di atur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” Universitas Sumatera Utara Penerapan pasal 63 ayat 2 KUHP ini mengamanatkan kepada penuntut umum dalam membuat surat dakwaannya dan majelis hakim dalam mengadili agar menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan bukan ketentuan dalam KUHP. Hal ini merupakan konsekuensi logis asas ketentuan khusus yang mengesampingkan ketentuan yang umum lex spesialis derogate lex generalis, dimana KUHP merupakan ketentuan yang umum, sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merupakan ketentuan yang lebih khusus. Ketentuan mengenai lalu lintas semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Selain dalam undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka sesuai dengan pasal 235, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini juga disempurnakan terminologi mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjadi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 104 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 105 Sementara, kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa 104 Penjelasan konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 105 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia danatau kerugian harta benda. 106 Dalam pasal 229 UU LLAJ, kecelakaan lalu lintas dibagi atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan danatau barang ; b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang; c. Kecelakaan Lalu Lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat . Pengaturan mengenai kecelakaan lalu lintas dalam UU LLAJ diatur dalam pasal 310,311 dan pasal 312. Pasal 310 1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp1.000.000,00 satu juta rupiah. 2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp2.000.000,00 dua juta rupiah. 3 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 4 Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp12.000.000,00 dua belas juta rupiah. Pasal 311 1 Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 tiga juta rupiah. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana 106 Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Universitas Sumatera Utara dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 empat juta rupiah. 3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 3, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 delapan juta rupiah. 4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 4, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 dua puluh juta rupiah. 5 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 dua puluh empat juta rupiah. Pasal 312 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 tujuh puluh lima juta rupiah. Kata “ setiap orang” dalam pasal-pasal tersebut berarti siapa saja yang menjadi subjek hukum, yakni yang merupakan pembawa hak dan kewajiban. Dalam doktrin hukum pidana, kata “ setiap orang” dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: a. Natuure person manusia b. Korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum legal person. Kata “ setiap orang” dalam pasal ini mengacu kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 44 sampai dengan pasal 51 KUHP dan pelaku tersebut dipandang cakap sebagai subjek hukum. Pelaku dalam kecelakaan lalu lintas yang dapat dipidana adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang Universitas Sumatera Utara terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. 107 Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel . 108 Sementara, pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 109 Dari ketentuan pasal-pasal mengenai kecelakaan lalu lintas, pengemudi yang dipidana merupakan pengemudi yang mengemudikan kedaraan bermotor, sementara pengemudi kendaraan tidak bermotor tidak dikenai ketentuan ini. Kendaraan tidak bermotor merupakan kendaraan setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia danatau hewan. 110 Unsur kelalaian dalam pasal 310 merupakan salah pembeda ketentuan dalam pasal 311. Dalam pasal 310 mengatur menganai kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh untur kelalaian, sementara pasal 311 mengatur mengenai kecelakaan yang disebabkan oleh kesengajaan. Unsur kelalaian maupun kesengajaan merupakan unsur yang sangat sulit pembuktiannya. Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kelalaian yang ada pada dirinya saat itu harus dilihat dari factor kejadian yang sebenarnya, yakni factor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Demikian pula harus diukur sejauh mana pengemudi telah benar-benar waspada dan hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya. Dalam hal ini yang membedakan kelalaian dan kesengajaan pada pokoknya adalah bahwa pengemudi tentu tidak akan berbuat seandainya ia mengetahui akibat yang akan timbul akibat perbuatannya. Di sini, pengemudi tidak sadar akan risiko dari perbuatannya tersebut yang mengakibatkan dial alai. Kesalahan berbentuk kelalaian kealpaan dengan kata lain merupakan tindakan tercela dan pelaku tidak menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. 107 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 108 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 109 Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 110 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara Oleh karena kelalaian ini merupakan unsur delik, maka harus dibuktikan. Unsur ini dapat dibuktikan dari kronologis kejadian. Demikian juga dengan unsur kesengajaan yang terdapat dalam pasal 311. Dalam pasal 311 terdapat unsur “sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang.” Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kesengajaan yang ada pada dirinya saat kejadian kecelakaan lalu lintas tersebut dapat dilihat dari kronologis maupun fakta-fakta di persidangan. Sementara mengenai pengertian dari “ cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang” dalam pasal 311 ini tidak dijelaskan dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut. Adapun pengertian kata “ luka ringan” dalam pasal 310 ayat 2 dan pasal 311 ayat 3 mengandung arti luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain dari yang diklasifikasikan sebagai luka berat. 111 Se mentara, yang dimaksud dengan “luka berat” adalah luka yang mengakibatkan korban: 112 a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan; c. kehilangan salah satu pancaindra; d. menderita cacat berat atau lumpuh; e. terganggu daya pikir selama 4 empat minggu lebih; f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 tiga puluh hari. Mengakibatkan orang meninggal dunia pada umumnya dibuktikan dengan Visum Et Repertum dari rumah sakit yang menerangkan penyebab dan cara kematian korban dengan memeriksa tubuh korban, baik dengan pemeriksaan luar, maupu n pemeriksaan dalam. Defenisi Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah jabatan dokter tentang hal yang dilihat, dan ditemukan pada benda yang diperiksa serta memberikan pendapat mengenai apa yang ditemukan tersebut. Visum Et 111 Penjelasan pasal 229 ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 112 Penjelasan pasal 229 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP. Selain dengan melakukan Visum Et Repertum pada korban, pembuktian mengenai adanya korban meninggal dunia pada pasal ini juga dapat dibuktikan dengan melampirkan surat kematian yang dikeluarkan oleh dokter maupun lurah tempat tinggal korban. 113 Sementara pengaturan pasal 312 undang-undang ini berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab pengemudi sebagaimana disebutkan dalam pasal 231 ayat 1 huruf a yang mewajibkan pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas untuk menghentikan kendaraan yang dikemudikannya. Ketentuan pasal ini jika dicermati bukanlah pasal yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia ataupun korban luka sebagaimana yang diatur dalam pasal 3100 dan 311. Akan tetapi, pasal ini dimasukkan dalam pasal yang tergolong pada suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana tertera dalam pasal 316 ayat 2. Pasal ini berhubungan dengan pembiaran orang yang patut ditolong. Hal ini sering terjadi dalam tambrak lari. Dimana pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tidak mengnetikan kendaraannya dan meninggalkan korban yang patut ditolong. Pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada umunya mengatur mengenai pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Lamanya ancaman pidana tersebut tergantung akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas tersebut. Namun, selain ancama pidana yang terdapat dalam pasal 310, 311 dan 312 tersebut, pelaku dapat juga diancam pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi SIM maupun ganti kerugian. Hal ini diatur dalam pasal 314 yang berbunyi sebagai berikut: “Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diak ibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.” 113 Rita Mawarni, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bahan ajar tidak diterbitkan,2012, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, halaman 2. Universitas Sumatera Utara Pidana tambahan ini dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara kecelakaan lalu lintas. Pidana tambahan dalam hal ini bersifat alternative artinya kedua jenis pidana tambahan ini tidak dapat dijatuhkan sekaligus terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hanya salah satu dari kedua jenis pidana tambahan tersebut. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM larangan mengemudi bertujuan agar pelaku jera dan lebih berhati-hati di kemudian hari apabila mengendarai kendaraan bermotor. Pidana tambahan ini juga menjadi hukuman agar pelaku tersebut tidak dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari karena ia berada pada kondisi yang tidak diperkenankan mengemudi hingga akhir larangan mengemudi tersebut. Sementara pidana tambahan berupa ganti kerugian ini diputuskan oleh hakim apabila belum ada kesepakatan antara pelaku dengan korban mengenai jumlah nominal kerugian yang diderita oleh pihak korban. Apabila sebelumnya telah ada kesepakatan mengenai bersarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada pihak korban, maka hakim tidak perlu memberikan pidana tambahan berupa ganti kerugian. Namun perlu diingat bahwa ganti kerugian ini merupakan pidana tambahan, bukan untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. 2. Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa: “Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Universitas Sumatera Utara Sementara pasal 229 ayat 2 menyatakan bahwa : “Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan danatau barang .” Pasal 229 ayat 3 menyatakan bahwa : “Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang.” Pasal 229 ayat 4 menyatakan bahwa: “Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.” Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa setiap terjadi perkara kecelakaan lalu lintas diproses dengan acara peradilan pidana. Hal ini tela h diatur secara eksplisit dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Undang-Undang ini juga, telah diatur mengenai eksistensi perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas. Perdamaian yang dimaksud dapat berupa pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku, pemberian baiya perawatan, biaya pemakaman maupun ganti kerugian akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Namun berbagia macam bentuk perdamaian ini sama sekali tidak menggugurkan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini telah diatur tegas dalam pasal 235 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas sebagaiman dimaksud dalam pasal 229 ayat 1 huruf c, pengemudi wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan danatau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.” Universitas Sumatera Utara Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa perdamaian dalam bentuk pemberian biaya perobatan danatau biaya pemakaman merupakan suatu hal yang menjadi kewajiban pengemudi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Namun, perdamaian yang terjadi tersebut bukan menjadi suatu alasan yang dapat menggugurkan tuntutan pidana terhadap pelaku. Perkara kecelakaan lalu lintas tersebut tetap diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku walaupun telah ada kesepakatan antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas untuk tidak menuntut pelaku tersebut. Dalam hal ini dapat terlihat dengan jelas bahwa adanya perdamaian baik secara tertulis maupun lisan tidak mempunyai kekuatan sama sekali untuk menggugurkan tuntutan pidana. Perkara kecelakaan lalu lintas lebih cenderung kepada penjatuhan vonis kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sementara dalam sistem pemidanaan, undang-undang ini tidak mengatur mengenai eksistensi perdamaian, apakah harus dipertimbangkan atau tidak dalam menjatuhkan pidana. Hal sangat wajar karena saat ini pengaturan mengenai pedoman pemidanaan itu belum diatur dalam hukum positif yang berlaku. Ketiadaan pedoman pemidanaan ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana. Apakah mempertimbangkan adanya perdamaian sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa atau sama sekali tidak mempertimbangan perdamaian, itu merupakan ranah kebebasan hakim karena tidak ada peraturan hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut. Selanjutnya dalam undang-undang ini juga telah diatur mengenai kewajiban mengganti kerugian bagi pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Hal ini diatur dalam pasal 236 undang-undang ini. Dalam pasal 236 disebutkan bahwa: 1 Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Universitas Sumatera Utara 2 Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2 dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa selain pertanggungjawaban pidana, pelaku kecelakaan lalu lintas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang, maupun berat juga wajib mengganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Besarnya ganti kerugian yang wajib diberikan tersebut ditentukan oleh putusan pengadilan. Namun dalam ayat 2 pasal tersebut mengatur adanya suatu pengecualian, yaitu terhadap kecelakaan lalu lintas ringan, kewajiban pembayaran ganti kerugian dapat dilakukan di luar pengadilan jika terdapat kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat. Namun pembayaran ganti kerugian yang dimaksud dalam hal ini tidak mengakhiri penyelesaian perkara tersebut. Setiap perkara kecelakaan lalu lintas wajib diproses secara pidana karena undang-undang lalu lintas mengatur demikian. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam, manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lainnya. Atau dengan kata lain, manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat suatu hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Disamping itu juga, manusia punya hasrat untuk bermasyarakat. Seorang ahli pikir Yunani yang bernama Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia yang suka bergaul antara satu dengan yang lainnya, maka manusia itu disebut dengan makhluk sosial. Manusia hidup bermasyarakat agar mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai individu tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa orang lain. 1 Manusia sebagai individu perseorangan mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat. 2 Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap 1 Chainur Arrasjid, Dasar- Dasar Ilmu Hukum , Sinar Grafika, Medan, 2000 hlm 1. 2 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm 29 Universitas Sumatera Utara manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan. Sejak dilahirkan manusia butuh makan, pakaian, tempat berteduh, dan sebagainya. Manusia dalam hidupnya dikelilingi pelbagai bahaya yang mengancam kepentingannya, sehingga sering kali menyebabkan kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Untuk itu ia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerja sama dengan manusia lain akan lebih mudahlah keinginannya tercapai atau keinginannya terlindungi. Manusia merupakan unsur utama pembentuk kelompok masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan merealisir tujuan bersama. Berapa jumlah manusia diperlukan untuk dapat disebut masyarakat tidaklah berapa penting. Kalau di sebuah pulau hanya terdapat seorang manusia saja manusia belumlah dapat dikatakan ada masyarakat, tetapi kalau kemudian datang manusia lain di pulau itu akan terjadilah hubungan dan pengaturan-pengaturan. Apa yang mempertemukan atau mendekatkan kedua manusia itu satu sama lain adalah pemenuhan kebutuhan atau kepentingan mereka. Kehidupan bersama dalam masyarakat tidaklah didasarkan pada adanya beberapa manusia yang secara kebetulan bersama, tetapi didasarkan pada adanya kebersamaan tujuan. 3 Kepentingan manusia berbeda-beda. Ada kepentingan yang sama dan ada pula kepentingan yang saling bertentangan. Dengan adanya kepentingan yang berbeda -beda dari masyarakat tersebut, makin sering terjadi pertentangan-pertentangan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Maka untuk menghindari terjadinya pertentangan-pertentangan tersebut maka sangat dibutuhkan suatu perlindungan kepentingan. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam 3 Sudikno Mertokusumo Mengenal Hukum Suatu Pengantar Edisi Revisi, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2010, halaman. 1. Universitas Sumatera Utara masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini disebut norma atau kaidah sosial. 4 Kaidah sosial pada hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya tidak dilakukan, yang di larang dilakukan atau yang dianjurkan dilakukan. Dengan kaidah sosial ini, hendak dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia. Kaidah sosial ini ada yang berbentuk tertulis dan ada juga yang berbentuk tidak tertulis yang merupakan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi. 5 Untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa kaidah sosial. Tata kaidah tersebut terdiri dari kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah kesusilaan, kaidah sopan santun, dan kaidah hukum yang dapat dikelompokkan seperti berikut: 6 1. Tata kaidah dengan aspek kehidupan pribadi yang dibagi menjadi: a. Kaidah kepercayaan atau keagamaan b. Kaidah kesusilaan 2. Tata kaidah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi menjadi: a. Kaidah sopan santun atau adat b. Kaidah hukum Di samping kaidah kepercayaan atau kegamaan, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan, masih sangat diperlukan kaidah hukum. Kaidah hukum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan manusia lainnya yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah tersebut. Hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan yang baik dalam pergaulan hidup masyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang 4 Ibid, halaman 5. 5 Ibid 6 Ibid, halaman 7. Universitas Sumatera Utara besar agar di dalamnya terdapat suatu ketertiban, suatu kepastian hukum dan lain sebagainya. 7 Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun di muka bumi ini. Primitif atau modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan atau eksistensi hukum sifatnya universal. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, keduanya mempunyai hubungan yang timbal balik. 8 Masyarakat umumnya kerap kali memahami hukum sebagai suatu perangkat aturan yang dimuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum akan tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan. 9 Kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan proses kegiatan yang menuju pada suatu pola sistem sosial bagi interaksi antar pribadi dan kelompok manusia. Agar dalam interaksi tersebut kelestarian pergaulan dan keserasian antara kepentingan dalam masyarakatdapat berlangsung dengan lancar, anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan-perbuatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam masyarakat. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada pelakunya yang konkret yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib. Pelanggaran akan kaidah hukum ini akan disertai dengan pengenaan sanksi. Sekalipun pada umumnya kaidah hukum itu disertai sanksi, namun tidak semua pelanggaran kaidah hukum dikenakan sanksi. Yang dapat memberi atau yang memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum 7 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, halaman.6 8 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti , 2004, halaman.27 9 Emon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 13. Universitas Sumatera Utara adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal pelanggaran adalah monopoli penguasa suatu negara. 10 Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. 11 Indonesia menganut paham negara hukum rechtstaat, bukan berdasarkan kekuasaan belaka machstaat. 12 Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pencasila dan UUD 1945. Indonesia merupakan negara yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat welfare state. Tujuan mulia ini akan mustahil tercapai tanpa adanya pembangunan di berbagai bidang kehidupan sebagai syarat mutlak tercapainya cita-cita kenegaraan ini sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Tujuan pembangunan nasional yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada pembangunan di bidang fisik saja, melainkan juga termasuk di bidang pembangunan di bidang hukum. Dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk bidang hukum publik. Artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik. Secara historis, hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadiprivat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambil alih oleh kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambil alih oleh negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara , yaitu jaksa penuntut umum. 13 10 Ibid, halaman 25. 11 Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 12 Jimly Ashidiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. halaman. 12 13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2012, halaman 2. Universitas Sumatera Utara Setiap perbuatan pidana yang dilakukan akan menimbulkan akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu, diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku yang teelah mengakibatkan ketidakseimbangan tersebut. Dan pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat juga dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum. 14 Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dalam kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sering dilakukan. Secara khusus menyangkut perkara kecelakaan lalu lintas. Masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui perdamaian secara kekeluargaan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan korban. Perdamaian tersebut dianggap merupakan penyelesaian yang memberikan kemanfaatan bagi para pihak. Penyelesaian perkara secara damai sebenarnya merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat seperti yang dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa budaya hukum Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan perdamaian merupakan nilai yang mendapat dukungan dalam masyarakat, mempertahankan perdamaian merupakan usaha terpuji, sehingga dalam menyelesaikan 14 Ibid, halaman 3 Universitas Sumatera Utara konflik, terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi atau perdamaian, terutama masyarakat Jawa dan Bali. Biasanya perdamaian tersebut dilakukan dengan pemberian ganti rugi berupa sejumlah uang dari pelaku kepada korban atau korban memaafkan pelaku dengan meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukannya. 15 Jika ditelaah dalam sistem hukum Indonesia, perdamaian pada umumnya dikenal dalam hukum perdata. Dalam ketentuan hukum pidana maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkuta Jalan, konsepsi perdamaian sebagai bentuk penyelesaian perkara diluar pengadilan sama sekali tidak dikenal. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas yang selama ini dikenal dalam masyarakat sama sekali tidak memiliki landasan hukum formalnya sehingga sering terjadi suatu kasus kecelakaan lalu lintas yang telah ada penyelesaia damai musyawarah secara hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku. Perdamaian antara korban danatau keluarga korban dengan pelaku tindak pidana, tidak menutup kemungkinan perkara tersebut dapat diperiksa dan diputus oleh pengadilan formal, sehingga walaupun sudah terjadi perdamaian antara para pihak, polisi sering kali tetap meneruskan perkara ke sidang pengadilan formal dengan alasan tuntutan atas asas legalitas. Dalam pengadilan formal, perdamaian yang terjadi sepenuhnya menjadi wewenang hakim, artinya apakah perdamaian tersebut menjadi bahan pertimbangan atau tidak dalam menjatuhkan putusan tergantung pada kebijakan hakim. Hal ini sebagaimana diketahui bahwa dalam KUHP yang berlaku sekarang ini tidak mengatur mengenai pemberian pidana straftoemetingsleiddrad, yang ada hanya aturan pemberian pidana straftoemetingsregel. Pedoman serta atauran pemberian pidana penting sekali ditegaskan oleh pembentuk undang-undang agar supaya hakim dalam member 15 Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang,1991, halaman 21. Universitas Sumatera Utara putusannya di dalam kebebasannya sebgaai hakim tetap ada batasannya yang ditetapkan secara objektif, jadi pembentuk undang-undang seharusnya memberikan beberapa kriteria untuk pemberian pidana oleh hakim. 16 Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan, khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa yang mewakili kepentingannya. Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana integrated criminal justice system, yaitu suatu sistem yang berusaha menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi. 16 Alef Musyahadah R. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan .” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang. Universitas Sumatera Utara Eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia, 17 yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang terkandung dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk menulis skripsi yang berjudu l “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan.”

B. Permasalahan

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan hukum tentang kecelakaan lalu lintas jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas? 2. Bagaimana eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan? 3. Bagaimana kebijakan hukum pidana setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan ? 17 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bandung, 1996, halaman 30-31. Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penulisan

Suatu penelitian dapat merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta belaka fact finding. 18 Dalam setiap penelitian ilmiah perlu ditegaskan tujuan- tujuan yang hendak dicapai, agar penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, dengan mengajukan masalah yang diteliti seperti telah dikemukakan pada sub bab permasalahan terdahulu. Karena itu dapat dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum tentang kecelakaan lalu lintas jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan Pengadilan Negeri Medan.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Skripsi ini memberikan manfaat dalam menyumbangkan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berhubungan dengan eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan. Skripsi inipun kedepannya diharapkan dapat menambah 18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, halaman 10. Universitas Sumatera Utara kontribusi pemikiran dan koleksi karya ilmiah yang telah ada sebelumnya berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. b. Manfaat Praktis. 1 Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan kepada penegak hukum yang menangani kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang berhubungan dengan adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. 2 Skripsi ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar memahami bagaimana pengaruh perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim.

E. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ada satu pun karya ilmiah dengan judul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan.” Demikian pula dari segi permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini belum pernah diangkat oleh skripsi lain. Skripsi ini merupakan karya asli penulis sendiri yang mengumpulkan data dari literatur sebelumnya yang telah membahas tentang perdamaian dalam hukum pidana dan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas, seperti buku-buku yang ada di perpustakaan, skripsi maupun tesis yang sebelumnya telah membahas mengenai perdamaian dalam hukum pidana, serta media massa maupun media elektronik yaitu internet. Penulis tidak meniru karya orang lain sehingga dapat dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Kajian Hukum Mengenai Perdamaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas.

Universitas Sumatera Utara Perdamaian berasal dari kata “ damai” atau conciliation dalam bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian didefenisikan sebagai penghentian permusuhan perselisihan. 19 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary: 20 Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in friendly unantagonistic manner used in courts before trial with a few towards avoiding trial and in labour dispute before arbitration. Sementara menurut Hans Kelsen, perdamaian merupakan suatu kondisi yang disitu tidak terdapat paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut. Karena hukum mencabut hak para individu utuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, ketiadaan hukum, menurut pengertian yang ada di sini pada hakikatnya merupakan keadaan perdamaian. 21 Dari kedua pengertian di atas tentang rumusan pengertian perdamaian, pada intinya, perdamaian adalah satu sarana untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan tanpa kekerasan. Perdamaian ini dapat dilakukan baik sebelum perkara di ajukan ke pengadilan sebelum sidang maupun saat perkara di pengadilan selama persidangan. Dalam perdamaian lebih mengutamakan suasana kekeluargaan di antara para pihak yang bersengketa sebab dalam perdamaian tidak ditonjolkan pihak yang bersalah atau yang benar namun akan dibahas duduk persoalan yang sebenarnya dan para pihak akan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan. Penyelesaian sengketa dengan perdamaian lazimnya ditempuh dalam lapangan Hukum Perdata dan Hukum Adat Hukum Pidana Adat.

a. Perdamaian dalam Hukum Perdata

19 Departement Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994, halaman 207. 20 Black Law’s Dictionary, dalam Alef Musyahadah R. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan .” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang. 21 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari General Theory of Law and State New York, Russel and Russel, 1971, Nusa media, Bandung, 2011. halaman 27. Universitas Sumatera Utara Dalam Hukum Perdata, itikad perdamaian tidak hanya datang dari para pihak yang bersengketa, namun hakim wajib mengupayakan perdamaian terhadap penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat 1 HIR yang berbunyi : jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Ketentuan mengenai perdamaian dalam hukum perdata dapat dilihat dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 KUHPerdata. Dalam pasal 1851, diatur tentang pengertian perdamaian dading yaitu : Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis. Dari rumusan pasal tersebut diatas, terlihat beberapa syarat formal dari putusan perdamaian, yaitu : 22 1. Persetujuan dari kedua belah pihak. 2. Mengakhiri suatu sengketa 3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada 4. Berbentuk tertulis Inisiatif untuk melakukan perdamaian harus datang dari inisiatif murni datang dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan atas kehendak sepihak ataupun atas kehendak hakim. Adapun sengketa yang dapat dituangkan dalam persetujuan perdamaian yakni: a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan 22 Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.halaman 6. Universitas Sumatera Utara b. Sudah nyata berwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian hanya dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan Suatu persetujuan perdamaian sah apabila dibuat secara tertulis. Syarat ini sifatnya imperatif. Berdasarkan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri dibedakan: 23 a. Putusan perdamaian Apabila kedua belah pihak berdamai, kemudian meminta ke pihak pengadilan agar perdamaian itu dijadikan sebagai putusan pengadilan, maka bentu k persetujuan perdamaian ini disebut putusan perdamaian. b. Akta Perdamaian. Yakni suatu persetujuan perdamaian yang dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu. Para pihak tidak meminta pengukuhan dari pengadilan. Dalam perkara perdata sudah ditentukan perkaraobjek yang dapat ataupun tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian. Perkara yang dapat diselesaikan secara damai seperti kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan pelanggaran pasal 1953. Perkara yang dilarang diselesaikan melalui perdamaian seperti dading tentang sah tidaknya suatu perkawinan, pengesahan anak, sahnya suatu pengakuan anak, hak untuk memilih atau dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan, boedel warisan pasal 1334 ayat 2, barang-barang yang berada di luar perdagangan buiten handel pasal 1332. 24 Kekuatan hukum perjanjian perdamaian sama dengan suatu hukum yang tetap in kracht van gewijsde artinya suatu perdamaian di muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan 23 Ibid 24 Ibid. halaman 4. Universitas Sumatera Utara hakim pada tingkat akhir pasal 1858. 25 Meskipun demikian, perjanjian perdamaian dapat dibatalkan dalam hal: 26 a. Terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan mengenai pokok yang diperselisihkan pasal 1859. b. Melanggar asas umum dalam perjanjian seperti penipuan, atau paksaan pasal 1320. c. Tentang surat palsu pasal 1861 d. Tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, padahal sudah diakhiri dengan putusan hakim pasal 1862.

b. Perdamaian dalam Hukum Adat

Konsep penyelesaian perkara secara damai sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Dalam hukum adat, termasuk didalamnya hukum pidana adat, penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang sering ditempuh tidak dapat dipisahkan dari konsepsi masyarakat Indonesia yang memandang penyesalan dan reputasi buruk sebagai unsur esensial dalam pelanggaran adat. Dalam alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia, yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan evenwicht antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggun perimbangan tersebut, merupakan pelangaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan- tindakan yang perlu guna menimbulkan kembali perimbangan hukum. 27 Penyelesaian perkara secara musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Penyelesaian perkara secara adat melalui lembaga musyawarah lebih diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat dalam menyelesaikan 25 Ibid halaman 12. 26 Ibid halaman 14. 27 Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Padnya Paramita, Jakarta, 1979, halaman 92-93. Universitas Sumatera Utara sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan lebih mengacu pada musyawarah mufakat dan damai. Sanksi adat reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mmengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dengan dunia ghaib untuk merehabilitasi, bukan penciptaan derita. 28 Schepper memberikan ilustrasi reaksi adat dalam “ Indisch Tijdschriftvan het Recht ” No. T.129, muka 334, sebagai berikut: penyesalan, kerendahan hati, penghapusan fitnah , meminta maaf dengan pemberian sirih, perbaikan kerusakan disebabkan oleh seseorang yang dengan tangannya sendiri atau atas namanya , kompensasi dalam arti luas, pembayaran yang melebihi uang ganti kerugian denda menurut hukum pidana, mengurus kuburan orang terhormat yang terbunuh, tawaran berdamai sebagai suatu perbuatan pembersihan, berbagai macam hukuman yang bersifat mencemoohkan, pengusiran dan sebagainya. 29 Penyelesaian perkara secara damai sudah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat sultan Agung berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai majelis peradilan yang disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan mufakat collegiale rechtspraak. Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir oleh raja. 30 28 I Made Widnyana Suarda, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung, 1993, halaman. 8 29 Oemar Seno Aji, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 66 30 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, halaman.61 Universitas Sumatera Utara Pada zaman tersebut, disamping adanya peradilan serambi, di daerah-daerah juga berlaku peradilan “padu”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan olehperadilan keluarga peradilan desa secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah pimpinan sseorang pejabat kerajaan yang disebut jaksa. 31 Kemudian pola-pola penyelesaian perkara tersebut tetap dikenal dalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini, dikenal Hakim perdamaian desa. Lembaga hakim perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan pasal 3a RO Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie RO Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan, yaitu yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman ayat 3. Oleh karena itu tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”. 32 dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam pasal 3a Reglement Indonesia yang diperbaharui RIB. Kekuasaan hakim perdamaian desa itu tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutus semua sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik maupun sipil. Kedudukan bidang kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi mengenai hak-hak kehakiman itu. 33 Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa sekarang dan kemudian hari. Dalam Undang-Undang Darurat No. 1 PS 51, LN 9 1951 pasal 1 ayat 3, tetap 31 Ibid 32 Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 Juli 1997, halaman 6 33 Buhsar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, halaman73-74. Universitas Sumatera Utara mengakui kekuasaan dorps justitiehakim-hakim peradilan dalam masyarakat hukum adat sebagai yang dimaksud dalam RO pasal 3. Hakim-hakim tersebut disamakan dengan hakim perdamaian desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum adat merupakan suatu condition sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan desa selama itu mampu mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya sebagai kesatuan politik, sosial, ekonomi yang dapat berdiri sendiri. 34 Namun dewasa ini, hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di beberapa tempat, perdamaian desa tidakk berfungsi lagi, namun di beberapa tempat lainnya masih berfungsi seperti biasanya. Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan di dalam masyarakat hukum adat Indonesia saat ini. Dalam masyarakat Batak, misalnya, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah penyelesaian perkara secara musyawarah perdamaian dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minang Kabau juga, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian Minang Kabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator. 35

c. Perdamaian Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, mempunyai arti kemalangan atau kesusahan. Sedangkan kata lalu lintas mempunyai arti yang sangat luas, di mana di dalamnya meliputi pengertian lalu lintas jalan; di udara, di air yang terdiri lagi di laut, pantai, sungai; serta lalu lintas di atas rel. 36 Namun kecelakaan lalu lintas yang dimaksud dalam penelitian ini hany terbatas pada lalu lintas yang terjadi di jalan. 34 Ibid. 35 Nirnianingsih Amriani, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Rajawali Press, Jakart, 2012, halaman 115 36 Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI, 1992, halaman. 1 Universitas Sumatera Utara Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia danatau kerugian harta benda. 37 Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas : 38 1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan danatau barang 2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; Kecelakaan Lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang. 3. Kecelakaan Lalu Lintas berat; Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. Pendapat lain mengatakan bahwa kategori kecelakaan lalu lintas dibedakan berdasarkan jenisnya, tingkat parah korban, faktor penyebab yang berkontribusi, keadaan lingkungan dan waktu. 39 Konsep perdamaian sudah sering dilaksanakan dalam hukum perdata dan juga hukum adat. Dalam hukum pidana, konsep perdamaian belum dikenal. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengikutsertakan negara dalam setiap penyelesaian perkara pidana. 37 Pasal 1 angka 24 , Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 38 Pasal 229 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 39 Leksmono Suryo Putranto, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, PT Mancanan Jaya Cemerlang: Jakarta, 2008, halaman 135 Universitas Sumatera Utara Demikian juga dengan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sebagai bagian dari hukum pidana tidak mengenai perdamaian sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kecelakaan ringan,sedang maupun berat tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian saja. Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal dalam hukum pidana. Walaupun perdamaian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum diakomodir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana, namun perdamaian tersebut sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perdamaian tersebut umumnya dilakukan dengan adanya penggantian ganti kerugian, biaya perobatanperawatan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada pihak korban. Perdamaian tersebut biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan pihak korban. Setelah tercapai kesepakatan, pihak korban biasanya memberikan pemaafan dan dengan tulus ikhlas menerima ganti kerugian yang telah disepakati tersebut.

2. Kajian Hukum Mengenai Korban Dalam Kecelakaan Lalu Lintas a. Pengertian Korban

Dokumen yang terkait

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

KEDUDUKAN PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PEMIDANAAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 157

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 13

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 39

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 31

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 5

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 1