Eksistensi Bisnis Militer Pada Era Orde Baru

B. Eksistensi Bisnis Militer Pada Era Orde Baru

Militer menjalankan operasinya di bidang ekonomi dengan mengambil keuntungan dari posisi dominan mereka dalam pengambilan kebijakan pembangunan, dalam birokrasi, sampai dalam hal pembuatan keputusan- keputusan pemerintah sebagai legalisasi keterlibatan mereka dalam bidang ekonomi. Beberapa perwira militer, atau kerabatnya, atau crony-nya , lantas berhasil melakukan ekspansi ekonomi dengan mengelola berbagai macam bidang usaha, dengan segenap kemudahan yang mereka peroleh. Hasilnya adalah luasnya jenjang keterlibatan dan dominasi mereka dalam bidang ekonomi, hingga lahirlah para kapitalis birokrat militer. Keuntungan lain dari posisi birokrasi adalah menjadikannya sebagai sarana untuk mempermudah usaha, atau mempermudah kerja sama dengan para pengusaha, baik pribumi dan terutama nonpribumi dalam menjalankan aktivitas ekonomi bisnis. Para perwira militer tersebut banyak menduduki pos-pos strategis dalam perusahaan-perusahaan besar. Misalnya yang sering terjadi adalah menduduki jabatan sebagai presiden Komisaris atau Komisaris. Dari sini lahirlah apa yang disebut sebagai Rent Capitalist Bureaucrats Military Kapitalis Centeng Birokrat Militer. Fenomena keterlibatan militer dalam bidang ekonomipolitik-ekonomi untuk mengelola dan mengamankan aktivitasketerlibatan mereka dikenal sebagai neo-fasisme atau fasisme pembangunan yang salah satu elemennya adalah penerapan korporatisme. Melekatnya neo-fasisme dalam diri militer Indonesia tidak lepas dari sejarah mereka sebagai tentara revolusi didikan tentara Peta Jepang, yang kemudian diwariskan, atau paling tidak memiliki pengaruh yang tidak sedikit pada generasi-generasi berikutnya. Neo-fasisme ini juga berkaitan dengan aspek penguasaan alat-alat kekerasan secara fisik persenjataan oleh militer, yang sering dimanfaatkan sebagai alat penekan represif untuk menunjang pengelolaan kebijakan-kebijakan politik ekonomi mereka. Neo- fasisme dengan segenap ciri-cirinya kemudian menjadi bagian integral dalam keterlibatan militer Indonesia di bidang ekonomi. Terlebih lagi dalam kaitannya dengan ekonomi bisnis. Selain keterlibatan militer dalam bidang ekonomi atas nama kelembagaan. Perusahaan mereka umumnya beroperasi atas nama yayasan di bawah empat angkatan bersenjata: Angkatan Udara dengan Yayasan Adi Upaya, Angkatan Darat dengan Yayasan Kartika Eka Paksi, Angkatan Laut dengan Yayasan Bhumyamca, dan Angkatan Kepolisian yang membawahi Yayasan Brata Bhakti. Eksistensi bisnis militer pada Era Orde Baru ini didominasi oleh Angkatan Darat. Hal tersebut terbukti dengan penguasaan sepenuhnya komoditi ekspor terpenting Indonesia yaitu minyak diserahkan kepada Mayor Jenderal Ibnu Sutowo, sebuah badan baru Badan Logistik NasionalBulog didirikan dan dikepalai oleh Brigadir Jenderal Achmad Tirtosudiro yang memegang kuasa penuh atas perdagangan bahan mentah, sedang Brigadir Jenderal Suhardiman menguasai perusahaan dagang raksasa, PT Berdikari. Banyak diantara keputusan kebijakan dibuat oleh suatu kelompok perwira Angkatan Darat terpilih yang dipercayai oleh Soeharto, yang terpenting Soeharto membentuk staf pribadinya Spri, yang pada waktu pembentukannya bulan Agustus 1966 terdiri dari 6 perwira Angkatan Darat dan 2 tim spesialis sipil bertugas memberikan nasehat dalam kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik. Dipimpin oleh Mayor Jenderal Alamsjah, anggota intinya terdiri dari Mayor Jenderal Surjo yang pernah mengepalai seksi keuangan Koti dan tiga perwira muda, yang pernah bekerja di bawah Soeharto sewaktu menjadi panglima Divisi Diponegoro dari Jateng pada akhir tahun 50-an dan kemudian di Kostrad pada tahun 1960-an. Mereka adalah Kolonel Ali Murtopo, Sudjono Humardani dan Brigadir Jenderal Yoga Sugama. Sudjono Humardani mempunyai latar belakang keuangan militer dan Ali murtopo juga mengepalai suatu badan serba guna yang dikena l dengan “Operasi Khusus”, yang semula dibentuk di lingkungan Kostrad ketika berlangsung kontak-kontak rahasia dengan Malaysia selama kampanye konfrontasi. Pada tahun 1968 Aspri berkembang menjadi 12 dan sering dipandang sebagai “kabinet bayangan” yang menghimpun kekuatan-kekuatan yang sebenarnya, tapi pada tahun 1968 Soeharto membubarkan Aspri secara formal karena ada kritikan umum, tetapi pada tahun 1968 anggota-anggotanya yang penting tetap memiliki pengaruh besar seperti sebelumnya. Walaupun Angkatan Darat sebenarnya mendominasi pemerintahan setelah tahun 1966, namun di dalam pemerintahan diikutsertakan berbagai tipe orang sipil, dengan tujuan menarik keahlian dan pengalaman mereka dan untuk menciptakan suasana atau kesan dalam negeri yang benar, serta menciptakan gambaran yang baik terhadap negara-negara Barat yang memberikan bantuan keuangan. Penampilan kerja sama sipil-militer paling nyata terlihat dari komposisi kabinet, di mana anggota-anggota militer selalu merupakan minoritas dan makin berkurang dalam perombakan-perombakan kabinet berikutnya. Dari 27 anggota kabinet yang diangkat oleh Soeharto pada bulan Juli 1966, 6 menteri diambil dari Angkatan Darat dan 6 lagi termasuk panglima-panglima dari tiap-tiap angkatan lainnya dari angkatan bersenjata. Wakil Angkatan Darat menduduki Departemen Pertahanan dan Keamanan serta Departemen Dalam Negeri yang merupakan departemen-departemen kunci, dan juga depertemen-departemen yang penting di bidang ekonomi. Angkatan bersenjata yang lain hanya diwakili oleh masing- masing satu orang menteri dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara sejak tahun 1968 dan sesudah 1971 hanya ada satu perwira Angkatan Udara, yang kemudian diganti oleh orang sipil pada tahun 1973.

C. Dampak Bisnis Terhadap Profesionalisme Militer Indonesia