Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

(1)

KONTROL SIPIL TERHADAP MILITER PASCA ORDE BARU

MUHAMMAD FAHRI RIZA 100906019

Dosen Pembimbing : Prof. Subhilhar, Ph. D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Muhammad Fahri Riza (100906019)

Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

Rincian isi skripsi, 110 halaman, 34 buku, 4 media cetak, serta 4 situs internet.

ABSTRAK

Militer merupakan salah satu kekuatan politik yang sangat dominan di masa orde baru. selama 32 tahun militer dijadikan alat penguasa untuk menjadi penopang dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik, namun dalam implementasinya militer cenderung melakukan represif dan diskriminatif terhadap kekuatan-kekuatan politik lain yang mengganggu status quo pemerintahan pada saat itu. Militer menggunakan doktrinasi Dwi Fungsi dalam melakukan dominasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kontrol yang dilakukan sipil terhadap militer pasca orde baru. Penelitian ini juga menggunakan metode dekriptif, yaitu dengan menggunakan pendekatan sejarah lalu akan dibahas bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru dengan menggunakan beberapa teori, seperti sipi, militer, hubungan sipil-militer dan orientasi militer.

Kontrol sipil yang dilakukan terhadap militer dapat dilihat dari perubahan paradigma baru militer yang berisi tentang redefenisi,reposisi dan restrukturisasi, kemudian kontrol pemerintahan sipil terhadap militer melalui kebijakan-kebijakannya dan hubungan lembaga sipil dengan militer yang berlangsung pada masa reformasi seperti dengan lembaga legislatif, birokrasi dan partai-partai politik.

Perubahan paradigma militer tersebut mengarah penegakan supremasi sipil yang melakukan perubahan secara sistematis dan bertahap, di mana militer tidak lagi terlibat dalam politik praktis nasional, menghapuskan penugaskaryaan militer di lembaga-lembaga sipil dan kembali ke barak sebagai bagian dari profesionalisme militer. Di samping itu pemerintahan sipil pasca orde baru juga melakukan konsistensinya untuk terwujudnya supermasi sipil, di mana pemerintah meminimalkan peran militer dalam politik nasional seperti kebijakan tentang undang-Undang No. 34 tahun 2004 yang menghilangkan keterlibatan militer dalam lembaga legislatif. Kontrol sipil terhadap militer yang dilakukan pasca orde baru melakukan dua pengendalian yang yaitu dengan pengendalian kontrol subjektif dan pengendalian kontrol objektif.


(3)

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

Muhammad Fahri Riza (100906019)

Civilian Control Of The Military in The Post-New Order Indonesia Content, 110 pages, 34 books, 4 newspapers, and 4 websites.

ABSTRACT

The military is one of the dominant political force in the new order. 32 years of military ruler tool to be used as a crutch in maintaining economic and political stability, but in its implementation tends to do a repressive military and discriminating against other political forces that disrupt the status quo of government at the time. Doctrinal military use in performing the dual function of the domination. This study aims to determine how the control exercised over the military post of the new order. This study also uses descriptive method, using the historical approach will be discussed how the civilian control of the military post of the new order by using some theories, such as civil, military, civil-military relations and military orientation.

Civilian control carried out against the military can be seen from the new paradigm shift military that contains redefenisi, repositioning and restructuring, then control over the military through its policies and relations civilian agencies and the military that took place during the reform such as the legislature, bureaucracy and political parties.

The military paradigm shift leads to the enforcement of civil supremacy that change systematically and gradually, where the military is no longer involved in practical politics of national, penugaskaryaan abolish the military in civilian institutions and returned to the barracks as part of military professionalism. In addition, the civil administration after the new order also perform consistency for the establishment of civilian supremacy, in which the government minimize the role of the military in national politics as the policy of the Act No. 34 of 2004 which eliminates the military's involvement in the legislative body. Civilian control of the military is done after the new order does two control is to control the subjective control and control of the control objective.


(4)

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh :

Nama : Muhammad Fahri Riza NIM : 100906019

Judul : Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal : Pukul : WIB

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Majelis Penguji: Ketua :

Nama ( ) NIP.

Penguji Utama :

Nama ( ) NIP.

Penguji tamu :

Nama ( )


(5)

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh Nama : Muhammad Fahri Riza

NIM : 100906019 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

Menyetujui: Ketua

Departemen Ilmu Politik, Dosen Pembimbing,

(Dra. T. Irmayani, M.Si) (Prof. Subhilhar, Ph.D) NIP. 1968 0630 1994 0320 01 NIP. 1962 0718 1987 1010 01

Mengetahui: a.n. Dekan,

Wakil Dekan I FISIP USU

(Drs. Zakaria, M.SP.) NIP. 1958 0115 1986 0110 02


(6)

v

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda saya tercinta Imelda dan Ayahanda Ahmad Azwar


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur dengan segala kerendahan hati penulis di hantarkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia. skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam juga penulis sampaikan kepada junjungan dan tauladan kita Nabi Muhammad SAW yang menjadi pembeharu, pencerah, dan sang revolusioner bagi umat didunia.

Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Sehingga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang memerlukannya. Karena penulis sadar apa yang telah ditulis ini masih jauh dari kata memuaskan.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Badaruddin selaku dekan FISIP USU

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M. Si selaku Ketua departemen Ilmu Politik yang telah membantu saya dalam menjalani proses perkuliahan di Departemen Ilmu Politik


(8)

vii

3. Prof. Subilhar, P.hD selaku dosen pembimbing dan penasehat akademik yang telah banyak membantu dan begitu baik membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi.

4. Kepada seluruh Dosen Ilmu Politik yang telah membagi ilmunya kepada saya baik dalam hal akademis maupun kegiatan di luar akademik yang saya akan jadikan pengalaman dan memanfaatkannya sebaik mungkin

5. Kepada seluruh keluarga dan saudara, terkhusus orang tua ku tercinta Ahmad Azwar dan Imelda, penulis mengucapkan terima kasih atas semua perhatian tulus dan doa terikhlas. dan penulis tetap terus mengharapkan doa terbaik dari ayah dan umi tercinta untuk mengiringi langkah selanjutnya.

6. Begitu juga kepada kakak dan adik penulis, kakak Rafika Ardilla S.pd yang banyak membantu moral semoga kakak cepat menyelesaikan S2 dan materil dan adik Muhammad Rizky Azhari semoga dapat memanfaatkan kesempatan merasakan pendidikan sebagai mahasiswa jurusan Manajemen di Harapan Medan untuk membahagiakan kedua orang tua dan menjadi insan yang lebih baik.

7. Kepada seluruh teman - teman Ilmu Politik 2010, terkhusus sobat seperjuangan, teman susah dan ketawa bareng : Akbar Hadi, M. Iqbal, Adriansyah, Winanda Agustian, Bagus Abimanyu dan Rozana Raziin semoga


(9)

viii

kita menjadi para sarjana politik yang bermoral. begitu juga kawan-kawan seperjuangan dari stambuk 2011 dan 2012.

8. Kepada Abang-abang senior yang selalu memberikan motivasi penulis : Sandi, Afgan, Amri, Lutfan, Aga, Aqiqi, Sayed, Randa, Adit, Taufik, Akbar, Ovi, Warman, Devan, Rozi, Yurial, Ismuhar, Zen ari, Izon, Zulfi, Suhendra, Tian, Bimbi, Tata, Fuad, Faisal, Walid dan abang senior yang lain, makasih untuk semua yang telah diberi.

9. Keluarga besar di HmI Koms FISIP USU baik Alumni, Senior, pengurus dan calon kader lainnya yang banyak memberikan pelajaran, pengalaman dan pengetahuan bagi penulis

10. Kepada kawan-kawan dari Sumatera Youth Food Movement (SYFM) Semuanya. wujudkan kedaulatan pangan, tolak pangan impor dan tanpa petani kita bukan apa-apa !

11. Dan terakhir kepada kampusku Ilmu Polik FISIP USU.

Medan, 22 Agustus 2015.


(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak………... i

Abstract……… ii

Halaman Pengesahan………..……….……… iii

Halaman Persetujuan………..……….……… iv

Halaman Persembahan ……….…….……… v

Kata Pengantar……….………...………….. vi

Daftar Isi ………...……...….……….…… ix

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Masalah……….….………...……... 1

1.2 Rumusan Masalah ………...……… 9

1.3 Batasan Masalah ………..…………... 9

1.4 Tujuan Penelitian ………...………..………... 9

1.5 Manfaat penelitian ………...………..………... 10

1.6 Kerangka Teori ………..………... 10

1.6.1 Militer ………...……….. 10

1.6.2 Sipil dan Pemerintahan Sipil ………..…. 11

1.6.3 Hubungan Sipil-Militer ……….……… 14

1.6.4 Orientasi Militer ………..……….. 18

1.7 Metode Penelitian ………..………… 24

1.7.1 Jenis Penelitian ………...……… 24

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data …………..……… 24

1.7.3 Teknik Analisis Data ………..………. 25

1.8 Sistematika Penulisan ………..……...……….. 25

BAB II Sejarah dan Praktek Hubungan Sipil-Militer di Masa Orde Baru 2.1 Lahirnya Orde Baru ………..……… 27

2.2 Konsep dan Landasan Dwi Fungsi ………..………. 30

2.3 Praktek Dwi Fungsi ………..……… 33

2.3.1 ABRI dan Kelahiran Golkar ………..………… 35

2.3.2 Intervensi ABRI dalam Partai-Partai Politik Menjelang Pemilu ……..……. 39

2.3.3 Difusi Partai-Partai Politik ………..……… 46

2.3.4 Hubungan ABRI dalam Golkar ………..……… 48

2.3.5 Peran ABRI dalam Legislatif……… 54

2.3.6 Penugaskarya Prajurit ABRI …..……….. 58


(11)

x

BAB III Analisis Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

3.1 Militer Pasca Orde Baru ………..…………... 65

3.1.1 Kebijakan Pemerintah dalam Manajemen Internal ABRI …………..………. 68

3.1.2 Restrukturisasi Sistem Politik ………..…… 69

3.1.3 Reformasi Internal TNI ………...… 72

3.2 Kontrol Pemerintah Terhadap Militer Pasca Orde Baru ……… 75

3.2.1 Masa Pemerintahan B. J Habibie ………...………. 75

3.2.2 Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid ………...………... 84

3.2.3 Masa Pemerintahan Megawati ………..………. 88

3.2.4 Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ………..………... 91

3.3 Hubungan Sipil dengan Militer Pasca Orde Baru …………...………... 94

3.3.1 Keberadaan TNI di Lembaga Legislatif …………..………... 94

3.3.2 TNI dan Birokrasi ………...……… 99

3.3.3 TNI dan Partai Politik ………..……….. 102

BAB IV Penutup 4.1 Kesimpulan .………….……….. 105


(12)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Muhammad Fahri Riza (100906019)

Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

Rincian isi skripsi, 110 halaman, 34 buku, 4 media cetak, serta 4 situs internet.

ABSTRAK

Militer merupakan salah satu kekuatan politik yang sangat dominan di masa orde baru. selama 32 tahun militer dijadikan alat penguasa untuk menjadi penopang dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik, namun dalam implementasinya militer cenderung melakukan represif dan diskriminatif terhadap kekuatan-kekuatan politik lain yang mengganggu status quo pemerintahan pada saat itu. Militer menggunakan doktrinasi Dwi Fungsi dalam melakukan dominasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kontrol yang dilakukan sipil terhadap militer pasca orde baru. Penelitian ini juga menggunakan metode dekriptif, yaitu dengan menggunakan pendekatan sejarah lalu akan dibahas bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru dengan menggunakan beberapa teori, seperti sipi, militer, hubungan sipil-militer dan orientasi militer.

Kontrol sipil yang dilakukan terhadap militer dapat dilihat dari perubahan paradigma baru militer yang berisi tentang redefenisi,reposisi dan restrukturisasi, kemudian kontrol pemerintahan sipil terhadap militer melalui kebijakan-kebijakannya dan hubungan lembaga sipil dengan militer yang berlangsung pada masa reformasi seperti dengan lembaga legislatif, birokrasi dan partai-partai politik.

Perubahan paradigma militer tersebut mengarah penegakan supremasi sipil yang melakukan perubahan secara sistematis dan bertahap, di mana militer tidak lagi terlibat dalam politik praktis nasional, menghapuskan penugaskaryaan militer di lembaga-lembaga sipil dan kembali ke barak sebagai bagian dari profesionalisme militer. Di samping itu pemerintahan sipil pasca orde baru juga melakukan konsistensinya untuk terwujudnya supermasi sipil, di mana pemerintah meminimalkan peran militer dalam politik nasional seperti kebijakan tentang undang-Undang No. 34 tahun 2004 yang menghilangkan keterlibatan militer dalam lembaga legislatif. Kontrol sipil terhadap militer yang dilakukan pasca orde baru melakukan dua pengendalian yang yaitu dengan pengendalian kontrol subjektif dan pengendalian kontrol objektif.


(13)

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

Muhammad Fahri Riza (100906019)

Civilian Control Of The Military in The Post-New Order Indonesia Content, 110 pages, 34 books, 4 newspapers, and 4 websites.

ABSTRACT

The military is one of the dominant political force in the new order. 32 years of military ruler tool to be used as a crutch in maintaining economic and political stability, but in its implementation tends to do a repressive military and discriminating against other political forces that disrupt the status quo of government at the time. Doctrinal military use in performing the dual function of the domination. This study aims to determine how the control exercised over the military post of the new order. This study also uses descriptive method, using the historical approach will be discussed how the civilian control of the military post of the new order by using some theories, such as civil, military, civil-military relations and military orientation.

Civilian control carried out against the military can be seen from the new paradigm shift military that contains redefenisi, repositioning and restructuring, then control over the military through its policies and relations civilian agencies and the military that took place during the reform such as the legislature, bureaucracy and political parties.

The military paradigm shift leads to the enforcement of civil supremacy that change systematically and gradually, where the military is no longer involved in practical politics of national, penugaskaryaan abolish the military in civilian institutions and returned to the barracks as part of military professionalism. In addition, the civil administration after the new order also perform consistency for the establishment of civilian supremacy, in which the government minimize the role of the military in national politics as the policy of the Act No. 34 of 2004 which eliminates the military's involvement in the legislative body. Civilian control of the military is done after the new order does two control is to control the subjective control and control of the control objective.


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Wacana mengenai hubungan sipil dengan militer di Indonesia selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Argumentasi itu mengacu pada kenyataan bahwa sudah dari awal kemerdekaan, keberadaan militer di indonesia sebagai kekuatan sosial politik telah menjadi penopang keberlangsungan sistem kenegaaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Lahirnya peran militer Indonesia tidak terlepas dari masa perang perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda di mana fungsi militer dan politik tidak mempunyai batasan yang jelas, bahkan kedua fungsi tersebut berjalan bersama-sama dan tidak bisa dipisahkan. Sifat perjuangan itu sendiri bersifat politik tetapi juga bersifat militer. Perjuangan para pemuda mengangkat senjata melawan Belanda pada waktu itu di dorong oleh motivasi patriotik untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh para politisi kalangan nasionalis.

Karekter tersebut mendorong kecenderungan kalangan militer terjun dalam masalah-masalah politik. Sebagian besar kalangan militer yang berorientasi politik semasa revolusi merasa mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan sehingga mereka merasa juga memiliki kepentingan politik sendiri. Keadaan tersebut


(15)

2

memunculkan perbedaan seperti perundingan-perundingan dengan Belanda yang disetujui oleh pemerintah sipil namun tidak dengan pihak milter pada saat itu1

Perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar sementara 1950 yang berasaskan demokrasi liberal sangat berdampak kepada menurunnya peran militer bahkan menghendaki militer tidak boleh campur tangan dalam urusan politik. Peran militer tentang kekuatan non-politik tidak bertahan lama dan segera ditarik kembali ke arena politik. Hal tersebut dikarenakan adanya krisis politik yang harus melibatkan militer kedalamanya yaitu peristiwa 17 oktober 1952, di mana terjadi perselisihan antara perwira teknokrat dengan perwira bekas Pembela Tanah Air (PETA) yang juga berimbas kepada perselisihan di parlemen antara oposisi dengan koalisi. Perkembangan politik tersebut semakin mengacaukan stabilitas politik di Indonesia yang diakibatkan pertentangan keras antar partai politik dalam parlemen

.

2

1

Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta. 2002, hal. 215

2 Ibid hal. 223

.

TNI Angkatan Darat yang sebelumnya terpecah belah dan saling bertentangan mulai menyadari kepentingannya untuk bersatu dikarenakan selama sistem parlementer masih berlangsung pihak militer banyak dirugikan dan diabaikan terutama masalah pembagian dana. Rekonsiliasi formal terwujud dari semua kelompok-kelompok militer yang bertentangan sepakat dan bersumpah untuk menjaga persatuan dan kesatuan.


(16)

3

Kepercayaan diri di kalangan militer yang begitu tertuang dalam masa Orde Baru, di mana tentara sendiri (ABRI) yang seharusnya merupakan alat negara yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan, memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menjamin hak-hak politik masyarakat, justru terjebak dalam permainan politik orde baru dengan tidak malu-malu menghalau para perwira potensialnya untuk terlibat dalam jabatan politis seperti menjadi gubernur, bupati atau menjadi kepala desa dengan tujuan untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945, menjaga stabilitas politik dan mengawasi jalannya pembangunan sesuai dengan intruksi soeharto sebagai komandernya.

Orde baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintahan Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis politik yang tidak menentu akibat keengganan Soekarno untuk menyelesaikan kasus G 30 S/PKI, krisis ekonomi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan akhirnya terjadilah demonstrasi besar-besaran yang mengajukan 3 tuntutan atau yang sering dikenal dengan aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).

Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 presiden memerintahkan kepada menteri/PANGAD Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat perintah tersebut


(17)

4

di manfaatkan oleh Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat3

Militerisasi atau Tentaraisasi politik adalah suatu langkah yang digunakan dalam usaha menjadikan tentara atau militer sebagai instrumen politik penguasa pada masa orde baru. Strategi yang digunakan biasanya dengan memberikan porsi wilayah dan keterlibatan tentara yang besar dalam dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat . Pelimpahan kekuasaan tersebut menjadikan Jendral Soeharto sebagai presiden yang sah dengan dilakukannya sesuai mekanisme konsitusional. Diangkatnya Soeharto sebagai presiden penuh tahun 1968 oleh MPRS membawa militer ke posisi yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan baru ini disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politisi, sedangkan sebagian besar menerimanya dengan terpaksa karena memang militerlah yang paling kuat pada waktu itu. Namun langkah apa yang akan dilakukan militer sebagai pemegang kekuasaan dalam menjaga stabilitas politik belum jelas khususnya yang menyangkut partisipasi rakyat dalam politik.

Soeharto merupakan orang kuat yang berdiri di atas tiga pilar utama dalam garis kekuasaannya yaitu : tentara, birokrasi dan golkar sebagai istitusi yang secara politik telah digunakan sebagai mesin penindas dan alat bagi kekuasaan Soeharto yang memiliki aneka fungsi dan peran sesuai dengan garis komando di mana soeharto merupakan panglima tertinggi.


(18)

5

dan turut mengambil bagian yang dominan dalam membuat keputusan-keputusan politik diluar wilayah pertahanan, seperti dalam kabinet, partai politik atau kelompok kepentingan yang bukan wilayah tugasnya, politisasi tentata sendiri diterjemahkan sebagai usaha tentara atau militer untuk menciptakan kepatuhan, loyalitas dan ketundukan pada keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh penguasa negara (pemerintah) melalui serangkaian tindakan intimidasi, teror dan represi atas kepentingan kekuasaan4

Di bawah payung Soeharto, Tentara Nasional Indonesia tidak saja menjadi pagar pengaman dan tameng pelindung Pancasila, tetapi juga menjadi pilar penggerak pembangunan nasional, baik dalam pembangunan ekonomi maupun pembangunan politik yang di letakkan pada usaha penciptaan stabilitas politik yang sehat dan dinamis, guna melindungi patron-patron bisnis, modal dan mengantisipasi amukan massa yang bisa muncul sewaktu-waktu. Meluasnya pengaruh militer mulai nampak dalam pembentukan kabinet pertama pada tahun 1968 yang mengisi kursi departemen pemerintahan dan juga dalam UU Pemilu No 16/1969 Pasal 10 yang memberikan porsi 75 kursi kepada ABRI untuk duduk di DPR/D dan MPR

.

5

Meluasnya militerisasi politik juga menembus batas dunia bisnis yang menciptakan kelanggengan pemeliharaan kekuasaan dengan dukungan material yang begitu besar, tercipta melalui kerjasama pribumi dan non-pribumi yang menjalani

.

4

Ibid hal 198.


(19)

6

pola hubungan saling menguntungkan dengan militer. Militer di satu sisi berperan sebagai penjaga malama bagi kelestarian usaha para pengusaha dengan menghalau gerakan buruh di sektor massa yang dapat mengancam keberlangsungan perusahaan, di sisi lain juga menerima sejumlah kompensasi dari kerjanya disamping turut menikmati usaha bisnis bersama antara pengusaha dengan militer tersebut.

Pemerintahan orde baru yang mampu mempertahankan kekuasaan selama lebih dari tiga dekade pada akhirnya jatuh pada Mei 1998. Runtuhnya pemerintahan tersebut tidak terlepas dari krisis moneter yang terjadi pada waktu itu, kegagalan pemerintah dalam menanganin krisis ekonomi telah membuat legitimasi pemerintahan hancur sehingga tidak lagi mendapat kepercayaan dari rakyat. Karena di dasari alasan tersebut dan tindakan repfesif militer yang berutal pada masa orde baru muncullah perlawanan terhadap pemerintah yang semakin masif terutama dikalangan mahasiswa seperti demonstrasi dengan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI6

Sejak jatuhnya pmerintahan orde baru pada tanggal 21 mei 1998 oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan reformasi, maka posisi ABRI dalam peta perpolitikan di Indonesia ikut jatuh pula. Pada masa transisi tersebut banyak perubahan penting dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatoris. Seiring dengan arus deras demokratisasi dan dengan melihat keadaan lingkungan strategis dalam negeri yang menghendaki adanya

.


(20)

7

berbagai tuntutan tersebut, akhirnya ABRI menyadari untuk segera melakukan reformasi internal seperti yang diamanatkan dalam ketetapan MPR NO. X/MPR/1998 Tentang pokok-pokok reformasi pembangunan nasional sebagai haluan negara, utamanya tentang agenda penyesuaian implementasi Dwi Fungsi ini dengan paradigma baru dan sipil menjadi kekuatannya.

Istilah masyarakat sipil sering kali dipersepsikan kurang tepat. Pengertian masyarakat sipil terkadang dipertentangkan dengan komunitas militer. Di zaman Orde Baru pandangan seperti itulah yang mendominasi. Masyarakat sipil selalu dikotomikan dengan kelompok militer. Pendikotomian itu telah mereduksi makna sesungguhnya dari istilah Civil Society yang menjadi padanan kata masyarakat sipil7

7

. Term masyarakat sipil sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain dalam mengindonesiakan kata Civil Society. Di samping masyarakat sipil, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dan masyarakat madani. Perubahan pola hubungan sipil-militer mengarah pada perubahan sistem politik di Indonesia yang menghendaki adanya sistem pemerintahan yang demokratis sehingga pengawasan terhadapat militer di bawah masyarakat sipil yang direpresentatifkan oleh pemerintahan dapat terlaksana demi terwujudnya supremasi sipil.

2015


(21)

8

Supremasi sipil merupakan supremasi hukum yang menjadi jawaban dari kegelisahan masyarakat terkait tindakan represif aparat militer. Dengan adanya supremasi sipil tersebut militer terpaksa harus menerima kedudukannya yang lebih rendah, tunduk terhadap supremasi sipil tersebut dan patuh terhadap perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah sipil sehingga aparat militer tidak dapat mencampuri urusan di luar bidang keamanan dan pertahanan nasional.

Dalam konteks reformasi politik, pembongkaran wacana hubungan sipil- militer merupakan hukum besi perubahan sosial ke arah terbentuknya tatanan politik demokratis. Inilah keharusan dari proses transisi otoritarian menuju demokrasi yang seharusnya makin disadari oleh setiap elemen militer dan para politisi di Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat posisi dan peran militer militer yang lebih kondusif bagi perwujudan demokrasi.

Di alam demokrasi sekarang ini hal yang terpenting adalah bagaimana masyarakat sipil dapat menjalankan perannya yang diwakilkan pemerintahan sipil dalam mengontrol peran militer demi terwujudnya militer yang lebih profesional. Maka untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mencoba mengangkat dalam tulisan ini yang semoga dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi masyarakat dengan judul Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru.


(22)

9

1.2Rumusan Masalah

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka dirumuskan dahulu masalahnya. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah yaitu Bagaimana Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru.

1.3Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas : “Untuk melihat bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru yang dimulai dengan pemerintahan B.J Habibie sampai dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono’’.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan peran militer pasca orde baru

2. Untuk mengetahui bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan sipil-militer pasca orde baru


(23)

10

1.5Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru dan penelitian ini dilakukan guna memenuhi syarat memperoleh gelar Ilmu Politik (S.IP) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

1.6Kerangka Teori 1.6.1 Militer

Militer dalam bahasa Inggris military adalah the soldiers; the army, the armed

forcec 8

Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Perlmutter membatasi konsep militer hanya ditekankan kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik, tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah atau pertama.

. yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan bersenjata (terdiri dari beberapa angkatan, yakni darat, laut dan atau mariner serta udara.

9

8

Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hal 536.

9 Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal. 25


(24)

11

lainnya, Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personal militer, lembaga militer atau hanya perwira senior.10

Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri, seperti Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohardiprojo

11

mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata, yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito,12

Istilah sipil dalam bahasa Inggris civilian yakni (person) not serving with

armed forces

membatasi pihak militer ditekankan pada para perwira profesional.

Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi yang bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu, yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

1.6.2 Sipil dan Pemerintahan Sipil

13

(seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata). Cohan14

10

Elliot A. Cohan, “ Civil Military Relation in the Contemporary World”, sebagaimana dikutip oleh Susilo

Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999,hal 3

11

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil – Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999,hal 5

12

Bagus A. Hardito, Faktor Militer dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta : CSIS, 1999, hal 144

13

AS. Hornby, Opcit hal 151

14 Elliot A. Cohan, Opcit hal 6

mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai


(25)

12

masyarakat politik yang diwakili oleh partai politik. Sayidiman Suryohardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua lapisan masyarakat15

Secara teori menurut Eric Nordlinger, pemerintahan sipil terbagi dalam 3 model, yaitu :

.

Dari berbagai pengetian diatas maka dibuat suatu pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi militer. Dalam kajian ini, pengertian sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan dalam suatu negara.

Istilah pemerintahan sipil digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer. Pemerintahan sipil merupakan pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil. Proses administrasi keputusan politik dijalankan dengan mekanisme demokrasi, dimana keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu. Jika dalam pemerintahan tersebut kalangan sipil mampu lebih dominan dalam masalah kemiliteran maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil.

16

15

Sayidiman Suryohadiprojo, Opcit hal 7


(26)

13

1. Model tradisional, campur tangan militer menggambarkan berlakunya konflik antara kelompok militer dengan pemerintahan sipil. Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer. Pemerintahan sipil tradisional ini, yang disimpulkan dari pemerintahan kerajaan Eropa abad ke 17, dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang jelas antara elit sipil dan militer.

2. Model liberal, model pemerintahan ini dengan jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit berkenaan dengan keahlian dan tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Model ini akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni arena politik dan kegiatan politik. Model pemerintahan liberal juga didasari pada prinsip penting, yaitu pihak sipil harus menghormati pihak militer. Namun demikian, model liberal bukan merupakan dasar yang kokoh untuk pemerintahan sipil, karena tidak selamanya pihak sipil untuk mematuhi peraturan yang dianggap penting.

3. Model serapan, model pemerintahan sipil ini memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide dan para ahli politik kedalam tubuh angkatan bersenjata. Persamaan ide politik antara kedua belah pihak yang timbul kemudian akan menghapuskan gejala konflik diantara mereka. Bentuk serapan ini begitu berkesan dalam mempertahankan penguasaan sipil.


(27)

14

Seandainya timbul konflik kepentingan dan ide politik, pihak sipil mempunyai kemampuan yang lebih tinggi untuk melakukan penyelidikan dan pengawasan.

1.6.3 Hubungan Sipil – Militer

Dengan mengacu pada tulisan Cohan, Civil-Military Relation in

Contemporary World, Susilo Bambang Yudhoyono dalam makalahnya Pengaruh

Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer berpendapat bahwa hubungan sipil- militer dapat berupa:

1. hubungan militer dengan masyarakat secara keseluruhan

2. lembaga militer dengan lembaga lain baik pemerintahan maupun swasta 3. para perwira senior dengan politisi dan negarawan17

Suhartono lebih menekankan bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer dengan masyarakat politik yang direpresentasikan partai politik

.

18

Sedangkan Hardito berpendapat bahwa hubungan sipil-militer mencakup interaksi yang luas antara kalangan perwira professional dengan berbagai sekmen masyarakat. Hubungan antara sipil dan militer di setiap negara berbeda-beda, . Sedangkan Suryohardiprojo berpendapat bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer yang meliputi semua jenjang pangkat dalam organisasi tersebut dengan semua lapisan masyarakat tidak hanya dengan masyarakat politik.

17

Elliot A. Cohan, Opcit hal 8

18

Suhartono, Hubungan Sipil – Militer Tinjauan Histografis 1945 – 1998, Pola, Arah, dan Perspektif, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil – Militer, Jakarta FISIP UI, 1999 hal 3


(28)

15

tergantung pada sistem politik yang dianut negara tersebut. Misalnya di negara yang menganut sistem demokratik liberal dimana masyarakat cenderung memiliki kebebasan dalam politik, maka yang dianut adalah pola supremasi sipil, dimana sipil memiliki peran yang luas didalam politik dan pihak militer hanya merupakan pihak yang berfungsi sebagai alat negara untuk keamanan. Berbeda dengan yang terjadi dinegara yang menganut sistem otoriter, pola hubungan sipil-militer yang terjadi adalah supremasi militer. Militer memegang peranan penting dalam segala bidang kehidupan, hak-hak sipil dikekang dan hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam pemerintahan.

Menurut pendapat Hardito bahwa pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi sipil atas militer atau sebaliknya maupun kesejajaran antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara19

Sedangkan Bakti yang mengartikan hubungan sipil-militer dalam dua model:

.

20

19

Ibid hal 5

20

Ikrar Nusa Bakti,Tentara Mendambakan Mitra, Hasil Penelitian LIPI Tentang

Pasang Surut Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia, Bandung : Penerbit Mirzan 1999.hal 11

Pertama, model negara-negara Barat, yaitu hubungan sipil yang menekankan “supremasi sipil atas militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kedua, model negara-negara berkembang yang


(29)

16

menganggap bahwa hubungan sipil-militer tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.

Dalam negara berkembang, militer merupakan kekuatan sosial politik yang memegang peranan penting, hal ini dapat mengakibatkan konfrontasi keduanya dalam mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, yang terbaik adalah pola hubungan antara sipil dan militer yang saling sejajar dan harmoni. Militer tidak menguasai hak-hak sipil dan sipil juga tidak ikut campur dalam masalah internal militer, sehingga tidak terjadi ketidaksenangan diantara sebelah pihak.

Cohan mengklasifikasikan pola hubungan sipil-militer kedalam empat model yaitu:21

1. The traditional model. Militer merupakan kelompok yang dilatih untuk menjadi

militer yang professional, tidak ikut campur dalam hal-hal yang bukan wilayahnya dan hanya terfokus pada bidang pertahanan dan keamanan. Militer dalam hal ini tidak berhubungan dengan kelompok sosial disekitarnya.

2. The constabulary model. Dalam model ini, fungsi tentara hampir sama dengan

polisi yaitu sebagai pengatur ketertiban. Tentara seperti halnya polisi bersifat sebagai pengatur. Pengaturan yang dilakukan adalah demi ketertiban daripada berkonsentrasi pada peperangan.

3. The military as reflection of society. Sebuah sistem nasional dimana militer

memainkan peran yang penting dalam membangun civil society yang

21


(30)

17

dilaksanakan melalui dinas militer secara luas melalui pendidikan dan indoktrinasi yang positif.

4. The guardian military. Sebuah sintesa dimana militer berfungsi melindungi

orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis.

Menurut Huntington22

1. Subjective civilian control (pengendalian sipil subyektif) Hubungan sipil-militer

dalam hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir kekuasaan militer. Hak-hak sipil diperbesar dan membuat militer menjadi terpolitisasi. Model ini merupakan bentuk ketidakharmonisan hubungan sipil dan militer, karena militer menjadi sangat terbatas ruang geraknya. Namun sebaliknya kekuasaan sipil menjadi sangat luas atau dengan kata lain maximizing civilian control. Kaum sipil menjadi suatu kekuatan yang menjadi pengontrol atas militer.

hubungan sipil-militer ditunjukkan melalui dua cara, yaitu:

2. Objective civilian control (pengendalian sipil objektif) Menurut Huntington

istilah objective civilian control mengandung 4 unsur yaitu 1). Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3) pengakuan dan persetujuan dari pihak

22

Samuel P. Hutington, The Soldier And The State : The Theory and Politict of Civil – Military Relations, Cambridge : Harvard University Press, 1957, hal 80-99


(31)

18

pemimpin politik tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer;dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer. Hal ini dilakukan dengan cara memperbesar profesionalisme militer namun tidak sama sekali diminimkan kekuasaannya, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu yang hanya berhubungan dengan bidang militer. Hal ini diharapkan menjadi suatu model untuk pencapaian hubungan sipil- militer yang sehat atau dengan kata lain model ini dilakukan dengan cara militarizing the military atau memiliterkan militer.

1.6.4 Orientasi Militer

Tipe-tipe orientasi militer dari setiap negara berbeda satu sama lainnya. Hal ini tergantung pada bagaimana peran pihak militer didalam pemerintahan. selain itu juga tergantung pada system politik yang dianut oleh negara tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya. Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang dilembagakan, yakni:23

23 Amos Perlmutter, Opcit, hal 14

1. Prajurit Profesional


(32)

19 a. keahlian (manajemen kekerasan)

b. pertautan (tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara) c. korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi) d. ideologi (semangat militer).

Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun berkembang.

Selain itu menurut Huntington militer yang professional mempunyai tiga ciri yaitu : Pertama, keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai. Kedua, militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit


(33)

20

disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara.

Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan.

Profesionalisme menyangkut keseimbangan antara keahlian dan tanggung jawab sebagai pelindung negara. Prajurit professional klasik timbul apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Lembaga militer yang merupakan unit korporasi berjuang keras untuk menjaga hubungan ini. Dalam hal ini tentara telah mempercayakan pengelolaan negara kepada sipil. Tentara dalam hal ini hanya berkonsentrasi kepada tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

2. Prajurit Pretorian

Tentara pretorian adalah tentara yang timbul akibat dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sipil. Pretorian selalu diintervensi oleh kaum sipil. Oleh karena itu kemudian muncullah semacam pemberontakan dari pihak militer yang kemudian berujung pada penguasaan militer didalam segala bidang kehidupan.


(34)

21 Menurut Perlmutter24

1. menolak orde yang berlaku dan menentang keabsahannya,

kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah. Intervensionisme atau kecenderungan tentara dalam hal ini bersifat permanen. Tentara dapat melakukan perubahan konstitusi dan menguasai negara. Hal ini dapat mengakibatkan pandangan yang negatif terhadap keprofesionalan tentara.

Perlmutter membedakan tipe tentara pretorian dalam dua kategori yaitu tipe tentara pretorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe yang kurang ekstrim (tipe penengah). Tentara pretorian penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Jenis tentara pretorian penguasa ini mempunyai ciri, yaitu:

2. tidak mempercayai pemerintahan sipil dan tidak mengharapkan akan kembali ke tangsi,

3. mempunyai organisasi politik dan cenderung memaksimumkan militer,

4. yakin bahwa pemerintahan militer merupakan satu-satunya alternatif yang dapat mengatasi kekacauan politik,

5. memvorpolitisir profesionalisme,

6. beroperasi secara terbuka dan tidak takut akan aksi pembalasan kaum sipil.


(35)

22

Sedangkan tentara pretorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukkan minat dalam penciptaan ideologi politik. Jenis tentara ini mempunyai ciri, yaitu:

1. menerima orde sosial yang ada dan tidak mengadakan pembaharuan fundamental didalam rezim atau struktur eksekutif,

2. kesediaan untuk kembali ke tangsi setelah perdebatan dan konflik diselesaikan,

3. tidak mempunyai organisasi politik yang berdiri sendiri dan tidak berusaha memaksimumkan kekuasannya,

4. menentukan batas waktu bagi pemerintahan militer dan mengalihkan kepada pemerintahan sipil yang dapat diterima, karena mereka memandang pemerintahan tentara yang berkelamaann merugikan integritas profesinya, 5. keprihatinan pemikiran tentang peningkatan profesionalisme,

6. disebabkan karena ketakutannya terrhadap keterlibatan terbuka dalam politik, maka cenderung beroperasi dibelakang layar sebagai kelompok penekan yang mempengaruhi pemerintahan sipil untuk bereaksi terhadap tuntutan rakyat dan tidak perlu bagi militer untuk campur tangan secara terang-terangan,

7. takut terhadap pembalasan pihak politisi maupun penduduk sipil.

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara pretorian modern jika militer telah menguasai bidang politik. Militer memegang peranan didalam eksekutif sebagai


(36)

23

pelaksana pemerintahan. Oleh karena itu, eksekutif tidak berfungsi dengan baik. Negara ini timbul karena adanya kelompok-kelompok yang bersimpati pada pihak militer sehingga terjadilah istilah political decay yang dapat merusak citra pemerintahan yang dipimpin oleh militer.

3. Tentara Revolusioner Profesional

Tentara revolusioner professional hampir sama dengan tentara pretorian. Hanya saja jika tentara pretorian melakukan intervensi secara terang-terangan dengan melakukan pengambilalihan terhadap kepemimpinan negara, maka tentara revolusioner professional melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jenis tentara ini memberikan dukungan terhadap kaum revolusioner yang menginginkan perubahan.

Tentara ini bukan merupakan hasil dari pendidikan militer, melainkan lahir dari panggilan negara untuk berjuang bersama revolusi. Dari pertama masuk tentara, jenis tentara ini sudah mengalami politisasi dan memiliki hubungan yang simbolik sifatnya dengan revolusi itu sendiri. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karena itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi adalah angkatan bersenjata massal suatu bangsa yang di persenjatai.

Tentara revolusioner professional enggan berdamai dengan rezim yang baru, terutama bila angkatan bersenjata sebelumnya memainkan peranan penting dalam


(37)

24

perang pembebasan yang revolusioner itu. Sebelum dan selama revolusi tentara selalu setia kepada gerakan partai. Bila gerakan partai menjadi sama dengan negara atau rezim, maka ia lebih setia kepada bangsanya daripada rezimnya. Kaum revolusioner mutlak harus setia kepada revolusi dan ajaran - ajarannya. Tujuan pokok rezim revolusioner adalah subordinasi segala peralatan kontrol ditangan gerakan partai dan ideologinya. Jadi ideologi kaum revolusioner akan mencakup semua persyaratan prajurit professional pada saat terakhir.

Semua nilai orientasi militer tersebut merupakan hasil dari tradisi para perwira militer yang cenderung mematuhi dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan oleh militer untuk mendapat keabsahan dari masyarakat luas.

1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian studi kasus interpretif. Studi kasus interpretif atau disiplin-konfiguratif bertujuan untuk menjelaskan/menafsirkan kasus tunggal, tapi interpretasi itu secara ekplisit dibangun oleh teori atau bingkai kerja teoritis kokoh yang memusatkan perhatian pada beberapa aspek teoritis spesifik atas realitas dan mengabaikan hal lain.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka, yakni dengan cara


(38)

25

pengumpulan data dengan menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan masalah-masalah penelitian ini.25

1.7.3 Teknik Analisa Data

Pada penelitian ini bersifat deskriptif dengan harahapan dapat memberikan gambaran terhadap kondisi dan situasi yang terjadi. Data-data yang telah terkumpul akan ditampilkan dalam bentuk uraian kemudian dianalisis lalu dieksplorasi secara mendalam dengan cara membuat penjelasan tentang militer pasca orde baru dalam paradigma baru TNI, kontrol pemerintah terhadap militer pasca orde baru dan hubungan sipil-militer pasca orde baru seperti hubungan militer dengan partai politik dan birokrasi.

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab, yaitu :

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.


(39)

26

BAB II : Sejarah dan Praktek Hubungan Sipil-Militer di Masa Orde Baru

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran sejarah militer di Indonesia masa orde baru.

BAB III : Analisis Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

Pada bab ini nantinya akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian serta analisis bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru di Indonesia.

BAB IV : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun lembaga- lembaga yang terkait secara umum.


(40)

27

BAB II

SEJARAH DAN PRAKTEK HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI MASA ORDE BARU

2.1 Lahirnya Orde Baru

Orde Baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintah Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis politik yang tidak menentu akibat Soekarno enggan untuk menyelesaikan kasus G 30 S/PKI, krisis ekonomi menjadi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas sehingga akhirnya terjadilah demontrasi-demontrasi mahasiswa yang mengajukan 3 tuntutan atau yang dikenal aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) 10 Januari 1966, yaitu :

1. Bubarkan PKI 2. Turunkan harga, dan 3. Retool kabinet Dwikora26

ABRI sebagai kekuatan sosial politik mengeluarkan pernyataan bahwa ABRI tetap patuh dan taat pada Pimpinan Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI dan menyerukan agar memelihara kekompakan sesama ABRI dan kekompakan antara rakyat-ABRI. Hal ini dilakukan oleh ABRI mengingat adanya kekuatan-kekuatan ABRI yang terpecah-pecah dalam dua kelompok, yaitu :


(41)

28

1. Pendukung gerakan atau aksi mahasiswa yang menuntut dibubarkannya PKI yang antara lain adalah RPKAD (Resimen Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat) dan Kostrad (Komando Strategis dan Cadangan TNI Angkatan Darat). 2. Kelompok yang memebela barisan Soekarno seperti KKO AL dibawah Mayjen

KKO Hartono dan Brimob-Polri.27

Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno memerintakan kepada Menteri/PANGDAM Letjen Soeharto untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa kepemimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima angkata lainnya dengan sebaik-baiknya. Surat Perintah yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 itulah yang dikenal dengan ‘’Supersemar’’ (Surat Perintah Sebelas Maret) kemudian dianggap sebagai titik awal Orde Baru.

Dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret ini, secara politik dimanfaatkan oleh Lenjen Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena

27

Sayidiman Suryohardiprojo, Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya, Intermasa,1996, hal 220-222.


(42)

29

dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat. Disinilah peranan ABRI semakin besar dalam perpolitikan di Indonesia terutama karena Letjen Soeharto menjadi pemegang Supersemar.

Sementara itu, dorongan kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia semakin keras untuk mendesak pimpinan TNI AD untuk mengambil langkah-langkah pergantian kepemimpinan nasional. Namun Letjen Soeharto berpedoman pada ketentuan bahwa segala sesuatu harus berdasarkan konstitusi, karena ABRI menghendaki kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka berdasarkan hal itu, segera dilaksanakan pelaksanaan Sidang MPRS (pada waktu itu belum ada MPR yang sebenarnya, karena sejak Indonesia kembali ke UUD 1945 belum pernah ada Pemilu, yang ada baru MPRS yang anggotanya diangkat) untuk membicarakan keadaan negara yang semakin kacau.

Dalam sidang tersebut menghasilkan beberapa ketetapan penting, diantaranya adalah ketetapan tentang pengukuhan Supersemar (Tap MPRS No.IX/1966), pembubaran PKI (Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966), pembentukan Kabinet Ampera (Tap MPRS No.XIII/MPRS/1966) pelaksanaan Pemilu dalam tempo dua tahun (Tap MPRS No.XI/MPRS/1966), koreksi politik luar negeri agar kembali pada politik


(43)

30

bebas-aktif yang tetap anti-imprialisme dan kolonialisme (Tap MPR No.XII/MPRS/1966).28

2.2 Konsep dan Landasan Dwi Fungsi ABRI

Militer merupakan alat pertahanan negara sebenarnya telah mempunyai konsep yang baik dalam perannya menjaga stabilitas politik dan keamanan di Indonesia, yaitu dengan Dwi-fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI adalah sebuah konsep dasar militer dalam menjalankan peran sosial politik mereka di negeri ini. Dwi Fungsi ABRI yang diketahui masyarakat luar lingkungan ABRI merupakan sebagai bentuk militerisme, intervensi militer dalam permasalahan urusan politik, campur tangan militer dalam permasalahan negara yang penting dalam menyangkut hidup orang banyak.Dwi fungsi ABRI dilihat dari capur tangan militer dan legitimasi militer untuk melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakatnya. Yang artinya masuknya militer dalam posisi-posisi jabatan penting pemerintahan sehingga mengurangi porsi masyarakat sipil. Keadaan tersebut membuat kondisi masyarakat sipil yang cenderung stagnasi dalam proses regenerasi dan kaderisasi untuk melanjutkan tonggak pemerintahan yang baru.

Konsepsi Dwi fungsi ABRI pada dasarnya muncul sebagai bentuk konsep “Jalan Tengah” yang diusulkan oleh Jendral A.H. Nasution. Pemimpin TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno dalam peringatan Ulang Tahun Akademi Militer


(44)

31

Nasional di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958 yang memberrikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.

Kalau melihat arti kata Dwi Fungsi dalam bahasa Sansekerta, berarti Dwi diartikan sebagai dua, secara konotasi berarti ganda. Jadi, Dwi Fungsi adalah doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas yaitu sebagai menjaga keamanan dan keterlibatan negara dan memegang kekuasaan negara. Dengan adanya peran ganda tersebut, militer Indonesia diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.

Dengan adanya Dwi Fungsi ABRI tersebut maka militer mengambil jalan tengah diantara dua hal tugas ganda yang diembankan secara konsepsi diatas. Seperti ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta , tetapi tidak pula menjadi penonton dalam konstalasi politik. Perwira tinggi militer harus diberikan kesempatan melakukan partisipasinya dalam pemerintahan atas dasar pedoman konsepsi dasar tersebut.

Dwi Fungsi ABRI mempunyai beberapa landasan yang dapat menguatkan perannya dalam politik. Landasan tersebut yaitu :29

1. Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dibuat sebelum masa orde baru dan menyebutkan :


(45)

32

“tentara dan polisi diikutsertakan dalam proses produksi dengan tidak tugas utama masing-masing, golongan-golongan di dalam masyarakat wajib berusaha mencapai tujuan nasional dan tak terkecuali juga tentara dan polisi turut memikul tanggung jawab mereka terhadap negara, peran dan kegiatan tentara dan polisi dibidang produksi membuat pendekatannya dengan rakyat menjadi lebih intensif dalam proses pembangunan terutama dalam industrialisasi.”

Ketetapan MPRS diatas telah memberikan peluang kepada militer untuk ikut serta dalam masalah ekonomi, produksi dan industrialisasi.itu jelas posisi dan peran yang sangat luas bagi militer, yang memerlukan tenaga dan pikiran yang tidak ringan. Tentu saja akan merugikan bagi usaha meningkatkan profesionalismenya dalam mengemban tugas diluar lingkungan militer.

2. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahan keamanan negara. Pada pasal 26 menyebutkan :

“Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.”

Dalam Undang-Undang ini tidak disebutkan “politik” tetapi hanya sosial. Namun dalam prakteknya, militer menjadi kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.


(46)

33

3. UU No. 20 tahun 1982 pasal 28, menyebutkan :

“Angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD1945 dalam segala kegiatan dan usaha pembangunan nasional.”

4. UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan :

“Prajutir ABRI bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”

Ini berarti tentara harus setia kepada pemerintah selama pemerintah setia dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Membela, melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, serta didukung oleh rakyat.

5.UU No. 2 tahun 1988 pasal 6 yang berbunyi :

“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan sosial politik.”

2.3 Praktek Dwi Fungsi ABRI

Pada masa orde baru, peran militer yang begitu kuat melampaui spesifikasinya di bidang pertahanan nasional. Keterlibatan militewr di bidang politik biasanya di sebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer dalam politik


(47)

34

tidak serta merta bisa dikatakan lagi dengan intervensi dikarenakan begitu sederhananya bahasa tersebut. Namun, pada sisi lain politikus di masa orde lama dan orde baru cenderung menggunakan kekuatan militer demi terwujudnya kepentingan politik yang ada.

Salah satu perwujudan Dwi Fungsi ABRI yang paling nyata di masa orde baru adalah penugasan prajurit tentara dalam lembaga, instansi, badan atau jajaran diluar lingkungan ABRI. Alasan utamanya tentunya untuk menghempang kekuatan politik komunis di Indonesia. Tetapi, alasan tersebut berlanjut menjadi konsepsi pembanguan di masa orde baru.

Praktek yang tidak seluas dengan spesialisasi fungsi militer di atas dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran sejarah, ideologi dan konstitusi. Peran yang begitu sangat dominan dikatakan selaras dengan kenyataan bahwa militer adalah tentara rakyat, dimana adanya dikotomisasi bahwa militer memiliki hubungan dan kedekatan yang sangat erat dengan rakyat.

Keadaan tersebut membuat kokohnya budaya militer dalam kehidupan sipil, melalui peran sosial dan politik. Secara struktural organisasi ABRI disusun mengikuti struktur organisasi pemerintahan sipil, dimulai dari Bintara Pembinaan Desa,atau Babinsa di Tingkat Kelurahan, Komando Rayon Militer (Koramil) di Tingkat Kecamatan, Komando Distrik Militer (Kodim) di Tingkat Kotamadya/Kabupaten,


(48)

35

Komando Resor Militer (Korem) di Tingkat Karesidenan, Komando Daerah Militer di Tingkat Provinsi.

Militer dijadikan alat kekuasaan oleh Soeharto yang berakibat kurangnya simpati masyarakat terhadap militer. Soeharto juga mendayagunakan peran sosial dan politik ABRI untuk mewujudkan stabilitas ekonomi dan politik dengan membentuk format politik orde baru dengan menonjolkan politik yang sentralistik di tangan eksekutif, intervensi terhadap partai politik, menjadikan Partai Golkar sebagai kekuatan di parlemen, peran ABRI dalam legislatif dan kontrol terhadap birokrasi. Dalam prakteknya untuk mengkontrol dan menjalankan status quo pemerintahan pada saat itu dilakukan beberapa tindakan yaitu :

2.3.1 ABRI dan Kelahiran Golkar

Kelahiran Golkar tidak terlepas dari peran dan dukungan dari militer sebagai reaksi atas meningkatnya kampanye PKI. Milter menggalang kekuatan poltik memalui unsur-unsur golongan fungsional (golongan yang tidak berafiliasi pada suatu partai, termasuk militer) yang kemudian disatukan dalam suatu federasi bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pembentukan Sekber Golkar pertama kali ditujukan untuk merespon PKI dan kekuatan sayap kiri lainnya, bukan menjadikan partai politik untuk mengatur negara. Hanya setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar secara berangsur-angsur berubah menjadi semacam partai politik. Apalagi setelah kudeta PKI 1965 dapat digagalkan oleh militer, maka militer


(49)

36

muncul menjadi satu-satunya kekuatan sosial dan politik yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan.30

Ketika orde baru muncul, Sekber Golkar menjadi pilihan pemerintah Orde Baru, karena menganggap tidak ada satu pun partai politik yang mewakili

Sebenarnya sebagai golongan fungsional (untuk membedakan dengan istilah Golongan Karya yang dikembangkan tahun 1959) organisasi ini dapat ditelusuri lebih jauh sebelum kemerdekaan. Konsep Golongan Fungsional ini sudah ada pada zaman Belanda sebgaia golongan yang duduk di volksraad yaitu semamacam parlemen pada masa itu. Setelah kemerdekaan, terutama dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), golongan fungsional ini duduk mewakili kelompok tani dan buruh. Kehadiran golongan fungsional dalam lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya mencerminkan peran politik yang lebih luas.

Dalam perjuangannya, ABRI sendiri menyadari sepenuhnya bahwa terjadinya instabilitas keamanan dalam negeri yang berupa pemberontakan bersenjata di setiap daerah. Oleh karena itu, ABRI pada tahun 1958 mengambil langkah-langkah politik dengan tujuan merangkul dan membina kekuatan dalam bentuk kerjasama dalam upaya stabilitas keamanan dalam negeri. Militer juga membentuk organisasi massa untuk menghempang kekuatan PKI yang dipimpin oleh perwira militer seperti Soski, Kosngoro, MKGR dll.


(50)

37

kepentingan militer. Partai politik lebih mementingkan kepentingan kelolmpoknya sendiri seperti NU, Masyumi, PNI dan Parkindo. Oleh karena itu, pemerintah menjatuhkan pilihannya kepada Sekber Golkar sebagai alat untuk menjamin posisi dominasi militer di dalamnya.

Militer mulai memaikan peranan politiknya dengan memberikan dukungan dan mitra seperjuangan kepada Sekber Golkar sewaktu melawan PKI. Pada tanggal 30 Juli 1966, Jenderal Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet memberikan pidato tertulis dalam “Pekan Latihan Sekber Golkar” dengan mengungkapkan bahwa golkar harus mempunyai misi. Sejak itulah dimulai revitalisasi Sekber Golkar yang ditujukan untuk melegitimasi sekaligus menjamin posisi dominasi militer.31

Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I tanggal 9-11 Desember 1965 sekber golkar masih berkutat pada masalah konsolidasi dan pembentukan pengurus baru. duduknya orang yang masih pro terhadap Soekarno menjadi hambatan terbesan organisasi ini. Sehingga pada Mukernas II orang yang pro terhadap Soekarno berhasil disingkirkan barulah militer berhasil mendominasi struktur kepengurusan yang ada. Untuk memuluskan jalan militer menggapai kekuasaan dengan sekber golkarnya maka dibuatlah ketentuan bahwa keanggotaan yang berada dilingkungan MPRS dan DPRGR haruslah orang golongan fungsional murni yang artinya tidak berafiliasi terhadap suatu partai politik manapun.


(51)

38

Munculnya kekuatan Golkar sebagai kekuatan baru sering dianggap sebagai kekuatan bulduzer orde baru karen dalam kaitan ini, Golkar didukung oleh tiga kekuatan dominan orde baru yaitu, ABRI sebagai kekuatan kunci untuk melakukan tekanan atas kekuatan sipil yang coba mengganggu kekuatan Golkar, monoloyalitas birokrasi yang dibangun, dan Golkar dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui formulasi yang dianggap demokrasi dengan tata cara prosedur pemilihan umum.32

Setelah Sekber Golkar berhasil meraih kemenangan Pemilu tahun 1971, maka dipandang sudah waktunya untuk mengadakan konsolidasi lebih lanjut. Dalam hal ini, dipandang perlu untuk merubah bentuk organisasi dari federasi menjadi bentuk kesatuan, sebagai langkah awalnya dilakukanlah perubahan sekber golkar menjadi Golkar.

Sebagai kekuatan bulduzer orde baru hubungan antara Golkar, ABRI, dan pemerintah ditata sedemikian rupa sehingga semua unsur itu harus mempunyai peran dalam suatu sinergi untuk memenangkan Golkar dalam pemilihan umum. Hubungan tersebut dilakukan untuk melawan kekuatan politik yang warisan Orde Lama seperti NU, Masyumi PNI dan barisan kiri. Sinergisitas yang terbangun itu untuk menciptakan format politik dari pusat hingga daerah untuk mengusir lawan politiknya dengan harapan dapat menciptakan mayoritas tunggal.


(52)

39

2.3.2 Intervensi Militer dalam Partai-Partai Politik Menjelang Pemilu

pada awalnya pemimpin-pemimpin Organisasi Induk (Kino) mempunyai pandangan yang berbeda mengenai strategi menghadapi Pemilu 1971. Ada yang berpendapat bahwa masing-masing Kino berdiri sendiri-sendiri dengan tanda gambar sendiri pula dan hasilnya digabung dalam satu fraksi di badan-badan perwakilan. Ada pula Pimpinan Kino yang menginginkan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Meskipun demikian, akhirnya Jenderal Soeharto sebagai Pembina Utama Sekber Golkar memutuskan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Dengan demikian konsolidasi organisasi menjelang Pemilu 1971 dapat berhasil dengan lancar.33

Disamping melakukan usaha konsolidasi internal organisasi Sekber Golkar, Jenderal Soehatro juga melakukan operasi-operasi keluar yang yang ditujukan kepada partai-partai peserta pemilu tahun 1971. Dalam rangka usaha ini, Jenderal Soeharto menugaskan Ali Moertopo untuk melakukan tugas apa yang disebut dengan penggalangan dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan extrem manapun. Sejarah mencatat bahwa operasi Ali Moertopo melalui Operasi Khusus (Opus) memaikan peran yang sangat menonjol serta begitu disegani dan ditakuti,


(53)

40

sekaligus dibenci karena dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.34

Peranan politik Ali Moertopo didasarkan pada pengalamanya di masa lalu yaitu masa orde lama, di mana negara tidak bisa melaksanakan pembanguna di bidang ekonomi dikarenakan terlalu sibuk mengurusi masalah-masalah politik, terutama dalam perebutan kekuasaan antara paratai politik. Berdasarkan pengalaman ini, maka orde baru berusaha untuk bagaimana membangun sistem politik yang dapat stabil sehingga menunjang pembangunan ekonomi. Operasi yang dilakukan seperti pelemahan partai politik dan di pihak lain memperkuat posisi Sekber Golkar.35

Operasi tersebut dilakukan melalui intervensi pemerintah dan militer pada rapat-rapat dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong pemimpin yang akomodatif dengan pemerintah. Target utama Opsus adalah Partai nasionalis terbesar yaitu PNI.36

Campur tangan militer terhadap PNI terjadi hampir di semua wilayah yang mempunyai basis massa pendukung kuat PNI. PNI mejadi sasaran disebabkan kedekatan yang sangat erat dengan Presiden Soekarno di masa lalu. PNI mempunyai basis massa besar, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para pengikut PNI diperkirakan akan mendapatkan dukungan besar dari bekas-bekas PKI yang telang

34

Ikrar Nusa Bhakti, Opcit hal 132

35

Arif Yulianto, Opcit hal 267


(54)

41

menjadi partai terlarang. Oleh karena itu, bagi kalangan militer serta sekutunya menentang keras adanya PNI bahkan meminta untuk pemerintah melarangnya. Namun, Jenderal Soeharto berpandangan lain yaitu dengan cara tetap mempertahankan PNI untuk sementara waktu, dengan maksud menjadikannya sebagai penghubung antara pemerintah dan sebagian besar rakyat, juga sebagai penyeimbang terhadap partai-partai islam.37

Langkah awal Soeharto tersebut dalam intervensi terhadap PNI adalah dengan mendesak PNI agar melakukan kongres. Dengan singkatnya kongres dapat dilakukan “Kongres Persatuan” tanggal 24-27 April 1966, dalam kongres tersebut pihak pemerintah melalui militernya berhasil memunculkan sosok atau pimpinan baru Osa Maliki Wangsadinata sebagai ketua umun dan Usep Ranuwidjajasebagai Sekretaris Jenderal yang sangat anti-komunis dan besebrangan dengan kubu Ali Sastromidjaja (yang setuju tentang NASAKOM).38

Intervensi pemerintah melalui militernya untuk mendapatkan pemimpin yang sejalan dengan konsep orde baru, dibarengi juga dengan langkah-langakh untuk mengawasi partai Islam yang didirikan tahun 1968, yaitu Partai Muslimin Indonesi (Permusi). Tidaklah mengherankan jika pemerintah melalui Opusnya perlu mengintervensikan susunan personalia dalam kepengurusan partai Islam seperti

37

Ibid hal 186


(55)

42

Parmusi, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama guna mendapatkan kepemimpinan yang pro terhadap pemerintah.39

Dari ketidaksiapan pemerintah tersebut mengakibatkan pemilu tidak bisa dilakukan sesuai dengan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966, sehingga pemerintah memperpanjangnya sampai tahun 1971. Ketakutan pemerintah Orde Baru dapat dilihat sampai bulan Oktober 1969 di mana pemerintah belum menjelaskan kepada

Berbeda dengan PNI dan Parmusi, Nahdlatul Ulama tidak merasa direndajkan oleh adanya intervensi Opus kedalam urusan-urusan partainya. Dikarenakan pemimpin militer mengubah strateginya, yaitu dengan tidak lagi intervensi atau pembersihan partai pendukung Orde Lama, tetapi lebih menekankan menggalang kerjasama seperti militer memberikan bantuan dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Pada saat menjelang Pemilu partai-partai politik antusias menanggapinya, bahkan di tingkat elite partai politik seperti NU dan PNI menghendaki pemilu lebih dipercepat sehingga menghasilkan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 yang menyerukan pelaksanaan Pemilu dalam tempo 2 tahun selambat-lambatnya sebelum 5 Juli 1968. Pemerintah dan kalangan militer justru ragu-ragu dan khawatir apakah Sekber Golkar yang dibentuk dapat menang dalam pemilu. Masalah yang dihadapi pada waktu itu adalah masih rapuhnya kekuatan pendukung pemerintah Orde baru.


(56)

43

pemimpin-pemimpin partai apakah pemilu akan dilaksanankan. Maksud sebenarnya pemerintah mengadakan pemilu adalah memberikan rasa berperan serta kepada partai-partai di dalam sistem politik tanpa mengancam kekuasaan militer khususunya Angkatan Darat atas pemerintahan.40

Pemerintah Orde Baru semakin ragu memutuskan untuk mengadakan pemilu karena ada masukan bahwa hasil pemilihan umum nanti hanya akan memperkuat

status quo parlemen yang kira-kira 60% kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai.

Meskipun pemerintah telah membentuk dan mengembangkan Sekber Golkar menjadi partainya, begitu juga melalui intervensi dalam Operasi Khusus terhadap partai lain, seperti NU, PNI dan Parmusi. Namun, tampaknya pemerintah tidak begitu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan umum yang benar-benar mampu menyusutkan arti partai-partai yang telah mapan.41

Disamping melalui Operasi Khusus atau intervensi terhadap partai-partai politik dalam mendapatkan kepemimpinan partai yang pro-pemerintah, berbagai usaha lain juga dilaksanakan untuk memenangkan Sekber Golkar. Sekber Golkar menggunakan cara yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap lawannya. Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Kokarmendagri, suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, dari mana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970 rupannya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan

40

Harold Crouch, Opcit hal 196


(57)

44

bahwa departemen akan menjadi tulaang punggung Sekber Golkar, sehingga perwujudannya PNS ditekan untuk mendatangi loyalitas tunggal kepada pemerintah yaitu Sekber Golkar. Walaupun Menteri selalu mengatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan keanggotaan partai menjadi penghambat kenaikan pangkat.42

Usaha pemerintah untuk memenangkan pemilu ditujukan juga kepada partai-partai islam. Dalam tahun 1970, pemerintah dan militer melakukan usaha untuk menarik simpati para kyai-kyai yang berpengaruh dengan membiayai perjalanan-perjalanan keluar negeri dan menyediakan dana-dana untuk pesantren-pesantren mereka. Pada bulan Januari 1971 Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) yang hampir mati dihidupkan kembali setelah lebih dari delapan ratus kyai diundang untuk menghadirin konfrensi yang menunjuk Mayjen Sudjono Humardani yang jelas “abangan” sebagai pelindung. Hal tersebut dilakukan untuk menarik dan merangkut umat islam untuk mendukung Golkar.43

Tindakan-tindakan pemerintah dan kalangan militer untuk memperkuat Sekber Golkar ternyata sengat efektif dari perkiraan semula. Para pimpinan partai politik baru menyadari bahwa tindakan yang dilakukan Sekber Golkar menggunakan cara yang tidak fair dalam kampanyenya. Keadaan tersebut menjadi berubah di mana

42

Kompas, 29 september 1970, sebagaimana dikutip Arif Yulianto hal 278.


(58)

45

munculkan perlawanan yang mengatasnamakan anti-Sekber Golkar dan menyerukan kepada umat islam untuk memilih partai islam saja.

Berdasarkan UU No. 15 tahu 1969 akhirnya pemilu dapat dilaksanakan pada tanggal 3 juli 1971. Pemilu itu diadakan untuk mengisi kekosongan keanggotaan Badan-Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang susunan dan kedudukannya diatur dalam UU No. 16 tahun 1969. Pemilihan ini mempunyai arti penting dalam pemerintahan orde baru yang menjadi tanggung jawab ABRI dan kekuatan-kekuatan sosial poltik pendukung Orde Baru lainnya. Dan akhirnya Sekber Golkar muncul sebagai pemenang yang meyakinkan dengan suara 62,8% atau 236 kursi yang diperebutkan sehingga memberikan mayoritas luarbiasa didalam DPR. Dari sembilan partai lainnya yang masih dapat bertahan adalah NU yang memperoleh 18,7% suara, PNI memperoleh 6,9% suara dan Parmusi 5,3%.44

44 Ibid hal 281

Terlepas dari kemenangan tersebut, Sekber Golkar pada dasarnya merupakan hasil bentukan atau ciptaan para penguasa militer dan tidak dapat terpisah dari identitas militernya. Sekber Golkar yang tidak berlandaskan suatu organisasi partai dan tidak memiliki akar sama sekali di masyarakat adalah sebuah federasi yang majemuk yang dimobilisasi oleh militer.


(59)

46

2.3.3 Difusi Partai-Partai Politik

Sejalan dengan pengintegrasian dari Kino yang berbentuk federasi menjadi kesatuan di bawah nama Golkar, pemerintah juga bermaksud untuk melakukan perubahan struktur politik dalam bentuk penyederhanaan partai politik. Sebenarnya penyederhanaan partai politik sudah muncul pada awal kekuasaan Soeharto sehingga kekuatan politik pendukungnya mulai mensosialisasikan gagasan penyederhanaan partai politik dalam dua bentuk afiliasi, yaitu kelompok material-spiritual dan kelompok spiritual-material.

Penyederhanaan partai ini dilanjutkan dengan digolkannya ketetapan MPRS Nomor 22 tahun 1966 tentang pengaturan kembali struktur politik. Kemudian pada tanggal 20 Februari 1970, di hadapan sembilan pimpinan partai politik dan Sekber Golkar yang akan ikut dalam pemilihan umum 1971, Presiden Soeharto mengungkapkan saran-sarannya mengenai pengelompokan partai. Petama, golongan nasionalis, kedua golongan spiritual dan ketiga Golongan Karya. Gagasan ini kemudian mendapat sambutan positif dari berbagai pemimpin-pemimpin partai.45

Setelah kekuatan politik Orde Baru mantap dan Golkar menjadi pemenang pemilu, maka dipastikan bahwa pelaksanaan restrukturisasi partai politik akan dilakukan. Jalan mulus melakukan ini didukung oleh strategi pemerintah tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR. Dari 460 anggota DPR yang diatur dalam UU


(1)

105 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Pada masa pemerintahan B. J Habibie kontrol yang dilakukan terhadap militer yaitu :

1. Cenderung bersifat elitis karena pemerintahan tersebut merupakan bagian dari warisan orde baru.

2. Walaupun kontrol yang dilakukan layaknya pengendalian sipil objektif di mana proses reformasi internal militer lebih banyak diberikan porsinya kepada militer itu sendiri, tetapi pada kenyataannya malah membuat keadaan menjadi redominasi kekuatan politik militer karena dalam perspektif pengendalian sipil objektif militer telah diberikan domainnya militer sendiri sehingga tidak intervensi lagi dalam kancah perpolitikan, melainkan sebaiknya yang terjadi. 3. Dalam perubahan peran politik militer di Indonesia dilakukan dengan cara

bertahap, seperti proses netralitas dalam pemilu, pemisahan TNI-Polri, menghapus konsepsi penugaskaryaan militer di dalam birokrasi.

4. Melepaskan keterikatan dengan suatu golongan kepentingan maupun kedekatan dengan partai politik manapun, dan menghilangkan dominasi fraksi militer di Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR).


(2)

106

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kontrol yang dilakukan terhadap militer yaitu :

1. Penegakan supermasi sipil lebih terlihat lagi letak politisasi militernya.

2. Melakukan pola hubungan melalui pengendalian sipil subjektif. Kenyataan tersebut terlihat dari intervensi yang begitu besar terhadap instansi militer dari pengangkatan Panglima Jenderal TNI.

3. Penetakan menteri dari kalangan militer yang didasari bahwa militer masih merupakan kekuatan politik yang sangat kuat.

4. Walaupun pemerintah memberikan mandat kepada kalangan sipil untuk menjadi Menteri Pertahanan merupakan salah satu tindakan penegakan supermasi sipil tetapi jika dikaji secara komperhensif tindakan tersebut lebih kearah sifat populistik.

Pada masa pemerintahan Megawati kontrol yang dilakukan terhadap militer yaitu :

1. Dengan melakukan kontrol dengan perspektif yang tendensius dan mengarah pada dikotomisasi sipil-militer. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kontrol sipil atas militer bukanlah berarti sipil mengontrol militer, melainkan lembaga sipil menempatkan militer berada di bawah subordinasinya berdasarkan hukum yang berlaku.


(3)

107

2. Memanfaakan kekuatan politik militer masih dirasakan sangat kuat pada saat itu.

3. Mengarah pada remiliterisasi kekuatan politik militer.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kontrol yang dilakukan terhadap militer yaitu :

1. Cenderung kearah pengendalian sipil objektif, di mana militer diberikan domainnya sendiri dalam memperbesar militer yang profesional, memberikan kelayakan akan kesejahteraan.

2. Intervensi pemerintah terhadap militer yang diminimkan namun sama sekali tidak melenyapkan kekuasaan militer melainkan menyediakan kekuasaan terbatas tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya.

3. Walaupun pemerintahan tersebut berlatar belakang dari kalangan militer, akan tetapi pemerintahan itu tidak mewakili militer melainkan dari kalangan sipil. 4. Dengan adanya sistem politik liberal yang dianut pemerintahan, di mana

proses profesionalisme menjadi yang utama dan beliau juga merupakan salah satu militer yang pada saat itu mendukung adanya penghapusan Dwi Fungsi ABRI.


(4)

108

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

ABRI, Mabes.1998. ABRI Abad XXI : Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Mabes ABRI.

A Haramain, Malik dan Y, Nurhuda. 2000. Mengawali Transisi : Refleksi atas Pemantauan Pemilu ’99, Jakarta : Georai Pratama Press.

Bakti, Ikrar Nusa. 1999. Tentara Mendambakan Mitra, Hasil Penelitian LIPI Tentang Pasang Surut Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia, Bandung : Penerbit Mirzan.

Chaidar, Al. 2000. Pemilu 1999 : pertarungan ideologis partai-partai islam versus partai-partai sekuler, Jakarta : Darul Falah.

Cipto, Bambang. 1997. Duel Segi Tiga PPP, Golkar, PDI dalam pemilu 1997, Yogyakarta : Brigraf.

Cohan, A. Elliot, 1999 “ Civil Military Relation in the Contemporary World”, sebagaimana dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI.

Crouch, Harold. 2000. Militer dan politik di Indonesia, Jakarta.

Dieter, Hans dan Schiel, Tilman. 2000. Kelompok-Kelompok Strategis, terjemahan dari Aan Affendi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Eep saefulloh Fattah, R. 2000. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Haris, Syamsudin. 1991. PPP dan politik orde baru, Jakarta : grasindo.

Hardito, Bagus A. 1991. Faktor Militer dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta : CSIS.

Hornby, AS, 1974. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press.

Hutington, Samuel .P. 1957. The Soldier and State: The Theory and Politics of Civil Military relations, Cambrige : Harvard University Press.


(5)

109

dalam Agus Wirahadikusumah dkk., Indonesia Baru dan Tantangan TNI, Pemikiran Masa Depan, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Lidlde, William . R. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru : pasang surut kekuasaan politik, Jakarta.

Nawawi, hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajahmada University Press.

Notosusanto, Nugroho. 1991. Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi Dwi Fungsi ABRI, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Nordlinger, Eric A. 1994. Militer dalam Politik, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Perlmutter, Amos. 2000. Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada. Plattner, F. Marc dan Larry Diamond. 2002. Hubungan Sipil – Militer dan

Konsolidasi demokrasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Said, Salim. 2001. Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan kelak, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Bantul : Pustaka Jogja Mandiri.

Samsudin, A. 1972. Pemilihan Umum 1971, Jakarta : Lembaga Pendidikan dan konsultan Pers.

Sinarsari Ecip, S. 1998. Kronologis Situasi Penggulingan Presiden Soeharto, Bandung : Mizan.

Soebijono. 1997. Dwi Fungsi ABRI : perkembangan dan peranannya dalam kehidupan politik di indonesia, Jakarta : Gajah Mada university Press.

Sonata, Thamrin. 1999. UU Politik Buah Reformasi Setengah Hati, Jakarta : Yayasan PARIBA.

Suhartono. 1999. Hubungan Sipil – Militer Tinjauan Histografis 1945-1998, Pola, Arah dan Persfektif, Sebuah Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil – Militer , Jakarta : FISIP UI.

Suryohardiprojo, Sayidiman. 1996. Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya, Jakarta : Intermasa.


(6)

110

Suryadinata, Leo. 1992. Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta : LP3ES.

TNI, Mabes. 1999. Pemilu tentang Netralitas TNI dan Polri, Jakarta : Mabes TNI. TNI, Mabes. 1999 Paradigma Baru TNI (sebuah upaya sosialisasi), Jakarta :

dokumen Mabes TNI Edisi III Hasil Revisi.

Widiyanto, Paulus. 1991. Osa Maliki dan Tragedi PNI Konflik Intern Pra dan Pasca, Jakarta : Prisma.

Wiratma, I Made Leo. 1999. Perjalanan Sebuah Dialog Nasional, Perkembangan Politik September 1998-Januari 1999, Jakarta : CSIS.

Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru ditengah Pusaran Demokrasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Media Cetak:

Ikrar Nusa Bakti, Hubungan Baru Sipil – Militer, Kompas, 28 juni 2000 Kompas, 29 september 1970, sebagaimana dikutip Arif Yulianto hal 278. Kompas, 27 Oktober 1978, sebagaimana yang dikutip Ikrar Nusa Bhakti tempo 13 november 1993, sebagaimana dikutip Arif Yulianto, hal 365 Internet: