PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

(Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh Lukman Hakim

Pembelajaran yang diterapkan guru di kelas sangat berpengaruh terhadap keberha-silan siswa dalam belajar. Oleh karena itu, pembelajaran yang tepat diperlukan untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Salah satu pembelajaran yang secara teori dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembe-lajaran Socrates. Dalam penelitian ini, pembepembe-lajaran Socrates dipadukan dengan pendekatan kontekstual yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual terhadap proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 3 SMAN 10 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 16 siswa dan 20 siswi. Sedangkan objek penelitian adalah kese-luruhan proses belajar dan hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa dengan diterapkannya pembelajaran Socrates melalui pendekatan kontekstual.


(2)

Lukman Hakim

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa SMA Negeri 10 Bandar Lampung tergolong ke dalam kriteria sedang. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar siswa sebesar 71,94 dari 36 siswa. Namun dalam pelaksanaan pembelajaran didapat beberapa kendala diantaranya adalah proses diskusi kurang kondusif, pada saat mengerjakan LAS beberapa kelompok tidak bekerja sama dan hanya mengandalkan anggota kelompok yang berke-mampuan tinggi serta alokasi waktu untuk proses pembelajaran kurang efektif sehingga masih diperlukan perbaikan dalam pengelolaan pembelajaran.

Kata Kunci: Pembelajaran Socrates, Pendekatan Kontekstual, Kemampuan Berpikir Kritis


(3)

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

(Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh Lukman Hakim

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2 0 1 4


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kertanegara Provinsi Jawa Barat pada tanggal 10 April 1987. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara pasangan bapak Denan dan ibu Eni Suherni.

Pendidikan yang ditempuh penulis berawal dari pendidikan dasar yakni kelas 1 hingga kelas 2 di SD Negeri 4 Kertanegara Kec. Haurgelis Kab. Indramayu, kelas 3 hingga kelas 6 di SD Negeri 5 Yukum Jaya Kec. Terbanggi Besar Kab. Lampung Tengah, hingga tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Terbanggi Besar Kab. Lampung Tengah dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar Kab. Lampung Tengah pada tahun 2006.

Melalui jalur seleksi Non SPMB Universitas Lampung tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Program Studi Pendidikan Matematika. Selama kuliah, penulis aktif mengikuti organisasi yakni sebagai anggota divisi Sosial Masyarakat Himpunan Mahasiswa Pendidikan Eksakta (HIMASAKTA) periode 2008/2009. Penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Swadhipa Natar Kab. Lampung Selatan.


(8)

MOTO

Bersabar untuk hasil yang terbaik

Jika dalam proses kesabaran itu, kelelahan menghampiri

maka berhentilah sejenak

Dengan berhenti sejenak, kelelahan akan sirna,

kepenatan akan berkurang

Dan yakinlah Allah akan selalu ada bagi hamba

yang tak kenal lelah berjuang


(9)

Persembahan

Bismillahhirrohmannirrohim

Puji syukur kehadirat Allah SWT

Kupersembahkan skripsi ini sebagai tanda cinta, kasih sayang, dan bhaktiku kepada :

Ibuku tersayang (Eni Suherni)

yang selalu ada untuk mendoakan keberhasilanku, memberikan motivasi, dan nasehat

Bapakku tersayang (Denan)

yang telah memberikan segalanya demi keberhasilanku

Adikku “Muhammad Yasin, A.Md Kep. & Dewi Ratna

Ningsih”, dan kasihku “Tri Ratna Susanti, A.Md Kep.” tersayang

yang tak pernah lelah mendoa’kanku dan memberi dukungan, semangat, serta motivasi untukku dalam menuju keberhasilan

Para pengajar dan pembimbing yang ku hormati Teman-teman seperjuangan


(10)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mem-bimbing, memberikan motivasi, dan semangat kepada penulis demi terselesai-kannya skripsi ini.

2. Ibu Dra. Nurhanurawati, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan MIPA Universitas Lampung sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk konsultasi dan memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran selama penyu-sunan skripsi, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku pembahas yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran-saran kepada penulis, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.


(11)

4. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung, beserta staf dan jajarannya.

5. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pendidikan Alam FKIP Universitas Lampung.

6. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Bapak Drs. Izmir Hasan, selaku Kepala SMA Negeri 10 Bandar Lampung beserta Wakil, staff, dan karyawan yang telah memberikan izin dan kemudahan selama penelitian.

8. Ibu Hj. Dra. Rita Rahayu, selaku guru mitra dan Siswa-Siswi Kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar Lampung yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian.

9. Ayah dan Ibu tersayang atas semangat, kasih sayang, dan do’a yang tak pernah berhenti mengalir untuk penulis.

10. Tri Ratna Susanti yang tak pernah lelah memberikan semangat dan motivasi sampai terselesaikannya skripsi ini.

11.Adik-adikku yang telah memberikan semangat dan do’a kepada penulis.

12.Teman skripsiku Aan Budi Pratama, atas semangat dan kebersamaannya saat menunggu dosen selama bimbingan.

13.Teman-teman seperjuangan angkatan 2006 Pendidikan Matematika Non-Reguler dan Reguler. Kakak tingkat di Pendidikan Matematika angkatan 2005, dan adik-adik angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012 serta teman-teman PMIPA (Fisika, Biologi, Kimia).

14. Anggota tim futsal Sigma FC: Asworo (Woro), Beny, Rahmat, Agita (Ono), Made (Magan), Dirman, Andhika (Kulkid), Dedi (Bray), Persi, dan Asep.


(12)

15. Teman-teman kosan Asrama Antika: Andra (Bapet), Bowo, Gilang, Dona, Surip (Viruz), Wahyu (Om), Deki, Roma, dan Fendri (Pepen) atas kebersamaannya. 16.Kawan-kawan PPL di SMA Swadhipa Natar: Munif, Sri, Ani, Kak Adhit, Suthe

(Oom), Rio, Nella, Siti, Komang, Sulis, dan Taufiq atas kebersamaan yang terjalin.

17.Pengurus perpustakaan dan referensi yang telah berbaik hati dan melayani dengan penuh senyum dalam peminjaman buku serta skripsi.

18.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga bantuan dan dukungan yang diberikan mendapat balasan pahala di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung, Mei 2014

Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR DIAGRAM ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 13

1. Pembelajaran Matematika ... 13

2. Pembelajaran Socrates ... 15

3. Pendekatan Kontekstual ... 20

4. Pembelajaran Konvensional ... 25

5. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 26

B. Penelitian Relevan ... 31

C. Kerangka Pikir ... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek Penelitian ... 34

B. Jenis Penelitian ... 34 Halaman


(14)

C. Faktor yang Diteliti ... 34

D. Langkah-langkah Penelitian ... 35

E. Data Penelitian ... 35

F. Teknik Pengumpulan Data ... 35

G. Instrumen Penelitian ... 36

H. Teknik Analisis Data ... 36

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 38

1. Gambaran Umum Tentang Pembelajaran Socrates dengan Pendekatan Kontekstual ... 39

2. Deskripsi Pembelajaran ... 40

a. Teori Peluang ... 40

b. Trigonometri ... 55

B. Analisis Data Penelitian ... 68

1. Interpretasi ... 70

2. Analisis ... 70

3. Evaluasi ... 71

4. Pengambilan Keputusan ... 72

C. Pembahasan ... 72

1. Interpretasi ... 73

2. Analisis ... 76

3. Evaluasi ... 83

4. Pengambilan Keputusan ... 83

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 89

B. Saran ... 89 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Jenis-jenis Pertanyaan Socrates serta Kaitannya dengan Kemampuan

Berpikir Kritis ... 17

2.2 Keterkaitan Langkah-langkah Pembelajaran Socrates dengan Langkah-langkah Berpikir Kritis ... 19

2.3 Langkah-langkah Berpikir Kritis serta Kaitannya dengan Kemampuan Berpikir Kritis (KBK) ... 30

3.1 Kriteria Penentuan Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 37

4.1 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Materi Teori Peluang dan Trigonometri ... 38

4.2 Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 69

4.3 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Untuk Indikator 1 ... 70

4.4 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Untuk Indikator 2 ... 70

4.5 Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Untuk Indikator 3 ... 71


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A.Perangkat Pembelajaran

A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Teori Peluang ... 94

A.2 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) Teori Peluang ... 110

A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Trigonometri ... 116

A.4 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) Trigonometri ... 133

B.Instrumen Penelitian B.1 Kisi-Kisi Soal Kemampuan Berpikir Kritis ... 141

B.2 Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 142

B.3 Kunci Jawaban Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 143

C.Data Tes C.1 Data Hasil Belajar Siswa Per Indikator ... 146

D.Lain-lain D.1 Rencana Judul Skripsi ... 149

D.2 Surat Kesediaan Membimbing Skripsi (Pembimbing I) ... 150

D.3 Surat Kesediaan Membimbing Skripsi (Pembimbing II) ... 151

D.4 Surat Kesediaan Membahas Skripsi ... 152

D.5 Daftar Hadir Seminar Proposal ... 153

D.6 Daftar Hadir Seminar Hasil ... 154

D.7 Kartu Kendali Skripsi ... 155

D.8 Surat Penelitian Pendahuluan ... 159

D.9 Surat Izin Penelitian ... 160


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang harus dapat ditingkatkan kualitasnya. Untuk itu, dunia pendidikan atau sekolah-sekolah harus menciptakan lulusan yang mampu menghadapi kehidupan secara kompetitif dan inovatif.

Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dijelaskan tentang fungsi pendidikan nasional sebagai berikut:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan mem-bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka men-cerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan juga merupakan proses interaksi antar individu atau antara individu dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada individu yang bersangkutan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Proses interaksi tersebut dapat terjadi baik di dalam maupun di luar sekolah. Kegiatan pokok dalam ke-seluruhan proses pendidikan di sekolah adalah kegiatan pembelajaran. Hal ini berarti, berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan salah satunya bergantung pada kegiatan pembelajaran yang dialami oleh siswa. Oleh karena itu, tuntutan mendasar yang dialami dunia pendidikan adalah peningkatan mutu pembelajaran.


(18)

2 Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara tetangganya. Berdasarkan dari catatan Human Development Report (HDR) tahun 2011 versi United Nations Development Programs (UNDP) yang menunjukkan bahwa peringkat Human Development Index (HDI) atau kualitas SDM Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara dan berada pada kelompok medium. Posisi ini masih jauh tertinggal di bawah Singapura (26), Brunei Darussalam (33), dan Malaysia (61) yang secara geografis merupakan negara-negara tetangga terdekat Indonesia. Menurut Yunarti (2011: 2), salah satu faktor penyebab yang diteliti oleh UNDP adalah faktor pendidikan yang ada di Indonesia.

Dunia pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun terus melakukan perubahan ke jenjang yang lebih baik, namun langkah menuju perubahan itu tidaklah mudah. Banyak hal-hal yang harus diperbaiki, salah satunya adalah mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik. Trianto (2009: 4) mengung-kapkan bahwa “sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam mempersiapkan kualitas SDM yang mampu bersaing di era global.” Upaya yang tepat untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan satu-satunya wadah yang dapat dipandang sehingga berfungsi sebagai alat untuk membangun SDM yang bermutu tinggi adalah pendidikan.

Fungsi pendidikan adalah untuk membimbing anak ke arah suatu tujuan agar anak tersebut bertambah pengetahuan dan keterampilan serta memiliki sifat yang benar. Pendidikan yang berhasil adalah usaha yang berhasil membawa anak didik pada tujuan yang diharapkan. Tujuan pendidikan dapat dicapai jika siswa melibatkan dirinya secara aktif dalam proses kegiatan pembelajaran baik secara fisik, mental,


(19)

3 maupun emosional. Keberhasilan tujuan pendidikan itu ditentukan oleh proses pembelajaran yang dialami siswa. Proses pembelajaran yang menarik dapat me-ningkatkan aktivitas belajar siswa. Untuk itu siswa yang mengikuti proses ke-giatan pembelajaran yang menarik akan mengalami perubahan baik dalam penge-tahuan, pemahaman, penalaran, keterampilan, nilai, maupun sikap.

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dalam meningkatkan SDM yang ber-kualitas, maka pemerintah telah menyelenggarakan perbaikan dalam proses me-ningkatkan mutu pendidikan. Selain mempersiapkan kualitas SDM yang baik, pemerintah juga melakukan revisi kurikulum dari Kurikulum 2004 (KBK) men-jadi Kurikulum 2006 (KTSP).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah suatu konsep kuri-kulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan (kompetensi) untuk melakukan tugas-tugas dengan standar performansi tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh siswa, yaitu berupa penguasaan terhadap se-perangkat kompetensi tertentu (Kunandar, 2009: 133).

Dalam KTSP, pembelajaran berpusat pada siswa (Student Centered Learning). Siswa dituntut untuk lebih aktif dan senantiasa ambil bagian dalam aktivitas belajar. Pada dasarnya siswa juga diharapkan tidak hanya mempelajari konsep, teori, dan fakta tetapi juga mempelajari aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal-hal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman tetapi juga tersusun atas materi yang kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi, dan sintesis. Oleh karena itu di-butuhkan keterampilan siswa untuk lebih berpikir kritis agar mencapai hal tersebut.


(20)

4 Suryatin dkk (Amri dan Ahmadi, 2010: 62) mengungkapkan bahwa “berpikir kritis merupakan proses yang bertujuan untuk membuat keputusan yang masuk akal mengenai apa yang kita percayai dan apa yang kita kerjakan.” Untuk mem-buat keputusan yang masuk akal dibutuhkan data-data sehingga dapat dimem-buat keputusan yang logis dan untuk membuat suatu keputusan yang tepat diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik. Hal ini merujuk pendapat dari Sugiarto (Amri dan Ahmadi, 2010: 62) bahwa “berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat karena manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memer-lukan suatu pemecahan.”

Oleh karena begitu pentingnya, berpikir kritis pada umumnya dianggap sebagai tujuan utama dari pembelajaran. Menurut Yulianto (Amri dan Ahmadi, 2010: 62) “berpikir kritis memainkan peranan yang penting dalam banyak macam pekerjaan, khususnya pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan berpikir analitis.”

Salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mengembangkan berpikir kritis siswa adalah matematika. Matematika merupakan salah satu ilmu dasar bagi perkembangan dan peradaban manusia. Matematika juga sangat diper-lukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam proses mempelajari matematika, banyak peserta didik yang ber-anggapan bahwa matematika merupakan ilmu yang sukar untuk dipelajari. Hal ini sebenarnya tak terlepas dari peran guru untuk merancang suatu model pem-belajaran agar lebih menarik. Untuk itu diperlukan kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran, sehingga siswa dapat berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran dan dapat mengembangkan potensinya.


(21)

5 Dalam proses pembelajaran, masih banyak guru yang kurang menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa untuk melakukan proses berpikir kritis. Menurut Yunarti (2011: 11), “aktivitas guru di sekolah yang ada di Bandar Lampung masih sangat dominan di kelas dan sedikit memberi kesempatan kepada para siswa untuk menemukan sendiri jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi.”

Berdasarkan hasil observasi dan infomasi di atas, siswa belum sepenuhnya bisa belajar dan berpikir mandiri, mereka terbiasa “disuapi” dalam memahami konsep. Dengan kata lain, guru mata pelajaran matematika belum sepenuhnya menerapkan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan peran siswa dalam proses pem-belajaran. Hal ini berarti rata-rata guru mata pelajaran matematika SMA yang ada di Bandar Lampung masih menggunakan pembelajaran konvensional.

Pada SMA Negeri 10 Bandar Lampung, umumnya nilai matematika yang dicapai oleh siswa masih rendah. Berdasarkan dari nilai ujian semester genap mata pelajaran matematika tahun 2011/2012, masih banyak siswa yang harus mengikuti remedial dikarenakan nilai matematika siswa masih banyak yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung. Selain itu dikarenakan dalam proses pembelajaran, guru hanya me-nerapkan model pembelajaran konvensional yaitu proses pembelajaran masih berpedoman pada buku teks atau LKS dengan memberi materi melalui ceramah, latihan soal, dan pemberian tugas. Sedangkan siswa hanya memperhatikan dan mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh guru serta mencatat bila ada yang perlu dicatat.


(22)

6 Berdasarkan wawancara dengan guru matematika kelas XI IPA 3 di SMA Negeri 10 Bandar Lampung diperoleh informasi bahwa metode yang biasa diterapkan dalam pembelajaran matematika di kelas tersebut adalah metode pembelajaran konvensional yang lebih banyak didominasi oleh guru. Materi yang disajikan oleh guru mengacu pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam KTSP, guru diberi wewenang untuk menentukan indikator pembelajaran sehingga dapat menyesuaikan dengan kondisi siswa di kelas.

Alokasi belajar matematika kelas XI IPA 3 hanya 6 x 45 menit dalam seminggu, sehingga sering kali indikator-indikator pembelajaran tidak tercapai sebagaimana mestinya. Guru dituntut untuk menyelesaikan materi dalam waktu yang singkat, sedangkan kemampuan siswa di kelas sangat beragam. Di kelas XI, terdapat materi matematika yang belum pernah ditemukan atau dipelajari di kelas X sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempelajarinya. Akan tetapi, dikarenakan keterbatasan waktu, akhirnya guru mengambil metode pem-belajaran yang dinilai paling cepat, yakni dengan ceramah dan latihan. Siswa mendengarkan penjelasan guru, kemudian mengerjakan beberapa soal sebagai latihan. Hal ini menyebabkan kurangnya proses berpikir yang dialami siswa dan pemahaman yang tidak utuh.

Guru matematika di kelas XI IPA 3 mengatakan bahwa siswa yang aktif di kelas hanya beberapa orang saja, hal ini terlihat ketika sedang melakukan pengamatan. Selain itu, dilakukan wawancara dengan beberapa orang perwakilan siswa. Dari hasil wawancara tersebut, hampir semua siswa mengatakan bahwa selama ini


(23)

7 pembelajaran matematika hanya berupa penjelasan dari guru dan siswa hanya duduk dan diam saja, tapi mereka merasa aktif pada saat mengerjakan soal latihan.

Guru matematika dengan pembelajaran konvensional cenderung meminimalkan keterlibatan siswa sehingga guru tampak lebih aktif. Kebiasaan bersikap pasif dalam pembelajaran dapat mengakibatkan sebagian besar siswa takut dan malu untuk bertanya pada guru mengenai materi yang kurang dipahami dan suasana belajar di kelas menjadi sangat monoton dan kurang menarik. Selain itu, tidak banyak guru yang memberikan pertanyaan atau masalah kontekstual yang me-maksimalkan kemampuan berpikir kritis siswa. Guru pun sering menjawab per-tanyaannya sendiri karena tidak sabar menunggu jawaban dari siswa sehingga kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa secara mandiri kurang berkembang secara maksimal.

Berdasarkan uraian di atas, salah satu keterampilan guru yang perlu dikembang-kan lebih lanjut adalah kemampuan bertanya. Dalam proses pembelajaran, guru sering memberikan pertanyaan tetapi tidak semua pertanyaan guru dapat membuat siswa berpikir.

Pertanyaan guru yang baik adalah pertanyaan yang jelas, bertujuan, serta mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dapat membantu siswa dalam mengonstruksi sendiri pengetahuan mereka dengan baik (Yunarti, 2011: 14).

Salah satu pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan kritis untuk meng-gali kemampuan berpikir adalah pembelajaran Socrates. Pembelajaran Socrates adalah pembelajaran yang dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani yang ulung yaitu Socrates (469-399 SM). Pembelajaran Socrates (Socrates Method),


(24)

8 yaitu suatu cara menyajikan materi pelajaran, dimana siswa dihadapkan dengan suatu deretan pertanyaan terstruktur yang dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan siswa mampu menemukan jawabannya atas dasar kecerdasannya dan kemampuannya sendiri. Oleh karena pembelajaran dilakukan dengan tanya-jawab secara terstruktur maka pemahaman tentang materi lebih terarah.

Dengan pembelajaran Socrates, secara tidak langsung guru dan siswa menjadi pemikir kritis serta mendorong siswa yang lemah untuk lebih aktif berpikir. Salah satu karakteristik pembelajaran Socrates yang tidak terdapat pada metode tanya-jawab yang lain adalah adanya uji-silang dalam suatu pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan uji-silang seperti “Bagaimana jika...?” atau “Seandainya.., apa yang terjadi?” merupakan bentuk pertanyaan yang dapat guru gunakan untuk meyakin-kan jawaban siswa. Dalam pembelajaran Socrates, sikap ramah guru dapat me-ngembangkan sikap positif dalam belajar. Pembelajaran yang menyenangkan dan menarik serta pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab siswa akan membantu siswa berpikir kritis.

Pembelajaran Socrates dapat dikombinasikan dengan metode atau model pem-belajaran lainnya. Berdasarkan hal itu, maka pempem-belajaran Socrates dalam pene-litian ini digabungkan dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual efektif dengan pembelajaran Socrates karena menurut Johnson (Yunarti, 2011: 16) bahwa:

Dalam pendekatan kontekstual para siswa dilatih untuk bersosialisasi dengan kelompok-kelompok kerja mereka. Hal ini akan membuat proses pembelajaran yang lebih efektif, dinamis, demokratis, mendidik, me-motivasi, dan mendorong kreativitas siswa.


(25)

9 Pendekatan kontekstual yang berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, menger-jakan tugas bersama, saling membantu, dan saling mendukung dalam memecah-kan masalah. Pendekatan kontekstual mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau untuk mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya.

Dengan cara diskusi, materi pelajaran dapat dibangun bersama. Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin (Agazzta, 2009) yang menyatakan bahwa:

Siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat mendiskusikan dengan temannya. Pengetahuan dibentuk bersama berdasarkan pengalaman serta interaksinya dengan ling-kungan di dalam kelompok belajar, sehingga terjadi saling memperkaya di-antara anggota kelompok. Hal ini berarti, siswa didorong untuk membangun makna dari pengalamannya, sehingga pemahaman terhadap materi yang sedang dipelajari dapat meningkat.

Selain itu, untuk mempermudah melakukan analisis mengenai keterhandalan pembelajaran Socrates dalam berbagai karakteristik siswa dan sekolah, penelitian ini dibagi ke dalam tiga level sekolah yaitu level tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tiga level sekolah ini dilihat dari hasil UN Matematika tahun 2011/2012 sehingga dianggap dapat mewakili seluruh karakter akademik siswanya. Pembagian tiga level sekolah ini bertujuan untuk melihat perbandingan hasil dari perlakuan yang diberikan.

Pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran Socrates yang dipadukan dengan pendekatan kontekstual belum pernah dilakukan oleh guru matematika yang bersangkutan. Beliau menyambut dengan baik pelaksanaan pe-nelitian ini dengan harapan dapat membawa suasana baru bagi pelaksanaan


(26)

10 pembelajaran di kelas XI IPA 3 SMAN 10 Bandar Lampung, khususnya dalam pembelajaran matematika.

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penerapan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual diharapkan dapat meningkatkan proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa SMA Negeri 10 Bandar Lampung yang dikategorikan ke dalam sekolah level sedang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah penerapan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual terhadap proses belajar dan kemampuan berpikir kritis pada siswa kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual ditinjau dari proses belajar dan kemampuan berpikir kritis pada siswa kelas XI IPA di SMA Negeri 10 Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Guru, penelitian ini dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.


(27)

11 2. Bagi Peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana bagi pengembangan diri, menambah pengalaman, dan pengetahuan terkait dengan penelitian meng-gunakan pembelajaran Socrates. Kelebihan dan kekurangan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan.

3. Bagi siswa, penelitian ini menjadikan pengalaman bagi siswa karena melalui pertanyaan yang terstruktur siswa dapat berinteraksi secara aktif dan berpikir positif tentang dugaan-dugaan yang terjadi dalam pembelajaran, serta dapat menjadi acuan dalam pembelajaran selanjutnya.

4. Bagi sekolah, penelitian ini memberikan informasi tambahan bagi sekolah mengenai pembelajaran Socrates yang dapat digunakan dan dapat digabung-kan dengan berbagai metode atau model pembelajaran untuk mata pelajaran lain serta sekolah dapat memberikan wawasan bagi guru untuk memperbaiki pembelajaran di dalam kelas.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini antara lain: 1. Pembelajaran Socrates

Pembelajaran Socrates adalah pembelajaran yang memuat dialog atau pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang diberikan oleh guru untuk menguji keyakinan siswa akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dan membuat suatu kesimpulan yang benar dari beberapa jawaban. Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah Pertanyaan-pertanyaan-Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menggali kemampuan berpikir kritis siswa.


(28)

12 2. Pendekatan kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan suatu pembelajaran yang bermula dari penyajian permasalahan riil bagi siswa dan siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga siswa mampu berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah matematika baik individu maupun kelompok

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru dalam kelas. Dalam hal ini, pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori. Metode ekspositori adalah cara penyampaian pelajaran dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi, dan contoh soal.

4. Kemampuan berpikir kritis

Dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang dimaksud adalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks yang meliputi: interpretasi (kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan makna dari berbagai kejadian atau informasi yang dihadapi), analisis (kemampuan untuk membuat rincian atau uraian serta mengidentifikasi hubungan yang berada di antara pernyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi), evaluasi (kemampuan untuk menilai dan mengkritisi kredibilitas dari pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi), dan pengambilan keputusan (kemampuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang dibutuhkan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal).


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Matematika

Menurut E. Mulyasa (2007: 255), “hakikat pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.” Amin Suyitno (2004: 1) mendefinisikan “pembelajaran sebagai upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa.”

Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisir, dan men-ciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal (Sugihartono, 2007: 81).

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang berperan penting dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari alokasi jam pelajaran untuk mata pelajaran matematika yang lebih banyak daripada mata pelajaran lain di sekolah. Dalam pelaksanaan pendidikan, matematika sudah dipelajari sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Diberikannya matematika tidak hanya untuk mengetahui dan memahami apa yang terkandung di dalam matematika itu sendiri, tetapi pada


(30)

14 dasarnya bertujuan untuk membantu melatih pola pikir siswa agar dapat me-mecahkan masalah dengan kritis, logis, dan tepat. Dari beberapa pendapat di atas, pembelajaran merupakan upaya untuk menciptakan lingkungan belajar sehingga siswa dapat belajar secara optimal.

Dalam standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran matematika telah disebutkan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar yang bertujuan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Herman Hudojo (2005: 80) berpendapat bahwa “pembelajaran matematika akan efektif apabila penyampaian materi disesuaikan dengan kemampuan berpikir dan kesiapan siswa dalam berpikir.” Hal ini di-karenakan struktur kognitif siswa mengacu pada organisasi pengetahuan atau pengalaman yang telah dikuasai siswa yang memungkinkan siswa dapat me-nangkap ide-ide atau konsep-konsep baru.

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar yang dilakukan oleh siswa dan mengajar yang dilakukan oleh guru yang keduanya terlibat dalam proses pembelajaran yang efektif. Belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Penggunaan metodologi untuk merancang sistem pembelajaran yang meliputi prosedur perencanaan, perancangan, pelak-sanaan, dan penilaian keseluruhan proses pembelajaran digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu (Hamalik, 2007: 126).

Menurut Soedjadi (2000: 11) matematika memiliki beberapa definisi, yaitu: a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang terorganisir

secara sistematis.


(31)

15 c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logis dan

berhu-bungan dengan bilangan.

d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.

e. Matematika adalah pengalaman tentang struktur yang logis. f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.

Selain itu, Soedjadi (2000: 13) juga mengemukakan beberapa karakteristik matematika, yaitu:

a. Memiliki objek kajian yang abstrak. b. Bertumpu pada kesepakatan.

c. Berpola pikir deduktif.

d. Memiliki simbol kosong dari arti. e. Memperhatikan semesta pembicaraan. f. Konsisten dalam sistemnya.

Berdasarkan kajian teori di atas, pembelajaran matematika dalam penelitian ini adalah rangkaian proses mempelajari matematika yang bertujuan untuk membantu melatih pola pikir siswa agar dapat memecahkan masalah dengan kritis, logis, dan tepat.

2. Pembelajaran Socrates

Pembelajaran Socrates adalah metode pembelajaran yang dirancang oleh seorang filsafat Yunani yang ulung, yaitu Socrates (469-399 SM). Socrates dikenal karena keterlibatannya dalam percakapan filosofi di lingkungan publik maupun swasta dan dikenal sebagai seorang tokoh dalam dialog Plato. Dalam dialog-dialog Plato tersebut, Socrates membahas beberapa isu seperti sifat kebaikan, ketaqwaan atau keadilan, dan lewat sederetan pertanyaan, memeriksa makna, dan akibat dari beberapa pandangan yang diajukan orang lain. Dalam tiap kasus, Socrates digambarkan menghadapi seseorang yang mengklaim sebagai seorang


(32)

16 ahli. Setiap ahli digambarkan sebagai orang yang sombong dan yakin tanpa keraguan sedikitpun. Socrates membawa antagonisnya bukan pada jawabannya namun pada kebingungan. Salah satu filosofi dari Socrates adalah “All I know is that I know nothing”.

Dalam proses pembelajaran Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011: 47) mendefinisikan “pembelajaran Socrates sebagai sebuah proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan.” Dalam tiap individu siswa telah ada potensi untuk mengetahui kebenaran dan kebaikan serta kesalahan. Dengan demikian, seseorang yang kelihatannya bodoh sekalipun mungkin dapat berpendapat atau berbuat sebaliknya. Ciri khas yang membedakan pembelajaran Socrates dengan metode tanya-jawab lainnya adalah adanya uji-silang dalam dialog atau pertanyaan untuk meyakinkan validitas kebenaran dari jawaban, atas dasar kecerdasan dan kemampuan siswa sendiri. Pertanyaan-pertanyaan uji-silang seperti “Bagaimana jika...?” atau “Seandainya.., apa yang terjadi?” merupakan bentuk pertanyaan yang dapat guru gunakan untuk meyakinkan jawaban siswa.

Menurut Permalink (Yunarti, 2011: 48):

Richard Paul telah menyusun enam jenis pertanyaan Socrates dan contohnya. Keenam jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, dan per-tanyaan tentang perper-tanyaan.

Jenis-jenis pertanyaan Socrates, contoh-contoh pertanyaan, serta kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:


(33)

17 Tabel 2.1

Jenis-Jenis Pertanyan Socrates serta Kaitannya dengan Kemampuan Berpikir Kritis

Permalink (Yunarti, 2011: 48)

Guru harus memiliki sikap agar pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Socrates dapat berhasil. Sikap-sikap yang harus guru miliki antara lain sikap terbuka dalam menerima kesalahan dan kekurangan diri, sikap tidak menerima jawaban begitu saja dari siswa, rasa ingin tahu yang tinggi, dan tekun serta fokus dalam penyelidikan.

Tipe

Pertanyaan Contoh Pertanyaan

Kemampuan Berpikir Kritis yang

mungkin muncul Klarifikasi Apa yang Anda maksud

dengan ….?

Dapatkah Anda mengambil cara lain?

Dapatkah Anda memberikan saya sebuah contoh?

Interpretasi, analisis, evaluasi

Asumsi-asumsi Penyelidikan

Apa yang Anda asumsikan? Bagaimana Anda bisa memilih asumsi-asumsi itu? Interpretasi, analisis, evaluasi, pengambilan keputusan Alasan-alasan dan bukti Penyelidikan

Bagaimana Anda bisa tahu? Mengapa Anda berpikir bahwa itu benar?

Apa yang dapat mengubah pemikiran Anda?

Evaluasi, analisis

Titik pandang dan persepsi

Apa yang Anda bayangkan dengan hal tersebut? Efek apa yang dapat diperoleh? Apa alternatifnya? Analisis, evaluasi Implikasi dan Konsekuensi Penyelidikan

Bagaimana kita dapat menemukannya? Apa isu pentingnya?

Generalisasi apa yang dapat kita buat? Analisis Pertanyaan tentang pertanyaan Apa maksudnya?

Apa yang menjadi poin dari pertanyaan ini?

Mengapa Anda berpikir saya bisa menjawab pertanyaan ini?

Interpretasi, analisis, pengambilan


(34)

18 Selain guru memiliki sikap, guru pun harus melaksanakan beberapa strategi agar pembelajaran Socrates dapat berjalan dengan baik. Strategi-strategi yang dimak-sud itu dikemukakan oleh Yunarti (2011: 60) sebagai berikut:

(1). Menyusun pertanyaan sebelum pembelajaran dimulai. (2). Menyatakan pertanyaan dengan jelas dan tepat. (3). Memberi waktu tunggu.

(4). Menjaga diskusi agar tetap fokus pada permasalahan utama. (5). Menindaklanjuti respon-respon siswa.

(6). Melakukan scafolding.

(7). Menulis kesimpulan-kesimpulan siswa di papan tulis. (8). Melibatkan semua siswa dalam diskusi.

(9). Tidak memberi jawaban “Ya” atau “Tidak” melainkan menggantinya

dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa. (10). Memberi pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Socrates adalah metode pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan terstruktur berupa dialog-dialog antara guru dengan siswa yang dipimpin oleh guru untuk menguji validitas keyakinan siswa dan membuat kesimpulan yang benar akan jawaban dari suatu objek. Dalam penelitian-penelitian tentang kemampuan ber-pikir kritis yang telah dilakukan, pada umumnya banyak menggunakan model atau metode pembelajaran. Model atau metode pembelajaran tersebut tidak menjelaskan langkah-langkah berpikir kritis atau membuat hubungan dengan indikator-indikator yang ditentukan. Oleh sebab itu, Dye telah menyusun langkah-langkah pembelajaran Socrates yang terkait dengan metode ilmiah dan kemampuan berpikir kritis.

Langkah-langkah yang disusun Dye (Yunarti, 2011: 58) tersebut disajikan dalam Tabel 2.2. di bawah ini:


(35)

19 Tabel 2.2

Keterkaitan Langkah-Langkah Pembelajaran Socrates dengan Langkah-Langkah Berpikir Kritis Langkah-Langkah

dalam Berpikir Kritis

Langkah-Langkah Pembelajaran Socrates dalam

Penelitian

Langkah-Langkah Pembelajaran Socrates

menurut James Dye

Fokus pada suatu masalah atau situasi kontekstual yang dihadapi

Menanyakan suatu fenomena, informasi, atau objek tertentu

dengan: Apakah..?” atau

”Mengapa...?” atau ”Apa yang terjadi?”

Memunculkan pertanyaan dalam

bentuk ”Apakah ini?”

Membuat pertanyaan akan penyebab dan penyelesaiannya

Mengajak siswa memikirkan dugaan jawaban yang benar dengan pertanyaan ”Bagaimana...? Membuat hipotesis. Memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal Mengumpulkan data atau informasi dan membuat hubungan antar data atau informasi tersebut. Membuat analisis dengan pertimbangan yang mendalam

Melakukan pengujian atas jawaban-jawaban siswa dengan

counter examples melalui pertanyaan-pertanyaan seperti,

”Mengapa bisa begitu?”, ”Bagaimana jika...?”

Melakukan uji silang

atau counter examples

Melakukan penilaian terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Penilaian dapat terus dievaluasi dengan kembali ke langkah (3)

a) Melakukan penilaian atas

jawaban siswa melalui pertanyaan-pertanyaan

seperti,”Apakah anda yakin ...?”

atau ”Apa alasan ..?” (proses bisa

kembali ke langkah (3)

b) Menyusun hasil analisis siswa

di papan tulis dan meminta siswa lain melakukan penilaian. Guru menguji jawaban siswa penilai dengan langkah (3) dan (4.a)

Menerima hipotesis untuk sementara waktu. Kembali ke langkah 3 jika anda merasa jawaban yang diberikan tidak sempurna

Mengambil keputusan akan penyelesaian masalah yang terbaik.

a) Guru menyusun rangkaian

analisis siswa dan meminta siswa mengoreksi kembali urutan rangkaian tersebut. Dalam tahap ini rangkaian analisis yang ditulis merupakan jawaban yang benar. Guru memberi bingkai untuk jawaban yang benar dan atau menghapus jawaban lain yang salah.

b) Pengambilan kesimpulan atau

keputusan dengan pertanyaan,

”Apa kesimpulan anda mengenai ...?” atau ”Apa keputusan anda?”

Melakukan tindakan yang sesuai


(36)

20 Dari langkah-langkah yang disusun Dye tersebut, diharapkan dalam proses pembelajaran guru dapat menggunakan pembelajaran Socrates dengan baik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

3. Pendekatan Kontekstual

Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) atau biasa disebut pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak bekerja dan mengalami sendiri apa yang di-pelajarinya.

Wina (Destanto, 2011: 10) berpendapat bahwa:

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pem-belajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya sesuai dengan kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan Kokom Komalasari (2010: 7) mengungkapkan bahwa:

Pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari baik dalam lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat, maupun warga negara dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.

Dalam pendekatan kontekstual terdapat lima bentuk belajar yang penting, yaitu: 1. Mengaitkan (relating), mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru

dengan pengalaman maupun pengetahuan sebelumnya. Dengan demikian mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru sehingga apa yang telah dipelajarinya yang lalu akan diingat siswa itu lagi.


(37)

21 2. Mengalami (experiencing), dengan cara ini maka siswa akan lebih cepat mengerti apa yang disampaikan. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.

3. Menerapkan (applying), siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan mem-berikan latihan yang realistik dan relevan.

4. Bekerjasama (Cooperating), siswa yang bekerja secara individu sering tidak membuat kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang kompleks dengan sedikit bantuan dari siswa lain. Pengalaman bekerjasama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar tetapi konsisten dengan dunia nyata.

5. Mentransfer (transferring), peran guru membuat bermacam-macam penga-laman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hapalan. Salah satu contohnya saat guru memberikan materi tertentu dapat menggunakan alat peraga supaya proses mentransfer ilmu tersebut cepat dipahami oleh siswanya.

Selain terdapat lima bentuk belajar penting, pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama yaitu:

1. Konstruktivisme (constructivism)

Komponen ini merupakan landasan filosofi dari pendekatan kontekstual, pembelajaran yang bercirikan kontruktivisme menekankan terbangunnya


(38)

22 pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar. Kegiatan dan pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:

a. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.

b. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.

c. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.

d. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan memberi kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.

e. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa karena kadang siswa berpikir ber-dasarkan pengandaian yang tidak diterima oleh guru.

2. Menemukan (inquiry)

Dengan menemukan, kemampuan berpikir mandiri (kognitif tingkat tinggi, kritis, kreatif, inovatif, dan improvisasi) akan terlatih kemudian pada kondisi selanjutnya menjadi terbiasa. Inkuiri mempunyai siklus observasi, bertanya, menduga, kolekting, dan konklusi. Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada penyampaian konsep beraroma deduktif. Misalnya, menanamkan konsep-konsep dalam geometri.


(39)

23 3. Bertanya (questioning)

Bertanya adalah cerminan bahwa kita dalam kondisi berpikir. Melalui bertanya jendela ilmu pengetahuan menjadi terbuka karena dengan bertanya bisa melakukan bimbingan, dorongan, evaluasi, atau konfirmasi. Selain itu dengan bertanya bisa mencairkan ketegangan, menambah pengetahuan, men-dekatkan hati, menggali informasi, meningkatkan motivasi, dan mem-fokuskan perhatian. Kita tahu bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang biasanya berawal dari ”bertanya”.

4. Masyarakat Belajar (learning community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil belajar diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain, baik melalui perorangan maupun kelompok orang dari dalam kelas, sekitar kelas, di luar kelas, di lingkungan sekolah, lingkungan rumah, ataupun di luar sana. Dalam pelaksanaan CTL, guru disarankan untuk membentuk kelompok belajar agar siswa membentuk masyarakat belajar untuk saling berbagi, membantu, mendorong, dan menghargai.

5. Pemodelan (modeling)

Pemodelan menurut CTL, guru bukan satu-satunya model melainkan harus memfasilitasi suatu model tentang “bagaimana cara belajar” baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru itu sendiri. Pemodelan dalam pembelajaran matematika, misalnya mempelajari contoh penyelesaian soal, penggunaan alat peraga, cara menemukan kata kunci dalam suatu bacaan, atau cara membuat skema konsep. Pemodelan tidak selalu oleh guru, bisa juga oleh siswa atau


(40)

24 media lainnya. Kesulitan yang sering muncul adalah merancang sebuah modeling tentang suatu konsep. Apalagi bila tuntutannya sempit, yaitu pemodelan yang terkait dengan konteks lingkungan siswa, bukan terkait dengan konteks apa yang sudah tertanam dalam diri siswa. Oleh karenanya ada materi-materi tertentu yang memang harus menggunakan metode ceramah.

6. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan kembali aktivitas yang telah dilakukan, atau mengevaluasi kembali bagaimana belajar yang telah dilakukan. Refleksi berguna untuk evaluasi diri, koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri. Membuat rang-kuman, meneliti dan memperbaiki kegagalan, mencari alternatif lain cara belajar (learning how to learn), dan membuat jurnal pembelajaran adalah contoh kegiatan refleksi.

7. Penilaian autentik (authentic assessment)

Penilaian autentik adalah penilaian yang dilakukan secara komprehensif berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukannya mendapat penghargaan. Hakekat penilaian yang diwujudkan berupa nilai yang merupakan penilaian atas usaha siswa yang berkenaan dengan pembelajaran, bukan merupakan hukuman. Penilaian autentik semestinya dilakukan dari berbagai aspek dan metode sehingga objektif. Misalnya membuat catatan harian melalui observasi untuk menilai aktivitas dan motivasi, wawancara


(41)

25 atau angket untuk menilai aspek afektif, porto folio untuk menilai seluruh hasil kerja siswa (artefak), dan tes untuk menilai tingkat penguasaan siswa terhadap materi bahan ajar.

Dari beberapa penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru untuk menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah pendekatan pembelajaran yang tidak melibat-kan siswa secara langsung atau siswa pasif dan paling disukai oleh para guru. Hal ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Wallace (Sunartombs, 2009) “pendekatan konvensional memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagaimana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya.” Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa hanya sebagai penerima dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah suatu pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru di kelas, yaitu pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori. Menurut Suyitno (2004: 2), “metode ekspositori adalah cara penyam-paian pelajaran seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi, dan contoh soal disertai tanya-jawab.”


(42)

26 Burrowes (Juliantara, 2009) menyampaikan bahwa:

Pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa mem-berikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelum-nya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata.

Pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu pembelajaran berpusat pada guru, terjadi passive learning, interaksi di antara siswa kurang, tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan penilaian bersifat sporadis. Jadi kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan penjelsan guru atau mencatat apa yang disampaikan guru. Salah satu ciri kelas dengan pembelajaran konvensional yaitu para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.

Dari uraian di atas, guru hanya menyampaikan materi dan siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru, begitupun aktivitas siswa untuk menyampaikan pendapat sangat kurang sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar dan belajar siswa kurang bermakna karena lebih banyak hafalan.

5. Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Webster’s New Encyclopedic All New Edition 1994, “kritis” (critical) adalah “Using or involving careful judgement” sehingga “berpikir kritis” dapat diartikan sebagai berpikir yang membutuhkan kecermatan dalam membuat keputusan. Pengertian yang lain diberikan oleh Ennis (Yunarti, 2011: 27), “berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal, reflektif, dan difokuskan pada pengambilan keputusan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan diambil setelah dilakukan refleksi dan evaluasi.”


(43)

27 Berpikir kritis merupakan salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi. Sugiarto (Zahra, 2011: 19) mengategorikan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi ke dalam empat kelompok yang meliputi pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat karena dalam kehidupan di masyarakat manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Untuk memecahkan suatu permasalahan tentu dibutuhkan data-data agar dapat dibuat keputusan yang logis dan untuk membuat suatu keputusan yang tepat, diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik.

Oleh karena begitu pentingnya, berpikir kritis pada umumnya dianggap sebagai tujuan utama dari pembelajaran. Watson dan Glaser (Apriyanti, 2011: 41) mengemukakan, “Selain itu berpikir kritis memainkan peranan yang penting dalam banyak macam pekerjaan, khususnya pekerjaan-pekerjaan yang memer-lukan ketelitian dan berpikir analitis.” Pendapat tersebut sesuai pula dengan tujuan pembelajaran matematika dijenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah seperti tertuang baik dalam Kurikulum 2004 maupun Kurikulum 2006 yang bertujuan agar siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, berpikir kritis, sistematis, dan objektif) yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, baik masalah dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Menurut Krulik dan Rudnick (Zahra, 2011: 20), penalaran meliputi berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif


(44)

28 (creative thinking). Terdapat delapan buah deskripsi yang dapat dihubungkan dengan berpikir kritis, yaitu:

(1) menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari sebuah situasi atau masalah.

(2) memfokuskan pada bagian dari sebuah situasi atau masalah. (3) mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi.

(4) memvalidasi dan menganalisis informasi. (5) mengingat dan menganalisis informasi.

(6) menentukan masuk akal tidaknya sebuah jawaban. (7) menarik kesimpulan yang valid.

(8) memiliki sifat analitis dan refleksif.

Dari pendapat para ahli seperti telah diutarakan di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran. Dengan demikian agar para siswa tidak salah pada waktu membuat keputusan dalam kehidupannya, mereka perlu memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Menurut Ruber (Romlah, 2002: 9) “dalam berpikir kritis siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji kehandalan gagasan, pemecahan masalah, dan mengatasi masalah serta kekurangannya.” Hal ini sejalan dengan pendapat Tapilouw (Romlah, 2002: 9) bahwa “berpikir kritis merupakan berpikir disiplin yang dikendalikan oleh kesadaran. Cara berpikir ini merupakan cara berpikir yang terarah, terencana, dan mengikuti alur logis sesuai dengan fakta yang diketahui.”

Menurut Ennis (Apriyanti, 2011: 43), terdapat enam unsur dasar dalam berpikir kritis yang sering diakronimkan dengan kata “FRISCO” sebagai berikut:

1. Fokus (focus)

Langkah awal dari berpikir kritis adalah mengidentifikasi masalah dengan baik dan yang menjadi fokus terdapat dalam kesimpulan sebuah argumen.


(45)

29 2. Alasan (reason).

Apakah alasan-alasan yang diberikan logis atau tidak untuk disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus.

3. Kesimpulan (inference).

Jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup untuk sampai pada kesimpulan yang diberikan.

4. Situasi (situation).

Mencocokkan dengan situasi yang sebenarnya artinya aktifitas berpikir juga dipengaruhi oleh lingkungan atau situasi yang ada disekitar.

5. Kejelasan (clarity).

Harus ada kejelasan mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam argumen tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan.

6. Tinjauan ulang (overview).

Menurut Baron dan Stemberg (Apriyanti, 2011: 44) terdapat lima hal dasar berpikir kritis yaitu praktis, reflektif, masuk akal, keyakinan, dan tindakan. Dari penggabungan lima hal dasar ini maka didefinisikan bahwa berpikir kritis itu adalah suatu pikiran reflektif yang difokuskan untuk memutuskan apa yang diyakini untuk dilakukan. Sejalan dengan itu Marzano et al (Apriyanti, 2011: 44) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah suatu yang masuk akal, berpikir reflektif yang difokuskan pada keputusan yang diyakini, dikerjakan, dan diperbuat.


(46)

30 Tabel 2.3 dibawah ini menampilkan langkah-langkah berpikir kritis yang dikait-kan dengan langkah-langkah metode ilmiah dari Dye (seperti tabel 2.2) serta dugaan mengenai kemampuan berpikir kritis yang muncul.

Tabel 2.3

Langkah-Langkah Berpikir Kritis serta Kaitannya dengan Kemampuan Berpikir Kritis (KBK)

Langkah-Langkah Berpikir Kritis dalam Penelitian KBK yang Mungkin Muncul 1. Fokus pada suatu masalah atau situasi kontekstual

yang dihadapi

Interpretasi 2. Membuat pertanyaan akan penyebab dan

penyelesaiannya

Interpretasi dan Analisis

3. Mengumpulkan data atau informasi dan membuat hubungan antar data atau informasi tersebut. Membuat analisis dengan pertimbangan yang mendalam

Analisis

4. Melakukan penilaian terhadap hasil pada langkah 3. Penilaian dapat terus dievaluasi dengan kembali ke langkah 3.

Evaluasi

5. Mengambil keputusan akan penyelesaian masalah yang terbaik

Pengambilan Keputusan

(Yunarti, 2011: 34) Cottrell (Yunarti, 2011: 32) telah menjabarkan beberapa keuntungan yang akan dirasakan oleh seseorang apabila memiliki karakter sebagai pemikir kritis. Keuntungan-keuntungan tersebut sebagai berikut:

(1). dapat meningkatkan perhatian dan pengamatan, (2). lebih fokus berpikir dalam membaca,

(3). dapat meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi penting atau tidak pentingnya sebuah informasi,

(4). meningkatkan kemampuan untuk merespon sebuah informasi, (5). memiliki kemampuan menganalisis suatu objek dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, karena kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dan memecahkan permasalahan yang ada dalam kehidupan di masyarakat, jelas bahwa siswa sebagai bagian dari masya-rakat harus dibekali dengan kemampuan berpikir kritis yang baik.


(47)

31 B. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Tina Yunarti di tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu SMA Negeri 15 Bandar Lampung, SMA Negeri 5 Bandar Lampung, dan SMA Negeri 6 Bandar Lampung. Diketahui bahwa metode Socrates dapat meningkatkan kemampuan dan disposisi berpikir kritis matematis siswa. Hal ini dikarenakan pada penggunaan metode Socrates, siswa diberikan sederet pertanyaan-pertanyaan terstruktur untuk menguji validitas keyakinan siswa tentang suatu permasalahan pada proses pembelajaran sehingga siswa yakin akan jawabannya benar atau salah.

C. Kerangka Pikir

Rendahnya hasil belajar matematika siswa dan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep matematika salah satunya disebabkan oleh proses pembelajaran yang kurang efektif. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang ber-peran penting dalam pendidikan. Mengajar matematika di sekolah tidak hanya menyangkut membuat siswa memahami materi matematika yang diajarkan. Namun terdapat tujuan-tujuan lain misalnya, kemampuan-kemampuan yang harus dicapai oleh siswa ataupun keterampilan serta perilaku tertentu yang harus siswa peroleh setelah ia mempelajari matematika.

Dalam mempelajari matematika orang harus berpikir agar ia mampu memahami konsep matematika yang dipelajari serta mampu menggunakan konsep-konsep tersebut secara tepat ketika ia harus mencari jawaban bagi berbagai soal matematika. Soal matematika yang dihadapi seseorang seringkali tidaklah dengan


(48)

32 segera dapat dicari solusinya sedangkan ia diharapkan dan dituntut untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Karena itu ia perlu memiliki kemampuan berpikir agar dengannya ia dapat menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siswa, guru diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang efektif dengan menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dalam pembelajaran matematika. Metode pembelajaran ini haruslah sesuai dengan materi yang akan diajarkan, sehingga kemampuan berpikir kritis matematis siswa meningkat dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran Socrates merupakan metode pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan terstruktur dari pertanyaan yang sederhana sampai pertanyaan yang kompleks untuk menguji keyakinan siswa terhadap suatu masalah. Pembelajaran Socrates dapat dipadukan dengan model pembelajaran lainnya, seperti model pendekatan kontekstual. Model pendekatan kontekstual merupakan model pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan materi itu ke dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Socrates, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat skenario/langkah pendekatan kontekstual, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah dalam pendekatan kontekstual sebagai berikut:


(49)

33 1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya.

2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.

3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan sebagainya.

5. Menghadirkan model atau alat sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya.

6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.

Pada pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual, siswa diberi kesem-patan untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan matematika formalnya melalui masalah-masalah yang disajikan. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran sangat diperhatikan. Guru aktif bertindak sebagai pembimbing dan siswa aktif dalam menemukan konsep yang sedang dipelajari. Dengan adanya rasa ketertarikan pada diri siswa terhadap pelajaran matematika, maka siswa akan terlibat secara aktif di dalam pembelajaran.


(50)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 36 orang. Tingkat kemampuan berpikir kritis dari subjek penelitian adalah heterogen, yaitu ada yang berke-mampuan rendah, sedang, dan tinggi. Siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar Lampung masih banyak mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran matematika. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata ujian akhir semester genap matematika siswa saat kelas X hanya 21,86.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu dengan mem-berikan gambaran tentang proses pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual dan kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara mengidentifikasi lembar jawaban post-test siswa.

C. Faktor yang Diteliti

Faktor yang diteliti pada penelitian ini adalah proses belajar dan kemampuan siswa dalam berpikir kritis yang ditunjukkan dengan nilai post-test pada setiap akhir pembelajaran.


(51)

35 D. Langkah-Langkah Penelitian

Adapun langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penelitian pendahuluan untuk melihat kondisi sekolah, seperti berapa kelas yang ada, jumlah siswa, dan cara mengajar guru matematika selama pembelajaran.

2. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan menggunakan pembelajaran Socrates yang dipadukan dengan pendekatan kontekstual. 3. Menyiapkan instrumen penelitian berupa soal post-test kemampuan berpikir

kritis sekaligus aturan penskorannya.

4. Melakukan validasi instrumen dan perbaikan instrumen. 5. Melaksanakan penelitian.

6. Mengadakan post-test.

7. Menganalisis hasil penelitian. 8. Menyusun hasil penelitian.

E. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah data kemampuan berpikir kritis siswa yang diperoleh setelah dilakukannya post-test kemampuan berpikir kritis menggunakan pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual pada setiap akhir pem-belajaran.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan berupa tes. Tes di-gunakan untuk memperoleh data skor kemampuan berpikir kritis siswa.


(52)

36 G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa instrumen tes yang bertujuan untuk mengamati proses tahapan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal tentang peluang dan trigonometri. Tes diberikan setelah masing-masing materi selesai diajarkan. Untuk memperoleh tes yang valid, maka instrument tes yang akan diujikan disusun berdasarkan:

1. Kompetensi dasar dan indikator yang harus dicapai oleh siswa.

2. Pendapat dan rekomendasi dari dosen pembimbing.

3. Pendapat dan rekomendasi dari guru mata pelajaran.

H. Teknik Analisis Data

Analisis data digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa. Analisis dilakukan terhadap data yang bersifat kuantitatif, yang diperoleh melalui tes kemampuan berpikir siswa. Penskoran jawaban siswa terhadap soal kemam-puan berpikir kritis yang diberikan berpatokan pada sistem holistic scoring rubrics yang dikemukakan oleh Scoen dan Ochmkel (Sudjana, 2004: 31). Adapun rentang skor yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20.

Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa dari tiap indikator, maka dihitung persentase setiap skornya menggunakan rumus:

dimana:

PS = Persentase kemampuan berpikir kritis siswa tiap skor BT = Banyak siswa yang menjawab soal tiap indikator n = Banyak siswa


(53)

37 Selain itu, dilakukan analisis terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara melihat persentase tiap skor total yang diperoleh siswa dan dihitung meng-gunakan rumus:

dimana:

PK = Persentase kemampuan berpikir kritis siswa JS = Jumlah skor total siswa

JM = Jumlah skor total maksimum

Untuk keperluan mengklarifikasi kualitas kemampuan berpikir kritis siswa dikelompokkan menjadi kategori sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang dengan menggunakan skala lima menurut Suherman dan Kusumah (1990: 272) yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.1

Kriteria Penentuan Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Persentase skor total siswa Kategori kemampuan berpikir kritis siswa

A (Sangat Baik) B (Baik) C (Cukup) D (Kurang) E (Sangat Kurang)


(54)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar

Lampung tergolong ke dalam kriteria sedang. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar siswa sebesar 71,94 dari 36 siswa.

2. Berdasarkan hasil penskoran kemampuan berpikir kritis siswa untuk tiap

indikator: pada indikator interpretasi sangat baik, pada indikator analisis baik, pada indikator evaluasi sangat kurang, dan pada indikator pengambilan keputusan baik.

3. Siswa sering melakukan kesalahan dalam menjawab soal. Kesalahan siswa

yang sering terjadi dalam menjawab soal karena kurangnya pemahaman materi prasyarat dan kurangnya latihan soal yang sejenis.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh serta proses yang telah dilakukan, dapat dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Kepada pendidik, pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual


(55)

90 dapat membantu untuk meningkatkan proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, pada awal pembelajaran pendidik perlu memberikan materi prasyarat terkait dengan materi yang akan diajarkan.

2. Kepada para peneliti yang akan melakukan jenis penelitian yang sama,

disarankan untuk melakukan pengkajian aspek-aspek lain seperti pengkajian terhadap lembar observasi, catatan lapangan, wawancara, dan angket sikap agar dalam mendeskripsikan proses pembelajaran terlihat lebih jelas tindakan yang selanjutnya akan dilakukan.

3. Untuk soal tes yang akan digunakan, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu uji


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Agazzta. 2009. Macam-Macam Metode Pembelajaran. [on line]. Tersedia: http://agazzta.student.fkip.uns.ac.id/perkuliahan/. (3 Mei 2012)

Amri, S. dan Ahmadi, I. K. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.

Apriyanti, Ikke D. 2011. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Cooperatif Learning dengan Metode Diskusi Teknik Jigsaw terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Skripsi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2003. Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Pertama MataPelajaran Matematika. Jakarta: Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Depdiknas Destanto, Aswin. 2011. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual

terhadap Pemahaman Konsep Matematis ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa. Lampung: Universitas Lampung. Tidak Diterbitkan.

Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta. Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Juliantara, Ketut. 2009. Pembelajaran Konvensional. [on line]. Tersedia: http://www.kompasiana.com/ikpj. (3 Mei 2012)

Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual. Reflika Aditama: Bandung.

Kunandar. 2009. Guru Professional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(57)

Romlah, N. H. S. 2002. Peningkatan Berpikir Kritis dan Analisis dalam Pembelajaran Bryophyta. Skripsi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dirjen Dikti. Jakarta.

Sudjana, N. Ibrahim M. A. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. IKIP Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugihartono. et al. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Suherman dan Kusumah. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi

Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Sunartombs. 2009. Pembelajaran Konvensional Banyak Dikritik Namum Paling Disukai. [on line]. Tersedia:

http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/02/pembelajaran-konvensional-banyak-dikritik-namun-paling-disukai/. (3 Mei 2012)

Suyitno, Amin. 2004. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang: Jurusan Matematika FMIPA UNNES.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prestasi Pustaka. Jakarta.

UNDP. 2011. Human Development Index (HDI) Value. [on line]. Tersedia: http://hdrstats.undp.org/en/indicators/49806.html (28 November 2012) Yunarti, Tina. 2011. Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan

Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Zahra, Fatimatuz. 2011. Pengaruh Penggunaan Media Maket dengan Model Pembelajaran Inkuiri Terpimpin terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa pada Materi Pokok Ekosistem. Skripsi FPMIPA Universitas Lampung: Tidak Diterbitkan.


(1)

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa instrumen tes yang bertujuan untuk mengamati proses tahapan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal tentang peluang dan trigonometri. Tes diberikan setelah masing-masing materi selesai diajarkan. Untuk memperoleh tes yang valid, maka instrument tes yang akan diujikan disusun berdasarkan:

1. Kompetensi dasar dan indikator yang harus dicapai oleh siswa. 2. Pendapat dan rekomendasi dari dosen pembimbing.

3. Pendapat dan rekomendasi dari guru mata pelajaran.

H. Teknik Analisis Data

Analisis data digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa. Analisis dilakukan terhadap data yang bersifat kuantitatif, yang diperoleh melalui tes kemampuan berpikir siswa. Penskoran jawaban siswa terhadap soal kemam-puan berpikir kritis yang diberikan berpatokan pada sistem holistic scoring rubrics yang dikemukakan oleh Scoen dan Ochmkel (Sudjana, 2004: 31). Adapun rentang skor yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20.

Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa dari tiap indikator, maka dihitung persentase setiap skornya menggunakan rumus:

dimana:

PS = Persentase kemampuan berpikir kritis siswa tiap skor BT = Banyak siswa yang menjawab soal tiap indikator n = Banyak siswa


(2)

37 Selain itu, dilakukan analisis terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dengan cara melihat persentase tiap skor total yang diperoleh siswa dan dihitung meng-gunakan rumus:

dimana:

PK = Persentase kemampuan berpikir kritis siswa JS = Jumlah skor total siswa

JM = Jumlah skor total maksimum

Untuk keperluan mengklarifikasi kualitas kemampuan berpikir kritis siswa dikelompokkan menjadi kategori sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat kurang dengan menggunakan skala lima menurut Suherman dan Kusumah (1990: 272) yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.1

Kriteria Penentuan Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Persentase skor total siswa Kategori kemampuan berpikir kritis siswa

A (Sangat Baik) B (Baik) C (Cukup) D (Kurang) E (Sangat Kurang)


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Bandar Lampung tergolong ke dalam kriteria sedang. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar siswa sebesar 71,94 dari 36 siswa.

2. Berdasarkan hasil penskoran kemampuan berpikir kritis siswa untuk tiap indikator: pada indikator interpretasi sangat baik, pada indikator analisis baik, pada indikator evaluasi sangat kurang, dan pada indikator pengambilan keputusan baik.

3. Siswa sering melakukan kesalahan dalam menjawab soal. Kesalahan siswa yang sering terjadi dalam menjawab soal karena kurangnya pemahaman materi prasyarat dan kurangnya latihan soal yang sejenis.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh serta proses yang telah dilakukan, dapat dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Kepada pendidik, pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika karena


(4)

90 dapat membantu untuk meningkatkan proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, pada awal pembelajaran pendidik perlu memberikan materi prasyarat terkait dengan materi yang akan diajarkan.

2. Kepada para peneliti yang akan melakukan jenis penelitian yang sama, disarankan untuk melakukan pengkajian aspek-aspek lain seperti pengkajian terhadap lembar observasi, catatan lapangan, wawancara, dan angket sikap agar dalam mendeskripsikan proses pembelajaran terlihat lebih jelas tindakan yang selanjutnya akan dilakukan.

3. Untuk soal tes yang akan digunakan, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu uji coba tes tersebut di luar sampel penelitian.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agazzta. 2009. Macam-Macam Metode Pembelajaran. [on line]. Tersedia: http://agazzta.student.fkip.uns.ac.id/perkuliahan/. (3 Mei 2012)

Amri, S. dan Ahmadi, I. K. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.

Apriyanti, Ikke D. 2011. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Cooperatif Learning dengan Metode Diskusi Teknik Jigsaw terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Skripsi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2003. Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Pertama MataPelajaran Matematika. Jakarta: Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Depdiknas Destanto, Aswin. 2011. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual

terhadap Pemahaman Konsep Matematis ditinjau dari Kemampuan Awal Siswa. Lampung: Universitas Lampung. Tidak Diterbitkan.

Hamalik, Oemar. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta. Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Juliantara, Ketut. 2009. Pembelajaran Konvensional. [on line]. Tersedia: http://www.kompasiana.com/ikpj. (3 Mei 2012)

Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual. Reflika Aditama: Bandung.

Kunandar. 2009. Guru Professional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(6)

Romlah, N. H. S. 2002. Peningkatan Berpikir Kritis dan Analisis dalam Pembelajaran Bryophyta. Skripsi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dirjen Dikti. Jakarta.

Sudjana, N. Ibrahim M. A. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. IKIP Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sugihartono. et al. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Suherman dan Kusumah. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi

Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah.

Sunartombs. 2009. Pembelajaran Konvensional Banyak Dikritik Namum Paling Disukai. [on line]. Tersedia:

http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/02/pembelajaran-konvensional-banyak-dikritik-namun-paling-disukai/. (3 Mei 2012)

Suyitno, Amin. 2004. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang: Jurusan Matematika FMIPA UNNES.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prestasi Pustaka. Jakarta.

UNDP. 2011. Human Development Index (HDI) Value. [on line]. Tersedia: http://hdrstats.undp.org/en/indicators/49806.html (28 November 2012) Yunarti, Tina. 2011. Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan

Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Zahra, Fatimatuz. 2011. Pengaruh Penggunaan Media Maket dengan Model Pembelajaran Inkuiri Terpimpin terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa pada Materi Pokok Ekosistem. Skripsi FPMIPA Universitas Lampung: Tidak Diterbitkan.


Dokumen yang terkait

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH (PBM) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Semester Ganjil SMP Negeri 22 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 11 79

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH (PBM) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Semester Ganjil SMP Negeri 22 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 11 68

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 17 Bandar Lampung Semester Genap Tahun P

0 16 42

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 7 57

PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran

8 52 122

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 24 67

ANALISIS SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 27 96

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 10 75

DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 19 81

ANALISIS DESKRIPTIF SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII-J SMP Negeri 8 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 34 86