PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 17 Bandar Lampung Semester Genap Tahun P

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN
KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
(Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X Semester Genap
SMA Negeri 17 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

(Skripsi)

Oleh
ANDYKA MARTHA KESUMA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

ABSTRAK

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN
KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
(Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 17 Bandar
Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)

Oleh

ANDYKA MARTHA KESUMA

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa melalui penerapan pembelajaran
menggunakan metode Socrates dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang memuat dialog
atau diskusi yang dipimpin oleh guru melalui pertanyaan induktif untuk menguji
validitas keyakinan siswa pada suatu objek dan membuat kesimpulan yang benar
pada objek tersebut secara konstruktif yang dikaitkan dengan permasalahan riil.

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X3 SMA Negeri 17 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 30 siswa. Teknik pengumpulan data
menggunakan observasi partisipatif, wawancara, dokumentasi dan tes. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan metode Socrates

dengan pendekatan kontekstual dapat diterapkan pada subjek penelitian.

Kemampuan berpikir kritis siswa tergolong ke dalam kriteria sedang dan rendah.
Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar siswa sebesar 47 pada materi logika
matematika dan 36,6 pada materi trigonometri.

Sedangkan, berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa, secara
umum siswa yang aktif saat proses pembelajaran menggunakan metode Socrates
dengan pendekatan kontekstual menunjukan hasil yang cenderung lebih baik daripada siswa yang kurang aktif.

Kata kunci : kemampuan berpikir kritis, metode pembelajaran Socrates dengan
pendekatan kontekstual, proses belajar.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................


ix

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

x

I.

PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.

II.

Latar Belakang ............................................................................
Rumusan Masalah ......................................................................
Tujuan Penelitian.........................................................................

Manfaat Penelitian.......................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ..........................................................

1
7
7
7
8

TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.

Pembelajaran Kontekstual ...........................................................
Metode Socrates ..........................................................................
Kemampuan Berpikir Kritis ........................................................
Proses belajar...............................................................................


10
14
19
23

III. METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

Jenis Penelitian ...........................................................................
Tempat Penelitian ........................................................................
Subjek dan Objek Penelitian ........................................................
Data Penelitian .............................................................................

Instrumen Penelitian .....................................................................
Tahap-Tahap Penelitian................................................................
Teknik Pengumpulan Data ...........................................................
Teknik Anlisa Data.......................................................................
Keabsahan Data ............................................................................

25
26
26
26
26
27
29
30
31

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.

Hasil Penelitian ........................................................................... 32


vi

B.
V.

Pembahasan ................................................................................. 35

SIMPULAN DAN SARAN
A.
B.

Simpulan ...................................................................................... 69
Saran ............................................................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

71

LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................


73

vii

I.

A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang tengah berkembang, tak henti-hentinya melakukan
pembangunan di segala bidang, baik pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik,
maupun keamanan. Meningkatnya pelaksanaan pembangunan bukan saja merupakan inisiatif pemerintah semata tetapi juga merupakan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat sebagai elemen suatu daerah, memiliki andil yang besar atas jalannya
pembangunan di daerah tersebut. Bahkan bisa dikatakan bahwa maju atau mundurnya suatu pembangunan di suatu daerah tertentu sangat dipengaruhi tingkat
pendidikan masyarakat yang menempati daerah tersebut.


Untuk itu, pendidikan

di sekolah harus dapat menciptakan lulusan yang mampu menghadapi kehidupan
secara kompetitif dan inovatif agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas tinggi secara global.

Dalam upaya meningkatkan SDM yang berkualitas kearah yang lebih baik, pemerintah sedang giat-giatnya menyelenggarakan perbaikan dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Selain mempersiapkan kualitas SDM yang lebih baik, pemerintah kini juga melakukan berbagai macam perubahan, diantaranya melakukan
revisi kurikulum, dari Kurikulum 2004 (KBK) menjadi Kurikulum 2006 (KTSP).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah suatu konsep
kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan (kompetensi)

2
untuk melakukan tugas-tugas dengan standar performansi tertentu sehingga
hasilnya dapat dirasakan oleh siswa, yaitu berupa penguasaan terhadap
seperangkat kompetensi tertentu. Kunandar (2009: 133).
Penyempurnaan kurikulum terus dilakukan kemendikbud, antara lain dengan memasukkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif sebagai standar kompetensi mata pelajaran matematika yang termuat dalam kurikulum
2006.

Pembelajaran KTSP berpusat pada siswa (Student Centered Learning), dimana
siswa dituntut untuk lebih aktif dan senantiasa ambil bagian dalam aktivitas belajar. Dalam aktivitas belajar terdapat hubungan antara guru dengan siswa, untuk

itu seorang guru harus dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar yang baik
agar bisa menjadi contoh atau suri teladan bagi siswanya. Dalam KTSP guru
mempunyai seperangkat tugas yang berhubungan dengan siswa seperti berperan
sebagai fasilitator yang berguna memberi dorongan kepada siswa untuk lebih aktif
dan ikut serta dalam kegiatan belajar.

Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar bertujuan supaya siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Sugiarto dalam Amri dan Ahmadi (2010:
62) berpendapat bahwa, “berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat karena manusia selalu dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan pemecahan”. Kemampuan berpikir kritis mempermudah siswa dalam memecahkan
masalah di kehidupannya yang terus berubah, sehingga sedini mungkin siswa perlu dilatih, diajar, dan dirangsang untuk memiliki kemampuan berpikir kritis.

Mata pelajaran di sekolah yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa adalah mata pelajaran matematika. Matematika sebagai ilmu dasar dari se-

3
gala bidang ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. Oleh sebab itu, matematika perlu diajarkan di semua jenjang pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pentingnya matematika
bisa dilihat dari manfaat dan kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari,
juga bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Jika para siswa tidak dibekali dengan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif maka mereka tidak akan mampu mengolah
menilai dan mengambil informasi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan
tersebut. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis dan kreatif adalah merupakan

kemampuan yang penting dalam mata pelajaran matematika.

Kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangat diperlukan oleh siswa mengingat
bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan
memungkinkan siapa saja bisa memperolah informasi secara cepat dan mudah
dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini
mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup serta perubahan global dalam
kehidupan, namun dalam proses mempelajari matematika, banyak siswa yang
mengalami kesulitan dan beranggapan bahwa matematika merupakan ilmu yang
sukar untuk dipelajari. Hal ini tak terlepas metode dan pendekatan yang digunakan pada pembelajaran. Untuk itu diperlukan kemampuan guru dalam memilih
dan menerapkan suatu metode pembelajaran, sehingga siswa aktif dalam proses
pembelajaran dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa menjadi lebih baik.

Pada penerapan proses pembelajaran matematika di kelas, umumnya para guru
matematika masih cenderung berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal yang

4
bersifat prosedural dan mengakomodasi pengembangan kemampuan berpikir tingkat rendah dan kurang dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir
kritis.

Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki
siswa, maka guru hendaknya berupaya agar siswa dapat memiliki kemampuan tersebut. Salah satu cara melatih kemampuan berpikir kritis adalah dengan memberikan pertanyaan. Pentingnya memberikan pertanyaan dalam pembelajaran didasari bahwa seseorang akan berpikir dan menentukan sikap jika dihadapkan oleh
suatu pertanyaan seperti yang dikatakan oleh para pemikir dari The Critical
Thinking Community (Yunarti, 2011: 12), bahwa ”Thinking is not driven by
answers but by questions”. Agar dapat berpikir, seseorang harus berhadapan dengan pertanyaan yang merangsang pemikirannya.

Menurut Ritchhart dan Lipman (Yunarti, 2011: 14), salah satu proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa serta memuat
berbagai pertanyaan adalah dengan memberikan dialog. Dialog diperlukan untuk
dapat membuka wawasan berpikir siswa terhadap suatu masalah yang sedang dihadapinya. Melalui pertanyaan-pertanyaan dalam dialog siswa diarahkan untuk
menemukan penyelesaian suatu masalah dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
serta jawabannya. Dialog yang terjadi dapat berupa dialog guru dengan siswa
atau dialog antar siswa. Salah satu metode pembelajaran yang memuat dialogdialog dalam proses pembelajaran adalah metode Socrates.

5
Metode Socrates adalah metode yang dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani yaitu Socrates (469-399 SM). Metode ini lebih dikenal dengan metode debat
konfrontatif, debat konfrontatif adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak
atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan
memutuskan masalah dan perbedaan (dalam http//: id.wikipedia.org diunduh 2
Agustus 2012).

Dalam metode Socrates siswa dihadapkan pada suatu rangkaian pertanyaan terstruktur yang diharapakan dapat menemukan jawabannya atas kemampuannya
sendiri. Karaterisitik metode Socrates yang tidak terdapat pada metode tanyajawab lain adalah adanya uji silang suatu pertanyaan. Pertanyaan seperti “Bagaimana jika ...?” atau “Seandainya..., apa yang terjadi?”, merupakan bentuk pertanyaan yang dapat guru gunakan untuk menyakinkan siswa terhadap jawabnya.
Sikap ramah guru dalam bertanya diproses pembelajaran dapat mengembangkan
sikap postif dalam pembelajaran siswa, sehingga siswa lebih mudah mengungkapkan argumen yang merupakan salah satu indikator dalam kemampuan berpikir
kritis.

Oleh karena pembelajaran dilakukan melalui tanya-jawab yang terstruktur, maka
penanaman konsep kepada siswa pun lebih terarah. Metode ini pun dapat
dikombinasikan dengan berbagai metode atau model pembelajaran lain sebagai
variasi bentuk pembelajaran. Dengan mengaplikasikan metode ini, secara tidak
langsung guru melatih dirinya sendiri untuk menjadi pemikir yang kritis. Selain
itu, guru pun dapat membagi perhatian kepada siswa-siswanya serta mendorong
siswa-siswa yang lemah untuk lebih aktif berpikir.

6
Pendekatan pembelajaran dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang bermula dari penyajian permasalahan riil bagi siswa, pendekatan ini efektif untuk metode Socrates karena menurut Johnson (Yunarti, 2011: 16) dalam pembelajaran kontekstual para siswa dilatih untuk bersosialisasi dengan kelompok-kelompok kerja
mereka. Selain itu, penelitian ini juga mencoba mengikuti anjuran pemerintah
Indonesia untuk melakukan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem) dalam pembelajaran matematika. Anjuran pemerintah ini
terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006.

Menurut guru-guru di MGMP Matematika SMA di Bandar Lampung (Yunarti,
2011:17) hampir semua guru matematika SMA di Bandar Lampung masih menyajikan pembelajaran secara konvensional. Hal ini merupakan kesempatan untuk memperkenalkan metode Socrates dengan pendekatan kontekstual pada pembelajaran
matematika diseluruh SMA di Bandar Lampung. Karena berbagai keterbatasan, dipilihlah SMA negeri untuk dijadikan subjek penelitian dengan pertimbangan siswasiswa SMA negeri sudah menjalani seleksi masuk yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah SMA Negeri 17 Bandar Lampung.

Dipilihnya SMA Negeri 17 Bandar Lampung sebagai subjek penelitian ini dengan
pertimbangan siswa-siswi SMA negeri 17 Bandar Lampung sudah menjalani seleksi masuk yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan
mereka siap secara fisik, mental, dan akademik untuk menerima berbagai perlakuan
dalam penelitian ini.

7
Sedangkan, berdasarkan hasil rata-rata nilai UN tahun 2012 dikota Bandar Lampung, didapat bahwa SMA Negeri 17 Bandar Lampung berada diurutan ke 47 dari
50 sekolah yang ada dikota Bandar Lampung dan berdasarkan hasil wawancara
dengan guru bidang studi matematika kelas X di SMA Negeri 17 Bandar Lampung diketahui bahwa siswa kelas X cenderung bersikap pasif dalam proses KBM
dan kemampuan berpikir kritis siswa masih tergolong rendah karena berdasarkan
nilai matematika yang dicapai siswa masih tergolong rendah.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “bagaimanakah penerapan metode Socrates dengan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran matematika ditinjau dari proses belajar dan kemampuan berpikir kritis pada siswa SMA Negeri 17 Bandar Lampung?”.

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penerapan metode
Socrates dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika ditinjau
dari proses belajar dan kemampuan berpikir kritis.

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangkan
ilmu yang berguna dalam menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan
suatu gejala selama proses penerapan pembelajaran Socrates dengan

8
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika ditinjau dari proses
belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa yang terjadi.
2.

Secara praktis, hasil penelitian untuk membantu memecahkan masalah
tentang penerapan pemebelajaran Socrates dengan pendekatan kontekstual
terhadap proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa serta dapat
mengantisipasi masalah yang terjadi pada objek yang diteliti.

E.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:
1.

Metode Socrates
Metode Socrates adalah metode yang berisi pertanyaan terstruktur yang
diberikan oleh guru untuk menguji keyakinan siswa akan jawaban dari pertanyaan tersebut dan membuat suatu kesimpulan yang benar dari beberapa
jawaban.

2.

Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang bermula dari penyajian permasalahan riil bagi siswa dan siswa terlibat aktif selama proses
kegiatan belajar mengajar.

3.

Kemampuan berpikir kritis
Dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis yang dimaksud dan diamati
adalah kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan yang kompleks yang
meliputi kemampuan : 1) interpretasi (kemampuan untuk memahami dan
mengungkapkan makna dari berbagai kejadian atau informasi yang
dihadapi); 2) analisis (kemampuan untuk membuat rincian atau uraian serta

9
mengidentifikasi hubungan yang berada di antara pernyataan, atau konsep
dari suatu representasi); 3) evaluasi (kemampuan untuk menilai dan
mengkritisi kredibilitas dari pernyataan-pernyataan atau representasirepresentasi);

dan

4)

pengambilan

keputusan

(kemampuan

untuk

mengidentifikasi unsur-unsur yang dibutuhkan untuk menarik kesimpulan
yang masuk akal).
4.

Proses belajar
Dalam penelitian ini proses belajar yang dimaksud adalah tahapan siswa dalam memperhatikan penjelasan guru, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan guru dan bergumen tentang pendapatnya dalam menerangkan suatu
permasalahan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.

II.

A.

TINJAUAN PUSTAKA

Pembelajaran Kontekstual

Kata kontekstual diambil dari bahasa inggris yaitu Contextual kemudian diserap
kedalam bahasa Indonesia menjadi kontekstual. Dalam KBBI Kontekstual memiliki arti berhubungan dengan konteks atau dalam konteks. Kegiatan pembelajaran adalah proses perolehan pengetahuan baru. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta dan konsep yang diketahui siswa melalui transfer dari guru, melainkan siswa mengkonstruksi sendiri melalui pengalaman nyata. Dengan demikian,
kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajari, bukan sekedar mengetahui dari penuturan guru saja. Berdasarkan pandangan tersebut berkembang strategi pembelajaran kontekstual yang mendorong
siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya.

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan
suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan siswa, sehingga siswa memiliki pengetahuan
yang dapat diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya. CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke
dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan anatara pengetahuan yang

11
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan. Proses pembelajaran CTL
berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Dalam kelas kontekstual, konsep ini mampu membantu tugas guru mengaitkan
antara materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan anatra pengetahuan yang dimliki siswa dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Wina dalam Destanto (2011: 10) berpendapat bahwa:
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibaan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan sesuai
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan Komalasari (2010: 7) mengungkapkan bahwa:
pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan
antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari baik
dalam lingkungan, keluarga, sekolah, masyarakat, maupun warga negara
dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.
Dalam CTL terdapat beberapa komponen menurut Johnson (2000: 65), adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Melakukan kegiatankegiatan yang berarti (doing significant works)
Belajar yang diatur sendiri (selfregulated Learning)
Bekerjasama (collaborating)
Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking)
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual)
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
Menggunakan Penilaian yang otentik (using authentic assessment)

12
Menurut Masnur (2007: 44), terdapat tujuh komponen utama pada pembelajaran
kontekstual yaitu :
1. Konstruktivisme (contructivism)
Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan dan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap dipraktekkannya. Manusia
harus mengkonstruksinya terlebih dahulu pengetahuan tersebut dan memberikan
makna melalui pengalaman nyata. Karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya.
2. Bertanya (questioning)
Komponen ini merupakan strategi pembelajaran CTL. Belajar dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai upaya guru yang bias mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa.
3. Menemukan (inquiry)
Komponen menemukan merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali dari
pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna
untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian,
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat
seperangkat fakta yang dihadapinya.
4. Masyarakat Belajar (learning community)

13
Konsep ini menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama
dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan
sharing antar teman, antarkelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu,
baik di dalam maupun di luar kelas.
5. Pemodelan (modelling)
Komponen ini menyarankan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan
tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa
berupa pemberian contoh tentang misalnya cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan modelnya atau contohnya.
6. Refleksi (reflection)
Komponen yang merupakan bagian terpenting dari CTL adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang baru dipelajari, menelaah dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran semacam ini penting ditanamkan
kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.
7. Asesmen Otentik (authentic assesment)
Komponen ini merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi terhadap perkembangan pengalaman belajar siswa.
Dengan demikian penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, mengana-

14
lisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran.

Dari beberapa penjabaran pendapat ahli di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang membantu guru untuk menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

B.

Metode Socrates

Metode Socrates adalah metode yanng dibuat/dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani yang bernama Socrates (469-399 SM). Metode Socrates (Socrates
Method), yaitu suatu cara menyajikan materi pelajaran, dimana siswa dihadapkan
dengan suatu deretan pertanyaan-pertanyaan, yang dari serangkaian pertanyaanpertanyaan itu diharapkan siswa dapat menemukan jawabannya, atas dasar kecerdasannya dan kemampuannya sendiri.

Dasar filsafat metode Socrates adalah pandangan dari Socrates, bahwa pada tiap
individu siswa terdapat potensi untuk mengetahui kebenaran dan kebaikan serta
kesalahan, berikut ini langkah-langkah metode Socrates yaitu :
1.

Menyiapkan deretan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada siswa, dengan memberi tanda atau kode-kode tertentu yang diperlukan

2.

Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa dan siswa diharapkan dapat menemukan jawabannya yang benar

15
3.

Jika pertanyaan yang diajukan itu terjawab oleh siswa, maka guru dapat melanjutkan/mengalihkan pertanyaan berikutnya hingga semua soal dapat selesai terjawab oleh siswa.

4.

Jika pada setiap soal pertanyaan yang diajukan ternyata belum memenuhi
tujuan, maka guru hendaknya mengulangi kembali pertanyaan tersebut. Dengan cara memberikan sedikit ilustrasi, apersepsi dan sekedar meningkatkan dan memudahkan berpikir siswa, dalam menemukan jawaban yang tepat dan cermat.

Maxwell dalam Yunarti (2011: 47) mendefinisikan Metode Socrates sebagai “…a
process of inductive questioning used to successfully lead a person to knowledge
through small steps”.

Jones, Bagford, dan Walen dalam Yunarti (2011: 47) mendefinisikan metode Socrates dalam pembelajaran adalah, “sebuah proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai
sebuah kesimpulan”.
Dari definisi diatas, dapat dibuat suatu gambaran mengenai Metode Socrates yaitu: 1) Metode Socrates merupakan sebuah metode yang memuat dialog atau diskusi yang dipimpin oleh guru; 2) Metode Socrates memuat pertanyaan induktif,
dimulai dari pertanyaan sederhana sampai kompleks, yang digunakan untuk
menguji validitas keyakinan siswa terhadap suatu objek; dan 3) Metode Socrates
merupakan metode yang konstruktif bagi siswa.

16
Menurut Permalink dalam Yunarti (2011: 48) :
Richard Paul telah menyusun enam jenis pertanyaan Socrates dan memberi
contohnya. Keenam jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi,
asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, dan pertanyaan
tentang pertanyaan.
Tanya jawab dalam metode Socrates digunakan untuk dapat melakukan uji silang,
disini dijelaskan jenis-jenis pertanyaan Socrates, contoh-contoh pertanyaan, serta
kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Jenis-jenis pertanyan Socrates serta kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis.
No

Tipe Pertanyaan

Contoh Pertanyaan

1.

Klarifikasi

2.

Asumsi-asumsi
Penyelidikan

3.

Alasan-alasan dan
bukti Penyelidikan

4.

Titik pandang dan
persepsi

5.

Implikasi dan
Konsekuensi
Penyelidikan

6.

Pertanyaan
tentang pertanyaan

Apa yang anda maksud dengan ….?
Dapatkah anda mengambil cara lain?
Dapatkah anda memberikan saya
sebuah contoh?
Apa yang anda asumsikan?
Bagaimana anda bisa memilih
asumsi-asumsi itu?
Bagaimana anda bisa tahu?
Mengapa anda berpikir bahwa itu
benar?
Apa yang dapat mengubah pemikiran
anda?
Apa yang anda bayangkan dengan hal
tersebut?
Efek apa yang dapat diperoleh?
Apa alternatifnya?
Bagaimana kita dapat
menemukannya?
Apa isu pentingnya?
Generalisasi apa yang dapat kita
buat?
Apa maksudnya?
Apa yang menjadi poin dari
pertanyaan ini?
Mengapa anda berpikir saya bisa
menjawab pertanyaan ini?

Kemampuan Berpikir
Kritis yang mungkin
muncul
Interpretasi, analisis, evaluasi

Interpretasi, analisis,
evaluasi, pengambilan
keputusan
Evaluasi, analisis

Analisis, evaluasi

Analisis

Interpretasi, analisis,
pengambilan keputusan

Permalink dalam Yunarti, (2011: 48).

Dalam metode Socrates guru harus memiliki sikap yang baik dalam memfasilitasi
siswa agar kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode Socrates dapat

17
berhasil dengan baik. Sikap yang harus guru miliki antara lain sikap terbuka dalam menerima kesalahan dan kekurangan diri, sikap tidak menerima jawaban begitu saja dari siswa, rasa ingin tahu yang tinggi, dan tekun dalam membimbing
siswa serta fokus dalam penyelidikan.

Selain harus memiliki sikap yang baik dalam memfasilitasi siswa, guru juga harus
melaksanakan beberapa strategi agar pembelajaran dengan metode Socrates dapat
berjalan dengan baik.

Strategi-strategi yang dimaksud dalam Yunarti (2011: 60), adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Menyusun pertanyaan sebelum pembelajaran dimulai
Menyatakan pertanyaan dengan jelas dan tepat
Memberi waktu tunggu
Menjaga diskusi agar tetap fokus pada permasalahan utama
Menindaklanjuti respon-respon siswa
Melakukan scafolding
Menulis kesimpulan-kesimpulan siswa di papan tulis
Melibatkan semua siswa dalam diskusi
Tidak memberi jawaban “Ya” atau “Tidak” melainkan menggantinya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa.
Memberi pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa

Metode pembelajaran lain rata-rata tidak menjelaskan langkah-langkah berpikir
kritis atau membuat hubungan dengan indikator yang ditentunkan. Dye telah menyusun langkah-langkah metode Socrates yang terkait metode ilmiah, Langkahlangkah yang disusun Dye tersebut disajikan dalam tabel 2.2. :
Tabel 2.2. Keterkaitan langkah-langkah metode Socrates dengan langkahlangkah berpikir kritis
No
1.

Langkah-Langkah
dalam Berpikir Kritis
Fokus pada suatu
masalah atau situasi
kontekstual yang
dihadapi

Langkah-Langkah
Metode Socrates
menurut James Dye
Memunculkan pertanyaan
dalam bentuk ”Apakah
ini?”

Langkah-Langkah Metode
Socrates dalam Penelitian
Menanyakan suatu fenomena,
informasi, atau objek tertentu
dengan: Apakah..?” atau
”Mengapa...?” atau ”Apa yang
terjadi?”

18
Lanjutan tabel 2.2.
No

Langkah-Langkah
dalam Berpikir Kritis

2.

Membuat pertanyaan
akan penyebab dan
penyelesaiannya

3.

Mengumpulkan data atau
informasi dan membuat
hubungan antar data atau
informasi tersebut.
Membuat analisis dengan
pertimbangan yang
mendalam
Melakukan penilaian
terhadap hasil analisis
yang telah dilakukan.
Penilaian dapat terus
dievaluasi dengan
kembali ke langkah (3)

4.

5.

Mengambil keputusan
akan penyelesaian
masalah yang terbaik.

Yunarti (2011: 58).

Langkah-Langkah
Metode Socrates
menurut James Dye
Membuat hipotesis.
Memunculkan
kemungkinankemungkinan yang masuk
akal
Melakukan uji silang atau
counter examples

Menerima hipotesis untuk
sementara waktu. Kembali
ke langkah 3 jika anda
merasa jawaban yang
diberikan tidak sempurna

Melakukan tindakan yang
sesuai

Langkah-Langkah Metode
Socrates dalam Penelitian
Mengajak siswa memikirkan
dugaan jawaban yang benar
dengan pertanyaan
”Bagaimana...?
Melakukan pengujian atas
jawaban-jawaban siswa
dengan counter examples
melalui pertanyaan-pertanyaan
seperti, ”Mengapa bisa
begitu?”, ”Bagaimana jika...?”
a)

Melakukan penilaian atas
jawaban siswa melalui
pertanyaan-pertanyaan
seperti,”Apakah anda
yakin ...?” atau ”Apa
alasan ..?” (proses bisa
kembali ke langkah (3)
b) Menyusun hasil analisis
siswa di papan tulis dan
meminta siswa lain
melakukan penilaian.
Guru menguji jawaban
siswa penilai dengan
langkah (3) dan (4.a)
a) Guru menyusun
rangkaian analisis siswa
dan meminta siswa
mengoreksi kembali
urutan rangkaian tersebut.
Dalam tahap ini rangkaian
analisis yang ditulis
merupakan jawaban yang
benar. Guru memberi
bingkai untuk jawaban
yang benar dan atau
menghapus jawaban lain
yang salah.
b) Pengambilan kesimpulan
atau keputusan dengan
pertanyaan, ”Apa
kesimpulan anda
mengenai ...?” atau ”Apa
keputusan anda?”

19
Langkah-langkah pada tabel 2.2 menunjukan adanya proses berpikir kritis siswa,
interaksi guru dengan siswa, serta penggunaannya dalam menyajikan rangkaian
analisis yang telah dilakukan.

C.

Kemampuan Berpikir Kritis

Beberapa keterampilan berpikir yang dapat meningkatkan kecerdasan memproses
adalah keterampilan berpikir kritis, keterampilan berpikir kreatif, keterampilan
mengorganisir otak, dan keterampilan analisis. Kurikulum 2006 yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang harus dikuasai anak disamping materi isi yang merupakan pemahaman konsep.

Berpikir kritis didefinisikan sebagai pembentukan kemampuan aspek logika seperti kemampuan memberikan argumentasi, silogisme dan pernyataan yang proposional.

Menurut Ennis (dalam Hassoubah, 2004), berpikir kritis adalah berpikir secara
beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang
apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Oleh karena itu, indikator kemampuan
berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan.
Mencari alasan.
Berusaha mengetahui informasi dengan baik.
Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.
Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.
Berusaha tetap relevan dengan ide utama.
Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar.
Mencari alternatif.
Bersikap dan berpikir terbuka.
Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu.

20
11.
12.

Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan.
Bersikap secara sistimatis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah.

Indikator kemampuan berpikir kritis yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 1
adalah mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 3, 4, dan 7 adalah mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah. Indikator yang diturunkan dari
aktivitas kritis no. 2, 6, dan 12 adalah mampu memilih argumen logis, relevan dan
akurat. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 8 dan 10, dan 11 adalah
mampu mendeteksi bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Indikator
yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 5 dan 9 adalah mampu menentukan akibat
dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan.

Beyer (dalam Hassoubah, 2004) mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis
meliputi beberapa kemampuan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Menentukan kredibilitas suatu sumber.
Membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan.
Membedakan fakta dari penilaian.
Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan.
Mengidentifikasi bias yang ada.
Mengidentifikasi sudut pandang.
Mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.

Sementara itu Ellis (dalam Rosyada, 2004) mengemukakan bahwa keterampilan
berpikir kritis meliputi kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mampu membedakan antara fakta yang bisa diverifikasi dengan tuntutan
nilai.
Mampu membedakan antara informasi, alasan, dan tuntutan-tuntutan yang
relevan dengan yang tidak relevan.
Mampu menetapkan fakta yang akurat.
Mampu menetapkan sumber yang memiliki kredibilitas.
Mampu mengidentifikasi tuntutan dan argumen-argumen yang ambiguistik.
Mampu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan.
Mampu menditeksi bias.

21
8.
9.
10.

Mampu mengidentifikasi logika-logika yang keliru.
Mampu mengenali logika yang tidak konsisten.
Mampu menetapkan argumentasi atau tuntutan yang paling kuat.

Nickerson (dalam Schfersman,1991) seorang ahli dalam berpikir kritis menyampaikan ciri-ciri orang yang berpikir kritis dalam hal pengetahuan, kemampuan,
sikap, dan kebiasaan dalam bertindak sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Menggunakan fakta-fakta secara mahir dan jujur.
Mengorganisasi pikiran dan mengartikulasikannya dengan jelas, logis atau
masuk akal.
Membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada logika yang valid
dengan logika yang tidak valid.
Mengidentifikasi kecukupan data.
Memahami perbedaan antara penalaran dan rasionalisasi.
Mencoba untuk mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dari berbagai kegiatan.
Memahami ide sesuai dengan tingkat keyakinannya.
Melihat similiritas dan analogi secara tidak dangkal.
Dapat belajar secara independen dan mempunyai perhatian yang tak kunjung hilang dalam bekerjanya.
Menerapkan teknik problem solving dalam domain lain dari yang sudah dipelajarinya.
Dapat menyusun representasi masalah secara informal ke dalam cara formal
seperti matematika dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Dapat menyatakan suatu argumen verbal yang tidak relevan dan mengungkapkan argumen yang esensial.
Mempertanyakan suatu pandangan dan mempertanyakan implikasi dari suatu pandangan.
Sensitif terhadap perbedaan antara validitas dan intensitas dari suatu kepercayaan dengan validitas dan intensitas yang dipegangnya.
Menyadari bahwa fakta dan pemahaman seseorang selalu terbatas, banyak
fakta yang harus dijelaskan dengan sikap non inquiri.
Mengenali kemungkinan keliru dari suatu pendapat, kemungkinan bias dalam pendapat, dan mengenali bahaya dari pembobotan fakta menurut pilihan
pribadi.

Selain itu, Gokhale (1995) dalam penelitiannya yang berjudul Collaborative
Learning Enhances Critical Thinking menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
soal berpikir kritis adalah soal yang melibatkan analisis, sintesis, dan evaluasi dari
suatu konsep. Cotton (1991), menyatakan bahwa berpikir kritis disebut juga berpikir logis dan berpikir analitis. Selanjutnya menurut Langrehr (2006), untuk me-

22
latih berpikir kritis siswa harus didorong untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menentukan konsekuensi dari suatu keputusan atau suatu kejadian
Mengidentifikasi asumsi yang digunakan dalam suatu pernyataan
Merumuskan pokok-popok permasalahan
Menemukan adanya bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda
Mengungkapkan penyebab suatu kejadian
Memilih fakor-faktor yang mendukung terhadap suatu keputusan

Pengertian yang diberikan oleh Ernis dalam Yunarti (2011: 27), “berpikir kritis
adalah berpikir yang masuk akal, reflektif, dan difokuskan pada pengambilan keputusan”.
Sugiarto dalam Zahra (2011: 19) mengkategorikan proses berpikir kompleks atau
berpikir tingkat tinggi kedalam empat kelompok yang meliputi pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kritis
(critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking).

Cortell dalam Yunarti (2011: 32) menjabarkan beberapa keuntungan yang akan
dirasakan seseorang apabila memiliki kemampuan berpikir kritis. Keuntungan
tersebut adalah : 1) dapat meningkatkan perhatian dan pengamatan; 2) lebih fokus
berpikir dalam membaca; 3) dapat meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi penting atau tidak pentingnya sebuah informasi; 4) meningkatkan kemampuan untuk merespon sebuah informasi; dan 5) memiliki kemampuan menganlisis
sesuatu objek dengan baik.

Tabel 2.3 menampilkan langkah-langkah berpikir kritis yang digunakan dalam
penelitian ini yang telah dikaitkan dengan langkah-langkah metode ilmiah dari
Dye serta dugaan mengenai kemampuan kritis yang muncul.

23
Tabel 2.3. Langkah-langkah berpikir kritis serta kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis (KBK)
Langkah-Langkah Berpikir Kritis dalam Penelitian
1. Fokus pada suatu masalah atau situasi kontekstual
yang dihadapi
2. Membuat pertanyaan akan penyebab dan
penyelesaiannya
3. Mengumpulkan data atau informasi dan membuat
hubungan antar data atau informasi tersebut.
Membuat analisis dengan pertimbangan yang
mendalam

4. Melakukan penilaian terhadap hasil pada
langkah 3.
Penilaian dapat terus dievaluasi dengan
kembali ke langkah 3.
5. Mengambil keputusan akan penyelesaian
masalah yang terbaik

KBK yang Mungkin Muncul
Interpretasi
Interpretasi dan analisis
Analisis

Evaluasi

Pengambilan Keputusan

Yunarti (2010: 34)

Berdasarkan uraian diatas, kemampuan berpikir kritis yang diinginkan adalah kemampuan siswa dalam mengintrepetasi, menganalisis, mengevaluasi dan mengambil suatu keputusan dalam suatu permasalahan.

D.

Proses Belajar

Dalam KBBI kata proses diartikan runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu, sedangkan kata belajar berusaha memperoleh kepandaian
atau ilmu. Jadi proses belajar adalah tingkat dan fase yang dilalui anak atau
sasaran didik dalam mempelajari sesuatu.

Belajar hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran tentang belajar seringkali rumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain. Disini pengertian belajar yang dimaksud adalah merupakan suatu proses dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu,

24
yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan latihan melainkan pengubahan kelakuan. Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian lama tentang
belajar yang menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan, bahwa
belajar adalah latihan-latihan pembentukan kebiasan secara otomoatis dan seterusnya. Ada pula tafsiran lain mengenai belajar yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan interaksi dengan lingkungan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa, Belajar adalah suatu proses, belajar
bukanlah suatu tujuan tetapi suatu proses untuk mencapai tujuan.

Menurut Bunner dalam Nasution (2010 : 9) dalam proses belajar dapat dibedakan
tiga fase atau episode yakni 1) Informasi, 2) transformasi, dan 3) evaluasi. Dalam
tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan
yang telah kita miliki, ada yang memperluas dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui. Setelah informasi
diperoleh informasi tersebut ditransformasi atau diubah kedalam bentuk yang lebih sederhana agar siswa lebih paham dan terakhir setelah informasi didapat dan
ditransformasi kemudian dievaluasi agar kita memperoleh hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh itu dapat dimanfaatkan.

Dari uraian diatas dapat diartikan bahwa proses belajar adalah tahapan siswa dalam memperhatikan penjelasan guru, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru dan bergumen tentang pendapatnya dalam menerangkan suatu permasalahan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.

III.

A.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian adalah
penelitian deskriptif. Poerwandari (2007) mengungkapkan bahwa, dalam penelitian kualitatif dapat menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif,
seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar proses dan hasil penelitian,
foto-foto proses penelitian serta foto-foto hasil penelitian, rekaman video selama
proses penelitian, dan lain-lain.

Dalam penelitian kualitatif proses penelitian, pemahaman, kompleksitas, interaksi,
dan manusia adalah beberapa kata kunci yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif peneliti lebih berfokus pada proses dari pada hasil akhir yang ingin dituju.
Penelitian kualitatif dipandang dapat mengetahui apakah proses pembelajaran matematika menggunakan penerapan metode Socrates dengan pendekatan kontekstual dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa ditinjau dari proses
belajar siswa.

Pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah suatu jenis penelitian yang digunakan dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
atau kelas peristiwa pada masa sekarang.

26
B.

Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di SMA Negeri 17 Bandar Lampung pada kelas X3 yang
dimulai dari tanggal 09 Januari 2013 s.d. 27 April 2013. Dalam tiap minggu ada
dua kali pertemuan yaitu hari Rabu (2 jam pelajaran), dan hari Sabtu (2 jam pelajaran) dengan jumlah siswa sebanyak 30 orang.

C.

Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dan Objek dalam penelitian ini adalah :
1.

Subjek Penelitian
Siswa kelas X3 SMA Negeri 17 Bandar Lampung.

2.

Objek Penelitian
Proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X3 SMA Negeri
17 Bandar Lampung pada materi Logika Matematika dan Trigonometri pada
tahun ajaran 2012/2013.

D.

Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah data proses belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa. Data proses belajar siswa tiap pertemuan didapat melalui pengamatan
aktivitas siswa selama penelitian berlangsung berupa data kualitatif. Sedangkan,
data kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh setelah dilakukan uji blok pada
setiap akhir pokok bahasan berupa data kuantitatif.

E.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah :

27
1.

Pedoman observasi
Pedoman observasi digunakan agar observasi yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian.

2.

Alat Perekam
Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat observasi, agar peneliti
dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek.

3.

Soal Tes
Soal tes diberikan pada akhir pokok bahasan yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa dengan metode pembelajaran
Socrates kontekstual.

F.

Tahap-Tahap Penelitian

Tahap-tahap dalam penelitian ini adalah :
1.

Tahap Persiapan Penelitian
Tahap-tahap persiapan penelitian ini adalah :

a.

Mengidentifikasi masalah yang terjadi dalam pembelajaran matematika di
kelas X SMA Negeri 17 Bandar Lampung.

b.

Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) penelitian. RPP ini
dibuat sesuai dengan metode yang akan digunakan selama penelitian yaitu
RPP dengan metode Socrates dengan pendekatan kontekstual.

c.

Memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan penelitian, menilai
keadaan lapangan, dan menyiapkan perlengkapan penelitian.

28
2.

Tahap pelaksanaan penelitiaan
Tahap-tahap pelaksanaan penelitiaan ini adalah :

a.

Melakukan pembelajaran di kelas dengan menerapkan metode Socrates dengan pendekatan kontekstual. Secara umum, urutan pembelajaran yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.

Kegiatan pendahuluan kegiatan yang dilakukan adalah menjelaskan
tujuan pembelajaran, memotivasi siswa tentang materi yang akan dipelajari, dan menanyakan kepada siswa tentang materi yang akan dipelajari serta mengulang secara sepintas tentang materi sebelumnya.

2.

Pada tahap inti, dilakukan pembelajaran Socrates dengan pendekatan
kontekstual dimana siswa diminta untuk dapat menjawab pertanyaanpertanyaan uji silang yang digunakan untuk menyakinkan validitas kebenaran dari jawaban yang dikemukakan oleh siswa, atas dasar kecerdasan dan kemampuan siswa itu sendiri. Siswa juga dikondisikan secara berkelompok untuk mengerjakan lembar aktivitas siswa (LAS)
yang telah disediakan oleh peneliti. Selama mengerjakan LAS guru
(dalam hal ini peneliti) memantau kerja siswa sambil mengarahkan
siswa yang mengalami kesulitan dengan cara mengajukan pertanyaanpertanyaan uji silang tersebut. Setelah waktu yang diberikan oleh guru cukup untuk mengerjakan LAS selesai, guru meminta perwakilan
siswa untuk mem-presentasikan jawabannya didepan kelas, dan bagi
kelompok lain yang tidak sependapat dipersilahkan untuk berargumen
dan menjelaskan jawabnya. Dalam kegiatan pembelajaran ini guru

29
berperan sebagai fasilitator untuk melihat apakah siswanya mampu
berpikir kritis.
3.

Pada tahap penutupan dipembelajaran dengan pendekatan Socrates
kontekstual, setelah materi pelajaran telah disampaikan dan dibahas.
Guru membimbing siswa untuk membuat rangkuman dari hasil-hasil
selama proses belajar.

Setelah proses kegiatan belajar mengajar selesai maka dilakukan uji-blok untuk
mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa per materi yang dipelajari.
3.

Tahap Analisis Data

Melakukan analisis data.

Setelah itu, peneliti membuat kesimpulan dan

memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

G.

Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1.

Observasi Partisipatif

Obervasi partisipatif adalah observasi dimana peneliti ikut terlibat dalam proses
belajar siswa kelas X3 SMA Negeri 17 Bandar Lampung. Dalam penelitian ini
peneliti berperan menjadi guru, peneliti dapat mengamati bagaimana perilaku
siswa selama proses belajar dan membantu siswa dalam proses belajar dan lainlain.
2.

Wawancara

Dalam penelitian ini dilakukan wawancara tidak terstruktur yang bertujuan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti.

30
3.

Dokumentasi

Dokumen dalam penelitian ini adalah hasil ujian semester ganjil matematika kelas
X SMA Negeri 17 Bandar lampung, tujuan mengambil data dokumen-tasi adalah
untuk kelengkapan dari penggunaan metode observasi dan wawancara.
4.

Tes

Tes dalam penelitian ini adalah berupa soal uraian yang diberikan kepada siswa
setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari.

H.

Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.

Data Proses Belajar Siswa

Data proses belajar siswa diperoleh selama kegiatan pembelajaran berlangsung
melalui observasi. Setiap siswa selama proses pembelajaran diamati keaktifannya
dalam proses pembelajaran dengan memberi tanda (√) pada lembar observasi jika
sesuai dengan indikator proses belajar yang diamati.
2.

Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Data kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh dari hasil tes uji blok. Uji blok
ini berfungsi untuk mengetahui tinggi, sedang dan rendahnya kemampuan berpikir
kritis siswa. Untuk keperluan mengklarifikasi kualitas kemampuan berpikir kritis
siswa dikelompokkan menjadi katego

Dokumen yang terkait

PENGARUH PENGGUNAAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII SMPN 20 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012)

0 5 54

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 17 Bandar Lampung Semester Genap Tahun P

0 16 42

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 7 57

PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran

8 52 122

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 24 67

ANALISIS SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 27 96

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 10 75

DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 19 81

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA(Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 6 67

ANALISIS DESKRIPTIF SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII-J SMP Negeri 8 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 34 86