ANALISIS SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(1)

ANALISISSELF-EFFICACYBERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh Eni Kartika

Penelitian kualitatif naturalistik ini bertujuan untuk menganalisis self-efficacy berpikir kritis siswa dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIB SMP Negeri 19 Bandarlampung semester genap tahun pelajaran 2014/2015, yang terdiri dari 27 siswa yang difokuskan terhadap delapan siswa yang memiliki self-efficacy berpikir kritis tinggi, sedang, dan rendah. Data penelitian ini diperoleh melalui jurnal siswa, catatan lapangan, skala self-efficacy berpikir kritis, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data penelitian ini terdiri dari tiga langkah, yaitu reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan terhadap data. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa dalam Pembelajaran Socrates Kontekstual, self-efficacy berpikir kritis dominan muncul pada dimensimagnitude.


(2)

PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh Eni Kartika

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(Skripsi)

Oleh Eni Kartika

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(4)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Pertanyaan Penelitian ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Self-Efficacy... 11

1. PengertianSelf-Efficacy... 11

2. Sumber-SumberSelf-Efficacy... 14

3. Karakteristik Individu yang MemilikiSelf-EfficacyTinggi danSelf EfficacyRendah ... 16

4. Fungsi dan PengaruhSelf-Efficacy... 17

5. Dimensi-dimensiSelf-Efficacy... 20

B. Berpikir Kritis ... 21

C.Self-EfficacyBerpikir Kritis ... 25

D. IndikatorSelf-EfficacyBerpikir Kritis ... 28

E. Metode Socrates ... 40

F. Pendekatan Kontekstual ... 44

G. Pembelajaran Socrates Kontekstual ... 51

H. Kajian Teori yang Relevan ... 52

III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 56

B. Latar dan Setting Penelitian ... 56

C. Subjek Penelitian ... 58

D. Teknik Pengumpulan Data... 58

E. Instrumen Penelitian ... 61

F. Tahap Penelitian ... 64


(5)

I. Teknik Analisis Data ... 68 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 71 B. Pembahasan ... 127 V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 171 B. Saran... 172 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN LAIN-LAIN


(6)

Halaman A. INSTRUMEN PENELITIAN

A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 181

A.2 Lembar Kerja Siswa... 242

A.3 Jurnal Siswa ... 256

A.4 Kisi-kisi SkalaSelf-EfficacyBerpikir Kritis ... 258

A.5 SkalaSelf-EfficacyBerpikir Kritis... 260

A.6 Pedoman Wawancara Siswa ... 264

B. ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN B.1 Perhitungan Hasil Uji Coba SkalaSelf-EfficacyBerpikir Kritis dengan Microsoft Exel ... 266

C. ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN C.1 Kode Siswa dan Kode IndikatorSelf-EfficacyBerpikir Kritis ... 304

C.2 Data Hasil Jurnal Siswa ... 306

C.3 Data Hasil Observasi (Catatan Lapangan) ... 317

C.4 Data Hasil SkalaSelf-EfficacyBerpikir Kritis Awal ... 332

C.5 Data Hasil SkalaSelf-EfficacyBerpikir Kritis Akhir ... 335

C.6 Perhitungan Data Hasil SkalaSelf-EfficacyBerpikir Kritis ... 338

C.7 Data Hasil Wawancara... 349


(7)

Halaman Tabel 2.1 Karakteristik Individu yang MemilikiSelf-EfficacyTinggi dan

Self-EfficacyRendah ... 16

Tabel 2.2 Jenis-jenis Pertanyaan Socrates dan Contohnya ... 43

Tabel 3.1 Jadwal Pembelajaran ... 57


(8)

(9)

(10)

Semangat adalah kepingan-kepingan bara

kemauan yang disisipkan pada setiap celah

dalam kerja keras untuk mencegah masuknya

kemalasan dan penundaan (Anonym)

Hal apapun jika dilakukan dengan niat ingin

mengharap ridho Allah dan ridho orang tua


(11)

i

Alhamdulillahirobbil alamin

Dengan hati yang ikhlas dan rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, kupersembahkan karya ini sebagai tanda bakti dan

cinta kasihku kepada:

Ayahanda dan Ibunda tercinta Karmun dan Surati yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, mencurahkan kasih sayang, perhatian, kerja keras tanpa mengenal lelah,

serta doa yang tulus yang selalu mengiringi keberhasilanku.

Adik ku (Gusti Adi Pranoto) yang selalu memberikan semangat, dukungan, serta doanya dan Mbak ku (Eka Ariyani) yang selalu memberikan kasih sayang, nasehat,

motivasi, kritik dan saran yang membangun, terimakasih Mbak kebaikanmu akan selalu kuingat.

Para pendidik yang dengan tulus dan sabar dalam mendidik dan memberikan ilmunya Sahabat-sahabat seperjuangan


(12)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung pada 11 Agustus 1993. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Karmun dan Ibu Surati.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Aisyiyah ABA III Kecamatan Pringsewu pada tahun 1999. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammaddiyah Pringsewu pada tahun 2005, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Pringsewu pada tahun 2008, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Pringsewu pada tahun 2011. Penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung pada tahun 2011 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Tertulis (SNMPTN Tertulis) dengan mengambil program studi Pendidikan Matematika.

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Kependidikan Terintegrasi (KKN-KT) pada tahun 2014 di Pekon Tanjung Jati, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat sekaligus melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 1 Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat.


(13)

ii Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Self-Efficacy Berpikir Kritis Siswa dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 BandarlampungTahun Pelajaran 2014/2015).”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibunda tercinta Surati, Ayahanda tercinta Karmun, Mbak ku Eka Ariyani, dan

Adik ku Gusti Adi Pranoto, yang selalu memberikan cinta, kasih, semangat, doa, serta kerja keras yang tak kenal lelah demi keberhasilan penulis.

2. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan yang kritis terhadap berbagai permasalahan, dan ilmunya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Ibu Drs. Widyastuti, S.Pd, M.Pd., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan dorongan dengan sabar terhadap berbagai permasalahan serta ilmunya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Pembahas yang telah memberikan

kritik dan saran yang bersifat kritis dan membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.


(14)

iii memberikan ilmu yang sangat berharga dan kemajuan berpikir untuk berbuat yang lebih baik.

6. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika yang telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan PMIPA yang telah membe-rikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di program tudi pendidikan matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

9. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung, beserta staf dan jajarannya.

10. Ibu Sri Chairattini E.A., S.Pd., selaku Kepala SMP Negeri 19 Bandarlampung yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.

11. Ibu Eka Andawati, S.Pd, MM., selaku guru mitra di SMP Negeri 19 Bandarlampung yang telah memberikan kesempatan, semangat, dan motivasi selama penelitian.

12. Siswa-siswi kelas VIIB semester genap SMP Negeri 19 Bandarlampung tahun pelajaran 2014/2015 atas kerjasamanya.

13. Keluarga besarku yang telah memberikan doa, motivasi, dan dukungan.

14. Sahabat-sahabat yang selalu ada untukku: Dian Maharani, Desy Rahmawati, Suci Rohani, Indah Damayanti, dan Winda Anggraini atas segala kenangan, motivasi, do’a serta dukungan yang telah diberikan.


(15)

iv Damayanti, Agung Cahyono, Titi Murniati, Siti Laelatul Chasanah, Dwi laila Sulistiowati, Muhammad Yusuf, Agus Sugiarto, Yulisa, Rosalia Deviana C., Iwan Nurwantoro, dan Florensia Evindonta Bangun atas dukungan, motivasi, serta bantuan yang telah diberikan.

16. Sahabat-sahabatku di Pendidikan Matematika angkatan 2011: Yola, Rizka, Selvy, Ade, Ayu Anindra, Ayu Sekar, Ayu Tiara, Citra, Dina, Emil, Ista, Lidia, Muthia, Niluh, Novi, Pobby, Veni, Gilang, Heizlan, Ikhwan, Panji, Ansori, Abi, Ayu Tam, Vina, Ayu F., Fuji, Enggar, Laili, Ria, Dewi, Ipeh, Dedes, Fitri, Hani, Nourma, Ismi, Venti, Yulisa, Ratna, Emi, Siska, Bayu, Aliza, Didi, Uli, Ige, Elcho, Hasbi atas dukungan, motivasi, do’a, bantuan, serta kebersamaannya selama ini.

17. Kakak tingkat angkatan 2008, 2009, dan 2010 serta adik tingkat angkatan 2012, 2013, dan 2014 atas kebersamaannya selama ini.

18. Teman seperjuangan KKN PPL Pekon Tanjung Jati Kecamatan Pesisir Selatan: Imel, Puput, Yuyun, Hilda, Zakiyah, Siwi, Agung, Yuda, Aal atas kebersamaannya, semangat, dan motivasi yang diberikan.

19. Sahabat kecilku, Hesti Apala dan Rian Aris Prasetiyo yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan bantuan.

20. Sahabat-sahabat kosan: Alentin Putri A., Yuvica Oktaviana Putri, Ana Kurnia Sari, dan Ena Susanaatas semangat, do’a, serta dukungan yang diberikan. 21. Almamater tercinta yang telah mendewasakanku.


(16)

v mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis,


(17)

(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan matematika, misalnya dalam menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Sebagaimana pendapat Niss (Nurhadi, 2005) yang menyatakan bahwa

“salah satu alasan utama diberikan matematika kepada siswa-siswa di sekolah adalah untuk memberikan kepada individu pengetahuan yang dapat membantu mereka mengatasi berbagai hal dalam kehidupan, seperti pendidikan atau pekerjaan, kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan sebagai warga Negara.”

Dalam hal ini, matematika menjadi disiplin ilmu yang penting untuk dikuasai siswa, dan sebagai bekal yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi siswa dalam kehidupannya. Oleh karena itu, matematika menjadi pelajaran yang wajib dipelajari pada setiap jenjang pendidikan.

Ilmu matematika yang dipelajari pada setiap jenjang pendidikan berkaitan dengan proses berpikir. Sejalan degan pendapat Reys (Endyah, 2007:46), matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan serta suatu jalan atau pola berpikir. Menurut Sujanto (2001:56), berpikir ialah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan antara pengetahuan-pengetahuan kita. Dalam hakikatnya, seseorang akan berpikir ketika menemukan suatu hal yang memaksa pikirannya


(19)

untuk menetapkan hubungan-hubungan antara pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya dalam menciptakan jalan dan ruang terhadap ide-ide yang dapat menghasilkan suatu konsep yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam belajar matematika diperlukan proses berpikir untuk menelaah pola dan hubungan yang ada di dalamnya sehingga menghasilkan konsep mengenai matematika.

Proses berpikir yang digunakan diharapkan dapat diterima secara nalar yang diarahkan untuk memutuskan apa yang dikerjakan atau diyakini. Menurut Ennis (1996), proses berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan adalah kemampuan berpikir kritis.

Kemampuan siswa dalam berpikir kritis dapat dikenali dari kemampuan yang diperlihatkannya selama proses berpikir. Kemampuan tersebut, didasarkan pada indikator-indikator berpikir kritis, seperti menjelaskan arti setiap kata atau simbol yang terdapat pada soal (menginterpretasi), mencari informasi yang saling berhubungan (menganalisis), dan mencari bukti-bukti kebenaran dari setiap informasi yang muncul (mengevaluasi).

Pada kenyataannya, kemampuan berpikir kritis belum banyak diterapkan di sekolah-sekolah, seperti yang diungkapkan kritikus Jacqueline dan Brooks (Syahbana, 2012:51), bahwa sedikit sekolah yang mengajarkan siswanya berpikir kritis. Ruseffendi (2006:328) juga mengungkapkan, bahwa selama ini dalam proses belajar mengajar di kelas, umumnya siswa dalam mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya, bukan dengan eksplorasi. Hal tersebut akan


(20)

membuat siswa lebih banyak pasif karena siswa hanya menerima apa yang diberikan guru dan siswa tidak dibimbing untuk memunculkan ide-ide baru terkait mata pelajaran. Pada akhirnya, membuat siswa sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.

Padahal, berpikir kritis di sekolah bisa muncul apabila dalam pembelajaran ada masalah yang menjadi pemicu dan diikuti dengan pertanyaan: “Menyelesaikan soal itu dengan cara yang lain”, Mengajukan pertanyaan: “Bagaimana jika”, “Apa yang salah”, dan “Apa yang kamu lakukan” (Krulik dan Rudnick, dalam Sabandar, 2008). Hal tersebut akan mendorong siswa untuk memunculkan ide-ide baru dan memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Dengan demikian, siswa tidak hanya berpikir secara dangkal, tetapi siswa akan terbiasa berpikir kritis untuk dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Kemampuan siswa dalam berpikir kritis dipengaruhi oleh keyakinan yang ada pada dirinya, dan akan menghasilkan suatu tindakan mengenai suatu hal yang dihadapinya. Seperti yang diungkapkan Bandura (2002), untuk melakukan suatu tindakan akan tergantung pada keyakinan siswa. Dalam hal ini, berupa keyakinan terhadap kemampuan berpikir kritis (self-efficacy berpikir kritis). Menurut Bandura (2002), self-efficacy adalah belief (keyakinan) mengenai kemampuan individu untuk melakukan suatu hal ketika berada dalam berbagai macam kondisi dengan apapun keterampilan yang dimilikinya saat ini. Oleh sebab itu, siswa dengan kemampuan berpikir kritis setara, tindakan yang dilakukan dapat berbeda karena dipengaruhi olehself-eficacytersebut.


(21)

Seorang siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis baik, tetapi tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan berpikir kritis (self-efficacy berpikir kritis) yang ada pada dirinya, tidak akan memberikan kontribusi yang baik pula dalam menentukan tindakan berpikir kritis. Seperti yang dikatakan Ghufron dan Rini (2010:75) bahwa

“seseorang dengan self-efficacy tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedangkan seseorang dengan self-efficacy rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya”. Artinya, seorang siswa yang memiliki self-efficacy berpikir kritis tinggi, jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan berpikir kritis, akan merasa yakin terhadap kemampuannya, dan berusaha keras mengatasi tantangan yang ada dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan untuk mencapai keberhasilan. Sebaliknya, seorang siswa yang tidak memiliki self-efficacy berpikir kritis yang tinggi, merasa ragu terhadap kemampuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, dan cenderung akan mudah menyerah karena menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan permasalahan yang berkaitan dengan berpikir kritis tersebut.

Menurut Bandura,self-efficacyjuga memengaruhi pola pikir dan reaksi emosional seseorang (Dewanto, 2007). Dalam hal ini, seorang siswa yang memiliki self-efficacy tinggi, mamandang kegagalan sebagai akibat dari upaya yang kurang memadai dan berusaha meningkatkan upaya serta fokus memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan. Sebaliknya, seorang siswa yang tidak memiliki self-efficacy yang tinggi, cenderung tidak berdaya, sulit memotivasi dirinya sendiri, cemas, dan cepat menyerah dalam menghadapi suatu rintangan, sehingga


(22)

memandang kegagalan sebagai lemahnya personal dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Hasil temuan awal peneliti terhadap kelas VIIB di SMP Negeri 19 Bandarlampung yaitu, sebagian besar siswa di kelas VIIB aktif dalam proses pembelajaran matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang ingin mengajukan diri untuk mengerjakan soal – soal yang diberikan guru di papan tulis, atau mengerjakan di bukunya masing-masing. Akan tetapi, ketika guru memberikan soal yang lebih menantang dan melibatkan berpikir kritis, hanya beberapa siswa yang terus berusaha untuk menyelesaikan tantangan yang ada, dan lebih banyak siswa yang meragukan kemampuannya untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Berdasarkan hasil temuan awal, sebagian besar siswa merasa berminat untuk menyelesaikan soal-soal matematika yang diberikan guru, tetapi jika soal-soal yang diberikan guru adalah soal-soal yang melibatkan berpikir kritis, hanya beberapa siswa yang berminat untuk mengerjakannya. Rasa berminat merupakan salah satu indikator self-efficacy yang diadaptasi dari indikator self-efficacy yang dikembangkan oleh Sudrajat (2008). Artinya, pada temuan awal hanya beberapa siswa yang munculself-efficacyberpikir kritisnya.

Self-efficacy berpikir kritis seorang siswa tidak akan muncul dan dimiliki begitu saja tanpa ada sesuatu yang mendorongnya. Dalam hal ini, dapat berupa metode pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa dalam membangun dan menggali pengetahuan yang dimilikinya untuk menemukan sendiri penyelesaian masalah yang dihadapi. Misalnya, berupa pertanyaan-pertanyaan kritis yang jelas, bertujuan, serta mampu menggali pemahaman siswa, dan dapat mendorong serta


(23)

membimbing siswa untuk merangsang keyakinannya dalam berpikir kritis ketika menjawab persoalan yang dihadapi.

Salah satu metode pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan kritis dalam suatu diskusi adalah Metode Socrates. Metode Socrates adalah metode yang dibuat atau dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani, yaitu Socates (hidup antar tahun 469-399) sebelum Masehi. Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011:51) mendefinisikan Metode Socrates sebagai sebuah proses diskusi yang dipimpin guru, untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Dengan kata lain, metode Socrates merupakan metode yang memuat diskusi, dipimpin oleh guru dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana sampai kompleks, untuk memandu siswa dalam berpikir dan membuat kesimpulan mengenai suatu objek. Hal ini akan mengonstruk pengetahuan yang dimiliki siswa, menumbuhkan motivasi dan keberanian dalam mengemukakan pendapat, serta dapat memupuk rasa percaya pada diri siswa, yang juga akan memengaruhiself-efficacyberpikir kritisnya.

Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan Socrates yang diberikan secara terus menerus dalam pembelajaran, dapat membuat siswa merasa bosan karena tidak terbiasa, sehingga akan mengurangi minatnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang berhubungan dengan konteks kehidupan sehari-hari, yang dapat mendorong minat siswa untuk menjawab persoalan-persoalan berpikir kritis yang dihadapi, sehingga akan memengaruhiself-efficacyberpikir kritisnya. Pendekatan pembelajaran yang berhubungan dengan konteks kehidupan sehari-hari adalah pendekatan kontekstual.


(24)

Menurut Johnson (2007), pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari, dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budaya. Hal ini akan membuat siswa merasa terbiasa, karena konsep materi pelajaran dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga akan mendorong minatnya untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Konsep materi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, juga dapat menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang anak belajar dengan anak yang lainnya, untuk berbagi gagasan dan pengalaman, serta bekerja sama untuk memecahkan persoalan. Hal ini merupakan faktor yang memengaruhi self-efficacy siswa, yaitu pengalaman individu lain, yang akan mendorong keyakinan siswa dalam menjawab persoalan-persoalan berpikir kritis yang dihadapi.

Pada pembelajaran Socrates kontekstual, guru menyiapkan deretan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Jika pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu terjawab oleh siswa, maka guru melanjutkan pertanyaan tersebut. Jika pertanyaan yang diajukan ternyata belum memenuhi tujuan, guru mengulangi kembali pertanyaan tersebut, dengan cara memberikan sedikit ilustrasi dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan dan memudahkan berpikir siswa dalam menemukan jawaban yang tepat dan cermat. Dengan demikian, siswa mempertanyakan kembali apa yang telah diucapkannya dalam diskusi mengenai suatu hal dengan memperhatikan validitas penalarannya, yang berujung pada sebuah kesimpulan. Hal ini akan memengaruhi keyakinan siswa terhadap


(25)

kemampuannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melibatkan berpikir kritis tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang mengonstruk pengetahuan siswa, dapat merangsang minat siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru. Dengan demikian, self-efficacy berpikir kritis siswa pun dapat diamati dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual.

Dengan memperhatikan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kualitatif, yaitu penelitian deskriptif yang menggambarkan dan menjabarkan temuan di lapangan, yakni di kelas VIIB SMP Negeri 19 Bandarlampung untuk menganalisis self-efficacy berpikir kritis siswa di kelas tersebut dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, fokus penelitiannya adalah self-efficacy berpikir kritis yang mengacu pada keyakinan diri siswa terhadap kemampuan berpikir kritisnya dalam melakukan suatu hal untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, dikaitkan dengan tiga dimensi ukur self-efficacy, yaitu: Magnitude atau level: taraf keyakinan terhadap kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan permasalahan/soal berpikir kritis yang dihadapi; Strength atau kekuatan: taraf keyakinan terhadap kemampuan dalam mengatasi masalah atau kesulitan yang muncul akibat soal/permasalahan yang melibatkan berpikir kritis; dan Generality: taraf keyakinan terhadap kemampuan dalam menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya dalam berpikir kritis.


(26)

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian di atas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana self-efficacy berpikir kritis siswa kelas VIIB SMP Negeri 19 Bandarlampung dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual?”

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisisself-efficacyberpikir kritis siswa kelas VIIB di SMP Negeri 19 Bandarlampung dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu, khususnya dalam bidang pendidikan mengenai self-efficacy berpikir kritis siswa dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini bermanfaat bagi guru, untuk mengetahui tingkat self-efficacy berpikir kritis siswa dengan pembelajaran Socrates kontekstual. Pembelajaran Socrates kontekstual yang dihasilkan dalam penelitian ini, juga dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan model pembelajaran matematika lainnya yang dapat mengetahui tingkatself-efficacyberpikir kritis siswa.

b. Bagi peneliti, memberikan informasi tentangself-efficacyberpikir kritis siswa yang memperoleh Pembelajaran Socrates Kontekstual.


(27)

c. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar membuat penelitian secara mendalam terkait self-fficacyberpikir kritis dalam melalukan penelitian selanjutnya.


(28)

II. KAJIAN TEORI

A. Self-Efficacy

1. PengertianSelfEfficacy

Menurut Bandura (Hidayat, 2011:156), dari semua pemikiran yang memengaruhi fungsi manusia, dan merupakan bagian paling inti dari teori kognitif sosial adalah efikasi diri (self-efficacy). Bandura (2002) juga mengungkapkan bahwa self-efficacy adalah suatu belief (keyakinan) mengenai kemampuan individu untuk melakukan sesuatu hal ketika berada dalam berbagai macam kondisi dengan apapun keterampilan yang dimilikinya saat ini. Sementara itu, Baron dan Byrne (Ghufron dan Rini, 2010:74) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam melakukan sesuatu hal ketika berada dalam berbagai macam kondisi dengan apapun keterampilan yang dimilikinya, untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Bandura (Ghufron dan Rini, 2010:75) mendefinisikan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya


(29)

dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu, yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Menurutnya, efikasi diri tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki, tetapi berkaitan dengan keyakinan individu mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang ia miliki seberapapun besarnya. Efikasi diri menekankan pada komponen kayakinan diri yang dimiliki seseorang dalam menghadapai situasi yang akan datang, yang megandung kekaburan, tidak dapat diramalkan, dan sering penuh dengan tekanan. Lebih lanjutnya Bandura juga mengungkapkan, meskipun efikasi diri memiliki suatu pengaruh sebab-musabab yang besar pada tindakan kita, efikasi diri bukan satu-satunya penentu tindakan. Efikasi diri berkombinasi dengan lingkungan, perilaku sebelumnya, dan variabel-variabel personal lain, terutama harapan terhadap hasil untuk menghasilkan perilaku.

Berdasarkan uraian diatas, self-efficacymerujuk pada keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya, dalam melakukan sesuatu yang bergantung pada interaksi antara tingkah laku, faktor pribadi, dan kondisi lingkungan individu tersebut. Oleh karenanya, self-efficacy bukan satu-satunya penentu tindakan, self-efficacy berkombinasi dengan faktor-faktor lain seperti lingkungan, perilaku sebelumnya, ataupun variable-variabel personal lainnya.

Menurut Bandura (Dewanto, 2007), self-efficacy merupakan konstruksi sentral dalam teori kognitif sosial yang dimiliki seseorang, yaitu:

1. Memengaruhi pengambilan keputusannya, dan memengaruhi tindakan yang akan dilakukannya. Seseorang cenderung akan menjalankan sesuatu apabila


(30)

ia merasa kompeten dan percaya diri, serta akan menghindarinya bila tidak. 2. Membantu seberapa jauh upaya untuk bertindak dalam suatu aktivitas, berapa

lama ia bertahan apabila mendapat masalah, dan seberapa fleksibel dalam suatu situasi yang kurang menguntungkan baginya. Makin besar self-efficacy seseorang, makin besar upaya, ketekunan, dan fleksibilitasnya.

3. Memengaruhi pola pikir dan reaksi emosionalnya. Seseorang dengan self-efficacy rendah, mudah menyerah dalam menghadapi masalah, cenderung menjadi stres, depresi, dan mempunyai suatu visi yang sempit tentang apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu. Sedangkan seseorang dengan self-efficacy tinggi, akan membantu dirinya dalam menciptakan suatu perasaan tenang dalam menghadapi masalah atau aktivitas yang sukar.

Berikut adalah beberapa penjelasan lain dari Bandura (Victoriana, 2012:5) mengenaiSelf-efficacy:

a. Self-efficacy adalah belief bahwa individu mampu menampilkan kinerja secara adekuat di dalam kondisi situasi dengan level tantangan yang berbeda. b. Self-efficacy tidak menekankan pada berapa jumlah keterampilan yang

individu miliki, akan tetapi pada apakah individu percaya bahwa ia dapat melakukannya, berdasarkan apa yang dimiliki, di dalam situasi yang beragam.

c. Self-efficacy merupakan generative capability (pembangkit potensi) dimana subskillsdari kognitif, sosial, emosional, dan perilaku harus diorganisasikan dan dikelola untuk mencapai tujuan.

Penjelasan dari Bandura di atas menyatakan, bahwa self-efficacy mampu menampilkan perilaku berdasarkan apa yang dimilikinya dalam situasi yang


(31)

beragam. Bandura juga mengungkapkan bahwa self-efficacy merupakan pembangkit potensi, sehingga harus dikelola untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam mengelola self-efficacytersebut, dapat dibangun dengan empat sumber diantaranya pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, persuasi sosial, dan keadaan emosi individu.

2. Sumber-sumberSelf-efficacy

Bandura (Alwisol, 2009:288) menjelaskan bahwa self-efficacydapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui empat sumber, yaitu:

a. Pengalaman performansi

Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Performansi masa lalu menjadi pengubahselfefficacyyang paling kuat pengaruhnya. Prestasi masa lalu yang bagus meningkatkan selfefficacy, sedangkan kegagalan akan menurunkanselfefficacy. Mencapai keberhasilan akan memberikan dampak selfefficacy yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya.

b. Pengalaman individu lain (Vikarius)

Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial.Self-efficacyakan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain. Sedangkan,selfefficacyakan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira–kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Jika sosok yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sedangkan, jika mengamati kegagalan sosok yang


(32)

setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan sosok yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.

c. Persuasi sosial

Selfefficacy dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat memengaruhi selfefficacy. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.

d. Keadaan Emosi

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan memengaruhiselfefficacydi bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress dapat mengurangiself efficacy. Akan tetapi, jika terjadi peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkanself-efficacy.

Berdasarkan penjelasan di atas, pengalaman keberhasilan seseorang (performansi) merupakan sumber yang sangat berpengaruh dalam efficacy, karena pengalaman keberhasilan yang diperoleh individu itu sendiri akan lebih memperkuat keyakinan individu, misalnya mengenai prestasi yang pernah diraih di masa lalu, yang akan sangat berpengaruh terhadap self-efficacy untuk kasus yang serupa kelak. Selain itu, pengalaman vikarius dapat dijadikan sumber informasi tentang kemampuan yang individu miliki, yakni mengobservasi orang lain (berdasarkan pengalaman orang yang di observasi) dan ketika orang tersebut berhasil, maka self-efficacy individu dapat meningkat, tetapi jika gagal self-efficacy individu dapat menurun. Kemudian, persuasi sosial yang meyakinkan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya, untuk menyelesaikan suatu hal, akan berpengaruh


(33)

baik terhadap self-efficacy jika seorang tersebut percaya kepada yang memberi persuasi, dan keadaan emosi yang buruk juga dapat menurunkanself-efficacy.

3. Karakteristik Individu yang MemilikiSelf-EfficacyTinggi dan SelfefficacyRendah

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan percaya pada kemampuan yang dimilikinya untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, berbeda dengan individu yang memiliki self-efficacy rendah, mereka merasa ragu untuk dapat melaksanakan suatu hal. Seperti yang diungkapkan oleh Victoriana (2012:6), bahwa karakteristik individu yang memilikiself-efficacytinggi dan self-efficacyrendah adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1

Karakterikstik Individu yang Memiliki Self-efficacyTinggi dan Self-efficacy Rendah

Individu yang MemilikiSelf-EfficacyTinggi Individu yang Memiliki Self-EfficacyRendah a. Memandang persoalan sebagai tantangan

untuk diatasai bukan ancaman yang harus dihindari.

b. Memelihara minat dan ketertarikan untuk terlibat dalam aktivitas.

c. Membuat tujuan yang menantang untuk dirinya dan mempertahankan komitmen yang kuat pada tujuan tersebut.

d. Memberikan upaya yang tinggi pada apa yang dikerjakannya.

e. Meningkatkan upaya saat menghadapi kegagalan atau kemunduran.

f. Tetap berfokus pada tugas dan memikirkan strategi untuk menghadapi kesulitan.

g. Menganggap kegagalan sebagai upaya yang kurang memadai, yang akan mendukung orientasi kesuksesan.

h. Cepat memulihkan rasaefficacy-nya setelah mengalami kegagalan dan kemunduran. i. Memandang ancaman dan stressor potensial

dengan percaya diri bahwa ia dapat melakukan control terhadap hal tersebut. j. Memperbesar kemungkinan penyelesaian

tugas dan mengurangi stress serta depresi.

a. Menarik diri dari tugas sulit yang dihadapi.

b. Merasa sulit untuk

memotivasi dirinya sendiri, mengendurkan usahanya, atau menjadi terlalu cepat menyerah ketika mengalami rintangan.

c. Memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapainya.

d. Dalam situasi yang menekan, individu menekankan kelemahan personalnya, sulitnya tugas, dan konsekuensi merugikan jika mengalami kegagalan. e. Lambat dalam memulihkan

rasaefficacysetelah mengalami kegagalan dan kemunduran.

f. Mudah mengalami stress dan depresi.


(34)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan merasa mampu untuk dapat melaksanakan apapun hal yang dihadapinya secara efekftif, sedangkan individu yang memiliki self-efficacy rendah merasa tidak mampu dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi, karena memandang kegagalan sebagai lemahnya personal, sulit memotivasi dirinya sendiri, dan cepat menyerah dalam menghadapi suatu rintangan. Oleh karenanya, tidak jarang bahwa individu seperti ini akan mudah mengalami stress dan depresi.

4. Fungsi dan Pengaruh Self-Efficacy

Menurut Bandura (2006), persepsi diri atas efficacy yang berlangsung dalam diri individu, keberadaanya merupakan fungsi yang menentukan bagaimana cara individu bertindak, memberikan pola-pola pemikiran dan reaksi emosi. Secara lebih rinci pengaruh dan fungsiself-efficacytersebut adalah sebagai berikut.

a. Pemilihan Perilaku

Bandura menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, orang harus membuat keputusan untuk mencoba berbagai tindakan dan seberapa lama menghadapi kesulitan-kesulitan. Teori belajar sosial menyatakan bahwa, permulaan dan pengaturan transaksi dengan lingkungan sebagian ditentukan oleh penilaian self-efficacy, orang cenderung menghindari situasi-situasi yang diyakini melampaui kemampuannya, akan tetapi dengan penuh keyakinan, mereka akan mengambil dan melakukan kegiatan yang diperkirakan dapat diatasinya. Self-efficacy yang mendorong individu untuk terlibat aktif dalam kegiatan, akan mendorong


(35)

perkembangan kompetensi. Sebaliknya, self-efficacy yang mengarahkan individu untuk menghindari lingkungan dan kegiatan, akan memperlambat perkembangan kompetensi dan melindungi persepsi diri yang negatif dari perubahan yang akan membangun individu.

b. Besar upaya dan ketekunan

Penilaian efficacy menentukan seberapa besar usaha yang dikeluarkan, dan seberapa kuat individu bertahan dalam rintangan dan pengalaman yang menyakitkan. Semakin kuat presepsi self-efficacy, maka akan semakin giat dan tekun usaha individu ketika menghadapi kesulitan, individu yang mempunyai keraguan tentang kemampuannya, akan mengurangi usahanya bahkan individu tersebut akan menyerah. Individu yang memiliki efficacy yang kuat, juga akan menggunakan usaha yang lebih besar untuk mengatasi tantangan. Dengan kata lain, usaha manusia untuk mencapai sesuatu memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense of personal efficacy) yang optimis.

c. Pola berpikir dan reaksi emosional

Penilaian individu tentang kemampuannya juga akan memengaruhi pola berpikir dan reaksi emosional mereka. Individu yang menilai dirinya inefficacy, dalam menghadapi tuntutan lingkungan akan mengalami defisiensi personal, dan akan berpikir tentang potensi kesulitan yang lebih besar dari sebenarnya. Akibat dari pikiran tersebut, akan menghasilkan reaksi emosional yang tinggi, sepanjang orang percaya mereka dapat mencegah, mengurangi atau mungkin mengakhiri peristiwa yang menyakitkan (aversive) mereka mempunyai sedikit alasan untuk


(36)

takut. Perubahan-perubahan akan jelas dalam intensitas reaksi, sebagai fungsi self-efficacy yang berbeda, membuktikan bahwa stres yang berlebihan disebabkan oleh persepsi ineficcacy dari tugas-tugas itu sendiri. Menurut Bandura, self-efficacyjuga dapat membentuk pola berpikir kausal. Dalam memecahkan masalah yang sulit, individu yang mempunyai efficacy tinggi cenderung menilai bahwa kegagalannya dalam melakukan suatu hal merupakan bagian dari kurangnya usaha, sedangkan individu yang memilikiefficacyrendah, menganggap kegagalan merupakan bagian dari kemampuan yang kurang dimiliki dalam melakukan hal tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, self-efficacy merupakan persepsi dalam diri individu mengenai suatu hal yang akan memengaruhi individu untuk bertindak. Fungsi dan pengaruh self-efficacy diantaranya adalah pemilihan perilaku, besar upaya dan ketekunan, pola berpikir dan reaksi emosional. Dalam pemilihan perilaku, individu yang memiliki persepsi mengenai suatu hal yang diyakini melampaui kemampuannya, akan cenderung menghindar dari situasi tersebut. Sebaliknya individu yang memiliki persepsi mengenai suatu hal yang diyakini dapat diatasinya, akan cenderung melakukan kegiatan tersebut dengan penuh keyakinan. Individu yang memiliki persepsiself-efficacytinggi juga akan semakin giat dan tekun dalam menghadapi kesulitan, sedangkan individu yang memiliki self-efficacy rendah atau ragu terhadap persepsi yang dimiliki dalam menyelesaikan suatu hal, akan mengurangi usahanya bahkan individu tersebut akan menyerah. Self-efficacy juga memengaruhi pola berpikir dan reaksi emosional, individu yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung akan menganggap kegagalan sebagai bagian dari kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung menganggap kegagalan sebagai


(37)

bagian dari kemampuan yang kurang dimiliki dan akan berpikir tentang potensi kesulitan yang lebih besar dari sebenarnya.

5. Dimensi-dimensi Self-efficacy

Bandura (1997:42) membedakan keyakinan self-efficacy ke dalam beberapa dimensi yaitu:

a) DimensiMagnitude/level

Dimensi magnitude ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan self-efficacysecara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang dimilikinya.

b) DimensiStrength

Dimensi strength ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat self-efficacy yang lebih rendah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya. Sedangkan, orang yang memiliki self-efficacy yang kuat, akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya.

c) DimensiGenerality

Dimensi generality ini berhubungan dengan keyakinan seseorang terhadap kemampuan diri dapat berbeda dalam hal generalisasi. Maksudnya seseorang mungkin menilai keyakinan dirinya untuk aktivitas-aktivitas tertentu saja.


(38)

Penelitian ini menggunakan dimensi-dimensi yang telah dipaparkan dalam uraian di atas. Dimensi magnitude merupakan taraf keyakinan terhadap kemampuan individu dalam menentukan tingkat kesulitan persoalan/permasalahan yang dihadapi; dimensi strength merupakan taraf keyakinan individu terhadap kemampuan dalam mengatasi masalah atau kesulitan yang muncul akibat persoalan/permasalahan; dan dimensi generality adalah keyakinan terhadap kemampuan individu dalam menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya.

B. Berpikir Kritis

Pengertian berpikir kritis dikemukakan oleh banyak pakar. Beberapa di antaranya, Gunawan (2003:177-178) yang menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Glaser (1941:5) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu sikap mau berpikir secara mendalam, tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan seseorang, pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis, dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Sementara itu, Menurut Ruland (2003:1-3), berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Universal intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian, kesaksamaan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth).


(39)

Uraian di atas menunjukkan bahwa orang yang berpikir kritis akan berpikir secara beralasan dan mendalam mengenai suatu hal, dan akan mengarahkannya untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi, yang didasarkan pada suatu standar, sehingga akan memunculkan suatu pertanyaan dalam benaknya dalam menentukan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seperti yang diungkapkan Ennis (1985:54), bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.

Selanjutnya, The Delphy Report (Yunarti, 2011:28) merinci keterampilan-keterampilan yang digolongkan sebagai keterampilan-keterampilan berpikir kritis, yaitu melakukan interpretasi, analisis, evaluasi, pengambilan kesimpulan dan menjelaskan. Angelo (1995:6) mengatakan berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi: analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan penilaian. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan dan reflektif, dengan melakukan interpretasi, analisis, dan evaluasi, yang menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.

Zamroni dan Mahfudz (2009:23-29) mengemukakan ada enam argumen yang menjadi alasan pentingnya keterampilan berpikir kritis dikuasai siswa. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat akan menye-babkan informasi yang diterima siswa semakin banyak ragamnya, baik sumber maupun esensi informasinya. Oleh karena itu, siswa dituntut memiliki


(40)

kemampuan memilih dan memilah informasi yang baik dan benar, sehingga dapat memperkaya khazanah pemikirannya. Kedua, siswa merupakan salah satu kekuatan yang berdaya tekan tinggi (people power), oleh karena itu agar kekuatan itu dapat terarahkan ke arah yang semestinya (selain komitmen yang tinggi terhadap moral), maka mereka perlu dibekali dengan kemampuan berpikir yang memadai (deduktif, induktif, reflektif, kritis dan kreatif) agar kelak mampu berkiprah dalam mengembangkan bidang ilmu yang ditekuninya. Ketiga, siswa adalah warga masyarakat yang kini maupun kelak akan menjalani kehidupan semakin kompleks. Hal ini menuntut mereka memiliki keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya secara kritis. Keempat, berpikir kritis adalah kunci menuju berkembangnya kreativitas, dimana kreativitas muncul karena melihat fenomena-fenomena atau permasalahan yang kemudian akan menuntut kita untuk berpikir kreatif. Kelima, banyak lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak, membutuhkan keterampilan berpikir kritis, misalnya sebagai pengacara atau sebagai guru maka berpikir kritis adalah kunci keberhasilannya. Keenam, setiap saat manusia selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan, mau ataupun tidak, sengaja atau tidak, dicari ataupun tidak akan memerlukan keterampilan untuk berpikir kritis.

Berdasarkan hal-hal tersebut, kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting yang harus di kuasai siswa, mengingat banyaknya manfaat yang diperoleh melalui kemampuan tersebut, khususnya dalam pengambilan keputusan dari suatu hal yang dihadapi, untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.


(41)

Facione (Kowiyah, 2012:178) membagi proses berpikir kritis menjadi enam kecakapan yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inference, penjelasan dan regulasi

diri.

(1) Interpretasi, menginterpretasi adalah memahami dan mengekpresikan makna dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, penilaian prosedur atau kriteria. Interpretasi mencakup sub kecakapan mengkategorikan, menyampaikan signifikasi dan mengklarifikasi makna;

(2) Analisis, menganalisis adalah mengidentifikasi hubungan inferensial dan aktual diantara pertanyaan-pertanyaan, konsep-konsep, deskripsi untuk mengekpresikan kepercayaan, penilaian dan pengalaman, alasan, informasi dan opini. Analisis meliputi pengujian data, pendeteksian argumen, menganalisis argumen sebagai sub kecapakan dari analisis;

(3) Evaluasi, berarti menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi yang merupakan laporan atau deskripsi dari persepsi, pengalaman dan menaksir kekuatan logis dari hubungan inferensial, deskripsi atau bentuk representasi lainnya. Contoh evaluasi adalah membandingkan kekuatan dan kelemahan dari interpretasi alternatif;

(4) Inference, berarti mengidentifikasi dan memperoleh unsur yang diperlukan

untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal, membuat dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan dan menyimpulkan konsekuensi dari data;

(5) Eksplanasi/Penjelasan, berarti mampu menyatakan hasil-hasil dari penalaran seseorang, menjustifikasi penalaran tersebut dari sisi konseptual, metodologis dan konstektual;


(42)

(6) Regulasi Diri, berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penilaiannya sendiri.

Kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dalam aktivitas mental seperti:

1) Interpretasi

Kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan makna (menjelaskan arti) dari berbagai kejadian atau informasi yang dihadapi.

2) Analisis

Kemampuan untuk membuat rincian atau uraian serta mengidentifikasi hubungan yang berada diantara pernyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi. 3) Evaluasi

Kemampuan untuk menilai dan mengkritisi kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi.

C. Self-EfficacyBerpikir Kritis

Definisi-definisi mengenai self-efficacy yang telah dipaparkan sebelumnya, menunjukkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan pada diri individu terhadap kemampuannya dalam melakukan sesuatu hal untuk mencapai hasil yang diharapkan. Keyakinan terhadap kemampuan tersebut akan memengaruhi individu untuk bertindak. Misalnya individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan berupaya keras dalam melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan,


(43)

sedangkan individu yang memilikiself-efficacyrendah akan cenderung pasrah dan menyerah untuk dapat menyelesaikan sesuatu.

Menurut Ennis (1985:54), berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berdasarkan definisi dan pendapat Ennis, maka self-efficacy berpikir kritis merupakan keyakinan pada diri individu terhadap kemampuannya dalam berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Oleh sebab itu,self-efficacyberpikir kritis memiliki pengaruh untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Self-efficacy berpikir kritis siswa dapat berkembang melalui sumber-sumber self-efficacy, diantaranya yaitu pengalaman performansi dan pengalaman individu lain. Seperti yang dikatakan Somakim (2012), pengalaman otentik (authentic mastery experiences) dan pengalaman orang lain (vicarious experience) dapat muncul apabila siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. Siswa yang berani maju untuk mempresentasikan hasil kerjanya terkait persoalan berpikir kritis, memiliki self-efficacy berpikir kritis yang baik, dan dapat memengaruhi self-efficacy berpikir kritis siswa yang lain. Ditambah lagi, Somakim juga mengatakan bahwa pendekatan sosial atau verbal dan indeks psikologis dapat dimunculkan melalui kerja sama dalam kelompok dan memberikan penghargaan atau penguatan kepada siswa.

Menurut Victoriana (2012:6) individu yang memiliki self-efficacy tinggi atau belief yang kuat dalam kemampuan mereka, memandang persoalan sebagai


(44)

tantangan untuk diatasi bukan ancaman yang harus dihindari. Hal ini mengartikan bahwa individu yang memiliki self-efficacy berpikir kritis tinggi, memandang persoalan berpikir kritis sebagai tantangan untuk diatasi. Mereka merasa yakin akan dapat menyelesaikan suatu persoalan tersebut secara efektif, dengan berpikir secara beralasan dan reflektif, yaitu berpikir secara aktif, hati-hati dan dilandasi proses berpikir kearah kesimpulan-kesimpulan. Sedangkan individu yang meragukan kemampuannya dalam area kegiatan tertentu (self-efficacy rendah), menarik diri dari tugas sulit yang ada di area ini (Victtoria, 2012:6). Hal ini mengartikan bahwa individu yang memiliki self-efficacy berpikir kritis rendah, memandang persoalan berpikir kritis sebagai suatu tugas yang sulit untuk di atasi, sehingga mereka cenderung menarik diri dan cepat menyerah dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu persoalan berpikir kritis.

Dalam penelitian ini, self-efficacy berpikir kritis dipandang sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal-soal yang terkait dengan kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran Socrates Kontekstual dengan berhasil. Pengukuran self-efficacy berpikir kritis dalam penelitian ini difokuskan pada tiga dimensi yang diadaptasi dari dimensi yang dikembangkan oleh Sudrajat (2008), yaitu dimensi Magnitude/Level untuk mengukur taraf keyakinan terhadap kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan persoalan yang melibatkan berpikir kritis, dimensi Strength atau kekuatan untuk mengukur taraf keyakinan terhadap kemampuan dalam mengatasi masalah atau kesulitan yang muncul akibat persoalan yang melibatkan berpikir kritis, dan dimensi Generality untuk mengukur taraf keyakinan terhadap kemampuan dalam menggeneralisasikan tugas


(45)

dan pengalaman sebelumnya dalam menjawab persoalan yang melibatkan berpikir kritis.

Kemudian dimensi-dimensi tersebut diturunkan menjadi indikator-indikator. Indikator self-efficacy berpikir kritis yang digunakan dalam penilitian ini, diadaptasi dari indikator self-efficacy yang dikembangkan oleh Sudrajat (2008), yaitu merasa berminat, optimis, dan yakin dalam menjawab persoalan yang melibatkan berpikir kritis (dimensimagnitude atau level), meningkatkan upaya dn berkomitmen dalam menjawab persoalan yang melibatkan berpikir kritis (dimensi strength), menyikapi situasi dan kondisi beragam dengan cara yang positif, dan berpedoman pada pengalaman belajar sebelumnya (dimensigenerality).

D. Indikator-indikatorSelf-EfficacyBerpikir Kritis

Dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis, maka siswa akan memunculkan indikatorself-efficacyberpikir kritis seperti berikut.

1. Merasa berminat dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis

Menurut Yusuf dan Anwar (1995), minat adalah kecenderungan dalam diri anak didik untuk tertarik pada suatu obyek. Menurut Crow and Crow (1980), minat adalah pendorong yang menyebabkan seseorang memberi perhatian terhadap orang, sesuatu, atau aktivitas-aktivitas tertentu. Minat memiliki keterkaitan dengan rasa senang atau tidak seneng, seperti yang diungkapkan Tidjan (1976:71), bahwa minat adalah gejala psikologis yang menunjukan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek sebab ada perasaan senang. Siswa yang memiliki minat


(46)

terhadap suatu objek tertentu, memiliki ciri-ciri yang menunjukkan minatnya terhadap hal tersebut. Slameto (2010) mengungkapkan beberapa ciri-ciri berminat tidaknya para siswa dalam menjawab persoalan yang dihadapinya, di antaranya:

a. Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk mempertahankan dan mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus menerus.

b. Ada rasa suka dan senang pada sesuatu yang diminati.

c. Memperoleh suatu kebanggaan dan kepuasan pada sesuatu yang diminati. d. Lebih menyukai suatu hal yang menjadi minatnya dari pada lainnya. e. Dimanifestasikan melalui partisipasi pada aktivitas dan kegiatan.

Minat memiliki pengaruh yang besar dalam mencapai suatu keberhasilan, karena orang yang tidak berminat terhadap suatu hal yang dihadapinya, cenderung tidak dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Siti Rahayu Haditono (1998:189), menjelaskan bahwa ada 2 faktor yang memengaruhi minat seseorang yaitu faktor dari dalam (intrinsik), yakni sifat pembawaan, dan faktor dari luar (ekstrinsik), diantaranya keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar. Minat dari dalam, terdiri dari tertarik atau rasa senang pada kegiatan, perhatian terhadap suatu kegiatan dan adanya aktivitas atau tindakan akibat rasa senang maupun perhatian, yang akan dipaparkan seperti berikut.

a. Rasa tertarik atau rasa senang pada kegiatan

Menurut Suardiman (1984: 36), ketertarikan adalah proses yang dialami setiap individu tetapi sulit dijelaskan. Dzakir (1992: 216) menyampaikan, tertarik adalah suka atau senang, tetapi belum melakukan aktivitas. Winkell (1983:30) mendefinisikan rasa tertarik sebagai penilaian positif terhadap suatu obyek.


(47)

Berdasarkan tiga pendapat ini, disimpulkan bahwa rasa tertarik merupakan rasa yang dimiliki setiap individu dalam ungkapan suka, senang dan simpati kepada sesuatu sebelum melakukan aktivitas, sebagai penilian positif terhadap suatu obyek.

b. Perhatian terhadap suatu kegiatan

Perhatian didefinisikan oleh Sumadi Suryabrata (1988) sebagai frekuensi dan kuantitas kesadaran yang menyertai aktivitas seseorang, sedangkan Dakir (1993: 144) mendefinisikan minat perhatian sebagai keaktifan peningkatan kesadaran seluruh jiwa yang dikerahkan dalam pemusatannya kepada sesuatu, dan Bimo Walgito (2002:98) mendefinisikan perhatian sebagai pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada suatu objek. Berdasarkan tiga definisi tersebut, disimpulkan perhatian merupakan pemusatan tenaga atau kekuatan jiwa tertentu kepada suatu objek, atau frekuensi dan kuantitas kesadaran peningkatan kesadaran seluruh jiwa.

c. Aktivitas akibat rasa senang atau perhatian

Tahap setelah siswa tertarik dan memberikan perhatian terhadap suatu objek atau kegiatan adalah bergabungnya siswa dalam kegiatan tersebut. Dalam penelian ini, aktivitas siswa berbentuk keaktifan siswa dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis.

Kemudian, faktor ekstrinsik yang memengaruhi minat seseorang terdiri atas pengaruh dari lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan. Lingkungan keluarga yang memberikan pengaruh misalnya keadaan sosial ekonomi, serta cara orang tua mendidik anak. Pengaruh lingkungan sekolah misalnya kurikulum,


(48)

metode mengajar yang digunakan guru, serta aturan dan disiplin sekolah. Adapun faktor masyarakat meliputi teman bergaul serta kegiatan siswa di masyarakat.

2. Merasa optimis dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis

Menurut Shapiro (1997), optimis merupakan kebiasaan berpikir positif, cara yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah. Menurut Hogg dan Vaughan (2002), optimis diartikan sebagai sikap percaya diri bahwa individu mempunyai kemampuan menghasilkan sesuatu yang baik. Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi baik pada masa depan dalam kehidupannya, seperti yang diungkapkan Lopez dan Snyder (Lopez, dkk., 2003), bahwa optimis adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan berjalan menuju ke arah kebaikan.

Robinson dkk, (1977) menyatakan individu yang memiliki sikap optimis jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah ke arah yang lebih baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih, dan selalu berjuang dengan kesadaran penuh. McGinnis (Shofia F., 2009) juga mengungkapkan bahwa orang optimis mempunyai ciri-ciri khas, yaitu :

a. Jarang terkejut oleh kesulitan, karena orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok.

b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani.


(49)

c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lain-lainnya menyerah. d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga

optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.

e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.

f. Meningkatkan kekuatan apresiasi, yaitu merasa bahwa semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik untuk dinikmati.

g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.

i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai.


(50)

j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang dibicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati.

k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme.

l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip “Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda ubah”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa optimis merupakan suatu sikap yang selalu berpikiran positif terhadap segala sesuatu dan memiliki harapan yang baik.

3. Merasa yakin dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakin adalah percaya, sungguh-sungguh, merasa pasti. Maka jika individu merasa yakin dalam menjawab persoalan berpikir kritis yang dihadapi, berarti dirinya percaya bahwa ia mampu


(51)

menjawab soal-soal berpikir kritis tersebut. Siswa yang merasa yakin dalam menjawab persolan berpikirr kritis akan memiliki perilaku seperti berikut.

a. Dapat membedakan informasi yang merupakan fakta dan informasi yang merupakan pendapat.

b. Dapat memahami setiap rumus matematika yang digunakan untuk menjawab soal.

c. Dapat memilih informasi yang penting yang terdapat pada soal. d. Dapat berpikir secara masuk akal dalam mengidentifikasi argumen. e. Dapat berpikir secara mandiri untuk meneliti ide-ide pada soal. f. Dapat mencari tahu kebenaran dari setiap informasi yang ada.

g. Dapat mengabaikan informasi yang kurang sesuai untuk menyelesaikan soal.

4. Meningkatkan upaya dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis

Menurut Hasan Alwi (2003:625), meningkatkan adalah menaikkan atau mempertinggi, sedangkan upaya adalah usaha untuk mencapai suatu maksud, Hasan Alwi (2003:1250 ). Upaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu usaha yang dilakukan oleh siswa untuk menjawab persoalan berpikir kritis yang dihadapi dalam pembelajaran. Dengan demikian, meningkatkan upaya dalam menjawab persoalan berpikir kritis merupakan suatu sikap yang dilakukan individu dan berkenaan dengan menaikkan atau menambah usaha dalam menjawab persoalan berpikir kritis terutama dalam mengatasi masalah atau kesulitan yang muncul akibat persoalan berpikir kritis yang dihadapinya. Siswa yang meningkatkan upaya dalam menjawab persolan berpikir kritis akan memiliki perilaku seperti berikut.


(52)

a. Mampu menentukan materi yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan yang dihadapi.

b. Mampu membaca dengan fokus untuk mencari kejelasan suatu informasi pada soal.

c. Mampu membuat hubungan keterkaitan antara rumus matemaika dengan persoalan berpikir kritis yang dihadapi.

d. Mampu menentukan informasi ysng benar dari buku untuk memunculkan ide dalam menjawab soal.

e. Mampu mencari informasi lain dari guru atau teman untuk memunculkan ide menyelesaikan soal.

f. Mampu mengatasi kebingungan pemikiran sendiri saat menyelesaikan soal matematika dengan berpikir cermat, tekun, dan teratur.

g. Mampu meningkatkan sumber belajar yang dapat dipercaya.

5. Berkomitmen dalam menjawab persoalan matematika yang melibatkan berpikir kritis

Komitmen merupakan suatu sikap yang membuat seseorang terikat pada suatu hal dan tercermin dalam tindakan ataupun perilakunya. Menurut Sri Kuntjoro (2002), komitmen adalah rasa identifikasi, keterlibatan, dan loyalitas yang dinyatakan oleh seseorang terhadap suatu hal. Lebih lanjut Bansal, Irving dan Taylor (2004) mendefenisikan, komitmen sebagai kekuatan yang mengikat seseorang pada suatu tindakan yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih sasaran. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa komitmen dalam menjawab persoalan yang melibatkan berpikir kritis adalah kemampuan dan kemauan untuk


(53)

menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan dalam menjawab persoalan berpikir kritis yang dihadapi.

Menurut Thompson (1967), komitmen individu pada suatu tugas dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti kesesuaiannya individu dengan pekerjaannya dan karakteristik tugas, seperti variasi keterampilan, identitas pekerjaan, tingkat kepentingan pekerjaan, otonomi, dan umpan balik pekerjaan. Dyne dan Graham (Soekidjan, 2009) juga mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi komitmen adalah sebagai berikut.

a. Karakteristik Personal

Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu teliti, berpandangan positif (optimis) cenderng lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok di atas tujuan sendiri, serta individu yang senang membantu akan cenderung lebih komitmen.

b. Situasional

Situasional meliputi karakteristik pekerjaan dan dukungan kelompok. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan komitmen rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap suatu tugas atau pekerjaan. Begitu juga dengan dukungan kelompok, yang mempunyai hubungan positif dengan komitmen. Hubungan ini didefinisikan seperti sejauh mana anggota kelompok mempersepsi bahwa kelompok memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi, dan memberi apresiasibagi individu (anggota kelompok) dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika kelompok peduli dengan keberadaan dan


(54)

kesejahteraan personal antar anggotanya dan juga menghargai kontribusinya, maka individu (anggota kelompok) akan menjadi komit.

c. Posisi

Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampuan aktif terlibat.

Menurut Quest (Soekidjan, 2009) perilaku komitmen yang dapat dilihat adalah: a. Melakukan upaya penyesuaian, yaitu melakukan hal-hal yang diharapkan, serta

menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku terhadap sesuatu yang dihadapinya.

b. Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain, menghormati dan menerima hal-hal yang dianggap penting, serta bersikap peduli.

c. Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung suatu hal yang memenuhi kebutuhan dalam menjawab persoalan yang dihadapi.

d. Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan kepentingan suatu hal yang dihadapinya diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung keputusan yang menguntungkan hal tersebut walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.

Kemudian Gunawan (2014) mengungkapkan bahwa individu yang berkomitmen tinggi memiliki:

a. Ketabahan, yaitu tetap dan kuat hati dalam menghadapi cobaan dan kesulitan hidup.

b. Keuletan, yaitu tangguh, kuat, dan tidak mudah berputus asa. c. Disiplin, yaitu mempunyai arti latihan dan ketaatan pada seseorang.


(55)

6. Menyikapi situasi dan kondisi beragam dengan cara positif.

Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Dayakisni & Hudaniah, 2003). Harlen (Djaali, 2009) mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu. Sementara itu, Allport (Djaali, 2009) mengemukakan bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respon individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, makna sikap adalah kecenderungan seseorang yang berkenaan dengan beberapa faktor yang memengaruhinya untuk bertindak terhadap suatu objek tertentu.

Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan.

b. Karakter kepribadian individu

c. Informasi yang selama ini diterima individu

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu. Pengaruh-pengaruh tersebut memberikan dampak terhadap respon individu dalam mengahadapi suatu objek tertentu, yakni berupa perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Oleh karena itu, terdapat


(56)

sikap positif dan juga sikap negatif dalam meng hadapi suatu hal ataupun objek tertentu.

Harlen (Djaali, 2009) mengemukakan bahwa terdapat lima ciri khas kecenderungan tingkah laku seseorang yang menyikapi tugas yang dihadapinya dengan cara positif, yaitu:

a. Memiliki hasrat ingin tahu, yakni ingin mengetahui apa saja yang ada di sekitarnya, selalu timbul berbagai pertanyaan, di mana ia selalu berusaha untuk mencari jawabannya, baik dengan bertanya kepada orang lain maupun dengan mencari sendiri jawabannya.

b. Respek kepada fakta, yakni selalu merasa tidak puas terhadap suatu hal tanpa fakta yang mendasarinya.

c. Fleksibel dalam berpikir dan bertindak, yakni tidak kaku, mau diajak kompromi, dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

d. Mempunyai pikiran kritis, yaitu tidak mau menerima begitu saja apa yang dikatakan orang lain, tanpa pemikiran rasional dan kritis.

e. Peka terhadap lingkungan atau kehidupan, yaitu selalu sensitif terhadap apa saja yang ada disekitarnya.

7. Berpedoman pada pengalaman belajar sebelumnya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pedoman adalah hal atau pokok yang menjadi dasar (pegangan, petunjuk, dan sebagainya) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu. Kemudian, berpedoman menurut kbbi memiliki arti berpegang pada suatu hal. Maka, berpedoman pada pengalaman belajar sebelumnya adalah berpegang pada pengalaman belajar yang telah diperolehnya


(57)

untuk menjawab peroalan yang melibatkan berpikir kritis. Siswa yang berpedoman pada pengalaman belajar sebelumnya dalam menjawab persolan berpikirr kritis akan memiliki perilaku seperti berikut.

a. Menggunakan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjelaskan arti soal yang diberikan.

b. Menentukan informasi penting berdasarkan soal yang telah dikerjakan sebelumnya.

c. Memunculkan ide menyelesaikan soal matematika dengan mengingat contoh/soal mirip yang diberikan saat belajar di kelas sebelumnya.

d. Mengingat penjelasan guru untuk mengetahui langkah yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal.

e. Bersemangat mengerjakan soal-soal matematika dengan mengingat keberhasilan menyelesaikan soal matematika yang lalu.

f. Bersemangat mengerjakan soal matematika, jika melihat temannya berhasil menjawab soal dengan benar.

g. Semakin percaya pada kemampuannya dalam berpikir setelah diberikan pujian dari guru.

E. Metode Socrates

Metode Socrates adalah metode yanng dibuat atau dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani yang ulung, yaitu Socrates (hidup antar tahun 469-399) sebelum masehi. Menurut Maxwell (Yunarti, 2011:46), metode Socrates dinamakan demikian untuk mengabadikan nama penciptanya. Socrates (470 SM – 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, tanggal 4 Juni 470 SM, dan


(58)

merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar di Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Plato dan Aristoteles merupakan murid Socrates. Masa hidup Socrates sezaman dengan kaum sofis. Ia terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Cara menyampaikan pemikirannya kepada para pemuda menggunakan metode tanya jawab (Dianawati, 2012:1).

Dalam pembelajaran, Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011:47) mendefinisikan metode Socrates sebagai sebuah proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (Nurjannah dan Nadi, 2014:20), mendefinisikan metode Socrates merupakan salah satu metode tanya jawab yang digunakan untuk membimbing dan memperdalam tingkat pemahaman, yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, sehingga peserta didik mendapatkan pemikirannya sendiri dari hasil konflik kognitif yang terpecahkan. Sejalan dengan itu, Qosyim (2007:11) menyatakan bahwa metode Socrates bukanlah “pertanyaan” tetapi apa yang diakibatkan oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang merangsang orang untuk berpikir dan bekerja. Metode ini merupakan sebuah metode pembelajaran yang membantu siswa untuk menjawab berbagai macam permasalahan pada kehidupan sehari-hari. Metode ini menuntut peserta didik dapat berpikir kritis dan memiliki kemampuan bertanya yang tinggi, sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah sikap kritis.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa metode Socrates adalah metode yang memuat dialog atau diskusi, yang diakibatkan oleh pertanyaan-pertanyaan untuk membimbing dan memperdalam tingkat pemahaman siswa akan suatu objek dan membuat kesimpulan yang benar akan objek tersebut secara konstruktif.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka. Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Angelo, T. A. 1995. Classroom Assessment for Critical Thinking. Teaching of Psychology,22, 6-7.

Arikunto,S.2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi 6. Jakarta : Rineka Cipta.

_________. 2010.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bandura, A. 1997. Social foundation of tought and action: A social cognitive theory. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.

Bandura, Albert. 2002. Self efficacy: The Exercise of Control. New York : W. H. Freeman & Company.

Bandura, A. 2006. Guide for Constructing Self-Efficacy Scales. Self-Efficacy Beliefs of Adolescents, pp. 307-337. [Online]. Tersedia: http://www.des.emory.edu/mfp/014-BanduraGuide2006.0df.

Bansal, Harvir S., P. Gregory Irving & Shirley F. Taylor, 2004. A. Three Component Model of Customer Commitment to Service Providers. Journal Of The Academy Marketing Science.

Baron, R. A., & Byrne, D. 2000. Social psychology (9th edition).Massachusetts: Allyn & Bacon.

Compeau, D. R., & Higgins, C. A. (1995). Computer Self-Efficacy: Development of Measure and Initia Test.MIS Quarterly. Volume 19, Number 2, pp. 189-211.[Online].Tersedia:http://www.misq.org/archivist/vol/no19/issue2/vol19 n2art4.html.

Crow, Laster D. dan Alice Crow. 1958. Educational Psychology. New York: American Book Company, Rivesed Edition, hlm. 250.


(2)

Crow, L. D. dan Crow A. 1980. Introduction to Education Fundamental Principles and Modern Practic.New York: American Book Company. Dakir. 1993.Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darminto, Dwi Prastowo & Rifka Julianty. 2002. Analisis Laporan Keuangan: Konsep dan Manfaat. Yogyakarta: AMP-YKPN. Fraser.

Dayakisni, T. & Hudaniah. 2003. Psikologi sosial. Malang: Universitas Muhammadiyah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah.

Dewanto. S. P. 2007. Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis Mahasiswa melalui Belajar Berbasis-Masalah. Disertasi. Bandung: UPI.

Dianawati, Dewi. 2012. Socrates dan Pemikirannya. [Online]. Tersedia: http://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2012/11/socrates_ed.pdf.

Djaali. 2009.Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Dzakir. 1992.Dasar-dasar Psikolog,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dzulfikar, Ahmad. 2013. Studi Literatur: Pembelajaran Kooperatif Dalam Mengatasi Kecemasan Matematika Dan Mengembangkan Self Efficacy

Matematis Siswa. [Online]. Tersedia:

http://eprints.uny.ac.id/10730/1/P%20-%207.pdf.

Endyah, Murniati. 2007. Kesiapan belajar Matematika di Sekolah Dasar. Surabaya: Surabaya In-telektual Club (SIC).

Ennis, R.H. 1985. “Goals for Critical Thinking Curriculum”, In A.L. Costa, Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: Association for Supervisor and Curriculum Development (ASCD).

Ennis, R.H. 1996.A Critical Thinking. New York: Freeman.

Fishbein, M. & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Reading.MA: Addison-Wesley.

Ghufron, M. Nur dan Rini Risnawati S. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.


(3)

Glaser, E. 1941. An Experience in the Development of Critical Thinking. Advanced School ofEducation at Teacher’s College, Columbia University. Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk

Menerapkan Accelarated Learning.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gunawan. 2014. Membangun Komitmen Tinggi. [Online]. Tersedia:

https://guncitorvum.wordpress.com/2014/01/26/bab-8-membangun-komitmen-tinggi/

Haditono, Siti Rahayu. 1998. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Psikologi UGM.

Hamidah. 2014. Pengaruh Self Efficacy Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik. [Online]. Tersedia: http://seminar.uny.ac.id.

Hartono, Jogiyanto, 2007. Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi 5. Yogyakarta: BPFE.

Hidayat, Dede Rahmat. 2011. Psikologi Kepribadian dalam Konseling. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hildayani Rini, dkk . 2008. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka.

Hogg, A., & Vaughan, GM. 2002. Social Psychology (3rd edition). London: Prentice Hall.

Johnson, E.B. 2002. Contextual teaching and learning. California: Corwin Press Inc.

Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama.

Keke T. Aritonang. 2008. Minat dan Motivasi dalam Meningkatkan Hasil Belajar Peserta didik. Jurnal Pendidikan Penabur. No.10, Tahun ke7, Juni 2008. Kowiyah. 2012. Kemampuan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:

http://journal.ppsunj.org/jpd/article/download/108/108.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Kuntjoro, H. Zainuddin Sri. 2002. Komitmen Organisasi. Jakarta. [Online]. Tersedia: http://www.e-psikologi.com/masalah/250702.htm.


(4)

Lopez, S. J., Snyder, C. R., & Pedrotti, J. T. 2003. Hope: Many Definitions, Many Measures.

Mc. Ginnis, A.L. 1995.Kekuatan Optimisme. Jakarta: Mitra Utama.

Miles B. Matthew dan Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Metode-metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Miliyawati, Bety. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematis Siswa SMA dengan menggunakan pendekatan Investigasi.[Online]. Tersedia : http://t_mtk_1007128_chapter5.pdf

Muhibbin Syah. 2003.Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Muhibbin Syah. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nasution. 2003.Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nawawi, H. Hadari. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah

Mada University Perss.

Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: UM Press

Nurhadi. 2005.Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta: Penerbit PT. Grasindo.

Nurjannah, Alfiyah dan Nadi Suprapto. 2014.Pengaruh Penerapan Pembelajaran Socrates Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Fisika pada Materi Hukum Newton. [Online]. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/217751528/Pengaruh-Penerapan-Pembelajaran- Socrates-Terhadap-Keterampilan-Berpikir-Kritis-dalam-Pembelajaran-Fisika-pada-Materi-Hukum-Newton.

Pasaribu, IL., dan Simanjuntak. 1983. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.

Qosyim, Achmad. 2007. Studi Implikasi Socrates dalam Praktek Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press.

Robinson.1997. Manajemen Strategts. Jakarta: Binarupa Aksara.

Ruland, Judith P. 2003. Critical Thinking Standards. University of Central Florida. Faculty Centre.

Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Bandung.


(5)

Sabandar, J. 2008. “Thinking Classroom”dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah. Prosiding 20 Desember 2008.

Salim, Peter dan Yenny Salim. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontenporer, Edisi Ketiga. Jakarta: Moderm English Press.

Setiawan, Ai. 2014. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMA melalui Pembelajaran Kontekstual. [Online]. Tersedia: http://publikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2014/01/Prosiding-15-Januari-2014.pdf

Shapiro, L. E. 1997.Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Shofia F., 2009.Optimisme Masa Depan Narapidana. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Soegiarto, Soekidjan. 2009. Komitmen Organisasi Apakah Sudah Dalam Diri Anda?.Jakarta: Rineka Cipta.

Soetomo. 1993. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Somakim. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. S3 thesis. Universitas Pendidikan

Indonesia. [Online]. Tersedia:

http://repository.upi.edu/8536/6/d_mat_070726_chapter5.pdf. Suardiman. 1984.Bimbingan Orang Tua dan Anak.Yogyakarta : Studing.

Sudrajat, D. 2008. Program Pengembangan Self-Efficacy bagi Konselor di SMA Negeri Se-Kota Bandung. Tesis. Bandung: UPI.

Sugiyanto. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS Surakarta.

Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: CV Alfabeta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.


(6)

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sujanto, Agus. 2001.Psikologi Umum.Jakarta : Bumi Aksara.

Suryabrata, Sumadi, 1988. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syahbana, Ali. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Contextual Teaching And Learning. [Online].

Tersedia:http://online-journal.unja.ac.id/index.php/edumatica/article/download/604/538. Taufani. 2008.Psikologi Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Thompson, J.D. 1967. Organizations in Action, McGraw-Hill, New York, NY. Tidjan.1976.Meningkatkan Minat Membaca. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Victoriana, Evany. 2012. Studi Kasus Mengenai Self-Efficacy Untuk Menguasai Mata Kuliah Psikodiagnostika Umum pada Mahasiswa Magister Profesi Psikologi Di Universitas “X”. [Online]. Tersedia: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20422/4/Chapter%20II.pdf. Walgito, Bimo. 2002.Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi offset. Widyastuti. 2010. Pengaruh Pembelajaran Model Eliciting Activities terhadap

Kemampuan Representasi Matematika dan Self-Efficacy Siswa. Tesis pada SPS UPI: Tidak Diterbitkan.

Winkel. W., 1983.Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia. Yunarti, Tina. 2011. Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan

Disposisi Berpikir Kritis Siswa. Disertasi. Bandung: UPI.

Yusuf, T. dan Anwar, S. 1995.Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. Jakarta: Hidakarya Agung.

Zamroni & Mahfudz .2009. Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembangkan Critical Thinking.Jakarta. Depdiknas.


Dokumen yang terkait

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 17 Bandar Lampung Semester Genap Tahun P

0 16 42

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 7 57

PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran

8 52 122

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 24 67

ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 13 89

ANALISIS SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 27 96

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 10 75

DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 19 81

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA(Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 6 67

ANALISIS DESKRIPTIF SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII-J SMP Negeri 8 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 34 86