DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(1)

DESKRIPSI TENTANG DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh

INDAH DAMAYANTI

Penelitian kualitatif naturalistik ini bertujuan untuk mendeskripsikan disposisi berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran Socrates Kontekstual pada materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII B di SMP Negeri 19 Bandarlampung. Pada penelitian ini terdapat sebelas siswa yang dideskripsikan disposisi berpikir kritisnya, terdiri dari siswa yang memunculkan disposisi berpikir kritis dan yang tidak memunculkan suatu disposisi. Data penelitian diperoleh melalui observasi, teknik skala disposisi berpikir kritis, wawancara dan dokumentasi. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui triangulasi data. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian yang dilakukan dalam pembelajaran Socrates Kontekstual ini menunjukkan bahwa disposisi berpikir kritis matematis siswa hanya muncul pada beberapa siswa dan untuk sebagian besar siswa lainnya memunculkan disposisi yang bukan merupakan disposisi berpikir kritis.


(2)

DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif pada Siswa kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran

2014/2015)

Oleh

Indah Damayanti

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(3)

DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19

Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(Skripsi)

Oleh

Indah Damayanti

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 9

C. Pertanyaan Penelitian ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 10

1. Secara Teoritis ... 10

2. Secara Praktis... 11

II. KAJIAN TEORI A. Disposisi Berpikir Kritis ... 12

B. Metode Socrates... 20

C. Pendekatan Kontekstual... 26

D. Kajian Teori yang Relevan ... 36

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 39

B. Subjek Penelitian ... 40

C. Setting Penelitian ... 41

D. Teknik Pengumpulan Data ... 42

E. Instrumen Penelitian ... 45

F. Uji Coba Instrumen... 47

G. Keabsahan Penelitian ... 50

H. Tahap-tahap Penelitian ... 51

I. Teknik Analisis Data ... 53

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 56


(5)

vii

1. Deskripsi Proses Pembelajaran ... 56

2. Deskripsi Hasil Skala ... 115

B. Pembahasan ... 116

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 141

B. Saran ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 144


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

A. INSTRUMEN PENELITIAN

A.1 Rancangan Perangkat Pembelajaran ... 148

A.2 Kisi-Kisi Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 203

A.3 Rumusan Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 205

A.4 Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 212

A.5 Pedoman Wawancara ... 215

B. SKALA UJI COBA DISPOSISI BERPIKIR KRITIS B.1 Kisi-kisi Skala Disposisi Berpikir Kritis Uji Coba ... 217

B.2 Rumusan Skala Disposisi Berpikir Kritis Uji Coba ... 219

B.3 Skala Disposisi Berpikir Kritis Uji Coba ... 226

B.4 Form Validasi Judgement Expert ... 230

B.5 Uji Validitas Skala Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis ... 235

B.6 Hasil Validitas Skala ... 263

B.7 Uji Realibilitas Skala Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis Uji Coba .. 265

C. ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN C.1 Kode Siswa ... 277

C.2 Catatan Lapangan Hasil Observasi ... 278

C.3 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Kepercayaan Diri ... 312


(7)

vii

C.5 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Pencarian Kebenaran .... 345

C.6 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Berpikiran Terbuka ... 365

C.7 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Rasa Ingin Tahu ... 384

C.8 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Sistematis ... 404

C.9 Data Hasil Skala ... 423

C.10 Perhitungan Posisi Profil Disposisi Berpikir Kritis Siswa ... 425

C.11 Interpretasi Disposisi Berpikir Kritis Siswa ... 432

C.12 Hasil Wawancara ... 434


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pertanyan Socrates dan Contohnya serta Kaitannya

dengan Indikator Disposisi Berpikir Kritis ... 24 Tabel 3.1 Jadwal Belajar Subjek Penelitian ... 41 Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas Skala ... 50


(9)

(10)

(11)

(12)

Moto

Jangan berjuang karena didorong oleh suatu masalah karena ketika masalah

selesai perjuangan akan berakhir. Tetapi berjuanglah karena kau ingin menjadi

pemimpin dalam impianmu, dengan begitu perjuanganmu akan berakhir ketika

kau tidak lagi bermimpi.


(13)

i

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan karya ini

sebagai tanda bakti dan cinta kasihku kepada:

Ibu dan Ayah tercinta. Ibu Rismawati yang senantiasa menanti keberhasilan

anandamu, ucapan terima kasih ini nampaknya terlalu sederhana untuk berbagai

pelajaran yang berarti tentang hidup, kesabaran, dan keikhlasan.

Kakak-kakakku tersayang: Nasrul Rasyid, Aris Kuriawan, dan Hasanah Syafita

Hafinda yang selalu memberikan doa, motivasi dan kasih sayangnya serta menantikan

keberhasilanku.

Nenek Kakekku tersayang yang senatiasa memberikan doa dan dukungan pada setiap

langkahku.

Para Pendidik dengan ketulusan dan kesabarannya dalam mendidik dan membinaku.

Sahabat-sahabat seperjuangan.


(14)

i

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan karya ini

sebagai tanda bakti dan cinta kasihku kepada:

Ibu dan Ayah tercinta. Ibu Rismawati yang senantiasa menanti keberhasilan

anandamu, ucapan terima kasih ini nampaknya terlalu sederhana untuk berbagai

pelajaran yang berarti tentang hidup, kesabaran, dan keikhlasan.

Kakak-kakakku tersayang: Nasrul Rasyid, Aris Kuriawan, dan Hasanah Syafita

Hafinda yang selalu memberikan doa, motivasi dan kasih sayangnya serta menantikan

keberhasilanku.

Nenek Kakekku tersayang yang senatiasa memberikan doa dan dukungan pada setiap

langkahku.

Para Pendidik dengan ketulusan dan kesabarannya dalam mendidik dan membinaku.

Sahabat-sahabat seperjuangan.


(15)

Penulis dilahirkan di Kota Bandarlampung, pada tanggal 22 Februari 1994. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Arli Hasan (ALM) dan Ibu Rismawati.

Pendidikan yang ditempuh penulis berawal dari pendidikan Taman Kanak-kanak Beringin Raya dan meneruskan Sekolah Dasar (SD) yakni SD Negeri 1 Langkapura dan lulus pada tahun 2005. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 4 Bandarlampung dan lulus pada tahun 2008 serta Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni di SMA Negeri 3 Bandarlampung hingga tahun 2011.

Melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) Undangan Universitas Lampung tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakuktas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Selama kuliah, penulis pernah bergabung menjadi anggota Divisi Penelitian dan Pengembangan Himasakta UNILA periode 2011/2012 dan 2012/2013. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Kependidikan Terintegrasi (KKN-KT) di Pekon Sumanda, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung sekaligus melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 2 Punggung tahun 2014.


(16)

SANWACANA

Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan srikpsi yang berjudul “Deskripsi tentang Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa dalam Pembelajaran Socrates Kontekstual (Penelitian Kualitatif di SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu dan Ayahku, Ibu Rismawati tercinta atas semangat, kasih sayang, cucuran keringat, tetesan air mata, dukungan moril maupun materil dan untaian doa yang tidak pernah terhenti mengalir serta Ayah Arli Hasan yang cintanya tetap hidup sampai saat ini, karena kalianlah aku berjuang.

2. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik, sekaligus Dosen Pembimbing Utama yang telah bersedia memberikan waktunya untuk konsultasi akademik serta atas kesediaannya memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, serta saran selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Ibu Widyastusi, S.Pd., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk bimbingan, menyumbangkan banyak


(17)

iii terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika, sekaligus pembahas yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

5. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan PMIPA yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Drs. Muswardi Rosra, M.Pd., selaku expert judgement yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk menyumbangkan banyak ilmu membimbing, serta memberikan validasi skala disposisi berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian.

8. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 9. Ibu Hj. Sri Chairattini E.A., S.Pd., selaku kepala SMP Negeri 19

Bandarlampung yang telah memberikan izin penelitian di SMP Negeri 19 Bandarlampung.

10. Ibu Eka Andawati, S.Pd., MM., dan Ibu Alvy, S.Pd., selaku guru mitra yang telah banyak membantu dalam penelitian.

11. Kakak-kakakku tersayang, Kakek dan Nenek tercinta dan keluarga besarku, yang tak hentinya mendoakan dan memberikan dukungan serta semangat.


(18)

iv

12. Kekasihku Alhadi Pratama Bintang, terima kasih atas semangat dan motivasi yang diberikan dan selalu setia menemaniku selama ini.

13. Sahabat-sahabatku tersayang: Ayu Widyastuti, Harisa Eka Septiarani, Ummu Madinah, dan Gita Augesti atas motivasi, semangat, dan pengertian yang kalian berikan. Semoga persahabatan ini selalu menjadi kenangan yang terindah tanpa batas ruang dan waktu.

14. Sahabat-sahabatku di Pendidikan Matematika angkatan 2011 A dan 2011 B, atas motivasi dan kebersamaan selama ini. Kita satu keluarga dan akan tetap menjadi keluarga sampai kapanpun.

15. Sahabat-sahabat seperjuangan: Desy Rahmawati, Eni Kartika, Dian Maharani, Suci Rohani dan Winda Anggraini, atas motivasi, dukungan, semangat, pengertian dan kekeluargaan yang kalian ciptakan. Satu kalimat untuk kita “Sukses buat kita!”.

16. Sahabat-sahabat perjuangan satu Tim Penelitian Kualitatif maupun Penelitian Kuantitatif: Eni, Agung, Sela, Siti, Florensia, Yulisa, Rosalia, Titi, Iwan, Yusuf dan Agus, atas kerjasama, dukungan, semangat, bantuan serta motivasi yang kalian berikan.

17. Sahabat-sahabat KKN dan PPL SMP Negeri 2 Pugung: Budi, Dea, Rinda, Ami, Wayan, Zai, Janggan, Desi, dan Nivia atas cerita, cita, dan cinta yang kalian berikan.

18. Kakak tingkat dan adik tingkat atas kekeluargaan selama ini.

19. Seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/ 2015, khususnya siswa kelas VII B dan VII E atas perhatian dan kerjasama yang telah terjalin.


(19)

v

Penulis berharap semoga ALLAH SWT membalas kebaikan yang telah mereka berikan. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi dengan sedikit harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandarlampung, Juli 2015 Penulis


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan sangat penting bagi setiap manusia karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 bab 1 ayat 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

“Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan tujuan tersebut, pendidikan tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan tetapi pendidikan juga mampu membentuk watak dan perilaku seseorang menjadi lebih baik. Dengan demikian, setiap orang harus menempuh pendidikan karena pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Demi tercapainya tujuan pendidikan nasional, dibutuhkan suatu pembelajaran. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran yang


(21)

dimaksud adalah pembelajaran yang dapat mengubah tingkah laku dan pola pikir peserta didik ke arah yang lebih baik. Semakin baik proses pembelajaran yang dilakukan, semakin baik pula hasil yang didapatkan, demikian juga untuk pembelajaran dalam matematika.

Matematika merupakan salah satu bidang studi dalam sistem pendidikan nasional. Matematika memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut didukung dalam laporan National Research Council (Hartoyo, 2013:1) yang menyebutkan bahwa “Mathematics is the key to opportunity” yang artinya matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Siswa yang berhasil mempelajarinya mendapatkan alat bantu untuk membuka pintu karir yang cemerlang, menunjang dalam pengambilan keputusan yang tepat, dan menjadi pengetahuan pendukung untuk mempersiapkan dirinya dalam bersaing di bidang teknologi maupun ekonomi. Selain itu, Suherman (2001:29) menyebutkan bahwa matematika memiliki kedudukan sebagai ratunya ilmu pengetahuan dan sebagai suatu ilmu yang berfungsi untuk melayani ilmu pengetahuan. Artinya, matematika tidak hanya berperan dalam bidang matematika tetapi juga pada bidang lain. Oleh karena itu, matematika dijadikan sebagai ilmu yang harus dipelajari setiap siswa dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga tingkat sekolah menengah (SMP, SMA atau SMK) bahkan sampai tingkat perguruan tinggi.

Selain bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, matematika memiliki peranan penting untuk mengembangkan karakter cerdas peserta didik karena matematika berkaitan dengan pengembangan berpikir kritis. Pernyataan tersebut didukung


(22)

3 oleh Suherman (2003:58) yang mengatakan bahwa:

“Salah satu tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien.”

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Hanifah, 2013:5) juga menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk mencapai kompetensi matematika, diantaranya adalah kemampuan berpikir kritis. Hal ini menggambarkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika.

Berpikir kritis menurut Gunawan (2003:177-178) adalah kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Menurut Gunawan, dalam berpikir kritis siswa mampu memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan dan membuat keputusan dalam pembelajaran. Berpikir kritis juga melibatkan keahlian berpikir induktif seperti mengenali hubungan, menganalisis masalah yang bersifat terbuka, menentukan sebab dan akibat, dan memperhitungkan data yang relevan dalam matematika. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis dalam matematika perlu dikembangkan karena dapat dijadikan sebagai tolok ukur sejauh mana siswa memahami materi matematika yang didapatkan.

Dalam berpikir kritis tidak hanya terdiri dari unsur kemampuan (kognitif) saja, tetapi sikap untuk berpikir kritis juga harus diperhatikan. Menurut Ennis (Tahang, 2014:5) dalam Goals for a Critical Thinking Curiculum, berpikir kritis meliputi disposisi (disposition) dan kemampuan (ability). Disposisi berpikir kritis adalah


(23)

kecenderungan seseorang untuk bersikap dalam berpikir kritis. Disposisi merupakan hal yang tampak dan melekat pada diri seseorang, sehingga dapat dengan mudah dideskripsikan, dievaluasi, dan dibandingkan oleh dirinya sendiri dan orang lain. Sedangkan, siswa yang memiliki kemampuan yang baik terlihat dari hasil pekerjaannya yang cenderung selalu baik. Disposisi merupakan salah satu faktor penunjang seseorang untuk memiliki kemampuan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Triandis (Tahang, 2014: 6) bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan perbuatan yang dipengaruhi oleh disposisi berpikir kritis dan sejumlah faktor pendukung lainnya.

Disposisi berpikir kritis siswa berpengaruh pada kemampuan berpikir kritisnya karena semakin baik disposisi berpikir kritis siswa akan semakin baik pula kemampuan berpikir kritisnya. Facione (Yunarti, 2011:9) menjelaskan bahwa disposisi berpikir kritis merupakan sikap dasar dari motivasi internal untuk berpikir kritis. Kecenderungan siswa untuk berpikir kritis akan memacunya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini mengakibatkan disposisi berpikir kritis mampu menunjang keberhasilan siswa dalam belajar. Oleh karena itu, pengembangan disposisi berpikir kritis siswa merupakan hal yang sangat penting, salah satunya disposisi berpikir kirtis siswa dalam pembelajaran matematika.

Kenyataan di lapangan disposisi berpikir kritis matematis siswa masih kurang berkembang dan masih perlu mendapatkan perhatian. Wawancara terhadap guru mitra bidang studi matematika di SMP Negeri 19 Bandarlampung mempertegas


(24)

5 kenyataan tersebut bahwa masih banyak siswa yang kurang memiliki kemauan untuk memiliki rasa ingin tahu untuk berpikir pada level yang lebih kompleks, kurang adanya kepercayaan diri terhadap proses inkuiri dalam menganalisis suatu persoalan, serta kurang memiliki minat untuk mencari kebenaran pada persoalan-persoalan yang bersifat kritis.

Disposisi berpikir kritis matematis siswa yang kurang berkembang dengan baik disebabkan umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih didominasi oleh pembelajaran yang menggunakan metode ceramah. Pembelajaran yang demikian kurang memberikan kesempatan siswa untuk mengontruksi sendiri pengetahuan mereka dan menyelesaikan persoalan matematika secara mandiri. Hal ini juga terjadi di SMP Negeri 19 Bandarlampung, khususnya di kelas VII B. Sudah ada beberapa siswa di kelas VII B SMP Negeri 19 Bandarlampung yang memiliki disposisi berpikir kritis yang baik, dilihat dari keinginan mereka untuk berusaha mencari kebenaran suatu persoalan yang bersifat kritis, memiliki rasa ingin tahu untuk memaknai suatu pernyataan dan persoalan, serta rasa percaya diri yang cukup tinggi dalam menganalisis suatu pernyataan dengan percaya pada proses inkiuri dan pendapat yang diyakininya benar yang ditunjukkan dengan mengerjakan persoalan matematika yang bersifat kritis ke depan kelas dan menjawab atau menanggapi pertanyaan serta pernyataan kritis yang guru berikan. Akan tetapi, tidak sedikit juga siswa yang bermalas-malasan untuk menunjukkan sikap berpikir kritisnya (disposisi berpikir kritis), dengan alasan mereka bosan jika pembelajaran hanya mendengarkan guru berbicara. Padahal disposisi berpikir kritis matematis merupakan hal yang penting dalam pembelajaran matematika.


(25)

Pembelajaran matematika seharusnya dapat memacu siswa untuk dapat menunjukkan disposisi berpikir kritis matematisnya. Dengan demikian, diperlukan strategi pembelajaran yang tepat agar disposisi berpikir kritis siswa dapat berkembang dengan optimal. Strategi pembelajaran yang tepat salah satunya dapat tercipta jika guru mampu menerapkan aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan materi yang hendak disampaikan. Salah satu materi matematika di kelas VII SMP semester genap adalah Persamaan Linier Satu Variabel. Karakteristiknya yang abstrak membuat banyak guru kebingungan untuk merancang proses pembelajarannya. Oleh karena itu, tidak jarang guru menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran materi ini. Akan tetapi, jika pembelajaran dilakukan secara ceramah, siswa akan cenderung bermalas-malasan untuk menunjukkan sikap berpikir kritisnya sesuai dengan yang disebutkan sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, penerapan pembelajaran yang dapat memberikan umpan untuk memancing siswa dalam mengembangkan pola berpikir kritis sangat diharapkan.

Salah satu pembelajaran yang dapat diberikan untuk memancing siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis yaitu melalui pertanyaan-pertanyaan atau masalah, dimulai dari pertanyaan yang sederhana hingga pertanyaan yang kompleks agar siswa merasa lebih tertantang dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran secara aktif dan lebih tertantang untuk berpikir kritis. Hal tersebut dipertegas oleh para pemikir dari The Critical Thinking Community (2013: 524) yang menyatakan bahwa ”Thinking is not driven by answers but by questions”, seseorang akan berpikir dan menentukan sikap jika dihadapkan oleh suatu pertanyaan. Dengan demikian, agar dapat berpikir dan menentukan sikapnya, seseorang harus dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mampu merangsang pemikirannya.


(26)

7 Yunarti (2011: 14) mengatakan salah satu metode pembelajaran yang memuat pertanyaan-pertanyaan kritis adalah metode Socrates. Metode ini berisi pengajaran-pengajaran Socrates (469-399 SM) yang merupakan filsuf dari Athena, Yunani dan menjadi salah satu figur filsuf Barat yang paling penting. Pada metode Socrates banyak dialog yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk memandu siswa dalam berpikir dan mengambil kesimpulan. Pertanyaan yang diajukan dalam metode Socrates membimbing siswa untuk mengonstruksi pengetahuannya berdasarkan dialog yang terjadi. Urutan pertanyaannya terstruktur sehingga penanaman konsep kepada siswa pun lebih terarah.

Pertanyaan-pertanyaan Socrates juga mampu mengembangkan disposisi berpikir kritis siswa. Sebagai contoh, melalui pertanyaan Socrates tipe alasan-alasan dan bukti penyelidikan berikut ini, “Mengapa anda bisa yakin bahwa yang dijelaskan oleh teman anda benar?” Saat siswa berusaha menjelaskan jawaban dari pertanyaan tersebut, saat itu pula siswa berusaha untuk mencari kebenaran (sikap untuk selalu mendapatkan kebenaran), berpikiran terbuka (sikap untuk bersedia mendengar atau menerima pendapat orang lain), sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir), analitis (sikap untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi serta berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian), serta percaya diri dalam berpikir kritis (sikap percaya diri terhadap proses inkuiri dan pendapat yang diyakini benar).

Meskipun melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates siswa mampu menunjukkan disposisi berpikir kritisnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa pertanyaan


(27)

Socrates yang bersifat terus menerus hingga siswa menemukan validitas kebenaran dari suatu objek, dapat membuat siswa merasa takut dan bosan. Seperti yang dikatakan oleh Lammendola (Baharun, 2014 : 5), yaitu salah satu kelemahan metode Socrates adalah “creates a fear-ful learning environment” yang berarti bahwa metode Socrates dapat menciptakan lingkungan belajar yang menakutkan.

Oleh karena itu, pembelajaran dengan menggunakan metode Socrates digabungkan dengan suatu pendekatan lain agar mampu menutupi kekurangan yang ada pada metode Socrates. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan Kontekstual. Depdiknas (2002:5) menyatakan:

“pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen, yakni: (1) kontruktivisme (Constuctivism), (2) bertanya (Questioning), (3) menemukan (Inquiri), (4) masyarakat belajar (Learning Community), (5) permodelan (Modeling), (6) Refleksi (Reflection), (7) penilaian sebenarnya(Authentic Assessment)”.

Dengan pendekatan ini pembelajaran dikaitkan dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih menyenangkan. Melalui pendekatan Kontekstual ini juga matematika yang bersifat abstrak lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa. Pendekatan Kontekstual memberikan suatu lingkungan pembelajaran yang menuntut siswa untuk mengontruksi dan menemukan berbagai informasi yang berasal dari kehidupannya sehari-hari. Lingkungan pembelajaran yang demikian menuntut siswa untuk memiliki rasa ingin tahu, mencari kebenaran, berpikiran terbuka, sistematis, analitis, serta percaya diri dalam berpikir kritis.


(28)

9 Pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual ini, guru bertugas untuk memfasilitasi siswa menemukan sesuatu yang baru, sehingga siswa tidak lagi hanya mendengarkan guru berbicara menjelaskan materi. Hal ini mengakibatkan siswa lebih memiliki rasa ingin tahu untuk berpikir, berusaha mencari kebenaran yang berasal dari pengalamanan dan pengetahuan yang ia miliki, tekun dalam berpikir karena siswa benar-benar diberi kesempatan untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan mereka, serta bersikap analitis karena siswa akan tetap fokus pada permasalahan yang sering mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendekatan Kontekstual ini tentu berpotensi untuk mendorong siswa mengembangkan disposisi berpikir kritisnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka pembelajaran yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendalam untuk menggali pengetahuan siswa dan digabungkan dengan pembelajaran yang menghubungkan keadaan nyata mampu menunjang disposisi berpikir kritis siswa. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mendeskripsikan disposisi berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran Socrates Kontekstual.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada disposisi berpikir kritis siswa. Disposisi berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kecenderungan sikap seseorang dalam kegiatan berpikir kritis yang ditandai oleh indikator-indikator sebagai berikut:

1. Pencarian kebenaran (sikap untuk selalu mendapatkan kebenaran).

2. Berpikiran terbuka (sikap untuk bersedia mendengar atau menerima pendapat orang lain).


(29)

3. Sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir).

4. Analitis (sikap untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi serta berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian).

5. Kepercayaan diri dalam berpikir kritis (sikap percaya diri terhadap proses inkuiri dan pendapat yang diyakini benar).

6. Rasa ingin tahu (sikap yang menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang).

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana disposisi berpikir kritis matematis siswa selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan pembelajaran Socrates Kontekstual pada materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel di SMP Negeri 19 Bandarlampung?”

D. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini yaitu, untuk mendeskripsikan disposisi berpikir kritis matematis siswa selama proses pembelajaran Socrates Kontekstual berlangsung pada materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel di SMP Negeri 19 Bandarlampung.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut, 1. Secara teoritis


(30)

11 acuan dalam melaksanakan profesinya, khususnya pada bidang studi Pendidikan Matematika.

2. Secara praktis

Penelitian ini memiliki tujuan yang penulis klasifikasikan sebagai berikut: a. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan masukan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian lain, khususnya bagi peneliti yang hendak meneliti berkaitan sikap siswa.

b. Bagi almamater

Dapat dijadikan sebagai bahan kajian guna menambah khasanah keilmuan khususnya bagi mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang nantinya akan terjun sebagai tenaga-tenaga pendidik.

c. Bagi sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi guru–guru di SMP Negeri 19 Bandarlampung, sehingga dapat meningkatkan kualitas mengajar para guru.

d. Bagi masyarakat

Dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi pengembangan keilmuan yang diharapkan dapat diambil manfaatnya oleh pembaca serta referensi untuk penelitian selanjutnya.


(31)

II. KAJIAN TEORI

A. Disposisi Berpikir Kritis

Menurut Karlimah (2010:10) belajar matematika tidak hanya sebatas mengembangkan ranah kognitif semata. Akan tetapi, kecenderungan untuk memiliki rasa ingin tahu, ulet, percaya diri, melakukan refleksi atas cara berpikir seorang anak didik dalam menyelesaikan masalah matematis juga perlu dikembangkan dalam matematika. Sikap-sikap tersebut dinamakan dengan disposisi. Ada beberapa pengertian dari disposisi itu sendiri, diantaranya yaitu menurut Ritchhart (Herlina, 2013: 174) yang mendefinisikan disposisi sebagai “perkawinan” antara kesadaran, motivasi, inklinasi, dan kemampuan atau pengetahuan yang diamati. Sementara itu, Gavriel Salomon (Yunarti, 2011:36) mendefinisikan disposisi sebagai kumpulan sikap-sikap pilihan dengan kemampuan yang memungkinkan sikap-sikap pilihan tadi muncul dengan cara tertentu. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa disposisi merupakan kecenderungan seseorang untuk bersikap yang memungkinkan sikap terebut muncul dengan cara tertentu. Kecenderungan-kecenderungan tersebut membentuk pola perilaku dan karakter seseorang yang melekat dengan sendirinya secara alami.

Disposisi yang berkaitan dengan pola pikir seseorang disebut juga dengan disposisi berpikir. Hal tersebut sesuai dengan Tishman et al. (Herlina, 2013:174)


(32)

13 yang mendefinisikan disposisi berpikir sebagai kecenderungan perilaku intelektual dalam upaya mengidentifikasi sifat dari pola pikir. Terdapat bermacam-macam bentuk berpikir salah satunya adalah berpikir kritis. Banyak definisi dari berpikir kritis yang ditimbulkan dari studi-studi tentang berpikir kritis itu sendiri. Menurut Ennis (Hassoubah, 2007: 87) berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Sementara itu, Glazer (2001:13) berpendapat bahwa,“critical thinking in mathematics is the ability and disposition to incorporate prior knowledge, mathematical reasoning, and cognitive strategies to generalize, prove, or evaluate unfamiliar mathematical situations in a reflective manner”. Artinya berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan dan disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan atau mengevaluasi situasi matematis yang kurang dikenal dalam cara yang reflektif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan dan disposisi seseorang untuk menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk menalar secara matematis dan strategi kognitif untuk mengambil suatu keputusan. Dalam penelitian ini, berpikir kritis yang dimaksud adalah menurut Yunarti (2011:23), yaitu kemampuan untuk menginterpretasi, menganalisis dan mengevaluasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, berpikir kritis berbeda dengan mengakumulasikan informasi. Seseorang dengan daya ingat baik dan memiliki banyak pengetahuan bukan berarti orang tersebut dapat langsung dikatakan sebagai pemikir kritis.


(33)

Akan tetapi, seseorang pemikir kritis memiliki kemampuan untuk menyimpulkan apa yang diketahuinya, mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk memecahkan masalah, dan mencari sumber-sumber informasi yang relevan untuk dirinya. Kemampuan-kemampuan tersebut biasanya terlihat melalui suatu sikap. Sikap yang dilakukan berdasarkan kemampuan dari pemikiran itulah yang akan memunculkan disposisi siswa. Disposisi dalam berpikir kritis itulah yang dinamakan dengan disposisi berpikir kritis.

Sebagai pemikir kritis yang handal, seharusnya seseorang tidak hanya baik dalam hal kognitif saja. Hal tersebut menekankan bahwa disposisi seseorang untuk berpikir kritis merupakan salah satu komponen penting dalam berpikir kritis. Hal ini dipertegas oleh Pratama (2012:8) yang menjelaskan bahwa tanpa kecenderungan berpikir kritis, seseorang dapat memilih berhenti pada keadaan telah mampu berpikir kritis. Kecenderungan seseorang untuk berpikir kritis menjadi pembeda antara seorang yang hanya memiliki keterampilan kognitif untuk berpikir kritis dengan seorang yang memiliki kompetensi dalam berpikir kritis. Dengan demikian, disposisi membuat seseorang pemikir kritis memiliki dorongan untuk mengeksplorasi kemampuan berpikir kritisnya dalam kehidupannya sehari-hari.

Disposisi berpikir kritis memegang peranan yang penting bagi seseorang dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Menurut Cottrell (Yunarti, 2011: 38) pemikiran seseorang akan sulit akurat jika kondisi afektifnya kurang baik. Sikap atau disposisi yang kurang baik akan memengaruhi kemampuan-kemampuan untuk mengamati dan menganalisis dengan cermat yang


(34)

15 mengakibatkan keputusan-keputusan yang diambil akan kurang tepat. Pratama (2012:12) mengatakan bahwa diposisi berpikir kritis dideskripsikan sebagai semangat kekritisan atau kecenderungan untuk berpikir kritis yang memiliki karakteristik keingintahuan mendalam, ketajaman pemikiran, ketekunan mengembangkan akal, kebutuhan atas informasi yang dapat dipercaya. Selain itu, Facione and Giancarlo (Connie, 2006:1) mengatakan bahwa “critical thinking

dispositions as a person’s internal motivation to think critically when faced with problems to solve, ideas to evaluate, or decisions to make”, yang berarti bahwa disposisi berpikir kritis sebagai suatu motivasi internal seseorang untuk berpikir kritis ketika menghadapi pemecahan suatu masalah, mengevaluasi suatu ide, atau membuat keputusan. Berdasarkan pemaparan di atas, disposisi berpikir kritis merupakan kecenderungan seseorang untuk berpikir kritis yang memiliki karakteristik keingintahuan mendalam, ketajaman pemikiran, ketekunan mengembangkan akal, kebutuhan atas informasi yang dapat dipercaya ketika menghadapi pemecahan suatu masalah, mengevaluasi suatu ide dan pembuatan suatu keputusan.

Matematis berkaitan dengan matematika. Dengan demikian, dapat disimpulkan disposisi berpikir kritis matematis dalam penelitian ini diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk berpikir kritis yang memiliki karakteristik keingintahuan mendalam, ketajaman pemikiran, ketekunan mengembangkan akal, kebutuhan atas informasi yang dapat dipercaya ketika menghadapi pemecahan suatu masalah, mengevaluasi suatu ide dan pembuatan suatu keputusan pada pembelajaran dalam matematika.


(35)

Terdapat beberapa studi berhubungan dengan indikator disposisi berpikir kritis yang dirangkum oleh Maulana (2013:3), yaitu sebagai berikut.

1. Pencarian kebenaran, dengan menunjukkan fleksibilitas dalam mempertimbangkan beragam alternatif dan pendapat.

2. Keterbukaan pikiran, yang menunjukkan pemahaman dan rasa menghargai pendapat orang lain.

3. Analitis, dengan ditunjukkan dengan tekun mengerjakan suatu permasalahan saat menghadapi kesulitan.

4. Sistematis, dengan menunjukkan sikap rajin/tekun dalam melakukan pencarian informasi yang relevan.

5. Kepercayaan diri, yang mengacu pada rasa percaya diri siswa kemampuannya sendiri untuk memberikan alasan/penalaran.

6. Rasa ingin tahu, dengan menunjukkan bagaimana siswa yang bersangkutan memiliki perhatian untuk terus peka terhadap informasi (well-informed). 7. Kedewasaan, dengan menunjukkan kehati-hatian dalam membuat atau

mengubah keputusan.

Pada penelitian ini, tidak menyertakan indikator kedewasaan sebagai fokus penelitian. Hal ini disebabkan menurut Ricketts (Yunarti, 2011:30) kemampuan berpikir kritis siswa memiliki hubungan yang lemah dengan salah satu indikator disposisi berpikir kritis, yaitu kedewasaan dalam pengambilan keputusan. Menurut Ricketts rendahnya hubungan tersebut diduga karena rendahnya level pencapaian yang menggunakan penilaian dikotomi. Penelitian Ricketts tersebut,


(36)

17 menjadi alasan tidak digunakannya indikator kedewasaan sebagai fokus penelitian mengingat kondisi psikis siswa yang menjadi subyek penelitian masih labil dan belum sepenuhnya dewasa dalam pengambilan keputusan.

Indikator disposisi berpikir kritis yang digunakan pada penelitian ini adalah indikator yang diadopsi dari penelitian Yunarti (2011:25). Indikator tersebut antara lain:

1. Pencarian kebenaran (sikap untuk selalu mendapatkan kebenaran).

Adapun ciri-ciri indikator pencarian kebenaran dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Mencoba mencari alternatif-alternatif lain.

b. Mampu bersikap jujur terhadap pernyataan atau sikap atau pikiran orang lain yang keliru.

c. Bersedia memperbaiki dan merevisi pendapat pribadi yang keliru dan yang telah direfleksikan secara jujur oleh orang lain.

d. Bersikap adil dalam menanggapi semua penalaran.

e. Selalu berusaha mendapatkan dan memberikan informasi yang benar.

2. Berpikiran terbuka (sikap untuk bersedia mendengar atau menerima pendapat orang lain).

Meskipun definisi berpikiran terbuka dalam penelitian ini adalah bersedia mendengar atau menerima pendapat orang lain. Akan tetapi, seorang pemikir kritis tidak akan dengan mudah menerima pendapat seseorang jika tidak didukung oleh berbagai bukti dan argumen yang masuk akal dan ilmu


(37)

pengetahuan. Artinya, seseorang yang mampu berpikiran terbuka dengan baik berarti orang tersebut mampu membedakan segala ide, pandangan, data, teori, dan kesimpulan diantara dua pilihan suatu kebenaran yaitu benar atau salah. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka ciri-ciri berpikiran terbuka dalam penelitian ini, yaitu:

a. Memahami pendapat orang lain.

b. Fleksibel dalam mempertimbangkan pendapat orang lain.

c. Bersedia mengambil atau merubah posisi jika alasan atau bukti sudah cukup kuat untuk itu.

d. Peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, tingkat kesulitan yang dihadapi orang lain.

3. Sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir).

Hendrawati (2012:26) berpendapat bahwa berpikir secara sistematik (sistematic thinking)berarti memikirkan segala sesuatu berdasarkan kerangka metode tertentu dan terdapat urutan serta proses pengambilan keputusan. Adapun ciri-ciri sistematis dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Rajin dalam mencari informasi atau alasan yang relevan. b. Jelas dalam bertanya.

c. Tertib dalam bekerja.

4. Analitis (sikap untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi serta berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian).

Berpikir analitis sendiri menurut Spencer (Dina, 2012:11) merupakan keterampilan berpikir yang menggunakan tahapan dan langkah-langkah logis,


(38)

19 yang melibatkan keterampilan memahami situasi dengan cara memecah situasi-situasi tersebut menjadi bagian-bagian. Adapun ciri-ciri analitis pada penelitian ini, yaitu:

a. Ketekunan dalam berpikir meskipun banyak kesulitan yang dihadapi. b. Mencari pernyataan yang jelas dari suatu kesimpulan atau pertanyaan. c. Mencari alasan-alasan yang bersesuaian.

d. Memilih dan menggunakan kriteria dengan alasan yang tepat.

5. Kepercayaan diri dalam berpikir kritis (sikap percaya diri terhadap proses inkuiri dan pendapat yang diyakini benar).

Menurut Lauster (2002:4) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Adapun ciri-ciri analitis pada penelitian ini, yaitu:

a. Menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya. b. Percaya diri pada proses inkuiri yang diyakini benar. c. Percaya diri pada penalaran orang lain yang diyakini benar.

6. Rasa ingin tahu (sikap yang menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang).

Menurut Yesildere dan Turnuklu (Maulana, 2013:6), rasa ingin tahu mencerminkan disposisi seseorang untuk memperoleh informasi dan belajar


(39)

hal-hal baru dengan harapan untuk mendapatkan manfaat. Adapun ciri-ciri rasa ingin tahu pada penelitian ini, yaitu:

a. Mencoba menggunakan hasil berpikir orang lain.

b. Menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang.

B. Metode Socrates

Menurut Maxwell (2008), sekitar 2400 tahun yang lalu, Socrates sudah memulai dengan mengajar siswa-siswanya melalui pertanyaan-pertanyaan, dialog, dan debat untuk menemukan berbagai definisi filosofi seperti kebahagiaan, keadilan, kebajikan, dan lain-lain. Percakapan-percakapan yang dilakukan Socrates dengan siswa-siswanya tersebut dicatat oleh Plato, salah seorang siswa kesayangan Socrates, dan diterbitkan dalam bukuGorgias, Euthyphro,Apology, danRepublic.

Maxwell (2008) mengatakan bahwa metode yang diajarkan Socrates disebut metode Socrates karena untuk mengabadikan nama penciptanya yaitu filsuf asal Yunani yang bernama Socrates (469-399 BC). Metode Socrates adalah prosedur pengajaran lama yang mempunyai sejarah dan prestise panjang pada zaman Yunani awal. Subjek percakapan Socrates sering berkisar tentang ide-ide seperti, keadilan, kebajikan, keindahan, keberanian, kesederhanaan, dan persahabatan. Pencarian definisi berfokus pada sifat sebenarnya dari subjek melalui pertanyaan, bukan hanya tentang bagaimana kata itu digunakan dengan benar dalam sebuah kalimat.


(40)

21 Gaya percakapan Socrates sendiri melibatkan penolakan terhadap pengetahuan (Socratic irony). Dalam percakapan tersebut, Socrates menjadi siswa dan membuat lawan bicaranya sebagai guru. Socrates menolak setiap upaya untuk lulus dari ide-ide orang lain sebagai kebenaran. Socrates tidak tertarik pada pembicaraan orang lain. Dia hanya akan fokus pada seseorang yang berpikir sendiri. Melalui proses menjawab pertanyaan Socrates itulah, mereka mengalami pemikiran asli mereka sendiri dalam konteks memeriksa ide-ide mereka sendiri dan diri mereka sendiri.

Maxwell (2008) mendefinisikan Metode Socrates sebagai “…a process of inductive questioning used to successfully lead a person to knowledge through small stepyang artinya metode Socrates sebagai suatu proses dari pertanyaan-pertanyaan induktif yang sukses memimpin seseorang untuk mendapati pengetahuannya melalui langkah-langkah kecil. Sementara itu, Hatta (Pahlevi, 2014:7) menyatakan bahwa Metode Socrates merupakan suatu metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara percakapan atau perdebatan dengan melibatkan dua orang atau lebih, saling berdiskusi, dan dihadapkan dengan suatu deretan pertanyaan-pertanyaan, sedimikan sehingga siswa mampu menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit.

Selain itu, Yunarti (2011:47) menarik suatu gambaran mengenai Metode Socrates, sebagai berikut:

1. Metode Socrates merupakan sebuah metode yang memuat dialog atau diskusi yang dipimpin oleh guru. Pentingnya guru dalam memimpin dialog atau diskusi ini karena hanya gurulah yang tahu tujuan pembelajaran yang akan dicapai.


(41)

2. Metode Socrates memuat pertanyaan-pertanyaan induktif, dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana sampai kompleks, yang digunakan untuk menguji validitas keyakinan siswa terhadap suatu objek.

3. Metode Socrates merupakan metode yang konstruktif bagi siswa.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa metode Socrates adalah suatu metode pembelajaran yang disajikan guru yang memuat pertanyaan-pertanyaan induktif, dari yang sederhana hingga kompleks, dan dari pertanyaaan-pertanyaan tersebut diharapkan agar siswa dapat menggali sendiri pemahamannya dan untuk menguji validitas keyakinan siswa terhadap suatu objek.

Metode Socrates merupakan salah satu metode yang tergolong dalam model pembelajaran discovery (penemuan). Hal ini disebabkan karakter pertanyaan-pertanyaan Socrates melatih siswa untuk mampu memperjelas ide-ide mereka sendiri dan dapat mendefinisikan konsep-konsep yang mereka maksud dengan mendetail. Menurut Johwnson, D. W. & Johnson, R. T, (Nurjannah dkk, 2014) metode Socrates diajarkan dengan cara bertanya jawab untuk membimbing dan memperdalam tingkat pemahaman yang berkaitan dengan materi yang diajarkan sehingga anak didik mendapatkan pemikirannya sendiri dari hasil konflik kognitif yang terpecahkan. Pembelajaran dengan metode Socrates menuntut pembelajar berpikir kritis dan hasil akhirnya juga bersikap kritis. Metode ini juga menekankan dialog-dialog pemikiran sebagai usaha mengungkapkan sesuatu objek pembahasan menuju pada hakikat terdalamnya.

Proses pembelajaran yang menerapkan metode Socrates adalah pembelajaran dibangun dengan memberikan serangkaian pertanyaan yang tujuannya


(42)

23 mengetahui sesuatu isi yang berkaitan dengan materi tertentu. Secara umum pelaksanaan pembelajaran terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Menurut Qosyim (2007: 15) terdapat enam tahapan prosedural metode Socrates yaitu: (1) menentukan topik materi pokok bahasan apa yang akan dipelajari, (2) mengembangkan dua atau tiga pertanyaaan umum dan memulai pelaksanaan tanya jawab, (3) melihat atau mengobservasi apakah pada diri siswa ada kemungkinan terjadi ketidakcocokan, pertentangan, atau konflik kognitif, (4) menanyakan kembali tentang hal-hal yang menimbulkan konflik kognitif, (5) melanjutkan tanya jawab sehingga siswa dapat memecahkan konflik sampai bergerak ke tingkat analisis lebih dalam, dan (6) menyimpulkan hasil tanya jawab dengan menunjukkan hal-hal penting yang seharusnya diperoleh siswa.

Seluruh percakapan dalam metode Socrates merupakan percakapan yang bersifat membangun pengetahuan siswa. Dalam Permalink (Yunarti, 2011: 54-55), Richard Paul telah menyusun enam jenis pertanyaan Socrates. Keenam jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, dan pertanyaan tentang pertanyaan. Jenis-jenis pertanyaan Socrates, contoh-contoh pertanyaan, serta kaitannya dengan indikator disposisi berpikir kritis dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.


(43)

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pertanyaan Socrates dan Contoh Pertanyaannya serta Kaitannya dengan Indikator Disposisi Berpikir Kritis

No Tipe Pertanyaan Contoh Pertanyaan

Kaitannya dengan Indikator Disposisi Berpikir Kritis

1. Klarifikasi Apa yang anda maksud dengan ….?

Dapatkah anda mengambil cara lain?

Dapatkah anda

memberikan saya sebuah contoh?

Pencarian Kebenaran, Analitis, Sistematis, Rasa Ingin Tahu, Kepercayaan Diri

2. Asumsi-asumsi Penyelidikan Apa yang anda asumsikan? Bagaimana anda bisa memilih asumsi-asumsi itu?

Pencarian Kebenaran, Analitis, Sistematis, Rasa Ingin Tahu, Kepercayaan Diri

3. Alasan-alasan dan bukti Penyelidikan

Bagaimana anda bisa tahu? Mengapa anda berpikir bahwa itu benar?

Apa yang dapat mengubah pemikiran anda?

Pencarian Kebenaran, Analitis, Sistematis, Rasa Ingin Tahu, Kepercayaan Diri, Bepikiran Terbuka 4. Titik pandang dan persepsi Apa yang anda bayangkan

dengan hal tersebut? Efek apa yang dapat diperoleh?

Apa alternatifnya?

Pencarian Kebenaran, Analitis, Sistematis, Rasa Ingin Tahu, Kepercayaan Diri

5. Implikasi dan Konsekuensi Penyelidikan

Bagaimana kita dapat menemukannya? Apa isu pentingnya? Generalisasi apa yang dapat kita buat?

Pencarian Kebenaran, Analitis, Sistematis, Rasa Ingin Tahu, Kepercayaan Diri

6. Pertanyaan tentang pertanyaan Apa maksudnya? Apa yang menjadi poin dari pertanyaan ini? Mengapa anda berpikir saya bisa menjawab pertanyaan ini?

Pencarian Kebenaran, Analitis, Sistematis, Rasa Ingin Tahu, Kepercayaan Diri, Berpikiran Terbuka

(Diadaptasi dari Yunarti, 2011)

Berdasarkan contoh-contoh pertanyaan di atas, terlihat bahwa contoh-contoh pertanyaan tersebut sama seperti pertanyaan-pertanyaan yang sering diujarkan oleh guru pada metode tanya jawab biasa dalam suatu pembelajaran. Akan tetapi, menurut Jones, Bagford dan Walen (Yunarti, 2011: 50-51) terdapat dua hal pokok yang membedakan Metode Socrates dengan metode tanya-jawab lainnya. Pertama, Metode Socrates dibangun di atas asumsi bahwa pengetahuan sudah


(44)

25 berada dalam diri siswa dan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang tepat dapat menyebabkan pengetahuan tersebut muncul ke permukaan. Hal ini menunjukkan, bahwa sebenarnya siswa sudah memiliki pengetahuan yang dimaksud hanya saja belum menyadarinya. Gurulah yang bertugas sebagai fasilitator dan motivator untuk menarik keluar pengetahuan tersebut agar dapat dirasakan keberadaannya oleh siswa. Sebagai contoh, ketika guru hendak menjelaskan pengertian tentang persamaan linier satu variabel, sebaiknya guru memberikan banyak eksperimen dan pertanyaan yang dapat membantu siswa mengonstruksi pengertian dari persamaan linier satu variabel secara mandiri. Kedua, pertanyaan-pertanyaan dalam Metode Socrates digunakan untuk menguji validitas keyakinan siswa mengenai suatu objek secara mendalam. Hal ini menunjukkan jawaban yang diberikan siswa harus dipertanyakan lagi sehingga siswa yakin bahwa jawabannya benar atau salah. Guru tidak boleh berhenti bertanya sebelum yakin bahwa jawaban siswa sudah tervalidasi dengan baik.

Pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang diberikan contohnya adalah: Apakah anda yakin bahwa jawabannya seperti itu?

Apa yang membuat anda yakin ?

Bagaimana jika ……?

Apa yang membuat anda merubah pikiran anda?

Dengan demikian, apakah anda masih yakin dengan jawaban pertama yang anda sebutkan tadi?

Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan Socrates seperti yang telah disebutkan di atas, siswa dituntut untuk mampu menggali pemahamannya sendiri dan mampu menganalisis jawabannya sendiri sampai ia bertemu pada kesimpulan


(45)

benar atau tidak jawabannya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan Socrates yang kritis mampu mengeksplorasi kemampuan berpikir kritis siswa untuk mendapatkan kebenaran suatu objek. Hal tersebut pasti berdampak pada pengembangan disposisi berpikir kritisnya juga, karena disposisi merupakan sikap dasar dari motivasi internal untuk berpikir kritis.

C. Pendekatan Kontekstual

Pada dasarnya, landasan filsafah pendekatan kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu filsafah belajar yang menurut Center on Education and Work at the University of Wisconsin Madison (Kunandar, 2007:295) adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar. Setiap siswa harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri yang dihubungkan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini disebabkan pengetahuan bukan merupakan hal yang langsung jadi melainkan sesuatu yang berkembang secara terus menerus. Pada proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuan.

Muslich (2007: 41) mengatakan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya


(46)

27 dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan kata lain, dalam pembelajaran Kontekstual tugas guru adalah untuk memfasilitasi siswa dalam menemukan sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengonstruk pengetahuannya sendiri. Dengan demikian, siswa akan lebih produktif dan inovatif.

Selain itu, Nurhadi (2002:20) mengatakan pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang dipelajarinya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran efektif. Lebih lanjut, Johnson (Kunandar, 2007: 295) mengartikan pembelajaran kontekstual adalah sesuatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu konsep belajar yang dibuat guru untuk membantu siswa dalam menghubungkan antara materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan melalui proses mengonstuksi sendiri, sebagai bekal untuk memecakan masalah dalam kehidupannya. Oleh karena itu, pembelajaran


(47)

kontekstual akan mendorong ke arah belajar yang lebih aktif. Hasil ini akan mampu mengembangkan disposisi berpikir siswa karena menurut Natawidjaja (Kunandar, 2007: 294) belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pada proses pembelajaran berlangsung harus ada upaya yang menjadi perhatian guru agar tujuan yang diharapkan tercapai. Menurut Zahorik (Nurhadi, 2002: 7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual, yaitu:

a. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge):

b. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowlegde) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya; c. Pemahaman pengetahuan (undestanding knowlegde), yaitu dengan cara: (1)

menyusun konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi), dan (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan;

d. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge) e. Melakukan refleksi (refecting knowledge) terhadap strategi pengembangan

pengetahuan tersebut.

Lima praktik pengajaran pendekatan kontekstual seperti yang disebutkan Zahorik di atas, merupakan bahan acuan bagi guru untuk menerapkan pendekatan Kontekstual dalam pembelajaran. Implementasi pendekatan Kontekstual lebih


(48)

29 mengutamakan strategi pembelajaran dari pada hasil belajar, yakni proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan yang dialaminya, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Melalui pendekatan Kontekstual yang mengontruksi pengetahuan siswa sendiri berdasarkan pengalamannya. Dengan demikian, pendekatan Kontekstual ini mampu mengembangkan disposisi berpikir kritis seperti yang diharapkan.

Menurut Johnson (Kunandar, 2007: 296-297) terdapat delapan komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut.

a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Artinya, siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat(learning by doing).

b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Artinya, siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

c. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning).

d. Bekerja sama (collaborating). Artinya, siswa dapat bekerja sama, guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.


(49)

e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Artinya, siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika serta bukti-bukti.

f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Artinya, siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi, dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.

g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Artinya, siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence.”

h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic asessment).

Berdasarkan komponen yang disebutkan oleh Johnson di atas, maka pendekatan Kontektual dapat membentuk sikap seorang siswa untuk selalu mendapatkan kebenaran dari suatu proses berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadinya, berpikiran terbuka karena siswa diberi kesempatan untuk bekerjasama, bersikap analitis yaitu untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi dengan berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian karena siswa diberi kesempatan untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka melalui pengetahuan, dan pengalaman pribadinya yang sering mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini adalah sikap-sikap disposisi berpikir kritis. Oleh karena itu, melalui pendekatan Kontekstual ini siswa dapat mengembangkan disposisi berpikir kritisnya.


(50)

31 Sementara itu, Kunandar (2007: 305-317) menyebutkan terdapat tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas, yaitu sebagai berikut.

a. Konstruktivisme

Kontruktivisme adalah landasan berpikir pembelajaran kontekstual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Dalam kontruktivisme pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Dalam pandangan kontruktivisme “strategi memperoleh” lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Oleh karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

b. Menemukan(Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual yang berpendapat bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi yang diajarkannya. Semua


(51)

mata pelajaran dapat menggunakan pendekatan inkuiri. Kata kunci dari strategi inkuiri adalah “siswa menemukan sendiri”.

c. Bertanya(Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Dalam aktivitas belajar, kegiatan bertanya dapat diterapkan: antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain dan sebagainya.

d. Masyarakat Belajar(Learning Community)

Masyarakat belajar pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut.

1) Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman.

2) Ada kerja sama untuk memecahkan masalah.

3) Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik daripada kerja secara individual.

4) Ada rasa tanggung jawab kelompok, semua anggota dalam kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama.


(52)

33 6) Menciptakan situasi kondisi yang memungkinkan seorang anak belajar

dengan anak lainnya.

7) Ada rasa tanggung jawab dan kerja sama antara kelompok untuk saling memberi dan menerima.

8) Ada fasilitator/guru yang memandu proses belajar dalam kelompok 9) Harus ada komunikasi dua arah atau multiarah

10) Ada kemauan untuk menerima pendapat yang lebih baik. 11) Ada kesediaan untuk menghargai pendapat orang lain. 12) Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja.

13) Dominasi siswa yang pintar perlu diperhatikan agar yang lambat/lemah pula bisa berperan.

14) Siswa bertanya kepada teman-temannya.

Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya bukan merupakan masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa. Dalam hal ini yang belajar siswa bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Semua pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan berbeda yang harus dipelajari.

e. Pemodelan (Modeling)

Pemodelan artinya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan


(53)

satu-satunya model. Guru dapat merancang model dengan melibatkan siswa, dengan cara ikut serta memberi contoh kepada temannya. Pemodelan pada dasarnya adalah bagaimana cara guru untuk menuangkan gagasan yang ada dalam pikirannya, mendemonstrasikan segala sesuatu agar siswa dapat fokus belajar, dan melakukan apa yang diinginkan guru agar siswa melakukannya. Pemodelan dapat berupa demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lau. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Kunci dari kegiatan refleksi adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa.

g. Penilaian yang sebenarnya(Authentic Assesment)

Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Penilaian yang sebenarnya adalah kegiatan menilai siswa yang menekankan pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian.


(54)

35 Berdasarkan tujuh komponen utama pendekatan kontekstual di atas, menemukan (inquiry) dan bertanya (questioning) merupakan strategi utama pembelajaran kontekstual hal ini sesuai dengan pertanyaan Socrates yang bersifat konstruktif. Dalam pembelajaran Socrates Kontekstual ini guru bertugas untuk memfasilitasi siswa untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan baru. Siswa benar-benar mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang sedang dipelajari. Dengan demikian, siswa akan lebih produktif dan inovatif. Bertanya merupakan hal yang penting bagi pembelajaran kontekstual karena dapat menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, dan membangkitkan respon siswa, serta dapat memfokuskan perhatian siswa. Dengan menggunakan pertanyaan Socrates yang bersifat kritis, maka menimbulkan gabungan pembelajaran yang positif yang akan mengembangkan disposisi berpikir kritis siswa. Selanjutnya, pada penelitian ini komponen pembelajaran berupa penilaian autentik atau penilaian yang sebenarnya tidak digunakan. Hal ini disebabkan peneliti hanya melihat sikap siswa yang berhubungan dengan berpikir kritis matematisnya, tidak menilai hasil setiap pekerjaan siswa selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa.

Dalam penelitian ini, pembelajaran Socrates Kontekstual yang dimaksud adalah pembelajaran dalam matematika dengan menggunakan metode Socrates dan pendekatan Kontekstual. Tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran Socrates melalui pedekatan Kontesktual dalam penelitian ini dilaksanakan secara terurut, yaitu sebagai berikut.

1. Pendahuluan

Guru memfokuskan siswa pada masalah situasi kontekstual yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari terkait materi yang diajarkan pada pertemuan hari itu serta menyampaikan indikator pembelajaran.


(55)

2. Kegiatan Inti

a. Fase membuat dugaan-dugaan dan hipotesis

Guru membimbing siswa dengan memberikan pertanyaan akan penyebab suatu permasalahan dan menemukan penyelesaiannya.

b. Fase melakukan pengujian

Guru membimbing dan mengamati siswa dalam mengumpulkan data atau informasi dan membuat hubungan antar data atau informasi tersebut berdasarkan kehidupannya sehari-hari serta dalam membuat analisis. c. Fase menerima hipotesis yang dianggap benar

Guru membantu siswa untuk melakukan penilaian terhadap hasil pada fase sebelumnya.

3. Kegiatan penutup

Guru membantu siswa dalam mengambil keputusan akan penyelesaian masalah yang terbaik dan melakukan refleksi berkaitan dengan materi yang telah diberikan.

D. Kajian Teori yang Relevan

Leader dan Middleton (Maulana, 2013:5) melakukan penelitian yang menghasilkan prinsip untuk desain program pembelajaran yang mendorong disposisi berpikir kritis. Aspek disposisi berpikir kritis dapat dianggap sebagai bagian dari sikap yang siap diaktifkan jika memang disposisi tersebut cukup kuat. Dalam artikel tersebut, para peneliti menjelaskan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pemecahan masalah yang tidak terstruktur dapat memberikan aktivitas-aktivitas yang memotivasi dan memperkuat disposisi berpikir kritis pada siswa sekolah menengah, sehingga mendorong kepekaan terhadap kesempatan untuk berpikir kritis dan kecenderungan untuk terlibat dalam praktik tersebut.


(56)

37 Yesildere dan Turnuklu (Maulana, 2013: 6) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tidaklah cukup bahwa calon guru adalah lulusan dari fakultas pendidikan yang hanya dibekali informasi yang berkaitan dengan domain mereka. Hal ini diperlukan untuk calon guru agar memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian ini secara umum memberikan gambaran informasi bahwa melalui pembelajaran berbasis masalah atau proyek, calon guru memiliki analyticity yang baik, ini menunjukkan bahwa disposisi berpikir kritis mereka adalah positif. Analyticity terdiri dari penalaran, untuk menggunakan data yang diberikan untuk memecahkan masalah atau kesulitan yang mungkin ditemukan pada dimensi konseptual.

Menurut Maulana (2013: 12) usaha-usaha yang dilakukan untuk menggali informasi yang memadai mengenai kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan berpikir kritis dan kreatif terutama di lingkungan perguruan tinggi semisal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, tentunya akan lebih lengkap dan bermakna jika diiringi dengan usaha lain yang mengkaji ranah afektif seperti halnya disposisi kritis dan kreatif matematis. Dengan diketahuinya aspek disposisi tersebut, tentunya akan semakin menambah jelas gambaran seperti apa para guru dan calon guru sekolah dasar di Indonesia. Bukan hanya untuk diketahui semata, namun juga dengan adanya informasi mengenai kemampuan berpikir dan disposisi tersebut, diharapkan ke depannya dapat dilakukan langkah-langkah antisipatif, baik yang langsung bersentuhan dengan perkuliahan di kelas.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, karena disposisi berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengembangkannya. Penelitian yang digambarkan di sini menyajikan suatu langkah pembelajaran


(57)

untuk menggunakan metode Socrates dalam mengembangkan disposisi berpikir kritis matematis siswa. Dalam penelitian ini juga metode Socrates yang dilakukan digabungkan dengan pendekatan Kontesktual, sebab siswa harus memiliki suatu kemampuan untuk dapat mengekspresikan atau menunjukkan sikap dan memberi gagasan yang didukung oleh fakta.

Urutan pengajaran yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran Socrates Kontekstual ini terlihat bahwa siswa memiliki sikap untuk memiliki rasa ingin tahu, mencari kebenaran, mereka juga berpikiran terbuka, bersikap sistematis, analitis dan memiliki rasa percaya diri. Implikasi terhadap pendidikan secara umum dari penelitian ini menyarankan agar guru dapat mengembangkan disposisi berpikir kritis, dengan menciptakan lingkungan belajar yang mengembangkan disposisi berpikir kritisnya, sehingga pada gilirannya nanti, hal ini dapat mendorong siswa untuk mampu menggunakan hal-hal yang ada dalam kehidupannya sehari-hari, mengevaluasi informasi dan bereaksi sebagai seorang pemikir kritis.


(58)

39

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan di SMP Negeri 19 Bandarlampung merupakan Penelitian Kualitatif Naturalistik. Bogdan dan Taylor (M-Edukasi, 2013) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan pendekatan Naturalistik merupakan pendekatan pada penelitian dengan cara mengungkap kejadian yang nyata atau sebenarnya dari data yang diperoleh secara lisan maupun tertulis dari hasil pengamatan. Dengan demikian, penelitian kualitatif naturalistik merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai disposisi berpikir kritis siswa dengan cara mengungkapkan kejadian yang sebenarnya dari data yang diteliti.

Penelitian ini tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan sebelumnya, tetapi dimulai dari kondisi lapangan yang diteliti sebagai lingkungan alamiahnya. Data yang didapat dari lapangan ditarik konsep dan maknanya, melalui pemaparan deskriptif, tanpa harus menggunakan angka secara keseluruhan, sebab lebih mengutamakan proses terjadinya suatu disposisi berpikir kritis dalam proses pembelajaran Socrates Kontekstual secara alami.


(59)

Penelitian kualitatif naturalistik ini bertujuan mengetahui aktualitas, serta realitas tindakan atau sikap siswa pada proses pembelajaran Socrates Kontekstual, yang mungkin tidak dapat diungkap melalui penonjolan pengukuran formal atau pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, dalam penelitian ini peneliti berusaha secara aktif untuk melakukan interaksi dengan subyek atau responden yang diteliti dengan kondisi apa adanya dan tidak ada rekayasa agar data yang diperoleh merupakan data yang asli dan natural (alamiah).

B. Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa di kelas VII B. Sekolah yang diteliti adalah SMP Negeri 19 Bandarlampung pada tahun pelajaran 2014/2015. Banyak siswa di kelas ini adalah 27 siswa. Dari 27 siswa tersebut, hanya siswa yang memunculkan disposisi berpikir kritis berdasarkan enam indikator pada fokus penelitian yang dideskripsikan pada penelitian ini. Kelas VII B merupakan salah satu kelas VII unggulan di SMP Negeri 19 Bandarlampung, karena kelas VII B merupakan peringkat bagian atas saat tes masuk sekolah pada tahun 2014. Beberapa siswa di kelas ini aktif dalam proses pembelajaran di kelas contohnya jika guru meminta siswa untuk maju mengerjakan suatu permasalahan, siswa tersebut dengan cepat maju ke depan dan sebagian besar siswa juga terlihat antusias menjawab setiap pertanyaan yang diberikan oleh guru. Selain itu, banyak siswa yang bertanggung jawab pada diskusi kelompok. Akan tetapi, ada beberapa siswa yang pasif dalam kelas, mereka banyak bermain dan tidak memiliki rasa ingin tahu terhadap materi yang guru jelaskan.


(60)

41 C. Latar danSettingPenelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 19 Bandarlampung yang ditujukan pada siswa kelas VIIB tahun pelajaran 2014/2015 semester genap pada materi Persamaan Linier Satu Variabel. Penelitian ini dimulai pada tanggal 5 Februari 2015 sampai dengan 28 Februari 2015. Alokasi waktu yang tersedia untuk pelajaran matematika adalah 4 40 menit perminggu (empat jam pelajaran). Dengan jadwal belajar sebagai berikut:

Tabel 3.1 Jadwal Belajar Subjek Penelitian

Hari Waktu

Kamis 15.50-16.30

16.30-17.10

Jum’at 13.45-14.25

14.25-15.05

SMP Negeri 19 Bandarlampung terdapat di Jalan Turi Raya No. 1 Tanjung Senang, Bandarlampung. SMP Negeri 19 Bandarlampung ini merupakan sekolah yang luas, bentuk bangunannya tersusun dan tertata dengan rapi, serta banyak pepohonan disekitar sekolahnya sehingga membuat lebih asri.

Setting yang digunakan adalah setting kelas dan setting pembelajaran. Setting kelas diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti untuk mengamati disposisi berpikir kritis siswa, yaitu bangku-bangku disusun lurus dan sejajar hingga menjadi 3 banjar, siswa juga duduk berpasangan agar memudahkan diskusi pada pembelajaran. Akan tetapi, jika pembelajaran mengharuskan siswa berdiskusi yang terdiri dari empat orang siswa, dua orang siswa yang berada di depan cukup memutarkan bangkunya kebelakang menghadap dua siswa lainnya.


(1)

5. Siswa yang tidak menyenangi atau tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup baik pada pembelajaran dengan tanya jawab, tetap dapat memunculkan disposisi berpikir kritisnya pada pembelajaran dengan menggunakan salah satu komponen pendekatan Kontekstual yaitu masyarakat belajar.

6. Interpretasi disposisi berpikir kritis matematis siswa setelah pembelajaran Socrates Kontekstual berkategori tinggi. Hal ini terlihat pada profil perhitungan skala yaitu 57,7% dari 27 siswa berkategori tinggi dan tidak ada yang berkategori sedang, rendah, dan sangat rendah.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta proses yang telah dilakukan, dapat dikemukakan saran yaitu sebagai berikut.

1. Kepada peneliti lain yang akan melakukan penelitian tentang sikap siswa khususnya disposisi berpikir kritis siswa disarankan untuk dapat mendekatkan diri pada siswa dan mengenal karakterisktik siswa sebelum memulai penelitian agar siswa menunjukkan prilaku yang lebih alami

2. Kepada peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan menggunakan alat perekam video lebih baik menggunakan alat perekam lebih dari satu dan diletakkan dibagian-bagian yang fokus pada segala arah agar mendapatkan data keseluruhan siswa sehingga lebih memudahkan dalam menyajikan data. 3. Pada penelitian ini, pembelajaran Socrates Kontekstual telah memunculkan

disposisi berpikir kritis siswa walaupun hanya dalam kurun waktu sebulan. Akan tetapi, disposisi berpikir kritis siswa lebih sering muncul pada pembelajaran yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk


(2)

143 mengontruksi sendiri pengetahuan mereka pada pengerjaan permasalahan baik secara individu maupun diskusi kelompok. Untuk itu, kepada guru yang ingin menggunakan metode Socrates yang bertujuan untuk dapat memunculkan disposisi berpikir kritis matematis siswa secara maksimal hendaknya lebih mendekatkan diri kepada siswa dan menciptakan suasana belajar yang nyaman agar siswa tidak merasa takut untuk menjawab setiap pertanyaan guru yang semakin lama semakin kompleks.


(3)

Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2007. Tes Pretasi: fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baharun, Hossain. 2014. Metode Pembelajaran Socrates. [Online]. Tersedia: http://id.scribd.com. Diakses pada tanggal 28 Desember 2014 pukul 08.00 WIB

Connie. 2006. Aproaches to evaluate critical thinking dispositions. [Online]. Tersedia: http://edisdat.ied.edu.hk. Singapore: National Institute of Education, Nanyang Technological University.

Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual (Buku 5). Jakarta: Depdiknas Dina. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Keterampilan Berpikir Analitis Siswa SMA. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu. Diakses pada tanggal 6 Maret 2015 pukul 20.30 WIB

Ghufron. 2010.Teori-teori Psikologi.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.

Glazer, E. 2001. Using Internet Primary Sources To Teach Critical Thinking Skills In Mathematics. London: Greenwood Press.

Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning.Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Hadi, Sutrisno. 1993.Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Andi Offset. Hanifah, Tasyami Fitria. 2013. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

SMP Melalui Pendekatan Model Elictina Activies (MEAS) Dalam Pembelajaran Matematika. http://repository.upi.edu. Bandung: UPI. Diakses tanggal 14 Januari 2015 pukul 22.25 WIB


(4)

145 Hartoyo, Agung. 2013. Model Pembinaan Estetik Dalam Pembelajaran Matematika Menggunakan Etnomatenatika Pada Budaya Lokal Masyarakat Kalimantan Barat. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses pada tanggal 25 November 2014 pukul 20.00 WIB

Hendrawati, Sri. 2010. Berpikir Sistematik Matematika. Bandung: Tarsito.

Herlina, Elda. 2013. Meningkatkan Disposisi Berpikir Kreatif Matematis Melalui Pendekatan Apos. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Volume 2 Nomor 2. [Online]. Tersedia: http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id. Bandung: STKIP Siliwangi. Diakses pada tanggal 28 November 2014 pukul 07.00 WIB.

Hossoubah, Z. (2007). Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan). Bandung: Yayasan Nua

Indriati. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Tipe Stad dengan Soal-Soal Pemecahan Masalah pada Mata Pelajaran Matematika di SMA Negeri 6 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 5. No. 2 [Online]. Tersedia: http://ejournal.unsri.ac.id. Diakses pada 6 Maret 2015 pukul 08.00 WIB.

Karlimah. 2010. Pengembangan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah serta Disposisi Matematis Mahasiswa PGSD melalui pembelajaran Berbasis Masalah. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu. Bandung: UPI. Diaskses pada tanggal 13 Desember 2014 pukul 20.00 WIB.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Lambertus. 2009. Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran Matematika di SD. Forum Kependidikan, Volume 28, Nomor 2, Maret 2009. [Online]. Tersedia: http://eprints.uny.ac.id. Kendari : UNHALU. Diakses pada tanggal 12 Januari 2015 pukul 20.00 WIB.

Lauster, Peter. 2002. Tes Kepribadian (Alih Bahasa: D.H Gulo) Edisi Bahasa Indonesia Cetakan Ketigabelas.Jakarta: Bumi Aksara.

Maulana. 2013. Mengukur dan Mengembangkan Disposisi Kritis dan Kreatif Guru dan Calon Guru Sekolah Dasar. Jurnal Mimbar Pendidikan Dasar, Volume 4, Nomor 2. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses pada tanggal 7 Desember 2014 pukul 15.00 WIB.


(5)

Maxwell. (2008a).The Socrates Method and its Effect on Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.Socratesmethod.net/. Diakses pada tanggal 26 November 2014 pukul 19.21 WIB.

Muslich, Masnur. 2007.KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta : BumiAksara.

M-Edukasi. 2013. Pengertian Penelitian Kualitatif. [Online]. Tersedia: http://www.m-edukasi.web.id.Diakses pada tanggal 8 Desember 2014 pukul 20.00

Nasution. 2002.Metode Research : Penelitian Ilmiah. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Nugroho, budi. 2013. Triangulasi pada penelitian kualitatif. [Online]. Tersedia:

http://www.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 8 Desember 2014 pukul 20.00.

Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual (Kontextual Teaching and Learning (CTL)).Malang: Universitas Negeri Malang

Nurjannah, Alfiyah dan Nadi Suprapto. 2014. Pengaruh Penerapan Pembelajaran Socrates Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Fisika pada Materi Hukum Newton. Makal ah disaji kan pada Jurnal Inovasi Pendi di kan Fi si ka (JIPF ) Vol . 03 N o. 02 Tahun 2014, 20 -26 ISSN: 2302-4496. [Online]. https://www.scribd.com. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Diakses pada tanggal 28 November 2014 pukul 07.00 WIB.

Pahlevi, Septi Reza. 2014. Pengaruh Metode Socrates dalam Pembelajaran Bangun Datar terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VII SMP Kristen Satya Wacana Tahun Ajaran 2013/2014. [Online]. Tersedia: http://repository.uksw.edu/handle/123456789/4987. Diakses pada tanggal 15 Juni 2015 pukul 07.00 WIB.

Pratama, Putri dan Sudaryanto. 2012. Hubungan Antara Kecenderungan Berpikir Kritis Dengan Indeks Prestasi Kumulatif (Ipk) Mahasiswa Prodi Dokter Fk Undip.Semarang:Universitas Diponegoro. [Online]. Tersedia:

http://eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Januari 2015 pukul 20.00 WIB

Qosyim, Achmad. 2007. Studi Implikasi Socrates dalam Praktek Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press

Riduwan.2006. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika.Cetakan I. Bandung : Alfabeta.


(6)

147 ________. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

________. 2012.Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Suherman, Erman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : UPI- JICA.

_______________. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sukardi. 2003.Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Tahang. 2014. Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas Xi Sma Negeri 2 Kendari Melalui Pembelajaran Virtual Laboratory Berbasis Phet Simulation (Penelitian Tindakan Kelas) 2014. [Online]. Tersedia: http://myfortuner.files.wordpress.com. Diakses pada tanggal 25 November 2014 pukul 20.00 WIB

The Critical Thinking Community. 2013. The Role of Questions in Teaching, Thinking and Learning.[Online]. Tersedia: https://www.criticalthinking.org . Diakses pada tanggal 15 Januari 2015 pukul 20.00 WIB

Yunarti, Tina. (2011). Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA. Bandung: UPI


Dokumen yang terkait

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 7 57

PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran

8 52 122

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 24 67

ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 13 89

ANALISIS SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 27 96

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 10 75

DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 19 81

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA(Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 6 67

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 9 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 12 50

ANALISIS DESKRIPTIF SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII-J SMP Negeri 8 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 34 86