EFEKTIVITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI OVISIDA Aedes aegypti

(1)

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativumL.) SEBAGAI OVISIDAAedes aegypti

Oleh

APGA REPINDO

World Health Organization mencatat hingga saat ini sekitar 50 juta kasus demam dengue ditemukan setiap tahun, dengan jumlah kematian sekitar 25.000 pertahunnya hingga tahun 2010, terutama pada daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Bawang putih diketahui mengandung allicin, saponin dan

flavonoid yang dapat menghambat daya tetas telur Aedes aegypti sehingga dapat mengendalikan populasi vektor penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak bawang putih efektif sebagai ovisidaAedes aegypti.

Penelitian eksperimen yang menggunakan rancangan acak lengkap ini dilakukan pada bulan November 2013 di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Kosentrasi ekstrak yang digunakan adalah 0%, 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7% dan 1% dengan 4 kali pengulangan untuk tiap perlakuan. Selanjutnya, diletakkan 20 butir telur pada tiap perlakuan dan pengulangan, sehingga didapatkan jumlah total sampel sebanyak 480 butir telur. Kemudian, diamati jumlah telur yang tidak menetas tiap 6 jam selama tiga hari. Pada akhir penelitian, uji hipotesis one way

ANOVA menghasilkan nilai p <0,001. Pada analisis post hoc Bonferroni diketahui konsentrasi yang efektif dibandingkan kontrol (0%) adalah 1%.

Hasil penelitian didapatkan penurunan daya tetas telur Aedes aegyptipada kosentrasi 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7% dan 1% dibandingkan dengan kontrol negatif. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka daya hambat pada penetasan telur akan semakin tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa Ekstrak bawang putih efektif sebagai ovisidaAedes aegypti.


(3)

ABSTRACT

EFFECTIVENESS OF GARLIC (Allium sativum L.) EXTRACT AS THE OVICIDE ofAedes Aegypti

By

APGA REPINDO

The World Health Organization (WHO) noted to date approximately 50 million cases of dengue fever are found every year, about 25,000 deaths per year until 2010, mainly in tropical and subtropical regions, including Indonesia. Garlics is known contains allicin, saponin and flavonoid that can inhbite hatchability of Aedes aegypti’s eggs. This research objective was to know if garlics extract effective asAedes aegyptiovicide.

This experimental studies which used completely randomized design was performed in November 2013 in Laboratory of Zoology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Lampung. Concentration of the extract used was 0%, 0.1%, 0.3%, 0.5%, 0.7% and 1% with 4 repetitions for each treatment. Furthermore, was laid 20 eggs in each treatment and repetition, so was getten the total number of samples of 480 eggs. Then, was observed number of eggs that did not hatch every 6 hours for three days. At the end of the study, hypothesis test of one-way ANOVA resulted p-value <0.001. In the post hoc Bonferroni analysis was known effective concentration than controls (0%) was 1%.

The results showed a decrease in hatchability of eggs of Aedes aegypti at concentrations of 0.1%, 0.3%, 0.5%, 0.7% and 1% compared to the negative control. The higher the concentration of the extract on the inhibition of hatching eggs will be higher as well. This indicates that garlic extract effective as the ovicide ofAedes aegypti.


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 3 April 1991, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Berchah Pitoewas dan Ibu Retno Winarsih.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Al-Kautsar, Lampung pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA YP Unila Bandar Lampung pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter FK UNILA melalui jalur Mandiri.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi mahasiswa seperti Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSI Ibnu Sina).


(7)

(8)

SANWACANA

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) sebagai Ovisida Nyamuk Aedes aegypti” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

2. Ibu Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed., selaku Pembimbing I atas kesediaannya dan ketelatenannya memberikan bimbingan, bantuan, saran, dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesai;

3. dr. Syazili Mustofa, selaku Pembimbing II atas kesediaan meluangkan waktu dan membimbing serta memberikan masukannya hingga penulis menyelesaikan skripsinya;


(9)

4. dr. Betta Kurniawan, M.Kes., selaku Pembahas atas kesediaan meluangkan waktu dan memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun dan bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. dr. Agustyas, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan masukkan kepada penulis;

6. Papa dan Mama yang selalu menyebut nama saya dalam doanya, membimbing, mendukung, dan memberikan yang terbaik;

7. Adik saya (MD Hasabi Ruzain) dan Noviyanti AW yang telah memberikan doa, semangat dan dukungannya;

8. Seluruh Keluarga besar atas perhatian, dukungan, dan doa yang telah diberikan;

9. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita; 10. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

11. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FMIPA Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini; 12. Teman-teman saya yang merangkap sebagai Tim Bantuan Skripsi, Toto,

Fajar, Wirda dan Tini terima kasih banyak atas bantuannya yang berharga; 13. Bian, Fahmi, Deem yang telah membantu dan menemani selama penelitian; 14. Teman-teman angkatan 2009 atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini,

semangat, bantuan dan kebahagiaan yang telah diberikan;

15. Teman-teman propti; Toto, Deem, Fahmi, Wayan, Angga, dan Kharisma atas kerjasama, kekompakan, dan bantuannya selama ini;


(10)

16. Teman-teman KKN desa Hurun yang memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini;

17. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002–2012) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi yang membacanya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi rahmat-Nya kepada kita. Aamiin.

Bandar Lampung, 21 Juli 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR GRAFIK ... vii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1 B. Peumusan Masalah... 3 C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum ... 4 2. Tujuan Khusus ... 4 D. Manfaat Penelitian ... 4 E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori ... 5 2. Kerangka Konsep ... 6 F. Hipotesis ... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

1. Aedes aegyptisebagai vektor Demam Berdarah Dengue ... 7 2. Siklus Hidup HidupAedes aegypti ... 8


(12)

3. MorfologiAedes aegypti... 9

B. Juvenile HormonedanEcdison HormonepadaAedes aegypti 1. SintesisJuvenile Hormone... 17

2.Juvenile Hormonesebagai kontrol pertumbuhan ... 18

3. Hormon Juvenile terhadap Sintesis Vitellogenin... 20

C. Bawang Putih (Allium sativumL.) 1. Taksonomi Bawang Putih ... 22

2. Kandungan Senyawa Bawang Putih ... 22

3. Ekstrak Bawang Putih ... 23

3. Bawang Putih Sebagai Insektisida ... 23

D. Insektisida ... 24

E. Teknik Ekstraksi Senyawa... 26

1. Ekstraksi cair-cair ... 26

2. Maserasi ... 27

3. Ekstraksi Sinambung ... 28

4. Perkolasi ... 29

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 30

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

C. Populasi dan Sampel ... 30

D. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Identifikasi Variabel... 31

2. Definisi Operasional Variabel... 32


(13)

F. Prosedur Penelitian

1. Penyediaan Sampel ... 33

2. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih ... 33

3. Uji Daya Tetas Telur ... 34

4. Pengamatan ... 35

5. Analisis Data ... 35

6. Diagram Alir Kerja ... 35

G. Analisis Data ... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 37

B. Pembahasan... 40

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 45

B. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian ... 24 2. Definisi Operasional ... 25 3. Jumlah Ekstrak Bawang Putih yang Dibutuhkan dalam Penelitian... 27 4. Hasil Uji Normalitas Data Persentase Jumlah Telur Aedes aegypti

yang Tidak Menetas... 5. Hasil analisisOne WayANOVA... 6. Hasil analisis ujipost hocBonferroni dengan konsentrasi 0% (kontrol)

sebagai pembanding... 7. Nilai pH dan suhu yang terukur pada berbagai konsentrasi ekstrak

bawang putih... 8. Hasil pengamatan jumlah telur yang tidak menetas selama tiga hari ... 51 9. Hasil analisis deskriptif jumlah telur Aedes aegypti yang tidak

menetas pada berbagai kosentrasi ekstrak bawang putih ... 10. Hasil uji normalitas data Shapiro-Wilk pada berbagai kelompok

kosentrasi ekstrak bawang putih ... 11. Hasil uji varians Levene untuk jumlah telur yang tidak menetas pada

seluruh kelompok konsentrasi ... 12. Ujione wayANOVA untuk jumlah telur yang tidak menetas ... 13. Hasil Analisis post hoc Bonferroni untuk jumlah telur yang tidak menetas pada berbagai kosentrasi ekstrak bawang putih ...


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 5

2. Kerangka Konsep ... 6

3. Siklus HidupAedes aegypti... 9

4. Panjang teluraedes aegypti... 10

5. StrukturMicropyles(MP) danOuter Chorionic Cellpada TelurAedes aegypti ... 10

6. Struktur PenunjangMicropylespada TelurAedes aegypti ... 11

7. StrukturExochrionicTelurAedes Aegypti... 13

8. Larva Instar IAedes aegypti... 14

9. Larva Instar IIAedes aegypti ... 14

10. Larva Instar IIIAedes aegypti ... 15

11. Larva Instar IVAedes aegypti ... 15

12. PupaAedes aegypti... 16

13. Biosintesis JH III pada Serangga ... 18

14. Diagram Alir Penelitian ... 35

15. Sisa ekstrak murni bawang putih yang telah di filtrasi ... 57

16. Rotary evaporator yang digunakan untuk menguapkan pelarut etanol ekstrak bawang putih... 57

17. Alat dan bahan untuk penelitian di Laboratorium Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Penetahuan Alam jurusan Biologi, Universitas Lampung... 58


(16)

18. Perbandingan tingkat kejernihan antara kontrol (a) dan ekstrak bawang putih konsentrasi 1% (b). ... 58


(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyamuk Aedes Agypti merupakan vektor virus dengue penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) terutama di daerah tropis dan subtropis. Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit DBD ( Soegijanto, 2006). Peningkatan populasi Aedes aegyptiberhubungan dengan insidensi DBD.

Insidensi DBD meningkat secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa dekade ini. Mereka terutama tinggal di daerah perkotaan negara-negara tropis dan subtropis. Diperkirakan saat ini sekitar 50 juta kasus demam dengue ditemukan setiap tahun, dengan 500.000 kasus memerlukan penanganan di rumah sakit. Dari kasus di atas, sekitar 25.000 jumlah kematian terjadi setiap tahunnya (WHO, 2010). Untuk menurunkan insidensi tersebut diperlukan penanganan yang tepat.

Salah satu cara pemberantasan penyakit DBD adalah dengan pengendalian vektor nyamuk sebagai penular. Pengendalian vektor nyamukAedes aegypti


(18)

2

dapat dilakukan dengan cara menggunakan pestisida, insektisida. Penggunaan insektisida yang berlebihan dan berulang dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu pencemaran lingkungan dan mungkin timbul keracunan pada manusia dan hewan. Untuk mengurangi efek samping dari bahan kimia maka perlu dikembangkan pestisida dari bahan yang terdapat di alam yang lebih aman untuk manusia dan lingkungan, serta sumbernya tersedia dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan biopestisida dalam pemberantasan vektor diharapkan mampu menurunkan kasus DBD (Kardinan, 2004).

Biopestisida yang berupa agen hayati dan bahan nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, mudah diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi musuh alami dan serangga menguntungkan lainnya. Insektisida dari tanaman mudah terurai (terdegradasi) di alam sehingga tidak meninggalkan residu di tanah, air dan udara. Selain itu insektisida nabati mempunyai tingkat keamanan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan menggunakan bahan kimia. (Adebowale, 2006).

Tanaman yang bersifat insektisida biasanya mengandung senyawa bioaktif seperti terpenoid, fenilpropan, alkaloid, asetogenin, steroid, dan tanin. Uji toksisitas dari berbagai jenis tanaman terhadap telur dan larva nyamuk telah banyak dilakukan, seperti kamandrah dan jarak pagar yang mampu menurunkan jumlah peletakan telur dan menghambat penetasan telurAedes aegyptidanAedes albopictus(Astuti, 2008).


(19)

3

Bawang putih mengandung senyawa yang diantaranya adalah alisin yang bersifat larvasida. Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan adalah garlic oil, flavonoid serta saponin. Kandungan alisin dan flavonoid dalam bawang akan mengganggu aktivitas juvenile hormone, sedangkan kandungan saponin dalam bawang putih akan menghasilkan efek ecdycson blocker, dimana pada serangga ecdyson hormone digunakan untuk pertumbuhan larva. (Bloomquist, 2004).

Informasi bawang putih sebagai insektisida masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang ekstrak bawang putih sebagai jenis insektisida lainnya, seperti ovisida yang menghambat penetasan telur sehingga efektif dalam menekan perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, bawang putih merupakan bahan yang mudah didapatkan. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti efektivitas ekstrak Bawang putih sebagai ovisidaAedes aegypti.

B. Perumusan Masalah

Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida sintesis memiliki dampak yang tidak diinginkan yaitu pencemaran lingkungan dan dapat menyebabkan sifat resisten pada vektor. Salah satu alternatif pengendalian vektor adalah dengan menggunakan biopestisida.

“Apakah ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) efektif sebagai ovisida


(20)

4

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah 1. Tujuan umum

Mengetahui efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai ovisidaAedes aegypti.

2. Tujuan khusus

Mengetahui konsentrasi optimum ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang efektif sebagai ovisidaAedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Bagi ilmu kajian parasitologi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah mengenai khasiat ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai ovisida dan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu parasitologi khususnya entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab demam berdarah.

2. Bagi peneliti, memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai ovisida terhadap telur nyamuk

Aedes aegyptidan dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti. 3. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi awal bahwa ekstrak

bawang putih (Allium sativum L.) sebagai ovisida dalam usaha menurunkan angka kejadian demam berdarah dengue di Indonesia.


(21)

5

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka teori

Bawang putih mengandung senyawa yang diantaranya adalah alisin yang bersifat larvasida. Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan adalah garlic oil, flavonoid serta saponin. Senyawa-senyawa insektisida seperti saponin dan flavonoid berperan sebagai ecdyson blocker dalam metabolism serangga, sehingga proses perubahan telur menjadi larva akan terganggu. Selain itu, ecdyson hormone

diseimbangkan oleh juvenile hormone. Dimana aktivitas juvenile hormoneakan terganggu oleh senyawa trepenoid, flavonoid dan alkaloid, sehingga dapat pula mempengaruhi penetesan telur.

Gambar 1. Kerangka Teori

Ekstrak Ethanol Bawang Putih (Allium sativum L.)

Alisin

TelurAedes Aegypti gagal menetas AktivitasJuvenile Hormone

Pengaruh terhadap Perkembangan Telur Flavonoid Saponin


(22)

6

2. Kerangka konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Ekstraks bawang putih (Allium sativum L.) efektif sebagai ovisida nyamuk

Aedes aegypti.

Suhu, pH air, Intensitas Cahaya, Oksigen terlarut, Kelembapan dan Fertilitas Variabel Pengganggu Variabel Independen Variabel Dependen Ekstrak etanol bawang putih Kelompok I (Kontrol negatif) TelurAedes aegyptigagal menetas Dosis I Dosis II Dosis III Dosis IV Dosis V Dosis VI Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok VI


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

1. Aedes aegyptisebagai vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus

dengue penyebab penyakit demam berdarah. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti

merupakan pembawa utama (primary vector) dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa-desa dan perkotaan (Anggraeni, 2011).

Nyamuk ini berpotensi untuk menularkan penyakit demam berdarah dengue (DBD). DBD adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam mendadak, perdarahan baik di kulit maupun di bagian tubuh lainnya serta dapat menimbulkan syok dan kematian. Penyakit DBD ini terutama menyerang anak-anak termasuk bayi, meskipun sekarang proporsi penderita dewasa meningkat.

Penyebab penyakit demam berdarah ialah virus Dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Terdapat empat serotipe dari virus Dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan DBD. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk


(24)

8

Aedes aegypti. Nyamuk betina terinfeksi melalui pengisapan darah dari orang yang sakit.

Tempat perindukanAedes aegyptidapat dibedakan atas tempat perindukan sementara, permanen, dan alamiah. Tempat perindukan sementara terdiri dari berbagai macam tempat penampungan air (TPA) yang dapat menampung genangan air bersih. Tempat perindukan permanen adalah TPA untuk keperluan rumah tangga dan tempat perindukan alamiah berupa genangan air pada pohon. (Suhendro, 2006)

2. Siklus HidupAedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari bentuk telur, jentik, kepompong dan nyamuk dewasa. Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk hidup secara teresterial (di udara bebas). Pada umumnya telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kira-kira 2 hari setelah telur terendam air. Nyamuk betina meletakkan telur di dinding wadah di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding perindukannya. Nyamuk betina setiap kali bertelur dapat mengeluarkan telurnya sebanyak 100 butir. Fase aquatik berlangsung selama 8-12 hari yaitu stadium jentik berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (pupa) berlangsung 2-4 hari. Pertumbuhan mulai dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 10-14 hari. Umur nyamuk dapat mencapai 2-3 bulan (Ridad dkk., 1999).


(25)

9

Gambar 3. Siklus HidupAedes aegypti(Sumber : Hopp & Foley, 2001)

3. MorfologiAedes aegypti I. Stadium Telur

Menurut Herms (2006), telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina dapat menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada


(26)

10

tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari terendam air (Herms, 2006).

Telur Aedes aegypti diperkirakan memiliki berat 0,0010 - 0,015 mg dan (Astuti dkk ,2004). Telur Aedes aegypti tidak memiliki pelampung. Pada permukaan luar dinding sel tersebar suatu struktur sel yang disebutouter chorionic cell(Suman dkk, 2011).

Gambar 4.Panjang teluraedes aegypti.(Sumber: Suman dkk 2011).

Gambar 5.StrukturMicropyles(MP) danOuter Chorionic Cell(OCC) pada TelurAedes aegypti. (Sumber: Suman dkk 2011).


(27)

11

Pada salah satu ujung telur terdapat poros yang disebut dengan

micropyles. Micropyles berfungsi sebagai tempat masuknya

spermatozoid ke dalam telur sehingga dapat terjadi pembuahan. Pada

micropyles terdapat struktur-struktur penting yang menunjang fungsinya tersebut, yaitu micropylar corolla, micropylar disc, micropylar pore, micropylar ridge dan tooth-like tubercle (Suman dkk, 2011).

Gambar 6. Struktur PenunjangMicropylespada TelurAedes aegypti. MPC, micropylar corolla;MPD, micropylar disc;MPP, micropylar pore;MPR, micropylar ridge;TC, central tubercle;TP, peripheral tubercle;TT, tooth-like tubercle.

(Sumber: Suman dkk 2006).

Meskipunchoriontelur nyamuk Aedes aegyptiadalah struktur protein padat, namun rentan terhadap pengeringan dan unresistant terhadap deterjen atau zat pereduksi. Misalnya, ketika telur dipindahkan ke lingkungan yang sangat kering segera setelah oviposisi, akan cepat terdehidrasi (Junsuo dan Jianyong, 2006).


(28)

12

Pada dasarnya semua proteinchorionakan terlarut ketika telur matang diletakkan dalam larutan yang mengandung agen pereduksi kuat. Namun, dalam lingkungan yang lembab, chorion akan menjadi sangat tahan terhadap kekeringan dalam waktu 2 jam setelah oviposisi, sebuah proses yang disebut chorion hardening. Protein merupakan komponen utama dalamchoriondan mereka menjadi tidak larut setelah proses chorion hardeningatau “pengerasan korion”. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh modifikasi struktural protein chorion yang mengarah ke insolubilization (Junsuo dan Jianyong, 2006).

Studi ultrastruktur mengungkapkan bahwa ada dua lapisan dalam

chorion nyamuk Aedes aegypti, yaitu endochorion dan

exochorion. Pada nyamuk,endochorion adalah lapisan elektron padat homogen dan exochorion terdiri dari lapisan pipih dengan tubecle

menonjol (Junsuo dan Jianyong, 2006).

Dalam waktu 1-2 jam setelah peletakan telur, lapisan endokorion akan berubah dari lunak menjadi keras dan gelap serta kadang menjadi

impermeable. Telur dari nyamukAedes aegyptipada saat pertama kali diletakkan berwarna putih, kemudian berubah menjadi gelap sampai hitam dalam waktu 12-24 jam. Perubahan warna pada telur terjadi karena adanya lapisan endokorion yang merupakan lapisan pelindung telur (Junsuo dan Jianyong, 2006).


(29)

13

Tuberclepada lapisanexochorion terdiri daritubercle centraldan tubercle perifer.Tubercle central dikelilingi olehturbercle perifer yang membentuk bidang heksagonal yang dihubungkan oleh exochorionic network(suman dkk, 2011).

Gambar 7. StrukturExochrionicTelurAedes Aegypti.

TC, Central Tubercle; TP, Peripheral Tubercle; EN,

Exochorion Network. (Sumber: Suman dkk 2011).

II. Stadium Larva (Jentik)

Menurut Herms (2006), larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).


(30)

14

Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:

a. Larva instar I; berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau satu sampai dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum menghitam (Hoedojo, 1993).

Gambar 8. Larva Instar IAedes aegypti(Sumber: Gama, Z.P.,et al., 2010)

b. Larva instar II; berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari setelah telur menetas, duri-duri dada belum jelas, corong pernapasan sudah mulai menghitam (Hoedojo, 1993).


(31)

15

c. Larva instar III; berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Hoedojo, 1993).

Gambar 10. Larva Instar IIIAedes aegypti(Sumber: Gama, Z.P.,et al., 2010)

d. Larva instar IV; berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala gelap (Hoedojo, 1993).

Gambar 11.Larva Instar IVAedes aegypti(Sumber: Gama, Z.P.,et al., 2010)


(32)

16

III. Stadium Pupa

Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air. Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal sayap nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsang. Bentuk nyamuk dewasa timbul setelah sobeknya selongsong pupa oleh gelembung udara karena gerakan aktif pupa. Pupa bernafas pada permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada toraks (Aradilla, 2009).

Gambar 12. PupaAedes aegypti(Sumber: Zettel, 2010)

IV. Nyamuk dewasa

NyamukAedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus) (Djakaria, 2006). Nyamuk

Aedes aegyptidikenal dengan sebutan black white mosquitoatau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada


(33)

17

dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking) (Soegijanto, 2006).

B. Juvenile HormonedanEcdysone HormonepadaAedes aegypti

1. SintesisJuvenile Hormone(JH)

Moulting dan metomorfosis serangga diatur oleh dua hormon yaitu

ecdysteroid dan juvenile hormone(JH) (Gilbertet al., 1996). Ecdysteroid

adalah golongan dari steroid polyhydroxylated yang merupakan hormon moulting. Pada sebagian besar larva serangga, kelenjar prothoracic akan mensintesis dan mengeluarkan ecdysone dan kemudian mengalami hidroksilasi menjadi bentuk 20-hydroxyecdysone. Bentuk

20-hydroxyecdysone akan diterima oleh target seperti epidermis yang selanjutnya akan timbul pengaruh hormon (Smith 1985, Gilbertet al,.. 2002). JH merupakan sesquiterpene yang disintesis dan disekresikan oleh

corpora allata (Kou & Chen, 2000). Selama perkembangan serangga,

ecdysteroiddan JH akan mempengaruhi perubahan larva dari satu tahap ke tahap berikutnya.

JH merupakan kelompok sesquiterpenoids yang mengatur banyak aspek dari fisiologi serangga, seperti pertumbuhan dan perkembangan serangga, reproduksi, diapause, dan polyphenism. Pada serangga JH merupakan hormon yang mengatur pertumbuhan larva. JH disintesis di dalam


(34)

corpora allat

pertumbuhan da

JH disintesis di samping ot proses produksi

Gambar 13

2. Juvenile Hor

Metamorfosis peranan yang JH berperan d dimulai dari se allatotropin y

allata (CA) dan mempunyai peranan yang b buhan dan perkembangan serangga (Martinez, 2007

sis dan dilepaskan dari sepasang kelenjar endok otak yang disebut corpora allata. JH juga oduksi telur pada serangga betina.

ar 13.Biosintesis JH III pada Serangga (Sumber

ormoneSebagai Kontrol Pertumbuhan

osis serangga dikendalikan oleh JH. Regulasi g penting dalam mengendalikan metamorfosis. n dalam mengatur pertumbuhan dan perkemba

i sel neurosecretory yang ada pada otak aka n yang digunakan untuk menstimulasi corpora

18

besar di dalam 2007).

ndokrin yang terletak uga penting untuk

ber: Bede, 2001)

si JH mempunyai osis. Proses dimana bangan serangga, kan menghasilkan


(35)

19

memproduksi JH (Liet al., 2005). Proses selanjutnya JH akan dikeluarkan oleh corpora allata ke dalam hemolymph. JH yang berada pada

hemolymphakan diikat olehjuvenile hormon binding protein(JHBP) yang berfungsi untuk memudahkan larut dalam hemolymph dan didistribusikan pada sel epidermis. JHBP kemudian akan terdistribusi pada sel epidermis yang kemudian akan terjadi moulting. Konsentrasi JH dalam hemolymph

menentukan apakah larva akan moulting pada fase berikutnya atau akan berubah bentuk menjadi pupa demikian juga menentukan apakah pupa akan berubah bentuk menjadi dewasa. Jika dalam hemolymph larva konsentrasi JH tinggi maka larva akan melakukan moulting tetapi jika konsentrasi JH rendah sedangkan hormon 20-hydroxyecdysone rendah makan akan memberi signal larva untuk berubah menjadi pupa. Proses pengaturan JH pada serangga dapat dilihat pada gambar 3 (Gilbertet al.,1980).

Eweret al.(1997) memberi gambaran bagaimana pengaktifan hormon mempengaruhi perilaku yaitu proses ecdysis larvaManduca sexta. Ecdysis merupakan pergantian kulit dari kulit lama pada saat moulting, proses ini tergantung positive feedback antara hormon eclosion dan JH. Pelepasan hormon neuropeptide dari sel neurosecretory dalam sistem syaraf pusat menyebabkan peripheral yang terletak pada kelenjar epitrakheal melepaskan hormon yang akan memicu ecdysis.


(36)

20

3. Hormon Juvenile terhadap Sintesis Vitellogenin

Perkembangan dan reproduksi tergantung dari JH dan ecdysteroids. Pada sebagian besar serangga, JH merupakan hormon yang berperan besar dalam proses regulasi sintesis dan pengambilan vitellogenin, tetapi faktor

ecdysteroidjuga diperlukan dalam proses ini.

Martinez, (2007) juga melaporkan bahwa JH merupakan hormon yang mempunyai peranan penting dalam mengatur perkembangan

previtellogonic ovarian. Bukti yang menunjukkan bahwa JH mengatur perkembangan previtellogonic ovarianyaitu penelitian yang dilakukan oleh Martinez, (2007) terhadap nyamuk. JH di dalamAedes aegyptijumlahnya sedikit pada saat eclosion, dan meningkat pada hari pertama setelah imago muncul. Jumlah JH yang naik pada saat awal sangat penting untuk menyempurnakan organ reproduksi serangga betina. Kecepatan biosintesis JH oleh corpora allata secara in vitro

mencerminkan tingkat JH dalam nyamuk, biosintesis JH sangat rendah pada serangga betina baru yang muncul dan meningkat drastis selama 24 jam setelah eclosion. Aktivitas corpora allata nyamuk dikendalikan oleh faktor-faktor yang terdapat di kepala (Li et al., 2005), dan signal nutrisi akan mempengaruhi aktivasi sintesis JH atau menghambat sintesis JH.. Pemenggalan kepala dalam 1 h dariemergenceatau penghilangan CA setelah eclosion mencegah pertumbuhanovarian previtellogenic.

Menurut Hagedorn, (1997 dalam Caroci, 2004) mekanisme JH mempengaruhi sintesis vitellogenin pada nyamukA. aegypti yaitu


(37)

21

neurosecretorypada otak akan menghasilkan allatotropin yang selanjutnya memerintah corpora allata untuk menghasilkan JH. JH yang sudah dihasilkan oleh corpora allata akan menstimuli fat body dari incompetence menjadi competence untuk menghasilkan vitellogenin. Pada kondisi ini JH hanya menstimuli fat body menjadi kompeten (siap untuk menghasilkan vitellogenin), JH tidak memerintah fat body untuk menghasilkan vitellogenin. JH juga mempengaruhi ovary dari immature ovary menjadi ovary yang mature tetapi inaktif (keadaan ovary siap untuk menjalankan perintah berikutnya). JH juga mempengaruhi perilaku mating dan feeding serangga, setelah nyamuk menghisap darah maka otak akan menyuruh neurosecretory sel untuk menghasilkan Egg development neurohormone (EDNH) dan selanjutnya akan dilepaskan dalam hemolymp. EDNH dalam hemolym kemudian akan diterima oleh ovary yang inaktif (resting stage ovary) dan menstimuli sel folikel untuk menghasilkan ecdysteroid. Ecdysteroid selanjutnya akan memerintah fat body yang sudah kompeten untuk menghasilkan vitellogenin. Vitellogenin kemudian akan diambil oleh ovary untuk menyusun kuning telur, dan selanjutnya akan menghasilkan telur


(38)

22

C. Bawang Putih (Allium sativum L.) 1. Taksonomi Bawang Putih

Menurut Takhtajan, taksonomi bawang putih adalah sebagai berikut

Kelas :Liliopsida

Subkelas :Liliidae

Superordo :Liliianae

Ordo :Amaryllidales

Famili :Alliaceae

Subfamili :Alliodeae

Suku :Allieae

Genus :Allium

Spesies :Allium sativum L.

2. Kandungan Senyawa Bawang Putih

Bawang putih mengandung senyawa-senyawa seperti S-allilsistein, S-allil merkaptosistein, saponin, N-fruktosil arginin, g-glutamil-S-allil-L-sistein dan S-allil-L-sistein sulfoksida (aliin), meetiin, (1)-S-(trans-1-propenil)-L-sistein sulfoksida, dan sikloalliin (13), serta alliinase. Melalui pengolahan semua jenis alliin kecuali sikloalliin menjadi senyawa tiosulfinat (allisin). Allisin yang ada akan terdegradasi menjadi diallilsulfida (DAS), diallildisulfida (DADS), diallil trisulfida, metilallil sulfida, metilallil trisulfida, 2-vinil-4H-1, 3-dithiin, 3-vinil-4H-1, 2-thiin, dan (E,Z)-ajoene (Amagase, 2006)


(39)

23

3. Ekstrak Bawang Putih

Yang dimaksud dengan ekstrak bawang putih adalah sebuah sediaan yang mengandung zat aktif atau konsentrat (ekstrak) sebuah bahan, dimana bahan tersebut berasal dari sebuah tanaman bawang yang umbinya terbagi menjadi beberapa siung dan memiliki wangi dan rasa yang tajam (bawang putih/Allium sativum L.) (Dorland, 2007).

4. Bawang Putih sebagai Insektisida

Kandungan senyawa yang sudah diketemukan pada bawang putih

diantaranya adalah ”allicin” dan ”sulfur amonia acid alliin”. Sulfur amonia acid alliin ini oleh enzim allicin lyase diubah menjadi piruvic acid, amonia, dan allicin anti mikroba. Selanjutnya allicin mengalami

perubahan menjadi ”diallyl sulphide”. Senyawaallicindandiallyl sulphide

inilah yang memiliki banyak kegunaan dan berkhasiat obat. Allicin dan turunannya juga bersifat larvasida.

Mekanisme insektisida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif yang terkandung di dalamnya. Kandungan allicin dan dialil sulphide

memiliki sifat bakterisida dan bakteristatik. Allicin bekerja dengan cara menggangu sintesis membran sel parasit sehingga parasit tidak dapat berkembang lebih lanjut. Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak sulfhidril (SH) yang terdapat pada protein. (bawang putih)


(40)

24

Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan adalah garlic oil

dan flavonoid. Garlic oil bekerja dengan mengubah tegangan permukaan air sedangkan flavonoid bekerja sebagai inhibitor pernapasan.Flavonoid

diduga mengganggu metabolisme energi di dalam mitokondria dengan menghambat sistem pengangkutan elektron. Adanya hambatan pada sistem pengangkutan elektron akan menghalangi produksi ATP dan menyebabkan penurunan pemakaian oksigen oleh mitokondria (Bloomquist, 2004).

D. Insektisida

Insektisida adalah pestisida khusus yang digunakan untuk membunuh serangga dan invertebrata lain. Secara harfiah insektisida berarti pembunuh

serangga, berasal dari Bahasa Latin “cida” yang berarti pembunuh.

Berdasarkan sifat dan cara memperolehnya insektisida dibagi menjadi insektisida anorganik dan insektisida organik. Pada umumnya insektisida modern adalah insektisida organik dan insektisida ini dibagi menjadi insektisida organik alami dan buatan. Insektisida organik alami diperoleh dengan cara penyulingan zat-zat alami. Insektisida ini terdiri dari insektisida botanis yaitu yang diperoleh dari bahan tumbuhan dan insektisida mineral yang diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Metode penggolongan insektisida yang lain adalah berdasarkan sifat kimianya. Kelas senyawa kimia insektisida dapat ditunjukkan berdasarkan bahan aktifnya (active ingredient), yaitu bahan kimia yang mempunyai efek racun (toksik).


(41)

25

1. Ovisida Botani

Ovisida merupakan salah satu jenis insektisida. Ovisida berasal dari kata latin ovum yang berarti telur dan cide yang berrmakna “pembunuh”.

Ovisida merupakan salah satu golongan insektisida yang mekanisme kerjanya membunuh atau menghambat perkembangbiakan telur (Hoedjojo, 2003).

Salah satu contoh ovisida alami adalah ovisida botani, yaitu insektisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai ovisida (Novizan, 2002).

2. Mekanisme Kerja Ovisida

Proses penghambatan terhadap daya tetas telur Aedes aegypti diduga terjadi karena masuknya zat aktif insektisida ke dalam telur melalui proses difusi pada bagian permukaan cangkang melalui titik-titik poligonal yang terdapat pada seluruh permukaan telur serangga tersebut. Masuknya zat aktif insektisida disebabkan potensial insektisida dalam air yang berada di lingkungan luar telur lebih tinggi (hipertonis) dari pada potensial air yang terdapat di dalam telur (hipotonis). Masuknya zat aktif insektisida ke dalam telur akan mengganggu proses metabolisme dan menyebabkan berbagai macam pengaruh terhadap telur (Astuti dkk., 2004).


(42)

26

E. Teknik Ekstraksi Senyawa

Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemikiran metode ekstraksi senyawa bukan atom dipergunakan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan), lalu pelarut kepolarannya menengah (diklor metan atauetilasetat) kemudian pelarut bersifat polar (metanol atau etanol) (Harborne, 1987).

Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar berdasarkan bentuk fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat, ekstraksi cair padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi sinambung (Harborne, 1987).

1. Ekstraksi CairCair

Ekstraksi cair-cair diperlukan untuk mengekstraksi senyawa glikosida yang umumnya polar (aglikon berikatan dengan gula monosakarida dan disakarida). Ekstraksi cair-cair untuk glikosida biasanya dilakukan terhadap ekstrak etanol atau metanol awal. Ekstrak awal ini dilarutkan dalam air kemudian diekstraksi dengan etil asetat dan n-butanol. Glikosida terdapat dalam fase etil asetat atau n-butanol (Harborne, 1987).


(43)

27

Selain itu, ekstraksi cair-cair dilakukan terhadap reaksi awal untuk menghilangkan lemak dan ekstrak tersebut jika bagian tumbuhan yang diekstraksi belum dihilangkan lemaknya pada ekstrak awal (Harborne, 1987).

2. Maserasi

Metode ekstraksi umum digunakan dalam mengisolasi senyawa metabolit sekunder adalah maserasi (penggunaan pelarut organik). Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dalam temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan perendaman sampel tanaman akan mengakibatkan pemecahan dinding sel dan membran sel akibat perbedaaan tekanan antara di dalam sel dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ektraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut dalam proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dalam memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut. Secara umum, pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan golongan metabolit sekunder (Darwis, 2000;).

Hasil yang diperoleh berupa ekstrak kasar yang telah diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator, dimana seluruh senyawa bahan alam yang


(44)

28

terlarut dalam pelarut yang akan digunakan berada dalam ekstrak kasar tersebut. Selanjutnya ekstrak kasar tersebut akan dapat dipisahkan berdasarkan komponen-komponen dengan metode fraksinasi partisi dengan menggunakan corong pisah.

3. Ekstraksi Sinambung

Ekstraksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat Soxhlet. Pelarut penyair yang ditempatkan di dalam labu akan menguap ketika dipanaskan, melewati pipa samping alat Soxhlet dan mengalami pendinginan saat melewati kondensor. Pelarut yang telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian dalam alat Soxhlet yang bersimplisia dibungkus kertas saring dan menyisiknya hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seharusnya seluruh bagian linarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini berlangsung terus menerus sampai diperloleh hasil ekstraksi yang dikehendaki (Harborne, 1987).

Keuntungan ekstraksi sinambung adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pelarut murni sehingga dapat menyaring senyawa dalam simplisia lebih banyak dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau perkolasi. Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa-senyawa termolabil (Harborne, 1987).\


(45)

29

4. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya


(46)

30

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan adalah dengan pemberian berbagi konsentrasi ekstrak bawang puith dengan pengulangan sebanyak 4 kali.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai ovisida Aedes aegypti ini dilakukan di Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Sedangkan pembuatan ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Keseluruhan penelitian dilakukan pada bulan November 2013.

C. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur instar III Aedes aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 (Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang) Ciamis dalam bentuk kering dengan media kertas saring.


(47)

31

Sampel yang digunakan berdasarkan acuan WHO (2005), yaitu untuk setiap perlakuan dipakai jumlah sampel 20-30 telur dengan pengulangan sebanyak 4-6 kali. Akhirnya didapatkan jumlah total sampel 480 telur dengan rincian tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian

Perlakuan

Jumlah Telur X Jumlah

Pengulangan Total

Kontrol (-): 0% 20 telur x 4 80 telur

Perlakuan I: 0,1% 20 telur x 4 80 telur

Perlakuan II: 0,3% 20 telur x 4 80 telur

Perlakuan III: 0,5% 20 telur x 4 80 telur

Perlakuan IV: 0,7% 20 telur x 4 80 telur

Perlakuan V: 1% 20 telur x 4 80 telur

Jumlah total telur yang dipakai dalam penelitian

480 telur

D. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel a. Variabel Independen

Berbagai konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dengan enam taraf konsentrasi yaitu 0%, 01%, 0,3%, 0,5%, 0,7% dan 1% b. Variabel Dependen

Jumlah telur yang tidak berhasil menetas. c. Variabel Pengganggu

Suhu media, pH media, intensitas cahaya, kandungan oksigen terlarut, kelembaban udara dan fertilitas telur. Pada penelitian dilakukan pengukuran pH dan suhu media untuk memantau pengaruh variable tersebut.


(48)

32

2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut.

Tabel 2.Definisi Operasional Variabel Definisi Cara Ukur Skala Berbagai konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) Ekstrak Bawang putih yang di encerkan untuk mendapatkan berbagai konsentrasi ekstrak yang diinginkan dalam penelitian Menggunakan Rumus: M1V1=M2V2

V1= Volume ekstrak yang akan di encerkan (ml)

M1= Konsentrasi ekstrak bawang putih yang tersedia (100%)

V2= Volume larutan (air+ekstrak) yang diinginkan (200ml)

M2= Konsentrasi ekstrak bawang putih yang akan dibuat (%), yaitu 0; 0,1; 0,3; 0,5; 0,7; dan 1% =

konsentrasi sesudah diencerkan

Ordinal

TelurAedes aegypti yang tidak menetas

Telur tidak menjadi larva setelah diletakkan di dalam media air

Hitung jumlah telur yang tidak menetas tiap perlakuan dan pengulangan setiap 6 jam sekali selama 3 hari pengamatan

Rasio

E. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan yang digunakan untuk menimbang bawang putih, hand counter yang digunakan untuk menghitung telur Aedes aegypti, kain kasa digunakan untuk proses


(49)

33

maserasi bawang putih, rotary evaporator digunakan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih, gelas plastik 250 ml yang digunakan sebagai wadah untuk meletakkan telur dan media, pipet tetes yang digunakan untuk mengambil ekstrak bawang putih dari gelas ukur, termometer yang digunakan untuk mengukur suhu media, dan pH stick yang digunakan untuk mengukur nilai keasaman pada media. Bahan yang digunakan adalah ekstrak bawang putih 100%, telur Aedes aegypti dari strain Liverpool F‒ 48, etanol 96% dan

aquades sebagai pelarut.

F. Prosedur Penelitian

1. Penyediaan Sampel

Telur nyamukAedes aegyptiF-48 strain Liverpool yang digunakan kali ini diperoleh dari ruang insektarium loka Litbang P2B2 Ciamis, Jawa Barat.

2. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih

Ekstrak bawang putih dibuat dengan ekstraksi maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Bawang putih yang telah didapat kemudian dibersihkan dengan menggunakan air kemudian dicacah halus atau diblender (tanpa air). Setelah diblender potongan bawang putih dikeringkan dengan cara dijemur. Setelah kering, timbang potong bawang putih seberat 200g kemudian potongan bawang putih direndam selama 24 jam di dalam ethanol 96% sebanyak 1000 ml untuk membuat larutan stok. Setelah direndam selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 100%.


(50)

34

Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat menggunakan rumus:

Keterangan:

V1 = volume larutan mula-mula (ml) M1 = konsentrasi mula-mula (%)

V2 = volume larutan sesudah diencerkan (ml) M2 = konsentrasi sesudah diencerkan (%)

Tabel 3. Jumlah Ekstrak Bawang Putih yang Dibutuhkan pada Penelitian

M1 V2 M2 1 =

. Pengulangan (V1 x 4)

100% 200 ml 0,1% 0,2 ml 0,8 ml

100% 200 ml 0,3% 0,6 ml 2,4 ml

100% 200 ml 0,5% 1,0 ml 4,0 ml

100% 200 ml 0,7% 1,4 ml 5,6 ml

100% 200 ml 1% 2,0 ml 8,0 ml

Total 20,8 ml

3. Uji daya tetas telur

- Dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari ekstrak Bawang putih (Allium sativum L.) sebagai ovisida dengan konsentrasi ekstrak yaitu 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7% dan 1% serta 0% sebagai kontrol.

- Dimasukkan telur Aedes aegypti ke dalam gelas plastic berukuran 250 ml yang telah berisi 200 ml campuran air dan ekstrak bawang putih masing-masing sebnyak 20 butir yang terdiri dari 4 kali pengulangan.


(51)

35

4. Pengamatan

Pengamatan untuk efektivitas ekstrak bawang putih dilakukan setiap 6 jam sekali sampai hari ketiga. Parameter yang diamati adalah jumlah telur yang tidak menetas menjadi larva.

5. Analisis data

Jumlah telur yang tidak menetas menjadi larva akan diolah dan dianalisis dengan uji hipotesis one way ANOVA menggunakan program komputer untuk mengolah data.

6. Diagram Alir Kerja

Untuk memperjelas proses penelitian, maka disajikan diagram alur penelitian sebagai berikut.

Gambar 14. Diagram Alir Penelitian

Ekstrak Bawang Putih

Analisis Konsentrasi

0%

Konsentrasi 0,1%

Konsentrasi 0,3%

Konsentrasi 0,5%

Konsentrasi 0,7%

Konsentrasi 1%

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V Kelompok IV

Setiap kelompok perlakuan dilakukan dengan empat kali pengulangan


(52)

36

G. Analisis Data

Data yang diperoleh di uji analisis statistik menggunakan program pengolah data di komputer.Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan uji analisis one wayANOVA. Berikut adalah langkah-langkah melakukan uji analisisone wayANOVA

1. Memeriksa syarat uji parametik one way ANOVA untuk lebih dari 2 kelompok tidak berpasangan:

a. Distribusi data harus normal (wajib); b. Varians data harus sama;

2. Jika tidak memenuhi syarat, maka akan diupayakan melakukan transformasi data supaya distribusi menjadi normal dan varians sama;

3. Jika variable hasil transformasi tidak memenuhi syarat, maka akan dipilih uji nonparametric Kruskal-Wallis;

4. Jika pada uji one way ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p<0,05 (hipotesis dianggap bermakna), dilanjutkan dengan melakukan analisisPost HocBonferroni untuk mengetahui perbedaan antar kelompok yang lebih terinci.


(53)

45

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Simpulan Umum

Pemberian ekstrak bawangputih(Allium sativumL.) efektif sebagai ovisida

Aedes aegypti.

2. Simpulan Khusus

Konsentrasi ekstrak bawangputih (Allium sativumL.)yang paling efektif dalam menghambat perkembangan telurAedes aegypti menjadi larva instar 1adalahkonsentrasi 1% dengan rerata jumlah telur yang tidak menetas 19,25±0,957.

B. Saran

Dari hasil penelitian peneliti menyarankan agar:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjutmengenai pengaruhekstrak bawang putih (Allium sativumL.) sebagai ovisida terhadap spesies-spesies nyamuk lainnya yang berperan sebagai vektor penyakit.

2. Penelitian dengan menggunakan ekstrak bawang putih (Allium sativumL.) juga dapat dilakukan dengan metode ekstraksi yang berbeda.


(54)

46

Daftar Pustaka

Adebowale, A. 2006. Chemical composition and insectisidal properties of the underutilized Jatropha curcas seed oil. African Journal Biotechnology.5. Amagase, H. 2006. Clarifying the Real Bioactive Constituent of Garlic. The

Journal of Nutrition 136.

Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. UI Press. Jakarta.

Araujo, M., Goretti, dan I. Cassandra. 2006.Effect Of Stalk And Leaf Ekstract From Euphorbiaceae Species On Aedes aegypti (Diptera, Culicidae) Larva. Rev. Inst. Med. Trop. S. Paulo.

Astuti, E.P. 2008. Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croto tiglium) dan jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi dan Ovisida Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus. Tesis Entomologi Kesehatan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Astuti, U.N.W., Cahyani R.W. dan Ardiansyah M. 2004.Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Mindi (Melia azedarach) Terhadap Daya Tetas Telur, Perkembangan dan Mortalitas Larva Aedes aegypty. Laboratorium Parasitologi, Fakultas Biologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Bede, J. C dan S.S. Tobe. 2000. Activity of insect juvenile hormon III: seed

germination dan seedling growth studies.Chemoecology Vol. 10.

Bede, J. C, Peter E.A. Teal, Walter G. Goodman, dan Stephen S. Tobe. 2001. Biosynthetic Pathway of Insect Juvenile Hormon III in Cell Suspension Cultures of the SedgeCyperus iria.Plant Physiology.

Bloomquist J.R. 2004.Insectisides: Chemisteries and characteristics.Department of Entomology, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia.

Caroci, A.S., Y. Li., F. G. Noriega. 2004. Reduced juvenile hormone synthesis in mosquitoes with low teneral reserves reduces ovarian previtellogenic development inAedes aegypti. The Journal of Experimental Biology 207.


(55)

47

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes aegypti Mosquito. San Juan.

Christhoper, S. R. 1960.Aedes aegypti (L), The Yellow Fever Mosquito. London Cambridge University Press.

Dahlan, M. S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012. Profil kesehatan Indonesia tahun 2011. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Dorland. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC

Elekonich, M.M dan G.E. Robinson. 2000. Organizational and activational effects of hormones on insect behavior.Journal of Insect Physiology 46(2000) : 1509–1515

Elimam AM, Elmalik KH, Ali FS. 2009. Larvicidal, adult emergence inhibition and oviposition deterrent effects of foliage extract from Ricinuscommunis L. against Anopheles arabiensisand Culexquinquefasciatus in Sudan.

Tropical Biomedicine, vol.26, no. 2, hh 130139

Emlen, D.J dan H.F. Nijhout. 1999. The Development Dan Evolution Of Exaggerated Morphologies In Insects.Annu. Rev. Entomol. 2000. 45:661 708.

Fitria, A. 2008. Efek Ekstrak Etanol Daun Dewa (Gynura pseudochina L) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Mencit Putih Jantan Galur Balb-C Hiperurisemia. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta.

Kardinan, A. .2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal. 1-4

Kardinan, A. .2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 29

Kardinan A, Dhalimi A. 2003. Mimba (Azadirachta indica Juss.) tanaman multimanfaat,perkembangan teknologi tanaman rempah dan obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat. Bogor. vol. 15, no 1

Kou, R. dan S.J Chen. 2000. Allatotropic dan nervous control of corpora allata in the adult male loreyi leafworm,Mythimna loreyi(Lepidoptera: Noctuidae). Physiol. Entomol. 25 : 273-280.


(56)

48

Li, S., Y.C. Ouyang, E. Ostrowski, D.W. Borst. 2005. Allatotropin regulation of juvenile hormone synthesis by the corpora allata from the lubber grasshopper,Romalea microptera.Peptides 26 (2005) 6372

Listiawati, Y. 2010. Uji Efek Antipiretik Ekstrak Etanol Daun Legundi (Vitex Trifolia Linn) pada Kelinci Yang Diinduksi Vaksin Dpt-Hb. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Lorenz, M.W., K.H.Hoffmann, G.G.de. 1999. Juvenile hormone biosynthesis in larval and adult stick insects,Carausius morosus. Journal of Insect Physiology 45(1999) : 443452

Mardacena, M. 2009.Efektivitas Ekstrak Daun Nimba (Azadirachta indica Juss.) Sebagai Ovisida Aedes aegypti Linn.Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Martinez, S. H, J. G. Mayoral, Y. Li, F. G. Noriega. 2007. Role of juvenile hormon dan allatotropin on nutrient allocation, ovarian development dan survivorship in mosquitoes.Journal of Insect Physiology 53.

Moczek, P.A., dan H.F. Nijhout. 2003. Developmental mechanisms of threshold evolution in a polyphenic beetle.Evolution and Development 4.

Nijhout, H.F. 2003. The control of body size in insects.Developmental Biology 261.

Novizan. 2004.Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan, Cetakan 2. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Ridad A., Ochadian H., Natadisastra D. 1999. Bunga Rampai Entomologi Medik. Edisi ke-2. Bagian Parasitologi FK Unpad.

Robinson, G.E dan E. L. Vargo. 1997. Juvenile Hormone in Adult Eusocial Hymenoptera: Gonadotropin and Behavioral Pacemaker.Insect Biochemistry and Physiology 35:559583

Sen, S.E., A.E. Sperry, M. Childress, D.E. Hannemann. 2003. Juvenile hormon biosynthesis in moths: synthesis dan evaluation of farnesol homologs as alternate substrates of farnesol oxidase.Insect Biochemistry dan Molecular Biology 33 (2003) 601607

Shelby, J.A, R. Madewell, A.P. Moczek. 2007. Juvenile Hormone Mediates Sexual Dimorphism in Horned Beetles.J. Exp. Zool. (Mol. Dev. Evol.) DOI 10.1002/jez.: 1-11

Smith SL. 1985. Regulation of ecdysteroid titre: synthesis.InGA Kerkut, LI Gilbert, eds.Comprehensive insect physiology, biochemistry dan pharmacology. Vol 8.Oxford: Pergamon Press, pp 295-341.


(57)

49

Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Jakarta, Airlangga University Press

Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., Pohan, H.T., 2006. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.

Suwasono dan Soekirno. 2004. Uji Coba Beberapa Insektisida Golongan Pyrethroid Sintetik Terhadap Vektor Demam Berdarah Dengue Aedes Aegypti Di Wilayah Jakarta Utara. Jurnal Ekologi Kesehatan. 3 (1): 43-47.

Verma, K.K. 2007. Polyphenism in insects and the juvenile hormone.J. Biosci.32(2) (2007) : 415420.

WHO. 2005.Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.

WHO. 2010. Dengue: The Fastest Growing Mosquito-Borne Disease in The World. Geneva.

Wyatt GR, Davey KG. Cellular dan molecular actions of juvenile hormon.2. Roles of juvenile hormon in adult insects.Adv Insect Physiol1996;26:1 155.


(1)

data di komputer.Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan uji analisis one wayANOVA. Berikut adalah langkah-langkah melakukan uji analisisone wayANOVA

1. Memeriksa syarat uji parametik one way ANOVA untuk lebih dari 2 kelompok tidak berpasangan:

a. Distribusi data harus normal (wajib); b. Varians data harus sama;

2. Jika tidak memenuhi syarat, maka akan diupayakan melakukan transformasi data supaya distribusi menjadi normal dan varians sama; 3. Jika variable hasil transformasi tidak memenuhi syarat, maka akan dipilih

uji nonparametric Kruskal-Wallis;

4. Jika pada uji one way ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p<0,05 (hipotesis dianggap bermakna), dilanjutkan dengan melakukan analisisPost HocBonferroni untuk mengetahui perbedaan antar kelompok yang lebih terinci.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Simpulan Umum

Pemberian ekstrak bawangputih(Allium sativumL.) efektif sebagai ovisida Aedes aegypti.

2. Simpulan Khusus

Konsentrasi ekstrak bawangputih (Allium sativumL.)yang paling efektif dalam menghambat perkembangan telurAedes aegypti menjadi larva instar 1adalahkonsentrasi 1% dengan rerata jumlah telur yang tidak menetas 19,25±0,957.

B. Saran

Dari hasil penelitian peneliti menyarankan agar:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjutmengenai pengaruhekstrak bawang putih (Allium sativumL.) sebagai ovisida terhadap spesies-spesies nyamuk lainnya yang berperan sebagai vektor penyakit.

2. Penelitian dengan menggunakan ekstrak bawang putih (Allium sativumL.) juga dapat dilakukan dengan metode ekstraksi yang berbeda.


(3)

Daftar Pustaka

Adebowale, A. 2006. Chemical composition and insectisidal properties of the underutilized Jatropha curcas seed oil. African Journal Biotechnology.5. Amagase, H. 2006. Clarifying the Real Bioactive Constituent of Garlic. The

Journal of Nutrition 136.

Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. UI Press. Jakarta.

Araujo, M., Goretti, dan I. Cassandra. 2006.Effect Of Stalk And Leaf Ekstract From Euphorbiaceae Species On Aedes aegypti (Diptera, Culicidae) Larva. Rev. Inst. Med. Trop. S. Paulo.

Astuti, E.P. 2008. Efektivitas Minyak Biji Kamandrah (Croto tiglium) dan jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai Larvasida, Anti-Oviposisi dan Ovisida Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus. Tesis Entomologi Kesehatan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Astuti, U.N.W., Cahyani R.W. dan Ardiansyah M. 2004.Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Mindi (Melia azedarach) Terhadap Daya Tetas Telur, Perkembangan dan Mortalitas Larva Aedes aegypty. Laboratorium Parasitologi, Fakultas Biologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Bede, J. C dan S.S. Tobe. 2000. Activity of insect juvenile hormon III: seed

germination dan seedling growth studies.Chemoecology Vol. 10.

Bede, J. C, Peter E.A. Teal, Walter G. Goodman, dan Stephen S. Tobe. 2001. Biosynthetic Pathway of Insect Juvenile Hormon III in Cell Suspension Cultures of the SedgeCyperus iria.Plant Physiology.

Bloomquist J.R. 2004.Insectisides: Chemisteries and characteristics.Department of Entomology, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia.

Caroci, A.S., Y. Li., F. G. Noriega. 2004. Reduced juvenile hormone synthesis in mosquitoes with low teneral reserves reduces ovarian previtellogenic development inAedes aegypti. The Journal of Experimental Biology 207.


(4)

Christhoper, S. R. 1960.Aedes aegypti (L), The Yellow Fever Mosquito. London Cambridge University Press.

Dahlan, M. S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. 2012. Profil kesehatan Indonesia tahun 2011. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Dorland. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC

Elekonich, M.M dan G.E. Robinson. 2000. Organizational and activational effects of hormones on insect behavior.Journal of Insect Physiology 46(2000) : 1509–1515

Elimam AM, Elmalik KH, Ali FS. 2009. Larvicidal, adult emergence inhibition and oviposition deterrent effects of foliage extract from Ricinuscommunis L. against Anopheles arabiensisand Culexquinquefasciatus in Sudan. Tropical Biomedicine, vol.26, no. 2, hh 130139

Emlen, D.J dan H.F. Nijhout. 1999. The Development Dan Evolution Of Exaggerated Morphologies In Insects.Annu. Rev. Entomol. 2000. 45:661 708.

Fitria, A. 2008. Efek Ekstrak Etanol Daun Dewa (Gynura pseudochina L) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Mencit Putih Jantan Galur Balb-C Hiperurisemia. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta.

Kardinan, A. .2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal. 1-4

Kardinan, A. .2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 29

Kardinan A, Dhalimi A. 2003. Mimba (Azadirachta indica Juss.) tanaman multimanfaat,perkembangan teknologi tanaman rempah dan obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat. Bogor. vol. 15, no 1

Kou, R. dan S.J Chen. 2000. Allatotropic dan nervous control of corpora allata in the adult male loreyi leafworm,Mythimna loreyi(Lepidoptera: Noctuidae). Physiol. Entomol. 25 : 273-280.


(5)

Trifolia Linn) pada Kelinci Yang Diinduksi Vaksin Dpt-Hb. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Lorenz, M.W., K.H.Hoffmann, G.G.de. 1999. Juvenile hormone biosynthesis in larval and adult stick insects,Carausius morosus. Journal of Insect Physiology 45(1999) : 443452

Mardacena, M. 2009.Efektivitas Ekstrak Daun Nimba (Azadirachta indica Juss.) Sebagai Ovisida Aedes aegypti Linn.Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Martinez, S. H, J. G. Mayoral, Y. Li, F. G. Noriega. 2007. Role of juvenile hormon dan allatotropin on nutrient allocation, ovarian development dan survivorship in mosquitoes.Journal of Insect Physiology 53.

Moczek, P.A., dan H.F. Nijhout. 2003. Developmental mechanisms of threshold evolution in a polyphenic beetle.Evolution and Development 4.

Nijhout, H.F. 2003. The control of body size in insects.Developmental Biology 261.

Novizan. 2004.Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan, Cetakan 2. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Ridad A., Ochadian H., Natadisastra D. 1999. Bunga Rampai Entomologi Medik. Edisi ke-2. Bagian Parasitologi FK Unpad.

Robinson, G.E dan E. L. Vargo. 1997. Juvenile Hormone in Adult Eusocial Hymenoptera: Gonadotropin and Behavioral Pacemaker.Insect Biochemistry and Physiology 35:559583

Sen, S.E., A.E. Sperry, M. Childress, D.E. Hannemann. 2003. Juvenile hormon biosynthesis in moths: synthesis dan evaluation of farnesol homologs as alternate substrates of farnesol oxidase.Insect Biochemistry dan Molecular Biology 33 (2003) 601607

Shelby, J.A, R. Madewell, A.P. Moczek. 2007. Juvenile Hormone Mediates Sexual Dimorphism in Horned Beetles.J. Exp. Zool. (Mol. Dev. Evol.) DOI 10.1002/jez.: 1-11

Smith SL. 1985. Regulation of ecdysteroid titre: synthesis.InGA Kerkut, LI Gilbert, eds.Comprehensive insect physiology, biochemistry dan pharmacology. Vol 8.Oxford: Pergamon Press, pp 295-341.


(6)

Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., Pohan, H.T., 2006. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.

Suwasono dan Soekirno. 2004. Uji Coba Beberapa Insektisida Golongan Pyrethroid Sintetik Terhadap Vektor Demam Berdarah Dengue Aedes Aegypti Di Wilayah Jakarta Utara. Jurnal Ekologi Kesehatan. 3 (1): 43-47.

Verma, K.K. 2007. Polyphenism in insects and the juvenile hormone.J. Biosci.32(2) (2007) : 415420.

WHO. 2005.Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.

WHO. 2010. Dengue: The Fastest Growing Mosquito-Borne Disease in The World. Geneva.

Wyatt GR, Davey KG. Cellular dan molecular actions of juvenile hormon.2. Roles of juvenile hormon in adult insects.Adv Insect Physiol1996;26:1 155.