PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Aedes aegypti
ABSTRAK
PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Aedes aegypti
Oleh
M PATRIO GONDO SUCIPTO
World Health Organization melaporkan Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya. Terdapat 1 juta kasus terkonfirmasi dilaporkan pada World Health Organization setiap tahun, akan tetapi WHO mengestimasi jumlahnya lebih dari 50 juta setiap tahun. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Dengue. Insektisida alami seperti senyawa derivat tumbuhan umumnya bersifat spesifik, mudah terurai dan tidak berbahaya terhadap lingkungan. Kandungan ekstrak bawang putih meliputi allicin, dialil sulphide, dan flavonoid dapat berperan sebagai pengatur pertumbuhan serangga. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa. Waktu penelitian yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2014. Pengujian aktivitas pengatur perkembangan ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) mengikuti pedoman WHO (2005), pengujian dilakukan terhadap larva instar III Aedes aegypti. Pada akhir penelitian, pengaruhnya dinilai sebagai IE% (Adult Emergence Inhibition) berdasarkan jumlah larva yang tidak dapat berkembang menjadi stadium dewasa pada berbagai konsentrasi (0,025-0,125%). 50% dan 90% hambatan perkembangan larva instar III Aedes aegypti menjadi stadium dewasa (IE50 dan IE90) didapatkan pada konsentrasi 0,148% dan 0,708%. Sehinggan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh ekstrak bawang putih sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
Kata kunci: daun Allium sativum, ekstrak etanol, Aedes aegypti, pengatur pertumbuhan serangga
(2)
ABSTRACT
INFLUENCE OF GARLIC (Allium sativumL.) EXTRACT AS THE LARVACIDE OF Aedes aegypti LARVA
By
M PATRIO GONDO SUCIPTO
World Health Organization reported a Dengue is mosquito-borne disease that is the fastest growth. There are 1 million that confirmed cases reported to the World Health Organization each year, but the WHO estimates that there are more than 50 million each year. The natural insecticides such as plant derived compounds are generally pest specific, biodegradable and harmless to the environment. Phytochemicals constituents from garlic extracts (Allium sativum L.) include allicin, dialil sulphide, and alkaloid can act as insect growth regulators. This research aimed to investigate the adults emergence inhibition of ethanol extracts from garlic of (Allium sativum L.) against Aedes aegypti larva.
Period of the research was from June to July 2014. Insect growth regulators activity of garlic extract (Allium sativum L.) was carried out using WHO protocol, third instar larvae are used for testing. At the end of the observation period, the impact is expressed as IE% (Adult Emergence Inhibition) based on the number of larvae that do not develop successfully into adults at various concentration (0,025-0,125%).
50% and 90% of adult emergence inhibition (IE50 and IE90) were 0,148% and 0,708% against third instar larvae of Aedes aegypti. Garlic extract effective as the larvacide of Aedes aegypti larva..
Keywords: Allium sativum L, ethanol extract, Aedes aegypti, insect growth regulator
(3)
PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti
Oleh
M Patrio Gondo Sucipto
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
(4)
(5)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Liquica pada tanggal 18 Februari 1992, sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Risono dan Ibu Sriharlinda.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 01 Manna, Bengkulu selatan
pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SLTP) di SMPN 1 Manna
diselesaikan pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 5
Bengkulu selatan pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama penulis diterima
sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter FK UNILA melalui jalur PKAB.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif pada sejumlah organisasi
mahasiswa seperti Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSI Ibnu Sina) dan Genetalia
(6)
Allah SWT
MY BELOVED
Papa dan Mama
Koko
Haniif
Big Family
MY LOVELY
Friends and FK Unila 2009
My Almamater
(7)
SANWACANA
Alhamdulillahi Robbil „Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L) sebagai Larvasida Terhadap Larva Aedes aegypti” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung;
2. Ibu Dra. Endah Setianingrum, M.Biomed., selaku Pembimbing I atas
kesediaannya dan ketelatenannya memberikan bimbingan, bantuan, saran,
dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga
selesai;
3. dr. Novita Carolia, M.Sc selaku Pembimbing II atas kesediaan meluangkan
waktu dan membimbing serta memberikan masukannya hingga penulis
(8)
bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
5. dr. Indri Windarti, sp.PA dan dr. Rika Lisiswanti selaku Pembimbing
Akademik yang telah memberikan saran dan masukkan kepada penulis;
6. Papa dan mama yang selalu menyebut nama saya dalam doanya,
membimbing, mendukung, dan memberikan yang terbaik;
7. Saudara saya (Mpg. Subarqo) yang selalu memberi doa, bantuan, dan
semangat, serta adik saya (M. Haniif SL) yang telah memberikan semangat;
8. Seluruh Keluarga besar atas perhatian, dukungan, dan doa yang telah
diberikan;
9. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis
untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;
10. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang
turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;
11. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FMIPA Unila, serta pegawai
yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;
12. Sahabat-sahabat saya yang merangkap sebagai Tim Bantuan Skripsi, Indah,
Apga, Fajar, Wirda, Tiny, dan Vicky terima kasih banyak atas bantuannya
yang berharga;
13. Indah, Apga, Wirda, Ari, Tiny yang telah membantu dan menemani selama
penelitian;
14. Teman-teman angkatan 2009 atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini,
(9)
16. Teman-teman dari team CTB Apga, Fahmi, Bian, Kharisma dan Riyan yang
selalu memberikan dukungan selama ini;
17. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya yang sudah memberikan semangat
kebersamaan dalam satu kedokteran.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi
yang membacanya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi
rahmat-Nya kepada kita. Aamiin.
Bandar Lampung, Januari 2015
Penulis
(10)
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR GRAFIK ... vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum ... 6
2. Tujuan Khusus ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teori ... 7
2. Kerangka Konsep ... 8
F. Hipotesis ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes aegypti
1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti ... 9 2. Siklus Hidup Aedes aegypti ... 13
(11)
3. Hormon Pertumbuhan Sebagai Pengatur Perkembangan ... 15
B. Bawang Putih (Allium sativum L.) 1. Deskripsi Tanaman ... 17
2. Daerah distribusi, keanekaragaman dan sifat khas ... 18
3. Kegunaan Bawang Putih dalam Masyarakat ... 20
4. Efek Biologik ... 21
C. Pengendalian Vektor Secara Kimiawi 1. Insektisida ... 28
2. Insect Growth Regulator ... 30
3. Efek Juvenile Hormon Mimics Bawang Putih ... 31
E. Ekstraksi ... 33
III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 35
B. Tempat dan Waktu ... 35
C. Populasi dan Sampel ... 36
D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian ... 37
2. Alat Penelitian ... 37
E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan ... 39
2. Tahap Penelitian ... 41
F. Identifikasi Variabel dan DefinisiOperasional 1. IdentifikasiVariabel... 42
(12)
G. Analisis Data ... 45
H. Diagram Alir ... 46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... 47
B. Pembahasan... 54
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ... 61
B. Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan dari 100 gram umbi Allium sativum L ... 20
2. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian ... 37
3. Jumlah Ekstrak Bawang Putih yang Dibutuhkan pada Penelitian ... 40
4. Definisi Operasional ... 42
5. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 48
6. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 49
7. Hasil Uji Normalitas Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 50
8. Hasil Uji Post Hoc Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 52
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori ... 7
2. Hubungan Antarvariabel ... 8
3. Larva Instar I Aedes aegypti ... 10
4. Larva Instar II Aedes aegypti ... 11
5. Larva Instar III Aedes aegypti ... 11
6. Larva Instar IV Aedes aegypti ... 12
7. Pupa Aedes aegypti ... 12
8. Nyamuk Aedes aegypti ... 13
9. Siklus Hidup Aedes aegypti ... 14
10. Bawang Putih (Allium sativumL.) ... 17
(15)
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman 1. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang
Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 48
2. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 50
(16)
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue. (Lawuyan, 2006 ;
Yotopranoto dkk., 2008)
Keberhasilan dalam upaya pemberantasan vektor penular penyakit
ditentukan oleh berbagai faktor , antara lain sarana, prasarana maupun
sumber daya manusia. Dalam hal upaya pengendalian Aedes aegypti , perlu kiranya pemahaman ilmu entomologi diantaranya adalah taksonomi,
morfologi, ekologi dan siklus hidup dari vector (Soegijanto, 2003).
WHO melaporkan Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya. Terdapat 1 juta kasus terkonfirmasi dilaporkan
pada World Health Organization setiap tahun, akan tetapi WHO mengestimasi jumlahnya lebih dari 50 juta setiap tahun, dengan 20 ribu
(17)
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan
digunakan oleh program pengendalian dengue di tingkat pusat dan di
daerah. Metode pengendalian vektor dengue tersebut yaitu: manajemen
lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimiawi, partisipasi
masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan (Sukowati,
2010; Hoedojo et al., 2006).
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa
menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida jika digunakan secara
tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, dan cakupan akan mampu
mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka
tertentu akan menimbulkan resistensi vektor (Sukowati, 2010).
Data penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar
pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Shinta dkk menunjukkan resistensi
vektor terhadap insektisida yang digunakan oleh program pengendalian
vektor dengue (Sukowati, 2010). Residu insektisida sintetik pada ekosistem
dapat mengurangi sensitivitas larva nyamuk terhadap larvasida. Berkaitan
dengan biodegradabilitasnya, ekstrak insektisida dari tanaman dianggap
lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida sintetik (Ghosh,
(18)
efektivitasnya setara dengan insektisida kimiawi, namun mudah didapat
oleh masyarakat, murah, dan sederhana (Pidiyar, 2004; Gionar, 2005).
Salah satu daya kerja dari insektisida nabati adalah mempengaruhi hormon
pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulation). Mekanisme kerjanya seperti Juvenile Hormone Mimics yaitu mencegah maturasi atau pematangan insekta, sehingga insekta tidak mampu molting dan berkembang menjadi stadium selanjutnya atau dewasa sehingga akhirnya
mati (Campbell, 2003). Penelitian yang dilakukan Elimam, (2009) dan
Rajkumar, (2005) melaporkan bahwa senyawa seperti allicin memilki
aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga. Banyaknya masalah yang dapat ditimbulkan oleh
insektisida menjadi dasar pemikiran tentang cara apa yang lebih aman untuk
membasmi nyamuk dalam hal ini bentuk larvanya. Tanaman tradisional
seperti bawang putih dapat menjadi alternatif pengganti insektisida (Sutton,
2009).
Bawang putih dipilih oleh karena tanaman ini sudah sangat dikenal
masyarakat, dan mudah diperoleh. Bawang putih memiliki manfaat yang
besar bagi kehidupan manusia. Bagian utama dan paling penting dari
tanaman bawang putih adalah umbinya. Pendayagunaan umbi bawang putih
selain sudah umum untuk dijadikan bumbu dapur sehari-hari, juga
merupakan bahan obat-obatan tradisional yang memiliki multi khasiat.
(19)
tepung, dan diolah menjadi acar (Rukmana, 2005). Di bidang kesehatan
bawang putih sudah banyak diteliti mengenai efek anti mikroba misalnya
terhadap H.pyloridan antiparasit terhadap Cappilaria spp (Sutton, 2009).
Kandungan senyawa yang sudah diketemukan pada bawang putih
diantaranya adalah ”allicin” dan ”sulfur amonia acid alliin”. Sulfur amonia acid Alliin ini oleh enzim allicin lyase diubah menjadi piruvicacid, amonia, dan allicin anti mikroba. Selanjutnya allicin mengalami perubahan menjadi
”diallyl sulphide”. Senyawa allicin dan diallyl sulphide inilah yang memiliki banyak kegunaan dan berkhasiat obat (Rukmana, 2005). Allicin
dan turunannya juga bersifat larvasida (Sutton, 2009).
Dari uraian di atas, maka dilakukan penelitian untuk membuktikan efek
larvasida dari ekstrak bawang putih terhadap larva Aedes sp serta mencari dosis yang efektif dari ekstrak bawang putih sebagai larvasida Aedes sp.
B. Rumusan Masalah
Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya (WHO, 2010). Pengendalian secara kimiawi masih menjadi metode
pengendalian vektor dengue yang paling populer. Data mengenai resistensi
vektor terhadap insektisida telah banyak dilaporkan, resistensi dapat terjadi
karena residu insektisida di lingkungan menyebabkan berkurangnya
sensitivitas larva terhadap insektisida. Insektisida nabati lebih ramah
lingkungan karena biodegradabilitasnya yang baik (Sukowati, 2010; Ghosh,
(20)
hormon pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulation). Tanaman bawang putih dapat menjadi alternatif insektisida. Syamsuhidayat
dan Hutapea (2001) dan Sudarsono, (2002) menyebutkan bahwa bawang
putih memiliki senyawa bioaktif seperti alkaloid, saponin, flavonoid,
polifenol, dan terpenoid. Hasil penelitian yang dilakukan Elimam, (2009)
dan Rajkumar, (2005) melaporkan bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga.
Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu:
Adakah pengaruh bawang putih sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti?
(21)
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang paling efektif dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.
b. Mengetahui 50% dan 90% inhibition of adult emergence (IE50 dan IE90) dari ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah
mengenai khasiat ekstrak bawang putih terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu parasitologi khususnya entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab
(22)
2. Bagi Peneliti
Sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari
sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.
3. Bagi Masyarakat/Institusi
Dapat memberi informasi kepada masyarakat khususnya pembaca
mengenai manfaat dan khasiat bawang putih.
4. Bagi Penelitian Lebih Lanjut
Sebagai referensi atau acuan bagi penelitian serupa.
E. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
(Sumber: Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) Ekstrak Ethanol Bawang Putih
(Allium sativum L.)
Allisin, Saponin, Flavonoid
Larva Tidak Berhasil Mencapai Stadium
Nyamuk Dewasa
Aktivitas Juvenile Hormone Mimics
Pengaruh terhadap Perkembangan Serangga
(23)
2. Kerangka Konsep
Gambar 2. Hubungan Antarvariabel
F. Hipotesis
Terdapat pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
Variabel Independen
Variabel Dependen Ekstrak etanol
bawang putih
Kelompok I (Kontrol negatif)
Persentase larva yang tidak berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa Dosis I
Dosis II
Dosis III
Dosis IV
Dosis V
Dosis VI
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
Kelompok V
(24)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes aegypti
Salah satu spesies nyamuk yang paling sering ditemukan di wilayah tropis
dan subtropis di dunia, termasuk Indonesia. Aedes aegypti merupakan vektor primer penyakit virus, yaitu demam dengue, cikungunya, dan yellow fever (CDC, 2012).
1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti 1) Larva Aedes aegypti
Ciri-ciri larva Aedes aegypti yaitu memilki corong udara pada segmen terakhir, pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai
adanya rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs), pada corong udara terdapat pekten, adanya sepasang rambut serta jumbai pada
corong udara (siphon), pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8 sampai 21 atau berjejer 1 sampai 3, bentuk individu dari comb scale seperti duri. Larva nyamuk bernafas terutama pada permukaan air, biasanya melalui satu buluh pernafasan
pada ujung posterior tubuh (siphon). Saluran pernafasan pada Aedes secara relatif pendek dan gembung. Pada waktu istirahat, posisinya
(25)
hampir tegak lurus dengan permukaan air. Segmen anal pelana tidak
menutupi segmen. Gigi sisir tidak berduri lateral (Prianto et al., 2004).
Ada 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan
pertumbuhan larva, yaitu (Hoedojo, 2003) :
a. Larva instar I; berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau satusampai
dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum menghitam (Hoedojo, 2003).
Gambar 3. Larva Instar I Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
b. Larva instar II; berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari
setelah telur menetas, duri-duri dada belum jelas, corong
(26)
Gambar 4. Larva Instar II Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
c. Larva instar III; berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari
setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernapasan berwarna coklat kehitaman (Hoedojo, 2003).
Gambar 5. Larva Instar III Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
d. Larva instar IV; berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur
empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala
(27)
Gambar 6. Larva Instar IV Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
2) Pupa Aedes aegypti
Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air.
Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal sayap
nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling
menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan
mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsang.
Bentuk nyamuk dewasa timbul setelah sobeknya selongsong pupa
oleh gelembung udara karena gerakan aktif pupa. Pupa bernafas pada
permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil
pada toraks (Aradilla, 2009).
Gambar 7. Pupa Aedes aegypti (Sumber: Zettel, 2010)
(28)
3) Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus) (Djakaria, 2006). Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar
warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada
dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi
lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking) (Soegijanto, 2006).
Gambar 8. Nyamuk Aedes aegypti (Sumber: CDC, 2012)
2. Siklus Hidup Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari bentuk telur, jentik, kepompong dan nyamuk dewasa. Stadium telur,
jentik, dan kepompong hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk
hidup secara teresterial (di udara bebas). Pada umumnya telur akan
(29)
air. Nyamuk betina meletakkan telur di dinding wadah di atas permukaan
air dalam keadaan menempel pada dinding perindukannya. Nyamuk
betina setiap kali bertelur dapat mengeluarkan telurnya sebanyak 100
butir. Fase aquatik berlangsung selama 8-12 hari yaitu stadium jentik
berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (pupa) berlangsung 2-4
hari. Pertumbuhan mulai dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa
berlangsung selama 10-14 hari. Umur nyamuk dapat mencapai 2-3 bulan
(Ridad, 2009).
Gambar 9. Siklus Hidup Aedes aegypti (Sumber : Hopp & Foley, 2001)
Setelah 2-3 hari telur menetas menjadi larva (jentik) yang selalu hidup di
dalam air. Selama proses pertumbuhannya larva nyamuk mengadakan
(30)
Pertumbuhan larva stadium I sampai dengan stadium IV (instar I-IV)
berlangsung selama 5-7 hari. Perkembangan dari instar I ke instar II
berlangsung dalam 2-3 hari, kemudian dari instar II ke instar III dalam
waktu 2 hari, dan perubahan dari instar III ke instar IV dalam waktu 2-3
hari (Aradilla, 2009). Larva mengambil makanan dari tumbuhan atau
mikroba di tempat perindukannya (CDC, 2012).
Larva instar IV kemudian tumbuh menjadi pupa kurang lebih selama 3
hari (Shinta, 2011). Pupa merupakan stadium yang tidak makan tetapi
masih memerlukan oksigen yang diambilnya melalui corong pernapasan
(breathing trumpet). Diperlukan waktu 1-2 hari agar pupa menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu
sekitar 14 hari (Ridad, 2009).
3. Hormon Pertumbuhan sebagai Pengatur Perkembangan
Semua kelompok artropoda mempunyai sistem endokrin yang ekstensif.
Serangga mempunyai eksoskeleton yang tidak bisa meregang. Serangga
terlihat tumbuh secara bertahap, dengan melepaskan eksoskeleton lama
dan megekskresikan eksoskeleton baru pada setiap pergantian kulit. Pada
serangga pergantian kulit dipicu oleh hormon yang disebut ekdison
(ecdysone). Pada serangga ekdison disekresi dari sepasang kelenjar endokrin, yang disebut kelenjar protoraks, terletak persis dibelakang
(31)
perkembangan karakteristik dewasa, seperti perubahan larva menjadi
nyamuk (Campbell, 2004).
Pada serangga produksi ekdison itu sendiri dikontrol oleh hormon yang
disebut sebagai hormon otak (brain hormone, BH). Sel-sel neurosekretori di otak menghasilkan hormon otak (brain hormone, BH), namun hormon tersebut disimpan dan dikeluarkan dari organ yang disebut korpus
kardiakum. Hormon tersebut mendorong perkembangan dengan cara
merangsang kelenjar protoraks untuk mensekresikan ekdison. Sekresi
ekdison secara bertahap, dan setiap pembebasan hormon tersebut akan
merangsang pergantian kulit (Campbell, 2004).
Hormon otak dan ekdison diseimbangkan oleh hormon juvenil (juvenile hormone, JH). Juvenile hormon disekresikan oleh sepasang kelenjar kecil persis dibelakang otak, yaitu korpus allata. Hormon juvenil menyebabkan
karakteristik larva tetap dipertahankan. Kadar hormon juvenil dalam tubuh
serangga pada stadium larva awal akan cukup tinggi, sedangkan pada
stadium larva akhir mulai berkurang. Demikian juga pada stadium pupa,
kadarhormon juvenil sedikit. Pada stadium dewasa kadarhormon juvenil
meningkat kembali, hal ini berhubungan dengan fungsinya dalam proses
reproduksi (Gilbert, 2004).
Pada konsentrasi JH yang relatif tinggi, pergantian kulit yang dirangsang
oleh ekdison akan menghasilkan tahapan larva sekali lagi sehingga
(32)
menghambat metamorfosis. Ketika kadar hormon juvenil semakin
berkurang, maka pergantian kulit yang diinduksi oleh ekdison baru dapat
menghasilkan suatu tahapan perkembangan yang disebut sebagai pupa. Di
dalam pupa tersebut, metamorfosis mengubah anatomi larva menjadi
bentuk serangga dewasa. Serangga yang sudah dewasa tersebut kemudian
keluar dari pupa. Versi sintetik JH sekarang sedang digunakan sebagai
insektisida untuk mencegah perkembangan atau pematangan serangga
menjadi serangga dewasa yang bereproduksi (Campbell, 2004).
B. Tanaman Bawang Putih (Allium sativum L.)
Deskripsi
Gambar 10.Allium Sativum L (Sumber: Sucipto, 2014)
Suku : Liliaceae
Perawakan: herba annual (2-4 bulan), tegak, 30 - 60 cm.
Batang : kecil (corpus), 0,5 - 1 cm.
Daun : bangun garis, kompak, datar, lebar 0,4 – 1,2 cm, pangkal pelepah membentuk umbi, bulat telur melebar, anak umbi bersudut, di bungkus
(33)
Bunga : susunan majemuk payung sederhana, muncul di setiap anak umbi,
1-3 daun pelindung, seperti selaput.
Tenda bunga (perhiasan) : 6 daun, bebas atau berlekatan di pangkal,
bentuk memanjang, meruncing, putih-putih kehijauan-ungu (Lucas, 2007).
Asal - usul : Asia daratan
Daerah distribusi
Di Jawa di budidaya di dataran tinggi 1000 - 200 m dpl.
Keanekaragaman
Variasi morfologi kecil (sempit), hanya terjadi pada ukuran organ. Ada
beberapa varietas bawang putih yang tumbuh di Indonesia, antara lain
varietas unggul Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, Ilocos, Gombloh, Layur
dan lain-lain. (Lucas, 2007).
Sifat khas
Daun 8 - 10 helai, pelepah membungkus membentuk batang semu, pangkal
membungkus anak-anak umbi lapis, di setiap anak umbi memiliki tunas
(34)
Budidaya
Gambar 11. Allium Sativum L (Sumber: Hariana, 2008)
Yang digunakan sebagai bibit bukan seluruh umbinya, namun hanya
siungnya saja. Menjelang ditanam, sekitar 1-2 hari, umbi dijemur beberapa
jam, lalu dipecah-pecah menjadi siung, usahakan agar kulit siung tidak
ikut terkelupas, kemudian dipilah-pilah berdasar atas keseragaman ukuran
siung. Bagian ujung kulit siung umumnya mengering dan menutupi lubang
tempat lewatnya tunas pertama, maka untuk mempercepat dan
mempermudah keluarnya tunas pertama perlu daerah tersebut disayat
sekitar 1/8 - 1/5 bagian (Hariana, 2008).
Tanah yang dipersiapkan adalah dalam bentuk bedeng berparit yang telah
digemburkan, serta telah diolah dengan pemberian pupuk dasar dan
pengapuran (bagi lahan yang terlalu asam). Jarak tanam bisa 10 x 10 cm
sampai 15 x 10 cm tergantung luas lahan, semakin jarang semakin baik,
tetapi menurut pengalaman, dengan jarak tanam 15 x 15 cm ternyata tidak
menghasilkan panen yang lebih baik dibanding 15 x 10 cm.
Bibit-bibit yang pertama kali ditanam perlu ditaburkan tanah halus di
(35)
Jagalah kelembaban jerami dengan cara menyiram air sekedarnya (jangan
terlalu basah, asal lembab sudah cukup) (Hariana, 2008).
Pemeliharaan selanjutnya sama dengan yang dilakukan pada bawang
merah, meliputi pengairan, penyiangan, penggemburan tanah, pemupukan,
pencegahan dan pemberantasan hama-penyakit. Juga kadang-kadang
(apabila dianggap perlu) perlu dilakukan penjarangan tanaman (Hariana,
2008).
Kegunaan di masyarakat
Umbi bawang putih berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi,
meredakan rasa pening di kepala, menurunkan kolesterol, dan obat maag.
Di samping itu digunakan pula sebagai ekspektoransia (pada bronkhitis
kronis), karminativa (pada keadaan dispepsia dan meteorismus (Hansel,
2001).
Analisis Kandungan Gizi
Tabel 1.Kandungan dari 100 gram umbi Allium sativum L.
Kandungan Jumlah
Air
Kalori
Protein
Lemak
Karbohidrat
Serat
61-68 %
122 kal
3,5-7 %
0,3 %
24-28 %
(36)
β-Carotene Tiamin (Vit B1)
Riboflavin (Vit B2)
Niasin
Asam askorbat (Vit C)
Kalsium
Kalium
Natrium
Zat besi
Fosfor (sbg P2O5)
Sangat sedikit
Sedikit
Sedikit
Sedikit
Sedikit
28,00 mg
377,00 mg
16,00 mg
1,50 mg
109,00 mg
Dosis
•Dalam bentuk minyak 0,12-0,2 ml.
•Dalam bentuk juice yang dicampur dengan sirup 4-8 ml.
Efek biologik
Air perasan bawang putih bersifat meningkatkan methemoglobin dalam
darah, dapat menurunkan tekanan darah tinggi dan dapat menurunkan
kadar kolesterol dalam darah (Perry, 2000).
Sari etil eter dari serbuk bawang putih yang telah dikeringkan memiliki
aktivitas mengendalikan kadar gula darah pada kelinci puasa yang diberi
perlakuan glukosa. Bawang putih segar juga memiliki aktivitas penurunan
kadar gula darah pada kelinci yang dibuat diabetes dengan aloksan.
(37)
bawang putih), ternyata juga memberikan hasil yang sama (Atal, 2002).
Juice bawang putih juga dilaporkan dapat berpengaruh dalam
pengendalian kadar gula darah pada kelinci yang diberi glukosa berlebihan
dan memacu mobilitas kolesterol.
Alisin dilaporkan terbukti memiliki potensi sebagai anti bakteri terhadap
bakteri Gram positif dan Gram negatif, Mycobacterium tuberculosis serta terhadap Staphylococcus aureus dan Brucella abortus. Terhadap S.aureus potensinya adalah satu miligram alisin setara dengan 15 Oxford penicillin
units. Pertumbuhan bakteri-bakteri lain yang juga terhambat oleh alisin
maupun alisin adalah Staphylococci, Streptococci, Eberthella typhosa, Bacillus paratyphoid A, Bacterium dysenteriae, Bacterium enteridis, Vibrio cholerae dan beberapa bakteri tahan asam (Lucas, 2007).
Alisin dilaporkan memiliki aktivitas menghambat enzim sulfidril (-SH),
suatu reaksi yang diketahui berperan dalam penghambatan pertumbuhan
sel-sel ganas.
Perubahan bentuk produk (+)-S-alil-L-sistein sulfoksida, alisin, ajoene,
dan Dialil disulfida menunjukkan aktivitas in vitro dalam hal
penghambatan secara bermakna terjadinya penggumpalan trombosit (IC50
terhitung = 60 M).4) Dan dalam berbagai percobaan klinis telah
dibuktikan, bahwa serbuk bawang putih mampu menurunkan secara
bermakna kadar trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dalam plasma, serta
mampu pula menurunkan secara bermakna terbentuknya penggumpalan
trombosit spontan dan juga kekentalan plasma (Eckner, 2003).
(38)
pada tikus putih dan mencit dan memiliki aktivitas estrogenik pada tikus
putih betina. Setelah 4 hari dilakukan penyuntikan sari alkohol secara
intramuskuler terhadap binatang percobaan, akan dikeluarkan
metabolitnya yang berupa 17-ketosteroid, hal ini menunjukkan adanya
efek kortikotropik pada korteks adrenal binatang tersebut. Selain itu juga
dilaporkan memiliki aksi sebagai antelmintik, antiseptik dan anti asma
(Atal, 2002).
Aksi Anthelmintic terutama terhadap cacing Ascaris dan Oxyuris.
Terhadap cacing Ascaris lumbricoides menyebabkan terjadinya paralisis. Ekstrak bawang putih dilaporkan memiliki efek fibronolitik, meningkatkan
mobilitas kholesterol dan trigliserida. Disamping itu dapat pula berefek
sebagai anti asma. Potensi anti asma tersebut adalah karena adanya ester
asam tiosulfinat yaitu dengan menghambat proses timbulnya asma
(menekan pengaruh alergen) (Sri, 2001).
Alil-2-propen-1-tiosulfinat dan Alkil-tiosulfinat juga memiliki aktivitas
terhadap infeksi dermatophytic, baik terhadap infeksi jamur maupun infeksi bakteri Gram positif dan negatif pada kulit. Sedang kandungan
yang lain Garlisin, Alistatin I dan Alistatin II memiliki aktivitas antibiotik
dengan potensi 1:50.000 (Wagner, 2004).
Tablet Alisatin yang berisi sari bawang putih diindikasikan untuk anti
kejang pada perut, sementara sediaan tablet yang lain Alimin yang berisi
konsentrat bawang putih yang tidak mengandung air, diindikasikan untuk
vasodilator bagi penderita tekanan darah tinggi (Lucas, 2007).
(39)
bawang putih, untuk menurunkan kolesterol dan obat tekanan darah tinggi.
Untuk kepentingan pengobatan, tanaman Allium sativum L. telah banyak dibudidayakan di berbagai negara. Senyawa karakteristik yang terkandung
di dalamnya adalah turunan sicstein yang berkaitan erat dengan senyawa
g-glutamil dipeptide (Eckner, 2003).
Bawang putih mengandung 0,2% minyak atsiri yang berwarna kuning
kecoklatan, dengan komposisi utama adalah turunan asam amino yang
mengandung sulfur (aliin, 0,2-1%, dihitung terhadap bobot segar). Pada
proses destilasi atau pengirisan umbi, aliin berubah menjadi alisin.
Kandungan yang lain adalah alil sulfida dan alil propil disulfida, sejumlah
kecil polisulfida, alil divinil sulfida, alil vinil sulfoksida,
trans-Ajoen-2-vinil-[4H]-1,3-ditiin, metil-aliltrisulfida, cis-Ajoen, 3-vinil-[4H]-1,2-ditiin,
Dialiltrisulfida, adenosin. Kadar Alliin sangat tergantung dari penyiapan simplisia (pada cara penyiapan simplisia yang kurang baik, maka 1/4
bagian aliin akan mengalami perubahan). Bobot jenis minyak atsiri
bawang putih berkisar antara 1,046-1,057. Alisin adalah senyawa yang
memberikan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung
saponin, tuberholosida, dan senyawa fosforus (0,41%) (Atal, 2002).
Gambar 10.Susunan Senyawa Allium sativum L (Sumber: Sudarsono, 2002)
Senyawa lain yang terkandung di dalam bawang putih adalah alistatin I,
(40)
Aliin atau S-Alil-L-sistein sulfoksida C6H11NO2S, selain terkandung
dalam bawang putih juga terkandung dalam bawang merah (Allium cepa L.) dan jenis-jenis Allium lainnya. Senyawa ini berupa hemihidrat yang tidak berwarna C6H11NO2S.½H2O bentuk jarum tumpul yang diperoleh
dari hasil rekristalisasi menggunakan pelarut aseton. Jarak leburnya
164-1660C (dengan mengeluarkan gas), praktis larut dalam air. Tidak larut
dalam etanol mutlak, kloroform, aseton, eter dan benzena. Aliin memiliki
dua pusat asimetrik, hingga secara teoritis memiliki empat isomer, dua
diantaranya diturunkan dari L-Sistein dan D-Sistein alami. Keempat
isomer tersebut seluruhnya telah dapat disintesis, dan salah satu yang
identik dengan aliin alami adalah (-)-S-alil-L-sistein sulfoksida. Senyawa
ini memiliki potensi sebagai antibakteri (Wagner, 2004).
Pemberian perlakuan enzim alinase atau juga disebut aliinase (yaitu enzim
yang sangat spesifik terhadap aliin), akan segera memecah aliin menjadi
alisin, asam piruvat dan amonia. Sebenarnya alisin bebas inilah yang
berdaya sebagai anti bakteri.
Alisin C6H10OS2 memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Alisin ini juga
terkandung dalam bawang merah. Berbentuk cairan dengan bau yang khas
bawang putih. Bersifat mengiritasi kulit, bila direbus atau disuling akan
mengalami dekomposisi. Indeks biasnya 1,561 (20oC), bobot jenis 1,113 (20oC). Kelarutan dalam air 2,5% w/w (10oC). pH sekitar 6,5. Dapat campur dengan alkohol, eter, dan benzena. Alisin merupakan senyawa
yang tidak stabil, adanya pengaruh panas air, oksigen udara dan
(41)
dialildisulfida (yang menimbulkan bau tidak enak). Alisin stabil dalam
lingkungan asam (Wagner, 2004).
Gambar 11. Susunan Senyawa Allium sativum L (Sumber: Sudarsono, 2002)
Kedua struktur paling bawah ditemukan oleh Eckner, (2003) sebagai
senyawa asam amino baru. Sebelah kiri
(-)-N-(1'--D-frictpurampsil)-S-alil-L-sistein sulfok-sida merupakan glikosida asam amino, sementara struktur
(42)
Gambar 12. Susunan Senyawa Allium sativum L (Sumber: Sudarsono, 2002)
Efek yang tidak diinginkan
Tidak semua orang memiliki toleransi terhadap penggunaan bawang segar
dosis besar, karena sifat iritasinya pada mulut, oesophagus dan lambung.
Penggunaan bentuk serbuk dengan dosis relatif besar dapat menimbulkan
rasa mual, disamping itu keringat dan nafasnya akan berbau tak sedap (bau
badan atau bau mulut campur dengan bau bawang, dikarenakan adanya
metabolit aliin, dialildi-sulfida, dialiltrisulfida dan oligosulfida) (Hansel 2001).
Toksisitas
Bawang putih yang sudah bertunas tidak baik untuk dikonsumsi, karena
(43)
C. Pengendalian Vektor secara Kimiawi
1. Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang
digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai
sifat yaitu, mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak
berbahaya bagi binatang vertebra termasuk manusia dan ternak, murah
harganya dan mudah di dapat dalam jumlah besar, mempunyai susunan
kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah dipergunakan dan
dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut, dan tidak berwarna
dan tidak berbau yang tidak menyenangkan (Hoedojo, 2006).
Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah (Ridad,
2009):
1) Ovisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium telur
2) Larvasida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium larva/nimfa
3) Adultisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium dewasa
4) Akarisida, yaitu insektisida untuk membunuh tungau
5) Pedikulisida, yaitu insektisida untuk membunuh tuma
Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada
bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam bahan kimia,
konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam upaya membunuh serangga dengan insektisida ialah
mengetahui spesies serangga yang akan dikendalikan, ukurannya, susunan
(44)
Klasifikasi insektsisida dibagi dalam (Hoedojo, 2006; Ridad, 2009):
1) Berdasarkan cara masuknya ke dalam badan serangga, yaitu:
a. Racun kontak, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan
serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu
istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida.
b. Racun perut, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan
serangga melalui mulut, jadi insektisida ini harus dimakan.
c. Racun pernapasan, yaitu insektisida yang masuk melalui sistem
pernapasan.
2) Berdasarkan macam bahan kimia, yaitu:
a. Insektisida anorganik, terdiri dari golongan sulfur dan merkuri,
golongan arsenikum, dan golongan flour.
b. Insektisida organik berasal dari alam, terdiri dari golongan
insektsida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan golongan insektisida
berasal dari bumi (minyak tanah dan minyak).
c. Insektisida organik sintetik, terdiri dari golongan organik klorin
(DDT, dieldrin, klorden, BHC, linden), golongan organik fosfor
(malation, paration, diazinon, fenitrotion, temefos, DDVP,
ditereks), golongan organik nitrogen (dinitrofenol), golongan sulfur
(45)
2. Insect Growth Regulator
Insect Growth Regulator (IGR) merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam kegiatan larvaciding. IGR adalah sejenis bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan larva sejak dari instar I sampai IV
dan dapat menggangu hormon pertumbuhan larva agar tidak berhasil
menjadi pupa atau nyamuk dewasa. Kematian nyamuk disebabkan karena
ketidakmampuan nyamuk untuk melakukan metamorfosis. Telur gagal
menetas, larva gagal menjadi pupa, pupa gagal menjadi nyamuk dewasa
(Fitriani, 2004).
Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem
endokrin dan yang menghambat sintesis kitin. Juvenile Hormone Mimics merupakan tiruan hormon juvenil endogen, mencegah metamorfosis
menjadi stadium dewasa yang viabel ketika diberikan pada stadium larva.
Sampai sekarang, terdapat dua target primer juvenoid yang telah diketahui,
yaitu menghambat juvenile hormone esterase sehingga tidak terjadi degradasi hormon juvenil endogen dan dengan cara efek agonis pada
reseptor hormon juvenil. Pada stadium dewasa serangga, hormon juvenil
terlibat dalam regulasi vitelogenesis telur. Perubahan pada homeostasis
pada tahap perkembangan ini dapat menyebabkan telur yang steril
(Mehlhorn, 2008).
Hormon juvenil dan juvenile hormon mimics bertindak sebagai suppressor atau stimulator terhadap ekspresi gen yang tergantung pada tahap
(46)
perkembangan dan tipe protein pengatur. Hal ini menjelaskan variasi efek
yang terjadi pada serangga yang diberikan juvenoid. Fenoxycarb adalah insect growth regulator dengan aksi sebagai racun kontak dan pencernaan. Kandungannya memperlihatkan aktivitas hormon juvenil yang kuat,
menghambat metamorfosis menjadi stadium dewasa dan menghambat
proses moulting. Methoprene merupakan insect growth regulator yang mencegah metamorfosis menjadi stadium dewasa yang viable ketika
diberikan pada tahap perkembangan larva (Mehlhorn, 2008).
Insektisida yang menghambat pembentukan kitin adalah dari golongan
benzylurea seperti lufenuron, diflubenzuron (@Dimilin), teflubenzuron
(@Nomolt) dan hexaflumuron (@Sentricon). Kitin adalah komponen
utama eksoskeleton serangga. Terganggunya proses pembentukan kitin
larva tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan akhirnya
mati (Sudarmo, 2001).
3. Efek Juvenile Hormone Mimics Bawang Putih
Bawang putih mengandung terpenoid, flavonoid, dan alkaloid (Sudarsono
dkk, 2002). Elimam et al.(2009) dan Rajkumar et al.(2005) melaporkan bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga.
(47)
Tanaman yang mempunyai kandungan bahan aktif phenylpropane derivates, nonsteroidal terpenoid, steroidal terpenoid, gossypol dan alkaloid mempunyai aktivitas Juvenile hormone (JH). Perkembangan kematangan insekta tergantung pada JH yang menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertambahan ukuran tanpa perubahan bentuk yang
radikal (Wigglesworth, 2004).
Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif
yang terkandung di dalamnya. Kandungan allicin dan dialil sulphide memiliki sifat bakterisida dan bakteristatik (Rukmana, 2005). Allicin bekerja dengan cara menggangu sintesis membran sel parasit sehingga
parasit tidak dapat berkembang lebih lanjut (Nok, 2006), Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak sulfhidril (SH) yang terdapat pada protein. (bawang putih)
Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein dengan sulfhidril
(SH) Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis. Toksisitas allicin tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki glutathione yang dapat melindungi sel mamalia dari efek allicin (Anki S, 2007). Berdasarkan mekanisme tersebut maka allicin dapat menghambat perkembangan larva stadium 3 menjadi larva stadium 4 atau
larva stadium 4 tidak akan berubah menjadi pupa dan akhirnya mati karena
membran selnya telah dirusak (Nok AJ, 2006).
Garlic oil bekerja dengan mengubah tegangan permukaan air sehingga larva mengalami kesulitan untuk mengambil udara dari permukaan air. Hal
(48)
ini diduga menyebabkan larva tidak mendapat cukup oksigen untuk
pertumbuhannya sehingga menyebabkan kematian larva (Tvedten S, 2005)
Penelitian yang dilakukan Aghneta (2004) melaporkan bahwa ekstrak
dbawang putih yang diujikan pada larva Culex quinquefasciatus menyebabkan terjadinya perpanjangan waktu yang diperlukan dalam
perkembangan larva menjadi pupa. Pada penelitian tersebut juga
dilaporkan pemberian ekstrak bawang putih meningkatkan mortalitas pada
stadium larva dan pupa (Aghneta, 2004).
D. Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode umum yang digunakan untuk mengambil produk
dari bahan alami, seperti jaringan tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan
sebagainya. Ekstraksi dapat dianggap sebagai langkah awal dalam
rangkaian kegiatan pengujian aktivitas biologi tumbuhan yang dianggap
atau diduga mempunyai pengaruh biologi pada suatu organisme. Untuk
menarik komponen nonpolar dari suatu jaringan tumbuhan tertentu
dibutuhkan pelarut nonpolar, seperti petroleum eter atau heksana,
sedangkan untuk komponen yang lebih polar dibutuhkan pelarut yang
lebih polar juga, seperti etanol atau metanol (Dadang dan Prijono, 2008).
Terdapat beberapa metode ekstraksi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan
beberapa faktor seperti sifat dari bahan yang akan diekstrak, daya
(49)
memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan ekstrak yang
umum digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi, partisi,
dan ekstraksi ultrasonik. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan
cara dingin dan panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi,
sedangkan cara panas antara lain yaitu metode refluk, soxhlet, digesti,
destilasi uap, dan infus (Kurnia, 2010).
Maserasi merupakan proses pengambilan komponen target yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut yang sesuai
dalam jangka waktu tertentu. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan dengan
konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai
terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam
sel. Selama proses maserasi sesekali dilakukan pengadukan dan juga
pergantian pelarut (Harborne, 1998). Residu yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya diuapkan. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut
diuapkan untuk menguapkan pelarut dengan alat penguap (rotary evaporator) hingga menghasilkan ekstrak pekat (Dadang dan Prijono, 2008).
(50)
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan melihat pengaruh
konsentrasi 50% dan 90% inhibition of adult emergence (IE50 dan IE90) dari ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 di :
1. Laboratrium Kimia dasar, jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung untuk pembuatan
ekstraksi.
2. Laboratorium Zoologi, jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung untuk
(51)
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 (Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang) Ciamis
dalam bentuk kering dengan media kertas saring.
2. Sampel Penelitian
a. Kriteria Inklusi
1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III, dan 2) Larva bergerak aktif
b. Kriteria Eksklusi
1) Larva mati sebelum perlakuan
2) Larva berasal dari alam bebas
3. Besar Sampel
Berdasarkan pedoman WHO (2005), penelitian mengenai uji larvasida
menggunakan 20 larva sampai 30 larva pada setiap kelompok uji. Peneliti
menggunakan 25 larva pada setiap kelompok uji. Pada penelitian ini
terdapat 6 kelompok uji dengan 4 kali pengulangan pada setiap kelompok
uji, maka pada penelitian ini dibutuhkan total larva sebanyak 600 larva.
Rincian jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai
(52)
Tabel 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian
Perlakuan
Jumlah Larva X Jumlah
Pengulangan Total
Kontrol (-): 0% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan I: 0,025% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan II: 0,050% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan III: 0,075% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan IV: 0,1% 25 larva x 4 100 larva Perlakuan V: 0,125% 25 larva x 4 100 larva
Jumlah total larva yang dipakai dalam penelitian
600 larva
D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum L.) yang telah dihancurkan sebanyak 3 g, ethanol 96% sebanyak 3 ml sebagai pelarut dan aquades untuk tempat berkembang larva serta
untuk melakukan pengenceran ekstrak. Waktu penelitian yang cukup
panjang sehingga penelitian ini juga memerlukan pelet kelinci dalam
bentuk padat sebagai makanan larva. Pakan berupa pelet kelinci digunakan
untuk menghindari terjadinya kekeruhan pada tempat pertumbuhan larva.
Pelet diberikan sebanyak 10 mg/l (WHO, 2005).
2. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Alat untuk preparasi bahan uji, yaitu:
(53)
2) Kain kasa untuk memisahkan larva dengan air.
3) Gelas plastik ukuran ±400 ml untuk tempat meletakkan larva uji.
4) Sangkar nyamuk untuk meletakkan gelas tersebut pada waktu
dilakukan uji.
b. Alat untuk pembuatan ekstrak bawang putih, yaitu:
1) Timbangan untuk menimbang bawang putih yang diperlukan.
2) Blender untuk menghaluskan bawang putih.
3) Baskom plastik sebagai tempat atau wadah ekstrak.
4) Gelas plastik untuk merendam bawang putih yang telah
dihaluskan dengan ethanol 96%.
5) Alumunium foil untuk menutup gelas saat melakukan ekstraksi.
6) Saringan untuk memisahkan ekstrak ethanol bawang putih dengan
ampasnya.
7) Pipet ukuran 1 ml untuk mengambil ekstrak bawang putih.
c. Alat untuk Uji Efektivitas
1) Gelas ukur untuk mengukur jumlah air yang diperlukan.
2) Kasa nilon untuk menutup gelas tempat pertumbuhan larva.
3) Pipet larva untuk mengambil larva.
4) Lidi untuk mengetahui larva yang mati.
(54)
E. Prosedur Penelitian
Penelitian dibagi dalam 2 tahap, yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Preparasi Bahan Uji
Telur nyamuk Aedes aegypti yang dipakai pada penelitian ini diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran,
Jawa Barat. Bawang putih diperoleh dari kota Bandar Lampung.
b. Rearing Larva
Telur nyamuk dipindahkan ke dalam sebuah nampan yang berisi
media air selama 1-2 hari sampai telur menetas dan menjadi larva.
Larva akan berkembang dari stadium I sampai III yang berlangsung
selama 4-5 hari. Selama masa perkembangannya larva tersebut diberi
pakan berupa pelet.
c. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih
Disiapkan ekstrak bawang putih yang diperoleh dari kota Bandar
Lampung. Pembuatan ekstrak bawang putih ini menggunakan pelarut
berupa ethanol 96%. Bawang putih sebanyak 3 g yang telah didapat
kemudian dibersihkan dengan menggunakan air kemudian dicacah
halus atau diblender (tanpa air). Setelah diblender potongan bawang
putih ditimbang terlebih dahulu baru kemudian dikeringkan dengan
cara diangin-anginkan. Setelah kering, potongan bawang putih
direndam selama 24 jam di dalam ethanol 96% sebanyak 3 ml. Setelah direndam selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga
(55)
diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak bawang putih dengan
konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi yang
diperlukan dapat digunakan rumus:
Keterangan:
V1 = volume larutan mula-mula
M1 = konsentrasi mula-mula
V2 = volume larutan sesudah diencerkan
M2 = konsentrasi sesudah diencerkan
Tabel 2. Jumlah Ekstrak Bawang Putih yang Dibutuhkan pada Penelitian
X1 V2 X2
Pengulangan (V1 x 4) 100% 200 ml 0,025% 0,05 ml 0,2 ml 100% 200 ml 0,050% 0,10 ml 0,4 ml 100% 200 ml 0,075% 0,15 ml 0,6 ml
100% 200 ml 0,1% 0,20 ml 0,8 ml
100% 200 ml 0,125% 0,25 ml 1 ml
Total 3 ml
d. Disiapkan aquades ±4800 ml sebagai media dalam penelitian ini.
e. Disiapkan 24 buah gelas plastik ukuran ±400 ml sebagai wadah media
dalam penelitian ini.
f. Disiapkan gelas ukur dengan ukuran 100 ml untuk mengukur media. V1 M1 = V2 M2
(56)
g. Disiapkan pipet ukur dengan ukuran 1 ml untuk mengukur ekstrak
bawang putih
h. Disiapkan 6 buah lidi yang digunakan untuk menyentuh larva agar
diketahui ada respon gerakan atau tidak.
2. Tahap Penelitian
Larutan uji merupakan ekstrak ethanol bawang putih (Allium sativum L.) dengan konsentrasi 0% sebagai kontrol negatif dan konsentrasi 0,025%;
0,050%; 0,075%; 0,1%; 0,125% sebagai perlakuan yang ditambahkan
pada masing-masing gelas uji. Kontrol negatif hanya menggunakan
aquades sebanyak 200 ml dengan kedalaman 5-10 cm. Efek bawang putih
dalam menghambat perkembangan larva menjadi stadium dewasa
dievaluasi dengan mengikuti pedoman standar pengujian Insect Growth Regulators (WHO, 2005).
Menurut pedoman WHO (2005) larva instar III Aedes egypti yang digunakan dalam pengujian ini. Durasi pengujian yang panjang maka
larva harus diberi makan (pelet kelinci) 10 mg/l dengan cara yang sama
pada masing-masing perlakuan dengan interval pemberian selama 2 hari.
Larva kontrol juga diberi makan dengan cara yang sama denga larva
perlakuan. Gelas-gelas uji dan kontrol ditutup dengan menggunakan kasa
nilon agar terhindar dari kotoran dan serangga yang masuk kemudian
(57)
stadium dewasa terbang ke lingkungan luar. Mortalitas larva dan pupa
dicatat setiap 24 jam (WHO, 2005).
Pada akhir pengamatan pengaruh bawang putih terhadap perkembangan
larva Aedes aegypti dinilai sebagai persentase jumlah larva yang tidak berhasil berkembang menjadi nyamuk dewasa yang viabel (Adult Emergence Inhibition, IE%). Eksperimen selesai ketika semua larva atau pupa pada kontrol mati atau berubah menjadi stadium dewasa. Kemudian
dilakukan analisis untuk mendapatkan nilai IE50 dan IE90.
F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
1. Identifikasi Variabel
a. Variabel Independen
Variabel independen adalah konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.).
b. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah persentase jumlah larva yang tidak berhasil
menjadi stadium nyamuk dewasa (Adult Emergence Inhibiton, IE%).
2. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3. Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil
Ukur Skala
1 Ekstrak bawang putih (Allium
bawang putih (Allium sativum L.) yang telah dicuci dan dipotong-potong, diangin-anginkan, Gelas ukur 100 ml dan timbang- Ditim-bang gram bawang Kadar (%) Numerik
(58)
sativum L.) diblender dan direndam selama 24 jam dengan ethanol 96% kemudian disaring dan diperoleh konsentrasi sebesar 100%.
an. putih /ml pelarut.
2 Berbagai konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.)
Ekstrak bawang putih dinyatakan dalam persen (%). Masing-masing konsentrasi dibuat dengan cara pengenceran. Pada penelitian ini dipakai konsentrasi 0,025%; 0,050%; 0,075%; 0,1%; 0,125% dan kontrol 0% yang kemudian dicari dosis untuk menghambat 50% and 90%
perkembangan larva menjadi stadium dewasa atau inhibition of adult emergence (IE50 and IE90).
Gelas ukur 100 ml dan pipet ukur 1 ml Dengan meng-gunaka n pipet ukur ambil konsen-trasi larutan yang diuji-kan Cairan dalam mililite r Numerik
3 Larva
Aedes aegypti
Pada penelitian ini digunakan larva Aedes aegypti yang telah
mencapai instar III (WHO, 2005), dengan ciri larva
Aedes aegypti berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman. Kaca pembesar - - -
(59)
4 Persentase jumlah larva Aedes aegyti yang tidak berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa (Adult Emergence Inhibiton, IE%) Adult Emergence Inhibition dihitung berdasarkan rumus pada pedoman WHO (2005), yaitu:
Keterangan:
T : persentase jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok perlakuan
C: persentase jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol Kaca pembesar Dihi-tung secara manual kemu-dian dihi-tung dengan rumus IE% WHO Adult Emer-gence Inhibi-tion, IE% Numerik
5 Jumlah larva Aedes aegyti yang tidak berhasil menjadi nyamuk stadium dewasa
Jumlah larva dan pupa yang mati dan hampir mati, serta jumlah nyamuk dewasa yang tidak sempurna terpisah dari
pupal case (WHO, 2005).
Keterangan:
Larva atau pupa yang mati dan hampir mati yaitu larva atau pupa yang tidak bergerak saat disentuh dengan jarum atau larva atau pupa tidak dapat meraih permukaan air dan tidak bergerak ketika air digerakkan (WHO, 2005).
Kaca pembesar Dihi-tung secara manual Jumlah larva yang tidak berhasil menca-pai stadium dewasa Numerik
6 Jumlah larva
Aedes aegyti
Jumlah larva yang berhasil menjadi stadium dewasa dihitung dari jumlah pupal case yang kosong (WHO,
Kaca pembesar Dihi-tung secara manual Jumlah pupal case yang Numerik
(60)
yang berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa
2005). kosong
G. Analisis Data
Data yang diperoleh di uji analisis statistik menggunakan program software
statistik. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan:
1. Uji normalitas data yaitu uji Saphiro-Wilk, jika hasilnya > 0,05 maka
distribusi data normal maka dapat menggunakan uji parametrik anova, tapi jika distribusi data tidak normal (hasilnya < 0,05) menggunakan uji alternatif yaitu uji Kruskal Wallis.
2. Analisis varians (Analysis of Variance / ANOVA)
Dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai IE%
Aedes aegypti antar kelompok uji. Uji ini di pilih untuk melihat perbedaan pada data variabel numerik lebih dari 2 kelompok (Dahlan, 2008).
3. Least Significance Difference (LSD)
Dilanjutkan dengan pengujian LSD untuk mengetahui pasangan nilai mean yang perbedaannya signifikan. Uji ini dilakukan setelah uji anova, uji ini di maksudkan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna pada kelompok variabel (Dahlan, 2008).
(61)
4. Analisis Probit
Dianalisis seberapa besar daya hambat ekstrak bawang putih terhadap
perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa yang
dinyatakan dengan IE50 dan IE90.
H. Diagram Alir
Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian dibuat
diagram alir seperti dibawah ini:
Ekstrak bawang putih100%
Analisis Konsentrasi 0% Konsentrasi 0,025% Konsentrasi 0,050% Konsentrasi 0,075% Konsentrasi 0,1% Konsentrasi 0,125%
Kelompok I Kelompok II Kelompok III
Kelompok IV
Kelompok V Kelompok IV
Setiap kelompok perlakuan dilakukan dengan empat kali pengulangan
Diamati setiap 24 jam
Hitung jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada setiap kelompok perlakuan dan jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol
Hitung IE% pada setiap kelompok perlakuan
(62)
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Simpulan Umum
Terdapat pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
2. Simpulan Khusus
a. Semakin meningkat konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) semakin efektif dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa sampai tingkat konsentrasi tertentu yaitu 0,125%.
b. Ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) memiliki efek penghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa dengan IE50 pada konsentrasi 0,148% dan IE90 pada konsentrasi 0,708%.
(63)
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh ekstrak
bawang putih (Allium sativum L.) sebagai penghambat perkembangan
spesies-spesies nyamuk lainnya yang berperan sebagai vektor penyakit sehingga pemanfaatan ekstrak bawang putih dapat optimal.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi bahan aktif
bwang putih yaitu allicin, terpenoid, alkaloid, dan flavonoid yang
digunakan sebagai zat penghambat perkembangan larva Aedes aegypti
supaya didapatkan hasil yang lebih efektif dan tidak mempengaruhi kualitas air.
3. Sebaiknya dilakukan uji toksisitas ekstrak bwang putih terhadap organisme
(64)
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, N.S. 2005. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan terhadap Nyamuk di Laboratorium. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anki S, Miron T, Rabinkov A, Wilchek M, Mirelman D.1997. Allicin from Garlic Inhibits Cysteine Proteinases and Cytophatic Effects of Entamoeba
histolytica, Antimicroba agent Chemotherapy.10 (2286-2288).
Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. Sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti.Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.
Arif, A., Syamsudin, U. 2005. Obat Lokal. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara S.G., Setiabudy R., Suyatna F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Arivoli, S. dan Tennyson, S. 2011. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Activity of Abutilon indicum (Linn.) (Malvaceae) Leaf Extracts Against Vector Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Of Biopesticides. 4 (1): 27 - 35 (2011).
Arnason, J.T. dan Bernards, M.A, 2010. Impact of Constituent Plant Natural Products on Herbivores and Pathogens. Can J. Zool. 88(615-627).
Atal CK., & BM. Kapur, 2002, Cultivation and Utilization of Medicinal Plants., Regiolan Research Laboratory., Council of Scientific & Industrial Research., Jammu-Tawi., India.
Backer, C.A., and Bakhuizen, R.C.B., 2008 Flora of Java, vol. II & III, P.Noordhoff, Groningen.
Becker, N., Petric, D., Zgomba, M., Boase, C., Dahl, C., Lane, J., dan Kaiser, A. 2003. Mosquitos and Their Control. Kluwer Academic/Plenum Publisher. New York.
(65)
Campbell, J.R., Kenealy, M.D., dan Campbell, K.L. 2003. Animal Sciences The Biology, Care and Production of Domestic Animals4th Edition. Mc Graw-Hill Higher Education. Singapore.
Campbell, N.A., Jane, B.R., Lawrence, G.M. 2004. Biology Fifth Edition. Diterjemahkan oleh: Manalu, W. Erlangga. Jakarta.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes aegypti Mosquito. San Juan.
Dahlan, M. S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta
Darmansjah, I., Gan, S. 2005. Kolinergik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (16 Agustus 2004)
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta
Eckner MM., CAJ. Erdelmeier O. Sticher, and H.D. Reuter, 1993, " A Nover Amino Acid Glycoside and Three Amino Acids from Allium sativum L."., J. Nat. prod., Vol. 56., No. 6., p. 864-869.
Elimam, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinus communis L. against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in Sudan.Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.
Farnesi, L.C., Brito, J.M., Linss, J.T., Marcelo, P.M., Valle, D., Rezende, G.L. 2012. Physiological and Morphological Aspects of Aedes aegypti Developing Larvae: Effects of the Chitin Synthesis Inhibitor Novaluron. PLoS One. 7(1): e30363.
Gama, Z. P., Yanuwiadi, B., Kurniati T.H. 2010. Strategi Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 1: 2087-3522.
(66)
Ghosh A., Chowdhury N., dan Chandra G. 2012. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvicides. Indian J Med Res. 135(5):581-98.
Gionar, Y.R., Zubaidah, S., Stoops, C.A., and Bangs, M.J. 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida OP pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi dalam Peringatan Hari Nyamuk V, Bandung, 19 Agustus 2005.
Gunasekaran, K., Vijayakumar, T., Kalyanasundaram, M. 2009. Larvicidal & Emergence Inhibitory Activities of Neemazal T/S 1.2 PerCent Ec Against Vectors of Malaria, Filariasis & Dengue. Indian J Med Res. 130(2):138-45.
Hansel R; 2001Phytopharmaka (Grundlagen und. Praxis); 2.Aufl; Spinger Verlag, Berlin p.192-198.
Harborne, J.B. 2008. Phytochemical Methods a Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall. London.
Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hoedojo. 2003. DBD dan Penanggulangannya. Majalah Parasitologi Indonesia. 6:31-45.
Kabir, K.E., Tariq, M.R., Ahmed, S., Choudhary, M.I. 2011. A Potent Larvicidal and Growth Disruption Activities of Apium Graveolans (Apiaveae) Seed Extract on The Dengue Fever Moquito, Aedes Aegypti (Diptera: Culicidae). Higher Education Commission. 20(20): 1-18.
Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan Epidemiologi. Jakarta.
Krishnan, K., Senthilkumar, A., Chandrasekaran, M., Venkatesalu, V. 2007. Differential Larvicidal Efficacy of Four Species of Vitex Against Culex quinquefasciatus Larvae. Parasitology Research. 101(6);1721-1723.
Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lucas R., 1987, Secret of the Chinese Herbalist., Revised Edition., Parker Publishing Company Inc., New York., P.216-218.
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, N.S. 2005. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan terhadap Nyamuk di Laboratorium. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anki S, Miron T, Rabinkov A, Wilchek M, Mirelman D.1997. Allicin from Garlic Inhibits Cysteine Proteinases and Cytophatic Effects of Entamoeba
histolytica, Antimicroba agent Chemotherapy.10 (2286-2288).
Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. Sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.
Arif, A., Syamsudin, U. 2005. Obat Lokal. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara S.G., Setiabudy R., Suyatna F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Arivoli, S. dan Tennyson, S. 2011. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition
Activity of Abutilon indicum (Linn.) (Malvaceae) Leaf Extracts Against Vector Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Of Biopesticides. 4 (1): 27 - 35 (2011).
Arnason, J.T. dan Bernards, M.A, 2010. Impact of Constituent Plant Natural Products on Herbivores and Pathogens. Can J. Zool. 88(615-627).
Atal CK., & BM. Kapur, 2002, Cultivation and Utilization of Medicinal Plants., Regiolan Research Laboratory., Council of Scientific & Industrial Research., Jammu-Tawi., India.
Backer, C.A., and Bakhuizen, R.C.B., 2008 Flora of Java, vol. II & III, P.Noordhoff, Groningen.
Becker, N., Petric, D., Zgomba, M., Boase, C., Dahl, C., Lane, J., dan Kaiser, A. 2003. Mosquitos and Their Control. Kluwer Academic/Plenum Publisher. New York.
(2)
Campbell, J.R., Kenealy, M.D., dan Campbell, K.L. 2003. Animal Sciences The Biology, Care and Production of Domestic Animals 4th Edition. Mc Graw-Hill Higher Education. Singapore.
Campbell, N.A., Jane, B.R., Lawrence, G.M. 2004. Biology Fifth Edition. Diterjemahkan oleh: Manalu, W. Erlangga. Jakarta.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes aegypti Mosquito. San Juan.
Dahlan, M. S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta
Darmansjah, I., Gan, S. 2005. Kolinergik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (16 Agustus 2004)
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta
Eckner MM., CAJ. Erdelmeier O. Sticher, and H.D. Reuter, 1993, " A Nover Amino Acid Glycoside and Three Amino Acids from Allium sativum L."., J. Nat. prod., Vol. 56., No. 6., p. 864-869.
Elimam, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinus communis L. against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in Sudan. Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.
Farnesi, L.C., Brito, J.M., Linss, J.T., Marcelo, P.M., Valle, D., Rezende, G.L. 2012. Physiological and Morphological Aspects of Aedes aegypti Developing Larvae: Effects of the Chitin Synthesis Inhibitor Novaluron. PLoS One. 7(1): e30363.
Gama, Z. P., Yanuwiadi, B., Kurniati T.H. 2010. Strategi Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 1: 2087-3522.
(3)
Ghosh A., Chowdhury N., dan Chandra G. 2012. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvicides. Indian J Med Res. 135(5):581-98.
Gionar, Y.R., Zubaidah, S., Stoops, C.A., and Bangs, M.J. 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida OP pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi dalam Peringatan Hari Nyamuk V, Bandung, 19 Agustus 2005.
Gunasekaran, K., Vijayakumar, T., Kalyanasundaram, M. 2009. Larvicidal & Emergence Inhibitory Activities of Neemazal T/S 1.2 PerCent Ec Against Vectors of Malaria, Filariasis & Dengue. Indian J Med Res. 130(2):138-45.
Hansel R; 2001Phytopharmaka (Grundlagen und. Praxis); 2.Aufl; Spinger Verlag, Berlin p.192-198.
Harborne, J.B. 2008. Phytochemical Methods a Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall. London.
Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hoedojo. 2003. DBD dan Penanggulangannya. Majalah Parasitologi Indonesia. 6:31-45.
Kabir, K.E., Tariq, M.R., Ahmed, S., Choudhary, M.I. 2011. A Potent Larvicidal and Growth Disruption Activities of Apium Graveolans (Apiaveae) Seed Extract on The Dengue Fever Moquito, Aedes Aegypti (Diptera: Culicidae). Higher Education Commission. 20(20): 1-18.
Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan Epidemiologi. Jakarta.
Krishnan, K., Senthilkumar, A., Chandrasekaran, M., Venkatesalu, V. 2007. Differential Larvicidal Efficacy of Four Species of Vitex Against Culex quinquefasciatus Larvae. Parasitology Research. 101(6);1721-1723.
Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lucas R., 1987, Secret of the Chinese Herbalist., Revised Edition., Parker Publishing Company Inc., New York., P.216-218.
(4)
Mardisiswojo, S.,& Rajakmangunsudarso, H., 1987., Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang., Balai Pustaka, Jakarta.8. Osol A., & Farrar GE., 1955, The Dispensatory of The United States of America., 25th Ed., J.B. Lippingcott Co., Philadelphia., USA., P.1538.
Meena, A.K., Singh, U., Yadav, A.K., Singh, B., dan Rao, M.M. Pharmacological and Phytochemical Evidences for The Extracts From Plants of The Genus Vitex – A Review. International Journal Of Pharmaceutical And Clinical Research. 2(1): 01-09
Mehlron, H. 2008. Encyclopedia of Parasitology the 3th Edition. Springer-Verlag berlin Heidelberg. New York.
Natadisastra, D dan Ridad, A. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta.
Nok AJ, Williams S, and Onyenekwe P-C. 1996. Allium sativum-induced Death of African Trypanosomes. Parasitology Research 82:634-637.
Perry L.M., 2000, Medicinal Plants of East and Southeast Asia : Attributed, Properties, and Uses., The MIT Press., Massachusetts., P.232.
Pidiyar, V.J., Jangid, K., Patole, M.S., and Shouche, Y.S. 2004. Studies on Cultured and Uncultured Microbiota of Wild Culex Quinquefasciatus Mosquito Midgut Based on 16S Ribosomal RNA Gene Analysis. Am. J. Trop. Med. Hyg., 70(6): 597-603.
Prianto, Juni L.A., Tjahaya, P.U. dan Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rajkumar, S., dan Jebanesan, A. 2005. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Effect of Centella asiatica Brahmi (Umbelliferae) against Mosquito Culex quinquefasciatus Say (Diptera : Culicidae). African Journal of Biomedical Research. Vol. 8 (2005); 31 – 33.
Resh, V.H., dan Carde, R.T. 2009. Encyclopedia Of Insects. Elsevier. New York. Ridad A., Ochadian H., Natadisastra D. 2009. Bunga Rampai Entomologi Medik.
Edisi ke-2. Bagian Parasitologi FK Unpad.
Robinson T. 2001. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Padmawinata K. Terjemahan dari: The Organic Constituens of Higher Plants. ITB. Bandung.
Rukmana R. 2005. Budidaya Bawang Putih. Yogyakarta: Kanisius. hal. 11-22. Schneider, G; 2005, Pharmazeutische Biologie 2. Aufl. BI-Wissenschaftsverlag
(5)
Shaalan, E.A.S., Canyonb, D., Younesc, M.W.F., Wahaba, H.A. and Mansoura, A.H. 2005. A Review of Botanical Phytochemicals with Mosquitocidal Potential. Environment International. 31: 1149-1166.
Singgih Wibowo, 2004, Budidaya Bawang : Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay., Panebar Swadaya., Jakarta., p. 1-84
Soegijanto, S. 2003. Demam Berdarah Dengue, Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua. Airlangga University Press. Surabaya
Sri Sugati,2001 Sugati S., Johny Ria Hutapea, 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia., Jilid I., Balitbang Kesehatan., DepKes RI. Jakarta, p.26-27.
Stecher P.G. (Editor), 2008, The Merck Index: an Encyclopedia of Chemicals and Drugs., Merck & Co. Inc. USA., p. 31-32,472
Sudarmo, S. 2001. Pengendalian Serangga Hama Sayuran dan Palawija. Kanisius. Yogyakarta.
Sudarsono, P.N., D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II. Pusat Studi Obat Tradisional, 159, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sukowati, S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah. Jakarta.
Sutton GA, R Haik, 1999. Efficacy of Garlic as Antihelmintic in Donkey, (Online), (http:// www.isrvma.org/article/54_1_5.htm, diakses 18 Januari 2005).
Syamsuhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Tunaz, H., dan Uygun, N. 2004. Insect Growth Regulators For Insect Pest Control. Turk J Agric For. 28: 377-387.
Tvedten S. The Best Control For Mosquitoes, (Online).
(http://thebestcontrol.com/chapter23/Mosquitoes-Part2.htm diakses 1 April 2005.
USDA. 2006. National Plant Database, Simpleleaf Chastetree. http://plants.usda.gov/about_plants.html
(6)
Wagner. H.S. Bladt, EM. Zgainski, 2004. Plant Drugs Analysis,:A Thin Layer Chromatography Atlas., Springer-Verlag.,Berlin., P.255-256.
Watt J.M., & M.G. Breyer-BrandWijk, 2002, The Medicinal and Poisonous Plants of Southern and Eastern Africa., 2nd Ed., E.S. Livingstone Ltd. London., P.674-679.
WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.
WHO. 2010. Dengue: The Fastest Growing Mosquito-Borne Disease in The World. Geneva.
Wigglesworth V.B. 2004. The Principles of Insect Physiology. The 7th Edition. London Chapman and Hall. Britain.
Yotopranoto,S.,Subekti,S., Rosmanida, Salamun. 2008. Analisis Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di Kotamadya Surabaya.Majalah Kedokteran Tropis Indonesia, 9 (1-2) : 23-31.
Zettel, C.M. 2010. Pupa of the Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti (Linnaeus). http://entnemdept.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti07.htm