Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara)

(1)

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

(Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia

Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara)

Rizky Irsyad Lubis

100906020

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

RIZKY IRSYAD LUBIS (100906020)

THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)

Rincian isi skripsi, 108 halaman, 35 buku, 2 jurnal, 7 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1965 - 2013).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan perbandingan pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia dengan Jaringan Islam Liberal tentang relasi Islam dan Negara. Dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara tersebut? Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi, tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia.

Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi atau partai Islam di Indonesia yang concern dalam hal penegakan Khilafah. Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara.

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia.

Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi.

Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan organisasi-organisasi Islam konservatif dan fundamentalis. Menurut Jaringan Islam Liberal, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Belenggu inilah yang mereka anggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Menurut Jaringan islam Liberal hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan, maka kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Jaringan Islam Liberal menerima


(3)

liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalu studi pustaka, wawancara, observasi lapangan, cara-cara lainnya yang dapat memperkaya informasi terkait dengan tema penelitian. Sumber data utama penelitian ini diperoleh dari buku atau literatur tertulis lainnya serta data dari informan yang merupakan kader ataupu aktifis dari Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia memiliki pandangan bahwa khilafah atau Daulah Islamiyah wajib ditegakkan karena merupakan perintah Tuhan dan hal tersebut berlandaskan dari dalil-dalil yang mereka pahami dan yakini. Terdapat perbedaan pemahaman mengenai hal ini pada Jaringan Islam Liberal, dimana menurut mereka didalam kitab Al-qur‟an tidak pernah ada perintah Tuhan untuk menegakkan khilafah atau Daulah Islamiyah. Jaringan Islam Liberal sendiri lebih menginginkan Indonesia menganut sekularisme murni dimana menurut mereka urusan agama dan bernegara tidak dapat disatukan. Terlepas dari semua hal diatas, pada realitasnya Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal ingin merubah orientasi pemerintahan Islam yang masih mengakomodir mereka secara setengah-setengah. Dimana keduanya harus menghadapi problem-problem umum yang terjadi di negara-negara muslim, Kekhalifahan sendiri dalam hal ini diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada kenyataannya mengandung unsur-unsur yang membebaskan dan demokratis dalam ukuran-ukuran tertentu, sementara kolempok muslim berfikir bebas dalam hal ini diwakili oleh gerakan Jaringan Islam Liberal memiliki cita-cita Islam dengan nilai-nilai universal, yang mampu menyatukan bermacam perbedaan dan faksi-faksi yang tumbuh kuat di tubuh dunia Islam, yang selama ini menghambat kerjasama dunia Islam.


(4)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

RIZKY IRSYAD LUBIS (100906104)

THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)

Contents: 108 pages, 35 books, 2 journals , 7 internet sites. (publication from 1965 - 2013).

ABSTRACT

This research aims to determine how the differences and comparisons of political thought Hizb Indonesia with the Jaringan Islam Liberal about the relationship between Islam and the state. And why Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal has a different view in looking at the relationship between Islam and the state? One facing countries that majority of the people of Islam at the time of its formation is how the seat of religion in the state of life. Given Indonesia is a country with a Muslim population at most so the idea of the relationship between Islam and the state has always been the actual discourse in Indonesia. Indonesia as the country with the largest number of Muslims in the world can not be separated from the influence of Islam in its politics. Although Indonesia is not a country with a theocracy, but clearly visible influence of Islam in Indonesian politics.

Hizb ut-Tahrir Indonesia is an organization or Islamic party in Indonesia who are concerned in terms of enforcement of the Caliphate. Islamic Khilafah is a political institution transnational Islamist pan that will unite all Muslim countries in a unitary nation state politics. Khilafah is a common leadership for all Muslims in the world. Khilafah responsible for implementing Islamic law, and convey the message of Islam to the entire earth.

Jaringan Islam Liberal has a very different view of the conservative Islamic organizations and fundamentalist. According to the Liberal Jaringan Islam Liberal, there is one common thread that can be drawn from the liberal Muslim intellectuals, the feeling and spirit to free (liberating) Muslims from the shackles of backwardness and stagnation. Shackles is what they consider to be the main cause of the impotence of Muslim nations in front of a foreign nation (colonial). According to the Liberal Islam Network just to rebuild (reconstruction) viewpoint and religious attitudes, the deplorable conditions that can be improved. Liberal Islam Network receive liberalism and democracy where, according to their religion and statehood can not be put together.


(5)

In this study, the authors used data collection techniques through literature studies, interviews, field observations, in other ways that can enrich the information related to the research theme. The main data source of this research was obtained from books or other written literature as well as data from an informant who ataupu cadre of activists of Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal.

Based on research that has been done, it can be concluded that the Hizb ut-Tahrir Indonesia has the view that the caliphate or Daulah Islamiyah shall be enforced because it is the command of God and it is the basis of arguments that they understand and believe. There are differences in the understanding of this at the Liberal Islam Network, which according to them in the book of the Qur'an there is never God's command to enforce a caliphate or Daulah Islamiyah. Liberal Islam Network itself is more pure desire Indonesia embraced secularism which, according to their religious affairs and state can not be put together. In spite of all the above, in reality Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Islamic Liberal Network wants to change the orientation of Islamic government that still accommodate them by halves. Which both have to face the common problems that occur in Muslim countries, Caliphate itself in this regard advocated by Hizb ut-Tahrir Indonesia in fact contain elements liberating and democratic in certain sizes, while kolempok Muslims think freely in this case represented by the movement of the Liberal Islam Network has the ideals of Islam with universal values, capable of uniting various differences and factions grow stronger in the body of the Islamic world, which has been inhibiting the cooperation of the Islamic world.


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Penguji Skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dilaksanakan Pada:

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji: Ketua :

( )

Nip.

Anggota I :

( )

Nip.

Anggota II :

( )


(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Rizky Irsyad Lubis

NIM :100906020 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Pemikiran Politik Islam di Indonesia

(Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara)

Menyetujui :

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing,

(Dra.T.Irmayani,M.Si) (Dr. Heri Kusmanto, MA) NIP. 196806301994032001 NIP. 196410061998031002

Mengetahui: Dekan FISIP USU,

(Prof.Dr.Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(8)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda saya tercinta Ermafni dan Ayahanda Herman Lubis


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan yang maha esa, karena atas berkah dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam Liberal

Tentang Relasi Islam dan Negara)”. Penulisan skripsi mengenai bagaimana

perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat perampungan final studi untuk mencapai gelar sebagai sarjana Ilmu Politik.

Tulisan ini saya sadari sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dari banyak pihak tentunya akan menyita lebih banyak tenaga, waktu, biaya dan akan sulit terselesaikan. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada para pihak yang telah membantu untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Heri Kusmanto, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berarti kepada saya untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Serta seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingannya kepada saya selama berkuliah di Departemen Ilmu Politik. Juga kepada Staff


(10)

Administrasi Departemen Ilmu Politik yaitu Kak Emma, Bang Burhan, Kak Siti atas segala bantuannya.

Terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan terkhusus kepada Pembimbing utama dalam kehidupan saya yang sekaligus sebagai inspirasi dalam kehidupan saya yaitu kedua orang tua saya, Ibu Ermafni dan Bapak Herman Lubis serta kepada kedua Adik saya, M. Irfan Lubis dan Syafira Fadillah Lubis atas segala doa, motivasi dan dukungan selama ini kepada saya untuk menyelesaikan studi saya dengan sebaik-baiknya.

Tak lupa kepada seluruh kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2010. Khususnya kepada Josua Hutauruk, Yovie Rezki Akbar, Ade Randana Panjaitan, sukses untuk kita semua. Juga kepada senior-senior Ilmu Politik atas waktu diskusinya dan segala masukannya. Juga semua yang telah membantu yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu. Terimakasih sebanyak-sebanyaknya, semoga kebaikan semua mendapatkan balasan kebaikan pula dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama penulisan skripsi ini terdapat terdapat kesalahan kata atau perbuatan yang menyinggung beberapa pihak. Saya berharap, Allah SWT membalas semua kebaikan para pihak yang telah membantu dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin.

Medan, 25 Juni 2015


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Abstract ... iii

Halaman Pengesahan ... v

Halaman Persetujuan ... vi

Lembar Persembahan ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori ... 11

F.1. Pemikiran Politik Islam ... 11

F.1.1 Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali ... 11

A. Islam Tradisional/Fundamentalis ... 11

A. Islam Sekularistik ... 15

A. Islam Moderat ... 20

F.1.2Pemikiran Politik Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (Hizbut Tahrir) ... 25

F.2 Teori Perbandingan Politik... ... 32

G. Metode Penelitian ... 34

H. Sistematika Penulisan ... 36

BAB II SEPUTAR HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAN JARINGAN ISLAM LIBERAL A. Hizbut Tahrir Indonesia ... 38


(12)

A.1. Berdirinya Hizbut Tahrir ... 38

A.2. Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia ... 41

A.3. Aktivitas Hizbut Tahrir Indonesia ... 43

B. Jaringan Islam Liberal ... 45

B.1. Latar Belakang Berdirinya Jaringan Islam Liberal ... 45

B.2. Visi, Misi dan Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal ... 50

B.3. Perkembangan dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal ... 52

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK HIZBUT TAHRIR INDONESIA DENGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA A. Analisis Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Tentang Relasi Islam dan Negara... 57

A.1. Negara Islam Menurut Hizbut Tahrir Indonesia ... 57

A.2. Khilafah Sebagai Sistem Pemerintahan ... 61

A.2.1 Struktur Negara Khilafah ... 67

a. Khalifah ... 67

b. Mu‟awin at – Tafwidh (wuzara‟ at- Tafwidh) ... 69

c. Para Wali ... 70

d. Amir Al-Jihad ... 71

e. Keamanan Dalam Negeri ... 72

f. Industri ... 73

g. Peradilan ... 74

h. Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum ... 75

i. Baitul Mal ... 76

j. Lembaga Informasi ... 77

k. Majelis Umat (Syura dan Muhasabah) ... 78

B. Analisis Pemikiran Politik Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara... 78

B.1. Islam dan Sekularisme (Negara Sekuler) ... 78


(13)

B.3. Penerapan Syariat Islam di Indonesia ... 86 C. Analisis Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia

Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara ... 91

BAB IV PENUTUP

KESIMPULAN ... 99


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

RIZKY IRSYAD LUBIS (100906020)

THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)

Rincian isi skripsi, 108 halaman, 35 buku, 2 jurnal, 7 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1965 - 2013).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan perbandingan pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia dengan Jaringan Islam Liberal tentang relasi Islam dan Negara. Dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara tersebut? Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi, tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia.

Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi atau partai Islam di Indonesia yang concern dalam hal penegakan Khilafah. Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara.

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia.

Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi.

Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan organisasi-organisasi Islam konservatif dan fundamentalis. Menurut Jaringan Islam Liberal, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Belenggu inilah yang mereka anggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Menurut Jaringan islam Liberal hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan, maka kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Jaringan Islam Liberal menerima


(15)

liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalu studi pustaka, wawancara, observasi lapangan, cara-cara lainnya yang dapat memperkaya informasi terkait dengan tema penelitian. Sumber data utama penelitian ini diperoleh dari buku atau literatur tertulis lainnya serta data dari informan yang merupakan kader ataupu aktifis dari Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia memiliki pandangan bahwa khilafah atau Daulah Islamiyah wajib ditegakkan karena merupakan perintah Tuhan dan hal tersebut berlandaskan dari dalil-dalil yang mereka pahami dan yakini. Terdapat perbedaan pemahaman mengenai hal ini pada Jaringan Islam Liberal, dimana menurut mereka didalam kitab Al-qur‟an tidak pernah ada perintah Tuhan untuk menegakkan khilafah atau Daulah Islamiyah. Jaringan Islam Liberal sendiri lebih menginginkan Indonesia menganut sekularisme murni dimana menurut mereka urusan agama dan bernegara tidak dapat disatukan. Terlepas dari semua hal diatas, pada realitasnya Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal ingin merubah orientasi pemerintahan Islam yang masih mengakomodir mereka secara setengah-setengah. Dimana keduanya harus menghadapi problem-problem umum yang terjadi di negara-negara muslim, Kekhalifahan sendiri dalam hal ini diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada kenyataannya mengandung unsur-unsur yang membebaskan dan demokratis dalam ukuran-ukuran tertentu, sementara kolempok muslim berfikir bebas dalam hal ini diwakili oleh gerakan Jaringan Islam Liberal memiliki cita-cita Islam dengan nilai-nilai universal, yang mampu menyatukan bermacam perbedaan dan faksi-faksi yang tumbuh kuat di tubuh dunia Islam, yang selama ini menghambat kerjasama dunia Islam.


(16)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

RIZKY IRSYAD LUBIS (100906104)

THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)

Contents: 108 pages, 35 books, 2 journals , 7 internet sites. (publication from 1965 - 2013).

ABSTRACT

This research aims to determine how the differences and comparisons of political thought Hizb Indonesia with the Jaringan Islam Liberal about the relationship between Islam and the state. And why Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal has a different view in looking at the relationship between Islam and the state? One facing countries that majority of the people of Islam at the time of its formation is how the seat of religion in the state of life. Given Indonesia is a country with a Muslim population at most so the idea of the relationship between Islam and the state has always been the actual discourse in Indonesia. Indonesia as the country with the largest number of Muslims in the world can not be separated from the influence of Islam in its politics. Although Indonesia is not a country with a theocracy, but clearly visible influence of Islam in Indonesian politics.

Hizb ut-Tahrir Indonesia is an organization or Islamic party in Indonesia who are concerned in terms of enforcement of the Caliphate. Islamic Khilafah is a political institution transnational Islamist pan that will unite all Muslim countries in a unitary nation state politics. Khilafah is a common leadership for all Muslims in the world. Khilafah responsible for implementing Islamic law, and convey the message of Islam to the entire earth.

Jaringan Islam Liberal has a very different view of the conservative Islamic organizations and fundamentalist. According to the Liberal Jaringan Islam Liberal, there is one common thread that can be drawn from the liberal Muslim intellectuals, the feeling and spirit to free (liberating) Muslims from the shackles of backwardness and stagnation. Shackles is what they consider to be the main cause of the impotence of Muslim nations in front of a foreign nation (colonial). According to the Liberal Islam Network just to rebuild (reconstruction) viewpoint and religious attitudes, the deplorable conditions that can be improved. Liberal Islam Network receive liberalism and democracy where, according to their religion and statehood can not be put together.


(17)

In this study, the authors used data collection techniques through literature studies, interviews, field observations, in other ways that can enrich the information related to the research theme. The main data source of this research was obtained from books or other written literature as well as data from an informant who ataupu cadre of activists of Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal.

Based on research that has been done, it can be concluded that the Hizb ut-Tahrir Indonesia has the view that the caliphate or Daulah Islamiyah shall be enforced because it is the command of God and it is the basis of arguments that they understand and believe. There are differences in the understanding of this at the Liberal Islam Network, which according to them in the book of the Qur'an there is never God's command to enforce a caliphate or Daulah Islamiyah. Liberal Islam Network itself is more pure desire Indonesia embraced secularism which, according to their religious affairs and state can not be put together. In spite of all the above, in reality Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Islamic Liberal Network wants to change the orientation of Islamic government that still accommodate them by halves. Which both have to face the common problems that occur in Muslim countries, Caliphate itself in this regard advocated by Hizb ut-Tahrir Indonesia in fact contain elements liberating and democratic in certain sizes, while kolempok Muslims think freely in this case represented by the movement of the Liberal Islam Network has the ideals of Islam with universal values, capable of uniting various differences and factions grow stronger in the body of the Islamic world, which has been inhibiting the cooperation of the Islamic world.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat atau pemerintahan yang berhasil menuntut para warga negaranya taat kepada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolitis dari kekuasaan yang sah.1

Negara terbentuk karena kesamaan nasib dan cita-cita, pada awalnya lebih merupakan kesatuan suku dan agama yang mendominasi dalam suatu masyarakat yang menjaga norma dan aturan sosial masyarakat. Namun pekrembangan pengertian negara sewaktu-waktu dapat berubah, kesatuan agama dan etnis pada akhirnya luntur karena munculnya politik demokrasi, multikultur dan multi ras dalam suatu negara. Pada akhirnya negara sebagai penjaga moral dan hukum berkembang dan berubah hanya untuk menjadi pengatur atau regulator dari kebebasan individu dan hak asasi setiap warganya.2

Konsep tentang negara selalu berhubungan dengan sejarah pemikiran politik, tidak terkecuali pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dalam peranan pemerintah atau negara sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan baik lahir maupun batin.3

Di beberapa “negara” abad ke-7, abad pertengahan dan modern, ternyata agama tidak terintegrasikan secara penuh. Ada dua faktor mendasar, mengapa agama gagal menjadi “ideologi” dasar atau penuh sebuah negara. Pertama,

1

Miriram Budiarjo, 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. hal. 40

2

Gerhart Raichle, 1999. Asas-Asas Kebijakan Sosial liberal. Postdam: Freidrich-Naumann-Stiftung. Bab Kebabasan dan keamanan

3 Din Syamsudin, 1999. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung: Pustakam Hidayah. hal. 43.


(19)

keinginan pemimpin-pemimpin agama menciptakan sistem pemerintahan yang menganut sistem pemerintahan religio-politik, dibarengi sikap toleran terhadap pemerintah-pemerintah yang cenderung sekuler. Hal ini erat kaitannya dengan sikap-sikap tokoh agama yang cenderung memilih status quo dengan alasan

“maslahat umat” seperti yang terjadi dalam sejarah terbentuknya Dinasti Bani Umayyah, dimana para “Shahabah” yang beranggapan bahwa model

pemerintahan Bani Umayyah adalah tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah, juga terhadap prilaku politik sekuler dari Dinasti Bani Umayyah hingga masa keruntuhannya. Kedua, adanya anggapan bahwa agama harus mandiri, tidak berfungsi sebagai kekuasaan. Model keterlibatan agama dalam kekuasaan politik sebagai lembaga yang kritis yang mendampingi lembaga kuasaan dengan sikap korektif.4

Dalam memandang relasi Islam dan negara muncul berbagai persepsi di kalangan para pemikir politik Islam. Para pemikir yang beraliran tradisionalis/fundamentalis seperti Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-„ala al-Maududi berpendapat bahwa, Islam sebenarnya telah meletakkan satu pondasi yang kokoh dalam membangun sebuah tata pemerintahan negara, yaitu pada waktu Muhammad SAW memimpin Madinah dengan disepakatinya Piagam Madinah. Adapun mengenai pengakuan dirinya sebagai seorang pemimpin, sudah beliau terima ketika disepakatinya Ba‟iat al-Aqabah pertama (621 M) dan

Ba‟iatal al-Aqabah kedua (622 M).5 Dalam konteks Madinah sebagai sebuah negara, Muhammad SAW mempunyai peran ganda, sebagai kepala pemerintahan sebuah negara sekaligus sebagai hakam yang merupakan manifestasi beliau sebagai Rasul utusan Allah SWT. Syariat Islam menjadi dasar tata pemerintahan pada waktu itu, yang selanjutnya sistem khilafah Islam dipegang oleh sekian

khilafah, termasuk didalamnya yang dikenal sebgai al-Khulafa al-Rasyidin (661-1924 M).6 Ada pula yang berpersepsi lain, yakni aliran sekularis dengan tokoh seperti Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid yang berpersepsi bahwa Islam tidak

4

Abdullahi Ahmed an-Na‟im, 1997. Hak-hak sipil dalam pandangan Islam. Jurnal Tashwirul Afkar Edisi: No. 1/Mei-Juni 1997, hal.78.

5

Syuyuti J.Pulungan, 1966. Prisip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 71

6


(20)

pernah menerangkan tentang kehidupan bernegara, Islam adalah agama murni bukan negara. Selain itu ada juga persepsi lain yaitu aliran moderat dengan tokohnya seperti Muhamad Husein Haikal, Muhammad Abduh, dan Fazlurrahman yang berpersepsi kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik.

Sementara itu dalam sejarah, masa kejayaan Islam habis saat masa

khilafah Islam berakhir bersamaan dengan runtuhnya sistem kekhalifahan yang dihapus oleh Majelis Nasional Turki (1924 M) yang pada waktu itu dipegang oleh Kemal at-Taturk.7 Sebelumnya dia juga telah menghapus sistem Kesultanan Turki (1922 M). Hal ini ternyata menimbulkan dampak yang begitu besar pada sistem pemerintahan negara yang secara struktural dan konstitusional berubah. Puncaknya adalah pernyataan Konstitusi Negara bahwa Republik Turki adalah Negara Sekuler.8 Sekulerisasi Turki ternyata memberikan wacana baru dalam khasanah pemikiran Islam kontemporer. Setidaknya hal inilah yang melatarbelakangi perdebatan yang kontoversial seputar relasi Islam dan negara sampai saat ini.

Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Permasalahan tersebutlah yang telah lama dirasakan di Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia juga tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi, tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia mulai dari masa pra kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang. Peran

7

Faisal Ismail, 1999. Islam dan Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara Wacana Group. hal. 157.

8


(21)

Islam tersebut terus berubah dan berkembang mengikuti dinamika perpolitikan Indonesia.

Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.9 Pada tahun pemilu tahun 1950 Indonesia mulai memakai sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai. Pada pemilu 1977 saat rezim Orde Baru berkuasa sistem multipartai tidak lagi dipakai berlanjut hingga pemilu 1982, 1987, dan 1992. Namun pada pemilu 1999 sistem multipartai kembali dipakai seiring dengan runtuhnya rezim orde baru, dan berlanjut hingga pemilu-pemilu selajutnya sampai sekarang. Tetapi lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara.

Pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara,10 khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler?

Di era reformasi, terutama setelah adanya kebebasan politik, Islam mengalami kebangkitan. Ada perubahan yang signifikan dari kelompok Islam dalam memaknai jatuhnya rezim Orde Baru, yang mulai mengakomodasikan aspirasi Islam. Aspirasi Islam lebih nampak di pentas politik nasional dibandingkan dengan periode Orde Baru yang belum sepenuhnya memberikan saluran politik Islam. Kejatuhan rezim Orde Baru membangkitkan kesadaran politik umat Islam untuk menyongsong periode baru, yakni periode

9

Douglas E. Ramage (Terj. Hartono Hadikusumo), 2002. Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Jogjakarta: Mata Bangsa. hal. 2

10


(22)

kebangkitannya. Reformasi adalah awal periode kebangkitan kembali politik Islam di Indonesia.

Kemunculan banyak partai politik yang berasaskan agama, baik Islam maupun Kristen, merupakan salah satu fenomena politik menarik pada masa pasca-Soeharto. Seiring dengan kebebasan yang diberikan rezim Habibie, ormas-ormas Islam semakin menunjukkan momentumnya untuk melakukan gerakan memperjuangkan aspirasi Islam secara radikal. Ormas-ormas tersebut merupakan ormas dengan aliran pemikiran Islam fundamentalis yang menginginkan agar dijunjung tingginya syariat Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Seperti Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah (FKASW), Ikhwanul Muslimin, HAMAS, Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Mujahidin dan kemudian disusul ormas Islam lainnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).11 Namun diantara organisasi-organisasi tersebut Hizbut Tahrir Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda dimana bukan hanya menginginkan diteggakkannya ideologi dan syariat Islam tetapi mereka juga ingin ditegakkannya kembali khilafah Islam dan Indonesia menjadi bagian didalamnya.

Hizbut Tahrir Indonesia sebagai salah satu ormas yang disebutkan diatas adalah satu-satunya organisasi Islam yang concern dalam hal penegakan Khilafah.

Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di dunia Islam.12

11

Khamami Zada, 2004. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju. hal. 77

12


(23)

Hizbut Tahrir bukanlah sebuah organisasi kerohanian, melainkan merupakan organisasi politik yang bermaksud untuk membagkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara barat. Selain itu kemunculan Hizbut Tahrir juga bermaksud untuk membangun kembali Daualah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.13

Menurut Hizbut Tahrir, khilafah termasuk hukum Islam. Allah SWT menurunkan hukum Islam untuk seluruh umat manusia. Sehingga hukum Islam itu tidak hanya cocok untuk bangsa (orang) Arab saja, melainkan cocok bagi umat Islam secara keseluruhan. Juga, Islam tidak hanya cocok untuk waktu tertentu saja, melainkan cocok untuk semua waktu. Dengan demikian, khilafah ini cocok untuk semua umat, kapan saja dan di mana saja. Selain itu, sejarah telah mencatat bagaimana khilafah telah membentangkan pengaruhnya di atas wilayah yang luas, mulai dari Asia, Afrika dan Eropa. Fakta ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa khilafah ini cocok untuk semua bangsa sekalipun dengan latar belakang etnis dan budaya yang berbeda-beda, tidak hanya untuk bangsa (orang) Arab saja. Di samping itu, Khilafah telah memimpin dunia lebih dari dua belas abad, dan selama itu Khilafah merupakan negara nomor satu di dunia.14

Sebagai pendatang baru dalam percaturan politik Indonesia Hizbut Tahrir Indonesia bisa dikatan cukup memiliki kararter yang kuat. Ini bisa dilihat dari banyaknya sorotan publik terhadap kelompok yang di awal kedatangannya dipandang eksentrik. Apalagi dengan isu dan konsep khilafah serta metode dakwah yang dibawanya. Hizbut Tahrir harus berhadapan dengan demokrasi yang telah menjelma dalam sebuah sistem negara. Secara tidak langsung hizbut Tahrir harus berhadapan dengan negara karena pada dasarnya konsep yang dibawanya mensyaratkan untuk menolak apapun bentuk pemerintahan selain pemerintahan

13

Tim Hizbut Tahrir, 2007. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Thariqul Izzah. hal 4.

14 http://hizbut-tahrir.or.id/2015/06/25/khilafah-cocok-untuk-semua-bangsa-di-setiap-zaman/. Diakses pada


(24)

Islam (khilafah). Perdebatan juga terjadi ketika harus membicarakan konsepsi kedaulatan negara, dimana Hizbut Tahrir tidak pernah mengakui kedaulatan rakyat melainkan kedaulatan Tuhan, sementara negara demokrasi sekarang bertumpu pada kedaulatan rakyat.

Seiring dengan bangkitnya Islam dalam perpolitikan Indonesia pasca orde baru tersebut, muncul pula gerakan-gerakan Islam kontemporer yang lebih moderat dan modern serta membahawa paham liberalisme, yang hadir lebih belakangan dari organisasi-organisasi Islam tradisonalis/fundamentalis diatas yang telah muncul lebih awal. Gerakan-gerakan ini merupakan gerakan kontemporer pemikiran Islam yang di Indonesia banyak dimotori oleh kalangan muda Islam.

Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, kelompok ini merupakan kelompok yang muncul pasca gerakan pembaharuan yang dibangun Nurcholis Majid pada tahun 1979-1980 an. Gerakan ini terkenal dengan gagasan gagasannya yang liberal dan terlihat bersebrangan dengan pendapat kebanyakan para ulama Islam di Indonesia pada masa sebelumnya.15

Ada beberapa gerakan Islam kontemporer di Indonesia pasca reformasi, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kelompok pemikiran cendekiawan muslim kontemporer di Indonesia yang juga mengusung jargon-jargon liberesasi pemikiran Islam seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Namun yang paling terkenal dan menentang arus pemikiran Islam di Indonesia adalah gerakan pemikiran yang dimotori oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang digerakan oleh tokoh tokoh muda seperti Ulil Absar Abdalla dan kawan kawannya.16

Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan organisasi-organisasi Islam konservatif dan fundamentalis. Menurut Luthfi Assyaukanie yang merupakan salah satu tokoh dari Jaringan Islam Liberal bahwa

15

https://www.scribd.com/doc/113318562/Kontroversi-Pemikiran-Islam-Liberal-Di-Indonesia, hlm.2-3. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 21.35 wib

16 lbid


(25)

ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak paling tidak lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa-bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.17 Jaringan Islam Liberal menerima liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan.

JIL adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia, karena dianggap mendobrak kemapanan dan kejumudan berfikir. Hal ini bisa dimengerti karena rata-rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi, padahal aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan ataupun penindasan.18

Jika dilihat dari latar belakang aliran pemikiran yang di anut oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal, jelas sekali dapat disimpulkan keduanya memiliki latar belakang aliran pemikiran yang berbeda dalam memandang relasi Islam dan Negara.

Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis/fundamentalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis/Islam moderat, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran

17

http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/tentang-asal-usul-dan-mengapa-islam-liberal/. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 22.10 wib

18


(26)

nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.19

Jika kita identifikasikan latar belakang aliran pemikiran yang di anut oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal dari tiga kategori yang disebutkan oleh Munawir Sjadzali diatas, Hizbut Tahrir Indonesia tidak bisa di masukkan kedalam tiga tipe pemikiran politik Islam yang di sebutkan tersebut. Walaupun aliran konservatif tradisionalis/fundamentalis yang disebutkan Munawir Sjadzali juga menyebutkan sistem khilafah, tetapi khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia berbeda, dimana khilafah menurut mereka adalah kepemimpinan secara umum atas seluruh umat Islam di dunia, yang artinya hanya ada satu khilafah dan kepemimpinan di dunia. Sementara Jaringan Islam Liberal dapat kita simpulkan cenderung kepada aliran nasionalis sekuler. Karena Jaringan Islam Liberal menerima liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan. Maka dari itu, dari semua pemaparan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi antara Islam dan Negara. Dimana keduanya memiliki pemikiran politik yang berbeda dalam memandang relasi antara Islam dan Negara tersebut.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dipaparkan bahwa adanya perbedaan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi Islam dalam Negara di Indonesia. Oleh sebab itu perlu penulis tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu mengenai bagaimana pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam melihat relasi Islam dan Negara dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara.

19


(27)

C. Pembatasan Masalah

Batasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.20 Maka batasan masalah pada penelitian ini yaitu hanya membahas perbandingan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi antara Islam dan Negara.

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam mengenai pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam melihat relasi Islam dan Negara dan mengidentifikasi asal-usul mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki pemikiran berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara.”

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang terkait dengan politik agama, yaitu politik Islam.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia. 3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk

mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.

20 Husaini Usmandan Purnomo Setiady Akbar, 2009,Metodologi Penelitian Sosial Jakarta: PT. Bumi Aksara,


(28)

F. Kerangka Teori

F.1 Pemikiran Politik Islam

F.1.1 Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali

Menurut Munawir Sjadzali ada beberapa kategorisasi atau tipologisasi dalam pemikiran politik Islam, yaitu:

A. Islam Tradisional/Fundamentalis

Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari‟ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.

Fundamentalisme mengajak umat Islam kepada prinsip-prinsip yang fundamental dan bercorak romantis kepada Islam periode awal, dengan keyakinan bahwa doktrin dan ajaran Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala macam persoalan. Syari‟ah adalah peraturan yang kekal dan abadi sepanjang zaman, tanpa perlu ditafsirkan ulang untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman.21

Tokoh pemikir politik islam yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-„ala al-Maududi.

21 Irfan Suryahardi Awwas, 2001. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari‟ah Islam. Yogyakarta:


(29)

a. Rasyid Ridha

Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur‟an, hadis dan

ijma‟ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-hall wa al-„aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh

yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-„aqd

anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang.22

Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah

dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.

Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi.

22


(30)

b. Sayyid Quthb

Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari‟ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.23

Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari‟at. Manusia diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara

jelas dalam syari‟at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.24

23lbid, hal 157

24


(31)

c. A l-Maududi

Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid),

Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.25

Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.

Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari‟ah.

Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah

yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang

25


(32)

telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif. Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.26

B. Islam Sekularistik

Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim.

Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik (negara) dipihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara.

Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan

26


(33)

antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Tokoh pemikir politik islam yang termasuk dalam tipologi ini diantaranya adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.

a. Ali Abd al-Raziq

Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al- Raziq dan Luthfi al-Sayyid.

Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar‟iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm.27

Tesis utama dari buku ini adalah:28

 Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual

 Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk

27

lbid, hal 167 28


(34)

pemerintahan apa pun yang dirasa cocok

 Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius

 Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.

Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian:29

1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.

2. Dalam bagian kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.

3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.

Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah

29


(35)

kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa‟u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.

Argumen pokok Ali „Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam

al-Qur‟an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus

dibangun umat Islam.

Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur‟an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur‟an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik. Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.30

Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur‟an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran

30


(36)

pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.

b. Luthfi al-Sayyid

Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaum Muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.

Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.31

Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari‟at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan

31


(37)

bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.32

C. Islam Moderat

Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal, Muhammad Abduh, dan Fazlurrahman.

a. Muhamad Husein Haikal

Menurut Haikal,33 di dalam Al-Qur‟an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan

dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur‟an juga tidak secara tegas dan

langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang

di bai‟at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui

pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.

Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah

32

lbid, hal 176

33


(38)

(hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.

b. Muhammad Abduh

Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.

Jelasnya menurut Abduh34, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti:

34


(39)

1. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan 2. Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang,

penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain

3. Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.

Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.

Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.

Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan


(40)

aparatnya. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.35

Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan. Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatnya.

Menurutnya,36 tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat

35

lbid, hal 123 36


(41)

adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan. Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai. Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.

Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, dapat disimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.


(42)

c. Fazlurrahman

Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur‟an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.37

Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–„alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.38

F.1.2 Pemikiran Politik Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (Hizbut Tahrir)

Pemikiran dan gagasan politik Syaikh Taqiyyuddin juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua sosok guru dalam kehidupannya, yaitu kakek beliau Syaikh Yusuf an-Nabhani dan Syaikh Muhammad Khadir Hussein.

37

lbid, hal 127 38


(43)

Dari keduanyalah Syaikh Taqiyyuddin memahami hal-hal yang berkaitan dengan Khilafah dan pertentangan antar Islam dan Barat.

Syaikh Yusuf an-Nabhani termasuk yang banyak membela manhaj kaum sufi dan banyak mengkritik dua aliran yang berbeda saat itu. Pertama adalah Gerakan Salafi yang banyak berkiprah dan menonjol pergerakannya di Jazirah Arab. Kelompok ini sangat ekstrem dalam beberapa masalah akidah dan selalu menyerang apa saja yang dipandang sebagai bid‟ah. Di antaranya masalah tawasul dengan para nabi dan orang-orang shalih. Beliau mengkhususkan beberapa karyanya untuk menjelaskan pendapat yang berlawanan. Aliran kedua yang mendapat serangan serius dari Syaikh Yusuf an-Nabhani adalah gerakan yang mengkompromikan Islam dengan Barat.39

Adapun Syaikh Muhammed Khadir Hussein (1876-1958) berasal dari sebuah keluarga terhormat di Aljazair. Beliau lahir di daerah selatan Tunisia serta termasuk salah seorang ulama terkemuka dan sangat dihormati di kalangan tokoh-tokoh pada masa Khilafah Utsmani. Pada tahun 1925 dan 1926 Syaikh Khadir Hussein menceburkan diri dalam perang pemikiran, yaitu ketika mengkritik buku karya Ali Abdul Raziq, Al-Islâm wa Ushul al-Hukm. Buku ini intinya menyatakan: tidak ada bangunan politik yang baku dalam Islam; Islam harus dipisahkan dari kehidupan, termasuk politik. Beliau juga membantah buku karya Taha Hussein, Asy-Syi‟r al-Jahili. Beliau menamai dua karyanya masing-masing dengan: Naqdh Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm dan Naqdh Kitâb fî asy-Syi‟r al-Jahili.40

Meski pemikiran Syaikh Yusuf an-Nabhani banyak mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin, saat kembali ke Palestina beliau tidak bercorak sufi. Hal ini terjadi sebagai akibat benturan beliau dengan tsaqafah Barat yang sedang mendominasi saat itu, juga sebagai

39

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/27/lingkungan-pemikiran-dan-politik-syek-taqiyyuddin-an-nabhani/. Diakses tanggal 4 Oktober 2015. Pukul 19.00 wib

40 lbid


(44)

akibat beliau terjun dalam urusan politik yang sedang bergejolak saat itu. Karena itu, beliau mengambil pandangan kearaban (maksudnya berupaya menyatukan kekuatan Islam dengan kekuatan Arab (yakni bahasa Arab) yang saat itu sudah mulai terpisah) dalam metode dan analisisnya. Beliau juga menggunakan bahasa adaptasi (bukan bahasa agama murni) untuk mensosialisasikan pemikiran Islam politik sebelum mendirikan HT. Hal ini disebabkan oleh dua perkara: Pertama, pendudukan Palestina oleh Inggris yang disertai dengan migrasi kaum Yahudi secara massif ke Palestina. Hal inilah yang menyebabkan cita-cita awal Syaikh Taqi adalah bagaimana caranya memerdekakan Palestina. Atas dasar ini beliau menulis bukunya yang istimewa, Inqadz Falistin (Membebaskan Palestina), dua tahun setelah Palestina jatuh ke tangan Yahudi. Kedua, tumbuh-suburnya gerakan komunis dan gerakan nasionalis di negeri Syam sebagai pengaruh pemikiran Barat dan akibat tidak adanya gerakan Islam yang seimbang pada saat itu. Dari sini beliau banyak mengkritik gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Berikutnya beliau mendirikan Hizbut Tahrir dengan bertumpu pada beberapa kader pergerakan di Palestina dan Yordania. Tujuannya agar partainya yang baru ini mengambil corak partai yang berbeda dengan partai-partai yang sudah ada.41

Menurut Hizbut Tahrir Islam adalah prinsip ideologi yang terdiri dari aqidah dan syari‟at. Aqidah merupan fungsi untuk memecahkan persoalan manusia, menjelaskan bagaimana memecahkan persoalan tersebut, mengembangkan dan memelihara bagaimana ideologi tersebut. Islam sebagai prinsip ideologi inilah yang kemudian menjadi pola hidup yang khas sangat berbeda dengan pola hidup lainnya seperti sosialisme, kapitalisme dan isme-isme lainnya.42

Keberadaan penting sebuah negara bagi masyarakat Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara‟ dan mengemban dakwah Islam

41

lbid

42 Muhammad hussein abdullah (Terj. Zamroni), 2001. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Bogor : Pustaka


(1)

Selain itu, Jaringan Islam Liberal juga menolak penerapan syariat Islam. Mereka yakin penerapan syariat Islam di Indonesia tidak akan pernah berhasil. Syariat Islam akan berhadapan langsung dengan syariat itu sendiri, syariat Islam yang mana, dan menurut pemahaman siapa yang akan diterapkan nantinya. Inilah yang menjadi tantangan penerapan syariat Islam itu sendiri. Syariat Islam tidak akan masalah, tapi pemaksaan pada pemahaman itu yang salah, menurut mereka syariat Islam harus dibuat sebegitu kuat dan dinamis sehingga orang akan mengikuti syariat karena kesadaran sendiri bukan paksaan oleh negara.

Dari semua pemaparan diatas jelas dapat kita bahwa Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat relasi Islam dan negara. Bahkan jika tipologi aliran pemikiran yang diutarakan Munawir Sjadzali kita gunakan sebagai pendekatan maka pemikiran politik dari Hizbut Tahrir Indonesia malah berada diluar ketiga tipologi aliran pemikiran politik islam tersebut. Perbedaan diantara keduanya adalah karena Hizbut Tahrir Indonesia meyakini dalil-dalil yang mereka pahami sebagai landasan dari yang mereka perjuangkan, yaitu kembali tegaknya Daulah Islamiah atau khilafah. Sementara menurut Jaringan Islam Liberal, Al-Qur‟an sendiri di dalamnya tidak membahas persoalan negara, Al-Qur‟an tidak menyuruh untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam.

Terlepas dari semua hal diatas, pada realitasnya Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal ingin merubah orientasi pemerintahan Islam yang masih mengakomodir mereka secara setengah-setengah. Dimana keduanya harus menghadapi problem-problem umum yang terjadi di negara-negara muslim, Kekhalifahan sendiri dalam hal ini diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada kenyataannya mengandung unsur-unsur yang membebaskan dan demokratis dalam ukuran-ukuran tertentu, sementara kolempok muslim berfikiran bebas dalam hal ini diwakili oleh gerakan Jaringan Islam Liberal memiliki cita-cita Islam dengan nilai-nilai universal, yang mampu menyatukan bermacam perbedaan dan faksi-faksi yang tumbuh kuat di tubuh dunia Islam, yang selama ini menghambat kerjasama dunia Islam.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Miriram Budiarjo, 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Din Syamsudin, 1999. “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, dalam Politik Demi Tuhan, Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah.

Abdullahi Ahmed an-Na‟im, 1997. Hak-hak sipil dalam pandangan Islam. Jurnal Tashwirul Afkar Edisi: No. 1/Mei-Juni 1997.

Syuyuti J.Pulungan, 1966. Prisip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Faisal Ismail, 1999. Islam dan Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah.

Yogyakarta: Tiara Wacana Group.

Douglas E. Ramage (Terj. Hartono Hadikusumo), 2002. Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Jogjakarta: Mata Bangsa.

Gerhart Raichle, 1999. Asas-Asas Kebijakan Sosial liberal. Postdam: Freidrich-Naumann-Stiftung.

Khamami Zada, 2004. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju.

Tim Hizbut Tahrir, 2007. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Thariqul Izzah.

Munawir Sjadzali, 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Husaini Usmandan Purnomo Setiady Akbar, 2009,Metodologi Penelitian Sosial Jakarta: PT. Bumi Aksara,


(3)

Irfan Suryahardi Awwas, 2001. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan

Syari‟ah Islam. Yogyakarta: Wihdah Press.

Muhammad hussein abdullah (Terj. Zamroni), 2001. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.

Pusat Studi khazanah Ilmu-Ilmu (PSKII), 2001. Materi dasar Islam. Bogor: PSKII.

Macridis, Roy, 1992. Perbandingan Ilmu Politik, Jakarta: Bumi Aksara.

Chilcote, Ronald, 2002. Teori Perbandingan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Shonfield, Andrew (Terj. Sri Murniati), 1965. Kapitalisme Modern. London: Oxford University.

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009,Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.

Khamami Zada, Arif R. Arafah, 2013. Diskursus Politik Islam. Jakarta: LSIP. Tim Hizbut Tahrir, 2009. Manifesto Hizbut tahrir untuk Indonesia: Indonesia,

Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam . Jakarta: HTI Press.

Tim Hizbut Tahrir, 2007. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Thariqul Izzah.

Abdullah, 2001. Mafahim Hizbut Tahrir. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia.

Kurniawan Abdullah, 2003 . “Gerakan Politik Islam Ekstraparlementer: Studi Kasus Hizbut Tahrír Indonesia”. Tesis, UI, tidak dipublikasikan. Afadlal, 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Anonim, 2002. Mengenal Hizbut Tahrir: PartaiPolitik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqah Izzah.


(4)

Charles Kurzman, (Terj. Bahrul Ulum). 2001. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina.

Adian Husaini dan Nu‟im Hidayat, 2002. Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya). Jakarta: Gema Insani.

Nurcholish Madjid, 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Ahmad Suhelmi, 2002. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Teraju.

Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, 2005. Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Litbang. Dep. Agama.

Taqiyuddin al-Nabhani, 1996. Nidham fi al-Islam. Beirut Libanon: Dar al-Umah. Taqiyuddin An- Nabani, 2006. Struktur Negara Khilafah. Jakarta: HTI Press. Taqyuddin An-Nabani, 1996. Membangun Sistem ekonomi Alternatif. Surabaya .

Risalah Gusti.

Adian Husaini, 2002. Membedah Islam Liberal. Bandung: PT. S. Anvil Cipta Media.

Zakiyuddin Baidhawy, 2005. Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku Abdul Moqsith Ghazali (peny), Ijtihad Islam Liberal: Upaya

Merumuskan Keberagamaan Yanag Dinamis. Jakarta: JIL.

Burhanuddin, 2003. Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal. Jakarta: JIL & The Asia Fundation.

Gerhart Raichle, (Terj.Sri Astuti) 1999. Asas-Asas Kebijakan Sosial Liberal . Potsdam, Friedrich-Naumann-Stiftung.


(5)

Internet :

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/06/21/apa-itu-khilafah/.

http://hizbut-tahrir.or.id/2015/06/25/khilafah-cocok-untuk-semua-bangsa-di-setiap-zaman/.

https://www.scribd.com/doc/113318562/Kontroversi-Pemikiran-Islam-Liberal-Di-Indonesia,

http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/tentang-asal-usul-dan-mengapa-islam-liberal/.

http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/html.

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/27/lingkungan-pemikiran-dan-politik-syek-taqiyyuddin-an-nabhani/.

http://quran.com/5/48. Surat Al-Maidah Ayat 48. http://quran.com/5/49. Surat Al-Maidah Ayat 49. http://quran.com/3/104. Surat Ali Imran, Ayat 104.

http://quran.com/9/122. Surat At-Taubah Ayat 122.

http://.hizbut-tahrir.or.id/2010/06/21/mengenal-hizbut-tahrir http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.

http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/ http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam. http://www.syabab.com


(6)

http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//. “Berkah Sekularisme”

http//www.islamlib.com//.Hasil Wawancara antara Suparni Surjono, mantan duta besar RI di Suriname dengan Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme.

http//www.islamlib.com. Hasil wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang sekularisme dalam Islam.

http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. Hasil Wawancara Antara Jeleswari Pramodhawardani dengan Lutfhi Assyaukanie

http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam.

http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html .Redaksi JIL “Syariat Islam

Membawa Bencara Bagi Umat”

http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.htm. Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra.

http://www.futureofmuslimworld.com/research/detail/the-crisis-of-the-arab-brotherhood.

Majalah/Surat Kabar :

Ulil Abshal Abdalla, “Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002 Ulil Abshar Abdalla, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos, 1 Juni 2003