1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu tolak ukur untuk menunjukkan adanya pembangunan ekonomi suatu daerah, dengan kata lain pertumbuhan ekonomi
dapat memperlihatkan adanya pembangunan ekonomi. Pembangunan tidak sekedar ditunjukkan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi
yang dicapai oleh suatu negara, akan tetapi lebih dari itu pembangunan mempunyai perspektif yang lebih luas. Dimensi sosial yang sering diabaikan dalam pendekatan
pertumbuhan ekonomi justru mendapat tempat yang strategis dalam pembangunan. Dalam proses pembangunan, selain memperhitungkan dampak aktifitas ekonomi
terhadap kehidupan sosial masyarakat, lebih dari itu dalam proses pembagunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian kearah yang
lebih. Dewasa ini istilah pasar dikategorikan kedalam pasar tradisional dan pasar
modern. Hal mendasar yang membedakan keduanya adalah proses interaksi dan pola pengelolaan atau manajemen antara keduanya. Pada pasar tradisional yang pada
umumnya dimiliki oleh pemerintah, terjadi interaksi langsung antara penjual dan
pembeli, dengan proses tawar menawar. Sementara pasar modern, pada umumnya pembeli melakukan kegiatan secara swalayan, atau terdapat pramuniaga, dan sistem
pembelian dilakukan dengan harga yang sudah ditetapkan, terdapat label harga. Pasar modern diantaranya adalah pertokoan, mall, plasa, minimarket, supermarket dan
hipermarket. Keberadaan pasar, khususnya yang tradisional, merupakan salah satu
indikator paling nyata kegiatan ekonorni masyarakat di suatu wilayah. Pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki
secara langsuhg oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang
menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.
Eksistensi pusat perbelanjaan modern seperti minimarket, supermarket hingga hipermarket sedikit mengusik keberadaan pasar tradisional. Kesamaan fungsi
yang dimiliki oleh pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional, telah menimbulkan persaingan antara keduanya. Menjamurnya pusat perbelanjaan modern
dikhawatirkan akan mematikan keberadaan pasar tradisional yang merupakan refleksi dan ekonomi kerakyatan. Pasar tradisional identik dengan kondisi yang kumuh, kotor,
dan bau, sehingga memberikan atmosfer yang tidak nyaman dalam berbelanja. Ini merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional. Sebaliknya, pusat perbelanjaan
modern memberikan suasana berbelanja yang nyaman serta dilengkapi pendingin
ruangan dengan fasilitas belanja yang bersih dan higienis, maka tidak salah apabila konsumen lebih memilih berbelanja di pusat perbelanjaan modern dibandingkan
pasar tradisional. Pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter
dasar yang sangat sulit diubah, mulai dari faktor desain, tata ruang, tata letak, dan tampilan yang tidak sebaik pusat perbelanjaan modern, alokasi waktu operasional
yang relatif terbatas, kurangnya teknologi yang digunakan, kualitas barang yang kurang baik, kurangnya promosi penjualan, rendahnya tingkat keamanan,
kesemrawutan parkir, hingga berbagai isu yang merusak citra pasar tradisional seperti maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya, praktek
penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktivitas penjualan dan perdagangan. Kompleksitas kelemahan pasar tradisional tersebut
menyebabkan konsumen beralih dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern. Pasar tradisional memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pusat
perbelanjaan modern yaitu adanya sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli. Di pasar tradisional terdapat suatu komunikasi
yang tidak akan ditemui di pusat perbelanjaan modern. Sistem tawar menawar dalam transaksi jual beli di pasar tradisional membuat suatu hubungan tersendiri antar
penjual dan pembeli. Berbeda dengan pusat perbelanjaan modern, dimana harga barang sudah ditetapkan dan tidak ada komunikasi antara penjual dan pembeli.
Tabel 1.1
Banyaknya Pasar dan Jenis pasar di Kota Semarang Tahun : 2006 - 2010
No Jenis Pasar
2006 2007 2008 2009 2010 1
Dept. Store 10
10 10
10 10
2 Pasar swalayan
52 52
52 52
52 3
Pasar Pembelanjaan 2
2 2
2 2
4 Pasar Umum
47 47
47 47
47 5
Pasar Hewan 1
1 1
1 1
6 Pasar Buah
1 1
1 1
1 No
Jenis Pasar 2006 2007 2008 2009 2010
7 Pasar Sepeda
1 1
1 1
1 8
Pasar Ikan 2
2 2
2 2
9 Lain-lain
3 3
3 3
3 Jumlah Total
119 119
119 119
119 Sumber : Bps Kota Semarang, 2010
Dari data di atas dapat di ketahui banyaknya pasar dan jenis-jenis pasar dari tahun 2006 sampai 2010 tidak mengalami perubahan. Dan dari sembilan jenis pasar
tersebut pasar swalayan yang paling banyak, ada 52 jumlah dan dimungkinkan karena pasar swalayan banyak di minati konsumen pembeli karena pasar swalayan dan segi
tempat bersih dan rapi. Dan data di atas urutan yang paling banyak kedua adalah pasar umum. Pasar umum ini di Semarang adalah kebanyakan pasar tradisional yang
juga banyak di minati dengan jumlah 47 pasar tetap sama dan tahun 2006 sampai
2010. Pasar yang paling sedikit adalah pasar-pasar khusus, di maksudkan adalah pasar yang menjual hanya satu produk yaitu misalnya pasar hewan.
Dalam perekonomian suatu negara maupun daerah, kenyataannya terdapat berbagai sektor-sektor yang rnemperlihatkan tingkat pertumbuhan perekonornian
yaitu sektor formal dan sektor informal. Dalam sektor informal umumnya usaha kecil dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas serta sedikit sekali
menerima proteksi secara resmi dari pemerintah. Banyak juga sektor informal yang mampu diangkat sebagai suatu kegiatan atau pekerjaan untuk menghasilkan
pendapatan pada suatu masyarakat. Usaha berdagang merupakan salah satu usaha yang dapat menghasilkan penghasilan bagi masyarakat, dalam hal ini adalah usaha
berdagang dalam suatu pasar tradisional. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta
ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan
dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa
ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian,barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar
seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Beberapa
pasar tradisional yang “legendaris” antara lain adalah pasar Beringharjo di
Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Sernarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern.
Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli
melihat label harga yang tercantum dalam barang, berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri swalayan atau dilayani oleh pramuniaga.
Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging.Sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan
lama. Contoh dari pasar modern adalah hypermarket, pasar swalayan supermarket, dan minimarket.
Seperti yang akan peneliti kaji mengenai pendapatan pedagang di Pasar Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Semarang. Berdagang di pasar tidak jauh dari
berbagai kendala, misalnya relokasi atau pemindahan lokasi pasar tempat berdagang yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang.
Setelah relokasi Pasar Purwoyoso tersebut, bangunan pasar tersebut terdiri dan jenis bangunan yang permanen seperti kios, los, kantor dinas pasar, toilet, dan
Musholla. Berikut ini merupakan gambaran Pasar Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Semarang setelah relokasi:
Tabel 1.2
Jenis Bangunan Pasar Purwoyoso Setelah Relokasi
Jenis Bangunan Jumlah
Kios 24
Los 84
Kantor Dinas Pasar 1
MCK 5
Musholla 1
Koperasi Pasar 1
Jumlah 116
Sumber : Kantor Dinas Pasar Purwoyoso, 2011
Tabel diatas merupakan jenis bangunan yang ada di Pasar Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Semarang. Dan rincian jumlah pedagang dan jenis dagangannya
ada di tabel di bawah ini sebagai berikut:
Tabel 1.3
Jumlah Pedagang Sebelum dan Sesudah Relokasi
Tahun Sebelum Relokasi
Setelah Relokasi 2010
144 2011
108 Sumber : Kantor Dinas Pasar Purwoyoso, 2011
Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah pedagang sebelum relokasi adalah 144 pedagang, tetapi setelah relokasi menjadi 108. Mengapa demikian,
menurut pegawai Kantor Dinas Pasar Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Semarang bahwa pedagang yang memilih tidak berjualan dikarenakan tidak memilki biaya lebih
untuk mengkontrak kios. Pada kenyataannya pedagang yang membeli banyak yang tidak berjualan dikarenakan kurangnya modal atau memilih jenis dagangannya.
Dengan alasan itu maka pedagang yang tidak mempunyai jiwa berdagang, karena takut akan tidak laku.
Tabel 1.4
Pedagang yang Menempati Kios Setelah Relokasi
No Jenis Dagangan
Jumlah Pedagang 1
Sembako 24
2 Sayuran
20 3
Makanan 9
4 Pakaian
7 5
Buah 5
6 Bolo Pecah
5 7
Kelontong 4
8 Jajanan
4 9
Ayam Potong 4
10 Ikan Laut
4 11
Roti 3
12 Kelapa Parut
3 13
Daging 2
14 Bumbu Masak
2 15
Jamu 2
16 Tahu
2 17
Sandal 1
18 Tempe
1 19
DLL 6
Jumlah 108
Sumber : Kantor Dinas Pasar Purwoyoso, 2011 Dari data di atas menunjukan jumlah pedagang setelah relokasi, yang paling
banyak adalah pedagang sembako ada 24 orang dan yang paling sedikit adalah pedagang sandal dan tempe. Dan pengurangan jumlah pedagang tersebut berpengaruh
terhadap retribusi pasar, dan kantor dinas pasar mempunyai data tersebut seperti berikut:
Pendapatan retribusi pasar Purwoyoso sebelum relokasi pada tahun 2010 sebesar Rp. 78.840.000, mengalami penurunan jumlah pendapatan reribusi pasar
sebesar Rp. 19.710.000,00 pada tahun 2011 setelah relokasi pasar. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang yang tidak berjualan. Hasil retribusi tersebut
didapatkan dari jumlah keseluruhan pendapatan retribusi dari pedagang pasar
purwoyoso setelah dan sebelum relokasi. Menurut relevansinya terhadap pendapatan retribusi pasar tersebut, dapat diketahui bahwa peran pembentuk suatu retribusi pasar
adalah dengan pajak kios, pajak fasilitas pasar, serta pajak ijin mendirikan dagangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Utami selaku pedagang ikan di
pasar Purwoyoso, menyatakan bahwa setelah adanya relokasi pendapatan memang mengalami peningkatan karena letak lokasi yang baru bersih dan rapi, yang dulunya
secara lokasi tidak tertata dan kumuh. Hal ini juga diperjelaskan oleh Ibu Ida selaku pedagang sembako, yang menyatakan bahwa adanya suatu kenaikan penadapatan
yang dimungkinkan pembeli merasa nyaman, senang karena dipasar purwoyoso memilki fasilitas lengkap dan letak yang strategis selain itu ada koperasi yang
berguna untuk pinjam modal untuk usaha dagang. Rata-rata pendapatan pedagang sebelum direlokasi Rp. 2.600.000,00 per bulan setelah direlokasi naik dua kali lipat
menjadi sebesar Rp. 5.600.000,00 per bulan. Hal itu tentu menguntungkan para penjual di pasar dan pasti akan mempengaruhi pendapatan para pedagang mereka.
Tetapi dari keadaan tersebut masih banyak kekurangan, yaitu banyak para penjual
yang menempati los atau kios lokasinya berbeda- beda. Misalnya para pedagang yang
menempati los letaknya strategis dan ada pula para pedagang yang menempati los kurang strategis yang letaknya jauh dari keramaian yang letaknya di pojokan pasar
dan mahalnya harga sewa los dan kios setelah direlokasi. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang pendapatan
pedagang pasar setelah relokasi di pasar purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Ngaliyan
Semarang. Untuk tujuan tersebut, maka judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah
“Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang pasar setelah relokasi di pasar Purwoyoso Kecamatan Ngaliyan Semarang
”.
1.2 Perumusan Masalah