umumnya wilayah yang berarakteristik ekuatorial ini cenderung berada pada daerah sekitar ekuator. Untuk pola curah hujan lokal umumnya berlawanan
dengan pola curah hujan monsunal. Kondisi ini terjadi akibat posisi secara geografis dan topografi daerah setempat Nurhayati, 2008.
Secara garis besar di wilayah Indonesia terdapat tiga pola curah hujan, yaitu Tjasyono, 2004:
1. Pola A atau Pola Monsun, dipengaruhi oleh monsun, karakteristik distribusi bulanannya berbentuk huru
V‟. Curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau bulan Agustus. Pola ini terdapat di
sebelah Utara dan Selatan garis ekuator. Daerahnya meliputi Jawa, Nusa Tenggara,Kalimantan Selatan, Maluku Tenggara, Aceh serta
Irian Jaya bagian Utara dan Selatan. 2. Pola B atau Pola Ekuatorial, distribusi curah hujan dengan dua
maksimum yaitu sekitar bulan April dan Oktober, tidak selalu jelas perbedaannya pada distribusi curah hujan bulanannya. Pola ini
terdapat di daerah ekuatorial yang meliputi daerah bagian tengah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.
3. Pola C atau Pola Lokal, dimana distribusi curah hujan bulanannya berlawanan dengan pola A. Pola ini banyak dipengaruhi oleh kondisi
lokal efek orografi. Dijumpai di daerah Sulawesi Selatan bagian Timur, Sulawesi Tengah bagian Timur, dan sekitar Ambon -Seram.
C. Distribusi Curah Hujan
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah
yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayahdaerah dan dinyatakan dalam mm. curah hujan
daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan Sosrodarsono dan Takeda, 1999
Untuk mendapatkan gambaran mengenai distribusi hujan di seluruh DAS, maka di seluruh daerah itu dipasang alat penakar hujan, semakin banyak akan semakin
baik. Dari pencatatan hujan di tempat-tempat itu dapat diketahui distribusi hujannya. Di daerah-daerah besar keadaan demikian jarang terjadi, besarnya pun
tidak sama. Oleh sebab itu, akan sulit menentukan banyaknya air hujan rata-rata daerah untuk suatu periode tertentu Subarkah, 1980.
Menurut Hermawan 1991, Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut :
1. Cara-cara aljabar
Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di sekitar daerah yang bersangkutan.
R
1
+ R
2 n
2.1
Keterangan :
: curah hujan daerah mm
n
: jumlah titik-titik pos-pos pengamatan
R
1
, R
2
, R
n
: curah hujan di setiap titik pengamatan mm Cara hitungan dengan rata-rata aljabar mean arithmetic method ini merupakan
cara yang sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. Cara ini
dapat digunakan bila hujan yang terjadi dalam DAS homogen dan variasi setiap tahunnya tidak terlalu besar.
2. Cara Thiessen
Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan rata-rata itu dilakukan dengan memperhitungkan daerah
pengaruh tiap titik pengamatan. Curah hujan daerah dapat dihitung dengan persamaan.
2.2
Keterangan :
=
Curah hujan daerah
R
1
, R
2
, R
n
= Curah hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik- titik pengamatan
A
1
, A
2
, A
n
= Bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan
Gambar 1.Cara Thiessen
Cara Thiessen ini memberikan hasil yang lebih teliti daripada cara aljabar rata- rata. Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan
pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksi weighing
factor bagi hujan di stasiun yang bersangkutan. 3.
Cara Garis Isohyet Isohyet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai
kedalaman hujan yang sama pada saat yang bersamaan. Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan sebagai berikut :
2.3
Keterangan :
= Curah hujan daerah
R
1
, R
2
, R
n
= Curah hujan rata-rata pada bagian
A
1
, A
2
, A
n
A
1
, A
2
, A
n
= Luas bagian-bagian antara garis isohyet
Gambar 2. Cara Ishoyet
Cara ini adalah cara yang paling teliti, tetapi membutuhkan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat guna memungkinkan untuk membuat garis-garis isohyet.
Kesulitan yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambarkan garis isohyet, dan juga masuknya unsur subjektifitas dalam penggambaran
isohyet. Jika titik-titik pengamatan itu banyak dan variasi curah hujan di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta isohyet ini akan terdapat
kesalahan pribadi individual error si pembuat peta. Jadi untuk membuat peta yang baik, diperlukan pengetahuankeahlian yang cukup
D. Analisis Frekuensi