KESIMPULAN DAN SARAN Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis: Kajian Antropologi Sastra.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Pendekatan Antropologi Sastra, dilihat dari sejarahnya dapat dikatakan pendekatan sastra yang relatif baru dibanding dengan pendekatan sastra yang lain. Demikian juga pengamplikasiannya masih jarang ditemui. Secara ringkas pendekatan ini walaupun lebih memaknakan teks, namun makna konteks sangat membantu dalam penelaaahan teks. Teks yang berupa mantra dan di sertai gerak syarat serta tahapan adalah bagian terpenting dalam Silat Lintau. Ia merupakan cerminan Melayu pada umumnya, yang memiliki watak tidak terlalu ambisi, tidak terburu-buru, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tidak hanya itu, makna-maknaya merupakan pengejawantahan dari jati diri masyarakatnya. Khususnya masyarakat di Kedatukan Batang Kuis Negeri Serdang. Adapun jati diri masyarakatnya beragama Islam, beradat istiadat, dan berbahasa Melayu. Jati diri tersebut nampak dan jelas bermula dari jurus dasar Silat Lintau yang tidak menyerang terlebih dahulu melainkan menunggu serangan tanpa terburu-buru. Manakala syarat-syarat yang menyertai silat lintau berupa benda-benda keras, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda lain, seperti air menunjukan keteguhan terhadap keyakinan, bahasa yang digunakan, dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Teks yang menyertai pelaksanaan silat lintau semata-mata menunjukan keyakinan terhadap kekuasaan Allah SWT. Ia disampai dan dikemaskan melalui Universitas Sumatera Utara ayat-ayat suci, Surat Alfatiha, Tahlil, tahtim, An-nass, Al-falaq dan Dzikir. manakala sifat-sifat nabi yang ada di dalam teks, seperti nabi Sulaiman, nabi Daud, nabi Isa, nabi Musa, dan nabi Muhammad SAW. Penelitian yang berlangsung di Kedatukan Batang Kuis tersebut menunjukan hasil bahwa jati diri masyarakat Melayu pengguna Silat Lintau membentuk masyarakat yang bersifat lebih sabar dan tidak serta-merta terbawa emosi sesaat, lalu dalam kehidupannya mereka cenderung menghindari sifat-sifat yang berkompetisi, menjauhi angan-angan yang tinggi, dan pantang mencari lawan, sifat-sifat tersebut berbeda dengan masyarakat yang tidak memenggunakan Silat Lintau. Walaupun pada umumnya ciri dari masyarakat Melayu tetap sama adalah menggunakan bahasa Melayu, beradat Resam, dan beragama Islam. 5.2 Saran-Saran Kelemahan dari bela diri tradisional yang ada di Indonesia baik itu pencak silat, dan lain-lain khususnya Silat Lintau, ialah tidak memiliki modul, pada dasarnya modul sangat berpengaruh dalam minat seseorang untuk mempelajari dan mendalami seni bela diri tersebut, sebelum belajar dan berkecimpung dalam bela diri tersebut pastilah akan bertanya, berapa lama waktu yang di butuhkan untuk menguasai silat lintau. Modul bukan hanya tata cara atau tutorial dalam mempelajari ilmu tersebut, melainkan juga kepastian jangka waktu yang di tentukan sampai mahir menggunakan silat. Sebagai contoh di luar negri seperti Tae Kwan Do dari Korea atau Kapoera dari Brazil, dalam mempelajari ilmu bela diri tersebut mereka menerapkan sistem paket memastikan kenaikan tingkat sabuk dalam beberapa bulan, Universitas Sumatera Utara latihan serta pembelajaran seni bela diri juga tersusun rapi hingga mendongkrak minat dan popularitasnya. Modul merupakan sistem pengajaran dan susunan waktu yang tepat untuk seorang guru mengajarkan ilmu bela diri tersebut, dengan di ciptakanya sistem modul pada seni bela diri di Indonesia akan menimbulkan sistem ‘TOT’Training Of Trainer sudah pasti kemampuan seorang guru akan benar-benar di uji dan diakui, ‘TOT’ membuat seorang guru silat tidak hanya menyimpan ilmu seni bela diri tersebut hanya dalam kepalanya saja, tetapi juga ada modul dan buku yang membantunya mengingat setiap jengkal dari ilmu tersebut. Seseorang yang ingin belajar silat juga mendapat kepastian seberapa lama akan menguasai ilmu tersebut, lalu dengan begitu secara otomatis akan mendongkrak popularitas seni bela diri di Indonesia. Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA