Perpindahan Panas Konveksi Alamiah Natural

9-1= proses ini berlangsung secara isobar isothermal tekanan konstan, temperature konstan di dalam evaporator. Dimana panas dari lingkungan akan di serap oleh cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga refrigerant berubah fasa menjadi uap bertekan rendah. Kondisi refrigerant saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap.

2.4. Perpindahan Panas Konveksi Alamiah Natural

Konveksi Alamiah natural convection,atau konveksi bebas free convection, terjadi karena fluida yang, karena proses pemanasan, berubah densitasnya kerapatannya, dan bergerak naik. Syarat terjadinya perpindahan panas konveksi adalah terdapat aliran fluida, jika tidak ada fluida maka bukan konveksi namanya. Perpindahan panas dan aliran fluida adalah dua hal yang berbeda. Pada bagian ini perpindahan panas yang menginisiasi aliran fluida. Karena perbedaan temperatur, massa jenis fluida akan berbeda, dimana fluida yang suhunya lebih tinggi menjadi lebih ringan. Sebagai akibatnya, fluida akan mengalir dengan sendirinya atau tanpa adanya gaya luar. Aliran fluida yang timbul juga akan mengakibatkan perpindahan panas dan sebaliknya perpindahan panas akan mengakibatkan aliran fluida. Keduanya, perpindahan panas dan aliran fluida, saling mempengaruhi, inilah yang disebut konveksi natural. Aplikasi dari fenomena ini di bidang engineering sangat luas. Aliran udara di atmosfer dan aliran arus air di biosfer dapat dijelaskan dengan konveksi natural, demikian juga proses pengkondisian udara Air conditioning, kondensor, pengeringan, solar collector, dll. Akhir-akhir ini topik konveksi natural mendapat tempat yang khusus dan makin populer bagi para peneliti yang fokus pada sustainable energi. Perpindahan panas konveksi paksa adalah perpindahan panas dimana dimana Universitas Sumatera Utara fluidanya dipaksa mengalir, misalnya dengan menggunakan pompa atau blower. Dengan kata lain, aliran fluida tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diakibatkan oleh oleh gaya luar. Pada bagian ini akan dibahas fenomena konveksi yang lain, dimana aliran fluida terjadi secara alami, sebagai akibat perpindahan panas yang terjadi. Konveksi inilah yang disebut konveksi natural atau kadang disebut konveksi bebas dalam bahasa Inggris disebut natural convection atau free convection. Contoh sederhana dari fenomena ini banyak dijumpai di sekitar kita. Misalnya naiknya asap rokok secara natural. Temperatur pembakaran yang terjadi pada tembakau rokok adalah lebih kurang 1000 C, temperatur ini akan memanaskan udara disekitar ujung rokok yang terbakar. Udara panas ini akan lebih ringan dari udara sekililingnya karena udara dengan temperatur lebih tinggi akan mempunyai kerapatan lebih rendah. Akibatnya udara akan terapung dan naik ke atas dan meninggalkan ruang kosong. Udara yang lebih dingin disekitarnya akan mengalir, untuk mengganti udara pada daerah yang ditinggalkan oleh udara yang naik. Maka terjadilah aliran udara secara natural.

2.4.1 Gaya apung Buoyancy force

Misalnya sebuah plat yang panas diletakkan pada posisi vertikal di udara terbuka yang awalnya diam. Setelah beberapa saat akan terlihat aliran udara di sekitar plat vertikal tersebut. Aliran udara di sekitar plat tersebut akan berada di dalam lapisan batas, yang biasa disebut boundary layer. Di luar lapisan batas ini fluida akan dianggap diam karena bergerak dengan kecepatan relatif kecil, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6 Perbedaan temperatur fluida di dalam dan di luar Universitas Sumatera Utara lapisan batas akan menyebabkan perbedaan rapat massa fluida. Oleh karena itu gaya gravitasi pada tiap-tiap partikel fluida akan berbeda. Asumsi yang umum digunakan untuk dapat menurunkan persamaan pembentuk aliran pada udara di sekitar plat vertikal ini adalah: aliran 2D, incompressibel, sifat fisik konstan. Untuk memunculkan efek dari perbedaan kerapatan sebagai gaya pendorong aliran fluida, maka pada persamaan momentum arah vertikal, gaya gravitasi harus diperhitungkan. Gambar 2.6 Konveksi natural pada plat vertikal yang panas Himsar Ambarita, 2010 Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, maka persamaan pembentuk aliran menjadi: Kontinuitas: 5 Momentum arah-x: Universitas Sumatera Utara       ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ − = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 y u x u x p y u v x u u µ ρ ρ 6 Momentum arah-y g y v x v y p y v v x v u ρ µ ρ ρ −       ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ − = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 7 Energi       ∂ ∂ + ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 y T x T c k y T v x T u p ρ 8 Persamaan-persamaan ini, masih dapat disederhanakan lagi dengan menggunakan asumsi-asumsi tambahan. Asumsi tambahan yang digunakan antara lain: distribusi tekanan searah sumbu-x dapat dianggap konstan, sehingga = ∂ ∂ x p . Selanjutnya turunan tekanan searah sumbu-y dapat dianggap sama dengan turunan tekanan hidrostatis fluida diam diluar lapisan batas. Atau dalam bentuk persamaan menjadi: dy dp y p h = ∂ ∂ 9 Dengan menggunakan defenisi tekanan hidrostatis gy p r h ρ − = ,dimana r ρ adalah massa jenis fluida yang diam diluar lapisan batas. Sebagai catatan fluida yang ada di luar lapisan batas, biasa disebut fluida referensi. Hasil differensiasi persamaan 9 adalah: g dy dp r h ρ − = 10 Universitas Sumatera Utara Jika persamaan 10 dan 9 disubstitusi ke persamaan 7, maka akan di dapat: g y v x v y v v x v u r ρ ρ µ ρ ρ − +       ∂ ∂ + ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 11 Perbedaan massa jenis pada persamaan 11 biasa dikenal sebagai perbedaan massa jenis semu, pseudo-density difference. Pendekatan Boussinesq dapat digunakan untuk mengubah perubahan rapat massa ini menjadi perbedaan temperatur. Dengan menganggap udara bertindak sebagai gas ideal, maka massa jenis udara dapat dinyatakan dengan persamaan: [ ] 1 r r T T − − = β ρ ρ 12 Dimana r T 1 = β adalah koefisien ekspansi volume gas. r T adalah temperatur fluida pada suhu referensi, yaitu suhu diluar lapisan batas. Jika persamaan ini disubstitusi ke persamaan 11, dan massa jenis dapat dianggap konstan, maka persamaan menjadi: r T T g y v x v y v v x v u − +       ∂ ∂ + ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ β ρ µ 2 2 2 2 13 Persamaan 13 ini untuk selanjutnya akan digunakan sebagai pengganti persamaan 7. Sebagai catatan ada dua perbedaan utama antara persamaan 13 dan persamaan 7. Pertama, rapat massa dapat dianggap konstan tidak perlu dihitung lagi. Kedua, gaya yang bekerja pada partikel udara, sekarang sudah bukan lagi fungsi rapat massa tetapi telah berubah menjadi fungsi temperatur. Dengan kata lain, seandainya distribusi temperatur diketahui, maka distribusi kecepatan akan dapat dihitung. Model inilah, persamaan 13, yang telah diikuti selama puluhan tahun untuk menyelesaikan permasalah konveksi natural. Dan Universitas Sumatera Utara model ini juga yang akan digunakan buku ini untuk menjelaskan timbulnya gaya apung yang menyebabkan fluida bergerak sendiri. Pada persamaan 13 khususnya bagian paling kanan dari persamaan itu. Jika temperatur plat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka temperatur fluida di sekitar plat vertikal akan lebih besar dari temperatur fluida referensi, atau . Maka suku yang paling kanan akan berharga positif, artinya gaya yang timbul mengarah ke atas. Inilah yang menjelaskan kenapa partikel fluida akan naik dan sesuai dengan yang ditampilkan di Gambar 2.5. Sekarang jika yang terjadi sebaliknya, temperatur plat lebih dingin dari fluida di sekitarnya. Maka temperatur fluida di dekat plat vertikal akan lebih kecil dari temperatur fluida referensi, atau . Maka suku paling kanan dari persamaan 13 akan negatif atau gaya yang timbul mengarah ke bawah. Jika ini yang terjadi, maka aliran fluidanya akan seperti Gambar 2.6 harus mengarah ke bawah. Pada prinsipnya kedua masalah ini adalah sama, yang membedakannya hanya arah gaya apungnya. Gambar 2.7 Konveksi natural pada plat vertikal yang dingin Himsar Ambarita, 2010 Universitas Sumatera Utara Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, parameter yang selalu dihitung hanya ada satu yaitu bilangan Nu yang menyatakan koefisien perpindahan panas. Karena fluida mengalir sendiri maka koefisien gesekan atau faktor gesekan tidak perlu dihitung. Bedakan pada konveksi paksa permasalahan selalu ada dua, yaitu Nu dan CR f R atau f. Pada konveksi natural ini hanya satu yaitu Nu.

2.4.2 Bilangan tanpa dimensi

Pada kasus-kasus konveksi paksa persamaan empirik yang digunakan untuk mencari bilangan Nusselt dinyatakan dengan bilangan tanpa dimensi yaitu bilangan Reynolds. Sementara pada konveksi natural akan digunakan bilangan tanpa dimensi yang lain. Untuk mengetahui bilangan tanpa dimensi yang akan digunakan, maka persamaan pembentuk aliran harus diubah ke dalam bentuk tanpa dimensi. Parameter-parameter tanpa dimensi yang digunakan adalah: L x X = , L y Y = , V u U = , V v V = dan r s r T T T T − − = θ 14 Pada persamaan 14 huruf besar menyatakan bilangan tanpa dimensi. L adalah panjang plat vertikal dan V adalah kecepatan rata-rata fluida. Jika persaman 14 didifferensialkan, akan didapat: x L X ∂ = ∂ 1 , y L Y ∂ = ∂ 1 , u V U ∂ = ∂ 1 , v V V ∂ = ∂ 1 , dan T T T r s ∂ − = ∂ 1 θ 15 Substitusi persamaan 15 ke dalam persamaan 13 dan dilakukan sedikit manipulasi akan didapat persamaan: Universitas Sumatera Utara       ∂ ∂ + ∂ ∂       +       ×       − = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 X V Y V L V L V L Tr Ts g Y V V X V U ρ µ θ ρ µ µ β ρ 16 Bagian yang di dalam kurung kurawal adalah bilangan-bilangan tanpa dimensi. Dengan mengelompokkan semua bilangan tanpa dimensi menjadi satu group, maka persamaan 16 dapat ditulis menjadi:       ∂ ∂ + ∂ ∂ + = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 2 Re 1 Re X V Y V Gr Y V V X V U L θ 17 Dimana L Gr adalah Bilangan Grashof yang dirumuskan dengan: 2 3 2 µ β ρ L T T g Gr r s L − = 18 Dan bilangan Reynolds, sama dengan defenisi pada konveksi paksa, yaitu: µ ρ L V = Re 19 Sebagai catatan, bilangan tanpa dimensi yang lebih sering digunakan untuk menuliskan rumus empirik pada kasus-kasus konveksi natural adalah bilangan Rayleigh biasa disebut sebagai Rayleigh number yang didefenisikan sebagai: να β 3 L T T g Ra r s L − = 20 Dimana ρ µ ν = adalah viskositas kinematik, dan p c k ρ α = adalah difusivitas termal. Hubungan antara bilangan Rayleigh dan bilangan Grashof didapat dengan membandingkan persamaan 18 dan persamaan 20. Universitas Sumatera Utara Pr L L Gr Ra = 21 Dengan cara yang sama, persamaan energi pada persamaan 8, dapat diubah dengan menggunakan parameter-parameter tanpa dimensi pada persamaan 14 dan turunannya pada persamaan 15. Persamaan energi pada persamaan 8, dalam bentuk tanpa dimensi menjadi:       ∂ ∂ + ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ 2 2 2 2 Pr Re 1 Y X Y V X U θ θ θ θ 22

2.4.3. Penyelesaian Analitik Konveksi Natural

Seperti yang telah dijelaskan, tujuannya sekarang adalah mencari koefisien perpindahan panas konveksi. Persamaan ini dapat dihitung dengan menyelesaikan dulu persamaan pembentuk aliran untuk mendapatkan distribusi temperatur. Dengan distribusi temperatur yang diketahui akan dapat dicari koefisien konveksi natural. Dengan kata lain, untuk mendapatkan persamaan koefisien perpindahan panas pada lapisan batas, maka persamaan differensial pembentuk aliran harus diselesaikan, yaitu persamaan 8 dan persamaan 13. Menyelesaikan persamaan ini secara teori ada dua metode yang bisa dilakukan yaitu cara analitik dan cara numerik. Pada bagian ini akan dibahas cara analitik. Meskipun konveksi alamiah bisa terjadi pada berbagai bentuk permukaan, tetapi yang akan dibahas secara analitik adalah hanya pada plat vertikal. Telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ada dua kemungkian kasus konveksi natural pada plat vertikal. Pertama temperatur permukaan plat lebih tinggi daripada fluida disekitarnya dan kedua temperatur permukaan plat lebih rendah dari fluida di sekitarnya. Kedua Universitas Sumatera Utara kasus ini adalah sama dan hanya arahnya yang berbeda. Oleh karena itu penyelesaian analilitik hanya akan fokus pada satu kasus yang pertama seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.8 Kasus yang dianalisis di sini adalah sebuah plat vertikal yang panjangnya L dan temperatur permukaannya s T berada pada fluida diam yang mempunyai temperatur ∞ T . Tetapi untuk memmudahkan pembahasan temperatur fluida ini akan disebut temperatur referensi, r T . Yang harus dicari pada kasus ini adalah profil kecepatan, profil temperatur, tebal lapisan batas, dan koefisien konveksi pada permukaan plat vertikal. Pada lapisan batas, setelah mengalami penyederhanaan persamaan yang akan diselesaikan akan dituliskan kembali. = ∂ ∂ + ∂ ∂ y v x u 23 r T T g x v y v v x v u − + ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ β ρ µ 2 2 24 2 2 x T c k y T v x T u p ∂ ∂ = ∂ ∂ + ∂ ∂ ρ 25 Persamaan 24 dan persaman 25 masing-masing diperoleh dari persamaan 13 dan persamaan 8. Penyederhanaan ini didapat dengan menggunakan fakta bahwa di dalam lapisan batas 2 2 2 2 ≈ ∂ ∂ = ∂ ∂ y T y v . Kondisi batas untuk ketiga persamaan ini adalah: = x , = = v u , dan s T T = 26 δ = x , = v , = ∂ ∂ x v , dan r T T = , = ∂ ∂ x T 27 Universitas Sumatera Utara Dan sebagai kondisi batas tambahan dari persaman 26 jika dimasukkan ke persamaan 24, akan diperoleh: µ β ρ 2 2 r s y T T g x v − − = ∂ ∂ = 28 Setelah mereview beberapa text book heat transfer, ada dua jenis penyelesaian yang umum digunakan untuk menyelesaikan persamaan yang ditampilkan di atas beserta dengan kondisi batasnya. Pertama menggunakan metode similaritas seperti yang digunakan oleh Ostrach 1953 dan kedua menggunakan metode integral yang diajukan secara terpisah oleh Squire dan Goldstein, selanjutnya akan disatukan dan disebut persamaan Squire-Goldstein. Pembahasan masing-masing dipublikasikan oleh Eckert dan Drake 1987 dan Goldstein 1930. Penyelesaian dengan menggunakan metode similaritas dapat dilihat pada buku Incropera 2006. Pada buku ini, penyelesaian analitik untuk konveksi natural di sekitar plat vertikal yang akan digunakan adalah formulasi Eckert- Goldstein. Tetapi, langka-langkah penyelesaiannya tidak akan ditampilkan seluruhnya, bagi yang ingin lebih mendalami cara penyelesaiannya pembaca bisa membacanya pada buku yang ditulis oleh Lienhart 2003. Hasil pengintegralan dari persamaan energi, persamaan 25, adalah profil temperatur yang merupakan fungsi jarak horizontal dari permukaan x diusulkan berbentuk parabola dengan persaman: 2       +       + = − − δ δ x c x b a T T T T r s r 29 Universitas Sumatera Utara Dengan syarat batas untuk temperatur dari persamaan 26 dan persamaan 27, koefisien a, b, dan c dapat dihitung. Jika diselesaikan akan didapat nilai masing-masing a=1, b=-2, dan c=1. Substitusi nilai-nilai ini ke persamaan 29 akan menghasilkan persamaan profil temperatur di dalam lapisan batas. 2 1       − × − + = δ x T T T T r s r 30 Persamaan ini membuktikan bahwa temperatur suatu titik di lapisan batas tergantung pada posisi titik itu dari permukaan dan tebal lapisan batasnya δ . Meskipun belum diturunkan rumus untuk tebal lapisan batas ini tetapi, berdasarkan visualisasi pada Gambar 2.7 tebal lapisan batas ini merupakan fungsi y. Berikutnya adalah untuk profil kecepatan. Untuk membuat profil kecepatan tanpa dimensi, di sini diusulkan suatu kecepatan karakteristik yang merupakan fungsi jarak vertikal y c V . Pada posisi y yang sama, kecepatan ini adalah konstan sepanjang x. Persamaan kecepatan karakterstik ini akan dirumuskan kemudian. Hasil pengintegralan persamaan 25 disusulkan profil kecepatan tanpa dimensi berupa persamaan jarak pangkat tiga, atau dituliskan: 3 2       +       +       = δ δ δ y d y c y V v y c 31 Koefisien c dan d didapat dengan menggunakan syarat batas pada persamaan 26 dan persamaan 27, dan hasilnya c = -2 dan d=1. Dengan menggunakan angka ini profil kecepatan di dalam lapisan batas adalah: Universitas Sumatera Utara 2 1       − × = δ δ x x V v y c 32 Sekarang dengan menggunakan profil kecepatan dan profil temperatur yang sudah dihitung ini kecepatan karakteristik dapat dihitung dan dan tebal lapisan batas dapat dihitung. Caranya substitusi persamaan 30 dan persamaan 32 ke dalam persamaan 25 dan integralkan. Caranya memang sangat panjang dan berliku, bagi yang serius silahkan merujuk pada Lienhart 2003. Pada bagian ini hanya hasilnya yang akan ditampilkan. Persamaan mencarai kecepatan karakteristiknya adalah: 2 Pr 21 20 3 Pr δ µ ρβ r s c T T g y V − × + = 33 Dan tebal lapisan batas 25 , 25 , 2 Pr Pr 952 , 936 , 3 − ×       + = y Gr y δ 34 Koefisien perpindahan panas konveksi akan dirumuskan dengan defenisi yang telah dijelaskan diatas dan persamannya adalah: r s x T T x T k h − ∂ ∂ − = =0 35 Dengan menggunakan persaman distribusi temperatur pada persamaan 30 akan diperoleh persaman koefisien konveksi lokal: δ k h y 2 = 36 Dan akhirnya bilangan Nusselt lokal sebagai fungsi jarak y dari sisi masuk adalah: Universitas Sumatera Utara 25 , 25 , Pr 952 , Pr 508 , Nu       + = y y Ra 37 Bilangan Nusselt rata-rata didapat dengan mengintegralkan persamaan 37 sepanjang L dan hasilnya: 25 , 25 , Pr 952 , Pr 678 , Nu       + = L Ra 38 Persamaan-persamaan ini digunakan dengan sifat fisik dievaluasi pada temperatur film 2 1 r s f T T T + = , kecuali β harus dievaluasi pada temperatur referensi r T .

2.4.4 Persamaan Empirik Konveksi Natural permukaan Luar

Persamaan mencari bilangan Nu yang diturunkan secara analitik dan menghasilkan persamaan 38 didapat dengan asumsi bahwa aliran adalah laminar. Validasi yang dilakukan dengan cara eksperimen membuktikan adanya penyimpangan dari persaman tersebut dengan hasil eksperimen. Hal ini, salah satunya diakibatkan adanya efek turbulensi. Penentuan kondisi aliran pada kasus konveksi natural adalah menggunakan bilangan Ra yang telah didefenisikan pada persamaan 20. Pada penyelesaian analitik yang telah telah ditampilkan di atas, karena diturunkan dengan asumsi untuk aliran laminar maka hanya pada bilangan Ra yang rendah sebaiknya persamaan itu dipakai. Sementara untuk bilangan Ra yang lebih besar persamaan tersebut tidak disarankan. Meskipun demikian, bentuk dasar persamaan tersebut memberikan informasi bahwa bilangan Nu dari suatu masalah konveksi natural dapat dirumuskan sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara m L CRa = Nu 39 Dimana C dan m adalah konstanta yang tergantung pada permukaan, jenis fluida dan besar bilangan Rayleigh. Permasalahannya sekarang adalah mencari konstanta C dan m yang sesuai untuk suatu kasus konveksi natural. Kedua konstanta ini dihitung dengan menggunakan data-data eksperimen. Dengan menggunakan data-data eksperimen yang baik maka seorang peneliti dapat mengajukan konstanta yang sesuai, cara inilah yang dikenal dengan cara membangun persamaan empirik. Beberapa peneliti telah mengajukan persamaan untuk beberapa kasus yang akan ditampilkan pada bagian berikut. Persamaan akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan kondisi permukaan apakah untuk temperatur konstan atau untuk flux konstan.

2.4.5 Bidang vertikal

Arah aliran fluida akibat konveksi natural pada bidang vertikal mempunyai dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif persamaan mencari nilai bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang berbeda. Kedua kemungkinan ini sudah ditampilkan pada Gambar 2.6 dan Gambar 2.7 a. Untuk bidang vertikal dengan s T konstan Universitas Sumatera Utara Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang bidang L dan dinyatakan dengan L Ra . Untuk kasus ini ada beberala alternatif yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat dijumpai pada McAdams 1954, Warner dan Arpaci 1968, dan Bayley 1955, yaitu: 25 , 59 , Nu L Ra = untuk 9 4 10 10 ≤ ≤ L Ra 40 3 1 1 , Nu L Ra = untuk 13 9 10 10 ≤ L Ra 41 Kedua persamaan benar-benar sangat mirip dengan persamaan 39. Keunggulan dari persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana sehingga mudah untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti. Untuk meningkatkan ketelitiannya persamaan yang direkomendasikan Churchill dan Chu 1975 dapat digunakan. 2 27 8 16 9 6 1 ] Pr 492 , 1 [ 387 , 825 , Nu       + + = L Ra 42 Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaR L R. Dan jika ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah 9 10 ≤ L Ra , Churchill dan Chu 1975 menyarankan persamaan berikut: 9 4 16 9 4 1 ] Pr 492 , 1 [ 67 , 68 , Nu + + = L Ra 43 Meskipun kedua persamaan ini mempunyai bentuk yang sangat berbeda dengan hasil analitik pada persamaan 38, tetapi pada kasus tertentu dapat memberikan hasil yang sama. Telah disebutkan bahwa penyelesaiaan analitik didapatkan dengan asumsi bahwa aliran yang terjadi adalah laminar dimana Universitas Sumatera Utara bilangan RaR L R kecil. Jika bilangan ini kecil, bagian kanan dari persamaan 42 dan persamaan 43 akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu untuk kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,825P 2 P ≈ 0,68. Demikian juga hasil analitik pada persamaan 38 akan mendekati 0,678. Kesimpulannya memberikan angka yang sama. Tetapi sebaliknya jika bilangan RaR L R besar masing-masing persamaan ini akan menyimpang dan disarankan menggunakan yang sesuai rekomendasi. b. Bidang vertikal dengan flux q ′′ konstan Plat vertikal yang dipanasi dengan flux panas q ′′ [WmP 2 P] sangat cocok memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur tidak diketahui, maka temperatur yang digunakan pada persamaan adalah temperatur rata-rata, dan dirumuskan dengan persamaan: h q T T r s ′′ = − 44 Dengan menggunakan persaman ini bilangan RaR L R dapat dihitung. Kemudian, bilangan Nu dapat dihitung dengan menggunakan persaman yang diajukan oleh Churchill dan Chu 1975. 2 27 8 16 9 6 1 ] Pr 437 , 1 [ 387 , 825 , Nu       + + = L Ra 45 Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan 44 untuk menghitung beda temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h. Sementara ini masih Universitas Sumatera Utara harus dihitung pada persamaan 45. Oleh karena itu masalah ini harus diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h, kemudian dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda temperatur ini akan digunakan menghitung RaR L R, dan akhirnya Nu dapat dihitung. Nilai h hasil tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai Nu yang baru didapat. Jika tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima, maka perhitungan bisa dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus diulang lagi sampai hasilnya sama atau perbedaannya dapat diterima.

2.4.6 Bidang miring

Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan 90P o P. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut kemiringannya kurang dari 90P o P. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi natural, maka semua persamaan pada bidang vertikal dengan satu catatan kemiringannya harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas dimiringkan dengan sudut kemiringan 90 θ terhadap vertikal ditampilkan pada Gambar 2.8. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8 Konveksi natural pada bidang miring Himsar Ambarita, 2010 Pada gambar dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut kemiringan terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi yang sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap sebagai plat vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi . Maka untuk bidang miring semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan dan konstan dapat digunakan. Tetapi gravitasi harus diganti menjadi saat menghitung bilangan Ra. 46 Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat vertikal, persamaan 40 sampai dengan persamaan 45 dapat digunakan. Kita tinggal memilih persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas.

2.4.7 Bidang Horizontal

Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi natural pada bidang vertikal dan bidang miring, bukan berarti pada bidang horizontal tidak terjadi konveksi natural. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah Universitas Sumatera Utara bagaimana mendefenisikan panjang perpindahan panas. Hal ini perlu dijelaskan karena percepatan gravitasi adalah tegak lurus terhadap bidang horizontal. Pada kasus konveksi natural pada bidang horizontal panjang yang digunakan menghitung bilangan RaR L R adalah panjang karakteristik yang didefenisikan dengan persamaan: K A L = 47 Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah kelilingya. Dengan menggunakan panjang karakteristik ini bilngan RaR L R dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 20. Pola konveksi natural pada permukaan horizontal dapat dibagi dua. Masing-masing dijelaskan pada bagian berikut. a. Permukaan atas yang panas atau permukan bawah yang dingin. Pola ini ditunjukkan pada Gambar 2.9 Pada bagian kiri gambar tersebut bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan karena lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kiri digambarkan sebaliknya bidang horizontal yang dingin berada pada fluida yang lebih panas. Fluida yang bersentuhan dengan bidang akan lebih dingin. Karena lebih dingin akan menjadi lebih berat dan akan mengalir turun. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9 Konveksi natural pada bidang horizontal type a Himsar Ambarita, 2010 Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya arah alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu dapat digunakan persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran 1974: Untuk : 48 Untuk 49 b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas Pola ditunjukkan pada Gambar 2.10 Pada bagian kiri gambar ditunjukkan bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan mengalir ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka fluida dibawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan arah yang berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.10 Konveksi natural pada bidang horizontal type b Himsar Ambarita, 2010 Persamaan menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan persamaan yang dituliskan pada buku Incropera 2006. 50 Persamaan ini berlaku untuk .

2.4.8 Konveksi natural pada permukaan silinder

Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpai di bidang engineering adalah silider. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi horizontal seperti heat exchanger jenis shell and tube. Pada bagian akan ditampilkan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural dari bidang silinder. a. Silinder vertical Universitas Sumatera Utara D L T s T r Gambar 2.11 Konveksi natural pada silinder vertikal Himsar Ambarita, 2010 Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan s T ditampilkan pada Gambar 2.11 Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L berada pada fluida fluida yang mempuyai temperatur r T . Jika temperature permukaan silinder lebih panas daripada fluida. Maka fluida di sekitar silinder akan mengalir naik. Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih lebih dingin daripada fluida, maka fluida di sekitar silinder akan turun. Kedua kasus ini akan memberikan bialngan Nu yang sama. Jika diameter silinder cukup besar maka, dapat dianggap sama dengan bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk bidang vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang dikategorikan besar adalah: 25 , 35 L Gr L D ≥ 51 Persamaan 40 sampai dengan persamaan 45 dapat digunakan asal semua syarat memenuhi.Tetapi jika persamaan 40 tidak dipenuhi lagi, silinder vertikal akan Universitas Sumatera Utara dikategorikan tipis dan persamaan menghitung bilangan Nu nya akan khusu. Le Fevre dan Ede 1956 merekomendasikan persamaan berikut: D L Ra L Pr 63 64 35 Pr 315 272 4 Pr 21 20 5 Pr 7 3 4 Nu 25 , + + +       + = 52 Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali β saat menghitung RaR L R menggunakan temperatur fluida. b. Silinder Horizontal Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai termperatur lebih panas daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada Gamabr 2.12. D L T s T r Gambar 2.12 Konveksi natural pada silinder vertikal Himsar Ambarita, 2010 Untuk kasus ini, jika bilangan 12 10 ≤ D Ra , persamaan berikut dapat digunakan, Churchill dan Chu 1975: 2 27 8 16 9 6 1 ] Pr 559 , 1 [ 387 , 6 , Nu       + + = D Ra 53 Universitas Sumatera Utara

2.4.9 Konveksi natural pada Bola

Bentuk permukaan terakhir yang akan ditampilkan adalah konveksi natural pada permukaan bola. Jika permukaan bola lebih panas daripada fluida di sekitarnya, maka fluida yang berada di dekat permukaan bola akan naik. Pada permukaan akan terjadi perpindahan panas konveksi natural seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.13 Gambar 2.13 Konveksi natural pada bola Himsar Ambarita, 2010 Jika permukaan yang mengalami konveksi natural berbentuk bola dengan diamter D maka persamaan berikut, Churchill 1983, dapat digunakan: 9 4 16 9 25 , ] Pr 469 , 1 [ 589 , 2 Nu + + = D Ra 54 Syarat menggunakan persamaan ini adalah 11 10 ≤ D Ra dan 7 , Pr ≥ . Universitas Sumatera Utara Sebagai catatan, semua persamaan yang ditampilkan pada bagian ini menggunakan sifat-sifat fisik fluida yang dievaluasi pada temperatur film, 2 r s f T T T + = , kecuali untuk gas nilai koefisien ekspansi dihitung pada temperatur fluidu referensi r T 1 = β . Pada water heater pemanasannya berlangsung secara konveksi natural dari koil ke air.Pada water heater bentuk koilnya terdiri dari beberapa gabungan elbow, vertikal, dan horizontal.Sementara untuk persamaan-persamaan dari bentuk koil elbow, vertikal, dan horizontal tidak ada tersedia secara teori.Oleh karena itu, maka diperlukan penyelesaian dengan simulasi menggunakan perangkat lunak Computational Fluid Dinamycs CFD.