D. Pengaturan Leasing di Indonesia
1. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan perjanjian lainnya
a.
Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Sewa-Menyewa
Sebelum mengadakan perbedaan antara perjanjian leasing dengan perjanjian sewa-menyewa, maka adalah baik kiranya lebih
dahulu mengetahui system hokum perjanjian di Indonesia. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagaimana diketahui, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menganut “system terbuka atau open system” dalam hukum perjanjian, ini berarti hukum perjanjian
memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan
tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perjanjian leasing itu sendiri adalah salah satu perjanjian
yang telah timbul dalam praktek karena kebutuhan bisnis. Seperti diketahui bahwa dalam hukum perdata dikenal istilah
Nominat untuk perjanjian-perjanjian tertentu dan In Nominat untuk perjanjian-perjanjian yang timbul dalam praktek, yang dibuat oleh
pihak-pihak yang berhubungan satu sama lain dalam perdagangan atau hubungan hukum lainnya. Salah satu Nominat yaitu Perjanjian
Sewa-Menyewa. Pada dasarnya tidak banyak kelihatan perbedaan antara
perjanjian leasing dengan perjanjian sewa-menyewa, oleh karena hubungan tersebut sama-sama merupakan suatu perjanjian antara dua
pihak, dimana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan pada pihak yang lain hak untuk menggunakan atau menikmati suatu
barang, selama jangka waktu tertentu dengan suatu pembayaran yang telah disepakati bersama. Namun dalam kelanjutannya sebagai yang
akan kita lihat ada perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar dan penting.
Sewa-Menyewa merupakan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata dalam Bab VII pasal 1548 sampai dengan pasal 1580 dan
karenanya disebut Perjanjian Bernama. Pasal 1548 KUH Perdata memberikan tentang definisi tentang perjanjian sewa-menyewa
sebagai berikut:
26
“Sewa-menyewa ialah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakangan itu disanggupi pembayarannya.”
Perjanjian sewa-menyewa seperti halnya dengan perjanjian- perjanjian lainnya adalah suatu perjanjian Konsensuil, artinya
perjanjian itu sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokok yaitu barang dan harga.
Dalam perjanjian sewa-menyewa kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati oleh pihak
penyewa. Oleh sebab itu barang yang diserahkan itu tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam perjanjian jual beli, tetapi hanya untuk
26 Prof. R. Subekti, S.H. R. Tjitrosudibio,
dinikmati kegunaannya. Maka sifatnya hanya untuk penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang disewa. Karena yang diserahkan
bukan hak milik dari barang itu tetapi hanya pemakaiannya saja, maka pihak yang menyerahkan tidak usah seorang pemilik dari barang
tersebut. Jadi unsur yang terpenting dalam perjanjian sewa menyewa
adalah kenikmatan dari sesuatu barang yang disewakan dan harga sewa. Perbedaan antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian
leasing terletak pada unsur kepentingan para pihak yang berbeda dalam beberapa segi. Adapun pokok-pokok perbedaan perjanjian
sewa-menyewa dan perjanjian leasing adalah :
27
1 Leasing dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perjanjian
financial lease adalah suatu pembiayaan sedangkan perjanjian sewa-menyewa belum tentu bertujuan pembiayaan perusahaan;
2 Obyek dari perjanjian leasing menurut Surat Keputusan Bersama
Tiga Menteri dan Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. PENG-307DJMIII.171974 tentang Pedoman Pelaksanaan
Peraturan Leasing adalah barang-barang modal atau alat-alat produksi, sedangkan perjanjian sewa-menyewa juga dapat
meliputi barang-barang untuk digunakan di luar perusahaan; 3
Subyek-subyek dalam leasing:
27 Kartini Muljadi, S.H. op.cit., hal. 24-27
Pada perjanjian sewa-menyewa subyeknya tidak ditentukan, setiap subyek hokum dapat menjadi penyewa atau yang menyewakan.
Dalam perjanjian leasing, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649MKIV51974 tentang “Perizinan Usaha
Leasing” dan Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Peng- 307DJMIII.171974, yang dapat melakukan usaha leasing
adalah perusahaan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan dan telah memenuhi persyaratan dalam pasal 5 Surat
Keputusan Menteri Keuangan tersebut. Dalam pasal 2 Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain ditentukan
bahwa yang dapat bertindak sebagai Lessor hanyalah Lembaga Keuangan atau Badan Hukum tersendiri baik yang berbentuk
Perusahaan Nasional maupun Perusahaan Campuran dan yang terlebih dahulu telah memperoleh izin usaha leasing dari Menteri
Keuangan. 4
Dalam perjanjian sewa-menyewa, pihak yang menyewakan telah memiliki atau menguasai barang-barang yang hendak
dipergunakan oleh pihak yang lain dengan membayar sewa sebagai imbalan, sedangkan dalam hal perjajian leasing, pihak
Lessor adalah instansi penyedia dana financiers dan bukan pemilik barang yang biasa yang disewakan dan Lessor harus
menjadi pemilik barang yang di-leasedkan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal lease pihak Lessor menyediakan uang untuk
membiayai finance pengadaan barang-barang yang dibutuhkan oleh pihak Lessee itu;
5 Seluruh risiko obyek ada pada umumnya pemeliharaannyapun
menjadi kewajiban Lessee, sedangkan dalam sewa-menyewa penyewa ikut memikul risiko obyek sewa-menyewa;
6 Imbalan jasa yang dibayar pada perjanjian sewa-menyewa adalah
uang sewa, di mana uang sewa ini tidak terhutang apabila perjanjian sewa mengakhiri atau dibatalkan asal saja barang yang
disewa dikembalikan, sedangkan dalam perjanjian leasing, Lessor berkepentingan memperoleh suatu imbalan jasa uang sewa yang
pada pokoknya merupakan tebusan berkala harga perolehan barang ditambah ongkos pembiayaan, dan lagipula pihak Lessee
tetap berkewajiban membayar seluruh jumlah imbalan jasa tersebut serta mengembalikan barang yang di-lease. Kewajiban
Lessee untuk membayar seluruh imbalan jasa tersebut tidak berhenti atau berkurang., walaupun barang yang menjadi obyek
lease itu musnah. Bahkan Lessee tetap berkewajiban membayar seluruh imbalan jasa walaupun Lessee mungkin belum mulai
menikmati kegunaan barang tersebut, karena misalnya barang musnah sebelum selesai pemasangannya. Lessor berkepentingan
memperoleh imbalan jasa tersebut ialah dikarenakan Lessor harus membayar kembali dana berikut bunganya yang dipinjam Lessor
dari pihak ke tiga untuk membiayai pembelian barang modal yang
disediakan kepada Lessee serta seluruh ongkos yang berkaitan ditambah dengan suatu margin yang merupakan keuntungannya.
Risiko yang ditanggung oleh Lessor dengan demikian lebih tinggi dari risiko yang pada umumnya ditanggung oleh seorang yang
menyewakan dalam perjanjian sewa-menyewa. Alasan ini antara lain menyebabkan perbedaan tertentu dibandingkan dengan
perjanjian sewamenyewa. Karena Lessor menanggung risiko pembiayaan adalah tidak fair apabila Lessor juga menanggung
risiko atas barang modal tersebut hilang, rusak, musnah, tidak berfungsi sepenuhnya kepada Lessee;
7 Jangka waktu dalam perjanjian sewa-menyewa mungkin bisa
tidak terbatas, tetapi dalam perjanjian leasing harus merupakan jangka waktu yang tertentu;
8 Jaminan-jaminan tertentu yang harus diberikan oleh seorang yang
menyewakan dalam perjanjian sewa-menyewa, seperti jaminan untuk menikmati barang yang disewakan tanpa gangguan, tidak
berlaku sepenuhnya dalam perjanjian leasing. Oleh karena Lessee sendiri yang memilih barang modal yang bersangkutan, seolah-
olah ia menjadi pembeli dan bahkan ada kalanya Lessee sendiri merupakan pemilik semula, maka ada alasan untuk meniadakan
seluruh atau sebagian jaminan-jaminan yang diharuskan berdasarkan suatu perjanjian sewa-menyewa.
b.
Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Sewa-Beli
Sewa-beli adalah suatu lembaga yang timbul dalam praktek yang sudah diakui sah oleh yurisprudensi. Oleh karena itu belum ada suatu
definisi yuridis untuk pengertian ini. Hal ini memang dimungkinkan asal saja setiap persetujuan itu memenuhi persyaratan pasal 1320
KUH Perdata dan lagi pula sebagaimana diketahui hukum perjanjian kita menganut Asas Kebebasan Berkontrak yang terkandung dalam
pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor:
34KpII80, tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli Hire Purchase, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa Renting, tertanggal
1 Februari 1980, kita menemukan definisinya sebagai berikut: “Sewa beli hire purchase adalah: Jual beli barang di mana
penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli
dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang
tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual,”
Dari definisi di atas, dapat kita ambil kesimpulan mengenai perbedaan antara perjanjian leasing dengan perjanjian sewa beli,
yakni:
1 Pada perjanjian leasing, Lessor biasanya pihak yang menyediakan
dana dan membiayai pembelian barang tersebut seluruhnya dan bertindak sebagai lembaga keuangan, sedangkan pada perjanjian
sewa beli penjual adalah produsen atau pedagang yang berusaha menjual barangnya;
2 Masa leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan umur kegunaan
barang yang diperkirakan dan angsuran imbalan jasa disesuaikan dengan hasil usaha Lessee yang diperkirakan oleh Lessor,
sedangkan tidak selalu demikian halnya dengan sewa-beli, dimana masa pembayaran angsuran ditetapkan atas dasar kemampuan
pembeli; 3
Dalam sewa beli si pembeli bermaksud untuk memiliki barang tersebut, sedangkan dalam hal leasing sama sekali tidak ada tujuan
tersebut pada Lessee. Jadi dapat dikatakan bahwa pada akhir masa sewa beli, hak milik atas barang dengan sendirinya beralih kepada
pembeli. Sedangkan pada leasing, Lessee memutuskan apakah akan mempergunakan hak opsinya untuk membeli,
memperpanjang ataupun mengembalikan barang yang bersangkutan kepada Lessor dan hanya setelah pembayaran harga
pembelian hak milik atas barang tersebut beralih kepada Lessee. c.
Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Jual Beli dengan Angsuran
Lembaga ini sama dengan jual beli seperti yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1457, hanya saja pembayaran atas harganya
dilakukan secara berkala yang disetujui oleh kedua belah pihak. Hak milik atas barang beralih sekaligus dari penjual kepada pembeli pada
saat barang diserahkan. Dalam perjanjian jual beli seperti ini, yang juga merupakan variasi dari perjanjian jual beli biasa, hak milik atas
barang berpindah pada saat perjanjian ditandatangani dan barang diserahkan oleh penjual kepada pembeli walaupun pembayaran
harganya masih belum lagi lunas. Harga atau sisa dari harga yang masih belum dibayar itu menurut hukum merupakan hutang dari
pembeli. Setelah menerima barang itu, pembeli bukan saja memikul
segala risiko atasnya, tetapi sebagai pemilik juga berhak untuk mengalihkan atau menjual barang itu lagi pada orang lain. Sedangkan
untuk menjamin pembayaran atas cicilan-cicilan secara teratur dan baik, selama jangka waktu yang telah disepakati bersama, maka antara
penjual dan pembeli itu mengadakan suatu ikatan secaea notariil untuk penyerahan hak milik secara fiducia.
Tentang definisi perjanjian inidapat kita lihat di dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34KPII80,
tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa-Beli Hire Purchase, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa Renting, tertanggal 1 februari 1980
sebgai berikut: Jual Beli dengan Angsuran adalah: “Jual beli barang dimana
penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima
pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan
diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan
oleh penjual kepada pembeli.” Jadi perbedaan antara perjanjian leasing dengan jual beli
dengan angsuran ini ialah bahwa: 1
Pada lembaga jual beli dengan angsuran, hak milik berpindah pada saat barang diserahkan penjual kepada pembeli, sedangkan
pada perjanjian leasing, hak milik atas barang tetap pada Lessor. 2
Pada perjanjian leasing, jangka waktunya disesuaikan dengan masa guna useful life dari barang yang di-lease sedangkan pada
perjanjian jual beli dengan angsuran ditetapkan sepihak oleh penjual.
d.
Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Pinjaman Uang
Pada pasal 1754 KUH Perdata didefinisikan bahwa
5
: “Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang- barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa
pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Seperti kita ketahui, bahwa walaupun perjanjian leasing disebut sebagai perjanjian pembiayaan, namun tidaklah terjadi penyerahan
sejumlah uang dari Lessor kepada Lessee, maka menurut hemat penyusun perjanjian leasing bukanlah suatu perjanjian peminajaman
uang. Walaupun begitu kebutuhan komersial perusahaan yang meminjamkan uang dan Lessee pada umumnya sama yaitu, mereka
membutuhkan pembiayaan untuk perusahaannya. Dengan kata lain, perjanjian leasing bukanlah suatu perjanjian uang, akan tetapi suatu
alternatif untuk memperoleh pembiayaan bagi suatu perusahaan. Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapatlah kiranya
disimpulkan bahwa perjanjian leasing sebagaimana didefinisikan dalam Keputusan Bersama Tiga Menteri itu tidaklah sama dengan
sewa beli, tidak sama dengan sewa-menyewa, tidak sama dengan jual beli dengan angsuran ataupun dengan perjanjian pinjaman uang.
Perjanjian leasing adalah perjanjian yang mempunyai sifat-sifat tersendiri, yang berbeda dengan perjanjian-perjanjian yang telah
disebutkan di atas.
2. Prosedur Terjadinya Perjanjian Leasing
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut: a.
Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang
dimaksudkan. b.
Setelah Lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan
kepada Lessor disertai dokumen lengkap.
c. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk
memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui Lessee lama kontrak pembayaran sewa lease, setelah ini maka
kontrak lease dapat ditandatangani.
d. Pada saat yang sama, Lessee dapat menandatangani kontrak asuransi
untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui Lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara
Lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
e. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani Lessor dengan
supplier peralatan tersebut.
f. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi Lessee.
Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut,
supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
g. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan
kepada suppplier.
h. Supplier menyerahkan tanda terima yang diterima dari Lessee, bukti
pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada Lessor.
i.
Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
j. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal
pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.
3. Pihak-pihak dalam Perjanjian
Pihak-pihak disini adalah siapa-siapa yang terlibat di dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1315 KUH Perdata jo.Pasal 1340 KUH
Perdata, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian
suatu perjanjian. Pasal 1315 KUH Perdata menyatakan, pada umumnya tak
seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Namun dalam
Pasal 1340 KUH Perdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang mengadakannya. Terhadap asas
kepribadian tersebut dalam pengecualiannya yakni, apa yang disebut dengan janji untuk pihak ketiga. Pasal 1317 KUH Perdata menyatakan
sebagai berikut : “Lagipula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan
janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang
seperti itu “. Menurut R. Setiawan, yang dimaksud dengan janji untuk pihak
ketiga adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan di mana ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak
atas suatu prestasi.
28
28 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Binacipta, Jakarta, 1987, hal 54
Berdasarkan Pasal 1317 KUH Perdata, maka timbulnya hak bagi pihak ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediaannya menerima prestasi tersebut. Selain dari pengaturan hal di
atas di dalam perjanjian, terutama mengenai pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terlibat
atau terkait misalnya: Pihak Lembaga Keuangan Non Bank. Kemudian juga pihak surveyor atau pihak pemeriksa dari pihak
Lessor itu sendiri. Tugas utama dari surveyor ini adalah memeriksa dan meneliti rentabilitas dan solvabilitas dari calon Lessee tersebut, juga ada
pihak lainnya yang tidak kalah penting fungsinya yaitu pihak Pejabat Pembuat Akta Perjanjian yang pada umumnya oleh Pejabat Notaris, tugas
utama dari Notaris ini adalah membuatkan akta tentang perjanjian dan segala tindakan dalam perjanjian leasing tersebut. Secara tegas memang
tidak diatur tentang peranan pihak ketiga, yaitu pihak Perbankan lembaga pembiayaan lainnya tetapi karena dalam praktek sehari-hari pihak
tersebut memang dibutuhkan dan terlihat di dalamnya, juga peran Pejabat Notaris yang tidak bisa dipandang secara sebelah mata dalam hal, tak lupa
juga peran surveyor seperti yang penulis gambarkan di atas. Dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terkait langsung
maupun tidak langsung di dalam mempersiapkan atau pelaksanaan suatu perjanjian leasing ini, antara lain adalah:
29
29 Riyan Wijayanto, Branch Manager, Wawancara Pribadi, tanggal 3 Januari 2007.
1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa
perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner participants, atau truster owners.
2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, barang modal
mana dibiayai oleh Lessor dan diperuntukan kepada Lessee. 3.
Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing.
Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.
4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan, dapat
terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.
5. Surveyor atau pihak peneliti dan pemeriksa.
6. Pejabat Pembuat Akta Perjanjian Notaris.
30
E. Perlindungan Konsumen