Pengaturan Leasing di Indonesia

D. Pengaturan Leasing di Indonesia

1. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan perjanjian lainnya

a. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Sewa-Menyewa Sebelum mengadakan perbedaan antara perjanjian leasing dengan perjanjian sewa-menyewa, maka adalah baik kiranya lebih dahulu mengetahui system hokum perjanjian di Indonesia. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagaimana diketahui, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut “system terbuka atau open system” dalam hukum perjanjian, ini berarti hukum perjanjian memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perjanjian leasing itu sendiri adalah salah satu perjanjian yang telah timbul dalam praktek karena kebutuhan bisnis. Seperti diketahui bahwa dalam hukum perdata dikenal istilah Nominat untuk perjanjian-perjanjian tertentu dan In Nominat untuk perjanjian-perjanjian yang timbul dalam praktek, yang dibuat oleh pihak-pihak yang berhubungan satu sama lain dalam perdagangan atau hubungan hukum lainnya. Salah satu Nominat yaitu Perjanjian Sewa-Menyewa. Pada dasarnya tidak banyak kelihatan perbedaan antara perjanjian leasing dengan perjanjian sewa-menyewa, oleh karena hubungan tersebut sama-sama merupakan suatu perjanjian antara dua pihak, dimana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan pada pihak yang lain hak untuk menggunakan atau menikmati suatu barang, selama jangka waktu tertentu dengan suatu pembayaran yang telah disepakati bersama. Namun dalam kelanjutannya sebagai yang akan kita lihat ada perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar dan penting. Sewa-Menyewa merupakan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata dalam Bab VII pasal 1548 sampai dengan pasal 1580 dan karenanya disebut Perjanjian Bernama. Pasal 1548 KUH Perdata memberikan tentang definisi tentang perjanjian sewa-menyewa sebagai berikut: 26 “Sewa-menyewa ialah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.” Perjanjian sewa-menyewa seperti halnya dengan perjanjian- perjanjian lainnya adalah suatu perjanjian Konsensuil, artinya perjanjian itu sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokok yaitu barang dan harga. Dalam perjanjian sewa-menyewa kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati oleh pihak penyewa. Oleh sebab itu barang yang diserahkan itu tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam perjanjian jual beli, tetapi hanya untuk 26 Prof. R. Subekti, S.H. R. Tjitrosudibio, dinikmati kegunaannya. Maka sifatnya hanya untuk penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang disewa. Karena yang diserahkan bukan hak milik dari barang itu tetapi hanya pemakaiannya saja, maka pihak yang menyerahkan tidak usah seorang pemilik dari barang tersebut. Jadi unsur yang terpenting dalam perjanjian sewa menyewa adalah kenikmatan dari sesuatu barang yang disewakan dan harga sewa. Perbedaan antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian leasing terletak pada unsur kepentingan para pihak yang berbeda dalam beberapa segi. Adapun pokok-pokok perbedaan perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian leasing adalah : 27 1 Leasing dalam hal ini yang dimaksudkan adalah perjanjian financial lease adalah suatu pembiayaan sedangkan perjanjian sewa-menyewa belum tentu bertujuan pembiayaan perusahaan; 2 Obyek dari perjanjian leasing menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri dan Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. PENG-307DJMIII.171974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing adalah barang-barang modal atau alat-alat produksi, sedangkan perjanjian sewa-menyewa juga dapat meliputi barang-barang untuk digunakan di luar perusahaan; 3 Subyek-subyek dalam leasing: 27 Kartini Muljadi, S.H. op.cit., hal. 24-27 Pada perjanjian sewa-menyewa subyeknya tidak ditentukan, setiap subyek hokum dapat menjadi penyewa atau yang menyewakan. Dalam perjanjian leasing, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649MKIV51974 tentang “Perizinan Usaha Leasing” dan Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Peng- 307DJMIII.171974, yang dapat melakukan usaha leasing adalah perusahaan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan dan telah memenuhi persyaratan dalam pasal 5 Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut. Dalam pasal 2 Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain ditentukan bahwa yang dapat bertindak sebagai Lessor hanyalah Lembaga Keuangan atau Badan Hukum tersendiri baik yang berbentuk Perusahaan Nasional maupun Perusahaan Campuran dan yang terlebih dahulu telah memperoleh izin usaha leasing dari Menteri Keuangan. 4 Dalam perjanjian sewa-menyewa, pihak yang menyewakan telah memiliki atau menguasai barang-barang yang hendak dipergunakan oleh pihak yang lain dengan membayar sewa sebagai imbalan, sedangkan dalam hal perjajian leasing, pihak Lessor adalah instansi penyedia dana financiers dan bukan pemilik barang yang biasa yang disewakan dan Lessor harus menjadi pemilik barang yang di-leasedkan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal lease pihak Lessor menyediakan uang untuk membiayai finance pengadaan barang-barang yang dibutuhkan oleh pihak Lessee itu; 5 Seluruh risiko obyek ada pada umumnya pemeliharaannyapun menjadi kewajiban Lessee, sedangkan dalam sewa-menyewa penyewa ikut memikul risiko obyek sewa-menyewa; 6 Imbalan jasa yang dibayar pada perjanjian sewa-menyewa adalah uang sewa, di mana uang sewa ini tidak terhutang apabila perjanjian sewa mengakhiri atau dibatalkan asal saja barang yang disewa dikembalikan, sedangkan dalam perjanjian leasing, Lessor berkepentingan memperoleh suatu imbalan jasa uang sewa yang pada pokoknya merupakan tebusan berkala harga perolehan barang ditambah ongkos pembiayaan, dan lagipula pihak Lessee tetap berkewajiban membayar seluruh jumlah imbalan jasa tersebut serta mengembalikan barang yang di-lease. Kewajiban Lessee untuk membayar seluruh imbalan jasa tersebut tidak berhenti atau berkurang., walaupun barang yang menjadi obyek lease itu musnah. Bahkan Lessee tetap berkewajiban membayar seluruh imbalan jasa walaupun Lessee mungkin belum mulai menikmati kegunaan barang tersebut, karena misalnya barang musnah sebelum selesai pemasangannya. Lessor berkepentingan memperoleh imbalan jasa tersebut ialah dikarenakan Lessor harus membayar kembali dana berikut bunganya yang dipinjam Lessor dari pihak ke tiga untuk membiayai pembelian barang modal yang disediakan kepada Lessee serta seluruh ongkos yang berkaitan ditambah dengan suatu margin yang merupakan keuntungannya. Risiko yang ditanggung oleh Lessor dengan demikian lebih tinggi dari risiko yang pada umumnya ditanggung oleh seorang yang menyewakan dalam perjanjian sewa-menyewa. Alasan ini antara lain menyebabkan perbedaan tertentu dibandingkan dengan perjanjian sewamenyewa. Karena Lessor menanggung risiko pembiayaan adalah tidak fair apabila Lessor juga menanggung risiko atas barang modal tersebut hilang, rusak, musnah, tidak berfungsi sepenuhnya kepada Lessee; 7 Jangka waktu dalam perjanjian sewa-menyewa mungkin bisa tidak terbatas, tetapi dalam perjanjian leasing harus merupakan jangka waktu yang tertentu; 8 Jaminan-jaminan tertentu yang harus diberikan oleh seorang yang menyewakan dalam perjanjian sewa-menyewa, seperti jaminan untuk menikmati barang yang disewakan tanpa gangguan, tidak berlaku sepenuhnya dalam perjanjian leasing. Oleh karena Lessee sendiri yang memilih barang modal yang bersangkutan, seolah- olah ia menjadi pembeli dan bahkan ada kalanya Lessee sendiri merupakan pemilik semula, maka ada alasan untuk meniadakan seluruh atau sebagian jaminan-jaminan yang diharuskan berdasarkan suatu perjanjian sewa-menyewa. b. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Sewa-Beli Sewa-beli adalah suatu lembaga yang timbul dalam praktek yang sudah diakui sah oleh yurisprudensi. Oleh karena itu belum ada suatu definisi yuridis untuk pengertian ini. Hal ini memang dimungkinkan asal saja setiap persetujuan itu memenuhi persyaratan pasal 1320 KUH Perdata dan lagi pula sebagaimana diketahui hukum perjanjian kita menganut Asas Kebebasan Berkontrak yang terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34KpII80, tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli Hire Purchase, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa Renting, tertanggal 1 Februari 1980, kita menemukan definisinya sebagai berikut: “Sewa beli hire purchase adalah: Jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual,” Dari definisi di atas, dapat kita ambil kesimpulan mengenai perbedaan antara perjanjian leasing dengan perjanjian sewa beli, yakni: 1 Pada perjanjian leasing, Lessor biasanya pihak yang menyediakan dana dan membiayai pembelian barang tersebut seluruhnya dan bertindak sebagai lembaga keuangan, sedangkan pada perjanjian sewa beli penjual adalah produsen atau pedagang yang berusaha menjual barangnya; 2 Masa leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan umur kegunaan barang yang diperkirakan dan angsuran imbalan jasa disesuaikan dengan hasil usaha Lessee yang diperkirakan oleh Lessor, sedangkan tidak selalu demikian halnya dengan sewa-beli, dimana masa pembayaran angsuran ditetapkan atas dasar kemampuan pembeli; 3 Dalam sewa beli si pembeli bermaksud untuk memiliki barang tersebut, sedangkan dalam hal leasing sama sekali tidak ada tujuan tersebut pada Lessee. Jadi dapat dikatakan bahwa pada akhir masa sewa beli, hak milik atas barang dengan sendirinya beralih kepada pembeli. Sedangkan pada leasing, Lessee memutuskan apakah akan mempergunakan hak opsinya untuk membeli, memperpanjang ataupun mengembalikan barang yang bersangkutan kepada Lessor dan hanya setelah pembayaran harga pembelian hak milik atas barang tersebut beralih kepada Lessee. c. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Jual Beli dengan Angsuran Lembaga ini sama dengan jual beli seperti yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1457, hanya saja pembayaran atas harganya dilakukan secara berkala yang disetujui oleh kedua belah pihak. Hak milik atas barang beralih sekaligus dari penjual kepada pembeli pada saat barang diserahkan. Dalam perjanjian jual beli seperti ini, yang juga merupakan variasi dari perjanjian jual beli biasa, hak milik atas barang berpindah pada saat perjanjian ditandatangani dan barang diserahkan oleh penjual kepada pembeli walaupun pembayaran harganya masih belum lagi lunas. Harga atau sisa dari harga yang masih belum dibayar itu menurut hukum merupakan hutang dari pembeli. Setelah menerima barang itu, pembeli bukan saja memikul segala risiko atasnya, tetapi sebagai pemilik juga berhak untuk mengalihkan atau menjual barang itu lagi pada orang lain. Sedangkan untuk menjamin pembayaran atas cicilan-cicilan secara teratur dan baik, selama jangka waktu yang telah disepakati bersama, maka antara penjual dan pembeli itu mengadakan suatu ikatan secaea notariil untuk penyerahan hak milik secara fiducia. Tentang definisi perjanjian inidapat kita lihat di dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 34KPII80, tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa-Beli Hire Purchase, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa Renting, tertanggal 1 februari 1980 sebgai berikut: Jual Beli dengan Angsuran adalah: “Jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli.” Jadi perbedaan antara perjanjian leasing dengan jual beli dengan angsuran ini ialah bahwa: 1 Pada lembaga jual beli dengan angsuran, hak milik berpindah pada saat barang diserahkan penjual kepada pembeli, sedangkan pada perjanjian leasing, hak milik atas barang tetap pada Lessor. 2 Pada perjanjian leasing, jangka waktunya disesuaikan dengan masa guna useful life dari barang yang di-lease sedangkan pada perjanjian jual beli dengan angsuran ditetapkan sepihak oleh penjual. d. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan Pinjaman Uang Pada pasal 1754 KUH Perdata didefinisikan bahwa 5 : “Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang- barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Seperti kita ketahui, bahwa walaupun perjanjian leasing disebut sebagai perjanjian pembiayaan, namun tidaklah terjadi penyerahan sejumlah uang dari Lessor kepada Lessee, maka menurut hemat penyusun perjanjian leasing bukanlah suatu perjanjian peminajaman uang. Walaupun begitu kebutuhan komersial perusahaan yang meminjamkan uang dan Lessee pada umumnya sama yaitu, mereka membutuhkan pembiayaan untuk perusahaannya. Dengan kata lain, perjanjian leasing bukanlah suatu perjanjian uang, akan tetapi suatu alternatif untuk memperoleh pembiayaan bagi suatu perusahaan. Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa perjanjian leasing sebagaimana didefinisikan dalam Keputusan Bersama Tiga Menteri itu tidaklah sama dengan sewa beli, tidak sama dengan sewa-menyewa, tidak sama dengan jual beli dengan angsuran ataupun dengan perjanjian pinjaman uang. Perjanjian leasing adalah perjanjian yang mempunyai sifat-sifat tersendiri, yang berbeda dengan perjanjian-perjanjian yang telah disebutkan di atas.

2. Prosedur Terjadinya Perjanjian Leasing

Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: a. Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan. b. Setelah Lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada Lessor disertai dokumen lengkap. c. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui Lessee lama kontrak pembayaran sewa lease, setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani. d. Pada saat yang sama, Lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui Lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara Lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama. e. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani Lessor dengan supplier peralatan tersebut. f. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi Lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual. g. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada suppplier. h. Supplier menyerahkan tanda terima yang diterima dari Lessee, bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada Lessor. i. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier. j. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.

3. Pihak-pihak dalam Perjanjian

Pihak-pihak disini adalah siapa-siapa yang terlibat di dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1315 KUH Perdata jo.Pasal 1340 KUH Perdata, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Pasal 1315 KUH Perdata menyatakan, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Namun dalam Pasal 1340 KUH Perdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang mengadakannya. Terhadap asas kepribadian tersebut dalam pengecualiannya yakni, apa yang disebut dengan janji untuk pihak ketiga. Pasal 1317 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut : “Lagipula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang seperti itu “. Menurut R. Setiawan, yang dimaksud dengan janji untuk pihak ketiga adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan di mana ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak atas suatu prestasi. 28 28 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Binacipta, Jakarta, 1987, hal 54 Berdasarkan Pasal 1317 KUH Perdata, maka timbulnya hak bagi pihak ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediaannya menerima prestasi tersebut. Selain dari pengaturan hal di atas di dalam perjanjian, terutama mengenai pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terlibat atau terkait misalnya: Pihak Lembaga Keuangan Non Bank. Kemudian juga pihak surveyor atau pihak pemeriksa dari pihak Lessor itu sendiri. Tugas utama dari surveyor ini adalah memeriksa dan meneliti rentabilitas dan solvabilitas dari calon Lessee tersebut, juga ada pihak lainnya yang tidak kalah penting fungsinya yaitu pihak Pejabat Pembuat Akta Perjanjian yang pada umumnya oleh Pejabat Notaris, tugas utama dari Notaris ini adalah membuatkan akta tentang perjanjian dan segala tindakan dalam perjanjian leasing tersebut. Secara tegas memang tidak diatur tentang peranan pihak ketiga, yaitu pihak Perbankan lembaga pembiayaan lainnya tetapi karena dalam praktek sehari-hari pihak tersebut memang dibutuhkan dan terlihat di dalamnya, juga peran Pejabat Notaris yang tidak bisa dipandang secara sebelah mata dalam hal, tak lupa juga peran surveyor seperti yang penulis gambarkan di atas. Dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung di dalam mempersiapkan atau pelaksanaan suatu perjanjian leasing ini, antara lain adalah: 29 29 Riyan Wijayanto, Branch Manager, Wawancara Pribadi, tanggal 3 Januari 2007. 1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner participants, atau truster owners. 2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, barang modal mana dibiayai oleh Lessor dan diperuntukan kepada Lessee. 3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan. 4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan, dapat terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri. 5. Surveyor atau pihak peneliti dan pemeriksa. 6. Pejabat Pembuat Akta Perjanjian Notaris. 30

E. Perlindungan Konsumen

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 37 116

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Kredit Tanpa Agunan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 9 74

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 2 21

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 3 13

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NASABAH DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS TIDAK BERFUNGSINYA AIRBAG PADA KENDARAAN RODA EMPAT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.

0 0 2

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen - Repository Unja

0 0 13