Alat Pengumpulan Data Analisis Data

1 Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; a. Norma dasar yaitu Pancasila b. Undang-undang Dasar 1945 c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa. d. Kontrak atau Akta Perjanjian Bangun Bagi yang dibuat oleh Notaris. 2 Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3 Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier penunjang di luar bidang hukum. yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

5. Alat Pengumpulan Data

Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian adalah : a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai narasumber. Universitas Sumatera Utara

6. Analisis Data

Lexy. J. Moleong mengatakan bahwa “proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya”. 45 Dalam penelitian ini semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif dan deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. 45 Moleong, Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal 247 Universitas Sumatera Utara

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA

PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Bangun Bagi

Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis. “Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang- undang”. 46 Ahmadi Miru mengatakan bahwa : Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum. 47 Lebih lanjut Salim HS mengatakan bahwa pada prinsipnya kontrak dari aspek namanya dapat digolongkan dalam 2 macam, yaitu : 1. Kontrak Nominaat, merupakan kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti, jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, pinjam pakai, persekutuan perdata, hibah, penanggungan utang, perjanjian untung-untungan dan perdamaian. 2. Kontrak Innominaat, merupakan atau perjanjian di luar KUH Perdata yang 46 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 1. 47 Ibid., hal 2. 32 Universitas Sumatera Utara tumbuh dan berkembang dalam praktik atau akibat adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1, seperti kontrak product sharing, Kontrak karya, kontrak konstruksi, sewa beli, leasing dan sebagainya. 48 Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak di mana hanya seorang yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan kontra prestasi atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang dijanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. Di dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan “pihak lainnya menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama”. 49 Dengan demikian kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun 48 Salim, HS., Op.Cit., hal. 1. 49 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 3. Universitas Sumatera Utara tidak tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. Selanjutnya sebelum membahas lebih jauh tentang perjanjian bagi hasil atau dalam penulisan ini disebut perjanjian bangun bagi dikemukakan pula pengertian perjanjian yang menjadi dasar dilakukannya kontrak atau perjanjian bangun bagi. Perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUH Perdata, sedangkan mengenai perjanjian-perjanjian secara khusus diatur dalam Bab V sampai dengan Bab VIII. Menurut Pasal 1313 KUH Perdat a, suatu perjanjian adalah: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. J. Satrio mendefinisikan perjanjian sebagai berikut : Dalam arti yang lebih luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, sedang dalam arti sempit perjanjian disini hanya ditujukan pada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang termaksud dalam Buku III KUH Perdata. 50 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan perjanjian, berikut dikemukakan pendapat para sarjana. Dalam mendefinisikan perjanjian, para Sarjana Hukum belum mempunyai pendapat yang sama. Perbedaan dalam memberikan definisi perjanjian disebabkan karena penerjemahan kata Verbintenis dan overeenkomst. Sebagian sarjana menterjemahkan perjanjian untuk verbintenis dan persetujuan untuk kata 50 J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, 1992, hal 23. Universitas Sumatera Utara overeenkomst. 51 Sedangkan Utrecht menterjemahkan “perhutangan untuk verbintenis dan perjanjian overeenkomst ”. 52 Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas, juga dapat dipahami, perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwaarneming, onrechtmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu : 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui, satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengingat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat adanya konsensus dari kedua belah pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwaarneming dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga di dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal. 4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikat dirinya tidak jelas untuk apa. 53 Berdasarkan alasan di atas, Abdulkadir Muhammad memberikan pengertian perjanjian sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta 51 Ahmad Ichsan, Hukum Perdata I B, Pembimbing Masa, Jakarta, 1999, hal 14. 52 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Bulan, Jakarta, 1995. hal 320. 53 Abdul kadir Muhammad, Op.Cit., hal. 78. Universitas Sumatera Utara kekayaan”. 54 Subekti mengemukakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau lebih, di mana dua orang itu saling berjanji unt uk melaksanakan suatu hal”. 55 Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang mennerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan kontra prestasi atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar ketentuan Buku III KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, 54 Ibid. 55 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, hal. 14. Universitas Sumatera Utara ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian bangun bagi pembangunan toko antara pemilik tanah dengan pelaksana pembangunan dalam praktek secara umum berpedoman pada ketentuan pada asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 ayat 1 jo Pasal 1320 KUHPerdata. Namun demikian, dalam praktek perjanjian bangun bagi atau bagi hasil ini juga mengikuti kebiasaan dalam hukum adat. Di Aceh bagi hasil disebut dengan “mawaih”, terutama dalam hal pemeliharaan ternak dan bagi hasil ternak. 56 Lebih lanjut menurut Hilman Hadikusuma yang menjadi latar belakang terjadinya bagi hasil adalah : 1. Bagi pemilik : a Tidak berkesempatan mengerjakannya hartanya sendiri. b Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengerjakannya. 2. Bagi penggarap : a Tidak atau belum mempunyai pekerjaan tetap. b Kelebihan waktu bekerja. c Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan. 57 Dengan demikian dasar timbulnya perjanjian bangun bagi ini adalah sama halnya dengan perjanjian bagi hasil atau dalam perjanjian pembangunan disebut perjanjian bangun bagi karena orang yang mempunyai hak atas tanah tidak 56 T. M. Djuned dkk, Penelitian Hukum Adat dan Lembaga Hukum Adat di Aceh, Fakultas Hukum Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, 1981, hal. 46. 57 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Alumni Bandung, 1991, hal. 37 Universitas Sumatera Utara mempunyai kesempatan ataupun kemampuan untuk membangun atau mendirikan bangunan sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, dengan membuat kesepakatan atau perjanjian bangun bagi tersebut pemilik tanah mengizinkan orang lain untuk membangunnya dengan ketentuan agar hasilnya dalam hal ini dibagi dua atau sesuai dengan kesepakatan.

B. Syarat Sahnya Perjanjian Bangun Bagi

Di dalam Buku III KUH Perdata mengatur tentang perikatan, di mana perikatan tersebut ada yang bersumber dari persetujuan dan yang ada yang bersumber dari undang-undang. Sehubungan dengan hal itu, perjanjian bangun bagi pembangunan toko termasuk salah satu jenis perikatan yang bersumber dari perjanjian atau persetujuan. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian bangun bagi pembangunan toko harus mengikuti pula syarat-syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat sahnya perjanjian yang disebut di atas harus ada pada setiap perjanjian bangun bagi pembangunan toko yang diadakan oleh para pihak. “Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir Universitas Sumatera Utara dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek perbuatan dilakukan itu”. 58

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya