Pertanggungjawaban Notaris Atas Hilang Atau Rusaknya Minuta Akta Yang Disimpan Akibat Bencana Alam (Studi Kasus Tsunami di Banda Aceh)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS ATAS HILANG ATAU RUSAKNYA MINUTA AKTA YANG DISIMPAN AKIBAT BENCANA ALAM

(Studi Kasus Tsunami di Banda Aceh)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN SUTARI WIDIYANI 097011043

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS ATAS HILANG

ATAU RUSAKNYA MINUTA AKTA YANG DISIMPAN AKIBAT

BENCANA ALAM

(Studi Kasus Tsunami di Banda Aceh)

TESIS

OLEH

DIAN SUTARI WIDIYANI

097011043/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Peristiwa bencana alam gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Wilayah Provinsi Aceh telah mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, hancurnya bangunan, infrastruktur, hilangnya benda-benda, dokumen identitas dan dokumen transaksi hukum lainnya. kejadian ini juga berdampak kepada

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara., yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

notaris-notaris yang ada di daerah yang terkena bencana khususnya di Banda Aceh yaitu rusaknya kantor notaris dan yang lebih parahnya lagi rusak atau kehilangan minuta akta yang disimpan dalam bentuk protokol notaris. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri dan harus dicarikan solusinya agar permasalahan mengenai minuta akta yang rusak atau hilang tersebut tidak menjadi polemik yang berkepanjangan dan dapat merugikan pihak-pihak yang terkait. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan Bagaimana pengaturan hukum mengenai keberadaan minuta akta notaris yang hilang atau rusak karena bencana alam, Bagaimanakah tanggung jawab notaris atas hilang atau rusaknya minuta akta yang disimpan oleh notaris karena bencana alam, Bagaimanakah tindakan yang dilakukan oleh notaris dalam menyelesaikan permasalahan atas hilang atau rusaknya minuta akta notaris karena bencana alam.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa belum ditemukan pengaturan yang tegas mengenai minuta akta yang rusak atau hilang yang diakibatkan oleh bencana alam, baik dalam perundang-undangan seperti UUJN maupun di peraturan lainnya. Tanggung Jawab Notaris terhadap minuta akta yang rusak atau hilang akibat tsunami tidak dapat diminta pertanggungjawaban karena tidak ada kewajiban notaris untuk harus membuat kembali minuta akta yang rusak atau hilang sebab bencana tsunami yang timbul dari kejadian atau faktor alam bukan karena kelalaian notaris. Tindakan yang dilakukan oleh notaris yang masih hidup terhadap minuta akta yang hilang karena bencana alam adalah segera melaporkan kepada instansi terkait antara lain: melaporkan kepada kepolisian untuk dimintakan surat keterangan hilang, kemudian berdasarkan surat keterangan dari kepolisian dilaporkan kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia c.q Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.


(4)

ABSTRACT

Natural disaster of Tsunami occurred On December 26, 2004 in the Province of Aceh resulted in many casualties such as people died, the buildings and infrastructure damaged. The office of the notaries and other things including documents of identity, legal transaction documents and the minutes of act kept in the form of notarial protocol also damaged or lost that it brought an impact to the notaries who worked in the disaster areas especially in Banda Aceh. This condition became the rationale to do this study as the answer to the research questions: how were the damaged or lost minutes of act due to the natural disaster legally regulated; how were the notaries responsible for the natural-disaster caused damaged or lost minutes of act they kept; and what should the notary do in settling the problem of the natural-disaster caused damaged or lost minutes of act.

The research method employed in this study was descriptive study with normative juridical approach. The data used consisted of primary data obtained through interviews and secondary data based on the primary, secondary and tertiary legal materials obtained through library research. Then the data obtained were qualitatively analyzed.

The result of this study showed that the strict regulation for the damaged or lost minute of act caused by natural disaster has not yet been found, either in the legislation like UUJN or in other regulations. The notary cannot be asked for any responsibility related to the damaged or lost minutes of act caused by the tsunami because there is no obligation for a notary to remake the damaged or lost minutes of act caused by the tsunami or the other nature-related factors, yet the notary has a moral responsibility to meet, so the notary (who still alive) should report the damaged or lost minutes of act caused by natural disaster to the local police department to get an official letter stating that the minute of act really lost because of natural disaster, the lost documents, and in his/her capacity as a public notary, in his/her report the notary should notify the address of his/her current office make a request to be provided with the duplicate of the lost Decree of Appointment as a Notary. After the Decree has been reissued by the Minister of Law and Human Rights, the Republic of Indonesia, then the notary can resume his job like before.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dan penulisan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa untuk masuk pada tahapan seperti ini bukanlah ditempuh dengan mudah, dan tidak hanya mengandalkan kemampuan penulis tetapi melalui tahap demi tahap penuh warna penulis lewati sehingga sampai saat ini. Semua ini bias terjadi karena ada pihak-pihak yang berperan penting membantu penulis dalam menyelesaikan ini semua.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril, masukan dan saran. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis haturkan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., Msc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Kezeirina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

5. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

6. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku Dosen Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.

7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.

8. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(6)

9. Seluruh staf Pegawai Administrasi (Ibu Fatima, Kak Sari, Kak Winda, Kaka Lisa, Kak Afni, Bang Ken, Bang Izal, Bang Aldi) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selaku para pihak yang selalu membantu selama penulis menyelesaikan urusan besar dan urusan kecil;

10.Bapak Ir. Cakmat Harahap selaku Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Banda Aceh yang telah memberikan data-data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

11.Bapak Notaris T. Abdurahman, SH, MKn, Bapak Notaris T. Irwansyah, SH, MKn, dan Bapak Sabaruddin Salam, SH, SpN telah memberikan data-data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

12.Rekan-Rekan dan Sahabat-Sahabat seperjuangan Penulis Mahasiswa/I Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya angkatan 2009 yang tidak bias penulis sebutkan namanya satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi penulis untuk bias menyelesaikan Tesis di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Suatu rasa kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta Sabaruddin Salam, SH, SpN., yang telah mencurahkan segenap tenaga, fikiran dan perhatian kepada penulis, dan telah berhasil mendidik penulis hingga seperti sekarang ini, juga kepada Ibunda tercinta Sri Widorowati yang telah memberikan Doa, kasih sayang dan perhatiannya serta memberikan kekuatan dan dorongan kepada penulis untuk mengambil pendidikan ini hingga bisa menjalani apa yang penulis dan Ibunda serta Ayahanda cita-citakan selama ini.

Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan maupun substansi yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan tesis ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.

Medan, Agustus 2011 Penulis


(7)

RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : DIAN SUTARI WIDIYANI

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 12 Agustus 1987

Agama : Islam

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl. Paya Geli Kompleks Bumi Sunggal Damai I No. F8 Sei Mencirim Kp. Lalang Medan II. KELUARGA

Nama Ayah : Sabaruddin Salam, SH, SpN Nama Ibu : Sri Widorowati

III. PENDIDIKAN

TK. WR.SUPRATMAN (1992-1993) SD. DHARMA WANITA (1993-1999) SMP. DHARMA PANCASILA (1999-2002) SMA. DHARMA PANCASILA (2002-2005)

S1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (2005-2009) S2 MAGISTER KENOTARIATAN FH-USU (2009-2011)


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….i

ABSTRACT………..ii

KATA PENGANTAR………..iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP………vi

DAFTAR ISI……….vii

DAFTAR TABEL……….ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 18

1. Kerangka Teori ... 18

2. Konsepsi ... 27

G. Metode Penelitian ... 32

1. Spesifikasi Penelitian ... 32

2. Sumber Data ... 33

3. Teknik Pengumpulan Data ... 34

4. Alat Pengumpulan Data ... 35

5. Analisis Data ... 36

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEBERADAAN MINUTA AKTA NOTARIS YANG HILANG ATAU RUSAK KARENA BENCANA ALAM...38

A. Karakter Yuridis Jabatan Notaris ... 38

B. Karakter Yuridis Akta Notaris ... 53

1. Kedudukan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Otentik ... 53


(9)

3. Nilai Pembuktian Akta Otentik ... 60 C. Pengaturan Hukum Mengenai Keberadaan Minuta Akta Notaris Yang Hilang atau Rusak Karena Bencana Alam ... 62

BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS ATAS HILANG ATAU RUSAKNYA MINUTA AKTA NOTARIS KARENA

BENCANA ALAM...73 A. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pelaksanaan Jabatannya ... 73 B. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Minuta Akta yang Rusak Atau Hilang Karena Bencana Alam ... 93

BAB IV TINDAKAN YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN ATAS HILANGNYA ATAU RUSAKNYA MINUTA AKTA NOTARIS KARENA BENCANA ALAM ... 99 A. Tindakan Yang Dilakukan Oleh Notaris Yang Masih Hidup Terhadap Minuta Akta Yang Hilang Atau Rusak Akibat Bencana Alam ... 99 B. Tindakan Penyelesaian Terhadap Minuta Akta Yang Tidak Hilang Tetapi Notaris Meninggal Akibat Bencana Alam ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 111 B. Saran ... 112


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Data Nama Notaris Yang Terkena Bencana Alam ... 101 Tabel 2 Data Nama Notaris Yang Terkena Dampak Langsung Bencana Alam di Banda Aceh ... 102


(11)

ABSTRAK

Peristiwa bencana alam gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Wilayah Provinsi Aceh telah mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, hancurnya bangunan, infrastruktur, hilangnya benda-benda, dokumen identitas dan dokumen transaksi hukum lainnya. kejadian ini juga berdampak kepada

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara., yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

notaris-notaris yang ada di daerah yang terkena bencana khususnya di Banda Aceh yaitu rusaknya kantor notaris dan yang lebih parahnya lagi rusak atau kehilangan minuta akta yang disimpan dalam bentuk protokol notaris. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri dan harus dicarikan solusinya agar permasalahan mengenai minuta akta yang rusak atau hilang tersebut tidak menjadi polemik yang berkepanjangan dan dapat merugikan pihak-pihak yang terkait. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan Bagaimana pengaturan hukum mengenai keberadaan minuta akta notaris yang hilang atau rusak karena bencana alam, Bagaimanakah tanggung jawab notaris atas hilang atau rusaknya minuta akta yang disimpan oleh notaris karena bencana alam, Bagaimanakah tindakan yang dilakukan oleh notaris dalam menyelesaikan permasalahan atas hilang atau rusaknya minuta akta notaris karena bencana alam.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa belum ditemukan pengaturan yang tegas mengenai minuta akta yang rusak atau hilang yang diakibatkan oleh bencana alam, baik dalam perundang-undangan seperti UUJN maupun di peraturan lainnya. Tanggung Jawab Notaris terhadap minuta akta yang rusak atau hilang akibat tsunami tidak dapat diminta pertanggungjawaban karena tidak ada kewajiban notaris untuk harus membuat kembali minuta akta yang rusak atau hilang sebab bencana tsunami yang timbul dari kejadian atau faktor alam bukan karena kelalaian notaris. Tindakan yang dilakukan oleh notaris yang masih hidup terhadap minuta akta yang hilang karena bencana alam adalah segera melaporkan kepada instansi terkait antara lain: melaporkan kepada kepolisian untuk dimintakan surat keterangan hilang, kemudian berdasarkan surat keterangan dari kepolisian dilaporkan kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia c.q Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.


(12)

ABSTRACT

Natural disaster of Tsunami occurred On December 26, 2004 in the Province of Aceh resulted in many casualties such as people died, the buildings and infrastructure damaged. The office of the notaries and other things including documents of identity, legal transaction documents and the minutes of act kept in the form of notarial protocol also damaged or lost that it brought an impact to the notaries who worked in the disaster areas especially in Banda Aceh. This condition became the rationale to do this study as the answer to the research questions: how were the damaged or lost minutes of act due to the natural disaster legally regulated; how were the notaries responsible for the natural-disaster caused damaged or lost minutes of act they kept; and what should the notary do in settling the problem of the natural-disaster caused damaged or lost minutes of act.

The research method employed in this study was descriptive study with normative juridical approach. The data used consisted of primary data obtained through interviews and secondary data based on the primary, secondary and tertiary legal materials obtained through library research. Then the data obtained were qualitatively analyzed.

The result of this study showed that the strict regulation for the damaged or lost minute of act caused by natural disaster has not yet been found, either in the legislation like UUJN or in other regulations. The notary cannot be asked for any responsibility related to the damaged or lost minutes of act caused by the tsunami because there is no obligation for a notary to remake the damaged or lost minutes of act caused by the tsunami or the other nature-related factors, yet the notary has a moral responsibility to meet, so the notary (who still alive) should report the damaged or lost minutes of act caused by natural disaster to the local police department to get an official letter stating that the minute of act really lost because of natural disaster, the lost documents, and in his/her capacity as a public notary, in his/her report the notary should notify the address of his/her current office make a request to be provided with the duplicate of the lost Decree of Appointment as a Notary. After the Decree has been reissued by the Minister of Law and Human Rights, the Republic of Indonesia, then the notary can resume his job like before.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak lahir di dunia sampai meninggal dunia, manusia selalu bergaul dengan manusia-manusia lain dalam suatu wadah yang bernama masyarakat.1 Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak dapat hidup sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang ahli pikir Yunani yaitu Aristoteles yang menyatakan “manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.”2

1

A. Halim Tosa, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda

Aceh, 1996, Hal. 25

Dirinya hidup berdamping-dampingan bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya. Hubungan yang terjadi berkenaan dengan kebutuhan akan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi sendiri. Kebutuhan hidup manusia itu bermacam-macam dan untuk pemenuhannya tergantung dari hasil yang diperoleh dalam daya upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang juga sama dengan objek kebutuhan yang hanya satu dan kedua-duanya tidak

2

C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


(14)

mau mengalah, maka akan terjadi bentrokan. Suatu bentrokan akan terjadi juga kalau hubungan antara manusia satu dan manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajibannya. Hal-hal yang terjadi semacam itu sebenarnya sebagai akibat dari tingkah laku manusia yang mau bebas. Suatu kebebasan dalam bertingkah laku tidak selamanya akan menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi kalau kebebasan tingkah lakunya itu tidak dapat diterima oleh kelompok sosialnya. Kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang buas di hutan belantara sehingga menyebabkan terjadinya perkelahian atau perang semua lawan semua (bellum omnium contria omneg atau the war of all against all)3

Menurut Cicero (106-43 SM), yang pendapatnya dikutip oleh Shidarta menyatakan bahwa dimana ada masyarakat, disana pasti ada hukum (ubi societas ibi

keadaan tersebut merupakan konsekuensi dari suatu keadaan masyarakat yang tidak diatur oleh hukum. oleh karena itu dalam kehidupan suatu kelompok sosial, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial supaya teratur diperlukan ketentuan-ketentuan yang dapat membatasi kebebasan tingkah laku itu agar manusia yang satu tidak menjadi manusia serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Ketentuan-ketentuan yang diperlukan hendaklah merupakan ketentuan yang timbul dari dan dalam pergaulan hidup atas kesadarannya dan biasanya dinamakan hukum. Agar perdamaian dalam masyarakat tetap terpelihara, ketertiban, kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan, maka masyarakat memerlukan petunjuk hidup yang dinamakan ”hukum”.

3


(15)

ius). Artinya hukum sendiri sudah lahir dengan sendirinya di dalam masyarakat, dan untuk itu secara sadar atau tidak sadar selalu ada figur-figur tertentu yang memainkan peranan sebagai bentuk dan penerap hukum itu.4

Menurut Von Savigny (1779-1861) menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Makna yang tersirat dari konsepsi hukum menurutnya adalah bahwa untuk masing-masing anggota masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai hukum tertentu pula.5

Menurut E.Utrecht menyatakan bahwa Hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.

6

Jadi hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari dan dalam pergaulan hidup manusia. Timbulnya berdasarkan rasa kesadaran manusia itu sendiri, sebagai gejala-gejala sosial yang merupakan hasil dari pengukuran baik tentang tingkah laku manusia di dalam pergaulan hidupnya.7

Dari uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat. Anggapan yang menyatakan bahwa hukum hanya dapat dilihat dalam undang-undang adalah pandangan yang sempit, sebab menurut

4

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama,

Bandung, 2006, Hal. 11 5

Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif, Djambatan, Jakarta,

2001, Hal. 79 6

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence)

termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009, Hal. 432

7

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993,


(16)

anggapan ini, hukum hanya dipersamakan dengan undang. Padahal undang-undang hanyalah sebagian dari hukum, yakni hukum yang menjelma dalam bentuk tertulis, sedangkan selain hukum yang tertulis masih ada lagi hukum yang tidak tertulis, seperti misalnya hukum adat.8

Demikian juga dengan pandangan orang awam (the man in the street), yang apabila mendengar perkataan hukum lantas seketika hanya teringat akan suatu perkara, gedung pengadilan, hakim, jaksa, pengacara, notaris dan polisi merupakan pandangan yang sempit. Hal ini disebabkan karena hukum itu tidak hanya menjelma dalam ruangan pengadilan, melainkan selalu menjelma dalam pergaulan hidup, dalam tindakan-tindakan manusia. Pergaulan hidup, sebagai masyarakat yang teratur adalah penjelmaan hukum sebagai sesuatu dari hukum yang menampakkan diri ke luar.

Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan suatu aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.9

Dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap profesi hukum melihat hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan. Profesi hukum adalah profesi yang eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika masyarakat berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan.10

8

A. Halim Tosa, Op.Cit, Hal. 27

Pada umumnya orang datang pada profesi hukum dengan masalah hukum untuk dipecahkan. Kepada profesi hukum dihadapkan

9

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hal. 21 10


(17)

masalah-masalah hukum. Seorang terdakwa misalnya, membutuhkan jasa advokat ketika ia berhadapan dengan otoritas pengadilan. Advokat memang diberi otoritas oleh hukum untuk membela kepentingannya di pengadilan. Seorang penjual dan pembeli membutuhkan jasa notaris dalam rangka mengukuhkan dokumen perjanjian mereka menjadi sebuah akta otentik. Notaris memiliki otoritas hukum untuk membuat akta-akta otentik.11

Setiap masyarakat membutuhkan seorang figur yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya tanda tangannya serta segelnya memberikan jaminan dan bukti yang kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat hukum yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di kemudian hari. Kalau seorang advokat membela hak-hak seorang ketika timbul suatu kesulitan, maka lain halnya dengan notaris yang harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan.

Sebagai ahli hukum ia diharapkan dapat memecahkan dan menemukan hukumnya. Notaris berkewajiban memberikan penyuluhan hukum mengenai permasalahan yang disodorkan kepadanya sekaligus menjadi penunjuk jalan yang benar ke arah tercapainya kepuasan kliennya dalam membuat akta sesuai kebutuhan hukumnya. Hukumnya terdapat dalam peraturan-peraturan hukum. Hakim, jaksa, pengacara, dosen hukum, notaris, pegawai biro hukum pelbagai instansi tidak dapat lepas dari peraturan-peraturan hukum dalam menemukan hukumnya.

12

11

Ibid, Hal. 9 12

Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Pratek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve,


(18)

Dahulu masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum cukup dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas saling percaya mempercayai. Sebagian besar masyarakat terutama pada masyarakat yang masih diliputi oleh adat kebiasaan yang kuat masih kurang menyadari pentingnya suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan diantara para pihak cukup dilakukan secara lisan. Untuk peristiwa-peristiwa yang penting hanya dibuktikan dengan kesaksian dari beberapa orang saksi, biasanya yang menjadi saksi ialah tetangga, teman sekampung, pegawai desa atau pengetua adat.

Sesungguhnya di dalam kesaksian dengan mempergunakan beberapa saksi tersebut terdapat kelemahan-kelemahan. Selama saksi masih hidup tidak ada kesukaran untuk diminta keterangannya, tetapi apabila saksi-saksi itu sudah tidak ada lagi, baik karena meninggal dunia atau sudah pindah ke tempat lain yang jauh dan tidak diketahui keberadaannya, maka akan timbul kesukaran dalam melakukan pembuktian.13

Setiap model hubungan yang dijalin seperti perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh masyarakat (para pihak) sudah pasti akan melahirkan hak dan kewajiban baru bagi masing-masing pihak. Hak dan kewajiban baru inilah yang perlu dibentengi dengan dokumen-dokumen yang dapat dijamin legalitasnya agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemenuhan atau pelaksanaan hak dan kewajiban.14

13

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Pers,

Jakarta, 1993, Hal. 5 14


(19)

Sebuah dokumen yang terjamin legalitasnya dan berkekuatan hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Meskipun demikian, ditengah-tengah masyarakat banyak dijumpai kasus yang terjadi akibat ketiadaan dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Masyarakat umumnya tidak mengetahui pentingnya sebuah dokumen berkekuatan hukum atau sudah merasa saling percaya satu sama lain.15

Berbeda halnya dengan zaman sekarang, dimana masyarakat biasanya lebih cenderung melakukan perbuatan hukum tersebut dengan merealisasikannya dalam bentuk perjanjian atau dokumen secara tertulis atau lebih dikenal dengan sebutan akta, baik itu dilakukan, dibuat dalam bentuk akta otentik maupun akta di bawah tangan.16

Adanya kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk membuat perjanjian dihadapan notaris. Kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat yang ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan jasa notaris, meningkatnya taraf hidup masyarakat, adanya kemajuan teknologi yang begitu cepat dan semakin banyaknya lapangan usaha yang tersedia di berbagai bidang sehingga menimbulkan dan mendorong para pelaku bisnis meningkatkan kegiatan usahanya di berbagai bidang. Oleh karena itu dirasakan perlunya akan akta notaris dalam pratek lalu lintas hukum dalam masyarakat yang

15 Ibid 16

Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan


(20)

semakin maju dan kompleks.17

Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai ”notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang mengkehendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara mereka, suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk dimana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.

Hal ini adalah logis karena setiap orang yang mengikat perjanjian dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka, sehingga hal yang sangat penting mengingat kepastian hukum yang lebih besar yang mengikat bagi mereka yang mengadakan persetujuan tersebut.

18

Lembaga notaris sebagai orang yang dipercaya oleh para pihak untuk merumuskan isi dan maksud perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam rangka menghadapi masa depan dengan perkembangan secara global

19

17

Ibid., Hal. 2

tersebut diperlukan figur-figur notaris yang profesional dan mempunyai integritas yang utuh dalam mengemban pekerjaan pelayanan hukum kepada masyarakat. Adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum khususnya dalam hal membuat perjanjian semakin jelas yaitu dengan menuangkan semua keinginan dan perbuatan yang akan

18

G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, Hal. 2 19

Ida Susanti, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,


(21)

dilakukan dalam suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk untuk membuat perjanjian tersebut yakni notaris.

Di Indonesia sendiri jabatan notaris diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN). Di dalam undang-undang tersebut yang disebut notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Undang-undang ini mengatur secara detail tentang praktik kenotariatan di Indonesia.

Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks tentunya makin luas dan berkembang. Hal ini dikarenakan kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh masyarakat semakin banyak dan semakin luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris. Pemerintah dan masyarakat tentunya mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar memiliki nilai dan kualitas yang baik dan dapat diandalkan.20

Dalam lalu lintas keperdataan, yaitu dalam jual-beli, utang-piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya, orang-orang dengan sengaja membuat alat-alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu dikemudian hari. Orang yang membayar utangnya minta diberikan tanda pembayaran, orang yang membuat suatu perjanjian piutang dengan orang lain, minta dibuatnya perjanjian itu hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Dan dengan sendirinya, dalam suatu

20


(22)

masyarakat yang sudah maju, tanda-tanda atau bukti-bukti yang tepat memanglah tulisan.21

Berdasarkan hal tersebut masyarakat menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang penting dalam lalu lintas hukum, baik dalam arti materinya ialah dengan adanya bukti tertulis, maupun dalam arti formal yang menyangkut kekuatan dari alat pembuktian itu sendiri.

Seiring dengan pentingnya kepastian hukum yang diwujudkan dalam suatu alat bukti yang kuat yaitu berupa akta otentik, maka kedudukan notaris sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik (kecuali ditentukan lain oleh undang-undang) juga semakin penting. Akta-akta yang dibuat oleh notaris benar-benar dapat diterima sebagai alat bukti sempurna diantara para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN) yang menyatakan bahwa ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud undang-undang ini”.

Jabatan notaris adalah jabatan umum. Notaris dapat dikatakan sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Meskipun notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tidak dapat dikatakan bahwa notaris adalah pegawai negeri yang juga diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Dapat dikatakan bahwa notaris adalah pegawai pemerintah tanpa menerima gaji dari

21


(23)

pemerintah sebagaimana halnya dengan pegawai negeri,22 notaris dipensiunkan oleh pemerintah akan tetapi tidak menerima uang pensiun dari pemerintah karena notaris tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 197423 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Notaris adalah pejabat umum dan pejabat umum tidak selalu pegawai negeri. Akan tetapi ada juga pejabat umum yang selain melayani masyarakat, juga merupakan pegawai negeri. Misalnya, pegawai kesehatan, pegawai catatan sipil, konsuler Indonesia yang berada diluar negeri, dan sebagainya. Mereka ini bukan pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 15 ayat 1 UUJN, karena mereka tidak berhak membuat akta otentik seperti yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata.24

22

Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negara atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

Notaris menjalankan tugas negara, akta yang dibuat, yaitu minuta adalah merupakan dokumen negara. Jadi tugas utama notaris yaitu membuat akta-akta otentik guna melayani masyarakat atas permintaan masyarakat. Dalam hal ini dapat dihubungkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ”Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu”. Pasal ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan pejabat umum. Oleh karena itu di dalam Pasal 1 angka 1 UUJN diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang

23

G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., Hal. 35 24

Soetrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I,


(24)

dimaksud dengan Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik adalah Notaris, sepanjang juga tidak ditugaskan atau dikecualikan bagi pejabat lain. Pejabat umum lain yang dimaksud yang juga dapat membuat akta otentik adalah Hakim, Pegawai Catatan Sipil, dan sebagainya.25

Inilah yang membedakan notaris dari pejabat lain didalam masyarakat, karena meskipun pejabat lain diangkat juga oleh pemerintah, ataupun mendapat ijin dari pemerintah, tetapi pengangkatannya itu hanyalah merupakan pemberian ijin, atau lisensi untuk menjalankan sesuatu jabatan tidak langsung merupakan pengemban jabatan negara. Contohnya advokat, dokter, akuntan publik dan lain-lain. Mereka menjalankan pekerjaan bebas, tidak mempunyai sifat seperti pejabat umum, karena pekerjaan yang dikerjakannya tidak bersumber kepada kekuasaan pemerintah. Mereka itu adalah orang-orang swasta yang hanya terikat kepada peraturan-peraturan mengenai jabatan, dan selanjutnya mereka bebas melakukan profesinya.

Tantangan untuk melakukan tugasnya dengan baik dan profesional dirasakan sangat penting karena jasa notaris berhadapan langsung dengan kepentingan masyarakat. Apabila seorang notaris tidak mampu memberikan pelayanan yang baik atau tidak profesional, maka akan terdapat banyak pihak yang dirugikan sebagai akibat hukum dari kesalahan atau kelalaian yang telah diperbuat oleh notaris. Dalam rangka memberikan pelayanan yang baik dan dapat dipercaya itu, maka sebelum menjalankan jabatannya, seorang notaris wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk di tempat

25


(25)

kedudukan notaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUJN. Dalam sumpah jabatan notaris tersebut, salah satu isinya adalah pernyataan bahwa seorang notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) huruf d UUJN.

Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN lebih jauh berarti bahwa seorang notaris harus mampu memegang rahasia jabatannya. Ketentuan ini berkaitan erat dengan Pasal 54 UUJN yang menyatakan bahwa:

” Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan”.26

Notaris sebagai orang kepercayaan, wajib untuk merahasiakan semua apa yang diberitahu kepadanya dalam jabatannya tersebut. Kewajiban untuk merahasiakan suatu akta, tidak menjadi soal apakah itu oleh mereka terhadap siapa itu ditentukan atau dibebankan secara tegas atau tidak. Jabatan notaris sebagai jabatan kepercayaan dengan sendirinya melahirkan kewajiban itu. Kewajiban itu akan berakhir apabila ada suatu kewajiban menurut hukum untuk berbicara, yakni apabila seseorang dipanggil sebagai saksi.27

26

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 27

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf


(26)

Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN, dinyatakan bahwa ”dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris”. Kewajiban dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta dengan menyimpan akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah aslinya. Dari ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa Notaris berkewajiban untuk menyimpan minuta akta dan dokumen lainnya dalam bentuk protokol Notaris dan melaporkannya setiap bulan kepada Majelis Pengawas Notaris yaitu Majelis Pengawas Daerah (MPD).

Jika dikaitkan dengan penjelasan diatas, maka apabila terjadi suatu musibah atas kantor notaris yang memegang dokumen atau minuta akta dalam bentuk protokol notaris seperti terjadinya kebakaran, banjir, gempa bumi, tanah longsor dan bencana alam lainnya sehingga kantor notaris tersebut hancur yang mengakibatkan hilang atau rusaknya dokumen atau minuta akta.

Peristiwa bencana alam gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Bencana gempa bumi dan tsunami telah merusakkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh yang telah menelan banyak korban jiwa. Problem ini terutama dirasakan oleh masyarakat yang mengalami kehancuran dan kehilangan sejumlah property seperti rumah, toko, dokumen-dokumen kepemilikan atas benda-benda tidak bergerak seperti akte hak milik atas tanah, akte rumah dan sebagainya. Selain itu kejadian ini juga berdampak kepada notaris-notaris yang ada di


(27)

daerah yang terkena bencana khususnya di Banda Aceh. Gempa bumi dan tsunami yang menghancurkan bangunan-bangunan yang ada di Banda Aceh termasuk kantor Notaris yang telah mengakibatkan banyak kerusakan dan yang lebih parahnya lagi hilangnya minuta akta notaris yang disimpan dalam bentuk protokol notaris. Minuta akta tersebut ada yang rusak karena terendam air juga ada yang hilang, bukan hanya minuta akta saja yang rusak atau hilang bahkan nyawa notaris itu sendiri ada yang hilang. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri dan harus dicarikan solusinya agar permasalahan mengenai minuta akta yang rusak atau hilang tersebut tidak menjadi polemik yang berkepanjangan dan dapat merugikan pihak-pihak yang terkait. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih jauh penelitian terhadap minuta akta yang rusak atau hilang yang diakibatkan oleh bencana alam, khususnya tsunami yang terjadi di Banda Aceh dan dari permasalahan tersebut penulis ingin menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS ATAS HILANG ATAU RUSAKNYA MINUTA AKTA YANG DISIMPAN AKIBAT BENCANA ALAM (STUDI KASUS TSUNAMI DI BANDA ACEH).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka pokok permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai keberadaan minuta akta notaris yang hilang atau rusak karena bencana alam?


(28)

2. Bagaimanakah tanggung jawab notaris atas hilang atau rusaknya minuta akta yang disimpan oleh notaris karena bencana alam?

3. Bagaimanakah tindakan yang dilakukan oleh notaris dalam menyelesaikan permasalahan atas hilang atau rusaknya minuta akta notaris karena bencana alam?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai keberadaan minuta akta notaris yang hilang atau rusak karena bencana alam

2. Untuk mengetahui tanggung jawab notaris atas hilang atau rusaknya minuta akta yang disimpan oleh notaris karena bencana alam

3. Untuk mengetahui tindakan yang dilakukan oleh notaris dalam menyelesaikan permasalahan atas hilang atau rusaknya minuta akta notaris karena bencana alam

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak yang positif dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain:


(29)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran bagi perkembangan ilmu hukum dalam bidang kenotariatan, khususnya mengenai kajian terhadap minuta akta yang rusak atau hilang akibat bencana alam yang terjadi. 2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi dan mahasiswa yang bergerak dan mempunyai minat dalam bidang Hukum yang khusus dan beraktivitas dalam bidang dunia profesi Kenotariatan.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, bahwa belum ada judul penelitian sebelumnya yang berjudul “Pertanggungjawaban Notaris atas Hilang atau Rusaknya Minuta Akta Yang Disimpan Akibat Bencana Alam (Studi Kasus Tsunami di Banda Aceh)”.

Namun, pada tahun 2008, Susanna, mahasiswi Magister Kenotariatan meneliti tentang “Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya”. Tesis tersebut baik judul maupun permasalahan berbeda dengan penelitian ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis tersebut adalah :

1. Bagaimanakah prosedur pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris di Indonesia?


(30)

2. Apakah kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris?

3. Apakah upaya untuk mengatasi kendala dalam pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris?

Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.28

Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research menjelaskan bahwa suatu teori adalah seperangkap konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.’’29

28

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, Hal. 6 29

Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press,


(31)

Pendapat Gorys Keraf tentang defenisi teori adalah:30

Dari pendapat di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa yang namanya teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.

” asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada.”

31

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai ”pisau analisis” pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.32

Kerangka Teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan

30

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, 2001, Hal.47 31

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 134 32


(32)

dan pedoman untuk mencapai tujuan33

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.

dalam penyelesaian kasus hilang atau rusaknya minuta akta notaris dari kantor notaris akibat bencana tsunami Di Banda Aceh.

34

Karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, diperlukan kerangka teoritis lain yang khas ilmu hukum yakni teori Hans Kelsen yang dapat dijadikan kerangka acuan pada penelitian hukum normatif. Teori Kelsen merupakan ”normwissenschaft”, dan hanya mau melihat hukum sebagai kaedah yang dijadikan objek ilmu hukum. Menurut kelsen, maka setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau). Dipuncak stufenbau tersebut terdapat ”grundnorm” atau kaedah dasar atau kaedah fundamentil, yang merupakan hasil pemikiran secara yuridis.35

Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini menggunakan Teori Tanggung Jawab Hukum. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa: ”seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum,

33

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004, Hal. 72-73 34

Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hal. 6 35


(33)

subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.”36 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:37

”Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan."

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab terdiri dari:38 a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertangung jawab

terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).39

36

Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of Law and State,

Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 81

37

Ibid, Hal. 83 38

Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni,

Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006, Hal. 140 39

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


(34)

Menurut kamus hukum ada 2 (dua) istilah pertanggungjawaban yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefenisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.40 Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya.41

Menurut Roscoe Pound, jenis tanggung jawab ada 3 (tiga) yaitu:42 1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan disengaja

2. Atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja

3. Dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja.

40

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal. 335

41

Ibid, Hal 335-336 42

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to the philosophy of Law)


(35)

Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 (empat) hal, yaitu :

1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materil akta yang dibuatnya

2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya

3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan jabatan notaris terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya

4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.43

Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yaitu negara memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang berkaitan dalam hukum perdata, untuk keperluan tersebut diberikan kepada Pejabat Umum yang dijabat oleh Notaris.44

Notaris dikatakan sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Notaris bekerja untuk kepentingan negara, namun notaris bukanlah pegawai, sebab notaris tidak menerima gaji dari pemerintah, tetapi adalah berupa honorarium dari klien.45

43

Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, 2003, Hal. 250

Sebagai pejabat umum, Notaris dituntut untuk bertanggung jawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat

44

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Telematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2009, Hal.42

45


(36)

ternyata di belakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak yang tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya terhadap Notaris ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara Notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang dibuat oleh Notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan Notaris baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris yang harus memberikan pertanggungjawaban.

Landasan filosofis dibentuknya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris baru dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.

Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.46

46

Ibid., Hal. 14

Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya,


(37)

dapat memberikan honorarium kepada Notaris.47 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.48

Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa Notaris. Akta yang dibuat oleh notaris adalah akta otentik. Jika berbicara tentang akta otentik, maka tidak terlepas dari pengertian akta itu sendiri, yaitu suatu tulisan khusus yang dibuat supaya menjadi bukti tertulis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan) tentang peristiwa hukum yang dibuat, dan disahkan oleh pejabat resmi.

Sebuah akta otentik merupakan dokumen yang sah dan dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Sempurna disini berarti hakim menganggap semua yang tertera dalam akta merupakan hal yang benar, kecuali ada akta lain yang dapat membuktikan bahwa isi akta pertama tersebut salah. Oleh karena itu, pembuatan sebuah akta otentik

47

Mengenai Honorarium ini dicantumkan dalam Pasal 36 UUJN. Pencantuman Honorarium dalam UUJN tidak punya daya paksa untuk Notaris dan para pihak yang membutuhkan jasa Notaris, dan juga tidak ada yang mengawasi jika Notaris mengikuti ketentuan tersebut, dan dalam keadaan tertentu Notaris wajib untuk tidak meminta atau menerima honorarium (Pasal 37 UUJN)

48

Mendasarkan pada nilai moral dan etik Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (Klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap

martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya. Herlien Budiono, Notaris dan

Kode Etiknya, Upgrading & Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan 30 Maret


(38)

menjadi sesuatu yang penting. Memiliki akta otentik berarti memiliki bukti atau landasan yang kuat di mata hukum.49

Hal lain yang membuat akta otentik memiliki kekuatan hukum adalah karena akta otentik memiliki minuta akta yang disimpan oleh negara melalui notaris. Akan sangat kecil kemungkinan akta otentik hilang. Bukan hanya itu, jika seseorang menyangkal isi atau keberadaan akta otentik maka akan mudah untuk diperiksa kebenarannya.50

Akta yang dibuat Notaris memuat atau menguraikan secara autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa Akta Notaris merupakan rangkaian suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini disebabkan karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian atau disebabkan oleh orang lain dihadapan Notaris.

Membuat daftar dari akta-akta yang sudah dikeluarkan dan menyimpan minuta akta dengan baik merupakan kewajiban lain dari seorang notaris. Minuta akta adalah asli akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UUJN. Setelah minuta akta ditandatangani para pihak diatas materai dan telah sesuai dengan ketentuan, selanjutnya ditandatangani oleh saksi-saksi, dan terakhir oleh notaris. Setelah itu, notaris akan mengeluarkan salinan akta resmi untuk pegangan para pihak. Hal ini perlu dilakukan agar jika terjadi sesuatu terhadap akta yang dipegang kedua belah

49

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op.Cit, Hal. 83 50


(39)

pihak maka notaris masih memiliki bukti perjanjian/penetapan. Hal ini juga perlu disadari oleh pihak pembuat akta karena banyak kejadian dimana para pihak pembuat akta ingin membatalkan isi perjanjian dalam akta yang dilakukan dengan menghilangkan atau merobek akta.51

Dalam minuta ini juga tercantum asli tanda tangan, paraf para penghadap atau cap jempol tangan kiri dan kanan, para saksi dan Notaris, renvooi, dan bukti-bukti lain yang untuk mendukung akta yang dilekatkan pada minuta akta tersebut.52 Akta dalam bentuk Minuta wajib disimpan oleh Notaris53

Minuta akta adalah asli akta notaris, dan minuta akta adalah bagian dari protokol notaris. Protokol tersebut wajib dirawat dan disimpan dengan baik oleh Notaris yang bersangkutan atau oleh Notaris pemegang protokol, dan akan tetap berlaku selama sepanjang Jabatan Notaris masih tetap diperlukan oleh negara.

, diberi nomor bulanan dan dimasukkan ke dalam buku daftar akta Notaris (Repertorium) serta diberi nomor Repertorium.

54

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul

51

Ibid, Hal. 43 52

Habib Adjie, Op.Cit, Hal. 46 53

Pasal 16 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UUJN 54


(40)

penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkominikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian bersangkutan.55

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.56 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.57 Suatu Kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.58 Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.59

Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional

55

Sanapiah Faisal, Format-Format penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, Hal. 107-108

56

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 3. 57

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU,2002, Hal.35

58

Soerjono Soekanto, Op.Ci.t, Hal. 132 59


(41)

tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.60

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.

Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefenisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu:

a.Notaris

Menurut Pasal 1 angka 1 UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.

Menurut Sutrisno, Pasal 1 angka 1 UUJN tersebut merupakan pengertian mengenai notaris secara umum, untuk defenisi apa itu notaris, diuraikan lebih lanjut

60


(42)

di dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Jadi bila digabung Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1), terciptalah defenisi notaris, yaitu:61

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan peundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

b. Jabatan

Jabatan berarti suatu pekerjaan atau tugas dalam pemerintahan atau organisasi.62 Jabatan dalam arti yang umum adalah setiap bidang pekerjaan yang sengaja dibuat untuk keperluan yang bersangkutan baik dari pemerintahan maupun organisasi yang dapat diubah sesuai dengan keperluan.63

c. Pejabat

Pejabat dapat diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan atau orang yang memegang suatu jabatan.

d.Pejabat Umum

61

Sutrisno, Op. Cit., Hal. 117 62

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka,

Jakarta, 1994. 63


(43)

Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh suatu kekuasaan umum yang diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.

e. Profesi

Profesi merupakan suatu konsep yang lebih spesifik dibandingkan dengan pekerjaan. Pekerjaan memiliki arti yang lebih luas daripada profesi. Suatu profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan merupakan profesi. Profesi adalah suatu pekerjaan yang harus mencerminkan adanya pengetahuan (intellectual character) yang diabadikan untuk kepentingan orang lain dan keberhasilan dari pekerjaan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial kemudian didukung oleh adanya organisasi (association) profesi.64

f. Akta Notaris

Di dalam Pasal 1 ayat (7) UUJN, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

g.Minuta Akta adalah asli Akta Notaris

h.Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris

64


(44)

i. Bencana Alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, banjir dan sebagainya) dan aktivitas manusia.

j. Hilang adalah tidak ada lagi, lenyap, menghilang

k.Rusak adalah menjadi berubah dari aslinya dan tidak bisa dipakai lagi.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian a. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.65

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analistis yaitu penelitian yang menggambarkan semua gejala dan gakta yang terjadi di lapangan serta mengkaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada

65


(45)

dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di lapangan.66

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif.67 Penelitian yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.68

b. Lokasi Penelitian

Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yang didukung oleh pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melihat kenyataan secara langsung yang terjadi dalam pratek di lapangan. Penelitian ini juga berusaha mencari kendala-kendala di dalam proses yang dilakukan oleh notaris terhadap minuta aktanya yang rusak atau hilang akibat bencana tsunami serta upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.

Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Kota Banda Aceh merupakan ibu kota dari Propinsi Aceh serta merupakan salah satu kota yang terkena bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Sejalan dengan itu akibat

66

Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Tarsito, Bandung, 1978, Hal. 132

67

Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988,

Hal. 11 68


(46)

tsunami, banyak kantor-kantor notaris yang rusak sehingga mengakibatkan rusak atau hilangnya minuta akta notaris.

2. Sumber Data

Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan buku literatur dan sumber-sumber bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, artikel, opini hukum dari para kalangan ahli hukum dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia,


(47)

majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library research) yang didukung oleh penelitian lapangan (field research). Dalam penelitian ini, penelitian kepustakaan bertujuan untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini juga mengunakan metode deduktif yang merupakan adalah suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.

4. Alat Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan


(48)

Sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research) yaitu dilakukan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi teori-teori atau doktrin-doktrin yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro dokumen pribadi dan pendapat ahli hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder.69

b. Wawancara

Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan wawancara langsung dengan narasumber dengan mempergunakan pedoman wawancara yang bertujuan untuk mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil wawancara. Wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yaitu :

1. Ketua Majelis Pengawas Daerah (MPD) Banda Aceh : Cakmat Harahap 2. Notaris Teuku Abdurrahman

3. Notaris Teuku Irwansyah 4. Notaris Sabaruddin Salam 5. Notaris Elly Safiana

5. Analisis Data

69


(49)

Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal.70Analisis data adalah merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan.71

Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul dari inventarisasi peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian, baik media cetak dan laporan-laporan penelitian lainnya, serta wawancara yang digunakan untuk mendukung analisis data.

Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun yang diperoleh di lapangan, selanjutnya akan dianalisa dengan pendekatan kualitatif sehingga diperoleh data yang bersifat deskriptif.

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan metode deduktif ditarik suatu kesimpulan dari analisis yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian.

70

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal. 77

71

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kulaitatif, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,


(50)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEBERADAAN MINUTA AKTA NOTARIS YANG HILANG ATAU RUSAK KARENA BENCANA ALAM

A. Karakter Yuridis Jabatan Notaris

Secara umum terdapat dua aliran dalam pratik kenotariatan di dunia, yakni Notaris Latin dan Anglo Saxon. Notaris Latin diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Sipil (Civil Law System), sedangkan notaris Anglo Saxon diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Kasus (Common Law System).72 Kelompok negara yang menganut civil law system adalah negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Luxemburg, Jerman, Austria, Swiss, Skandinavia, Italia, Yunani, Spanyol dan juga negara-negara bekas jajahan mereka. Untuk kelompok yang termasuk dalam negara yang menganut common law, misalnya Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan, sedangkan untuk kelompok notariat negara-negara Asia dan Afrika, yaitu Turki, Israel, Mesir, Irak, Jepang, Cina, Ethiopia, Liberia, Sri Lanka, India dan Korea Selatan.73

Civil Law System sangat mementingkan keberadaan peraturan perundang-undangan, dibandingkan keputusan-keputusan hakim sehingga hakim hanya berfungsi sebagai pelaksana hukum. Notaris pada civil law system sama seperti hakim. Notaris hanya sebagai pihak yang menetapkan aturan. Pemerintah mengangkat notaris sebagai orang-orang yang menjadi ”pelayan” masyarakat.

72

Media Notariat, Edisi VII, Juli 2008, Hal.52 73

Supriadi, Etika & TanggungJawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal. 50


(51)

Sebagai pihak yang diangkat oleh negara maka notaris dapat dikategorikan sebagai pejabat negara. Seorang notaris civil law akan mengeluarkan akta yang sama persis dengan asli akta (minuta akta) yang disimpan dalam kantor notaris. Akta yang dibuat oleh seorang notaris dalam civil law system merupakan akta otentik yang sempurna sehingga dapat dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan.74

Berbeda dengan negara yang menganut civil law system, pada common law system aturan hukum ditetapkan oleh hakim. Hakim bukan hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga memutuskan dan menetapkan peraturan hukum merujuk pada ketentuan-ketentuan hakim terdahulu. Posisi notaris dalam common law system berbeda dengan posisi notaris dalam civil law system, yaitu notaris bukanlah pejabat negara. Mereka tidak diangkat oleh negara, tetapi mereka adalah notaris partikelir yang bekerja tanpa adanya ikatan pada pemerintah. Mereka bekerja hanya sebagai legalisator dari perjanjian yang dibuat oleh para pembuat perjanjian. Dokumen yang dikeluarkan oleh notaris bukanlah dokumen otentik karena tidak dibuat di hadapan notaris, hanya pengesahannya yang dilakukan notaris.

Indonesia menganut mazhab Notaris Latin. Notaris di Indonesia memberikan Legal Advice kepada para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, ketertiban, dan kesusilaan.

75

74

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op. Cit., Hal.24 75


(52)

Menurut Izenic, bentuk lembaga notariat ini dapat dibagi dalam kelompok utama, yaitu :76

1. notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan

(gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut notariat functionnel ini terdapat pemisahan keras antara ”wettelijk” dan ”niet wettelijke” werkzaamheden, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat;

2. notariat professionnel, dalam kelompok ini, walaupun pemerintah mengatur

tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenaran, kekuatan bukti demikian pula kekuatan eksekutorialnya. Teori Izenis ini didasarkan pada pemikiran bahwa notariat itu merupakan bagian atau erat sekali hubungannya dengan kekuasaan kehakiman/pengadilan (rechtelijke macht), sebagaimana terdapat di Perancis dan Negeri Belanda.

Lembaga notariat bukanlah lembaga yang baru. Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai dari daerah Italia Utara. Dari Italia Utara, lembaga notariat berkembang juga ke perancis, Belanda dan Indonesia. Lembaga notaris di Indonesia berasal dari zaman Belanda. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Indische Compagnie


(53)

(VOC)77

VOC yang mempunyai hak monopoli perdagangan pada waktu itu menjual hasil rempah tersebut kepada pedagang-pedagang dari Eropa dan negara-negara lain yang datang ke Indonesia. Untuk transaksi yang mereka lakukan itu diperlukan alat bukti tertulis dan lembaga notaris dibutuhkan untuk menjawabnya. Ketika itu lembaga ini masih diperuntukkan guna mereka sendiri dan guna mereka yang baik karena undang-undang maupun karena suatu ketentuan dinyatakan tunduk pada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetbook (BW)

yang datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah sebagai barang dagangan yang sangat laku di Eropa seperti cengkeh, merica, kayu manis, pala, dan lain-lain.

78

yang Sekarang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Meskipun diperuntukkan bagi golongan Eropa, masyarakat Indonesia juga dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan dihadapan notaris, hal ini menjadikan lembaga notariat semakin dibutuhkan keberadaannya ditengah-tengah masyarakat.79

Maksud dan tujuan membawa lembaga notariat ke Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan akan bukti otentik yang sangat dibutuhkan guna hal dan kepentingan yang timbul karena adanya transaksi dagang yang dilakukan. Di dalam perkembangannya, lembaga notariat ini secara diam-diam (stilzwijgend) telah

77

G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., Hal. 15 78

R. Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit., Hal. 8 79


(54)

diadopsi dan menjadi Hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan.80

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintahan Belanda bentukan VOC pada tanggal 27 Agustus 1620 mengangkat notaris pertama di Indonesia yaitu Melchior Kerchem dan tugasnya adalah melayani semua surat, surat wasiat dibawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kota praja dan sebagainya.81

Pada tanggal 12 November 1620 Gubenur Jenderal Jan Pieterzoon Coen untuk pertama kalinya mengeluakan Surat Keputusan (SK) tentang Jabatan Notaris yang pada pokoknya memuat Jabatan Notaris Publik adalah Jabatan Notaris sendiri terlepas dari kepaniteraan Pengadilan. Pada tanggal 16 Juni 1625 keluar Instruksi pertama untuk para notaris yang berpraktek di Indonesia, Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.

Pelantikannya dilakukan oleh Gubenur Jenderal Jan Pieterzoon Coen. Setelah pengangkatan notaris yang pertama jumlah notaris di Indonesia makin berkembang.

82

Perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1860 Pemerintah Belanda melihat perlunya diadakan penyesuaian peraturan-peraturan jabatan Notaris di Indonesia

80 Ibid 81

Supriadi, Op. Cit, Hal. 28 82


(1)

hilang, kemudian berdasarkan surat keterangan dari kepolisian dilaporkan kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia c.q Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan rincian laporan bencana perihal kondisi kantor yang rusak, laporan kehilangan berkas dokumen sehubungan dengan tugas jabatan sebagai notaris, dalam laporan tersebut notaris yang bersangkutan meminta dan memohon petunjuk agar dapat diberikan duplikat Surat Keputusan Pengangkatan sebagai notaris yang telah hilang, serta memberithaukan alamat notaris yang baru. Setelah dikeluarkan surat keputusan pengangkatan oleh Menteri Hukum dan HAM RI maka notaris dapat menjalankan tugas jabatan sebagai notaris seperti semula.

B. Saran

1. Diperlukan peraturan tambahan baik di dalam UUJN maupun peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelaksana yang lebih bagus sehingga mampu mengikuti perkembangan notaris, oleh karena itu dibuat peraturan mengenai penyelesaian minuta akta yang hilang atau rusak bila terjadi peristiwa bencana alam karena pada saat sampai sekarang ini belum ada diatur mengenai penyelesaian minuta akta yang hilang karena bencana alam baik di perundang-undangan seperti UUJN maupun peraturan lainnya.

2. Disarankan kepada notaris untuk tidak menunda dan segera melaporkan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia perihal minuta akta yang rusak akibat bencana alam yang mengakibatkan kerusakan pada kantor


(2)

notarisnya sehingga minuta akta tersebut musnah sehingga dibelakang hari notaris dapat terlindungi dari klaim klien notaris yang juga menjadi korban bencana alam.

3. Diperlukan pengaturan tambahan mengenai penyimpanan minuta akta yang dibuat secara elektronik seperti menyimpan minuta akta dalam bentuk flasdisk atau di scan yang setelah di scan dapat juga disimpan di server yang diawasi oleh Menteri Hukum dan HAM agar dapat lebih teroganisir. Cara penyimpanan minuta seperti itu dapat dilakukan oleh Notaris sebagai bentuk pengamanan apabila minuta akta notaris rusak atau hilang karena bencana alam sehingga bila terjadi bencana alam yang mengakibatkan kantor notaris menjadi rusak maka notaris masih memiliki pertinggalnya bila suatu waktu nanti diperlukan sebagai alat bukti.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009

---, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2008

---, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan Tentang Notaris dan PPAT), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009 Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicalprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008

Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Faisal, Sanapiah, Format-Format penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU,2002

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Kartohadiprodjo, Soediman Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan Jakarta, 1993


(4)

Kerlinger, Fred N., Asas-Asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004

Keraf, Gorys, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, 2001

Kie, Tan Thong, Studi Notariat Serba-Serbi Pratek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000

Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009 Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994 Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, 2003 Notodisoerjo, R. Soegondo Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan,

Rajawali, Jakarta, 1982

Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004

Mertokusumo, Sudikno Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003

Moleong, Lexy Metode Penelitian Kulaitatif, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004

Muhammad, Abdulkadir Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Patahna,Muchlis, Problematika Notaris, Rajawali, Jakarta, 2006

Prent, K C.M., J.Adi Subrata dan W.J.S Poerwadarminta, Kamus Latin Indonesia, Kanisius, 1969

R, Putri A, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris Yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, Softmedia, Medan, 2011 Rahmat, Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1995 Salman, HR.Otje dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama,


(5)

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006

Situmorang, Victor M dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982

Soemitro, Roni Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988

Subekti, R. Hukum Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta ---,Hukum Pembuktian, Pradnya Pramita, Jakarta, 2008

Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987

Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research, Tarsito, Bandung, 1978

Susanti, Ida, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Medan, 2007

Suryabrata, Samadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Tedjosaputro, Liliana Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf

Publishing, Yogyakarta, 1994

Tobing, G.H.S.Lumban Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983

Tosa, A. Halim Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1996

Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif, Djambatan, Jakarta, 2001


(6)

Wibowo, Agus Budi dan Rusdi Sufi, Kisah di Balik Peristiwa Gempa dan Tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005

B. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.03.HT.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.

C. Majalah

Media Notariat, Edisi VII, Juli 2008

Renvoi, Nomor 28.Th.III, 3 September 2005

Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 18, Nomor 3, Mei 2003

D. Situs Internet

Heryanto, Notaris Antara Antara Profesi dan Jabatan,

diakses pada tanggal 20 Juni 2011

tanggal 22 Mei 2011

tanggal 06 Juni 2011