BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes 2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus menurut definisi medis dari Oxford Concise Medical Dictionary, merupakan gangguan metabolisme karbohidrat di mana glukosa di dalam
tubuh tidak dioksidasi untuk memproduksi tenaga, akibat kekurangan hormon insulin Martin, 2007. Diabetes adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
yang menyebabkan ketidakseimbangan antara penggunaan insulin dan penghasilan insulin. Ketiadaan insulin boleh disebabkan gangguan pengeluaran insulin di sel beta
pada pankreas, reseptor insulin terganggu atau tidak mencukupi, atau produksi insulin tidak aktif atau penghancuran insulin sebelum bekerja. Seseorang dengan diabetes tidak
terkontrol tidak mampu mentransportasi glukosa menjadi lemak dan sel otot sehingga menyebabkan sel-sel menjadi kekurangan tenaga dan ini menyebabkan peningkatan
metabolisme lemak dan protein sebagai sumber tenaga Porth, 2006.
2.1.2 Klasifikasi
Diabetes Mellitus dapat dibagi menjadi, diabetes mellitus tipe I, diabetes mellitus tipe II, diabetes gestasional dan diabetes dengan tipe spesifik lain. Diabetes tipe I adalah
disebabkan sel beta pankreas yang dirosakkan secara permanen akibat proses autoimun. Diabetes mellitus tipe II mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dan merupakan akibat
dari resistensi insulin. Diabetes gestasional pula merupakan diabetes yang didapat sewaktu mengandung dan yang terakhir adalah diabetes dengan tipe spesifik yang lain.
Diabetes ini terjadi akibat sekunder dari penyakit-penyakit lain, contohnya sindrom Cushing’s, pankreatitis dan akromegali NIH, 2008.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Diabetes Mellitus mempunyai onset yang cepat dan membahayakan. Pada diabetes tipe I, simptom muncul dengan sangat cepat, manakala diabetes tipe II pula
Universitas Sumatera Utara
munculnya lebih lambat tetapi membahayakan. Simptom yang selalu pada pasien-pasien diabetes adalah 3 poli, yaitu, poliuria banyak berkemih, polidipsia selalu haus dan
polifagia selalu lapar. Ketiga simptom ini sangat berkaitan dengan kejadian hiperglikemik dan glikosuria pada pasien diabetes.
Kehilangan berat badan terjadi walaupun nafsu makan adalah normal atau bertambah pada mereka yang mempunyai diabetes tipe I. Penyebab kehilangan berat
badan ada dua. Pertama adalah disebabkan kehilangan cairan tubuh akibat diuresis osmotik dan muntah, meningkatkan lagi kehilangan cairan pada ketoasidosis. Kedua,
adalah disebabkan kekurangan insulin menyebabkan tenaga berkurang sehingga menyebabkan lemak dan protein pada tingkat sel harus dimetabolismekan sebagai sumber
energi. Namun kehilangan berat badan ini terjadi pada pasien dengan diabetes tipe I tidak terkawal, manakala pasien diabetes tipe II lebih sering mengalami obesitas.
Simptom lain adalah hiperglikemik termasuk gangguan pemandangan, keletihan, parestesis dan infeksi kulit. Gangguan pemandangan terjadi apabila lensa dan retina
selalu mengalami efek hiperosmotik akibat dari peningkatan glukosa dalam darah. Plasma volume yang rendah menyebabkan badan lemah dan letih. Parestesis menandakan
adanya disfungsi sementara pada saraf sensorik perifer. Infeksi kulit kronik sering terjadi pada pasien diabetes tipe II. Hiperglikemik dan glikosuria selalu menyebabkan jangkitan
jamur. Manakala pruritus dan vulvovaginitis terjadi akibat infeksi candida yang selalu menjadi keluhan wanita dengan diabetes Porth, 2006.
2.1.4 Patofisiologi
Pemahaman tentang patofisiologi diabetes terletak pada pengetahuan tentang dasar-dasar metabolisme karbohidrat dan aksi insulin. Setelah konsumsi makanan,
karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul glukosa dalam usus. Glukosa diserap ke dalam aliran darah dan menaikkan kadar glukosa darah.
Kenaikan glycemia merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas. Insulin dibutuhkan oleh sel-sel untuk
masuknya glukosa. Insulin berikatan dengan reseptor seluler spesifik dan memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel, untuk digunakan sebagai sumber energi. Sekresi insulin
dari pankreas meningkat dan bekerja untuk menurunkan kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa lebih rendah, ini akan menurunkan sekresi insulin.
Universitas Sumatera Utara
Setelah makan, jumlah glukosa yang tersedia dari pemecahan karbohidrat sering melebihi kebutuhan selular. Kelebihan glukosa disimpan di dalam hati, dalam bentuk
glikogen, yang berfungsi sebagai reservoir untuk digunakan di masa depan. Ketika energi dibutuhkan, glikogen diubah menjadi glukosa melalui glikogenolisis, menaikkan kadar
glukosa darah, dan menyediakan sumber energi yang diperlukan pada tingkat selular. Hati juga memproduksi tenaga dari lemak asam lemak dan protein asam amino
melalui proses glukoneogenesis. Glikogenolisis dan glukoneogenesis baik untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Jadi, glycemia dikendalikan oleh interaksi yang
kompleks antara saluran pencernaan, pankreas, dan hati. Beberapa hormon dapat mempengaruhi glycemia. Insulin adalah hormon yang menurunkan kadar glukosa darah.
Kaunter-peraturan hormon seperti glukagon, katekolamin, hormon pertumbuhan, hormon tiroid, dan glukokortikoid semua bertindak untuk meningkatkan kadar glukosa darah,
selain efek yang lain. Dalam Diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat mensintesis cukup hormon insulin
yang dibutuhkan oleh tubuh. Patofisiologinya menunjukkan bahwa hal itu disebabkan penyakit autoimun. Tubuh memiliki sistem kekebalan tubuh yang menghasilkan sekresi
zat yang menyerang sel beta pankreas. Akibatnya, pankreas mengeluarkan sedikit insulin atau tidak langsung. Diabetes tipe 1 lebih umum di kalangan anak-anak dan dewasa muda
sekitar 20 tahun. Karena umum di antara individu muda dan hormon insulin digunakan untuk pengobatan, diabetes tipe 1 juga disebut sebagai Insulin Dependent Dabetes
Mellitus IDDM atau Diabetes Juvenil. Dalam kasus DM tipe II, produksi hormon insulin adalah normal, tetapi sel-sel tubuh resisten terhadap insulin. Karena sel-sel tubuh
dan jaringan non responsif terhadap insulin, glukosa tetap dalam aliran darah. Hal ini umumnya diwujudkan oleh orang dewasa setengah baya di atas 40 tahun. Diabetes tipe
2 juga dikenali sebagai Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus NIIDM. Gestational diabetes , di sisi lain, terjadi pada wanita hamil. Hal ini disebabkan karena fluktuasi
tingkat hormon selama kehamilan. Biasanya, kadar gula darah kembali normal setelah bayi lahir Porth, 2006.
2.1.5 Diagnosa
Universitas Sumatera Utara
Terjadinya diabetes tipe I biasanya mendadak sedangkan diabetes tipe II sering hadir selama bertahun-tahun tanpa tanda-tanda atau gejala yang jelas. Pasien dengan
diabetes terdiagnosis dapat hadir dengan satu atau lebih tanda-tanda dan gejala. Diagnosis diabetes didasarkan pada adanya tanda-tanda klinis dan gejala, bersama dengan temuan
laboratorium khusus. Penggunaan glukosa puasa dan santai nonfasting kadar glukosa, untuk diagnosis dan rutin uji toleransi glukosa oral. Diagnosis diabetes tidak dilakukan
jika kadar gula darah pasien telah melebihi ambang batas glukosa pada dua kesempatan terpisah. Kedua tes plasma glukosa puasa dan santai memberikan penentuan kadar
glukosa pada saat satu waktu, yaitu, pada saat sampel darah dikumpulkan. Hal ini sering berguna untuk menilai kontrol jangka panjang glycemia, terutama pada pasien diabetes
diketahui Brian Maeley, 2006. Toleransi glukosa diklasifikasikan kepada 3 kategori berdasarkan kadar
glukosa puasaKGP yaitu normal KGP 5.6mmolL 100mgdL, KGP = 5.6 – 6.9 mmolL 100 – 125 mgdL menandakan adanya gangguan pada kadar glukosa puasa,
manakala pada pasien diabetes KGP ≥ mmolL 126 mgdL. Seseorang juga dikatakan
mendapat diabetes apabila kadar glukosa adalah 11.1 mmolL 200mgdL 2 jam selepas makan Fauci, 2008.
2.1.6 Komplikasi
Penyebab utama dari morbiditas tinggi dan tingkat kematian yang terkait dengan diabetes adalah sekelompok komplikasi mikrovaskuler dan macrovascular yang
mempengaruhi beberapa sistem organ. Orang dengan diabetes memiliki risiko yang sangat tinggi untuk menjadi buta, gagal ginjal, infark miokard, stroke, perlu amputasi
ekstremitas, dan sejumlah penyakit lainnya. Permulaan dan perkembangan komplikasi ini sangat terkait dengan lanjutan dari hiperglikemik. Tingkat komplikasi dan beratnya
komplikasi meningkat apabila durasi diabetes meningkat. Gangguan lain seperti hipertensi dan dislipidemia biasanya terlihat pada orang dengan diabetes, dan ini
meningkatkan risiko komplikasi mikrovaskuler dan macrovaskuler. Komplikasi vaskular akibat dari aterosklerosis dan microangiopati. Peningkatan
deposisi lipid dan pembentukan ateroma terlihat di dalam pembuluh darah besar, seiring dengan peningkatan ketebalan dinding arteri. Proliferasi sel endotel, perubahan pada
Universitas Sumatera Utara
membran endotel, dan perubahan fungsi sel endotel menyebabkan kerusakan mikrovaskuler. Kontrol glisemik yang kurang jelas merupakan faktor risiko utama untuk
terjadinya komplikasi, tetapi tidak semua pasien diabetes terkontrol akan mengalami komplikasi. Sebaliknya, beberapa individu mendapat komplikasi walaupun kontrol
glisemik pasien relatif baik. Hiperglikemia memainkan peran utama dalam kedua penyakit mikrovaskuler dan penyakit macrovascular Fukushima et al, 2004.
2.2 Gangguan Pendengaran 2.2.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur dengan
jumlah tingkat kerugian yang disebut desibel dB. Saat volume suara meningkat, jumlah desibel ikut meningkat. Percakapan normal biasanya antara 45-55 dB. Biasanya, dengan
kehilangan pendengaran, kemampuan untuk mendengar suara tinggi berkurang sehingga ada kesulitan untuk mendengar suara burung atau perempuan, diikuti dengan hilangnya
penerimaan suara nada rendah Lipkin, 2009.
2.2.2 Etiologi
Kehilangan pendengaran dapat konduktif karena kesalahan transmisi gelombang suara atau sensorineural penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf, atau
keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan telinga terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya cairan di
telinga. Alasan umum untuk tuli sensorineural adalah paparan kebisingan, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik yang merusak pendengaran.
Kehilangan pendengaran dapat; ringan, yaitu dibawah 40 dB dengan masalah dalam mendengar percakapan biasa, moderat 40-60 dB di mana suara-suara harus dinaikkan
untuk didengarkan dan terakhir berat, yaitu melebihi 60 dB di mana orang harus berteriak untuk didengarkan Lipkin, 2009.
2.2.3 Klasifikasi
Universitas Sumatera Utara
Masalah mendengar biasanya datang secara bertahap, dan jarang berakhir pada tuli lengkap. Ada banyak penyebab gangguan pendengaran. Kehilangan pendengaran
dapat dibagi menjadi dua kategori utama:
o Gangguan pendengaran konduktif CHL terjadi karena masalah mekanis di
telinga luar atau tengah.Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi suara dengan benar, atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons
terhadap suara. Cairan di telinga tengah dapat menyebabkan jenis gangguan pendengaran konduktif ini.
o Gangguan pendengaran sensorineural HPS hasil ketika ada masalah dengan
telinga dalam. Hal ini paling sering terjadi ketika sel-sel rambut kecil ujung saraf yang mengirimkan suara melalui telinga menjadi terluka, sakit, atau tidak
berfungsi dengan baik. Jenis gangguan pendengaran kadang-kadang disebut kerusakan saraf, meskipun hal ini tidak akurat Lipkin, 2009.
2.2.4 Diagnosis
Untuk mendiagnosis adanya gangguan pendengaran, dapat dilakukan dahulu anamnase. Pasien ditanya saat kapan dan sewaktu aktivitas apa gangguan tersebut
dialami. Kemudian dilakukan pula pemeriksaan telinga dengan menggunakan auriskop atau otoskop, yaitu sebuah lampu suluh yg kecil, yang digunakan untuk melihat ke dalam
telinga pasien. Menggunakan alat ini, akan dapat dilihat sama ada terdapat cairan yang keluar dari dalam telinga, pembangkakkan gendang telinga, sumbatan di dalam telinga
disebabkan cairan atau benda asing, atau terakhir sekali terdapat lobang pada gendang
telinga.
Seterusnya mungkin akan dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan garpu tala, tes audiometri dan tes tulang osikel. Pada pemeriksaan garpu tala, terdapat 3
jenis pemeriksaan yaitu, tes Rinne, tes Weber dan tes Swabach. Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada
satu telinga pasien. Ada 2 macam tes rinne , yaitu; o
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien belakang meatus akustikus eksternus. Setelah
pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan
Universitas Sumatera Utara
meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya
o Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus planum mastoid. Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih
lemah atau lebih keras dibelakang. Ada 2 interpretasi dari hasil tes Rinne yaitu normal apabila tes Rinne positif, tuli
konduksi apabila tes Rinne negatif getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama. Seterusnya adalah tes Weber. Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes Weber adalah membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya diletakkan tegak lurus pada garis
horizontal kepala. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras ke arah 1 telinga maka
terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi. Interpretasinya;
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya. b.
Pada lateralisasi ke kanan terdapat kemungkinannya: o
Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
o Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga
kanan lebih hebat. o
Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
o Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari
pada sebelah kanan. o
Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah karena jarang terdapat.
Universitas Sumatera Utara
Terakhir adalah tes Swabach. Ini bertujuan untuk membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa normal dengan probandus. Penguji meletakkan
pangkal garpu tala yang sudah digetarkan pada puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan akhirnya tidak
mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang
diketahui normal ketajaman pendengarannya pembanding. Bagi pembanding dua kemungkinan dapat terjadi sama ada akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara.
Setelah pemeriksaan garpu tala selesai dapat dilanjutkan pula tes audiometri. Earphones akan dipakaikan kepada pasien dan akan disambungkan pada sebuah mesin.
Berbagai jenis dan kekuatan bunyi akan dimainkan dan pasien harus mengangkat tangan jika dapat mendengar. Manakala untuk tes tulang osikel dilakukan untuk mengetahui
sama ada pasien masih mampu mendengar suara atau bunyi yang dihantar melalui tulang berbanding bunyi ditransportasi melalui udara Lipkin, 2009.
3.0 Patofisiologi gangguan pendengaran yang disebabkan diabetes mellitus
Diabetes dikaitkan dengan sudden neurologic hearing loss SNHL. Menurut Vaughan 2006, kehilangan pendengaran ini bermula pada usia yang agak awal tetapi
populasi semakin meningkat sehingga pada umur 60 tahun, ini sudah susah dibedakan. Studi patologi oleh Fukushima 2004, mengatakan kehilangan pendengaran ini terjadi
akibat dari mikroangiopati pada saluran darah pada telinga dalam dan atropi stria vaskular serta kehilangan sel rambut Hain, 2010. Perubahan patologi yang berlaku
akibat diabetes dapat merusak vaskular atau sistem neural pada telinga dalam sehingga menyebabkan gangguan pendengaran.
Studi oleh Makishima K dan Jorgensen MB menunjukkan adanya perubahan patologi tersebut terjadi yaitu sklerosis di arteri auditorik internal, penebalan kapiler stria
vaskuler, atropi ganglion spiral, dan dimyelinisasi pada saraf kranial delapan. Penemuan- penemuan ini dijumpai saat autopsi pasien-pasien diabetes. Namun sampai saat ini,
patofisiologi pasti tentang kejadian gangguan pendengaran pada pasien diabetes masih diperdebatkan Fauci, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP dan DEFINISI OPERASIONAL