21
3.2 Pembahasan
Observasi di lapangan menunjukkan munculnya warna kuning dengan frekuensi yang tinggi terdapat di tambak dengan kisaran salinitas hingga 7 ppt
kemudian menurun pada salinitas yang lebih tinggi. Berdasarkan literatur, pada G. corticata yang berasal dari area intertidal pada periode air surut, terlihat bahwa
pada keadaan salinitas jauh di bawah dan di atas nilai normal, konsentrasi klorofil berkurang hampir setengah dari nilai awalnya. Protein phycobily yang terdiri atas
phycoerithrin, allophycocyanin dan phycocyanin menunjukkan respon yang bervariasi pada salinitas yang berbeda. Derajat peningkatan protein phycobily
pada perlakuan salinitas rendah lebih kecil dibandingkan pada salinitas tinggi
Kumar et al. 2010. Sementara menurut Yu et al 2008, warna rumput laut
berubah seiring perubahan phycoerithrin. Ketika endapan nitrogen dalam rumput laut tidak cukup, kandungan phycoerithrin juga menurun, rumput laut berubah
dari merah gelap ke kuning terang dan pertumbuhannya berhenti. Perubahan menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut
yang diduga sebagai hasil metabolisme phycoerithrin. Ketika konsentrasi nitrogen terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit nitrogen dalam G.
lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi dan biokimia yang akan menghambat pertumbuhan dan juga akan membatasi perkembangan
kandungan warna. Hal tersebut menjelaskan munculnya warna kuning pada Gracilaria yang mana tidak memiliki kandungan zat warna kuning.
Warna yang terdapat pada Gracilaria yang diobservasi adalah warna hijau hijau tua dan hijau muda dan warna kuning. Di mana data observasi
menunjukkan bahwa selain salinitas, persentase nitrat di air juga mempengaruhi warna yang muncul pada Gracilaria. Hal tersebut didukung dengan adanya
pernyataan bahwa selama periode sembilan minggu pemeliharaan G. chilensis, bagian talus yang terpapar sinar matahari langsung menjadi berwarna kuning
jerami, sementara bagian yang terlindung berwarna hijau kecoklatan. Warna kuning menunjukkan bleaching pada Gracilaria yang mengindikasikan bahwa
cadangan phycoerithrin bagian dari penyimpanan N telah habis Pickering et al. 1995. Diketahui bahwa G. tikvahine tipe liar berwarna merah, sedangkan tipe
mutan berwarna hijau. Ramus dan van der Meer 1983 melakukan percobaan
22 membatasi pertumbuhan kloning talus G. tikvahine tipe liar dan mutan dengan
ditumbuhkan pada radiasi jenuh dan penyinaran dengan sinar putih dan hijau. Perubahan konsentrasi phycoerythrin pada kedalaman yang berbeda adalah
adaptasi terhadap radiasi rendah, bukan terhadap komposisi warna sinar, maka dapat dikatakan bahwa adaptasi kromatik pada alga merah adalah hasil dari
adaptasi fisiologi terhadap radiasi rendah. Maka dapat dikatakan bahwa fenotipe warna hijau baik hijau tua maupun hijau muda pada rumput laut muncul bukan
sebagai efek kehilangan zat warna merah, melainkan merupakan warna dasar rumput laut tersebut. Kandungan phycoerythrin pada mutan tidak memunculkan
warna merah diduga karena rendahnya persentasenya. Hal ini dijelaskan dengan pernyataan Ramus 1983 bahwa radiasi rendah cenderung memperkaya
phycoerythrin dibanding klorofil a, baik pada tipe liar maupun mutan, sementara rasio phycosianin dibanding klorofil a cenderung stabil. Rumput laut yang
diobservasi berasal dari tambak dengan kedalaman ± 1 m litoral, hal ini menjelaskan tingginya radiasi dibandingkan tipe liar yang berada pada area
sublitoral yang lebih terlindung. Figueroa et al. 2010 menyatakan bahwa kandungan maksimum zat warna pada G. conferta menurun secara drastis setelah
ditransfer dari kondisi in-door ke out-door. Rendahnya hambatan akibat cahaya dan kecepatan pemulihan fotosintesis
pada lahan budidaya dapat dijelaskan dengan perlindungan yang diberikan oleh kondisi kelimpahan nitrogen. Rumput laut dapat beradaptasi terhadap kondisi
cahaya yang bervariasi dengan mengubah perlengkapan fotosintesisnya untuk optimalisasi penyerapan cahaya dan memperkecil kerusakan sistem dengan
mekanisme yang berbeda. Kelebihan nitrogen pada rumput laut diakumulasi dalam protein phycobily dan menghasilkan efek positif bagi fotosintesis.
Terbentuknya mycosporine-sejenis asam amino seiring peningkatan radiasi terlihat ketika rumput laut ditransfer dari lingkungan subtidal ke uppertidal dan
dari meningkatnya kandungan mycosporine pada musim panas dibandingkan musim dingin. Keterbatasan nutrien berasosiasi dengan peningkatan kerentanan
hambatan cahaya pada rumput laut akibat radiasi ultraviolet. Darley 1982 menyatakan bahwa laju fotosintesis pada rumput laut yang telah beradaptasi pada
keadaan terlindung lebih tinggi dibandingkan dengan rumput laut yang telah
23 beradaptasi terkena sinar matahari langsung pada semua intensitas cahaya yang
dicobakan. Induksi cahaya yang mengakibatkan pergerakan kloroplas belum terlihat pada alga merah.
Yu dan Feng 2008 menyatakan bahwa konsumsi oksigen meningkat hingga 41 pada konsentrasi nitrogenfosfat yang tinggi. Semakin rendah DO,
maka persentase warna hijau tua akan menurun yang diikuti dengan meningkatnya persentase warna kuning. Di mana telah disebutkan sebelumnya bahwa perubahan
menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut. Walaupun peningkatan konsumsi oksigen dapat menurunkan dissolved oxygen
DO pada tambak budidaya Gracilaria, hal ini dapat diimbangi dengan oksigen yang dihasilkan pada saat fotosintesis. Dapat dikatakan demikian karena data
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nitrat meningkatkan persentase warna hijau muda pada rumput laut.
Selain salinitas dan nitrat, konduktivitas dan Total Dissolved Solid TDS juga mempengaruhi peningkatan warna hijau muda pada Gracilaria. Air laut
memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia, yang juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Konduktivitas
adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, sehingga konduktivitas kerap kali disamakan dengan daya hantar listrik. Nilai
DHL berhubungan erat dengan nilai TDS yang ditunjukkan dalam persamaan DHL= K X TDS; K adalah konstanta untuk jenis air tertentu. Kisaran nilai TDS
3.002-10.000 mgL memiliki tingkat salinitas sedang payau, nilai TDS 10.001- 100.000 mgL tergolong pada tingkat salinitas asin Effendi 2003. Nilai TDS
pada lokasi sampling berkisar dari 6-13 gL, maka dapat dikatakan bahwa daerah sampling memiliki tingkat salinitas sedang hingga asin.
Salinitas pada masing-masing titik sampling berbeda-beda sebagai akibat perbedaan pemasukan air ke dalam tambak. Perbedaan nilai salinitas di setiap
tambak karena adanya percampuran antara air laut dan air tawar dari sungai di saluran dan perbedaan bentuk masing-masing petakan tambak yang
mengakibatkan perbedaan aliran air di dalam tambak yang mempengaruhi percampuran air di dalam tambak. Tambak 1 dan 2 T1 dan T2 memiliki kisaran
24 salinitas 4-5,8 ppt sementara tambak 3 dan 4 T3 dan T4 memiliki kisaran
salinitas 6,5-11,8 ppt. Secara keseluruhan ukuran talus lebih tebal dengan meningkatnya salinitas
pada zona dengan salinitas 6,5-11,8 ppt dan ukuran talus cenderung lebih tipis dengan meningkatnya salinitas pada zona 4-5,8 ppt. Hal ini diduga karena zona
dengan salinitas 6,5-11,8 ppt mengalami fluktuasi lebih besar dibandingkan zona dengan salinitas 4-5,8 ppt. Dapat dikatakan demikian karena rumput laut yang
hidup pada area lebih berfluktuasi akan memiliki talus yang lebih tebal sebagai respon adaptasi. Hal ini didukung dengan pernyataan Darley 1982 rumput laut
pada area subtidal pada umumnya bertahan pada paparan singkat salinitas 15-45 ppt sedangkan yang hidup di area intertidal dapat bertahan pada salinitas 3-100
ppt. Talus yang lebih tebal kehilangan air lebih lambat dibandingkan talus yang tipis. Novia 2011 menyatakan bahwa semakin tinggi salinitas, talus yang
dihasilkan semakin tebal. Salinitas menunjukkan pola hubungan negatif terhadap jumlah talus tersier dan indeks percabangan IP. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Pickering 1995 yang menyatakan bahwa Gracilaria dengan diameter talus yang lebih tebal akan memiliki IP yang lebih rendah.
Kadar nitrat menunjukkan korelasi yang positif dengan panjang talus sekunder. Peningkatan persentase nitrat hingga persentase tertentu di tambak akan
meningkatkan panjang talus sekunder yang kemudian akan menurun hingga titik tertentu yang akan meningkat lagi setelah Gracilaria mampu beradaptasi terhadap
persentase nitrat, dan demikian seterusnya. Seperti yang disebutkan, Darley 1982 juga menyatakan bahwa terbatasnya nitrogen menghasilkan laju
pertumbuhan yang lebih rendah. Perubahan laju fotosintesis pada spesies rumput laut lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan dibandingkan perubahan dasar pada
kapasitas fotosintesis spesies tersebut. Yu 2008 juga menyatakan ketika konsentrasi nitrogen terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit
nitrogen dalam G. lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi dan biokimia yang akan menghambat pertumbuhan.
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Namun, ammonium lebih
disukai oleh tumbuhan. Kadar nitrat di perairan tidak tercemar biasanya lebih
25 tinggi daripada kadar ammonium. Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih
lambat daripada bakteri heterotrof. Apabila pada perairan banyak terdapat bahan organik maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri
nitrifikasi. Kadar nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mgL. Kadar nitrat lebih dari 5 mgL menggambarkan terjadinya pencemaran
antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 0,2 mgL dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi
perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat blooming. Air hujan memiliki kadar nitrat sekitar 0,2 mgL Effendi
2003. Kisaran kadar nitrat dari 12 titik sampling adalah 0,013 mgL sampai
dengan 0,424 mgL, di mana beberapa hari sebelumnya terjadi hujan. Petani rumput laut di daerah sampling tidak melakukan pemupukan harian, sehingga
diduga peningkatan kadar nitrat di luar kadar perairan alami merupakan pengaruh air hujan. Walaupun kadar nitrat untuk beberapa titik melebihi 0,2 mgL yang
mana dapat memicu eutrofikasi, hal ini masih merupakan keunttungan bagi rumput laut karena eutrofikasi dapat menstimulir pertumbuhan algae secara pesat.
Diduga tidak terjadi pencemaran antropogenik pada tambak karena kadar nitrat masih di bawah 5 mgL.
Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif antara salinitas dengan bobot Gracilaria, diameter talus, panjang talus utama, dan panjang talus sekunder,
yaitu korelasi terhadap panjang talus sekunder lebih erat dan signifikan dan membentuk pola hubungan kuadratik. Peningkatan salinitas hingga konsentrasi
tertentu di tambak akan meningkatkan panjang talus sekunder dan dapat mengurangi laju pertambahan panjang talus sekunder pada salinitas yang lebih
tinggi lagi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Kumar 2010 bahwa pertumbuhan Gracilaria corticata akan terganggu pada kadar salinitas hipo dan
hiper. Walaupun toleransi Gracila terhadap perubahan salinitas tergolong tinggi sehingga dapat hidup pada daerah pasang surut, Gracilaria memerlukan waktu
aklimatisasi. Hal ini sesuai dengan keadaan perubahan salinitas saat terjadinya pasang-surut. Air pada bagian ujung pantai yang berbatasan dengan lautan tidak
pernah diam pada suatu ketinggian yang tetap, tetapi selalu bergerak naik dan
26 turun sesuai dengan siklus pasang. Permukaan laut naik perlahan-lahan sampai
pada ketinggian maksimum, kemudian turun sampai pada ketinggian minimum Hutabarat dan Evans 2008.
Salinitas, konduktivitas dan TDS memiliki korelasi positif terhadap panjang talus sekunder, di mana konduktivitas memberikan pengaruh nyata
terhadap panjang talus sekunder. Perubahan salinitas selalu diikuti dengan perubahan konduktivitas di mana perubahan TDS berpengaruh terhadap
perubahan salinitas, terkait kandungan ion-ion dalam air. Konduktivitas dan TDS memberikan pengaruh nyata terhadap internode
talus sekunder, sementara kadar fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap internode talus tersier dan indeks percabangan IP. Fosfat juga berkorelasi positif
terhadap jumlah blade, di mana jumlah blade berkorelasi positif terhadap IP. Dapat dikatakan bahwa kadar fosfat memberikan pengaruh terhadap IP yang
secara fenotipe lebih mudah diketahui dengan melihat jumlah blade daripada mengukur internode talus. Kadar fosfat yang tinggi di tambak akan menyebabkan
Gracilaria terlihat rimbun, maka dapat dikatan kadar fosfat memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan Gracilaria karena berkorelasi positif terhadap
titik tumbuh. Effendi 2003 menyatakan bahwa di perairan, unsur fosfor dalam bentuk senyawa organik yang terlarut ortofosfat dan polifosfat. Fosfor
merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Kadar fosfat pada area sampling
tergolong tinggi, 0,2-0,5 mgL, di mana Effendi 2003 menyatakan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi memiliki kadar fosfat total 0,051-0,1 mgL.
Namun demikian, Effendi 2003 juga menyatakan bahwa pada saat perairan cukup mengandung fosfor, algae mengakumulasi fosfor di dalam sel melebihi
kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal dengan istilah luxury consumption. Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan pada saat perairan
mengalami defisiensi fosfor, sehingga algae masih dapat tumbuh selama beberapa waktu selama periode kekurangan fosfor.
Oksigen terlarut di air DO memberikan dampak positif terhadap panjang talus utama dan jumlah talus sekunder. Dapat dikatakan juga DO memberikan
dampak positif terhadap pertumbuhan Gracilaria. Seperti tersebut sebelumnya,
27 Gracilaria mengalami peningkatan laju konsumsi oksigen pada saat konsentrasi
nitrat dan fosfor di air meningkat. Pada 12 titik sampling, kiasaran DO adalah 6,61-10,82 mgL pada suhu 28-30
o
C, di mana menurut Effendi 2003 di perairan laut, kadar oksigen terlarut berkisar antara 11 mgL pada suhu 0
o
C dan 7 mgL pada suhu 25
o
C. Tingginya DO di tambak Gracilaria diduga karena aktivitas fotosintesis yang melepas oksigen ke air, selain itu menurut Effendi 2003 kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan
limbah yang masuk ke badan air. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah talus sekunder berpengaruh
nyata dan berkorelasi positif terhadap kadar air Gracilaria, di mana kadar air berkorelasi negatif terhadap viskositas dan kekuatan gel. Dapat dikatakan bahwa
jumlah talus sekunder memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kualitas Gracilaria karena menurut Utomo 2006, mutu rumput laut semakin tinggi
dengan semakin tingginya kekuatan gel dan viskositasnya. Persentase kekuatan gel menunjukkan kemampuan rumput laut untuk membentuk gel, sedangkan
viskositas menunjukkan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Menurut Darley 1982 Mucilaginous hydrocolloid algin, fukoidan, agar, karagenan tidak
menghambat kehilangan air secara signifikan tetapi ada kemungkinan terkait kemampuan toleransi rumput laut pada kondisi kering.
28
IV. KESIMPULAN DAN SARAN