TEORI IKATAN DALAM KOMPLEKS
Teori mengenai ikatan dalam senyawa kompleks mulai berkembang sekitar tahun 1930. Sampai dengan saat ini ada 3 teori yang cukup menonjol :
Teori Ikatan Valensi TIV
Teori ini menyatakan bahwa dalam senyawa terbentuk ikatan kovalen koordinasi antara ligan dengan atom, dimana pasangan elektron bebas
disumbangkan oleh ligan dan logam menyediakan orbital kosong untuk ditempati oleh PEB yang disumbangkan oleh ligan
Teori Medan Kristal
Menurut teori ini, ikatan antara logam dan ligan dalam senyawa kompleks murni merupakan interaksi elektrostatik.
Teori Orbital Molekul
Dalam teori orbital molekul, interaksi antara ligan dengan logam pusat dapat berupa interaksi ionik maupun pembentukan ikatan kovalen,
dengan menggunakan pendekatan mekanika gelombang
a. Teori Ikatan Valensi Valence Bond Theory
Teori ini dikemukakan oleh Linus Pauling sekitar tahun 1931. Teori ini menyatakan bahwa ikatan antara ligan dengan logam merupakan ikatan kovalen
koordinasi, dengan pasangan elektron bebas yang disumbangkan oleh ligan. Logam pusat menyediakan orbital-orbital kosong yang telah mengalami hibridisasi untuk
ditempati oleh PEB dari ligan. Jenis hibridisasi orbital menentukan bentuk geometris senyawa kompleks yang terbentuk. Pembentukan ikatan dalam senyawa kompleks
juga dapat ditinjau sebagai reaksi Asam-Basa Lewis, dimana ligan merupakan Basa Lewis yang memberikan PEB.
Hibridisasi Geometris
Contoh
sp
2
Trigonal planar [HgI
3
]
-
sp
3
Tetrahedral [ZnNH
3 4
]
2+
d
2
sp
3
Oktahedral [FeCN
6
]
3-
dsp
2
Bujur sangkar segi empat planar [NiCN
4
]
2-
dsp
3
Bipiramida trigonal [FeCO
5
]
2+
sp
3
d
2
Oktahedral [FeF
6
]
3-
Pembentukan ikatan melibatkan beberapa tahapan, meliputi promosi elektron; pembentukan orbital hibrida; dan pembentukan ikatan antara logam
Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks 14
dengan ligan melalui overlap antara orbital hibrida logam yang kosong dengan orbital ligan yang berisi pasangan elektron bebas.
Pada hibridisasi yang melibatkan orbital d, ada dua macam kemungkinan hibridisasi. Jika dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d
yang berada di luar kulit dari orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar, atau outer
orbital complex. Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah orbital d di dalam kulit orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks
tersebut dinamakan kompleks orbital dalam atau inner orbital complex. Umumnya kompleks orbital dalam lebih stabil dibandingkan kompleks orbital
luar, karena energi yang dilibatkan dalam pembentukan kompleks orbital dalam lebih kecil dibandingkan energi yang terlibat dalam pembentukan
kompleks orbital luar. Untuk menghibridisasi orbital d yang berada di dalam orbital s dan p diperlukan energi yang lebih kecil, karena tingkat energinya
tidak terlalu jauh. Contoh :
[NiCO
4
]; memiliki struktur geometris tetrahedral Ni
28
: [Ar] 3d
8
4s
2
: [Ar]
3d
8
4s
2
4p
Elektron pada orbital 4s mengalami promosi ke orbital 3d, sehingga orbital 4s kosong dan dapat mengalami hibridisasi dengan orbital 4p membentuk orbital
hibrida sp
3
.
Ni
28
: [Ar]
3d
8
4s 4p
Orbital hibrida sp
3
yang telah terbentuk kemudian digunakan untuk berikatan dengan 4 ligan CO yang masing-masing menyumbangkan pasangan elektron
bebas
[NiCO
4
] : [Ar]
Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks 15
hibridisasi sp3
hibridisasi d
2
sp
3
3d
10
sp
3
Karena semua elektron berpasangan, maka senyawa bersifat diamagnetik
[FeCN
6
]
3-
; memiliki bentuk geometris oktahedral Fe
26
: [Ar] 3d
6
4s
2
Fe
3+
: [Ar] 3d
5
4s
: [ Ar]
3d
5
4s
1
4p
Dua buah elektron pada orbital d yang semula tidak berpasangan dipasangkan dengan elektron lain yang ada pada orbital d tersebut, sehingga 2 orbital d yang
semula ditempati oleh kedua elektron tersebut kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibridal d
2
sp
3
Fe
3+
: [Ar]
Karena orbital d yang digunakan dalam hibridisasi ini berasal dari orbital d yang berada disebelah dalam orbital s dan p, maka kompleks dengan orbital hibrida
semacam ini disebut sebagai kompleks orbital dalam inner orbital complex
[FeCN
6
]
3-
: [Ar]
3d
6
d
2
sp
3
Orbital hibrida d
2
sp
3
yang terbentuk diisi oleh pasangan elektron bebas dari ligan CN
-
Dalam kompleks terdapat satu elektron yang tidak berpasangan, sehingga kompleks bersifat paramagnetik.
[NiCN
4
]
2-
, memiliki bentuk geometris segiempat planar Ni
28
: [Ar] 3d
8
4s
2
: [Ar]
3d
8
4s
2
4p
Ni
2+
: [Ar]
Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks 16
membentuk orbital hibrida dsp
3
Salah satu elektron pada orbital d yang tidak berpasangan dipasangkan dengan
elektron lain, sehingga salah satu orbital d kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibrida dsp3
[NiCN
4
]
2-
: [Ar]
3d
8
dsp
3
Semua elektron dalam kompleks ini berpasangan sehingga kompleks bersifat
diamagnetik
Sebagian besar kompleks lebih memilih konfigurasi kompleks orbital dalam, karena energi yang diperlukan saat hibridisasi untuk melibatkan
orbital d sebelah dalam lebih kecil dibandingkan energi yang diperlukan untuk melibatkan orbital d sebelah luar. Meskipun demikian,
jika dilihat dari pengukuran momen magnetnya, beberapa kompleks ternyata berada dalam bentuk kompleks orbital luar.
Contoh :
Ion [FeF
6
]
3-
, memiliki bentuk geometris oktahedral. Jika diasumsikan kompleks ini merupakan kompleks orbital dalam
dengan hanya satu elektron yang tidak berpasangan, maka seharusnya momen magnet senyawa adalah sebesar 1,73 BM.
Menurut hasil pengukuran, momen magnet ion [FeF
6
]
3-
adalah sebesar 6,0 BM, yang akan sesuai jika terdapat lima elektron tidak
berpasangan. Berarti ion Fe
3+
dalam kompleks mengalami hibridisasi sp
3
d
2
dengan melibatkan orbital d sebelah luar, dan disebut sebagai kompleks orbital luar outer orbital complex.
Fe
26
: [Ar] 3d
6
4s
2
Fe
3+
: [Ar] 3d
5
4s : [Ar]
3d
5
4s
1
4p 4d
Elektronetralitas dan Backbonding
Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks 17
membentuk orbital hibrida sp
3
d
2
Dalam TIV, reaksi pembentukan kompleks merupakan reaksi Asam Basa Lewis. Atom logam sebagai asam Lewis mendapatkan elektron dari ligan
yang bertindak sebagai basa Lewis, sehingga mendapatkan tambahan muatan negatif. Dengan demikian densitas elektron pada atom logam akan
menjadi semakin besar sehingga kompleks menjadi semakin tidak stabil. Pada kenyataannya senyawa kompleks merupakan senyawa yang stabil,
sehingga diasumsikan walaupun mendapatkan tambahan muatan negatif dari PEB yang didonorkan oleh ligan, atom pusat memiliki muatan yang mendekati
nol atau hampir netral. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menerangkan hal ini :
1 Elektronetralitas Ligan donor umumnya merupakan atom dengan
elektronegativitas yang tinggi, sehingga atom ligan tidak memberikan keseluruhan muatan negatifnya, sehingga elektron
ikatan tidak terdistribusi secara merata antara logam dengan ligan
2 Backbonding Pada atom logam dengan tingkat oksidasi yang rendah,
kerapatan elektron diturunkan melalui pembentukan ikatan balik backbonding atau resonansi ikatan partial. Ionpusat memberikan
kembali pasangan elektron kepada ligan melalui pembentukan ikatan phi π.
Teori Ikatan Valensi cukup mudah untuk dipahami, dapat meramalkan bentuk geometris dari sebagian besar kompleks, dan berkesesuaian dengan
sifat kemagnetan dari sebagian besar kompleks. Meskipun demikian, ada beberapa kelemahan dari Teori Ikatan Valensi ini.
Sebagian besar senyawa kompleks merupakan senyawa berwarna, TIV tidak dapat menjelaskan warna dan spektra elektronik dari senyawa kompleks.
Selain itu, meskipun berkesesuaian dengan sifat kemagnetan senyawa, TIV tidak dapat menjelaskan mengapa kemagnetan senyawa dapat berubah
dengan kenaikan suhu. Teori Ikatan Valensi tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan mengapa sejumlah kompleks berada dalam
Bab III Teori Ikatan Dalam Kompleks 18
bentuk kompleks orbital luar. Kelemahan-kelemahan dari TIV ini dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh Teori Medan Kristal Crystal Field Theory.