3.7 Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputerisasi.
3.7.2 Analisis Data
a. Data dianalisis kemudian dihitung rata-rata dan standar deviasi nilai FMA,
FMIA, dan IMPA.
b. Dihitung rata-rata dan standar deviasi nilai FMA, FMIA, dan IMPA berdasarkan jenis kelamin kemudian lakukan uji t-independen.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian berjumlah 40 orang yang terdiri dari 23 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Sampel merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi USU
ras Proto Melayu yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan metode purposive sampling.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada sefalogram lateral, maka diperoleh hasil rerata dan standar deviasi sudut FMA, FMIA, dan IMPA segitiga
Tweed pada tabel 1.
Tabel 1. Rerata Nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada Mahasiswa FKG USU Suku Batak
Pengukuran Rerata
Standar Deviasi
Batas Bawah Batas Atas
Sudut FMA 26,69
4,94 16,0
38,0 Sudut FMIA
56,54 5,35
46,5 67,0
Sudut IMPA 96,84
5,72 81,0
110,0
Dari tabel di atas terlihat bahwa rerata sudut FMA yaitu 26,69° ± 4,94° dengan batas bawah adalah 16° dan batas atas adalah 38°, rerata sudut FMIA
yaitu 56,54° ± 5,35° dengan batas bawah 46,5° dan batas atas 67°, dan rerata sudut IMPA yaitu 96,84° ± 5,72° dengan batas bawah 81° dan batas atas 110°.
Sebelum dilakukan uji t-independen terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai ketiga sudut FMA, FMIA, dan IMPA
memiliki distribusi data yang normal p 0,05 sehingga dapat dilanjutkan dengan uji t-independen.
Tabel 2. Rerata Nilai FMA, FMIA, dan IMPA Mahasiswa FKG USU Suku Batak Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Uji t-Independen
Pengukuran Rerata
Standar deviasi Uji t
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Sudut FMA 27,17
26,03 4,83
5,17 0,48
Sudut FMIA 57,04
56,38 5,17
5,61 0,70
Sudut IMPA 95,46
97,65 6,04
4,11 0,20
Perbedaan bermakna p 0,05
Dari tabel 2 dapat dilihat rerata sudut FMA pada laki-laki yaitu 27,17° ± 4,83° dan perempuan yaitu 26,03° ± 5,17°. Rerata sudut FMIA pada laki-laki
yaitu 57,04° ± 5,17° dan perempuan yaitu 56,38° ± 5,61°. Rerata sudut IMPA pada laki-laki yaitu 95,46° ± 6,04° dan perempuan yaitu 97,65° ± 4,11°. Hasil pengukuran
rerata dan standar deviasi pada tabel di atas dengan uji t-independen diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada sudut FMA,
sudut FMIA, dan sudut IMPA p 0,05. Persentase rerata nilai FMA berdasarkan prognosisnya dapat dilihat pada tabel
3 berikut.
Tabel 3. Persentase Rerata Nilai FMA Mahasiswa FKG USU Suku Batak Menurut Analisa Tweed Berdasarkan Prognosisnya
Rerata Sudut FMA Prognosis
Persentase 16-28
Baik 62,5
28-35 Sedang
35 35
Buruk 2,5
Pada tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa persentase rerata nilai FMA dengan prognosis baik adalah 62,5 dari jumlah sampel, persentase rerata nilai FMA dengan
prognosis sedang adalah 35 dari jumlah sampel, dan persentase nilai FMA dengan prognosis buruk adalah 2,5 dari jumlah sampel.
BAB 5 PEMBAHASAN
Analisis struktur kraniofasial dengan radiografi sefalometri telah digunakan untuk memprediksi pola pertumbuhan dan juga untuk diagnosis dan rencana
perawatan di bidang ortodonti. Pengetahuan tentang struktur normal kraniofasial subjek dari berbagai etnis dan kelompok umur sangat penting untuk tujuan klinis dan
penelitian. Dengan mengetahui karakteristik kraniofasial dan nilai normalnya, maka rencana perawatan dapat ditentukan untuk mengembalikan estetika wajah seseorang.
Selain itu, perbedaan populasi dari segi karakter, ukuran, pertumbuhan, dan bentuk berakibat pada hasil pengukuran yang berbeda-beda dan hal tersebut memotivasi
peneliti untuk meneliti tentang nilai normal sefalometri dari suku Batak khususnya menurut analisa Tweed.
25
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak. Nilai sudut-sudut tersebut dapat digunakan
sebagai penunjang dalam menegakkan diagnosis dan rencana perawatan pada suku Batak yang berperan penting dalam keberhasilan perawatan ortodonti. Penelitian ini
juga bertujuan untuk melihat perbedaan rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU antara laki-laki dan perempuan suku Batak.
Data yang telah diperoleh dari hasil pengukuran pada tracing paper diolah dengan menggunakan komputerisasi. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk
mengetahui rerata sudut-sudut segitiga Tweed. Setelah itu dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal apa
tidak. Dari hasil uji tersebut diperoleh bahwa nilai signifikansi FMA, FMIA, dan IMPA berturut-turut adalah 0,28, 0,20, dan 0,15 dimana data tersebut terdistribusi
normal p 0,05 sehingga dapat dilanjutkan dengan uji analitik untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan suku Batak.
Tabel 1 menunjukkan rerata sudut FMA pada mahasiswa FKG USU suku Batak sebesar 26,69° ± 4,94° dengan batas bawah 16° dan batas atas 38°. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Khursheed Alam dkk., yang mendapatkan nilai rata-rata FMA pada etnis Bangladesh sebesar 26,69° ± 2,7°. Hasil ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Tukasan dkk., dimana rerata nilai FMA pada etnis Brasil adalah 25,12° ± 2,74°. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Bhattarai dan Shrestha
yang memperoleh rerata nilai FMA pada orang Nepal sebesar 28° ± 5,9°. Rerata nilai FMA yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
yang ditetapkan Tweed pada ras Kaukasoid yaitu 25°. Hal ini disebabkan karena orang Batak mempunyai pola pertumbuhan mandibula yang cenderung lebih vertikal
daripada ras Kaukasoid sehingga didapatkan sudut yang lebih besar daripada ras Kaukasoid.
8,22,25
Pada tabel 1 juga dapat dilihat rerata sudut FMIA suku Batak yaitu 56,54° ± 5,35° dimana nilai ini sesuai dengan penelitian Bhattarai dan Shrestha
yang mendapatkan rerata nilai FMIA pada populasi Nepal sebesar 57° ± 6,8°. Hasil ini juga didukung oleh Nahidh dkk., yang mendapatkan rerata nilai FMIA pada orang
dewasa Irak sebesar 58,73° ± 6,48°. Rerata nilai FMIA yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan Tweed
yaitu 65°. Hal ini menunjukkan bahwa inklinasi gigi insisivus bawah suku Batak cenderung lebih proklinasi daripada ras Kaukasoid.
8,26
Selain itu tabel 1 juga dapat dilihat rerata sudut IMPA pada suku Batak yaitu 96,84° ± 5,72° dengan batas bawah 81° dan batas atas 110°. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Nahidh dkk yang mendapatkan rerata sudut IMPA sebesar 97,17° ± 6,12°. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Bhattarai dan Shrestha
pada populasi Nepal dimana didapatkan rerata nilai IMPA sebesar 95°. Rerata penelitian ini lebih tinggi daripada nilai yang ditetapkan Tweed untuk
sudut IMPA 90°. Hal ini disebabkan oleh karena lebih protrusifnya gigi insisivus bawah suku Batak sehingga didapatkan nilai yang lebih besar daripada ras
Kaukasoid.
8,26
Pada tabel 2 dapat dilihat rerata sudut FMA antara laki-laki dan perempuan suku Batak, dimana tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan
perempuan p 0,05. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bhattarai dan Shrestha pada etnis Nepal dimana tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan p 0,05 dengan rerata sudut FMA sama
pada laki-laki maupun perempuan yakni sebesar 28°. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kuramae dkk., di Brasil, yang menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan kulit hitam Brasil dimana rerata sudut FMA pada laki-laki sebesar 30,875° ± 8,815° dan rerata sudut FMA
pada perempuan sebesar 27,375° ± 5,084°. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nahidh dkk., dijumpai tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan
perempuan Irak dimana rerata sudut FMA pada laki-laki yaitu 24,56° dan pada perempuan yaitu 23,74°.
8,26,27
Dari tabel 2 dapat dilihat rerata sudut FMIA antara laki-laki dan perempuan suku Batak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan p 0,05 dimana rerata sudut FMIA pada laki-laki dan perempuan berturut-turut adalah 57,04° ± 5,17° dan 56,38° ± 5,61°.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Tukasan dkk., pada sampel Brasil dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara laki-laki 62,95° dan perempuan 62,91°.
Hasil ini juga didukung oleh penelitian Kuramae dkk., yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana rerata sudut
FMIA pada laki-laki yaitu 48,87° ± 8,66° dan pada perempuan yaitu 52,93° ± 7,58°. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Bhattarai dan Shrestha pada etnis
Nepal dimana dijumpai tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki 56°dan perempuan 58°.
8,22,27
Pada tabel 2 juga dapat dilihat rerata sudut IMPA antara laki-laki dan perempuan suku Batak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan p 0,05 dimana rerata
sudut IMPA
pada laki-laki
dan perempuan
berturut-turut adalah 95,46° ± 6,04° dan 97,65° ± 4,11°. Hasil ini didukung oleh penelitian Tukasan
dkk., dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan Brasil dengan rerata sudut IMPA pada laki-laki yaitu 91,48° dan pada
perempuan yaitu 92,41°. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Nahidh dkk., yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan Irak, dimana rerata sudut IMPA pada laki-laki dan perempuan masing-
masing adalah 97,09° ± 5,69° dan 97,24° ± 6,12°. Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kuramae dkk., di Brasil yang menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana rerata sudut IMPA pada laki-laki yaitu 100,25° ± 4,53° dan pada perempuan yaitu 99,50° ± 4,41°.
22,26,27
Berdasarkan pada hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa suku Batak cenderung mempunyai insisivus bawah
yang lebih proklinasi dibandingkan dengan ras Kaukasoid. Hal ini ditandai dengan rerata sudut IMPA yang lebih besar pada ras Proto Melayu 97,09° berbanding 90°.
Selain itu, rerata sudut FMA dan FMIA lebih besar pada laki-laki dan rerata sudut IMPA lebih besar pada perempuan. Ini berarti perempuan suku Batak mempunyai
inklinasi insisivus bawah yang lebih proklinasi dibandingkan dengan laki-laki. Namun demikian, perbedaan ini tidak signifikan yang berarti bahwa nilai-nilai
segitiga Tweed ini tidak dipengaruhi oleh parameter jenis kelamin.
8,22,25,26
Pada saat ini, nilai normal untuk ras Kaukasoid masih sering digunakan dalam perawatan ortodonti. Padahal nilai normal ini sering tidak sesuai untuk ras-ras
lainnya. Ketidaksesuaian nilai normal ini dapat menjadi kendala ortodontis dalam menentukan diagnosis dan rencana perawatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian mengenai analisis sefalometri pada setiap etnik yang ada agar dapat diperoleh nilai normal pada masing-masing etnik sehingga diagnosis dan perencanaan
perawatan akan lebih baik.
10
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan