Nilai Sefalometri Mahasiswa Fkg Usu Suku Batak Menurut Analisa Tweed

(1)

NILAI SEFALOMETRI MAHASISWA FKG USU

SUKU BATAK MENURUT ANALISA TWEED

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ILWANDY KOSASIH

NIM : 100600073

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2015

Ilwandy Kosasih

Nilai Sefalometri Mahasiswa FKG USU Suku Batak Menurut Analisa Tweed x + 32 halaman

Radiografi sefalometri saat ini memegang peranan penting pada penegakan diagnosis dan rencana perawatan dalam bidang ortodonti. Salah satu analisis sefalometri adalah analisa jaringan keras Tweed, yang terdiri dari sudut Frankfurt

Mandibular Angle (FMA), Frankfurt Mandibular Incisor Angle (FMIA), dan Incisor

Mandibular Plane Angle (IMPA). Tweed mengembangkan suatu analisis untuk

membantu dalam perencanaan perawatan, preparasi penjangkaran, dan menentukan prognosis dari suatu kasus ortodontik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai normal segitiga Tweed pada mahasiswa FKG USU suku Batak dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nilai normal antara laki-laki dan perempuan.

Penelitian ini termasuk deskriptif dilakukan pada 40 mahasiswa FKG USU yang terdiri dari 23 laki-laki dan 17 perempuan yang telah memenuhi kriteria inklusi. Sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu dilakukan tracing pada foto sefalometri lateral yang telah diperoleh. Masing-masing sefalogram kemudian diukur dan diperoleh hasil pengukuran sudut-sudut segitiga Tweed. Hasil pengukuran tersebut kemudian diolah dengan menggunakan komputerisasi.

Pada hasil penelitian ini diperoleh bahwa nilai rata-rata sudut FMA, FMIA, dan IMPA berturut-turut adalah 26,69° ± 4,94°, 56,53° ± 5,35°, dan 96,84° ± 5,72°. Hasil uji t analitik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan pada sudut FMA, FMIA, dan IMPA.


(3)

NILAI SEFALOMETRI MAHASISWA FKG USU

SUKU BATAK MENURUT ANALISA TWEED

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ILWANDY KOSASIH

NIM : 100600073

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 10 Maret 2015 Pembimbing : Tanda tangan

Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort

NIP : 19771116 200212 2 002 ………....


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 10 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Erna Sulistyawati, drg, Sp.Ort (K)

ANGGOTA : 1. Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort

2. Erna Sulistyawati, drg, Sp.Ort (K) 3. Mimi Marina Lubis,drg


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Nilai Sefalometri Mahasiswa FKG USU Suku Batak menurut Analisa Tweed” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Ko Su Eng dan Ibunda The Gek Kiaw atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta bantuan baik berupa moral ataupun materi kepada penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada saudari - saudari penulis yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan bantuan dari pelbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort(K)., sebagai Ketua Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis.

3. Siti Bahirrah,drg., Sp.Ort., sebagai pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, pikiran, dan motivasi untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Mimi Marina Lubis, drg., Sp.Ort., sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ortodonsia Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan motivasinya.


(7)

6. Zulfi Amalia B, drg., sebagai dosen pembimbing akademik atas motivasi dan bantuannya kepada penulis selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

7. Sahabat-sahabat penulis, Yosua, Faber, Arun, Megawaty, Evi, Fandra, Dedi, Malfi, Steffi, Vincent Tannius, Vincent Tanoto, Nicolas, Andy, Shelvia, Edward, Budi, Selly, dan Robin yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

8. Teman – teman seperjuangan skripsi di Departemen Ortodonsia, Cynthia, Dea, Ester, Mega, Henny, Dency, Melisa, Fajri, Fathiyah, dan lainnya atas bantuan dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi ini, serta senior dan junior lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan selama pengerjaan skripsi.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya di Departemen Ortodonsia.

Medan, 16 Maret 2015 Penulis,

( Ilwandy Kosasih) NIM: 1000600073


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sefalometri ... 4

2.2 Teknik Tracing ... 4

2.3 Titik-titik (landmarks) pada Jaringan Keras ... 6

2.4 Analisis Tweed ... 7

2.5 Suku Batak ... 12

2.6 Kerangka Teori ... 13

2.7 Kerangka Konsep ... 14

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 15


(9)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 15

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 15

3.3.1 Populasi Penelitian... 15

3.3.2 Sampel Penelitian ... 15

3.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 16

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi ... 17

3.4 Variabel dan Definisi Operasional... 17

3.4.1 Variabel Penelitian... 17

3.4.2 Definisi Operasional ... 17

3.5 Alat dan Bahan ... 18

3.5.1 Alat... 18

3.5.2 Bahan... .... 18

3.6 Prosedur Kerja... 19

3.7 Pengolahan dan Analisis Data... 21

3.7.1 Pengolahan Data... 21

3.7.2 Analisis Data... 21

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 22

BAB 5 PEMBAHASAN ... .... 25

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 29

6.2 Saran ... . 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rerata Sudut FMA, FMIA, dan IMPA pada Mahasiswa FKG USU Suku

Batak... 22 2. Rerata Sudut FMA, FMIA, dan IMPA Mahasiswa FKG USU Suku Batak

berdasarkan Jenis Kelamin dengan Uji T-Independen... 23 3. Persentase Rerata Nilai FMA Mahasiswa FKG USU Suku Batak berdasarkan


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Titik-titik (Landmarks) Pada Jaringan Keras... 7

2. Segitiga Diagnostik Tweed... 9

3. Pasien Kelas I Maloklusi Dengan Prognosis Baik... 10

4. Pasien Maloklusi Kelas II Divisi 1 Dengan Prognosis Sedang... 11

5. Pasien Dengan Prognosis Buruk... 11

6. Alat Dan Bahan Penelitian... 19


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Hasil Pengukuran Rerata Sudut Segitiga Tweed Pada Mahasiwa FKG USU Ras Proto Melayu

2. Hasil Perhitungan Statistik Deskriptif Rerata Sudut FMA, FMIA, dan IMPA Pada Mahasiswa FKG USU Ras Proto Melayu

3. Hasil Uji T Independen 4. Hasil Uji Normalitas Data

5. Surat Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Saat ini radiografi sefalometri merupakan salah satu alat yang penting di bidang ortodonti untuk klinisi dan penelitian.1 Para klinisi menggunakan radiografi sefalometri tidak hanya untuk memprediksi pertumbuhan kraniofasial, akan tetapi untuk diagnosis, rencana perawatan, dan mengevaluasi kasus-kasus ortodontik yang meliputi skeletal dan dental.2-5 Selain itu, radiografi sefalometri dapat membantu dalam mengevaluasi keefektifan prosedur perawatan ortodontik dan perubahan pertumbuhan dentofasial setelah perawatan.6,7

Tweed mengembangkan suatu analisis untuk membantu dalam perencanaan perawatan, preparasi penjangkaran, dan menentukan prognosis dari suatu kasus ortodontik. Tweed menggunakan tiga garis atau bidang yang membentuk segitiga diagnostik yaitu bidang Frankfurt Horizontal, bidang mandibula, dan garis yang ditarik sepanjang gigi insisivus bawah. Sudut-sudut yang dibentuk antara lain

Frankfurt mandibular incisor angle (FMIA), Frankfurt mandibular angle (FMA),

dan Incisal mandibular plane angle (IMPA).8 Tweed mengemukakan nilai normal

FMA, FMIA, dan IMPA berturut-turut adalah 25°, 65°, dan 90°.9

Pada penelitian yang dilakukan oleh Bhattarai dan Shrestha pada etnis Nepal,

diperoleh bahwa nilai rata-rata FMA, FMIA, dan IMPA berturut-turut adalah 28°, 56°, dan 96°. Pada etnis Nepal tidak ada perbedaan yang signifikan antara

pria dan wanita.8 Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Hashim dan Al-Balkhi pada etnis Saudi. Pada penelitian tersebut diperoleh bahwa nilai FMA, FMIA, dan IMPA berturut-turut adalah 35,4°, 51,5°, dan 93,1°. Hasil penelitian yang dilakukan kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iwasawa dkk., pada studi di Jepang tahun 1977. Mereka menemukan bahwa nilai FMA lebih tinggi pada etnis Saudi dimana ini menunjukkan bahwa orang Saudi memiliki mandibula yang lebih vertikal dan retrusi. Sedangkan nilai FMIA dan IMPA


(14)

lebih tinggi pada etnis Jepang. Perbedaan ini menunjukkan bahwa setiap etnis mempunyai nilai normalnya sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisis sefalometri pada setiap etnik yang ada agar dapat diperoleh nilai normal pada masing-masing etnik sehingga diagnosis dan perencanaan perawatan akan lebih baik.10

Penelitian mengenai gambaran morfologi wajah pada ras Deutro Melayu

pernah dilakukan oleh Jessalyn dengan menggunakan segitiga Tweed. Pada penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata sudut FMA, FMIA, dan IMPA

berturut-turut adalah 28,09°, 56,29°, dan 95,62° Nilai FMA dan IMPA pada ras Deutro Melayu lebih tinggi daripada ras Kaukasoid sedangkan nilai FMIA lebih rendah daripada ras Kaukasoid. Hal ini disebabkan karena inklinasi insisivus bawah ras Deutro Melayu cenderung lebih proklinasi daripada ras Kaukasoid. Namun demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.11

Penduduk Indonesia terdiri dari kelompok Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu). Bangsa Melayu tua/ Proto Melayu merupakan ras mongoloid yang memiliki ciri-ciri antara lain kulit sawo matang, rambut lurus, badan tinggi ramping, bentuk mulut dan hidung sedang.12 Bangsa ini menyebar di Sulawesi Selatan (suku Toraja), Lombok (suku Sasak), Kalimantan Tengah (suku Dayak), Sumatera Barat (suku Nias), Sumatera Utara (suku Batak), dan Sumatra Selatan (suku Kubu).12,13 Suku Batak merupakan salah satu suku yang banyak dijumpai di wilayah Sumatera Utara. Oleh karena penelitian ini belum pernah dilakukan pada suku Batak, maka penulis tertarik melakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Berapakah rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak?

1.2.2 Berapakah rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak laki-laki dan perempuan?

1.2.3 Apakah ada perbedaan rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak antara laki-laki dan perempuan?


(15)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak.

1.3.2 Untuk mengetahui rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak pada laki-laki dan perempuan.

1.3.3 Untuk mengetahui perbedaan rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak antara laki-laki dan perempuan.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Untuk membantu dalam diagnosis dan penentuan rencana perawatan khususnya pada suku Batak.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sefalometri

Sefalometri radiografi dimulai sekitar awal tahun 1930 oleh Hofrath di Jerman dan Broadbent di Amerika Serikat untuk penelitian dan mempelajari maloklusi beserta disproporsi rahang.14,15 Radiografi sefalometri merupakan alat yang penting dalam bidang kedokteran gigi karena dapat mengukur perubahan posisi gigi maupun rahang yang disebabkan oleh pertumbuhan maupun perawatan.7

Menurut Salzmann, radiografi sefalometri dapat digunakan untuk:7

 Menunjukkan hubungan dimensional dari komponen kraniofasial yaitu basis kranial, maksila, mandibula, gigi, dan jaringan lunak.

 Memaparkan manifestasi dari pertumbuhan dan abnormalitas perkembangan skeletal dan dental.

 Membantu merencanakan perawatan dan mengevaluasi kemajuan perawatan.

 Membantu dalam mengevaluasi keefektifan dari prosedur perawatan ortodontik.

 Menunjukkan perubahan pertumbuhan dentofasial setelah perawatan selesai. Analisis sefalometri meliputi analisis skeletal, dental, dan jaringan lunak. Analisis sefalometri berguna untuk mengetahui pertumbuhan skeletal, diagnosis sefalometri, perencanaan perawatan, hasil perawatan, dan stabilitas hasil perawatan.15 Beberapa analisis yang digunakan dalam sefalometri yang melakukan pengukuran skeletal diantaranya analisis Tweed, Steiner, Downs, Ricketts, McNamara, dan sebagainya.6,8

2.2 Teknik Tracing

Sefalometri merupakan peralatan yang terdiri dari sefalostat untuk fiksasi kepala, sumber sinar X dan sebuah cassette holder. Sefalostat ada 2 tipe: 9,16


(17)

1. The Broadbent-Bolton method, metode ini mempunyai 2 sumber sinar dan dua buah pemegang film sehingga subjek tidak perlu berpindah-pindah diantara pemaparan lateral dan posteroanterior.

2. The Higley method, metode ini menggunakan sebuah sumber sinar X dan

sebuah pemegang film dimana sefalostat dapat berotasi sedemikian hingga metode ini dipakai pada kebanyakan sefalostat modern.

Jarak antara sumber sinar dengan kepala adalah 5 kaki (150 meter) untuk mengurangi pembesaran gambaran struktur kepala.17 Pada saat pengambilan foto rontgen, bidang Frankfurt harus sejajar dengan lantai dan gigi pasien dalam keadaan oklusi sentrik dimana bibir tidak dipaksakan untuk ditutup serta pandangan pasien lurus ke depan. Menurut Singh, jarak antara bidang midsagital dengan film harus dijaga konstan biasanya pada jarak 7 inci (18 cm). Selisih jarak ini mungkin berbeda pada tiap mesin, namun harus tetap sama pada setiap pasien.9

Untuk menganalisis sebuah sefalogram, perlu dilakukan tracing terlebih dahulu. Peralatan yang diperlukan dalam melakukan tracing diantaranya sebuah sefalogram lateral (8 x 10 inci), kertas kalkir atau asetat dengan ketebalan 0,003 inci serta pensil khusus 4H yang tajam. Tracing sebaiknya dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang tidak terlalu terang.15,17,18

Pengetahuan mengenai seluruh anatomi kepala sangat diperlukan dalam melakukan tracing. Perlu diketahui sefalogram dalam bentuk gambar dua dimensi menggambarkan objek 3 dimensi dimana ada struktur kraniofasial berupa titik unilateral dan bilateral. Pada hasil radiografi sefalometri terkadang struktur yang berupa titik bilateral akan saling membentuk bayangan. Untuk mendapatkan struktur yang benar maka titik yang terletak di pertengahan antara kedua titiklah dianggap sebagai posisi yang benar.17 Setelah diketahui dua titik, kemudian dua titik dihubungkan menjadi garis yang berpotongan membentuk sudut. Besar sudut dipelajari untuk menentukan apakah strutur anatomi tertentu, misalnya gigi dan rahang terletak normal atau tidak normal.15


(18)

2.3 Titik-Titik (Landmarks) pada Jaringan Keras

Titik-titik referensi yang digunakan pada sefalometri pada dasarnya terbagi atas dua yaitu: titik-titik pada jaringan keras dan jaringan lunak. Titik-titik pada jaringan keras tersebut antara lain: (Gambar 1) 9,15,16,19,20

a. Nasion (N) : Titik paling depan diantara tulang frontal dan tulang nasal pada sutura frontonasalis.

b. Sella (S) : Titik yang terletak di tengah-tengah sella tursika atau fossa pituitary.

c. Titik A (Subspinale) : Titik paling dalam pada pertengahan spina nasalis anterior dan prosthion.

d. Titik B (Supramentale) : Titik paling dalam pada pertengahan tulang alveolar mandibula dan prosesus mentalis.

e. Spina Nasalis Anterior (ANS) : Titik paling anterior dari maksila pada level palatum.

f. Spina Nasalis Posterior (PNS) : Titik paling posterior dari palatum keras. g. Pogonion (Pog) : Titik paling anterior dari tulang dagu.

h. Gnation (Gn) : Titik paling depan dan paling dalam dari simpisis mandibula atau titik tengah antara pogonion dan menton.

i. Menton (Me) : Titik paling bawah pada dagu.

j. Porion (Po) : Titik paling tinggi pada tepi atas meatus auditorius eksternal. k. Orbitale (Or) : Titik terendah pada tepi bawah rongga mata.

l. Artikulare (Ar) : Titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basis kranial posterior.

m. Gonion (Go) : Titik perpotongan yang dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan garis tangen ke tepi bawah mandibula.

n. Pterigomaxillary (PTM) : Kontur fissura pterigomaxilary yang dibentuk di

anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterigoid pada tulang sphenoid.


(19)

Gambar 1. Titik-titik (landmarks) pada jaringan keras19

2.4 Analisis Tweed

Tweed merupakan salah satu murid kesayangan Angle. Dua tahun sebelum kematian Angle, mereka bekerjasama, dimana Tweed mendiagnosa dan mengobati pasiennya sedangkan Angle bertindak sebagai mentornya. Angle sangat gembira terhadap apa yang dilakukan Tweed pada waktu itu. Tweed berjanji kepada mentornya bahwa ia akan mendedikasikan hidupnya dalam perkembangan ortodonti dan membuat ortodonti menjadi salah satu cabang spesialis. Akhirnya pada tahun 1929, ortodonti menjadi cabang ilmu spesialis dan Tweed menjadi spesialis ortodonti pertama di Amerika.

Pada tahun 1932, Tweed menerbitkan artikel pertamanya yang berjudul

Reports of Cases Treated with Edgewise Arch Mechanism”. Tweed memegang

teguh pendirian Angle bahwa seseorang tidak boleh melakukan ekstraksi gigi. Namun pendirian ini hanya bertahan selama empat tahun. Empat tahun berikutnya, Tweed


(20)

menemukan suatu penemuan bahwa posisi gigi insisivus mandibula mempunyai andil dalam keseimbangan wajah setelah perawatan. Beliau menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan posisi insisivus mandibula yang tepat, dokter gigi perlu melakukan preparasi penjangkaran dan mencabut keeempat gigi premolar satu. Prinsip ini sangat bertentangan dengan prinsip Angle.21

Sebelum Tweed mempublikasikan analisis sefalometrinya pada tahun 1954, beliau mengikuti pembelajaraan tentang sefalometri yang diajarkan oleh Moore, Wylie, Downs, dan Riedel untuk lebih memahami tentang pengaruh sefalometri terhadap hasil perawatan. Setelah pertemuan itu, beliau memfokuskan penelitiannya pada peranan sefalometri dalam menentukan diagnosis dan rencana perawatan.5 Tweed menemukan bahwa pada wajah yang normal, dengan beberapa pengecualian, mempunyai oklusi normal atau maloklusi kelas I. Beliau juga menyatakan bahwa pada semua kasus, gigi insisivus bawah terletak pada tulang basal dan ada korelasi pasti antara garis wajah yang seimbang dengan posisi gigi insisivus bawah terhadap tulang basal.10

Tweed pada penelitiannya menggunakan 3 bidang yang bergabung membentuk segitiga diagnostik. Bidang tersebut antara lain :

a) Frankfurt Horizontal (FH) : bidang yang menghubungkan titik orbitale dengan titik porion.

b) Bidang mandibula : bidang yang merupakan garis tangen terhadap tepi bawah mandibula.

c) Garis yang ditarik sepanjang gigi insisivus bawah (long axis of the lower incisor).9,15,19

Sudut-sudut yang dibentuk antara lain: (Gambar 2)

1. Frankfurt Mandibular Plane Angle (FMA), yaitu sudut yang dibentuk dari

hubungan bidang Frankfurt Horizontal dengan bidang mandibula.19 FMA merupakan sudut yang terpenting dari segitiga Tweed karena dapat menggambarkan pola skeletal wajah. Nilai batas normalnya antara 22° - 28°.22

2. Incisor Mandibular Plane Angle (IMPA), yaitu sudut antara inklinasi aksial


(21)

3. Frankfurt Mandibular Incisor Angle (FMIA), yaitu sudut yang dibentuk dari hubungan aksis sepanjang gigi insisivus bawah dengan bidang Franfurt Horizontal. Nilai rata-ratanya adalah 65°.19

Gambar 2. Segitiga diagnostik Tweed9

Sudut FMA merupakan sudut yang terpenting, dimana dari perubahan sudut-sudutnya dapat diketahui hal-hal berikut.

1. FMA bernilai 16° sampai 28° : prognosis baik (Gambar 3)

Pada saat FMA 16°, IMPA sebaiknya 90° + 5° = 95°, saat FMA 22°, IMPA sebaiknya 90°, saat FMA 28°, IMPA sebaiknya 90° - 5° = 85°. Hampir 60% maloklusi memiliki FMA antara 16° sampai 28°.

2. FMA bernilai 28° sampai 35°, prognosis sedang, pada saat 28° IMPA sebaiknya 90° – 5° = 85°. Ekstraksi diperlukan pada sebagian besar kasus saat FMA 35 dimana IMPA sebaiknya 80° sampai 85°. (Gambar 4).


(22)

3. FMA di atas 35°, prognosis buruk dimana ekstraksi cenderung akan memperparah keadaan.9,23 (Gambar 5)

Gambar 3. Pasien Kelas I maloklusi dengan prognosis baik23

Tweed menyatakan bahwa dalam perencanaaan perawatan sangat penting memperhatikan besarnya sudut FMIA.

Nilai FMA sangat bervariasi sebesar ± 5° jika pertumbuhan mandibula dianggap mengikuti pola normal. Brash dan Brodie memberikan informasi yang sangat berharga tentang kapan dan dimana pertumbuhan mandibula itu terjadi. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan mandibula awalnya sama rata sepanjang mandibula sampai terjadi erupsi gigi molar permanen pertama. Setelah itu, pertumbuhan terbatas pada tepi posterior dari rami, prosesus alveolaris, tepi sigmoid

notch, dan kepala kondilus. Mandibula akan maju seiring dengan bertambahnya tepi

posterior rami dimana resorpsi dari tepi anterior mempertahankan pola dari tulang mandibula. Kondilus merupakan pusat pertumbuhan dari pertumbuhan vertikal maksila dan mandibula. Margolis menambahkan bahwa ada terjadi reduksi dari tulang alveolar manusia yang menyebabkan dagu berkembang. Ini menyebabkan insisivus mandibula tumbuh tegak selama proses evolusi berlangsung.23


(23)

Gambar 4. Pasien maloklusi Kelas II divisi 1 dengan prognosis sedang23


(24)

Analisis Tweed digunakan terutama untuk perencanaan perawatan klinis dan bukan merupakan suatu analisis yang lengkap. Penentuan posisi gigi insisivus bawah, posisi mandibula yang bervariasi dapat ditentukan dan posisi gigi insisivus atas dapat disesuaikan dengan gigi insisivus bawah. Posisi gigi insisivus bawah yang ideal dapat membantu dalam mendapatkan stabilitas hasil perawatan yang berpengaruh pada prognosis.9

2.5 Suku Batak

Penduduk Indonesia terdiri dari kelompok Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Bangsa Melayu Tua adalah orang-orang Austronesia dari Asia (Yunan) yang pertama kali datang ke Nusantara sekitar tahun 1500 SM. Mereka datang ke Nusantara melalui dua jalur, yaitu jalur barat (dari Yunan melalui Selat Malaka masuk ke Sumatera dan Jawa) dan jalur timur atau utara (dari Taiwan masuk ke Filpina kemudian ke Sulawesi). Sedangkan bangsa Deutro Melayu datang ke Nusantara dari daerah Yunan sekitar tahun 500 SM melalui satu jalur saja yaitu jalur barat. Bangsa Melayu tua/ Proto Melayu merupakan ras mongoloid yang memiliki ciri-ciri antara lain kulit sawo matang, rambut lurus, badan tinggi ramping, bentuk mulut dan hidung sedang. Bangsa ini menyebar di Sulawesi Selatan (suku Toraja), Lombok (suku Sasak), Kalimantan Tengah (suku Dayak), Sumatra Barat (suku Nias), Sumatra Utara (suku Batak), dan Sumatra Selatan (suku Kubu).12

Suku bangsa Batak adalah salah satu suku bangsa yang mendiami provinsi Sumatera Utara. Suku Batak terbagi menjadi 6 jenis, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Keenam suku Batak tersebut memiliki ciri khas budaya yang berbeda-beda. Namun pada prinsipnya, akar budaya mereka sama, yakni budaya Batak. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, suku Batak yang termasuk bagian dari ras Proto Melayu merupakan suku terbesar yang menempati Sumatera Utara dengan persentase 44,56%.24


(25)

2.6 Kerangka Teori

Perawatan Ortodonti

Pemeriksaan Foto Profil Sefalometri

Analisis skeletal

Analisis jaringan lunak

Analisis dental

Analisis Tweed Pemeriksaan

klinis / Identifikasi

Ras /Suku

Model / Cetakan

Analisis Steiner

Analisis Downs

Analisis Ricketts


(26)

Analisis

Skeletal

Analisis

Data

Hasil

2.7 Kerangka Konsep

Mahasiswa FKG USU Suku Batak

Analisis

Sefalometri

Nilai Sefalometri

menurut analisis

Tweed

FMA

FMIA

IMPA


(27)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan nilai rata-rata sefalometri menurut analisa Tweed pada suku Batak mahasiswa FKG USU.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Departemen Ortodonsia FKG USU yang bertempat di Jalan Alumni No. 2 Universitas Sumatera Utara, Medan. Waktu penelitian dilakukan mulai dari bulan Agustus 2014 sampai dengan Maret 2015.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa FKG USU suku Batak yang berusia ≥ 18 tahun.

3.3.2 Sampel penelitian

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode

purposive sampling yang berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel berupa

foto sefalometri lateral yang merupakan data sekunder dari penelitian Simanjuntak tahun 2011. Sampel tersebut diambil dari mahasiswa suku Batak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.


(28)

Jumlah sampel yang dibutuhkan ditentukan dengan rumus :

n

Keterangan :

n : besar sampel

Zα : deviat baku alpha dimana α = 0,05  Zα = 1,96

: standar deviasi nilai sefalometri = 2,88 (diambil dari hasil penelitian nilai sefalometri normal pada ras Deutro Melayu oleh Susanti Musnandar pada tahun 1992

: presisi relatif (tingkat ketepatan), ditetapkan = 1,00 sehingga

n

n ≥ 31,86  digenapkan menjadi 32

Maka, jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah 32 orang. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Jumlah sampel yang dipakai pada penelitian ini adalah 40 sampel.

3.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

 Pasien belum pernah mendapat perawatan ortodonti

 Pasien yang berusia ≥ 18 tahun

 Semua gigi permanen lengkap (kecuali molar tiga)

 Oklusi normal

 Posisi bibir pada gambaran radiografi sefalometri rileks

 Tidak ada cacat di kepala dan wajah yang dapat mempengaruhi hasil sefalogram


(29)

 Mahasiswa suku Batak asli Universitas Sumatera Utara (2 keturunan di atas)

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

 Sefalogram yang tidak jelas atau kabur

 Adanya gigi fraktur atau atrisi

 Adanya maloklusi

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah : a. Jenis Kelamin

b. Frankfurt Mandibular Plane Angle (FMA)

c. Frankfurt Mandibular Incisor Angle (FMIA)

d. Incisor Mandibular Plane Angle (IMPA)

e. Mahasiswa FKG USU Suku Batak f. Usia

3.4.2 Definisi Operasional

1. Suku Batak asli adalah penduduk Indonesia yang berasal dari provinsi Sumatera Utara dan ditandai dengan adanya nama keluarga yang diturunkan dari orangtua (ayah) ditambahkan di belakang nama berupa marga Batak dengan dua keturunan diatasnya.

2. Usia adalah satuan waktu umur seseorang yang dihitung dari tahun lahir sampai waktu dilakukan pengambilan foto sefalometri seseorang.

3. Mahasiswa FKG USU : mahasiswa yang masih aktif kuliah di FKG USU. 4. Frankfurt Horizontal (FH) : bidang yang menghubungkan titik orbitale dengan titik porion.


(30)

5. Bidang mandibula : bidang yang merupakan garis tangen terhadap tepi bawah mandibula (menurut Tweed).

6. Frankfurt Mandibular Plane Angle (FMA), yaitu sudut yang dibentuk dari

hubungan bidang Frankfurt Horizontal dengan bidang mandibula.

7. Incisor Mandibular Plane Angle (IMPA), yaitu sudut antara inklinasi aksial

gigi insisivus bawah dengan bidang mandibula.

8. Frankfurt Mandibular Incisor Angle (FMIA), yaitu sudut yang dibentuk

dari hubungan aksis sepanjang gigi insisivus bawah dengan bidang Franfurt Horizontal.

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat

1. Tracing box

2. Pensil 2B merk Faber Castle 3. Pensil mekanik

4. Penggaris 5. Penghapus 6. Pulpen 7. Busur 8. Kalkulator

3.5.2 Bahan

1. Kertas asetat (8x10 inci, tebal 0,003 inci) 2. Selotip


(31)

Gambar 6. Alat dan Bahan penelitian. (a) Tracing box dan kertas asetat, (b) Alat-alat Penelitian

3.6 Prosedur Kerja

Penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

a. Pengumpulan foto sefalometri lateral diperoleh dari peneltian sebelumnya di Departemen Ortodonsia Universitas Sumatera Utara yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

b. Sefalogram dari sampel suku Batak ditracing pada tracing paper dengan pensil 2B di atas pencahayaan tracing box.

c. Pada sefalogram terlebih dahulu dibuat gambar anatomi struktur kepala kemudian tentukan 3 bidang yang merupakan segitiga diagnostik Tweed, yaitu bidang Frankfurt Horizontal (Po-Or), bidang mandibula (garis tangen terhadap tepi bawah mandibula), dan sebuah bidang yang ditarik sepanjang aksis gigi insisivus bawah. (Gambar 7)

d. Pengukuran nilai-nilai FMA, FMIA, dan IMPA dalam satuan derajat dengan bantuan busur.


(32)

Gambar 7. Tracing sampel

e. Sebelum melakukan pengukuran, peneliti melakukan uji intraoperator untuk mengetahui ketelitian peneliti dalam melakukan pengukuran. Hal ini dikarenakan setiap pengukuran belum tentu mendapatkan hasil yang sama dengan pengukuran pertama. Uji intraoperator dilakukan dengan mengambil 10 sampel secara acak dari pengukuran pertama dan pengukuran kedua kemudian dicari standar deviasi dari kedua pengukuran tersebut. Standar deviasi dari pengukuran pertama dan kedua kemudian dicari lagi standar deviasinya. Jika standar deviasi akhir yang didapat menunjukkan angka antara 0-1 berarti ketelitian pada pengukuran tersebut masih dapat diterima dan operator layak untuk melakukan penelitian.

f. Untuk mendapatkan data yang akurat, sebaiknya dalam satu hari pengukuran sefalometri dilakukan pada 5 (lima) sefalogram untuk menghindari kelelahan mata peneliti.


(33)

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputerisasi.

3.7.2 Analisis Data

a. Data dianalisis kemudian dihitung rata-rata dan standar deviasi nilai FMA, FMIA, dan IMPA.

b. Dihitung rata-rata dan standar deviasi nilai FMA, FMIA, dan IMPA berdasarkan jenis kelamin kemudian lakukan uji t-independen.


(34)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Sampel penelitian berjumlah 40 orang yang terdiri dari 23 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Sampel merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi USU ras Proto Melayu yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (metode

purposive sampling).

Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada sefalogram lateral, maka diperoleh hasil rerata dan standar deviasi sudut FMA, FMIA, dan IMPA segitiga Tweed pada tabel 1.

Tabel 1. Rerata Nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada Mahasiswa FKG USU Suku Batak

Pengukuran Rerata Standar Deviasi

Batas Bawah Batas Atas

Sudut FMA 26,69 4,94 16,0 38,0 Sudut FMIA 56,54 5,35 46,5 67,0 Sudut IMPA 96,84 5,72 81,0 110,0

Dari tabel di atas terlihat bahwa rerata sudut FMA yaitu 26,69° ± 4,94° dengan batas bawah adalah 16° dan batas atas adalah 38°, rerata sudut FMIA yaitu 56,54° ± 5,35° dengan batas bawah 46,5° dan batas atas 67°, dan rerata sudut IMPA yaitu 96,84° ± 5,72° dengan batas bawah 81° dan batas atas 110°.

Sebelum dilakukan uji t-independen terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai ketiga sudut (FMA, FMIA, dan IMPA) memiliki distribusi data yang normal (p > 0,05) sehingga dapat dilanjutkan dengan uji t-independen.


(35)

Tabel 2. Rerata Nilai FMA, FMIA, dan IMPA Mahasiswa FKG USU Suku Batak Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Uji t-Independen

Pengukuran

Rerata Standar deviasi

Uji t* Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Sudut FMA 27,17 26,03 4,83 5,17 0,48

Sudut FMIA 57,04 56,38 5,17 5,61 0,70

Sudut IMPA 95,46 97,65 6,04 4,11 0,20 *Perbedaan bermakna (p > 0,05)

Dari tabel 2 dapat dilihat rerata sudut FMA pada laki-laki yaitu 27,17° ± 4,83°

dan perempuan yaitu 26,03° ± 5,17°. Rerata sudut FMIA pada laki-laki yaitu 57,04° ± 5,17° dan perempuan yaitu 56,38° ± 5,61°. Rerata sudut IMPA pada

laki-laki yaitu 95,46° ± 6,04° dan perempuan yaitu 97,65° ± 4,11°. Hasil pengukuran rerata dan standar deviasi pada tabel di atas dengan uji t-independen diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada sudut FMA, sudut FMIA, dan sudut IMPA (p > 0,05).

Persentase rerata nilai FMA berdasarkan prognosisnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut.


(36)

Tabel 3. Persentase Rerata Nilai FMA Mahasiswa FKG USU Suku Batak Menurut Analisa Tweed Berdasarkan Prognosisnya

Rerata Sudut FMA Prognosis Persentase

16-28 Baik 62,5%

28-35 Sedang 35%

> 35 Buruk 2,5%

Pada tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa persentase rerata nilai FMA dengan prognosis baik adalah 62,5% dari jumlah sampel, persentase rerata nilai FMA dengan prognosis sedang adalah 35% dari jumlah sampel, dan persentase nilai FMA dengan prognosis buruk adalah 2,5% dari jumlah sampel.


(37)

BAB 5

PEMBAHASAN

Analisis struktur kraniofasial dengan radiografi sefalometri telah digunakan untuk memprediksi pola pertumbuhan dan juga untuk diagnosis dan rencana perawatan di bidang ortodonti. Pengetahuan tentang struktur normal kraniofasial subjek dari berbagai etnis dan kelompok umur sangat penting untuk tujuan klinis dan penelitian. Dengan mengetahui karakteristik kraniofasial dan nilai normalnya, maka rencana perawatan dapat ditentukan untuk mengembalikan estetika wajah seseorang. Selain itu, perbedaan populasi dari segi karakter, ukuran, pertumbuhan, dan bentuk berakibat pada hasil pengukuran yang berbeda-beda dan hal tersebut memotivasi peneliti untuk meneliti tentang nilai normal sefalometri dari suku Batak khususnya menurut analisa Tweed.25

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU suku Batak. Nilai sudut-sudut tersebut dapat digunakan sebagai penunjang dalam menegakkan diagnosis dan rencana perawatan pada suku Batak yang berperan penting dalam keberhasilan perawatan ortodonti. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat perbedaan rerata nilai FMA, FMIA, dan IMPA pada mahasiswa FKG USU antara laki-laki dan perempuan suku Batak.

Data yang telah diperoleh dari hasil pengukuran pada tracing paper diolah dengan menggunakan komputerisasi. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui rerata sudut-sudut segitiga Tweed. Setelah itu dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal apa tidak. Dari hasil uji tersebut diperoleh bahwa nilai signifikansi FMA, FMIA, dan IMPA berturut-turut adalah 0,28, 0,20, dan 0,15 dimana data tersebut terdistribusi normal (p > 0,05) sehingga dapat dilanjutkan dengan uji analitik untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan suku Batak.

Tabel 1 menunjukkan rerata sudut FMA pada mahasiswa FKG USU suku Batak sebesar 26,69° ± 4,94° dengan batas bawah 16° dan batas atas 38°. Hasil ini


(38)

sesuai dengan penelitian Khursheed Alam dkk., yang mendapatkan nilai rata-rata FMA pada etnis Bangladesh sebesar 26,69° ± 2,7°. Hasil ini juga sesuai dengan hasil

penelitian Tukasan dkk., dimana rerata nilai FMA pada etnis Brasil adalah 25,12° ± 2,74°. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Bhattarai dan Shrestha

yang memperoleh rerata nilai FMA pada orang Nepal sebesar 28° ± 5,9°. Rerata nilai FMA yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan Tweed pada ras Kaukasoid yaitu 25°. Hal ini disebabkan karena orang Batak mempunyai pola pertumbuhan mandibula yang cenderung lebih vertikal daripada ras Kaukasoid sehingga didapatkan sudut yang lebih besar daripada ras Kaukasoid.8,22,25

Pada tabel 1 juga dapat dilihat rerata sudut FMIA suku Batak yaitu 56,54° ± 5,35° dimana nilai ini sesuai dengan penelitian Bhattarai dan Shrestha

yang mendapatkan rerata nilai FMIA pada populasi Nepal sebesar 57° ± 6,8°. Hasil ini juga didukung oleh Nahidh dkk., yang mendapatkan rerata nilai FMIA pada orang dewasa Irak sebesar 58,73° ± 6,48°. Rerata nilai FMIA yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan Tweed yaitu 65°. Hal ini menunjukkan bahwa inklinasi gigi insisivus bawah suku Batak cenderung lebih proklinasi daripada ras Kaukasoid.8,26

Selain itu tabel 1 juga dapat dilihat rerata sudut IMPA pada suku Batak yaitu 96,84° ± 5,72° dengan batas bawah 81° dan batas atas 110°. Hasil ini sesuai

dengan penelitian Nahidh dkk yang mendapatkan rerata sudut IMPA sebesar 97,17° ± 6,12°. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Bhattarai dan Shrestha

pada populasi Nepal dimana didapatkan rerata nilai IMPA sebesar 95°. Rerata

penelitian ini lebih tinggi daripada nilai yang ditetapkan Tweed untuk sudut IMPA (90°). Hal ini disebabkan oleh karena lebih protrusifnya gigi insisivus

bawah suku Batak sehingga didapatkan nilai yang lebih besar daripada ras Kaukasoid.8,26

Pada tabel 2 dapat dilihat rerata sudut FMA antara laki-laki dan perempuan suku Batak, dimana tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (p > 0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh


(39)

Bhattarai dan Shrestha pada etnis Nepal dimana tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (p > 0,05) dengan rerata sudut FMA sama pada laki-laki maupun perempuan yakni sebesar 28°. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kuramae dkk., di Brasil, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan kulit hitam Brasil dimana rerata sudut FMA pada laki-laki sebesar 30,875° ± 8,815° dan rerata sudut FMA pada perempuan sebesar 27,375° ± 5,084°. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nahidh dkk., dijumpai tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan Irak dimana rerata sudut FMA pada laki-laki yaitu 24,56° dan pada perempuan yaitu 23,74°.8,26,27

Dari tabel 2 dapat dilihat rerata sudut FMIA antara laki-laki dan perempuan suku Batak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (p > 0,05) dimana rerata sudut FMIA pada laki-laki dan perempuan berturut-turut adalah 57,04° ± 5,17° dan 56,38° ± 5,61°. Hasil ini sesuai dengan penelitian Tukasan dkk., pada sampel Brasil dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara laki-laki (62,95°) dan perempuan (62,91°). Hasil ini juga didukung oleh penelitian Kuramae dkk., yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana rerata sudut FMIA pada laki-laki yaitu 48,87° ± 8,66° dan pada perempuan yaitu 52,93° ± 7,58°. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Bhattarai dan Shrestha pada etnis Nepal dimana dijumpai tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki (56°)dan perempuan (58°).8,22,27

Pada tabel 2 juga dapat dilihat rerata sudut IMPA antara laki-laki dan perempuan suku Batak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (p > 0,05) dimana

rerata sudut IMPA pada laki-laki dan perempuan berturut-turut adalah 95,46° ± 6,04° dan 97,65° ± 4,11°. Hasil ini didukung oleh penelitian Tukasan

dkk., dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan Brasil dengan rerata sudut IMPA pada laki-laki yaitu 91,48° dan pada perempuan yaitu 92,41°. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Nahidh dkk., yang


(40)

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan Irak, dimana rerata sudut IMPA pada laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 97,09° ± 5,69° dan 97,24° ± 6,12°. Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kuramae dkk., di Brasil yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana rerata sudut IMPA pada laki-laki yaitu 100,25° ± 4,53° dan pada perempuan yaitu 99,50° ± 4,41°.22,26,27

Berdasarkan pada hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa suku Batak cenderung mempunyai insisivus bawah yang lebih proklinasi dibandingkan dengan ras Kaukasoid. Hal ini ditandai dengan rerata sudut IMPA yang lebih besar pada ras Proto Melayu (97,09° berbanding 90°). Selain itu, rerata sudut FMA dan FMIA lebih besar pada laki-laki dan rerata sudut IMPA lebih besar pada perempuan. Ini berarti perempuan suku Batak mempunyai inklinasi insisivus bawah yang lebih proklinasi dibandingkan dengan laki-laki. Namun demikian, perbedaan ini tidak signifikan yang berarti bahwa nilai-nilai segitiga Tweed ini tidak dipengaruhi oleh parameter jenis kelamin.8,22,25,26

Pada saat ini, nilai normal untuk ras Kaukasoid masih sering digunakan dalam perawatan ortodonti. Padahal nilai normal ini sering tidak sesuai untuk ras-ras lainnya. Ketidaksesuaian nilai normal ini dapat menjadi kendala ortodontis dalam menentukan diagnosis dan rencana perawatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisis sefalometri pada setiap etnik yang ada agar dapat diperoleh nilai normal pada masing-masing etnik sehingga diagnosis dan perencanaan perawatan akan lebih baik.10


(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Rerata sudut FMA mahasiswa FKG USU suku Batak adalah 26,69° ± 4,94°, rerata sudut FMIA mahasiwa FKG USU suku Batak adalah 56,53° ± 5,35°, dan rerata sudut IMPA mahasiswa FKG USU suku Batak adalah 96,84° ± 5,72°.

6.1.2 Rerata sudut FMA pada laki-laki yaitu 27,17° ± 4,83° dan pada perempuan yaitu 26,03° ± 5,17°, sedangkan rerata sudut FMIA pada laki-laki yaitu 57,04° ± 5,17° dan pada perempuan yaitu 56,38° ± 5,61°, dan rerata sudut IMPA pada laki-laki yaitu 95,46° ± 6,04° dan pada perempuan yaitu 97,65° ± 4,11°.

6.2 Saran

6.2.1 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar didapatkan validitas yang lebih tinggi.

6.2.2 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap suku-suku lain di Indonesia.


(42)

Lampiran 1

HASIL PENGUKURAN RERATA SUDUT SEGITIGA TWEED

PADA MAHASISWA FKG USU SUKU BATAK

No. Nama Pasien

Jenis Kelamin

FMA FMIA IMPA

1 Hardi Negara Hasibuan Laki-laki 28 60 92 2 Nova Sinurat Perempuan 25 57 98 3 Daniel Septian Pasar Laki-laki 22 54 104 4 Monang Octaviandra Perempuan 32 51 97 5 Bob Permana Laki-laki 28 64 90 6 Umbur Harianja Laki-laki 25 56 99 7 Muktar Hutasoit Laki-laki 30 56 94 8 Diah Karlina Perempuan 28 58 94 9 Lenaria R Perempuan 24 60 96 10 Rindu S Perempuan 27 62 91 11 Dewi Purnamasari Perempuan 29 53 98 12 Arta Laki-laki 27,5 58 94,5 13 Tiurma Sitompul Laki-laki 23 63,5 93,5 14 Ramli Situmeang Laki-laki 16 64 100 15 Erin Perempuan 16 62 102 16 Valentine Purba Perempuan 18 55 107 17 Arapan Laki-laki 38 61 81 18 Josua Nainggolan Laki-laki 29 52 99 19 Sandi Siburian Laki-laki 31 53 96 20 Kendri Malau Laki-laki 28 55 97 21 Erickson Austin Laki-laki 31 51 98 22 Artauli Octaviana Perempuan 31,5 46,5 102


(43)

23 Advent Laki-laki 33 55 92 24 Axel Ivander Laki-laki 28 58 94 25 Lamhot Simanjuntak Laki-laki 25 57,5 94,5 26 Syukur Harahap Laki-laki 29,5 52,5 98 27 Jannes Pinem Laki-laki 29 48 103 28 Christo Billy Laki-laki 25 63 92 29 Antonius Laki-laki 22 54 104 30 Joule Siregar Laki-laki 28 49 103 31 Solin Tambunan Perempuan 34 50 96 32 Loisa Sinaga Perempuan 29 52 99 33 Fitri Siahaan Perempuan 24 65 91 34 Epifeni Doloksaribu Perempuan 26 52 102 35 Laurent Simanjuntak Laki-laki 31 67 82 36 Tri Sari Perempuan 32 51 97 37 Maria Lisna Rawaty Perempuan 22 64 94 38 Citra Natalia Perempuan 26 57 97 39 Niko Laki-laki 18 63 99 40 Yuki Indah Swana Sir Perempuan 19 51 110


(44)

Lampiran 2

HASIL PERHITUNGAN STATISTIK DESKRIPTIF RERATA

SUDUT FMA, FMIA, DAN IMPA PADA MAHASISWA FKG USU

SUKU BATAK

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation FMA 40 16.0 38.0 26.688 4.9429 FMIA 40 46.5 67.0 56.537 5.3534 IMPA 40 81.0 110.0 96.838 5.7215 Valid N (listwise) 40

Group Statistics

Jenis Kelamin

N Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean Sudut

FMA dimension1

Laki-laki 23 27.1739 4.82797 1.00670 Perempuan 17 26.0294 5.16742 1.25328 Sudut

FMIA dimension1

Laki-laki 23 57.0435 5.17405 1.07886 Perempuan 17 56.3824 5.61118 1.36091 Sudut

IMPA dimension1

Laki-laki 23 95.4565 6.03760 1.25893 Perempuan 17 97.6471 4.10702 .99610


(45)

Lampiran 3

HASIL UJI T INDEPENDEN

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality

of Variance

s t-test for Equality of Means

F Sig

. T df

Sig. (2-taile d) Mean Differen ce Std. Error Differen ce 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Sudu t FM A Equal varianc es assume d

.189 .66 6

.719 38 .476 1.14450 1.59083 -2.0759 6 4.3649 6 Equal varianc es not assume d

.712 33.24 3

.481 1.14450 1.60753 -2.1251 4 4.4141 5 Sudu t FMI A Equal varianc es assume d

.334 .56 7

.385 38 .702 .66113 1.71516 -2.8110 3

4.1332 8


(46)

Equal varianc es not assume d

.381 32.96 2

.706 .66113 1.73667 -2.8723 1 4.1945 6 Sudu t IMP A Equal varianc es assume d 2.15 6 .15 0 -1.29 0

38 .205 -2.19054 1.69869 -5.6293 6 1.2482 8 Equal varianc es not assume d -1.36 5 37.79 9

.180 -2.19054 1.60534 -5.4409 4

1.0598 7


(47)

Lampiran 4

HASIL UJI NORMALITAS DATA

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. FMA .130 40 .088 .967 40 .283 FMIA .096 40 .200* .962 40 .204 IMPA .103 40 .200* .959 40 .149 a. Lilliefors Significance Correction


(1)

Lampiran 1

HASIL PENGUKURAN RERATA SUDUT SEGITIGA TWEED

PADA MAHASISWA FKG USU SUKU BATAK

No. Nama Pasien

Jenis Kelamin

FMA FMIA IMPA

1 Hardi Negara Hasibuan Laki-laki 28 60 92

2 Nova Sinurat Perempuan 25 57 98

3 Daniel Septian Pasar Laki-laki 22 54 104

4 Monang Octaviandra Perempuan 32 51 97

5 Bob Permana Laki-laki 28 64 90

6 Umbur Harianja Laki-laki 25 56 99

7 Muktar Hutasoit Laki-laki 30 56 94

8 Diah Karlina Perempuan 28 58 94

9 Lenaria R Perempuan 24 60 96

10 Rindu S Perempuan 27 62 91

11 Dewi Purnamasari Perempuan 29 53 98

12 Arta Laki-laki 27,5 58 94,5

13 Tiurma Sitompul Laki-laki 23 63,5 93,5

14 Ramli Situmeang Laki-laki 16 64 100

15 Erin Perempuan 16 62 102

16 Valentine Purba Perempuan 18 55 107

17 Arapan Laki-laki 38 61 81

18 Josua Nainggolan Laki-laki 29 52 99

19 Sandi Siburian Laki-laki 31 53 96

20 Kendri Malau Laki-laki 28 55 97

21 Erickson Austin Laki-laki 31 51 98


(2)

23 Advent Laki-laki 33 55 92

24 Axel Ivander Laki-laki 28 58 94

25 Lamhot Simanjuntak Laki-laki 25 57,5 94,5

26 Syukur Harahap Laki-laki 29,5 52,5 98

27 Jannes Pinem Laki-laki 29 48 103

28 Christo Billy Laki-laki 25 63 92

29 Antonius Laki-laki 22 54 104

30 Joule Siregar Laki-laki 28 49 103

31 Solin Tambunan Perempuan 34 50 96

32 Loisa Sinaga Perempuan 29 52 99

33 Fitri Siahaan Perempuan 24 65 91

34 Epifeni Doloksaribu Perempuan 26 52 102

35 Laurent Simanjuntak Laki-laki 31 67 82

36 Tri Sari Perempuan 32 51 97

37 Maria Lisna Rawaty Perempuan 22 64 94

38 Citra Natalia Perempuan 26 57 97

39 Niko Laki-laki 18 63 99


(3)

Lampiran 2

HASIL PERHITUNGAN STATISTIK DESKRIPTIF RERATA

SUDUT FMA, FMIA, DAN IMPA PADA MAHASISWA FKG USU

SUKU BATAK

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

FMA 40 16.0 38.0 26.688 4.9429

FMIA 40 46.5 67.0 56.537 5.3534

IMPA 40 81.0 110.0 96.838 5.7215

Valid N (listwise) 40

Group Statistics Jenis Kelamin

N Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean Sudut

FMA dimension1

Laki-laki 23 27.1739 4.82797 1.00670 Perempuan 17 26.0294 5.16742 1.25328 Sudut

FMIA dimension1

Laki-laki 23 57.0435 5.17405 1.07886 Perempuan 17 56.3824 5.61118 1.36091 Sudut

IMPA dimension1

Laki-laki 23 95.4565 6.03760 1.25893 Perempuan 17 97.6471 4.10702 .99610


(4)

Lampiran 3

HASIL UJI T INDEPENDEN

Independent Samples Test Levene's

Test for Equality

of Variance

s t-test for Equality of Means

F Sig

. T df

Sig. (2-taile d) Mean Differen ce Std. Error Differen ce 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Sudu t FM A Equal varianc es assume d

.189 .66 6

.719 38 .476 1.14450 1.59083 -2.0759 6 4.3649 6 Equal varianc es not assume d

.712 33.24 3

.481 1.14450 1.60753 -2.1251 4 4.4141 5 Sudu t FMI A Equal varianc es assume d

.334 .56 7

.385 38 .702 .66113 1.71516 -2.8110 3

4.1332 8


(5)

Equal varianc es not assume d

.381 32.96 2

.706 .66113 1.73667 -2.8723 1

4.1945 6

Sudu t IMP A

Equal varianc es assume d

2.15 6

.15 0

-1.29 0

38 .205 -2.19054 1.69869 -5.6293 6

1.2482 8

Equal varianc es not assume d

-1.36 5

37.79 9

.180 -2.19054 1.60534 -5.4409 4

1.0598 7


(6)

Lampiran 4

HASIL UJI NORMALITAS DATA

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

FMA .130 40 .088 .967 40 .283

FMIA .096 40 .200* .962 40 .204

IMPA .103 40 .200* .959 40 .149

a. Lilliefors Significance Correction