Penegakan Hukum

D. Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam buku Blac k’s Law Dictionary, law enforcement diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the

110 Sri Hartini, dkk, 2008, Hukum Kepegawaian Di Indonesia............,Op.Cit., hlm. 48. 111 Soedibyo Triatmodjo, 1983, Hukum Kepegawaian...............,Op.Cit., hlm. 104 110 Sri Hartini, dkk, 2008, Hukum Kepegawaian Di Indonesia............,Op.Cit., hlm. 48. 111 Soedibyo Triatmodjo, 1983, Hukum Kepegawaian...............,Op.Cit., hlm. 104

“The detection and punishment of violations of the law. The term is not limited to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a variety of noncriminal laws (such as national- security laws) as well as criminal laws”. Kedua; “Criminal justice”. Ketiga;“Police officers and other members of the executive branch of government

charged wi 113 th carrying out and enforcing the criminal law”.

Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama

dengan menggunakan hukum. 114 Menurutnya, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak. Pengekan hukum

adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. 115

112 Black Henry Campbell. 1999. Black’s Law Dictionary. Edisi VI. St. Paul Minesota, West

Publishing. Ebook. hlm. 578. 113 Bryan A. Garner (Editor In Chief). 1999. Black’s Law Dictionary. Seventh Edition. St. Paul

Minesota, West Publishing. Ebook. hlm, 891.

114 Satjipto Rahardjo. 2006. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Cetakan Kedua. Penerbit Buku Kompas. Jakarta,. hlm. 169.

115 Ibid.,

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Hakikat dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan nilai-nilai

atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran. 116 Fungsi hukum secara konkrit harus dapat mengendalikan pertentangan kepentingan-kepentingan kehidupan

manusia menjadi keadaan yang teratur dan mantap. Fungsi hukum perlu dipertahankan secara terus-menerus dalam waktu yang lama, mulai dari pokok-pokok pikiran tersebut fungsi hukum sebagai pengendali sosial yang terkait dengan stabilitas

sosial. 117 Berbeda dengan Satjipto Rahardjo, Soerjono Soekanto mengemukakan ada

dua pengertian penegakkan hukum, yaitu: Pengertian dalam arti luas yang mencakup;

1) Lembaga-lembaga yang menerapkan hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian. 2) Pejabat-pejabat yang memegang peranan sebagai pelaksana atau Penegak Hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi. 3) Segi Adminsitratif seperti proses peradilan, pengusutan, penahanan, dan seterusnya. 4) Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Batas-batas wewenang antara Pengadilan Sipil dengan Pengadilan Militer, dan Pengadilan Agama. Pengertian dalam arti sempit yang mencakup; penerapan

116 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Citra, Jakarta, hlm. 13. 117 Bambang Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan

Penegakan Hukum Pidana , Liberty, Yogyakarta, hlm. 87-88.

hukum oleh lembaga-lembaga peradilan (serta pejabat-pejabatnya), kejaksaan dan kepolisian. 118

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa penegakan hukum maknanya adalah pelaksanaan hukum atau

implementasi hukum itu sendiri. 119 Pengertian penegakan hukum dapat pula di tinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Pengertian penegakan hukum dalam

hal ini mencakup makna yang luas dan sempit. Penegakan hukum itu mencakup nilai- nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penegakan hukum dalam arti sempit, hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Penerjemahan

perkataan “Law Enforcement” ke dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan istilah “Penegakan Aturan Hukum” dalam arti luas, dapat pula menggunkan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya, bahkan timbul dalam Bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” yang terkandung makna pemerintahan oleh hukum. Istilah itu tersebut bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya.

Hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas

118 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum............,Op.Cit,. hlm. 118.

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yoyakarta, hlm. 81.

119

dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal, masalah penegakan hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil. Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak, terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern, dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian, maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Hukum harus bisa melindungi jika ada kepentingan itu terganggu, oleh karena itu hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda- bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.

Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan, kendatipun ada pengecualian yang dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Penegakan hukum seperti diatas, akhirnya tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan, kendatipun ada pengecualian yang dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Penegakan hukum seperti diatas, akhirnya tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada

Sumber dari segala sumber hukum di negara kita adalah Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia. Ketentuan hukum maupun penegakan atau pelaksanaannya haruslah merupakan operasionalisasi dari nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum dengan memperhatikan kandungan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan Pancasila, harus ditujukan untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam realitas kehidupan nasional kita. Penegakan hukum dengan demikian dihadapkan kepada persoalan bagaimana agar dalam penegakan hukum itu terpancar nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Penegakan hukum dilandasi oleh nilai etik, moral dan spritual yang memberi keteguhan komitmen terhadap kedalam tugas hukum kita. Penegakan hukum, dengan demikian tidak hanya sekadar menegakkan kebenaran formal, tetapi ditujukan untuk mencari kebenaran materiil yang diharapkan dapat mendekati kebenaran yang sifatnya hakiki. Tanggungjawab penegak hukum dengan demikian juga bertumpu Penegakan hukum dilandasi oleh nilai etik, moral dan spritual yang memberi keteguhan komitmen terhadap kedalam tugas hukum kita. Penegakan hukum, dengan demikian tidak hanya sekadar menegakkan kebenaran formal, tetapi ditujukan untuk mencari kebenaran materiil yang diharapkan dapat mendekati kebenaran yang sifatnya hakiki. Tanggungjawab penegak hukum dengan demikian juga bertumpu

Penegakan hukum harus dilakukan oleh para penegak hukum dalam suatu kerjasama yang baik dengan dibantu dan didukung oleh aparatur negara untuk turut serta mengambil bagian dalam hal menjamin, memelihara, dan menyadari betapa perlunya hukum itu berfungsi. Hukum dapat menjalankan tugasnya untuk mempertahankan suatu ketertiban atau kedisiplinan pola yang ada, menjaga agar

setiap orang menjalankan perannya sebagaimana telah ditentukan dan diharapkan. 120 Penegakan hukum (Law enforcement) merupakan bagian dari penerapan

hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum pada dasarnya harus memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut, yaitu meliputi; Materi hukum (peraturan /perundangan-undangan), aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan lembaga pemasyarakatan), Sarana prasarana hukum, serta Budaya hukum. Budaya hukum meliputi di dalamnya cita hukum masyarakat, kesadaran hukum masyarakat,

120 Soedjono D, 2002, Menegakan Hukum, Majalah Ikatan Alumni Fakultas Hukum UNIKA Parahyangan, Bandung, hlm. 35.

dan etika profesi para aparat penegak hukum. Penegakan hukum tidak saja mencakup Law enforcement 121 , akan tetapi mencakup pula peace maintenance. Hal tersebut

disebabkan karena hakekat dari penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai kaidah dan pola perilaku.

2. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan

evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda, dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Penegakan hukum, oleh karena itu tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat penegakan hukum tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Berangkat dari pemahaman tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa masalah-masalah hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books ”.

Satjipto Rahardjo berpendapat, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan prosedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak

121 Satjipto Rahardjo. 1983. Penegakan Hukum............,Op.Cit,. hlm. 120.

dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. 122 Adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya, hukum

itu dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum seperti diatas, tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain, selain mencapai

keadilan. 123 Satjipto Raharjo berpendapat, progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang serta

kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting untuk membangun kehidupan hukum dalam masyarakat. 124

Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum

dalam posisi yang relative. 125 Hukum dalam hal ini, harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan

hukum memang perlu, namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran.

Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor

122 Ibid., hlm 121. 123 Ibid., 124 Ibid., hlm 122 125 Ibid., 122 Ibid., hlm 121. 123 Ibid., 124 Ibid., hlm 122 125 Ibid.,

kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. 126 Manusia perlu mendapatkan kehidupan hukum yang beradab.

Berbicara mengenai hukum di Indonesia saat ini, maka hal pertama yang tergambar mungkin ketidakadilan. Seorang yang mencuri buah dari kebun tetangganya karena lapar harus dihukum kurungan penjara, sedangkan koruptor yang merajalela di negara ini justru mendapatkan hukuman yang cukup ringan, bahkan ada yang dibebaskan dan bisa menempati posisi yang berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan negara. Kasus yang lain seperti seorang maling ayam yang harus dijatuhi hukuman kurungan penjara dalam hitungan Tahun. Hal tersebut sangat berbeda dengan para pejabat pemerintah atau mereka yang mempunyai banyak uang yang memang secara hukum terbukti bersalah, namun dengan mudahnya membeli keadilan dan mempermainkan hukum sesuka mereka. Keduanya dalam kondisi yang

126 Soedjono D, 2002, Menegakan Hukum.............,Op.Cit,. hlm. 36.

sama namun dapat kita lihat bagaimanakah hukum itu berjalan dan dimanakah hukum itu berlaku.

Contoh di atas adalah sebagian kecil dari hal-hal yang terjadi disekitar kita. Hal tersebutlah yang akhirnya mungkin membuat orang-orang di negara ini akan menggambarkan bahawa hukum negara kita tidak adil. Masyarakat pun sudah tidak asing lagi dengan istilah bahwa “hukum Indonesia runcing kebawah tapi tumpul keatas ”. Pernyataan tersebut timbul bukan semata-mata karena ketidakadilan dalam satu perkara. Beberapa kasus di atas adalah bukti yang jelas. Bagi mereka yang mempunyai kekuasaan dan harta, hukum telihat begitu mudah untuk diatur. Mungkin kita akan bertanya “apa penyebabnya?”. Begitu banyak penyebab permasalahan sistem hukum di Indonesia, mulai dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, dan masih banyak lagi. Penyebab utama yang menjadi sumber permasalahan bias jadi karena ketidak konsistenan penegakan hukum.

Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum, dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga- lembaga hukum. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua, adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh pengadilan, meskipun demikian sah-sah saja kiranya apabila Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum, dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga- lembaga hukum. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua, adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh pengadilan, meskipun demikian sah-sah saja kiranya apabila

Hukum tidaklah steril dari perilaku-perilaku sosial lingkungannya. Wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan hidup yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya kebingungan mengenai nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah. Hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa agar hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor, yakni sebagai berikut:

a. Hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ada ketidakserasian antara hukum tercatat dengan hukum kebiasaan.

b. Mentalitas petugas yang menegakan hukum penegak hukum. Antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum.

c. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya juga baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

d. 127 Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat. Cara atau prosedur pelaksanaan dalam proses penegakan hukum harus jelas dan tegas serta mudah dimengerti agar pelaksanaannya tidak mengalami kesalah pahaman dan keraguan dalam tata organisasi maupun kewenangan. Sistem

penegakkan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai dengan substansi hukum serta prilaku nyata manusia, sehingga hakikat penegakkan itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah (substansi yang memuat keadilan dan kebenaran). Menurut J.B.J.M, ten Berge, “tugas penegakan hukum tidak hanya diletakkan di pundak Polisi, penegakkan hukum merupakan tugas dari semua subjek

hukum dalam masyarakat. 128 Pemerintah meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik, adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan

penegakan hukum. J.B.J.M. ten Berge menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam penegakan hukum, yaitu:

127 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum.............,Op.Cit. hlm 15. 128 Philipus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Yudika. Surabaya. hlm 386.

1. Suatu peraturan harus sedikit mungkin memberikan ruang bagi perbedaan interpretasi;

2. Ketentuan perkecualian harus dibatasai secara minimal;

3. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara obyektif dapat ditentukan;

4. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh meraka yang terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan (tugas) penegakan (hukum). 129

Penegakan hukum dalam setiap pelaksanaannya harus memperhatikan keadilan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Keadilan bersifat subjektif,

individualistis dan tidak menyamaratakan. 130 Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain. Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica

Nicomacea ” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja

(Ethische theorie). 131 Anggapan semacam itu tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab

apabila itu dilakukan maka maka tidak aka nada ujungnya. Hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara

129 Ibid., 130 Sudikno Mertokusumo, 1993, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti,

Yoyakarta. hlm. 2. 131 Ibid., Yoyakarta. hlm. 2. 131 Ibid.,

3. Sanksi Dalam Hukum Administrasi Negara

Penggunaan Sanksi Administrasi Negara dalam Hukum Administrasi Negara merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis. Pada umumnya, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan norma-norma hukum administrasi tertentu, diiringi pula dengan memberikan kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-norma hukum administrasi tersebut. J.J. Oosternbrink mengatakan bahwa, sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara kekuasaan peradilan. Hal itu dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri, serta ketika warga negara melalaikan kewajiban yang timbul dalam hubungan hukum administrasi, pihak lawan (pemerintah) dapat mengenakan sanksi tanpa perantara hakim. 133 Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa penerapan sanksi adminsitratif,

pada dasarnya tanpa perantara hakim, namun dalam beberapa hal ada pula sanksi administratif yang harus melalui proses peradilan.

132 Ichtiar. 1962. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Balai Buku. Jakarta. hlm. 24-28. 133 J.J. Oostenbrink. Administratief Sancties. Uitgeverij Vuga, s-Gravenhage, tt. (Ebook

Terjemahan) hlm 8.

Menurut P de Haan dkk, ”dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal

dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis. 134 JJ.Oosternbrink berpendapat sanksi administratif adalah, sanksi yang muncul dari hubungan antara

pemerintah dan warga negara yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi

sendiri. 135 Sanksi dalam Hukum Administrasi Negara ditinjau dari segi sasarannya, dikenal dua jenis yaitu sanksi reparatoir (reparatoire sancties) dan sanksi punitif

(punitieve sancties). Sanksi reparatoir memiliki arti sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan hukum (legale situatie). Sanksi dengan kata lain, mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran), sedangkan sanksi punitif adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman (staffen) pada seseorang. Contoh dari sanksi reparatoir adalah paksaan pemerintah (bestuurdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom), sedangkan contoh dari sanksi punitif adalah pengenaan denda administrasi (bestuurboete).

J.B.J.M ten Berge mengatakan di samping sanksi reparatoir dan punitif, ada sanksi lain yang disebut sebagai sanksi regresif (regresieve sancties), yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidak patuhan terhadap ketentuan-ketentuan

134 Ibid., hlm 8. 135 Ibid., 134 Ibid., hlm 8. 135 Ibid.,

lingkup dan keragaman bidang urusan pemerintahan yang masing-masing bidang itu diatur dengan peraturan tersendiri, macam dan jenis sanksi dalam rangka penegakan peraturan itu menjadi beragam. Pada umumnya macam-macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu. Macam-macam sanksi dalam Hukum Administrasi aadalah; Bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

a. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang) Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Contoh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa ijin yang Berhak atau Kuasanya. Bestuursdwang merupakan Kewenangan Bebas, artinya pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah

136 Philipus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan...........,Op.Cit. hlm 391.

menggunakan Bestuursdwang atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi yang lainnya.

Paksaan pemerintahan harus memperhatikan ketentuan Hukum yang berlaku, baik Hukum tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas pemerintahan yang layak seperti asas kecermatan, asas keseimbangan, asas kepastian hukum dan lain-lain. Contoh Pelanggaran yang tidak bersifat substansial, seseorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman, tanpa IMB. Pemerintah tidak sepatutnya langsung menggunakan paksaan pemerintahan, dengan membongkar rumah tersebut, karena masih dapat dilakukan legalisasi, dengan cara memerintahkan kepada pemilik rumah untuk mengurus IMB. Apabila perintah mengurus IMB tidak dilaksanakan maka pemerintah dapat menerapkan Bestuursdwang, yaitu pembongkaran. Contoh Pelanggaran yang bersifat substansial, misalkan pada pengusaha yang membangun industri di daerah pemukiman penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan RT/RW yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dapat langsung menerapkan Bestuursdwang.

Peringatan yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan Tata Usaha Negara. Isi peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut, Peringatan harus definitif, Organ yang berwenang harus disebut, Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat, Ketentuan yang dilanggar jelas, Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas, Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban jelas dan seimbang, Pemberian Peringatan yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan Tata Usaha Negara. Isi peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut, Peringatan harus definitif, Organ yang berwenang harus disebut, Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat, Ketentuan yang dilanggar jelas, Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas, Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban jelas dan seimbang, Pemberian

b. Penarikan Kembali Keputusan (Ketetapan) Yang Menguntungkan Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan, dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Hal tersebut diterapkan jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam HAN terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa , yaitu bahwa pada asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar menurut hukum. Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan itu pada dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di pengadilan. Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha Negara sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya.

Sebab-sebab Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai sanksi ini terjadi, apabila yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat- syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran. Apabila yang berkepentingan pada waktu mengajukan Sebab-sebab Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai sanksi ini terjadi, apabila yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat- syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran. Apabila yang berkepentingan pada waktu mengajukan

c. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom) Uang paksa sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga. Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan

d. Pengenaan Denda Administratif Pendapat P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang

ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti. 137 Pemerintah dalam menegakan sanksi ini, harus tetap memperhatikan asas-asas hukum administrasi, baik tertulis

maupun tidak tertulis.