Ziarah Kubur Adalah Ziarah Ke Masjid Dalam Penilaian As-Syaikh Ibnu Taimiyyah

Ziarah Kubur Adalah Ziarah Ke Masjid Dalam Penilaian As-Syaikh Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah memiliki pandangan yang menarik yang terdapat di sela-sela pembicaraanya tentang ziarah. Sesudah berbicara bahwa sungguh-sungguh bepergian untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw semata (bukan masjid) sebagai tindakan bid’ah, ia Ibnu Taimiyyah memiliki pandangan yang menarik yang terdapat di sela-sela pembicaraanya tentang ziarah. Sesudah berbicara bahwa sungguh-sungguh bepergian untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw semata (bukan masjid) sebagai tindakan bid’ah, ia

Selanjutnya Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Keenam : “Bepergian menuju masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau – adalah kesepakatan ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip dari para sahabat, bahkan dari atba’u attabi’in.”Kemudian Ibnu Taimiyyah berkata, “Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin tidak henti-hentinya pergi menuju masjid Nabi Saw akan tetapi mereka tidak pergi ke kuburan para nabi seperti kuburan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim Al Khalil. Tidak ada informasi dari salah seorang sahabat bahwa ia bepergian ke kuburan Nabi Ibrahim meskipun mereka seringkali pergi ke Syam dan Baitul Maqdis. Maka bagaimana mungkin pergi ke masjid Rasulullah Saw yang disebut sebagian orang dengan ziarah ke kuburan beliau, sama dengan pergi ke kuburan para nabi ?”

Dari pandangan Ibnu Taimiyyah di atas bisa ditarik sebuah faidah penting. Yaitu bahwasanya tidak dapat dimengerti bahwa orang yang berziarah bertujuan melakukan perjalanan untuk berziarah kubur semata, lalu tidak masuk masjid dan melaksanakan sholat di dalamnya untuk mendapatkan keberkahan, pelipatgandaan pahala sholatnya dan Ar-Raudlah As-Syarifah yang ada di dalamnya. Sebaliknya selamanya tidak logis jika orang yang berziarah pergi semata-mata untuk ziarah ke masjid kemudian tidak melakukan ziarah dan berhenti di kuburan mulia untuk memberi salam kepada Nabi dan dua sahabat beliau RA. Karena itu Anda akan melihat Ibnu Taimiyyah dalam statemennya mengisyaratkan akan hal ini dengan ucapannya : - “Maka bagaimana mungkin pergi ke masjid Rasulullah Saw yang disebut sebagian orang dengan ziarah ?”- “Pergi ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah pergi ke masjid beliau.”- “Bepergian menuju masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau – adalah konsensus ulama.”

Pandangan Ibnu Taimiyyah yang menarik ini mampu menyelesaikan problem besar yang memecah belah kita, umat Islam dan membuat sebagian kita mengkafirkan sebagian yang lain dan mengeluarkannya dari lingkaran agama Islam. Seandainya orang yang mengklaim pengikut salaf mengikuti cara yang ditempuh Ibnu Taimiyyah, Imamussalaf pada masanya dan menuntut kepada orang-orang alasan akan tujuan-tujuan mereka serta berprasangka positif kepada mereka, niscaya sejumlah besar orang akan selamat dari Pandangan Ibnu Taimiyyah yang menarik ini mampu menyelesaikan problem besar yang memecah belah kita, umat Islam dan membuat sebagian kita mengkafirkan sebagian yang lain dan mengeluarkannya dari lingkaran agama Islam. Seandainya orang yang mengklaim pengikut salaf mengikuti cara yang ditempuh Ibnu Taimiyyah, Imamussalaf pada masanya dan menuntut kepada orang-orang alasan akan tujuan-tujuan mereka serta berprasangka positif kepada mereka, niscaya sejumlah besar orang akan selamat dari

Dalam hal ini, inti permasalahannya ia tidak sempat menyatakan dengan terbuka apa yang menjadi tujuannya dan yang diniatkannya karena ada relasi kuat antara masjid dengan kuburan yang sejatinya adalah simbol yang mengarah kepada sosok Nabi Saw. Karena orang yang pergi untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah berziarah kepada Nabi Saw sendiri. Adapun sosok kuburan itu sendiri maka ia bukan tempat yang menjadi tujuan musafir / orang yang bepergian. Kami hanyalah menghadap Nabi, melakukan perjalanan untuk berziarah kepada beliau dan mendekatkan diri kepada Allah dengan ziarah tersebut. Karena itu kewajiban bagi ummat Islam yang berziarah adalah menyusun ungkapan-ungkapan yang tepat untuk menjauhi syubhat dan mengatakan, “Kami berziarah kepada Rasulullah dan pergi untuk mendatangi beliau Saw.” Karena kewajiban ini, Imam Malik berkata, “Saya anggap makruh seseorang yang berkata, “Saya berziarah ke kuburan Rasulullah Saw.”

Para ulama dari kalangan aimmah Malikiyyah menginterpretasikan pendapat Imam Malik bahwa pendapat beliau adalah bagian dari sopan santun dalam menggunakan ungkapan verbal. Seandainya orang yang bepergian untuk ziarah kubur tidak punya niat kecuali hanya ziarah kubur semata maka engkau tidak akan melihat situasi berdesak-desakkan yang parah di Ar-Raudlah As-Syarifah ini dan engkau tidak akan melihat orang-orang saling berebut dan saling mendorong ketika pintu-pintu masjid nabawi dibuka, hingga mereka nyaris saling membunuh. Mereka yang bersemangat melaksanakan sholat di masjid Nabawi dan berebutan menuju Ar-Raudlah As-Syarifah adalah mereka yang datang dalam rangka ziarah Nabi Muhammad ibnu ‘Abdillah Saw dan melakukan perjalanan menuju beliau Saw.