STATEMEN IBNU TAIMIYYAH
STATEMEN IBNU TAIMIYYAH
Menyangkut Masyaahid yaitu lokasi-lokasi di mana terdapat jejak-jejak peninggalan para nabi dan orang-orang shalih yang statusnya bukan masjid bagi mereka seperti beberapa tempat yang ada di Madinah, Abu Abdillah menjelaskan secara rinci antara minoritas yang tidak menjadikannya sebagai tempat perayaan dan mayoritas yang menjadikannya sebagai tempat perayaan sebagaimana telah disebutkan. Dalam perincian ini Abu Abdillah memadukan antara beberapa atsar dan statemen-statemen para sahabat. Al- Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan dari Musa ibnu ‘Uqbah, ia berkata, “Saya Menyangkut Masyaahid yaitu lokasi-lokasi di mana terdapat jejak-jejak peninggalan para nabi dan orang-orang shalih yang statusnya bukan masjid bagi mereka seperti beberapa tempat yang ada di Madinah, Abu Abdillah menjelaskan secara rinci antara minoritas yang tidak menjadikannya sebagai tempat perayaan dan mayoritas yang menjadikannya sebagai tempat perayaan sebagaimana telah disebutkan. Dalam perincian ini Abu Abdillah memadukan antara beberapa atsar dan statemen-statemen para sahabat. Al- Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan dari Musa ibnu ‘Uqbah, ia berkata, “Saya
Adapun yang dinilai makruh oleh dia adalah sebuah Informasi yang diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Manshur dalam Sunannya, “Menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, menceritakan kepada kami Al-A’masy dari Al-Ma’ruf ibnu Suwaid dari ‘Umar RA, Al- Ma’ruf berkata, “Saya keluar bersama ‘Umar dalam sebuah perjalanan haji yang dilakukannya. Dalam sholat Shubuh ia membacakan surat Al-Fiil pada rakaat pertama dan surat Al-Qurays pada rakaat kedua kepada kami. Tatkala ia pulang dari haji ia melihat banyak orang segera mendatangi masjid. “Ada apa ini ? “tanya ‘Umar. “Masjid itu adalah masjid yang Rasulullah Pernah sholat di dalamnya, “jawab mereka.
#AV X [
9 # Ui
n A <0 A2&
2P4 GHG)G gAVX[#;
[A V
“Demikianlah ahlul kitab sebelum kalian binasa. Mereka menjadikan jejak-jejak peninggalan para nabi mereka sebagai biara. Barangsiapa yang kebetulan berada di masjid saat tiba waktu sholat maka sholatlah di situ dan barangsiapa yang kebetulan tidak bertemu waktu sholat di situ maka hendaklah ia berlalu, “lanjut ‘Umar. ‘Umar sungguh tidak setuju tempat sholat Nabi Saw dijadikan tempat perayaan dan ia menjelaskan bahwa ahlul kitab binasa karena melakukan hal demikian.
As-Syaikh Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa para ulama berselisih pendapat perihal mendatangi Masyaahid. Muhammad ibnu Wadldlaah mengatakan, “Malik dan ulama lain dari kalangan ulama Madinah tidak senang mendatangi masjid-masjid dan jejak-jejak peninggalan yang ada di Madinah kecuali Quba’ dan Uhud. Sufyan Ats-Tsauri pernah datang ke Baitul Maqdis dan shalat di dalamnya, namun ia tidak mengamati jejak-jejak peninggalan beliau Saw dan shalat di dalamnya.”Para ulama di atas secara mutlak menilai makruh tindakan mengamat-amati jejak-jejak peninggalan Nabi Saw berdasarkan hadits yang bersumber dari `Umar tersebut dan karena tindakan ini mirip dengan shalat di dekat kuburan, sebab bisa dijadikan perantara untuk menjadikan masyaahid sebagai lokasi-lokasi perayaan serta menyerupai ahlul kitab. Di samping itu, tindakan yang dilakukan ibnu `Umar tidak sesuai dengan pendapat salah seorang sahabatpun. Tidak ada kutipan baik dari Khulafaurrasyidin atau sahabat lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar bahwasanya salah seorang dari mereka sengaja mendatangi lokasi-lokasi yang pernah disinggahi Nabi Saw. Selanjutnya Muhammad ibnu Wadldlaah menyatakan, "Para ulama mutaakhkhirin lain menilai sunnah mendatangi masyahid dan sekelompok ash-habuna (para pengikut madzhab Ahmad ibnu Hanbal) serta para tokoh ulama lain dalam Al-Manaasik menyebutkan kesunnahan berziarah ke masyahid di atas dan mereka menghitung beberapa lokasi masyahid sekaligus menyebut namanya."
Sedang Imam Ahmad memberi keringanan atas beberapa masyahid sesuai dengan informasi yang disebutkan oleh atsar kecuali jika masyahid itu dijadikan lokasi perayaan, seperti jika tempat itu didatangi untuk mencari berkah dan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang pada waktu tertentu, sebagaimana ia juga memberi dispensasi kepada kaum Sedang Imam Ahmad memberi keringanan atas beberapa masyahid sesuai dengan informasi yang disebutkan oleh atsar kecuali jika masyahid itu dijadikan lokasi perayaan, seperti jika tempat itu didatangi untuk mencari berkah dan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang pada waktu tertentu, sebagaimana ia juga memberi dispensasi kepada kaum
Kesimpulan secara literal dari statemen Al-Imam Ahmad bahwasanya ia memperbolehkan berulang-ulang mendatangi jejak-jejak peninggalan para nabi dan orang shalih, masyahid dan lokasi-lokasi yang dikaitkan dengan para nabi dan orang-orang shalih. Ia juga menilai mengamat-amati hal-hal tersebut serta memberikan perhatian kepadanya memiliki dalil dalam sunnah nabawiyyah dan tidak bisa dikategorikan bid`ah atau sesat apalagi dianggap sebuah kemusyrikan atau kekufuran. Hanya saja Imam Ahmad mengkritik tindakan berlebihan dalam melakukan aktivitas tersebut serta menyibukkan diri dengannya tidak sesuai dengan proporsi yang semestinya. (Ini adalah ringkasan dari pandangan Al-Imam Ahmad Ra).
Adapun Syaikh Ibnu Taimiyyah maka ia memahami dari statemen Imam Ahmad adanya perincian dalam persoalan ini antara sedikit dan banyak melakukannya. Ia memahami jika aktivitas di atas seringkali dilakukan maka hukumnya makruh menurut Imam Ahmad. Hanya makruh tidak diberi tambahan apapun. Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan definisi "banyak" yang mengakibatkan datang berulang-ulang dan mengamat-amati jejak- jejak peninggalan beliau Saw menjadi makruh. Yaitu jika lokasi-lokasi tadi dan jejak- jejak tersebut dijadikan tempat perayaan di mana orang-orang berkumpul di tempat tersebut dan seringkali mendatanginya pada waktu-waktu khusus.
Dari statemen Ibnu Taimiyyah di atas dapat dipahami juga bahwa jejak-jejak peninggalan dan masyahid yang terbukti bahwa para nabi menjadikannya sebagai masjid atau melaksanakan shalat di dalamnya itu adalah pengecualian dari perincian di atas. Berpijak dari pengecualian ini berarti tempat-tempat dan jejak-jejak peninggalan yang terbukti para nabi pernah shalat di dalamya itu memiliki keistimewaan atas yang lain dan ia boleh didatangi untuk beribadah dan shalat. Ini adalah kesimpulan yang dapat ditarik dengan jelas dari statemen Ibnu Taimiyyah saat ia berkata dalam awal pembahasan : "tetapi mereka tidak menjadikan masyahid sebagai masjid" dan saat mengatakan : "Berkenaan dengan perihal masyaahid yaitu lokasi-lokasi di mana terdapat jejak-jejak peninggalan para nabi dan orang-orang shalih yang statusnya bukan masjid bagi mereka seperti beberapa tempat yang ada di Madinah, Abu Abdillah menjelaskan secara rinci antara minoritas yang tidak menjadikannya sebagai tempat perayaan dan mayoritas yang menjadikannya sebagai tempat perayaan sebagaimana telah disebutkan." (Iqtidllou As- Shiraath Al-Mustaqiim hlm 385 ).