Kampung Tugu Tradisi Musik Keroncong Tugu Sebagai Identitas Bnudaya Masyarakat Kampung Tugu, Tugu Utara Koja, Jakarta Utara

34 Fatahilah bekerjasama dengan kerajaan Sunda-Hindu, Pajajaran pada tahun 1572.

2.2 Kampung Tugu

Kampung Tugu adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara kota Jakarta, tepatnya di kawasan pantai utara Jakarta, di sebelah timur wilayah Tanjung Priok yang ditetapkan menjadi pelabuhan kota Jakarta sejak tahun 1883 menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa atau Jayakarta. Wilayah Kampung Tugu ini termasuk ke dalam kategori daerah terpencil yang cukup jauh dari kemegahan kota Jakarta, dan jauh tertinggal dari hiruk pikuk kebijakan pemerintah yang ingin mengedepankan budaya sebagai upaya pendekatan kepada masyarakat yang multilateral. Bahkan sekarang ini terlihat suasana yang sangat tidak nyaman apabila kita melewati daerah ini. Sepanjang jalan di kawasan ini kini menjadi daerah yang tingkat polusinya cukup tinggi karena dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah yang berasal dari pelabuhan Tanjung Priok, sangat padat dan macet yang disebabkan oleh melintasnya mobil truk peti kemas, meskipun wilayah ini dijadikan sebagai cagar budaya yang menjadi pewaris kebudayaan Portugis dan juga karena adanya sebuah gereja bersejarah yang terletak di pinggir jalan Raya Tugu, yakni Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat GPIB yang kala itu dihadiahi oleh Belanda kepada Portugis yang sebelumnya memeluk agama Katolik menjadi agama Protestan, serta makam para bagi para orang Tugu yang dianggap sebagai orang berpengaruh di kawasan tersebut. 35 Gambar 1: Peta Kampung Tugu sumber: https:www.google.commapssearchjalan+raya+ tugu+no+28-6.129578,106.91975 Gambar 2. Gereja Tugu sumber: http:www.google.comsearch?q=gereja+tugu+semper biw=931bih 36 Terkait dengan nama wilayah ini yang disebut dengan nama Kampung Tugu, dilatarbelakangi oleh dua pendapat. Pendapat pertama adalah dikarenakan pada tahun 1879 ditemukan sebuah Prasasti Tugu yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke lima, yang kemudian pada tahun 1911 dipindahkan ke sebuah museum yang bernama Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini dikenal dengan Museum Nasional. Pendapat kedua terkait pemberian nama wilayah ini menjadi Kampung Tugu diambil dari kata “Portuguese”, hal ini karena wilayah ini pertama kali dihuni oleh orang-orang yang merupakan keturunan Portugis. Kedatangan Portugis pada abad ke 15 merupakan pertemuan Eropa pertama kali di pulau Jawa yang berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa dalam perjalanan mereka menuju ke daerah penghasil rempah-rempah yaitu Melaka dan Maluku. Seperti yang sudah ditulis pada tulisan sebelumnya, akhirnya kedatangan Portugis mendapat sambutan baik oleh Sultan di kedua wilayah itu, hingga akhirnya wilayah itu berada di bawah kendali Portugis dan menguasai serta memonopoli rempah-rempahnya sejak tahun 1511–1641, namun pada tahun 1648 armada Belanda berhasil menguasai dan mengambil alih Melaka. Kehadiran Portugis ke wilayah Asia Tenggara menetapkan adanya Kreol Mestizo keturunan yakni peranakan campuran Portugis dengan wanita pribumi sejak kedatangan mereka ke Sunda Kelapa pada abad 15, dan juga kelompok mardijkers harafiah bebas pajak, yaitu laskar Portugis yang dibawa dari Melaka oleh VOC ke Batavia sejak tahun 1641. 37 Inilah yang menjadi awal lahirnya Kampung Tugu, yakni ketika sekelompok pelaut Portugis Goa yang melarikan diri dari Bandaneira, setelah Gubernur Jenderal Jan Pieter Soen Coen memberlakukan pembersihan etnis oleh militer Belanda di Pulau Banda selama tahun 1620. Para pelaut Goa membuat pelabuhan darurat ketika kapal mereka karam di teluk Batavia. Di bawah intervensi Batavia Portugis Church Portugeesche Binnenkerk, pada tahun 1661 oleh Belanda dibebaskan dan dikirim para pelaut ini ke desa Tugu bersama dengan keluarga mereka asal Bandaneira yang berjumlah sekitar 23 kepala keluarga. Mereka kemudian dipaksa oleh Belanda untuk memeluk agama Kristen Protestan dan dihadiahi sebuah gereja sebagai tempat ibadah yang lokasinya tidak jauh dari Kampung Tugu oleh tuan tanah Belanda Yustinus Van Der Vinc pada tahun 1747, beserta sebidang tanah untuk pemakaman yang bersebelahan dengan gereja. Ketika wilayah Kampung Tugu ini dihuni oleh para mestizo untuk yang pertama kalinya, wilayah ini dapat dikatakan tidak layak huni, karena lokasi ini pada waktu itu merupakan kawasan hutan lebat yang berawa sehingga daerah ini menjadi tempat bersarangnya nyamuk malaria. Tepatnya pada tahun 1661, ke hutan yang berawa inilah Belanda membawa sekitar 23 kepala keluarga mestizo untuk hidup, berkembang dan menetap bersama kleuarga mereka. Dalam upaya mereka mempertahankan kelangsungan hidup, mereka memanfaatkan potensi alam sekitar yang cukup subur untuk diolah sebagai lahan pertanian, dan ada juga yang menjadi nelayan karena di kawasan tersebut juga mengalir sebuah 38 sungai yang di sebut dengan Kali Cilincing. Di sini mereka tinggal secara eksklusif dengan mempertahankan bahasa mereka bahasa Portugis Cristao lisan, namun seiring berjalannya waktu kedatangan penduduk dari luar wilayah Tugu membuat mereka akhirnya melebur dan membaur dengan situasi dan keadaan pada saat itu sehingga Pada pergantian abad ke-19, kelompok ini terpisah-pisah dan secara perlahan berasimilasi dengan masyarakat kota Batavia yang sangat besar. Kini usia Kampung Tugu diperkirakan sudah 3,5 abad dan dalam kurun waktu yang terhitung cukup panjang tersebut pasti ada banyak hal yang berubah, baik dari situasi di lingkungan itu bahkan juga pengaruh dari luar. Tingginya minat masyrakat Indonesia untuk mencari rezeki di Jakarta juga menjadi salah satu faktor. Kini mereka yang merupakan penduduk pertama di Kampung Tugu justru menjadi penduduk minoritas di kawasan Kampung Tugu, dan didominasi penduduk pendatang dari luar daerah Jakarta. Kehadiran masyarakat pendatang dari luar Jakarta, Kampung Tugu khususnya membuat sedikit Perubahan dan hal itu dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan dalam keseharian mereka, yang mana awalnya menggunakan bahasa Cristao Lisan berganti dengan menggunakan bahasa Melayu, Belanda, hingga akhirnya kini menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Betawi untuk bahasa sehari-hari. Untuk tetap menjaga keutuhan dari keluarga Portugis mereka, diadakan rutin setiap tahunnya acara tradisi tahunan “Rabo-Rabo” dan “Mandi-Mandi” untuk mengakhiri minggu Tahun Baru, yang masih dilakukan oleh masyarakat Tugu hingga sekarang. 39

2.3 Lahirnya Musik Keroncong Tugu